BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konseling Kelompok 2.1.1. Pengertian Konseling Kelompok Layanan konseling kelompok pada hakekatnya adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan perilaku yang disadari, dibina dalam suatu kelompok kecil mengungkapkan diri kepada sesama anggota dan konselor, dimana komunikasi antar pribadi tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk belajar perilaku tertentu ke arah yang lebih baik dari sebelumnya (Winkel dan Sri Hastuti, 2004) Prayitno (1999) mengemukakan bahwa layanan konseling kelompok adalah layanan yang menggunakan dinamika kelompok sebagai media kegiatannya, apabila dinamika kelompok dikembangkan dan dimanfaatkan secara efektif dalam layanan ini diharapkan tujuan yang ingin dicapai akan tercapai. Salah satu dari tujuan konseling kelompok ini adalah agar para konseli belajar berkomunikasi dengan seluruh anggota kelompok secara terbuka, dengan saling menghargai dan saling menaruh perhatian. Pengalaman komunikasi yang demikian akan membawa dampak positif dalam kehidupan dengan orang lain yang dekat padanya.
1
2.1.2. Tujuan Konseling Kelompok Konseling kelompok berfokus pada usaha membantu konseli dalam melangkah melakukan perubahan dengan menaruh perhatian pada perkembangan dan penyesuaian sehari-hari, misalnya modifikasi tingkah laku, pengembangan keterampilan hubungan personal, nilai, sikap atau membuat keputusan karier (Gibson dan Mitchell, 1981). Ohlsen, Dinkmeyer, Corey, dan Muro, (dalam Winkel dan Hastuti, 2004) mengemukakan sejumlah tujuan umum dari pelayanan bimbingan dalam bentuk konseling kelompok sebagai berikut : 1. Masing-masing
konseli
memahami
dirinya
dengan
baik
dan
menemukan dirinya sendiri. Berdasarkan pemahaman diri itu konseli lebih rela menerima dirinya sendiri dan lebih terbuka terhadap aspekaspek positif dalam kepribadiannya. 2. Para konseli mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lainnya, sehingga konseli dapat saling memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas untuk fase perkembangan. 3. Para konseli memperoleh kemampuan mengatur dirinya sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, mula-mula dalam kontak antar pribadi dari dalam kelompok dan kemudian juga dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan kelompoknya. 4. Para konseli menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih mampu menghayati perasaan orang lain. Kepekaan dan
2
penghayatan ini akan membuat konseli lebih sensitif juga terhadap kebutuhan psikologis dan alam perasaan sendiri. 5. Masing-masing konseli menetapkan suatu sasaran yang ingin mereka capai, yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang lebih konstruktif. 6. Para konseli lebih menyadari dan menghayati makna dari kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama, yang mengandung tuntutan menerima orang lain dan harapan akan diterima oleh orang lain. 7. Masing-masing konseli semakin menyadari bahwa hak-hak yang memprihatinkan bagi dirinya kerap juga menimbulkan rasa prihatin dalam hati orang lain dengan demikian, dia tidak akan merasa terisolir lagi, seolah-olahnya hanya dialah yang mengalami. 8. Para konseli belajar berkomunikasi dengan seluruh anggota kelompok secara terbuka, dengan saling menghargai dan saling menaruh perhatian,
pengalaman
bahwa
komunikasi
dengan
demikian
dimungkinkan, akan membawa dampak positif dalam kehidupan dengan orang lain dekat dengan konseli. Untuk dapat mencapai tujuan-tujuan di atas dibutuhkan adanya suatu program konseling kelompok yang terencana dengan baik. Layanan konseling kelompok sangat dipengaruhi oleh peran pemimpin kelompok. Menurut Loekmono (2003) tanggung jawab terpenting pemimpin kelompok adalah :
3
