BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Saus Tomat Saus atau yang sering disebut saos adalah produk berbentuk pasta atau cairan kental yang dibuat dari bahan baku buah atau sayuran dan mempunyai aroma serta rasa yang merangsang. Saus yang umum diperjualbelikan di Indonesia adalah saus tomat dan saus cabai. Saus tomat adalah cairan kental (pasta) yang terbuat dari bubur buah tomat. Saus tomat dibuat dari campuran bubur buah tomat dan bumbu-bumbu, berwarna merah sesuai dengan warna tomat yang digunakan. Saus tomat tidak hanya dijual dalam kemasan botol yang terbuat dari kaca atau plastik tetapi juga dikemas dalam plastik kantung dari polipropilene atau dalam bentuk sachet (Anonim, 2007). Di Indonesia, terdapat sekitar 24 perusahaan yang memproduksi saus tomat. Dari jumlah tersebut dapat diketahui bahwa telah terjadi peningkatan jumlah perusahaan saus bila dibandingkan dengan tahun 2003 dengan jumlah 16 perusahaan produksi saus tomat. Salah satu keunggulan dari industri saus tomat adalah ketersediaan bahan baku tomat yang melimpah di Indonesia. Bahan tambahan yang digunakan dalam produksi saus tomat adalah bahan campuran, bumbu dan pengawet. Bumbu digunakan untuk menambah citarasa produk. Bumbu yang banyak digunakan adalah
5
Monosodium Glutamat (MSG). Bahan pengawet digunakan untuk menambah daya tahan produk. Bahan tambahan pengawet yang banyak digunakan untuk produk saus tomat adalah asam benzoat atau sodium benzoat (Anonim, 2007). 2. Bahan Pengawet Makanan Aditif makanan dapat didefinisikan sebagai sebuah bahan atau campuran zat selain bahan makanan dasar yang ditambahkan dalam makanan dan terlibat dalam proses produksi, pengolahan, penyimpanan atau pengemasan (Branen dan Julia, 2003). Bahan tambahan pangan adalah bahan yang (Saparinto dan Hidayati, 2006) : a. tidak dapat dikonsumsi sebagai makanan dan bukan merupakan bahan utama makanan. b. mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi c. sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk mendukung proses pembuatan,
pengolahan,
penyimpanan,
perlakuan,
pengepakan,
pengemasan dan pengiriman makanan d. tidak mencakup cemaran atau bahan yang ditambahkan dengan tujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi. Menurut Depkes RI (2004), pada dasarnya persyaratan bahan tambahan pangan yang digunakan adalah : a. Harus tidak membahayakan bagi kesehatan konsumen pada kadar yang dibutuhkan dalam penggunaannya; b. Harus telah melalui pengujian dan evaluasi toksikologi;
c. Harus selalu memenuhi persyaratan spesifikasi dan kemurnian yang telah ditetapkan; d. Harus selalu dipantau terus-menerus dan perlu dilakukan evaluasi kembali jika perlu disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan hasil evaluasi toksikologi; e. Harus dibatasi penggunaannya hanya untuk tujuan tertentu dan hanya jika maksud penggunaan tersebut tidak dapat dicapai dengan cara lain secara ekonomis dan teknis; f. Sedapat mungkin penggunaannya dibatasi agar makanan tertentu dengan maksud dan kondisi tertentu serta dengan kadar serendah mungkin tetapi masih berfungsi seperti yang dikehendaki. Secara umum bahan tambahan atau aditif ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu aditif sengaja dan aditif tidak sengaja. Aditif sengaja yaitu aditif yang secara sengaja ditambahkan untuk meningkatkan konsistensi, citarasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan dan memantapkan bentuk dan rupa. Aditif tidak sengaja yaitu aditif yang memang telah ada dalam makanan walaupun dalam jumlah sedikit, sebagai akibat dari proses pengolahan (Winarno, 1992). Penambahan bahan tambahan makanan
merupakan hal
yang
dipandang perlu untuk meningkatkan mutu suatu produk sehingga mampu bersaing di pasaran. Bahan tambahan tersebut diantaranya : pewarna, penyedap rasa dan aroma, antioksidan, pengawet, pemanis, dan pengental (Winarno, 1992).
