BAB II LANDASAN TEORI
A. STUDENT ENGAGEMENT 1. Definisi Student Engagement Fredricks, dkk (2004) mendefinisikan student engagement melalui tiga dimensi, yaitu behavioral engagement (partisipasi, tidak adanya perilaku yang mengganggu dan perilaku yang negatif), emotional engagement (ketertarikan, kegembiraan, sense of belonging) dan cognitive engagement (seperti usaha siswa untuk menyelesaikan tugas dan strategi yang digunakan dalam belajar). Menurut National Survey on Student Engagement, student engagement adalah frekuensi siswa dalam berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan praktik pendidikan, dan memahami itu sebagai pola keterlibatan dalam berbagai kegiatan dan interaksi baik di dalam dan luar kelas selama karirnya di sekolah (dalam Barkley, 2010). Definisi lain juga dikemukakan oleh Chapman (2003) yaitu student engagement merupakan kemauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan rutin sekolah dengan indikator kognitif, perilaku, dan afektif dalam melaksanakan tugas-tugas belajar tertentu. Sedangkan menurut Natriello (1984) student engagement merupakan partisipasi siswa di dalam kegiatan yang ditawarkan oleh sekolah sebagai bagian dari program sekolah.
12 Universitas Sumatera Utara
13
Jadi berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa student engagement adalah frekuensi siswa untuk memiliki kemauan dalam kegiatan rutin maupun program sekolah baik di dalam dan di luar kelas dengan indikator perilaku, emosional dan kognitif selama karirnya di sekolah.
2. Dimensi Student Engagement Fredericks, Blumenfeld, & Paris, (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi pada student engagement, yaitu: a. Behavioral Engagement Behavioral engagement didefinisikan sebagai keterlibatan dalam tugas belajar dan akademik, termasuk perilaku-perilaku seperti usaha, ketekunan, konsentrasi, perhatian, meminta pertanyaan dan memberikan kontribusi untuk diskusi di dalam kelas. Siswa yang memiliki keterlibatan perilaku yang positif ditandai dengan mengikuti aturan dan norma-norma kelas, serta tidak adanya perilaku yang mengganggu seperti bolos sekolah dan membuat masalah. b. Emotional Engagement Emotional engagement adalah reaksi afektif siswa di dalam kelas, seperti ketertarikan, bosan, senang, sedih dan cemas. Keterlibatan emosional dapat dinilai dengan mengukur reaksi emosional terhadap sekolah dan guru. Keterlibatan emosi berfokus pada sejauh mana reaksi positif (dan negatif) siswa terhadap guru, teman dan akademik. Keterlibatan ini mencakup rasa
Universitas Sumatera Utara
14
memiliki dan menjadi bagian dari sekolah, serta menghargai atau mengapresiasi keberhasilan terhadap hasil akademik. c. Cognitive Engagement Cognitive engagement didefinisikan sebagai tingkat yang diinvestasikan siswa dalam pembelajaran; hal ini termasuk perhatian dan tujuannya dalam pendekatan untuk tugas sekolah dan bersedia untuk mengerahkan upaya yang diperlukan untuk memahami ide-ide yang kompleks dan menguasai keterampilan yang sulit. Keterlibatan kognitif terjadi ketika individu memliki strategi dan dapat mengatur dirinya sendiri (self-regulating). Siswa yang terlibat secara kognitif akan memiliki keinginan untuk terlibat dalam belajar dan memiliki keinginan untuk menguasai pengetahuan.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Student Engagement Menurut Fredericks, Blumenfeld, & Paris (2004) terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi student engagement, yaitu: a.
School-Level Karakteristik dari sekolah dapat menurunkan keterasingan siswa dan meningkatkan involvement, engagement dan integration siswa di sekolah. Hal ini meliputi tujuan yang jelas dan konsisten, ukuran sekolah yang kecil, kebijakan dan manajemen sekolah mengenai partisipasi siswa, staff dan siswa yang mungkin untuk terlibat bekerjasama dan proses akademik yang memperbolehkan siswa untuk berkembang. Sebagai contoh, ukuran sekolah akan mempengaruhi behavioral dan emotional engagement.
Universitas Sumatera Utara
15
Kemungkinan siswa untuk berpartisipasi dan mengembangkan hubungan sosial akan lebih baik pada sekolah yang kecil daripada yang besar. Siswa di sekolah yang kecil lebih ikut berpartisipasi pada ekstrakurikuler dan kegiatan sosial. Kemudian siswa yang merasa peraturan di sekolahnya kurang adil dalam mengimplementasikannya akan lebih sering tidak terlibat secara perilaku. b.
