BAB II LANDAS AN TEORI
II.1 Organisasi II.1.1 Pengertian Organisasi Gibson, Donnely , Ivancevich,
dan
Konop aske (2006) menulis, ”An
organization is a coordinated unit consisting o f at least two people who function to achieve a common goal or set of goals” (p. 5). Daft (2007) menyatakan, ”Organizations are (1) social entities that (2) are goal-directed, (3) are designed as deliberately structured and coordinated activity systems, and (4) are linked to the external environment” (p .10).
II.2 Perilaku Organisasi II.2.1 Pengertian Perilaku Organisasi Robbins y ang diterjemahk an o leh B eny amin.M (2006) mendefin isikan, ”Perilaku organisasi dap at diartikan sebagai bid an g studi y ang memp elajari dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada p erilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan p engetahuan tentang hal-hal tersebut demi perbaikan ef ektivitas organisasi. Perilaku or gaisasi mencakup top ik-top ik inti dari motivasi, p erilaku dan kekuasaan pemimpin, komunik asi ieterpersonal, struktur dan proses kelomp ok, pembelajar an, pengemban gan sikap dan persep si, p roses p erubahan, konflik, desain pekerjaan, dan stress p ekerjaan” (h. 10).
7
II.2.2 Perilaku dalam Organisasi M engacu pada pendapat Gibson, et al (2006) perilaku organisasi dipisahkan menjadi dua variabel, yaitu: • Individu Perilaku individual merupakan fondasi perilaku organisasi, yang terbagi atas karakteristik individu yang membentuk perilaku individu, motivasi individu yang mampu menggerakan individu untuk maju atau berhenti, dan penghargaan dan pengakuan yang dapat memancing karyawan untuk memberikan yang terbaik. • Grup dan pengaruh interpersonal Perilaku grup dan pengaruh interpersonal dapat berdampak sangat kuat terhadap perilaku organisasi. Terdiri dari perilaku grup yang terbentuk dari penerapan managerial dan dorongan dari masing-masing individu, perilaku intergrup dan konflik yang disebabkan oleh keanekaragaman karakter individu yang berkompetisi dan bekerja sama, kekuatan dan politik yang memiliki kekuatan yang dapat membuat seseorang melakukan sesuai dengan yang diinginkan, dan kepemimpinan yang dapat menggiring individu atau kelompok.
II.3 Nilai, Sikap dan Kepuasan Kerja II.3.1 Nilai Gibson, et al (2006) menulis, ” Values are the conscious, affective desires or wants of people that guide their behavior. An individual’s personal values guide behavior on and off the job. If a person’s set of values is important, it will guide the person and also promote consistent behavior across situations. Values are society’s ideas about what is right or wrong. Values are passed from one generation to the next and are 8
communicated through education systems, religion, families, communities, and organization. A society’s values have an impact on organizational values because of the interactive nature of work, leisure, family and community” (p. 32).
II.3.2 S ikap Robbins dan Coulter yang diterjemahkan oleh Hermaya (2002) mendefinisikan, ”Sikap adalah pernyataan-pernyataan atau penilaian evaluatif berkaitan dengan obyek, orang, atau peristiwa. Sikap tidak sama dengan nilai, namun keduanya saling berhubungan. Perilaku organisasi memfokuskan pada tiga sikap: kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan komitmen pada organisasi” (h. 94).
II.3.3 Kepuasan Kerja Robbins yang diterjemahkan oleh Benyamin.M (2006) mendefinisikan, ”Kepuasan kerja adalah sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan adalah suasana pekerjaan, pengawasan, tingkat upah saat ini, peluang promosi, dan hubungan dengan mitra kerja. Kepuasan kerja juga cenderung dikaitakan dengan produktivitas karyawan, keabsenan, pengunduran diri dan perilaku karyawan. Ketidakpuasan karyawan dapat diungkapkan dalam sejumlah cara. M isalnya, daripada mengundurkan diri, karyawan dapat mengeluh, menjadi tidak patuh, mencuri properti organisasi, atau menghindari sebagian tanggung jawab mereka” (h. 108).
9
II.4 Etika Bisnis II.4.1 S udut Pandang Etika Daft (2007) menyatakan, ”Ethics is the code of moral principles and values that governs the behaviors of a person of group with respect to what is right or wrong. Ethical values set standards as to what is good or bad in conduct and decision making. Ethics are personal and unique to each individual, altough in any given group, organization, or society there many areas of concensus about what constitutes ethical principal” (p. 252).
II.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etika Robbins, et al yang diterjemahkan oleh Hermaya (2002) menyatakan, ”...seseorang dapat bertindak etis atau tidak etis merupakan hasil suatu interaksi kompleks antara tingkat perkembangan moral manajer itu dengan beberapa variabel yang membuatnya moderat termasuk sifat-sifat individu, desain struktural organisasi tersebut, budaya organisasi itu, dan intensitas masalah etis tersebut, seperti yang tampak pada gambar 2.1.” (h. 152). Ciri-ciri Individu
Dilema Etis
Tahap Perkembangan M oral
Intensitas M asalah
M oderator
Variabelvariabel Struktural
Perilaku Etis/ Tidak Etis
Budaya Organisasi
Gambar 2.1 Sumber: Robbins dan Coulter (2002) 10
Sedangkan Daft (2007) menyatakan, ”...All these factor which can effect ethics: • Personal Ethics Every individual brings a set personal beliefs and values into the workplace. Personal values and the moral reasoning that translates these values into berhavior are an important aspect of ethical decision making in organizations... • Organizational Culture ...Bussiness practices also reflect the values, attitudes, and behavior patterns of an organizational culture... • Organizational Systems ...This includes the basic architecture of the organization, such as whether ethical values are incorporated in policies and rules; whether an explicit code of ethics is available and issued to members; whether organizational rewads, including praise, attention, and promotion, are linked to ethical behavior; and whether ethics is a consideration in the selection and training of employees. These formal efforts can reinforce ethical values that exist in the informal culture... • External Stakeholders Managerial ethics are also influenced by variety of external stakeholders, groups outside the organization that have a stake in the organization’s performance. Ethical decision making recognizes that the organization is part larger community and considers the impact of decision action on all stakeholders...” (pp. 256-258).