1. Menggunakan hal-hal penting yang harus dipelajari tersebut sebagai dasar dalam membuat perencanaan kegiatan bersama-sama dalam kelompok dan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. 2. Membantu kelompok untuk menghadapi minat-minat dan kebutuhan yang bermacam-macam. 3. Membantu kelompok untuk dapat mengenali kebutuhan-kebutuhan yang lain dan dapat memenuhinya. 2.1.3. Komponen Konseling Kelompok Komponen dalam kegiatan layanan konseling kelompok adalah : 1. Konselor Sebagai pemimpin kelompok dalam konseling kelompok, seorang konselor harus mempunyai kemampuan/ketrampilan, kemampuan seorang konselor dalam memimpin konseling kelompok antara lain : a. Menciptakan suasana kelompok sehingga terciptanya dinamika kelompok. b. Berwawasan luas (ilmiah dan moral) c. Mampu membina hubungan antarpersonal yang hangat, damai, berbagi empatik, jauh dari kesukaran untuk membuat kelompok. Seorang konselor yang mempunyai kemampuan dan ketrampilan seorang konselor juga mempunyai peranan sebagai pemimpin kelompok anatara lain:
4
a. Membuat kelompok Seorang konselor mempunyai tugas untuk membentuk kelompok dan memilih para anggotanya untuk melakukan konseling kelompok. b. Melakukan penstrukturan Sebelum melaksanakan proses konseling kelompok, konselor melakukan penstrukturan dalam kelompok dan menjelaskan bagaimana
langkah-langkah
dalam
melaksanakan
konseling
kelompok ini. c. Mengembangkan dinamika kelompok Konselor juga berkewajiban untuk mengembangkan dinamika kelompok agar dapat berjalan dengan lancar dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. d. Mengevaluasi proses dari hasil belajar Setelah kegiatan konseling kelompok berlangsung konselor harus mengevaluasi dan menilai hasil dari kegiatan konseling kelompok yang sudah dilaksamakan. 2. Anggota kelompok Jumlah anggota kelompok dalam konseling kelompok sebanyak 810 orang dengan memperhatikan homogenitas dan heterogenitas kemampuan anggota kelompok. Peran anggota kelompok dalam layanan bimbingan konseling kelompok antara lain adalah :
5
a. Aktif, mandiri melalui aktivitas langsung melalui sikap 3 M (mendengar dengan aktif, memahami dengan positif dan merespon dengan tepat sikap seperti seorang konselor). b. Berbagi pendapat, ide dan pengalaman Konseli diharapkan dapat menceritakan pengalaman pribadinya untuk dapat bertukar pendapat dengan anggota kelompok lainnya. c. Empati Konseli dapat merasakan mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan anggota kelompok yang lainnya. d. Aktif membina keakraban, membina keikatan emosional Konseli hendaknya membina keakraban dan ikatan emosional diantara anggota kelompok yang lain sehingga dapat terjalin hubungan yang baik dengan anggota kelompok lain. e. Mematuhi etika kelompok Anggota kelompok harus mematuhi etika dalam peraturan yang telah diberikan konselor dan disepakati oleh semua anggota kelompok supaya dalam proses konseling kelompok dapat berjalan dengan lancar. f. Menjaga kerahasiaan, perasaan, dan membantu anggota kelompok yang lain. Dalam kegiatan kelompok diharapkan untuk menjaga kerahasiaan dan perasaan anggota kelompok yang lainnya. g. Membina kelompok untuk menyukseskan kegiatan kelompok.
6
2.1.4. Tahapan Konseling Kelompok Menurut Corey& Corey (dalam Loekmono 2003) konseling kelompok dilaksanakan secara bertahap. Terdapat 6 tahap yaitu tahap pembentukan kelompok, tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja tahap akhir, serta tahap evaluasi dan tidak lanjut. Berikut tahap-tahap konseling kelompok dijelaskan secara singkat. a. Tahap pembentukan kelompok Tahap ini merupakan tahap persiapan pelaksanaan konseling kelompok. Pada tahap ini terutama pembentukan kelompok, yang dilakukan dengan seleksi anggota dan menawarkan program kepada calon peserta konseling sekaligus membangun harapan kepada calon peserta. Dalam konseling kelompok yang dipandang penting adalah adanya seleksi anggota. Ketentuan yang mendasari konseling kelompok ini adalah minat bersama, sukarela atau atas inisiatifnya sendiri, adanya kemauan untuk berpartisipasi dalam proses konseling kelompok mau untuk berpartisipasi dalam proses kelompok. b. Tahap permulaan (orientasi dan eksplorasi) Pada
tahap
ini
mulai
menentukan
struktur
kelompok,
mengeksplorasi harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, seklaigus mulai menegaskan tujuan kelompok. Setiap anggota kelompok mulai mengenalkan dirinya dan menjelaskan tujuan atau harapannya. Pada tahap ini deskripsi tentang dirinya masihbersifat superficial (permukaan