Classroom Context Classroom context tersusun oleh beberapa dimesi diantaranya dukungan guru, teman sebaya, struktur kelas, dukungan otonomi dan karakteristik tugas. i. Dukungan Guru Dukungan guru dapat berupa akademik maupun interpersonal. Kualitas hubungan guru dengan murid pada tahun awal sekolah telah diasosiasikan dengan behavioral engagement seperti tingkat partisipasi dan self-directedness. Guru lebih suka dengan murid yang secara akademis kompeten, bertanggung jawab, dan dapat menyesuaikan dengan peraturan sekolah daripada mereka yang mengganggu dan agresif. Kemudian keterlibatan guru secara positif diasosiasikan dengan keterlibatan siswa, sebaliknya keterlibatan siswa yang tinggi akan memunculkan kerlibatan guru yang besar. ii. Teman Sebaya Teman sebaya juga berpengaruh pada keterlibatan siswa. Penerimaan teman sebaya pada anak-anak maupun remaja berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
16
tingkat kepuasan di sekolah (yang mana hal ini adalah aspek dari emotional engagement), dan perilaku yang tidak tepat secara sosial dan upaya dalam akademis (yang mana hal ini adalah aspek dari behavioral engagement). Kemudian anak-anak yang ditolak ketika SD memiliki partisipasi kelas yang rendah, yang mana hal ini termasuk kedalam aspek behavioral engagement, dan rendahnya ketertarikan di sekolah (yang mana hal ini termasuk kedalam aspek dari emotional engagement). iii. Struktur Kelas Struktur mengacu pada kejelasan dari harapan guru untuk perilaku akademik dan sosial dan konsekuensi apabila mereka gagal memenuhi harapannya tersebut. Guru yang memiliki harapan yang jelas dan memberikan respon yang konsisten akan memiliki siswa yang secara perilaku akan lebih terlibat. Siswa yang yang mempersepsikan normanorma tersebut secara positif akan berhubungan dengan behavioral, emotional, dan cognitive engagement. iv. Dukungan Otonomi Kelas yang memiliki dukungan otonomi dikarakteristikkan dengan pilihan, berbagi keputusan, dan tidak adanya pengendalian eksternal seperti nilai atau hadian dan hukuman sebagai alasan untuk mengerjakan tugas sekolah atau berperilaku baik. Karena dengan mengendalikan lingkungan akan mengurangi ketertarikan, tantangan dan ketekunan.
Universitas Sumatera Utara
17
v. Karakteristik Tugas Instruksi yang otentik dan dukungan sosial pada keterlibatan di sekolah dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi menunjukkan bahwa persepsi siswa SD, SMP dan SMA terhadap instruksi tersebut menjadi prediktor yang kuat dalam keterlibatan siswa. Kemudian persepsi terhadap tugas yang menantang diasosiasikan dengan setiap behavioral, emotional dan cognitive engagement. c. Individual Needs Pada pandangan mengenai kebutuhan individu, kebutuhan dasar psikologis tersebut terdiri dari need for relatedness, need for autonomy, dan need for competency. i. Need for relatedness Siswa akan lebih terlibat ketika konteks kelas dikaitkan dengan need for relatedness, hal ini sering terjadi di ruang kelas dimana guru dan teman sebaya membuat lingkungan yang peduli dan mendukung. Siswa yang mempersepsikan relatedness tinggi, yang diukur dengan kualitas emosional mereka dalam menjalin hubungan, akan lebih terilbat dibandingkan dengan yang rendah. Kemudian persepsi relatedness siswa dengan guru, orang tua dan teman sebaya juga memiliki kontribusi pada emotional engagement siswa. ii. Need for autonomy Individu mempunyai kebutuhan untuk otonomi atau keinginan melalkukan sesuatu karena alasan personal, daripada melakukan sesuatu
Universitas Sumatera Utara
18
tetapi tindakan mereka dikendalikan oleh orang lain. Beberapa penelitian telah menguji hubungan antara keterlibatan dan kebutuhan untuk otonomi. Siswa yang terlibat dengan alasan otonomi (internal), seperti melakukan kegiatan yang diluar ketertarikannya atau hanya untuk kesenangan saja, memiliki hubungan yang positif dengan behavioral engagement (seperti tingkat partisipasi dan keterlibatan dalam bekerja) dan emotional engagement (seperti ketertarikan dan kesenangan) pada sekolah SD. iii. Need for Competence Kompetensi melibatkan kontrol, strategi dan kapasitas. Ketika seseorang butuh untuk berkompetensi, mereka percaya akan dapat menentukan kesuksesan mereka, dapat mengerti apa yang harus dilakukan dan percaya untuk mencapai sukses. Beberapa penelitian telah menguji hubungan antara persepsi terhadap kompetensi dengan keterlibatan. Persepsi terhadap kompetensi dan keyakinan untuk mengendalikan diri diasosiasikan dengan behavioral dan emotional engagement.