Bahan pengawet yang ada dalam makanan adalah untuk membuat makanan tampak lebih berkualitas, tahan lama, menarik, serta rasa dan teksturnya lebih sempurna. Penggunaan bahan pengawet dapat menjadikan bahan makanan bebas dari kehidupan mikroba baik yang bersifat pathogen maupun non pathogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan makanan seperti pembusukan (Tranggono, 1990). Apabila pemakaian bahan pengawet tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan suatu permasalahan terutama bagi konsumen. Bahan pengawet yang diijinkan hanya bahan yang bersifat menghambat, bukan mematikan organismeorganisme pencemar. Oleh karena itu, sangat penting diperhatikan bahwa penanganan dan pengolahan bahan pangan dilakukan secara higienis (Buckle et. al.,1985). 3. Natrium Benzoat Bahan pengawet benzoat digunakan untuk mencegah pertumbuhan dan membunuh berbagai mikroorganisme seperti kapang, khamir, dan bakteri. Pengawet ini sangat cocok digunakan untuk bahan makanan yang bersifat asam seperti saus tomat. Mekanisme penghambatan mikroba oleh benzoat yaitu mengganggu permeabilitas membran sel, struktur sistem genetik mikroba dan mengganggu enzim intraseluler (Siaka, 2009). Benzoat yang umumnya digunakan adalah benzoat dalam bentuk garamnya karena lebih mudah larut dibanding dengan asamnya. Dalam bahan pangan, garam benzoat terurai menjadi bentuk efektif yaitu bentuk asam benzoat yang tidak terdisosiasi (Cahyadi, 2006). Natrium benzoat
bekerja efektif pada pH 2,5-4 sehingga banyak digunakan pada makanan atau minuman yang bersifat asam (Winarno, 1980). Struktur kimia natrium benzoat seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur kimia natrium benzoat (Anonim, 1995) Natrium benzoat (C7H5NaO2) mengandung tidak kurang dari 99% dan tidak lebih dari 100,5% C7H5NaO2, dihitung terhadap zat anhidrat. Berbentuk granul atau serbuk hablur, putih, tidak berbau, atau praktis tidak berbau, stabil di udara. Kelarutannya mudah larut di air, agak sukar larut dalam etanol dan lebih mudah larut dalam etanol 90%. Simpan dalam wadah tertutup baik (Anonim, 1995). Natrium benzoat merupakan garam natrium dari asam benzoat yang sering digunakan pada bahan makanan. Natrium benzoat memiliki karakteristik stabil, tanpa bau, berbentuk kristal putih, larut air dan etanol (Kabara dan Eklund, 1991). Di dalam bahan pangan, natrium benzoat akan terurai menjadi bentuk aktifnya yaitu asam benzoat (DeMan, 1997). Asam
benzoat
mempunyai
pH
optimal
untuk
menghambat
mikroorganisme yaitu pH 2,5-4,0. Asam benzoat dan natrium benzoat digunakan untuk menghambat pertumbuhan khamir dan bakteri tetapi kurang efektif untuk kapang (Afrianti, 2010).