7
saja), sedangkan persoalan yang lebih tersembunyi belum diungkapkan pada fase ini. Kelompok mulai membangun norma untuk mengontrol aturanaturan kelompok dan menyadari makna kelompok untuk mencapai tujuan. Peran konselor pada tahap ini membantu menegaskan tujuan untuk kelompok dan makna kelompok untuk mencapai tujuan. c. Tahap transisi Pada tahap transisi ini para anggota masih merasa takut dan cemas perasaan ini masih cukup tinggi. Pada awal tahap kedua anggota kelompok mempunyai keinginan untuk terbuka tetapi disisi lain takut untuk terbuka didalam kelompoknya. Selain itu pada fase kedua ini kadang-kadang pertentangan masih nampak dan muncul dalam fase kedua ini. Namun disisi lain ada usaha untuk mengarah pada saling terbuka, keinginan bekerjasama, saling menolong, dan saling menghargai. d. Tahap bertumbuh atau berkembang Pada tahap ini anggota kelompok sudah mulai mengungkapkan permasalahan pribadinya secara terbuka dan apa adanya. Dalam tahap ini anggota kelompok juga sudah mulai berinteraksi dan beradaptasi dalam kelompok dan telah meninggalkan fase bagaimana belajar dan berinteraksi dengan kelompok. e. Tahap penutup Tahap ini adalah tahap dimana kelompok sudah memasuki tahap dimana lamanya waktu sesi kelompok yang sudah disepakati bersama. Apabila
8
dalam tahap akhir ini ada tugas yang belum terselesaikan maka ini dapat dibahas dalam kelompok. Latihan untuk merubah perilaku bukan hanya terjadi dalam konseling kelompok saja, tetapi diharapkan masih dilanjutkan dalam kehidupan sehari-hari. Anggota masih diharapkan untuk belajar menerima dan memberi umpan balik dalam situasi kehidupan yang nyata. f. Tahap evaluasi dan tindak lanjut Dalam hal ini yang perlu diungkap dan dibahas dalam tahap akhir dari konseling kelompok adalah merangkum pengalaman kelompok yang diperoleh dari masing-masing anggota kelompok dan oleh kelompok. Dari rangkuman pengalaman kelompok ini diharapkan anggota kelompok mampu memanfaatkannya untuk mengambil makna dari apa yang telah dipelajarinya dan kemudian mengevaluasi pengaruh kelompok dalam dirinya. Setelah mengevaluasi anggota konseling kelompok diharapkan dapat menindak lanjuti apa yang harus mereka lakukan setelah konseling kelompok berakhir. 2.2. Client Centered 2.2.1. Pengertian Client Centered Istilah Client Centered dapat dideskripsikan dengan mengatakan bahwa konseling yang menekankan peranan konseli sendiri dalam proses konseling. Pada awalnya konseling ini disebut konseling nondirektif untuk membedakannya dari konseling yang mengandung banyak pengarahan dan kontrol terhadap proses konseling di pihak konselor. Kemudian mulai di
9
gunakan nama Client Centered Counseling, dengan maksud menggaris bawahi individualitas konseli yang setaraf dengan individualitas konselor, sehingga dapat dihindari kesan bahwa konseli menggantungkan diri pada konselor. Pelopor dan promotor utama adalah Carl Roger (Winkel, W.S dan Sri Hastuti, 2004). Menurut Roger (dalam Winkel dan Hastuti, 2004) konseling client centered menekankan pada kecakapan konseli untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan. Konsep inti konseling berpusat pada konseli adalah konsep tentang diri pribadi dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri. 2.2.2. Proses Konseling Client Centered Konseling dengan Client Centered lebih menekankan peranan konseli sendiri dalam proses konseling. Apapun keputusan yang diambil konseli, sepenuhnya hak dari konseli dimana konselor hanya sebagai alternatif solusi, selebihnya konseli sebagai pengambil keputusan. Berikut ini adalah proses konseling kelompok Client Centered a. Konseling memusatkan pada pengalaman individual b. Konseling
berupaya
meminimalisir
rasa
diri
terancam
dan
memaksimalkan serta menopang eksplorasi diri. Perubahan perilaku datang
melalui
pemanfaatan
10
potensi
individu
untuk
menilai
pengalamannya, membuat untuk memperjelas dan mendapat tilikan perasaan yang mengarah pada pertumbuhan. c. Melalui penerimaan terhadap konseli, konselor membantu untuk menyatakan,
mengkaji
dan
memadukan
pengalaman-pengalaman