B. PERSEPSI IKLIM SEKOLAH 1. Persepsi a. Pengertian Persepsi Lahey (2007) mendefinisikan persepsi sebagai proses dalam mengorganisir dan menginterpretasi informasi yang diterima dari luar. Menurut
Universitas Sumatera Utara
19
Robbins
(1996)
persepsi
merupakan
suatu
proses
dimana
individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera untuk memberi makna kepada lingkungan. Sedangkan menurut Chaplin (1999) persepsi merupakan upaya mengamati dunia, mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan upaya mengamati dunia dengan memberi makna oleh indera individu dengan proses mengorganisir dan menginterpretas untuk mengenali dan mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian yang di dalamnya.
2. Iklim Sekolah a. Pengertian Iklim Sekolah Menurut National School Climate Council (2007) iklim sekolah merupakan pola pengalaman hidup orang-orang yang terlibat di sekolah yang mencerminkan norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, praktek pengajaran dan pembelajaran, dan struktur organisasi. Thapa dkk (2012) menambahkan bahwa iklim sekolah merupakan refleksi dari pengalaman siswa, personil sekolah dan orang tua dalam kehidupan sekolah secara sosial, emosional, etis dan akademis. Definisi lain juga dikemukakan oleh Freiberg (2005) yang menyatakan bahwa iklim sekolah sebagai persepsi orang-orang yang ada di sekolah mengenai kehidupan sekolah. Sedangkan definisi iklim sekolah. Menurut
Universitas Sumatera Utara
20
Gruenert (2008) yaitu interaksi antara orang dewasa dengan para siswa di sekolah dengan melibatkan faktor lingkungan seperti sarana dan prasarana gedung, serta rasa aman dan percaya. Jadi berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa iklim sekolah merupakan pola pengalaman orang-orang di sekolah sebagai interaksi antara orang dewasa dengan para siswa yang mencerminkan norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, praktek pengajaran dan pembelajaran, dan struktur organisasi di sekolah secara sosial, emosional, etis dan akademis.
b. Dimensi Iklim Sekolah Adapun dimensi iklim sekolah menurut Thapa dkk (2012), yaitu: i. Safety Merasa aman secara sosial, emosional, intelektual dan fisik adalah kebutuhan
dasar
manusia.
Merasa
aman
di
sekolah
dapat
membangkitkan pembelajaran siswa dan perkembangan yang sehat pada siswa. Siswa yang berada di sekolah tanpa norma, struktur, dan hubungan yang mendukung akan merasa sering mengalami kekerasan, menjadi korban oleh temannya dan terlibat pada kegiatan yang melanggar disiplin. Bahkan hal tersebut seringkali disertai dengan meningkatnya ketidakhadiran di sekolah dan prestasi akademik siswa akan cenderung menurun. Di dalam dimesi ini terdapat aturan dan norma yang berkaitan dengan keamanan di sekolah tersebut. Peraturan
Universitas Sumatera Utara
21
di sekolah dan persepsi yang adil mengenai peraturan tersebut berkaitan dalam menangani perilaku siswa. Sekolah yang aturannya dapat diterapkan secara efektif atau sekolah yang memiliki pengelolaan disiplin yang baik lebih memiliki tingkat kekerasan dan kenakalan yang rendah pada siswa. ii. Relationship Pola dari norma, tujuan, nilai-nilai dan interaksi di sekolah akan membentuk hubungan di sekolah yang memberikan kontribusi yang penting pada iklim sekolah. Hubungan di sekolah adalah bagaimana orang-orang di sekolah merasa terhubung dengan satu yang lainnya. Hubungan tidak hanya seperti memiliki suatu hubungan dengan orang lain melainkan dengan diri kita, seperti bagaimana kita merasa dan menjaga diri kita. Bila siswa mempersespsikan hubungan interpersonal yang positif maka siswa cenderung mau terlibat dan berperilaku yang sesuai aturan. iii. Teaching and Learning Sebagai aspek yang paling penting pada iklim sekolah, kepala sekolah dan guru sudah semestinya dapat berjuang untuk secara jelas dalam mendefinisikan norma-norma, tujuan dan nilai-nilai yang membentuk lingkungan pengajaran dan pembelajaran. Karena iklim sekolah yang positif adalah yang memberikan proses belajar mengajar yang suportif, partisipatif, saling menghargai, serta kompak.
