BAB II LANDASAN TEORI
A. Keterikatan Kerja 1. Definisi Keterikatan Kerja Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement
dinyatakan
Vazirani (2007) sebagai tingkat komitmen dan keterlibatan yang karyawan miliki terhadap organisasinya dan nilai-nilai yang ada di dalamnya yang terlihat dalam sikap positif karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Macey, Schneider, Barbera & Young (2009) mengatakan bahwa keterikatan kerja karyawan adalah suatu keadaan psikologis yang positif terkait pekerjaan yang dicirikan dengan suatu keinginan murni untuk berkontribusi bagi kesuksesan organisasi. Dalam keterikatan kerja terdapat hubungan emosional dan intelektual yang tinggi antara karyawan dengan pekerjaannya, organisasi, manajer dan rekan kerjanya, sehingga mempengaruhi karyawan untuk melakukan upaya lebih pada pekerjaannya. Bertambahnya energi, melakukan pekerjaan yang melebihi harapan, bentuk-bentuk perilaku adaptif atau inovatif untuk kesuksesan perusahaan merupakan indikasi perilaku keterikatan kerja. Menurut Schiemann (2009), keterikatan kerja menggambarkan seberapa jauh karyawan bersedia melampaui persyaratan minimal dari peran mereka untuk memberikan energi tambahan atau mengadvokasi (membela) organisasi mereka terhadap perusahaan lainnya sebagai tempat yang baik untuk bekerja atau berinvestasi. Karyawan yang terikat akan bekerja lebih giat dan bertahan di
13 Universitas Sumatera Utara
perusahaan lebih lama, memuaskan lebih banyak pelanggan dan memiliki pengaruh positif yang lebih kuat terhadap hasil perusahaan. Schaufeli & Bakker (2010) mendefinisikan keterikatan kerja sebagai “suatu keadaan pikiran yang positif terkait pekerjaan yang dicirikan dengan vigor, dedication dan absorption. Vigor dicirikan dengan energi tingkat tinggi dan fleksibilitas mental saat bekerja, keinginan untuk menginvestasikan upaya dalam pekerjaan, dan tetap teguh meski menghadapi berbagai kesulitan;
dedication
mengacu pada keterlibatan yang kuat pada pekerjaan dan mengalami rasa penting, antusias dan tertantang terhadap pekerjaan;
absorption dicirikan dengan
berkonsentrasi secara penuh dan merasa asyik dengan pekerjaannya, sehingga waktu terasa berlalu dengan cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan. Pendeknya, karyawan yang terikat memiliki level energi yang tinggi dan antusias dengan pekerjaan mereka. Kahn (1990) menguraikan karyawan yang terikat sebagai karyawan yang fisik, kognitif dan emosionalnya terhubung secara penuh dengan peran kerja mereka. Marciano (2010) mendefenisikan keterikatan kerja karyawan sebagai luasan dimana seseorang itu komit, berdedikasi dan loyal dengan organisasi, supervisor, pekerjaan dan koleganya. Hal ini ditunjukkan dengan gairah dan antusias terhadap pekerjaan, secara konsisten melebihi sasaran dan harapan, membawa gagasan baru dalam pekerjaan, berinisiatif, ingin tahu, mendorong dan mendukung anggota tim, optimis dan positif, gigih mengatasi hambatan dan tetap
14 Universitas Sumatera Utara
fokus pada tugas, berusaha secara aktif mengembangkan diri, orang lain dan bisnis serta komit dengan organisasi. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keterikatan kerja karyawan menggambarkan suatu keadaan psikologis yang positif terhadap pekerjaaan dan organisasi serta nilai-nilai yang ada di dalamnya yang menimbulkan kesediaan untuk melampaui persyaratan minimal pekerjaan dan direfleksikan dalam sikap positif kepada organisasi melalui kontribusi kinerja terbaiknya secara fisik, kognitif dan emosi untuk kesuksesan organisasi.