sebelumnya ke dalam konsep diri. d. Melalui redefinisi pengalaman individu mencapai penerimaan diri dan menerima orang lain dan menjadi orang yang berkembang penuh. e. Wawancara
merupakan
alat
utama
dalam
konseling
untuk
menumbuhkan hubungan timbal balik. 2.2.3. Langkah-langkah Konseling Kelompok Client Centered Penyelenggaraan konseling kelompok memerlukan persiapan dan praktik pelaksanaan yang memadai dari awal sampai dengan evaluasi dan tindak lanjutnya. Berikut langkah-langkah yang dapat ditempuh : a. Langkah Awal Langkah awal diselenggarakan dalam rangka pembentukan kelompok sampai dengan mengumpulkan para peserta yang siap melaksanakan kegiatan konseling kelompok. b. Perencanaan Kegiatan Perencanaan Kegiatan Konseling Kelompok meliputi penetapan : 1) Materi layanan 2) Tujuan yang ingin dicapai 3) Waktu dan tempat 4) Sasaran kegiatan
11
5) Bahan dan sumber bahan untuk konseling kelompok 6) Rencana penilaian c. Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan yang telah direncanakan kemudian dilaksanakan melalui rangkaian kegiatan berikut : 1) Persiapan 2) Pelaksanaan tahap-tahap kegiatan d. Evaluasi Kegiatan Penilaian kegiatan konseling kelompok difokuskan pada perkembangan pribadi secara positif dan hal-hal yang dirasakan mereka berguna. e. Analisis dan Tindak Lanjut Hasil penilaian kegiatan konseling kelompok perlu dianalisis untuk mengetahui lebih lanjut kemajuan para peserta dan penyelenggaraan konseling kelompok. 2.2.4. Karakteristik Konseling berpusat pada Konseli Eko (dalam Fuad 2009) mengemukakan ada beberapa karakteristik konseling Client Centered antara lain : a. Fokus utama adalah kemampuan individu menyelesaikan masalah bukan terselesaikannya masalah. b. Lebih mengutamakan sasaran perasaan dari pada intelek dalam konseling Client Centered lebih mengutamakan perasaan konselinya.
12
c. Masa kini lebih banyak diperhatikan dari masa lalu. Keadaan masa kini konseli lebih diperhatikan dalam konseling Client Centered ini dibandingkan dengan masa lalu konseli. d. Pertumbuhan emosional konseli terjadi dalam hubungan konseling saat konseling Client Centered berlangsung. e. Proses terapi merupakan penyelesaian antara gambaran diri konseli dengan keadaan dan pengalaman diri yang sesungguhnya. f. Hubungan konselor dan konseli merupakan situasi pengalaman terapeutik yang berkembang menuju kepada kepribadian konseli yang integral dan mandiri. g. Konseli memegang peran aktif dalam konseling sedangkan konselor bersifat reflektif. 2.2.5. Teknik-Teknik yang Digunakan dalam Konseling Kelompok Client Centered Menurut Sudirman (dalam, Fuad 2009) mengemukakan bahwa terdapat beberapa teknik konseling Client Centered yang digunakan antara lain : a. Rapport, yaitu teknik yang bertujuan untuk membuat pendekatan dan hubungan yang baik dengan konseli agar selama proses terapi dapat berlangsung dengan lancar. b. Teknik klarifikasi, yaitu suatu cara konselor untuk menjernihkan dan meminta konseli untuk menjelaskan hal-hal yang dikemukakan oleh konselor.
13
c. Teknik refleksi (isi dan perasaan), yaitu usaha konselor untuk memantulkan kembali hal-hal yang telah dikemukakan konseli (isi pembicaraan) dan memantulkan kembali perasaan-perasaan yang ditampakkan oleh konselor dengan konseli dan menggali atau memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengekplorasi diri dan masalahnya. d. Teknik “ free expression “, yaitu memberikan kebebasan kepada konseli untuk berekpresi, terutama emosinya. e. Teknik “ silence”, yaitu kesempatan yang berharga diberikan oleh terapis kepada konseli untuk mempertimbangkan dan meninjau kembali pengalaman-pengalaman dan ekpresinya yang lampau. Kesempatan ini dapat diberikan diantara waktu konseling dan dapat berlangsung cukup lama. Jika terlalu lama maka konselor perlu mengambil inisiatif untuk memulai lagi komunikasi dengan konseli. f. Teknik “transference” yaitu ketergantungan konseli kepada konselor. Hal ini dapat terjadi pada awal terapi, tapi bukan merupakan dasar untuk kemajuan terapi. Kemungkinan transference terjadi karena sikap konselor yang memberikan kebebasan tanpa menilai atau mengevaluasi konseli.