Universitas Sumatera Utara
22
iv. Institutional Environment Pada dimensi ini dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu school connectedness dan keadaan fisik sekolah. School connectedness merupakan kepercayaan siswa bahwa orang dewasa dan teman sebaya di sekolahnya peduli dengannya mengenai pembelajaran dan pada dirnya sendiri. School connectedness menjadi prediktor yang kuat dalam hubungannya mengenai kesehatan remaja dan hasil akademik. Pada fisik sekolah, gedung sekolah yang kecil dapat meningkatkan iklim sekolah dan tata letak sekolah yang baik dapat berdampak pada rasa aman siswa. Penelitian pada siswa SMP menunjukkan bahwa ukuran sekolah yang kecil akan mengarah ke performa akademik yang lebih baik.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Iklim Sekolah Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi iklim sekolah menurut Noonan (2004), yaitu: i. Models Setiap guru memiliki lebih dari satu cara dalam mengajar. Hal tersebut tentu memiliki dampak yang besar pada siswa. Guru harus bertindak sebagai model yang baik, menawarkan keseimbangan pada alasan tertentu, memberikan kesepatan pada pilihan yang otentik, menunda harapan anak atau menolongnya. Siswa yang merasa diperhatikan dan
Universitas Sumatera Utara
23
dihargai akan lebih termotivasi untuk bekerja dan peduli dengan dirinya dan orang lain. ii. Consistency Para staff sekolah harus berhati-hati dalam memberikan pesan yang jelas dan konsisten kepada siswa dan keluarganya. Sekolah harus menentukan tujuan yang harus dicapai pada guru, yang hal tersebut tidak hanya efektif tetapi kualitas program yang paling diinginkan siswa. iii. Depth Misi sekolah, janji sekolah dan ritual sekolah merupakan komponen penting pada iklim sekolah. Terutama mengingat bahwa hal tersebut seringkali menjadi kesar pertama mereka saat mengunjungi sekolah. Untuk itu hal tersebut perlu didukung seperti struktur, buku-buku, mars, kurikulum dan kegiatan kelas yang merefleksikan sekolah tersebut. Apabila elemen penting ini tidak diterapkan secara mendalam maka hal tersebut akan menghilang begitu saja. iv. Democracy Kekuatan yang secara tradisional terstruktur seperti tingkat hirarki dari atas ke bawah dapaat menakutkan dan akan sulit untuk berubah. Tetapi kelas dan sekolah yang demokratis tidak perlu terjadi perubahan yang radikal. Pendidik harus tertantang pada dirinya sendiri untuk dapat membuat iklim yang demokratis di kelas dan sekolahnya. Karena para
Universitas Sumatera Utara
24
siswa dituntut untuk menjadi pemimpin yang professional, sehingga para siswa membutuhkan praktik dan bimbingan dari guru. v. Community Kebanyakan orang yang bekerja di sekolah akan mengatakan kepadamu bahwa sekolah tidak dapat membantumu terlalu banyak. Karena semakin sedikit komunitas sekolah yang licik, maka semakin positif iklim sekolahnya. Secara tradisional, sekolah menutup pintu satu harian sampai waktu pulang siswa. Bagaimanapun, anggota komunitas seperti tetangga, pembisnis dan terutama keluarga dapat memberikan kontribusi mereka pada kesuksesan sekolah. Bekerja sama dengan komunitas lain membuka kesempatan yang baik bagi para siswa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. vi. Engagement Banyak keterampilan yang melekat pada praktik pendidikan. Secara konsisten hal tersebut dapat mempengaruhi sekolah dan siswanya. Dengan diberikan kesempatan dalam mengidentifikasi masalah, siswa sebagai agents of change juga dapat mengambil bagian pada proses pendidikan baik di dalam dan luar sekolah. Pandangan ini adalah dengan melihat siswa bukan lagi sebagai sumber masalah melainkan pemecah masalah. Mengikutsertakan siswa dalam menyelesaikan masalah sama dengan mendorong siswa untuk dapat berperilaku bertanggung jawab.