11
II.4.3 Perbaikan Perilaku Etis Robbins, et al yang diterjemahkan oleh Hermaya (2002) menyatakan, ”…Puncak pimpinan dapat ikut ambil andil dalam mengurangi dan atau memperbaiki prerilakuperilaku tidak etis di organisasi mereka dengan cara; •
Seleksi, mengingat bahwa individu-individu berada pada tahap-tahap perkembangan moral yang berbeda-beda dan memiliki berbagai macam kepribadian dan sistemsitem nilai pribadi yang berlainan, proses pemilihan karyawan sebuah organisasi melalui wawancara, tes, dan peneliatian latar belakang dapat digunakan untuk menghilangkan pelamar-pelamar yang etikanya tidak dikehendaki...
•
Kode etik dan peraturan-peraturan mengambil keputusan,...sebuah kode etik adalah dokumen resmi yang menyatakan nilai-nilai utama sebuah organisasi dan peraturanperaturan etis yang diharapkan akan diikuti oleh karyawan-karyawan...
•
Kepemimpinan manajemen puncak, kode etik harus didukung dengan keterlibatan dari manajer-manajer puncak. Karena manjer puncak lah yang menentukan irama budaya dan menjadi contoh peran dalam baik perkataan maupun tidakan...
•
Tujuan tugas,...tujuan yang tegas dapat menciptakan masalah-masalah etis jika tujuan tersebut menimbulkan tuntutan-tuntutan yang tidak realistis terhadap karyawan...
•
Pelatihan etika,...dengan mengajarkan pemecahan masalah etis dapat membuat suatu perbedaan nyata dalam perilaku-perilaku etis, bahwa pelatihan telah meningkatkan tahap
perkembangan
moral individu-individu,
dan
pelatihan
etika
dapat
meningkatkan kesadaran akan masalah-masalah etis dalam bisnis...
12
•
Penilaian kinerja komprehensif,...penilaian kinerja tidak hanya difokuskan pada hasil ekonomi saja, karena walau hasil ekonomi yang tercapai bagus dapat pula ditemukan sejumlah perilaku tidak etis yang telah dilakukan untuk mencapainya...” (h. 158162).
II.5 Bu daya Perusahaan II.5.1 Hakikat Budaya Ghea dan Wulandari(2005) mendefinisikan, ”Budaya organisasi dapat dirumuskan juga sebagai nilai dan kebiasaan kerja seluruh anggotanya yang dibakukan serta diterima sebagai standar perilaku kerja dalam rangka pencapaian sasaran dan hasil yang telah direncanakan terlebih dahulu...hakikat dari budaya itu mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada didalamnya” (h. 317). M oeljono (2006) menulis, ”...budaya perusahaan adalah sistem nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan” (h. 67). Daft (2007) mendefinisikan, ”Organizational culture is the set of values, norms, guiding beliefs, and understanding that is shared by members of an organizations. Everyone participates in culture, but culture generally goes unnoticed. Its only when organizations try to implement new strategies or programs that go against basic cultural norms and calues that they come face with power of culture” (p. 239).
13
II.5.2 Fungsi Budaya Daft (2007) menyatakan, ”Cultures serves two critical function in organizations: (1) to integrate members so that they know how to relate to one another, and (2) to help the organization adapt to the external environment. Internal integration means that members develop a collective identity and know how to work together effectively. It is culture that guides day to day working relationships and determines how people communicate within the orgainzation, what behavior is acceptable, and how power and status are allocated. External adaptation refers to how the organization meets goals and dels with outsiders. Culture helps guide the daily activities of workers to meet certain goals. It can help the organization respond rapidly to customer needs or the moves of competitor” (p. 240). Robbins yang diterjemahkan oleh Benyamin.M (2006) menyatakan, ”...Budaya menjalankan sejumlah fungsi dalam organisasi. Pertama, budaya mempunyai peran menetapkan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain. Kedua, budaya memberikan
rasa
identitas
ke
anggota-anggota
organisasi.
Ketiga,
budaya
mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang. Keempat, budaya itu meningkatkan kemantapan sosial yang memberikan standar-standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Kelima, budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan...” (h. 725-726).
14
II.5.3 Tipe-tipe Budaya Daft (2007) menulis, ”...Four categories of culture associated with these differences, as illustrated in gambar 2.2... Here we will focus on two specific dimensions: (1) the extent to which the competitive environment requires flexibility or stability; and (2) the extent to which the organization’s strategic focus and strength are internal or external...