14
2.3. Konsep Diri 2.3.1. Pengertian Konsep Diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui
individu
tentang dirinya
dan
mempengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sundeen, 1991, hlm. 372). Termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Beck, Willian dan Rawlin (1986, hlm.293) lebih menjelaskan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh: fisikal, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Secara umum disepakati bahwa konsep diri belum ada saat lahir. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain. Perkembangan konsep diri terpacu cepat dengan perkembangan bicara. Nama dan panggilan anak merupakan aspek bahasa yang utama dalam membantu perkembangan identitas. Dengan memanggil nama, anak mengartikan dirinya istimewa, unik dan mandiri. Konsep diri dipelajari melalui kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang lain. Pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya. Keluarga mempunyai peran yang penting dalam membantu perkembangan konsep diri terutama pada pengalaman masa kanak-kanak. Combs dan Snygg (dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1991, hlm. 373) mengemukakan pengalaman
15
awal kehidupan dalam keluarga merupakan dasar pembentukan konsep diri. Keluarga dapat memberikan: 1.
Perasaan mampu atau tidak mampu.
2.
Perasaan diterima atau ditolak.
3.
Kesempatan untuk identifikasi
4.
Penghargaan yang pantas tentang tujuan, perilaku dan nilai. Suasana keluarga yang saling menghargai dan mempunyai pandangan
yang positif akan mendorong kreatifitas anak, menghasilkan perasaan yang positif dan berarti. Penerimaan keluarga akan kemampuan
anak sesuai dengan
perkembangannya sangat mendorong aktualisasi diri dan kesadaran akan potensi dirinya. Tidak dianjurkan menggunakan kata-kata: “Jangan”, “Tidak boleh”, “Nakal” tanpa penjelasan lebih lanjut. Dapat disimpulkan, konsep diri merupakan aspek kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang maladaptif. Dasar konsep diri positif adalah penerimaan diri. Orang yang mengenal dirinya dengan baik merupakan orang yang mempunyai konsep diri positif begitu pula sebaliknya. (Suprapto, 2007). Konsep diri merupakan gambaran mengenai diri dan evaluasi diri (Piers, 1984). Piers Harris dalam (Burn,1993:139) membuat Piers Harris Children’s
16
Self-concept Scale (PHCSS) menggunakan teori berasal dari Jersild tahun 1952. Konsep diri menurut Jersild dalam (Burn, 1993:139) dilukiskan sebagai “The label self-concept has been widely used to identify these subjective states, even though the self embodies far more than just a conceptual framework.” Sikap terhadap diri sendiri diperoleh dari pengalaman individu berinteraksi dengan orang lain sehingga mempunyai arti penting dalam hidupnya. Konsep diri seseorang bukan hanya merupakan faktor bawaan, tetapi juga yang dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain. Konsep diri meliputi penampilan fisik, perilaku sosial, status akademik, depresiasi, ketidakpuasan dan perasaan puas terhadap diri, dan semua persepsi dari seluruh aspek yang diharapkan. Konsep diri akan terbentuk melalui persepsi diri dengan nilai-nilai yang dihubungkan dengan kualitas dan hubungan sebagaimana mereka persepsikan sebagai masa lalu, sekarang atau masa yang akan datang. Menurut Brooks, konsep diri adalah pandangan dan perasaan individu tentang diri individu itu sendiri. (dalam Rakhmat, 2005). Sedangkan menurut Hurlock (1990) konsep diri adalah gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya. Masa remaja merupakan masa yang potensial untuk mengembangkan konsep diri, sebab masa remaja adalah masa yang penuh dengan tekanan yang memungkinkan individu menemukan identitas dirinya. Pada masa remaja, individu mulai menilai kembali berbagai bawaan yang telah terbentuk sebelumnya dan konsep dirinya menjadi semakin abstrak. Penilaian kembali pandangan dan nilai-nilai sesuai dengan tahap perkembangan kognitif remaja, dari pemikiran yang bersifat konkret menjadi lebih abstrak dan subjektif. Jersild dalam (Burn, 1993) masa remaja merupakan masa terpenting bagi seseorang untuk menemukan
17
dirinya. Remaja harus menemukan nilai-nilai yang berlaku dan yang akan remaja capai di dalam kehidupannya. Remaja harus mulai belajar untuk mengatasi masalah-masalah, merencanakan masa depan, dan mulai memilih karir yang akan digeluti secara rasional. Perkembangan kognitif yang terjadi selama masa remaja membuat individu melihat dirinya dengan pemahaman yang berbeda. Kapasitas kognitif didapatkan selama melakukan pengamatan terhadap perubahanperubahan yang dipahami sebagai perubahan diri yang disebabkan oleh perubahan fisik secara kompleks dan perubahan sistem sosial. Pada masa remaja individu mulai dapat melihat siapa dirinya, ingin menjadi seperti apa, bagaimana orang lain menilainya, dan bagaimana mereka menilai peran yang mereka jalani sebagai identitas diri. Bisa dikatakan bahwa salah satu tugas penting yang harus dilakukan remaja adalah mengembangkan persepsi identitas untuk menemukan jawaban terhadap pertanyaan “Siapakah saya ?” dan “Mau jadi apa saya ?”