Universitas Sumatera Utara
25
vii. Leadership Membuat dan memelihara iklim sekolah yang baik perlu melibatkan staff, keluarga, anggota komunitas dan siswa di sekolah. Hal itu memerlukan pemimpin yang baik yang didukung oleh staff dan keluarga. Pemimpin yang baik harus bersedia untuk mengambil resiko untuk merubah iklim dan melibatkan semua yang terlibat dalam segala proses perubahan tersebut.
3. Persepsi Iklim Sekolah Menurut Pintrich & Schunk (1996) persepsi terhadap iklim sekolah merupakan proses penggambaran informasi tentang perasaan pribadi setiap anggota sekolah mengenai pengalamannya terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam mencapai tujuan (goal orientation), meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan, prestasi belajar siswa serta kepuasan guru terhadap kemampuannya dalam mengajar. Menurut Jessor (1991) resiko yang muncul adalah ketika persepsi siswa pada sekolahnya menjadi negatif. Mereka yang tidak suka dengan sekolahnya akan lebih sering untuk gagal secara akademis dan resiko yang lebih besar lagi akan mempunyai perilaku tidak sehat, menunjukkan masalah psikosomatik dan menurunnya kualitas hidup. Persepsi siswa terhadap hubungan antar warga sekolah akan mempengaruhi keterlibatan siswa secara emosional. Persepsi siswa terhadap kemampuan warga sekolah mengatasi kegagalan akan mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
26
keterlibatan siswa secara kognitif. Sedangkan persepsi siswa terhadap kejelasan peraturan dan lingkungan sekolah mempengaruhi keterlibatan siswa secara behavior (Purwita, 2013). Persepsi siswa terhadap sekolahnya merupakan suatu hal yang subyektif, sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan sekolahnya bisa berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang positif dapat dipersepsi siswa secara negatif. Sehingga perbedaan persepsi ini akan mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013).
C. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Pendidikan multikultural merupakan sebuah pemikiran dimana semua siswa tanpa memperhatikan gender, kelas sosial, etnis, ras atau budaya yang berbeda harus mendapatkan peluang yang sama untuk belajar di sekolah (Banks, 2007). Gollnick & Chinn (2013) berpendapat bahwa pada pendidikan multikultural guru harus memperhatikan perbedaan yang ada pada siswa, mengenali beberapa siswa yang tidak mau belajar, menarik diri, dan menerapkan berbagai strategi yang tepat bagi setiap siswa dan guru harus mencoba berbagai cara untuk menolong siswa dalam belajar dan menghargai pembelajaran. Menurut Banks (2007), pendidikan multikultural mempunyai 5 dimensi, yaitu: 1. Penggabungan Konten Penggabungan konten diberikan dengan sejauh mana guru menggunakan contoh
dan
konten
dari
berbagai
budaya
dan
kelompok
untuk
Universitas Sumatera Utara
27
mengilustrasikan suatu konsep, prinsip-prinsip, penggeneralisasian dan teori dalam pelajaran tertentu. Pemberian konten mengenai etnis dan budaya ke dalam pelajaran tertentu harus logis, tidak dibuat-buat. 2. Proses Membangun Pengetahuan Proses membangun pengetahuan dihubungkan dengan sejauh mana guru membantu murid-murid agar memahami, menyelidiki dan menentukan bagaimana asumsi budaya, kerangka acuan, perspektif dan bias dalam mempengaruhi cara dimana pengetahuan itu dibangun (Banks, 1996). 3. Pengurangan Prasangka Penggunaan pengurangan prasangka dalam pelajaran dan aktivitas oleh guru akan membantu murid-murid
membentuk sikap yang positif terhadap
perbedaan ras, etnis dan kelompok budaya. 4. Kesetaraan Pengajaran Guru di masing-masing bidang harus menganalisis prosedur dan gaya mengajar mereka untuk menentukan sejauh mana mereka merefleksikan isuisu multikultural. Keseimbangan dalam mengajar akan tercapai jika guru memodifikasi cara mengajar mereka sehingga dapat memfasilitasi prestasi akademik bagi murid yang memiliki perbedaan ras, budaya, gender, dan kelompok kelas sosial tertentu. 5. Menguatkan Budaya Sekolah dan Struktur Sosialnya Budaya dan organisasi sekolah harus di uji oleh seluruh pegawai sekolah. Pengelompokkan ketidakseimbangan
dan
pemberian
dalam
prestasi,
label
pada
orang
ketidakseimbangan
tertentu,
dalam
hal
Universitas Sumatera Utara
28
penerimaan siswa berbakat dalam program pendidikan tertentu, dan interaksi antara staf sekolah terhadap siswa berlainan etnis dan ras merupakan variabel yang penting yang perlu dikaji dalam rangka menciptakan budaya sekolah yang dapat membebaskan siswa dari perbedaan kelompok ras dan etnis serta gender.