Menurut Peraturan kepala BPOM Nomor 36 Tahun 2013 tentang batas penggunaan natrium benzoat dalam produk saus adalah 1000 mg/kg bahan. Pengkonsumsian natrium benzoat secara berlebihan dapat menyebabkan keram perut, rasa kebas dimulut bagi orang yang lelah. Pengawet ini memperburuk keadaan juga bersifat akumulatif yang dapat menimbulkan penyakit kanker dalam jangka waktu panjang dan ada juga laporan yang menunjukkan bahwa pengawet ini dapat merusak sistem syaraf. Menurut WHO, bagi penderita asma dan orang yang menderita urticaria sangat sensitif terhadap asam benzoat sehingga konsumsi dalam jumlah berlebih akan mengiritasi lambung (Manurung, 2012). 4. Ekstraksi Cair-cair Ekstraksi cair-cair merupakan suatu jenis ekstraksidimana solut dipisahkan dari cairan pembawa (diluen) menggunakan solven cair. Campuran diluen dan solven ini adalah heterogen (immiscible), jika dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase diluen dan fase solven. Perbedaan konsentrasi solute dalam suatu fase dengan konsentrasi pada keadaan setimbang merupakan pendorong terjadinya pelarutan (pelepasan) solut dari larutan (Khopkar, 1990). Untuk mencapai proses ekstraksi cair-cair yang baik, pelarut yang digunakan harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Basset et al., 1994) a. Kemampuan tinggi melarutkan komponen zat terlarut di dalam campuran b. Kemampuan tinggi untuk diambil kembali c. Perbedaan berat jenis antara ekstrak dan diluen d. Pelarut dan larutan yang akan diekstraksi tidak mudah campur
e. tidak mudah bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi f. tidak merusak alat secara korosi. Faktor-faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam ekstraksi cair-cair adalah polaritas senyawa dan pelarut organik dan volatilitas (tingkat penguapan) senyawa. Dalam ekstraksi cair-cair biasanya digunakan pelarut organik polar dan non polar, sesuai hukum like dissolve like karena senyawa yang bersifat polar hanya akan larut dalam pelarut yang bersifat polar demikian sebaliknya. Sehingga dengan adanya perbedaan polaritas dari pelarut yang digunakan diharapkan terjadi distribusi senyawa dari zat terlarut kedalam masing-masing pelarut yang sesuai dengan tingkat kepolarannya hingga mencapai kesetimbangan (Underwood, 2002). 5. Spektrofotometri UV-Visibel Penggunaan utama spektrofotometri UV-Vis adalah dalam analisis kuantitatif senyawa organik yang mempunyai struktur kromofor atau mengandung gugus kromofor. Penentuan kadar dilakukan dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang maksimum (puncak kurva), agar dapat memberikan absorbansi tertinggi untuk setiap konsentrasi (Cahyadi, 2006). Apabila dalam alur radiasi spektrofotometri terdapat senyawa yang mengabsorbsi radiasi, akan terjadi pengurangan intensitas radiasi yang mencapai detektor. Gambar di bawah memperlihatkan intensitas sinar sebelum (Po) dan sesudah (P) melewati larutan yang mempunyai ketebalan b cm dan konsentrasi zat penyerap sinar C, sebagai akibat interaksi antara cahaya dan partikel-partikel penyerap (pengabsorbsi) yaitu berkurangnya kekuatan sinar
dari Po ke P. Transmitansi larutan T merupakan bagian dari cahaya yang diteruskan melalui larutan, sehingga transmitansi dapat dirumuskan sebagai berikut :
T=
Berbeda dengan transmitansi, Absorbansi larutan bertambah dengan berkurangnya % Transmitansi. Bila ketebalan benda atau konsentrasi materi yang dilewati cahaya bertambah, maka cahaya akan lebih banyak diserap. Jadi absorbansi berbanding lurus dengan ketebalan b dan konsentrasi c, seperti dinyatakan dalam rumus berikut : A = a.b.c dimana a adalah konstanta absortivitas (Mulja, 1995). Penyerapan sinar tampak dan ultraviolet oleh suatu molekul dapat menyebabkan terjadinya eksitasi molekul dari tingkat energi dasar (ground state) ke energi tingkat tinggi (excited state). Pengabsorbsian sinar ultraviolet atau sinar tampak oleh suatu molekul umumnya menghasilkan eksitasi elektron bonding,