. Konsep diri adalah konsep abstrak. Dapat diukur dengan perilaku yang dapat diamati. Konsep diri terbentuk melalui pengalaman nyata dan persepsi tentang dirinya. Ketika seseorang melihat pengalaman dengan cara yang negatif terhadap dirinya, maka konsep diri mereka akan terbentuk negatif. Dan sebaliknya, ketika seorang melihat pengalaman dengan cara yang positif terhadap dirinya, maka konsep diri mereka akan terbentuk positif. 2.3.2. Isi Konsep Diri Sewaktu anak sedang tumbuh meluas, isi dari konsep dirinya juga berkembang meluas, termasuk pemilikan, teman-teman, nilai-nilai dan khususnya
18
orang-orang yang disayangi melalui proses identifikasi. Menurut Jersild dalam (Burn, 1993) dalam penelitiannya mendeskripsikan isi dari konsep diri adalah : a. Karakteristik fisik Karakteristik merupakan suatu ciri atau hal yang membedakan dari individu dengan individu yang lain yaitu, yang mencakup penampilan secara umum, ukuran dan berat tubuh, dan detail-detail dari kepala dan tungkai lengan. Karakteristik fisik dapat menyebabkan adanya pandangan yang berbeda tiap individu satu dengan individu yang lain tentang dirinya sendiri. Contohnya kalau seorang bintang film yang cantik dapat dijadikan idola. Hal ini kadang menjadi masalah, karena individu itu sendiri merasa memiliki kekurangan dibandingkan dengan temannya yang memiliki kelebihan, seperti kurang tinggi, terlalu gemuk, tidak cantik, perasaan ini dapat berkembang menjadi konsep diri yang negatif apabila masyarakat memperhatikan dan menjunjung individu yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan individu yang tidak mempunyai kelebihan. b. Penampilan Penampilan dari setiap individu berbeda antara individu yang satu dengan
individu
yang
lain,
sehingga
dapat
menggambarkan
kepribadian seseorang. Penampilan mencakup cara berpakaian, model rambut dan make up, dengan keadaan seperti ini, individu dimungkinkan percaya diri atau tidak. Misalnya, seseorang yang tidak pernah memakai make up suatu saat disuruh temannya memakainya,
19
tentunya pada saat itu ada perbedaan antara temannya yang sudah terbiasa memakai make up dengan dirinya yang malu dan menutupi wajahnya dengan kain. c. Kesehatan dan kondisi fisik Kesehatan dan kondisi fisik sangat diperlukan bagi setiap individu dalam menjalani hidup ini, terutama dalam mencapai karir. Individu yang mempunyai kesehatan dan kondisi fisik yang tidak baik dapat mengakibatkan gangguan pada individu yang merasa tidak aman atau kurang percaya diri, dapat berakibat pada penilaian terhadap dirinya sendiri secara negative. Individu yang memiliki kesehatan dan kondisi fisik yang baik akan percaya diri dibandingkan dengan individu yang memiliki kesehatan dan kondisi fisik yang tidak baik atau kurang sehat. d. Rumah dan hubungan keluarga Rumah dan hubungan keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal atau ditempati individu saat lahir dan mengenal lingkungan luar. Di dalam rumah, hubungan keluarga akan tercipta susasana dan kondisi yang menyenangkan atau tidak, dapat dijadikan sebagai suatu informasi, pengalaman, yang dijadikan pegangan individu untuk berinteraksi. Rumah dan hubungan keluarga yang terjalin dengan baik akan membuat individu senang dan bahagia tinggal di rumah dan berhubungan dengan keluarganya, tetapi seorang individu yang rumah dan hubungan keluarganya yang tidak terjalin dengan baik, misalnya
20
kedua orang tuanya sering bertengkar, bercerai atau broken home ini dapatmenyebabkan individu memiliki pandangan negatif tentang rumah dan hubungan keluarganya. e. Hobi dan permainan Hobi dan permaianan sangat berhubungan, karena dari percobaan setiap
permainan
akan
muncul
pengembangan
hobi,
dengan
terkuasainya permainan itu, individu akan berusaha mengembangkan kemampuan dan percaya diri terhadap hobi dan permainannya. Individu yang memiliki hobi dan permainan yang dapat dikembangkan secara baik akan terarah dan adanya dukungan dari diri, keluarga dan lingkungan
dekatnya,
individu
akan
termotivasi
untuk
mengembangkannya dan tentunya individu itu akan dipandang lingkungan sekitarnya. f. Sekolah dan pekerjaan sekolah Sekolah merupakan tempat belajar individu dalam tahap pencarian ilmu. Dalam sekolah ada tugas-tugas yang diberikan individu. Individu yang mengerjakan tugasnya sebelum batas waktu pengumpulan, disinilah terlihat bagaimana kemampuan dan sikap individu terhadap sekolah
apakah
ia
merasa
mampu
dan
berprestasi
didalam
mengerjakan tugas-tugas sekolah. Seorang individu yang selalu mendapat nilai tidak bagus ini akan mempengaruhi cara belajarnya atau pandangan individu bahwa dirinya seorang yang cenderung gagal atau bodoh.