NEEDS OF ENVIRONM ENT
FOCUS
STRATEGIC
Flexibility
External
Internal
Stability
Adaptability
M ision
Culture
Culture
Clan
Bureaucratic
Culture
Culture
Gambar 2.2 Sumber: Daft (2007)
• The adaptability culture is characteristized by strategic focus on the external environment through flexibility and change to meet customer needs. The culture encourages entrepreneurial values, norms, and beliefs that support the capacity of the organization to detect, interpret, and translate signals from the environment into new behavior responses...
15
• The mission culture is characterized by emphasis on clear vision of the organization’s purpose and on the achievement of the goals, such as sales growth, profitability, or market share, to help achieve the purpose... • The clan culture has a primary focus on the involvement and participation of the organization’s members and on rapidly changing expectations from the external environment. This culture needs employees as the route to high performance. Involvement and participation create a sense of responsibility and ownership and, hence, greater commitment to the organization... • The bureaucratic culture has an internal focus and consistency orientation for a stable environment. Symbols, heroes, and ceremonies supports cooperation, tradition, and following established policies and practices as ways to achieve goals...” (pp. 245-248).
II.5.4 Proses Pembentukan Budaya Robbins yang diterjemahkan oleh Benyamin.M (2006) menyatakan, “Proses penciptaan budaya terjadi dalam tiga cara. Pertama, para pendiri hanya memperkerjakan dan mempertaruhkan karyawan yang berpikir dan merasakan cara yang mereka tempuh. Kedua, mereka mengindoktrinasikan dan mensosialisasikan para karyawan ini dengan cara berpikir dan perasaan mereka. Ketiga, perilaku pendiri itu sendiri yang bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan mengidentifikasikan diri dengan mereka dan oleh karenanya menginternalisasikan keyakinan, nilai, dan asumsi-asumsi mereka” (h.729).
16
Untuk mendapatkan gambaran mengenai proses pembentukan budaya yang dinyatakan oleh Robbins, dapat dilihat gambar 2.3 berikut ini.
M anajemen puncak Filsafat dari pendiri organisasi
Kriteria seleksi
Budaya Organisasi Sosialisasi
Gambar 2.3 Sumber: Robbins (2006)
Sedangkan menurut Gibson, et al (2006) menulis, ” ...to imposing a culture is dificult. Imposing a culture is often met with resistance. It is difficult to simply create core values. Also, when disparity exists between reality and stated set of values, employees become confused, irritated, and skeptical. They also usually lack enthusiasm and respect when a false image portrayed. Creating a culture apparently just doesn’t happen because a group of intelligent, well-intentioned managers meets and prepares a document...” (p. 35). Untuk mendapatkan gambaran mengenai penjelasan Gibson, et al mengenai proses pembentukan budaya, dapat dilihat gambar 2.4 berikut ini.
17
M ethods
Intervening Conditions
• Elaborate on history • Communications about and by “heroes: and others
• Leadership and role modeling • Communicating norms and values
• Reward systems • Career management and job security • Recruiting and staffing • Socialization of new staff members • Training and development • M ember contact • Participative decision making • Intergroup coordination • Personal exchange
Outcome
Develop a H
senses of history
Create a sense of oneness
O
Cohesive Organizational Culture
Promote a sense of membership
M
Increase exchange among members
E
Gambar 2.4 Sumber: Gibson, Donnely, Ivancevich, dan Konopaske (2006)
II.5.5 Pentingnya Budaya Organisasi Hasil
penelitian
Schein
seperti
yang
dikutip
oleh
M oeljono
(2006)
menyatakan, ”...budaya korporat yang kuat akan dikaitkan dengan unjuk kerja perusahaan jangka panjang...Perspektif ini mengatakan bahwa budaya yang kuat menyebabkan kinerja yang kuat, tetapi sebaliknya, ternyata terjadi juga, kinerja yang kuat dapat membantu menciptakan budaya yang kuat...” (h. 53-54).
18
Robbins yang diterjemahkan oleh Benyamin.M (2006) menyatakan, “Budaya organisasi sangat penting karena mencerminkan ciri dari organisasi dan menjadi sandaran prilaku kewargaan organisasinya. M aka dari itu organisasi membutuhkan budaya yang kuat agar para anggotanya dapat menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka pada nilai-nilai itu tanpa merasa terdoktrinasi. Dengan budaya organisasi yang kuat dapat bertindak sebagai pengganti atas formalisasi. M akin kuat budaya organisasi makin kurang perlu manajemen memperhatikan penyusunan aturan dan pengaturan formal untuk memandu karyawan. Panduan tersebut akan diinternalkan ke dalam diri para karyawan jika mereka menerima budaya organisasi tersebut” (h. 724). Daft (2007) menyatakan, ”...Culture can play an important role in creating an organizational climate that enables learning and innovative response to challanges, competitive threats, or new oppurtunities. A strong culture that encourages adaptation and change enhances organizational performance by energizing and motivating employees, unifying people around shared goals and a higher mission, and shaping and guiding employee behavior so that everyobe’s actions are aligned with strategic priorities. Thus, creating and influencing an adaptive culture is one of the most important jobs for organizational leaders. The right culture can drive high performance...” (pp. 249-250).