akibatnya
panjang
gelombang
absorbsi
maksimum
dapat
dikorelasikan dengan jenis ikatan yang ada di dalam molekul tersebut. Oleh karena itu, spektroskopi serapan molekul berharga untuk mengidentifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam suatu molekul. Akan tetapi, yang lebih penting adalah penggunaan spektroskopi serapan ultraviolet dan sinar tampak
untuk penentuan kuantitatif senyawa yang mengandung gugus-gugus pengabsorbsi. Instrumen spektroskopi UV, berkas cahaya yang diserap bukan cahaya tampak tapi cahaya ultraviolet dengan cara ini larutan tak berwarna dapat diukur. Pada spektroskopi ultraviolet energi cahaya yang terserap digunakan untuk transisi elektron. Karena energi cahaya UV lebih besar dari energi sinar tampak sehingga energi uv dapat menyebabkan transisi elektr n σ atau π (Mulja, 1995). Secara garis besar dapat diuraikan proses yang terjadi selama pengukuran dengan spektrofotometer sebagai berikut:
Gambar 2. Skema Spektrofotometer Berkas Sinar Tunggal Sumber energi radiasi (1) yang dipakai di dalam spektrofotometer uv-vis bervariasi sesuai dengan spektrum yang digunakan. Pada daerah ultraviolet sumber sinar yang digunakan adalah lampu Deutrium (D2), pada daerah visible digunakan lampu Tungsten (WI) sedangkan pada Inframerah digunakan Globar atau Glower Nerst. Intensitas sinar yang dipancarkan oleh masing-masing lampu merupakan fungsi dari potensial/ tegangan yang
digunakan terhadap lampu. Oleh karena itu potensial harus dikontrol sedemikian agar diperoleh hasil yang reproduksibel. Sistem optik terdiri dari celah (2), lensa (3), cermin, sel kuvet dan selektor panjang gelombang (4). Celah masuk digunakan untuk mengendalikan jumlah sinar yang masuk ke dalam photometer. Celah keluar berfungsi untuk membantu pengaturan lebar pita daripada cahaya yang memasuki detektor. Lensa digunakan untuk memfokuskan sinar, dan cermin untuk memperbesar panjang jalur optik didalam peralatan spektrofotometer. Kuvet harus benarbenar bersih dan transparan jangan sampai merefleksikan atau mendifraksikan sinar yang jatuh terhadap sel. Selektor panjang gelombang digunakan untuk menghasilkan sinar yang monokromatis. Monokromator yang digunakan dalam spektrofotometer terdiri dari dua jenis yaitu prisma dan diffraction grating. Kebanyakan prisma yang digunakan berbentuk segitiga dan dapat memisahkan sinar polikromatis menjadi beberapa berkas sinar dengan panjang gelombang tertentu. Bila sinar berbenturan dengan grating difraksi maka sinar diuraikan atas panjang gelombang yang ada di dalam jalur sinar maka sinar dengan panjang gelombang tertentu dapat difokuskan melewati sampel (5) dan celah keluar (6). Detektor (8) yang biasanya digunakan pada spektrofotometer uv-vis ada dua jenis yaitu vakum tube-photocells dan Barrier–layercells (Kenner, 1979).
6. Validasi Metode Validasi metode analisis adalah suatu penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Tetrasari, 2003) Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode adalah seperti di bawah ini : a. Kecermatan Kecermatan adalah kedekatan hasil uji antara hasil yang diperoleh dengan nilai sebenarnya (true value) atau dengan nilai referensinya (Chan et al., 2004). Kecermatan menggambarkan kesalahan sistematik dari suatu hasil pengukuran. Sumber kesalahan bisa berasal dari kelembaban, bahan referensi, metode analisis, dan lain-lain (Sumardi, 2005). Kecermatan dinyatakan dengan persen perolehan kembali analit yang ditambahkan dan nilai kecermatan dinyatakan dengan persen perolehan kembali (% recovery). Nilai % recovery yang dapat diterima dalam penelitian suatu sampel disajikan dalam tabel I.