21
g. Kecerdasan Kecerdasan berkaitan dengan status intelektual yang dimiliki individu. Kecerdasan ini ada yang tinggi dan ada yang rendah, dari kecerdasan ini cara berfikir atau daya tangkap individu berbeda, sehingga pandangan dirinya sendiri tentunya juga berbeda-beda, misalnya anak yang memiliki kecerdasan yang baik atau tinggi akan dipuji oleh guru, orang tua dan temannya yang kemudian individu itu akan percaya diri saat mengerjakan tugas atau mengikuti tes.
h. Bakat dan minat Bakat dan minat yang dimiliki individu itu berbeda-beda walaupun individu itu kembar sekalipun. Seseorang yang memiliki bakat dan minat yang terlatih atau disalurkan akan mengakibatkan individu itu mempunyai keingingan untuk maju dan berkembang dan biasanya timbul perasaan percaya diri bahwa dirinya memiliki suatu kelebihan berbeda dengan individu yang bakat dan minatnya yang tidak jelas atau asal-asalan, sehingga ini dapat menyebabkan individu putus asa atau tidak percaya diri. i. Ciri kepribadian Ciri kepribadian seseorang ini berhubungan dengan tempramen, karakter dan tendensi emosional dan lain sebagainya. Ciri kepribadian ini akan mempengaruhi individu dalam bertindak atau dalam berfikir, misalnya seseorang individu yang selalu mengatur, dalam
22
segi
kegiatan individu itu akan selalu mengatur atau berpandangan kalau dia berhak mengaturnya. j. Sikap dan hubungan sosial Sikap dan hubungan sosial yang dilakukan oleh individu akan berpengaruh terhadap orang-orang yang berada disekitarnya, pergaulan dengan teman sebaya. Seorang individu yang ekstrovertcenderung akan senang dengan keadaan ramai dan akan mudah dalam mencari teman atau memulai pembicaraan, hal ini dapat membuat individu itu semakin
bertambah
wawasan,
informasi,
pengalaman
dan
pengetahuan. Sedangkan pada individu yang introvert akan cenderung menutup diri, dan berusaha menjauh dari teman-temannya dengan berpikiran dirinya mempunyai banyak kelemahan. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap dan hubungan sosial ini akan mempengaruhi individu dalam memandang dirinya sendiri, misalnya anak introvert memandang lingkungan yang ditempati saat ini membosankan dan menyakitkan bagi dirinya sendiri. k. Religius Manusia hidup tidak dapat terlepas dari hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, karena tanpa bantuan dan Karunianya, kita tidak bisa hidup. Seseorang yang memiliki segi religius positif akan menjalankan perintahnya dan meninggalkan larangannya, untuk itu religius yang positif ini akan mempengaruhi cara berpikir dan bertingkah laku atau bertindak yang mengarah kepada penilaian diri yang percaya diri dan
23
positif. Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa isi konsep diri meliputi penampilan, kepribadian, kecerdasan, kesehatan dan kondisi fisik, keluarga, hubungan sosial, penyesuaian dengan orang-orang disekitar dan lawan jenis, bakat dan minat serta hobi. Konsep diri seseorang terbentuk secara tidak sengaja dan tidak disadari secara langsung oleh seseorang. Karena proses terbentuknya konsep diri pada seseorang memerlukan waktu yang cukup lama dan dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman hidup seseorang. Konsep diri seseorang terbentuk dari komponen yang ada dan berbeda. Oleh karena itu dalam penyusunan skala Konsep Diri, Piers Harris mengambil beberapa kelompok item-item yang berasal dari koleksi Jersild (Burn, 1993:139) mengenai pernyataan-pernyataan anak-anak. Beberapa aspek yang diambil dari Jersild dalam skala Konsep Diri PiersHarris antara lain fisik, penampilan, kesehatan dan kondisi fisik, rumah dan hubungan keluarga, sekolah dan pekerjaan sekolah, kecerdasan, bakat dan minat, ciri kepribadian, sikap dan hubungan sosial. Skala Konsep Diri Piers Harris merupakan skala yang bercangkupan luas yang meliputi penampakan fisik, tingkah laku sosial, status akademis, depresiasi, ketidakpuasan dan perasaan puas terhadap diri, dengan pernyataan yang seimbang dibagi diantara bentuk-bentuk yang positif dan negatif dan diantara refleksi-refleksi konsep diri yang tinggi dan rendah. Piers-Harrisdalam (Burn, 1993) menyatakan konsep diri ke dalam 6 faktor berdasarkan Piers Harris Children’s Self-concept Scale(PHCSS) yaitu :