II.5.6 Menjaga Kelangsungan Hidup Budaya Daft (2007) menyatakan, ”...Top leaders are responsible for creating and sustaining a culture that emphasizes the importance of ethical behavior for all employees everyday...The following sections examine how managers signal and
19
implement values through leadership as well as through the formal systems of the organization... • Values-based Leadership …is a relationship between a leader and followers that based on shared, strongly internalized values that are advocated and acted upon by the leader. Leaders influence cultural and ethical values by clearly articulating a vision for organizational values that employees can believe in, communicating the vision throughout the organization, and institutionalizing the vision through everyday behavior, rituals, ceremonies, and symbols, as well as through organizational system and policies… • Formal Structure and Systems …These systems have been especially effective in recent years for influencing managerial ethics: Structure. Managers can assign responsibility for ethical values to specific position. One example is an ethics committee, which is cross-functional group of executives who oversee company ethics. By appointing top-level executives to serve on the committee, the organization signals the importance of ethics… Disclosure Mechanisms. A confidential hotline is also an important mechanism for employees to voice concerns about ethical practices. Organizations can establish policies and procedure to support and protect whistle-blowers… Code of Ethics. A code of ethics is a formal statement of the company’s values concerning ethics and social responsibility; it clarifies to employees what the company stands for and its expectation for employee conduct…
20
Training Programs. To ensure that ethical issues are considered in daily decision making, companies can supplement a written code of ethics with employee training programs…” (pp. 259-262). Sedangkan
M oeljono
(2006)
menyatakan,
”...Untuk
mempercepat
dan
mempertahankan proses implementasi budaya ada lima hal yang dijadikan agenda: Konsistensi Disiplin Diperkuat oleh sistem
GCC
Dirawat Diwariskan Gambar 2.5 Sumber: M oeljono (2006) Dengan penjelasan: •
Konsistensi, bahwa dari tingkat puncak sampai ke bawah harus konsisten menjalankan nilai budaya...
•
Disiplin, tidak ada kata ”nanti” untuk melaksanakan nilai budaya...
•
Dirawat, nilai budaya perlu dipelihara agar nilai-nilainya dapat diteruskan...
•
Diwariskan, budaya perlu diwariskan dari generasi ke generasi...
•
Diperkuat oleh sistem, budaya perusahaan harus menjadi jiwa dari sistem perusahaan...” (h. 70-71).
21
II.5.7 Menciptakan Budaya yang Etis Robbins yang diterjemahkan oleh Benyamin.M (2006) menyatakan, “Budaya organisasi yang paling mungkin membentuk standar etis tinggi adalah budaya yang tinggi dalam mentolelir resiko, rendah sampai sedang dalam keagresifan, dan berfokus pada sarana dan juga hasil. Budaya organisasi yang kuat dan mendukung standar etis yang tinggi harus memiliki pengaruh yang sangat kuat dan positif terhadap perilaku karyawan. Untuk menciptakan budaya yang lebih etis, sebaiknya mengusung praktikpraktik berikut: pertama, jadilah model yang kelihatan bagi seluruh anggota, kedua, komunikasikan harapan etis agar dapat diikuti oleh anggota, ketiga, berikanlah pelatihan etis untuk mendorong standar perilaku etis, keempat, berikanlah imbalan secara terangterangan terhadap tindakan etis dan berikan hukuman terhadap tindakan yang yang tidak etis, kelima, sediakanlah mekanisme yang bersifat melindungi dalam membahas dilema etis” (h. 740).
II.5.8 Mengintepretasikan Budaya Daft (2007) menulis, ”...To dechiper what is really going on in an organization requires detective work and probably some experience as an insider. Some of the typical and important observable aspects of culture are: • Rites and Ceremonies. ...These are special occasions that reinforce specific values, create a bond among people for sharing an important understanding, and anoint and celebrate heroes and heroines who symbolize important beliefs and activities. Four types of rites are (1) rites of passage which facilitate the transition of employees into new social rules, (2) rites of enhancement which create stronger social identities and increase the status 22
employees, (3) rites renewal which reflecting training and development activities that improve organization finction, and (4) rites of integration which create common bonds and good feelings among employees and increase commitment to the organization... • Stories Stories are narratives based on true events that are frequently shared among organizational employees and told to new employees to inform them about an organization. Stories keep alive the primary values of the organization and provide a shared understanding among employees... • Symbols ...In one sense, ceremonies, stories, slogans, and rites are all symbols. They symbolize deeper values of organization... • Language Many companies use a specific saying, slogan, metaphor, or other form of language to convey special meaning to employees. Slogans can be readly picked up and repeated by employees as well as customers of the company. ...The slogans, symbols, and ceremonies just described are artifacts underlying company values. These visible artifacts and behaviors can be used by managers to shape company calues and to strengthen organizational culture...” (pp.241-244).
23
II.6 Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) II.6.1 Latar Belakang Good Corporate Governance Surya dan Ystiavandana (2006) menyatakan, “Dalam menjalankan kegiatannya, suatu perseroan diwakili oleh direksi (agents) yang ditunjuk oleh para pemegang saham (principles). Dalam praktik timbul masalah (agency problems), karena ada kesenjangan kepentingan antara para pemegang saham sebagai pemilik perusahaan dengan pihak pengurus atau manajemen sebagai agen. Pemilik memiliki kepentingan agar dana yang telah diinvestasikannya memberikan pendapatan (return) yang maksimal. Sedangkan pihak manajemen memiliki kepentingan terhadap perolahan incentives atas pengelolaan dana pemilik perusahaan...Kondisi ini menyebabkan kurangnya keterbukaan dalam pengambilan keputusan oleh pengurus perusahaan. Akibatnya, outside investor atau pemegang saham minoritas tidak memiliki informasi tentang kondisi perusahaan yang sebenarnya...Karena hal tersebut, penerapan corporate governance menjadi sangat penting bagi perusahaan yang salah satu tujuannya adalah untuk menekan potensi konflik kepentingan...Suatu sistem corporate governance seharusnya mampu mengatur kewenangan
direksi,
yang
bertujuan
dapat
menahan
direksi
untuk
tidak
menyalahgunakan kewenangan tersebut dan untuk memastikan bahwa direksi bekerja semata-mata untuk kepentingan perusahaan...” (h. 2-7).