2. Kategori Keterikatan Kerja Gallup the Consulting Organization (Vazirani, 2007) menyebut karyawan yang terikat sebagai pembangun (builders). Mereka ingin tahu harapan yang diinginkan dalam peran mereka sehingga bisa sesuai dan bahkan melebihi harapan tersebut. Mereka secara alami ingin tahu tentang perusahaan mereka dan tempat mereka di dalamnya. Mereka bekerja secara konsisten pada level tinggi. Mereka ingin menggunakan talenta dan kekuatan mereka dalam bekerja setiap hari. Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh dan mereka mendorong inovasi serta menggerakkan organisasi mereka ke depan. Selanjutnya, karyawan yang tidak terikat cenderung berkonsentrasi pada tugas dibandingkan konsentrasi pada sasaran dan hasil yang diharapkan perusahaan untuk mereka capai. Mereka hanya melakukan apa yang disuruh dan melaporkan jika sudah selesai. Mereka fokus untuk mencapai tugas dibanding mencapai suatu hasil. Mereka cenderung merasa kontribusi mereka diabaikan dan
15 Universitas Sumatera Utara
potensi mereka tidak dipedulikan. Mereka kadangkala merasakan hal ini karena mereka tidak memiliki hubungan yang produktif dengan manajer mereka atau dengan mitra kerja mereka (Vazirani, 2007). Sedangkan karyawan yang tidak terikat secara aktif, secara konsisten melawan segala sesuatu secara nyata. Mereka tidak hanya tidak bahagia dalam bekerja, mereka juga sibuk menunjukkan ketidakbahagiaan mereka. Mereka menanam benih negativitas di setiap ada kesempatan. Setiap hari, para pekerja yang secara aktif tidak terikat, mengacaukan pencapaian rekan kerja mereka yang terikat. Dalam situasi dimana para pekerja bergantung satu sama lain untuk menghasilkan produk dan jasa, permasalahan dan tegangan yang dimunculkan oleh para pekerja yang secara aktif tidak terikat bisa menyebabkan kerusakan besar bagi fungsi organisasi.
3. Aspek-Aspek Keterikatan Kerja Berdasarkan definisi keterikatan kerja menurut Schaufeli & Bakker (2010), terdapat tiga aspek keterikatan, yaitu vigor, dedication dan absorption. Vigor ditunjukkan dengan tingkat energi yang tinggi dan fleksibilitas mental saat bekerja, kesediaan untuk menginvestasikan seluruh energi yang dimiliki untuk pekerjaan, dan tetap tekun meski menghadapi berbagai kesulitan.
Dedication
ditunjukkan dengan kesediaan untuk terlibat secara mendalam pada pekerjaan, merasa antusias dan bangga dengan pekerjaan, serta selalu merasa tertantang dengan pekerjaan. Absorption ditunjukkan dengan berkonsentrasi secara penuh
16 Universitas Sumatera Utara
dan merasa asyik dengan pekerjaannya, sehingga waktu terasa cepat berlalu dan merasa enggan untuk meninggalkan pekerjaan. Schiemann (2009) menguraikan tiga aspek pembentuk keterikatan kerja, yaitu : kepuasan, komitmen dan advokasi. Kepuasan merupakan perasaan positif terhadap perusahaan karena telah terpenuhinya hal-hal mendasar pada karyawan, yang membawa pada kehadiran karyawan secara psikologis dalam pekerjaannya. Komitmen
menggambarkan
keengganan
meninggalkan
perusahaan
dan
kebanggaan sebagai bagian dari perusahaan. Sedangkan advokasi menggambarkan kesediaan untuk mengerahkan upaya ekstra, bekerja melampaui harapan dan mendorong orang lain untuk mendukung produk atau jasa perusahaan. Advokasi menimbulkan semangat dan kekuatan (force) yang akan menjadi bahan bakar pada perilaku kerja yang lebih efektif. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam keterikatan kerja terdapat 3 aspek, yaitu energi yang tinggi dan ketekunan kerja yang disebut Schaufeli & Bakker (2010) sebagai vigor, kerelaan dan ketulusan mendedikasikan kemampuan terbaiknya untuk perusahaan yang disebut dedication serta merasa senang dalam menjalankan pekerjaan dan lebur dalam pekerjaan yang disebut absorption.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterikatan Kerja Berdasarkan model keterikatan kerja yang disebut JD-R (Job DemandsResources)
Model
yang dikembangkan oleh
Bakker & Demerouti (2008),
17 Universitas Sumatera Utara
terlihat bahwa keterikatan kerja dipengaruhi oleh job resources dan personal resources. Model ini menunjukkan bahwa job resources dan personal resources secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama meramalkan keterikatan kerja karyawan. Job resources dan personal resources memiliki dampak positif pada keterikatan kerja saat tuntutan kerja tinggi (Bakker & Demerouti (2008)). Job resources mengacu pada aspek-aspek lingkungan terkait pekerjaan, yaitu aspek fisik, sosial atau organisasional dari pekerjaan. Contoh job resource adalah : dukungan sosial dari kolega dan supervisor, coaching dari supervisor, feedback kinerja, beragamnya skill dan otonomi, dan lain-lain. Sedangkan personal resources mengacu pada keadaan psikologis individu, yaitu: optimism, self efficacy, resiliency dan self esteem (Bakker & Demerouti, 2008). Menurut