D. SMA SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN 1. Sejarah Sekolah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda didirikan pada tanggal 25 Agustus 1987 oleh dr. Sofyan Tan. Lokasi sekolah ini terletak di Jl. Tengku Amir Hamzah Pekan I, Gang Bakul, Medan Sunggal. Gedung Sekolah Sultan Iskandar Muda berdiri di atas tanah sawah yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi, dengan luas kurang lebih 1.500 m2. Tanah tersebut dibeli dari hasil penjualan perhiasan isterinya yang didapat dari hadiah pernikahan. Hampir selama kurang lebih 10 tahun setelah bangunan awal selesai dibangun, sekolah sempat terbelit utang di sebuah bank swasta. Pada beberapa tahun pertama, Sofyan Tan bahkan tidak sanggup mencicil bunga, apalagi membayar angsuran kreditnya. Kemudian Sofyan mendatangi sejumlah pengusaha dan pejabat negara yang dikenalnya, mencari dukungan agar sekolahnya yang menyekolahkan anak-anak miskin bisa bertahan. Ia juga membuat gerakan orangtua asuh untuk mengetuk dermawan agar memberi santunan biaya sekolah untuk siswa miskin di sekolahnya. Beberapa NGO Internasional yang sejalan dengan visi dan misi sekolahnya diajak kerjasama
Universitas Sumatera Utara
29
seperti Caritas Switzerland, Pan Eco Foundation dsb. Mereka memberikan bantuan untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur dan fasilitas di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda.
2. Visi dan Misi Visi yang dianut oleh Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda yaitu mendidik generasi muda Indonesia menjadi manusia yang religius, humanis dalam bingkai kesetaraan dan keberagaman. Sedangkan misi dari Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda yaitu: a.
Menyelenggarakan pendidikan mulai dari tingkat play group, TK, SD, SMP, SMA/SMK berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku dengan muatan khusus berbasis budaya, karakter, dan kewirausahaan
b.
Menyelenggarakan program anak asuh silang dan berantai, untuk memberdayakan generasi muda dari beragam suku yang secara ekonomi berkekurangan agar bisa melakukan mobilitas sosial
c.
Menyelenggarakan pendidikan ekstra kurikuler yang bertujuan untuk mempererat kerjasama, membangun kebersamaan, serta mengikis cara berpikir yang penuh muatan prasangka kesukuan dan kebencian rasial
d.
Menumbuhkan sikap saling menghormati dan menjaga toleransi antar umat beragama sesuai kepercayaan yang dianutnya.
Universitas Sumatera Utara
30
E. DINAMIKA PERSEPSI IKLIM SEKOLAH DENGAN STUDENT ENGAGEMENT Fredricks, dkk (2004) mendefinisikan student engagement melalui tiga dimensi, yaitu behavioral engagement (partisipasi, tidak adanya perilaku yang mengganggu dan perilaku yang negatif), emotional engagement (ketertarikan, kegembiraan, sense of belonging) dan cognitive engagement (seperti usaha siswa untuk menyelesaikan tugas dan strategi yang digunakan dalam belajar). Sedangkan menurut Chapman (2003) student engagement merupakan kemauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan rutin sekolah dengan indikator kognitif, perilaku, dan afektif dalam melaksanakan tugas-tugas belajar tertentu. Salah satu sekolah yang memiliki sistem pendidikan multikultural yaitu SMA Sultan Iskandar Muda Medan. Nilai-nilai multikultural di sekolah tersebut telah dijelaskan di dalam visi sekolah tersebut, yaitu mendidik generasi muda Indonesia menjadi manusia yang religius, humanis dalam bingkai kesetaraan dan keberagaman. Di dalam pendidikan multikultural, setiap anggota dari kelompok ras, etnis, dan budaya yang bermacam-macam di dalam lingkungan sekolah tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi. Sebagai sekolah dengan pendidikan multikultural, tentunya SMA Sultan Iskandar Muda memiliki siswa dengan berbagai etnis. Menurut Gay (2003), sekolah dengan berbagai perbedaan etnis di dalamnya seringkali membuat siswa untuk tidak senang dan tidak tertarik dengan sekolahnya. Sehingga sekolah dengan perbedaan etnis tersebut lebih mungkin siswanya untuk tidak tertarik dan tidak terlibat dalam proses pembelajaran.