II.6.2 Pengertian Good Corporate Governance Pengamat bisnis Singapura, Lee Lam Thyee seperti yang dikutip oleh M oeljono (2006) menyatakan, “Good corporate governance is now the key word for organizations as they are expected to set high standards in meeting the demands of their shareholders. Director are therefore subjected to higher standars which cover not the technical 24
efficiency of operations, but also the implementation of an efficient management system through the use of “best practices” develop from high ethical values” (h. 26). M enurut The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) seperti yang dikutip oleh siswanto dan Aldrige (2006) mendefinisikan, “Good Corporate Governance adalah sebagai sebuah sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan usaha. Corporate governance mengatur pembagian tugas, hak dan kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap kehidupan perusahaan, termasuk para pemegang saham, Dewan Pengurus, para manajer, dan semua anggauta the stakeholders non-pemegang saham. Agar dengan itu perusahaan dapat menentukan sasaran usaha dan strategi pencapaiannya” (h. 2).
II.6.3 Pedoman Good Corporate Governance II.6.3.1 Pemegang S aham YPPM I (2002) menyatakan, ”Hak pemegang saham harus dilindungi, agar pemegang saham dapat melaksanakannya berdasarkan prosedur yang benar yang ditetapkan oleh perseroan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku... Setiap pemegang saham berhak memperoleh penjelasan lengkap dan informasi yang akurat mengenai prosedur yang harus dipenuhi berkenaan dengan penyelenggaraan RUPS agar pemegang saham dapat berpartisipasi delam pengambilan keputusan mengenai hal-hal yang mempengaruhi eksistensi Perseroan dan hak pemegang saham... Pemegang saham yang memiliki saham dengan klasifikasi yang sama kedudukan yang setara terhadap perseroan seseuai dengan azas equability... Pemegang saham mayoritas, manajemen perseroan, dan pemegang saham minoritas harus menyadari tanggung jawabnya dan tidak boleh menyalah gunakan hak 25
mereka...Campur tangan dalam manajemen yang melanggar hukum, harus ditanggulangi dengan meningkatkan keterbukaan dan akuntansibilitas manajemen... ...Gaji dan tunjangan anggota Dewan Komisaris atau Direksi yang ditetapan oleh RUPS tidak boleh digantungkan pada kinerja perseroan, yang demikian tanpa mengurangi hak RUPS untuk memutuskan pembayaran bonus kepada anggota Dewan Komisaris dan Direksi yang digantungkan pada kinerja Perseroan” (h. 4-7).
II.6.3.2 Dewan Komisaris YPPM I (2002) menyatakan, ”Dewan Komisaris bertanggung jawab dan berwenang mengawasi tindakan Direksi, dan memberikan nasehat kepada Direksi jika dipandang perlu oleh Dewan Komisaris...Dewan Komisaris dapat pula menggunakan jasa penasehat profesional yang mandiri dan atau membentuk komite khusus...Selain itu Dewan Komisaris harus memantau pula efektifitas good corporate governance yang diterapkan perusahaan dan bilamana perlu melakukan penyesuaian... ...Dewan Komisaris setidaknya 20% (dua puluh perseratus) dari anggota Dewan Komisaris harus berasal dari kalangan diluar perusahaan guna meningkatkan efektifitas atas peran pengawasannya, dan transparansi dari pertimbangannya. Anggota yang berasal dari kalangan luar itu harus bebas dari pengaruh Direksi dan Pemegang Saham Pengendali... Dewan Komisaris harus mematuhi dan memahami Anggaran Dasar Perseroan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengawasi Direksi juga mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku...
26
Rapat Dewan Komisaris harus diadakan secara berkala, yaitu pada prinsipnya sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan, tergantung sifat khusus Perseroan masingmasing... Dewan Komisaris berhak memperoleh akses atas informasi Perseroan secara tepat waktu dan lengkap. M aka Direksi bertanggung jawab untuk memastikan agar informasi mengenai Perseroan diberikan kepada Dewan Komisaris secara tepat waktu dan lengkap... Dalam Laporan Tahunan, Direksi harus secara tegas mencantumkan jika terdapat hubungan usaha antara anggota Dewan Komisaris dan atau Direksi dengan Perseroan dan penjelasan mengenai hubungan usaha tersebut. Anggota Dewan Komisaris dilarang mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan Perseroan selain gaji dan tunjangan yang diterimanya sebagai anggota Dewan Komisaris. Sistem
pengangkatan para eksekutif yang tidak menjabat sebagai Direksi,
penentuan gaji dan tunjangan para eksekutif tersebut dan penilaian kinerja mereka haruslah secara transparan... Dewan Komisaris harus mempertimbangkan untuk membentuk Komisaris yang anggotanya berasal dari anggota Dewan Komisaris, guna menunjang pelaksanaan tugas Dewan Komisaris...” (h. 7-10).