Schiemann
(2009),
banyak
faktor
yang mempengaruhi
keterikatan kerja karyawan. Jaminan pekerjaan, perlakuan yang adil, kompensasi yang mencukupi, perlakuan dengan penuh hormat dan bermartabat, faktor-faktor yang berhubungan dengan stres (seperti beban kerja yang berlebihan, target kinerja yang tidak realistis, konflik pekerjaan dan keluarga yang disebabkan adanya ketidakseimbangan), adanya timbal balik hak (konsekwensi positif perusahaan atas kinerja yang baik dari karyawan) yang tidak hanya mencakup upah atau benefit yang menarik, tetapi juga pengembangan keterampilan, budaya inovatif atau ketersediaan sumber daya tertentu yang memungkinkan karyawan untuk berkembang. Selanjutnya adalah pekerjaan yang menarik, dimana ada
18 Universitas Sumatera Utara
kesesuaian antara jenis pekerjaan dengan individu, adanya teman sejawat yang akrab dan pemimpin yang menginspirasi, dan lain-lain. Marciano (2010) mengatakan bahwa saat level penghargaan terhadap seseorang tumbuh, level keterikatan kerjanya juga tumbuh. Hal ini dikembangkan dari prinsip bahwa jika orang diperlakukan dengan berharga, mereka akan terikat dan bekerja lebih keras mencapai sasaran organisasi. Selanjutnya Marciano (2010) menguraikan tujuh faktor yang mendorong terjadinya keterikatan kerja karyawan yang dirangkumnya dalam 7 Drivers RESPECT Model, yaitu :
Recognition, Empowerment, Supportive feedback,
Partnering, Expectations, Consideration dan Trust.
Dengan recognition
(pengakuan), karyawan merasa kontribusi mereka diketahui dan diapresiasi, pemberian reward (hadiah) diberikan berdasarkan kinerja dan para atasan secara reguler mengakui anggota tim berhak mendapatkannya. Dalam empowerment (pemberdayaan), para atasan menyediakan peralatan kerja, sumber daya dan pelatihan yang dibutuhkan karyawan untuk sukses dalam pekerjaan, memberikan otonomi dan didorong untuk mengambil risiko. Supportive feedback (umpan balik yang mendukung) berarti para atasan memberikan feedback yang spesifik pada waktunya dalam suatu media yang mendukung, tulus dan konstruktif, bukan untuk membuat malu atau menghukum. Dalam partnering (kemitraan), karyawan diperlakukan sebagai mitra bisnis dan secara aktif berkolaborasi dalam pengambilan keputusan bisnis, menerima informasi keuangan, mendapatkan keleluasaan dalam pengambilan keputusan, atasan bertindak sebagai pendorong untuk pengembangan dan pertumbuhan karyawan. Expectations (harapan),
19 Universitas Sumatera Utara
dimana para atasan menjamin bahwa sasaran, tujuan dan prioritas bisnis secara jelas ditetapkan dan dikomunikasikan, karyawan mengetahui standard kinerja mereka yang dievaluasi dengan bertanggung jawab. Considerations dimana para atasan, manajer dan anggota tim menunjukkan rasa tenggang, kepedulian dan perhatian satu sama lain, para atasan secara aktif berusaha memahami pendapat dan perhatian karyawan dan memahami serta mendukung saat karyawan mengalami permasalahan pribadi. Trust (rasa percaya), dimana para atasan menunjukkan kepercayaan dan yakin dengan skill dan kemampuan karyawan, sebaliknya karyawan percaya bahwa atasan mereka akan bekerja dengan tepat melalui mereka, para atasan memenuhi janji dan komitmen mereka sehingga karyawan mempercayai para atasan. Xanthopoulou,
Bakker
&
Demerouti
(2008)
menyatakan
bahwa
keterikatan kerja ditentukan oleh faktor individual dan lingkungan. Faktor lingkungan terkait dengan aspek organisasi dan atau psikologis, sosial dan fisik pekerjaan, seperti : otonomi, dukungan sosial, coaching atasan, umpan balik kinerja dan peluang pengembangan keahlian. Sedangkan faktor individu mengacu pada evaluasi diri yang positif yang berkaitan dengan resiliency dan rasa mampu untuk mengendalikan dan mempengaruhi lingkungan mereka dengan sukses. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan secara umum bahwa keterikatan kerja dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal mengacu pada individu karyawan, sedangkan faktor eksternal mengacu pada aspek di luar diri individu, yaitu aspek fisik, sosial dan organisasional dari pekerjaan.