Tabel I.Nilai % Recovery yang dapat diterima (Chan et al, 2004) Analit pada matrik sampel (%)
Recovery yang diterima (%)
100
98-102
>10
98-102
>1
97-103
>0,1
95-105
0,01
90-107
0,001
90-107
0,0001
80-110
0,00001
80-110
0,000001
60-115
0,0000001
40-120
b. Batas deteksi dan Batas Kuantitasi Batas deteksi atau Limit of Detection (LOD) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon yang signifikan dibandingkan dengan blanko. LOD merupakan batas uji yang secara spesifik menyatakan apakah analit berada di atas atau di bawah nilai tertentu. Nilai LOD dapat ditentukan dari nilai signal to noise (S/N). Batas deteksi merupakan banyaknya sampel yang menunjukkan respon (S) 3 kali terhadap derau (N) atau LOD = 3 S/N. LOD dinyatakan dalam konsentrasi analit (ICH, 1995). Batas kuantitasi atau Limit of Quantitation (LOQ) adalah konsentrasi analit yang memberikan sinyal lebih besar dari blanko atau
jumlah terkecil analit dalam sampel yang masih memenuhi kriteria cermat atau seksama dan dapat dikuantitasi dengan akurasi dan presisi yang baik. Sebagaimana LOD, LOQ juga dinyatakan dalam konsentrasi analit dan dapat ditentukan dari nilai signal to noise. Rasio signal to noise yang digunakan untuk menentukan LOQ adalah 10:1 atau LOQ = 10 S/N. Penentuan nilai LOD dan LOQ dengan menggunakan rumus sebagai berikut (ICH, 1995).
l
e
l
e
LOD : Batas deteksi LOQ : Batas kuantitasi SD
: Simpangan baku dari blanko
Slope : Kemiringan kurva (nilai b hasil dari regresi linear)
B. Kerangka Pemikiran Bahan tambahan pengawet yang digunakan dalam jumlah yang tidak melebihi batas, maka dapat dinyatakan aman. Namun, penggunaan pengawet natrium benzoat secara berlebih dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti radang lambung, usus dan kulit. Penggunaan benzoat secara akumulatif dapat menyebabkan timbulnya kanker dan dapat merusak sistem syaraf pada penggunanya.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menghindari penggunaan bahan pengawet yang melebihi batas pada produk saus tomat produksi lokal yang beredar di wilayah kota Surakarta. Meskipun belum terdapat penelitian bahwa saus tomat produksi lokal di wilayah Surakarta menggunakan bahan pengawet benzoat dalam jumlah yang melebihi batas, tetapi penelitian ini dapat menjadi edukasi bagi masyarakat tentang perlunya berhati-hati dalam mengkonsumsi produk-produk lokal dengan bahan pengawet. Hal ini sangat dibutuhkan karena masyarakat, terutama pedagang makanan, senang menggunakan saus tomat produksi lokal karena harganya yang relatif lebih murah dibanding dengan saus tomat produksi industri besar. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan reagen FeCl3 dan secara kuantitatif dengan menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut dietil eter. Penelitian menggunakan metode spektrofotometri karena memiliki kelebihan yaitu sederhana, praktis dan spesifik untuk digunakan dalam uji pada bahan dengan jumlah dan konsentrasi yang relatif kecil. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menentukan kadar pengawet natrium benzoat pada sampel saus tomat produksi lokal di kota Surakarta dan membandingkannya dengan batas penggunaan maksimum natrium benzoat.
C. Hipotesis Kandungan pengawet natrium benzoat dalam sampel saus tomat produksi lokal Surakarta yang beredar di Pasar Legi tidak melebihi batas yang ditetapkan dalam Peraturan Kepala BPOM No. 36 Tahun 2013, yaitu sebesar 1000 mg/kg bahan.