II.6.3.3 Direksi YPPM I (2002) menyatakan, ”Direksi bertugas mengelola Perseroan...Direksi dapat menggunakan jasa profesional yang mandiri sebagai penasehat...Direksi harus melaksanakan tugasnya dengan baik demi kepentingan Perseroan dan Direksi harus 27
memastikan
agar
Perseroan
melaksanakan
tanggung
jawab
sosialnya
serta
memperhatikan kepentingan dari berbagai Pihak Yang Berkepentingan (stakeholders). Direksi wajib senantiasa mengupayakan untuk dipatuhinya Pedoman ini. Komposisi Direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan putusan yang efektf, tepat dan cepat serta dapat bertindak secara independen dalam arti tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis...Paling sedikit 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah anggota Direksi harus berasal dari kalangan diluar Perseroan guna meningkatkan
efektifitas
atas
peran
manajemen,
dan
transparansi
dari
pertimbangannya... Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi harus mamtuhi dan memahami Anggaran Dasar Perseroan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu... Para anggota Direksi dilarang mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan Perseroan selain gaji, tunjangan dan kompensasi berbasis saham yang diterimanya sebagai anggota Direksi berdasarkan keputusan RUPS. Rapat Direksi harus diadakan secara berkala, yaitu sekurang-kurangnya sekali sebulan, tergantung dari sifat khusus perseroan. Direksi harus menetapkan tata tertib Rapat Direksi dan mencantumkannya dengan jelas dalam risalah Rapat Direksi dimana tata tertib tersebut ditetapkan...Risalah asli dari Rapat Direksi harus dijilid dalam kumpulan tahunan dan disimpan oleh Perseroan serta harus tersedia bila diminta oleh setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi. Direksi harus menetapkan suatu sistem pengawasan internal yang efektif untuk mengamankan investasi dan aset Perseroan. Direksi juga harus membuat suatu sistem pengendalian informasi internal... 28
Direksi wajib memberitahukan Komite Audit jika Direksi memerlukan pendapat kedua (second opinion) mengenai masalah akuntansi yang penting. Direksi wajib menyelenggarakan dan menyimpan Daftar Pemegang Saham dan Daftar Khusus sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku...Semua pencatatan dalam Daftar tersebut harus ditandatangani sesuai Anggaran Dasar” (h. 11-13).
II.6.3.4 S istem Audit YPPM I (2002) menyatakan, ”Eksternal auditor harus ditunjuk oleh RUPS dari calon yang diajukan oleh Dewan Komisaris berdasarkan usul Komite Audit. Komite Audit melalui Dewan Komisaris wajib menyampaikan kepada RUPS alasan pencalonan tersebut dan besarnya gaji dan tunjangan yang diusulkan untuk eksternal auditor tersebut. Eksternal auditor tersebut harus bebas dari pengaruh Dewan Komisaris, Direksi dan pihak yang berkepentingan di Perseroan (stakeholders)...Para eksternal auditor harus memberitahu Perseroan melalui Komite Audit mengenai kejaian dalam Perseroan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (bila ada). Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Audit yang beranggotakan satu atau lebih anggota Dewan Komisaris. Dewan Komisaris dapat meminta kalangan luar dengan berbagai keahlian, pengalaman dan kualitas lain yang dibutuhkan untuk duduk sebagai anggota Komite Audit guna mencapai tujuan Komite Audit...Penggantian anggota Komite Audit harus mendapat persetujuan lebih dari 50% (lima puluh per seratus) jumlah anggota Dewan Komisaris. Tugas dan tanggung jawab Komite Audit harus dirinci dalam peraturan tersendiri...Komite harus memiliki fasilitas dan kewenangan yang cukup untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
29
Dewan Komisaris dan Direksi harus memastikan bahwa eksternal auditor dan Komite Audit memiliki akses informasi mengenai Perseroan yang perlu untuk melaksanakan tugas audit mereka. Kecuali diisyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik eksternal auditor dan internal auditor maupun Komite Audit harus merahasiakan informasi yang diperoleh sewaktu melaksanakan tugasnya. RUPS harus menetapkan peraturan internal yang bersifat mengikat dan mengatur berbagai aspek audit termasuk kualifikasi, hak dan kewajiban, tanggung jawab dan kegiatan eksternal auditor dan internal auditor” (h. 14-15).
II.6.3.5 S ekretaris Perusahaan YPPM I (2002) menyatakan, ”...Sekretaris Perusahaan bertindak sebagai pejabat penghubung dan dapat ditugaskan oleh Direksi untuk menata usahakan serta menyimpan dokumen Perseroan, termasuk tetapi tidak terbatas pada, Daftar Pemegang Saham, Daftar Khusus Perseroan dan risalah rapat Direksi maupun RUPS. Sekretaris Perusahaan haus memiliki kualitas akademis yang memadai agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Fungsi Sekretaris Perusahaan dapat dijalankan oleh seorang anggota Direksi Perseroan. Sekretaris Perusahaan bertanggung jawab kepada Direksi Perseroan. Sekretaris Perusahaan harus memastikan bahwa Perseroan mematuhi peraturan tentang persyaratan keterbukaan yang berlaku. Sekretaris Perusahaan wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan tugasnya kepada Direksi secara berkala dan kepada Dewan Komisaris apabila diminta Dewan Komisaris...” (h. 15-16).