20 Universitas Sumatera Utara
B. Kualitas Kehidupan Kerja 1.
Definisi Kualitas Kehidupan Kerja Secara umum, kualitas kehidupan kerja yang juga disebut Quality of Work
Life berarti kesesuaian atau ketidaksesuaian lingkungan kerja bagi manusia. Kualitas kehidupan kerja mengacu pada kualitas hubungan antara karyawan dan lingkungan kerja keseluruhan (Reddy & Reddy, 2010). Menurut Ivancevich, Matteson & Konopaske (2006), kualitas kehidupan kerja adalah filosofi dan praktik manajemen yang meningkatkan harga diri karyawan, yang memperkenalkan perubahan dalam budaya organisasi, serta memperbaiki keadaan fisik dan emosional karyawan. Misalkan, menyediakan kesempatan bagi karyawan untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Cascio (1986), kualitas kehidupan kerja didefinisikan dalam dua cara pandang. Cara pertama menyetarakan kualitas kehidupan kerja dengan serangkaian kondisi dan praktek organisasi yang objektif (seperti kebijakan promosi dari dalam, supervisi yang demokratis, melibatkan karyawan, kondisi kerja yang aman). Cara kedua menyetarakan kualitas kehidupan kerja dengan persepsi karyawan terhadap keberadaan fisik dan mental dalam pekerjaan, bahwa mereka aman, terpuaskan dengan relatif baik, memiliki keseimbangan kehidupan kerja yang layak, dan mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia. Cara ini mengaitkan kualitas kehidupan kerja dengan tingkatan dimana kebutuhan manusia terpenuhi secara penuh. Mondy (1990) mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah luasan dimana karyawan memuaskan kebutuhan personal yang penting melalui
21 Universitas Sumatera Utara
pengalaman organisasi mereka. Tanggung jawab atas kualitas kehidupan kerja ini merupakan gabungan tanggung jawab manajemen, serikat pekerja dan anggota lainnya dalam organisasi. Davis, Levine & Taylor (1984) menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja didefinisikan sebagai aspek-aspek kerja dimana anggota-anggota organisasi melihatnya sebagai suatu yang diinginkan dan dapat meningkatkan mutu kehidupan dalam pekerjaan. Hal ini bisa berarti bahwa dua organisasi yang berbeda bisa mendefenisikan kualitas kehidupan kerja secara berbeda. Dalam organisasi yang samapun, persepsi tentang apa kualitas kehidupan kerja itu bisa berbeda dari grup yang satu dengan grup yang lain. Meski sifat dan kondisi kerja bervariasi, persepsi tentang kepuasan juga berbeda antara satu dengan yang lain, namun ada kesamaan yang penting yang memotong perbedaan-perbedaan ini. Lawler (1975; Davis et al, 1984) mendefinisikan kualitas kehidupan kerja dalam istilah tingkatan dimana lingkungan kerja organisasi memotivasi agar performance pekerjaan efektif. Kualitas kehidupan kerja yang tinggi setara dengan motivasi dan tingkat kepuasan karyawan yang tinggi. Oshagbemi (1999) menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah lingkungan kerja yang kondusif untuk membentuk sikap atau reaksi emosional positif terhadap lingkungan kerja. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah kualitas hubungan antara karyawan dengan lingkungan kerjanya secara keseluruhan yang tergambar melalui kepuasan atas pemenuhan kebutuhan personal mereka yang penting lewat pengalaman dalam lingkungan organisasi dan
22 Universitas Sumatera Utara
sumber daya organisasi yang relevan, sehingga hal ini mendorong karyawan di semua level untuk secara aktif berpartisipasi dalam peningkatan efektivitas organisasi sekaligus peningkatan mutu kehidupan kerja karyawan itu sendiri.
2.
Kriteria Kualitas Kehidupan Kerja Walton
(1973)
menyatakan
bahwa
terdapat
8
kriteria
yang
menggambarkan kualitas kehidupan kerja karyawan, yaitu : a.
Kompensasi yang adil dan mencukupi. Artinya kompensasi yang ditawarkan sesuai dengan standard minimal pribadi karyawan dan adil jika dibandingkan dengan karyawan lain.
b.
Lingkungan kerja yang selamat dan sehat. Kondisi kerja yang tidak sehat dan berbahaya menyebabkan permasalahan bagi karyawan dan pemberi kerja. Kondisi kerja yang sehat dan selamat mempengaruhi produktivitas kerja karyawan untuk jangka panjang. Karenanya, investasi yang memadai harus dibuat untuk menjamin kondisi kerja yang selamat dan menyehatkan. Menurut perundangan, fokus perhatian untuk peningkatan situasi kerja meliputi kebisingan, penerangan, space kerja, penghindaran kecelakaan, risiko kecelakaan yang rendah, penerapan jam kerja, dan batasan usia yang potensial bagi karyawan.
c.