24
1. Penyesuaian Perilaku Meliputi : sifat, perilaku, persahabatan dalam suatu permainan atau olahraga, ciri kepribadian, persepsi terhadap diri 2. Kecerdasan (Intellectual) Meliputi : ide dan gagasan, keterampilan, bakat, kemampuan, prestasi, sikap terhadap sekolah 3. Penampilan Fisik Meliputi : ciri fisik, sikap terhadap diri 4. Tidak cemas (freedom from anxiety) Meliputi : Sikap terhadap diri, teman, keluarga, sekolah 5. Popularitas Meliputi : Posisi dalam lingkungan pergaulan, keinginan dan harapan 6. Kegembiraan dan kepuasan (happiness and satisfaction) Meliputi : perasaan terhadap diri, nasibnya dan kepribadiannya. Ke enam komponen diri merupakan hasil klarifikasi melalui analisis statistik memakai rumus analisis faktor terhadap 80 item pada alat pengukuran konsep diri yang disusun oleh Piers-Harris Children’s self Concept Scale.
25
2.3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri Menurut Jersild (Burn, 1993) faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah : a. Peran orang tua Ketika masih kecil, orang tua penting bagi seorang anak adalah orang tua dan saudara-saudaranya yang tinggal serumah. Merekalah yang pertama-tama menanggapi perilaku anak, sehingga secara perlahanlahan terbentuklah konsep diri anak. Segala sanjungan, senyuman, pujian dan penghargaan akan menyebabkan penilaian positif terhadap diri sendiri. b. Peranan faktor sosial Konsep diri terbentuk karena adanya interaksi seseorang dengan orang-orang disekitarnya. Apa yang dipersepsikan seseorang tentang dirinya, tidak terlepas dari struktur, peran dan status sosial merupakan gejala yang duhasilkan dari adanya interaksi antara individu yang satu dengan individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. c. Belajar Konsep diri merupakan produk belajar. Proses belajar ini terjadi setiap hari dan umumnya tidak disadari oleh individu. Belajar disini bisa diartikan sebagai perubahan psikologis yang relatif permanen yang terjadi sebagai konsekuensi dari pengalaman.
26
2.4. Penelitian Yang Relevan Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dahlani (2006) mengenai keberhasilan konseling kelompok dalam membantu seseorang yang minder. Diperoleh hasil yang menunjukkan hasil f=25,670, dengan p= 0,000 yang berarti bahwa ada perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan (mean) antar antar kelompok diketahui bahwa rata-rata kelompok kontrol sebesar 2,2425 sedangkan kelompok perlakuan sebesar 2,5888, kelompok perlakuan memiliki selisih lebih besar 0,3463. Berdasarkan hasil analisis tersebut berarti perlakuan layanan diberikan dengan konseling kelompok dengan pendekatan Client Centered memiliki keberhasilan. Sedangkan Tutik Lestari (2009) mengatakan ada penurunan rasa rendah diri yang signifikasikan pada individu yang diberikan layanan konseling kelompok dengan pendekatan dengan teknik teknik Client Centered. Dengan hasil mean pre test 143,0000 dengan standar deviasi 1,41421. Sedangkan mean pada post test 100,0000 dengan standar deviasi 1,41421 dengan nilai t hitung 21,500 dan p=0,030 (p<0,50). Jadi dengan dilaksanakan konseling kelompok dengan teknik Client Centered, hal ini dapat membantu para siswa mengatasi rasa rendah diri.
27
2.5. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: “Ada Penurunan yang signifikan konsep diri melalui layanan konseling kelompok dengan pendekatan Client Centered pada siswa kelas X Otomotif 2 SMK Muhammadiyah Salatiga Tahun Pelajaran 2013/2014.
28