30
II.6.3.6 Pihak-pihak yang Berkepentingan (Stakeholders) YPPM I (2002) menyatakan, ”Hak Pihak Yang Berkepentingan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau kontrak yang pernah dibuat oleh Perseroan dengan karyawan, pelanggan, pemasok, dan kreditur, maupun masyarakat sekitar tempat usaha Perseroan, dan Pihak Yang Berkepentingan lainnya, harus dihormati Perseroan... Pihak Yang Berkepentingan diberi kesempatan untuk memenuhi pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh Direksi dan untuk menyampaikan masukan mengenai hal tersebut kepada Direksi...Perseroan akan bekerja sama dengan Pihak Yang Berkepentingan demi Kepentingan bersama...” (h. 16).
II.6.3.7 Keterbukaan YPPM I (2002) menyatakan, ”Perseroan wajib mengungkapkan informasi penting dalam Laporan Tahunan dan laporan Keuangan Perseroan kepada pemegang saham, dan instansi Pemerintah yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tepat waktu... ...Perseroan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan namun juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemodal, pemegang saham, kreditur, dan Pihak Yang Berkepentingan lainnya, antara lain mengenai: a) tujuan, sasaran usaha dan strategi Perseroan; b) status pemegang saham...serta informasi terkait mengenai pelaksanaan hak-hak pemegang saham; c) kepemilikan saham silang dan jaminan utang secara silang; 31
d) penilaian terhadap perseroan oleh eksternal auditor, lembaga pemeringkat kredit; e) riwayat hidup anggota dewan Komisaris dan Direksi dan eksekutif kunci Perseroan, serta gaji dan tunjangan mereka; f) sistem pemberian honorarium untuk eksternal auditor Perseroan; g) sistem penggajian dan pemberian tunjangan untuk internal auditor, anggota Dewan Komisaris, Direksi dan eksekutif kunci; h) faktor resiko material yang dapat diantisipasi, termasuk penilaian manajemen atas iklim berusaha dan faktor resiko; i) informasi material mengenai karyawan Perseroan dan Pihak Yang Berkepentingan...; j) klaim material yang diajukan oleh dan atau terhadap Perseroan, dan perkara yang ada di badan peradilan atau badan arbitrase yang melibatkan Perseroan; k) benturan kepentingan yang mungkin akan terjadi dan atau yang sedang berlangsung; l) pelaksanaan Pedoman Good Corporate Governance. Perseroan harus secara aktif mengungkapkan bagaimana perseroan telah menerapkan prinsip Good Corporate Governance yang dimuat dalam Pedoman dan adanya penyimpangan dari dan atau ketidak patuhan terhadap prinsip itu, termasuk alasannya... Perseroan harus memastikan bahwa semua informasi yang dapat mempengaruhi harga saham Perseroan dan atau suatu produk Perseroan dirahasiakan sampai pengumuman mengenai harga tersebut dilakukan kepada masyarakat...” (h. 16-18)
II.6.3.8 Kerahasiaan YPPM I (2002) menyatakan, ”Dewan Komisaris dan Direksi bertanggung jawab kepada perseroan untuk menjaga kerahasiaan informasi Perseroan” (h. 18). 32
II.6.3.9 Etika Berusaha dan Anti Korup YPPM I (2002) menyatakan, ”Anggota Dewan Komisaris, Direksi dan karyawan Perseroan dilarang memberikan atau menawarkan, baik secara langsung ataupun tidak langsung, sesuatu yang berharga kepada pelanggan atau seorang pejabat Pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai imbalan atas apa ang telah dilakukan dan tindakan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku...Perseroan wajib membuat suatu pedoman tentang perilaku etis yang pada dasarnya memuat nilai-nilai etika berusaha...” (h. 18-19).
II.6.3.10 Donasi YPPM I (2002) menyatakan, ”Dana, aset, atau keuntungan Perseroan yang terhimpun untuk kepentingan para pemegang saham Perseroan tidak patut digunakan untuk kepentingan donasi politik. Dalam batas kepatutan, donasi untuk tujuan amal dapat dibenarkan” (h. 19).
II.6.3.11 Kepatuhan kepada Peraturan Perundang-Undangan Tentang Proteksi Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Pelestarian Lingkungan YPPM I (2002) menyatakan, ”Direksi wajib memastikan bahwa Perseroan serta fasilitas Perseroan lainnya memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan pelestarian lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja. Direksi wajib memperhatikan pengembangan proses industri yang selalu dapat berubah dari waktu ke waktu, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan norma standar kehati-hatian yang wajar” (h. 19).
33
II.6.3.12 Kesempatan Kerja yang S ama YPPM I (2002) menyatakan, ”Direksi wajib menggunakan kemampuan bekerja, kualitas dan kriteria yang terkait dengan hubungan kerja sebagai dasar satu-satunya dalam mengambil keputusan mengenai hubungan kerja antara Perseroan dan karyawan. Direksi harus mempekerjakan, menetapkan besarnya gaji, memberikan pelatihan, menetapkan jenjang karir, serta menentukan persyaratan kerja lainnya.” (h. 19).