Universitas Sumatera Utara
31
Menurut Fredricks, dkk (2004) terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi student engagement, salah satunya yaitu school-level. School-level merupakan hal-hal yang berkaitan dengan ukuran sekolah, peraturan yang diterapkan di sekolah dan lingkungan sekolah. Wang & Halcombe (2010) menjelaskan bahwa persepsi warga sekolah terhadap lingkungan sekolahnya dapat menjadi prediktor terhadap keterlibatan siswanya. Phinney (dalam Matsumoto, 2008) menyatakan bahwa individu dengan etnis atau ras yang berbeda akan menghasilkan perbedaan psikologis pada cognition, emotion, motivation dan health. Menurut Thapa, dkk (2012) perbedaan ras dan etnis di sekolah dapat menjadi prediktor penting di dalam menentukan persepsi iklim sekolah. Dengan demikian lingkungan sekolah tersebut dapat berkaitan dengan iklim sekolah mereka. Menurut National School Climate Council (2007) iklim sekolah merupakan pola pengalaman hidup orang-orang yang terlibat di sekolah yang mencerminkan norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, praktek pengajaran dan pembelajaran dan struktur organisasi di sekolah. Menurut Thapa dkk (2012) ada beberapa elemen yang membentuk iklim sekolah yaitu keamanan sekolah, hubungan interpersonal yang baik, proses belajar mengajar, serta lingkungan fisik sekolah. Keamanan sekolah meliputi secara fisik, verbal, dan emosional. Hubungan interpersonal yang meliputi setiap orang di sekolah menghormati dan menghargai satu sama lain, membangun hubungan yang akrab. Kemudian proses belajar dan mengajar yang efektif bagi siswa seperti proses belajar yang kondusif ataupun cara mengajar guru yang dapat dipahami.
Universitas Sumatera Utara
32
Selanjutnya, lingkungan fisik sekolah yang berupa lingkungan yang bersih, gedung sekolah yang layak serta fasilitas sekolah yang memadai yang dapat mempermudah aktivitas siswa. Iklim sekolah yang positif memiliki ciri-ciri di antaranya hubungan baik antar warga sekolah, kemampuan warga sekolah untuk mengatasi kegagalan, metode belajar yang menunjang pembelajaran siswa, kejelasan peraturan, dan kondisi lingkungan sekolah yang nyaman. Iklim sekolah juga memiliki hubungan yang kuat terhadap prestasi siswa, ketika siswa merasa senang berada di sekolah, maka besar kemungkinannya untuk siswa tersebut mengikuti kegiatan kegiatan di sekolah dengan baik. Sebaliknya, siswa akan cenderung menghindari sekolah ketika siswa mempersepsikan iklim sekolah sebagai iklim yang negatif. Iklim sekolah negatif meliputi rasa tidak aman di sekolah, merasa sekolah memberikan banyak tekanan bagi siswa serta menganggap sekolah bukan menjadi tempat untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Thapa dkk (2012) berpendapat bahwa di dalam iklim sekolah, ketika masyarakat sekolah saling menghargai dan saling berbagi dapat secara positif mempengaruhi keterlibatan siswanya. Penelitian yang dilakukan oleh Purwita (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara persepsi siswa terhadap iklim sekolah dengan keterlibatan siswa di sekolah. Maka dari itu, siswa yang mempersepsikan iklim sekolah dengan positif akan mempengaruhi student engagement mereka di sekolah meskipun siswa tersebut berada pada sekolah dengan pendidikan multikultural yang memiliki siswa dengan etnis yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
33
F. HIPOTESIS PENELITIAN Bedasarkan uraian di atas, maka peneliti membuat hipotesa bahwa terdapat pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap student engagement pada siswa SMA Sultan Iskandar Muda Medan.
Universitas Sumatera Utara