II.6.4 Aspek Good Corporate Governance II.6.4.1 Manfaat Good Corporate Governance Sutojo (2005) menyatakan, ”Good corporate governance berhasil mencegah praktek pengungkapan laporan keuangan perusahaan kepada pemegang saham, investor dan pihak lain yang berkepentingan secara tidak transparan. Selain itu Good Corporate Governance dapat membantu Direksi mengarahkan dan mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan sesuai dengan tujuan” (h. 8). Selain itu dalam YPPM I (2002) menyatakan bahwa, ”M anfaat dari pelaksanaan Good Corporate Governance adalah: a) meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders. b) mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah yang pada akhirnya dapat meningkatkan corporate value. c) mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
34
d) pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus meningkatkan shareholders value dan deviden. Khususnya bagi BUM N akan dapat membantu penerimaan bagi APBD terutama dari hasil privatisasi” (h. 22).
II.6.5.2 Peraturan dan Aspek Hukum YPPM I (2002) menyatakan, ”Aspek hukum yang mengatur tentang badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas (PT) tertuang dalam produk Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Bila dikaitakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance perundang-undangan yang mengatur Perseroan terbatas di Indonesia dikelompokkan kedalam: •
Pertama, ketentuan yang mengatur tentang hak dan kewenangan setiap pemegang saham perseroan, khususnya pemegang saham publik, minoritas atau independen agar dapat terlindung dan terjamin haknya untuk terlibat, mendapatkan dan menerima informasi, perkembangan, keputusan-keputusan serta rencana perseroan yang bersifat material dan strategis.
•
Kedua, kewenangan dan tanggung jawab Dewan Komisaris atau komisaris independen sehubungan dengan fungsinya yang mewakili pemegang saham, memeriksa, memutuskan dan mengambil tindakan yang manyangkut kepatuhan dan tanggung jawab hukum direksi atas setiap keputusan, informasi dan perilaku yang berhubungan dengan pengelolaan uang.
•
Ketiga, hak, kewajiban dan tanggung jawab dari direksi atau direktur independen untuk menjalankan setiap langkah, keputusan, penyampaian informasi keuangan dan
35
atau informasi material lainnya dengan landasan dan tata cara sesuai anggaran dasar perseroan terbatas, pasar modal dan di bursa efek” (h.23).
II.7 Hubungan Budaya Perusahaan dan Good Corporate Governance II.7.1 Bu daya Perusahaan sebagai Inti dari Good Corporate Governance M oeljono (2006) menyatakan, “…Budaya perusahaan menjadi inti dari empat konteks seperti yang tampak pada gambar 2.6, yaitu Good Corporate Governance, M anajemen, Corporate Social Responsibility, dan Etika Bisnis…
Profit & Performance
Management
Good Corporate Governance
Global New Imperative
Corporate Culture Public Imagery
Corporate Social Responsibility
Ethics
Institution’s acceptepness
Gambar 2.6 Sumber: M oeljono (2006) Pertama manajemennya unggul sehingga perusahaan dapat mengkreasikan kinerja yang tinggi dan laba usaha yang optimal. Kedua, proses manajemen yang unggul dijaga oleh praktik Good Corporate Governance yang terdiri dari lima aspek pokok, yakni transparansi, independensi, akuntabilitas, tanggung jawab, dan keadilan. Good Corporate Governance merupakan prasyarat kualitas pengelolaan korporasi yang diisyaratkan dalam persaingan global. Korporasi yang melaksanakan Good Corporate 36
Governance memperoleh akseptensi yang lebih tinggi. Ketiga, korporasi yang menjunjung tinggi tanggung jawab sosial akan memperoleh citra kelembagaan yang positif…Praktik ini sebenarnya digerakan oleh nilai perusahaan yang mengatakan bahwa tanggung jawab sosial bukanlah tugas, melainkan “bagian dari kehidupan korporasi”. Keempat, korporasi yang berbisnis dengan melandaskan diri pada etika adalah korporasi yang mempunyai akseptensi yang lebih tinggi, baik dalam lingkungan bisnis, sosial, maupun politik…” (h. 10-12). M enurut M oeljono (2006), “…Sementara good corporate culture merupakan sisi dalam atau sisi nilai dari pengelolaan korporasi, atau menjadi bagian hulu dari Good Corporate Governance dengan muatannya yang fokus pada basic values dari pengelolaan
korporasi yang kemudian
diturunkan
melalui sistem…Corporate
Governance memberikan perhatian pada bentuk fisik dan perilaku dari suatu perusahaan. Bentuk ini dapat dikembangkan melalui peningkatan kemampuan (skill) dan peningkatan pengetahuan (knowledge). Sementara itu, budaya perusahaan memberikan konsentrasi pada bentuk sikap. Bentuk sikap ini merupakan kepribadian dari individuindividu dalam perusahaan, sehingga kumpulan sikap dan interaksi kepribadian antar individu dalam perusahaan akan memunculkan karakter perusahaan…Oleh karena itu, sangat vital bagi suatu perusahaan untuk membangun budaya perusahaan didalam dirinya. Tanpa itu, perusahaan ibarat sebuah wadah tanpa nyawa…Perusahaanperusahaan yang besar, kuat, dan hidup beratus tahun sambil tetap menjadi idola dan pujaan adalah perusahaan-perusahaan yang kompeten yang menggerakkan seluruh bagian tubuhnya atas perintah dari dalam tubuhnya. Penggerak itu adalah budaya perusahaan…Sehingga dapat dikatakan bahwa Corporate Culture merupakan inti dari Good Corporate Governance” (h. 74-75). 37