Peluang penggunaan dan pengembangan kemampuan. Hal ini terkait dengaan bagaimana organisasi memberikan kesempatan bagi karyawannya untuk mengembangkan dan menggunakan kemampuan yang dimiliki dalam menyelesaikan pekerjaan.
23 Universitas Sumatera Utara
d.
Peluang untuk tumbuh dan keamanan kerja berkaitan dengan bagaimana organisasi menyediakan fasilitas yang dapat meningkatkan kemampuan karyawan dalam bekerja (seperti pelatihan dan seminar), kejelasan dalam karir serta rasa aman bahwa mereka dapat terus bekerja pada perusahaan
e.
Adanya integrasi sosial dalam organisasi. Hal ini terkait dengan hubungan yang terjalin antara karyawan dengan rekan kerja maupun perusahaan, dimana karyawan memiliki hubungan yang baik dan dapat bekerja sama dengan rekan kerja maupun atasan, serta memiliki keterikatan dengan perusahaan.
f.
Perlembagaan dalam organisasi terkait dengan hak-hak karyawan sebagai pekerja di dalam organisasi, ketersediaan lingkungan yang demokratis bagi karyawan, serta kebebasan dan kesamaan dalam segala hal.
g.
Keseimbangan antara pekerjaan dengan ruang kehidupan pekerja mencakup pengaruh pekerjaan terhadap peran-peran kehidupan pribadi. Pekerjaan, keluarga dan kehidupan pribadi diharapkan dapat tetap seimbang.
h.
Relevansi sosial kehidupan kerja mencakup tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar serta karyawan yang bekerja di perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari penilaian karyawan terhadap hal-hal yang sudah dilakukan perusahaan (seperti penyediaan produk dengan kualitas tinggi, hubungan dengan masyarakat sekitar, dan lain-lain), serta rasa bangga karyawan terhadap perusahaan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kriteria kualitas
kehidupan kerja meliputi gaji yang adil dan memadai; lingkungan kerja yang
24 Universitas Sumatera Utara
sehat, selamat dan aman; adanya peluang untuk tumbuh dan berkembang; peluang penggunaan dan pengembangan kemampuan; keseimbangan antara pekerjaan, kehidupan pribadi dan kehidupan keluarga; hubungan kerja yang baik; dan tanggung jawab sosial perusahaan yang membangun kebanggaan karyawan.
C. Modal Psikologis 1. Definisi Modal Psikologis Menurut Luthans, Youssef dan Avolio (2007), modal psikologis atau yang disebut psychological capital adalah kondisi perkembangan psikologi positif individu yang dicirikan dengan mempunyai
keyakinan (self efficacy) untuk
berusaha mencapai kesuksesan dalam menghadapi tugas yang menantang; membuat atribusi positif (optimism) tentang keberhasilan
saat ini dan masa
mendatang; ketekunan menuju sasaran, kemampuan mengarahkan diri mencapai tujuan (hope) menuju kesuksesan; dan ketika dilanda masalah dan kesulitan, tetap bertahan dan kembali ulet bahkan melampaui (resiliency) untuk meraih sukses. Kristiawan & Yunanto (2013) menguraikan lebih lanjut bahwa dalam kaitannya dengan keadaan di tempat kerja, self efficacy didefinisikan sebagai keyakinan dan kepercayaan individu tentang kemampuannya untuk menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif dan latihan tindakan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu. Self efficacy membantu individu dalam menghadapi hambatan dan coping terhadap stres. Optimism adalah orientasi mencapai tujuan ketika hasil yang diinginkan mempunyai nilai yang dianggap tinggi. Optimism sebagai suatu gaya atribusi yang menjelaskan tentang suatu
25 Universitas Sumatera Utara
keadaan positif dan negatif yang berkaitan dengan titik pandang seseorang secara umum. Orang yang optimis menganggap situasi negatif sebagai faktor eksternal, temporal, sebaliknya orang yang pesimis menganggap situasi negatif sebagai faktor internal, konstan dan umum. Hope adalah suatu keadaan motivasional termasuk di dalamnya keyakinan untuk dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Hope merupakan suatu kondisi motivasi positif yang didasarkan pada pencapaian tujuan. Hal ini melibatkan proses mengidentifikasi tujuan secara personal, mencari berbagai macam cara untuk mencapainya dan menyediakan sumber daya untuk mencapai tujuan. Resiliency didefenisikan sebagai suatu kemampuan psikologis untuk membalikkan keadaan dari konflik dan kegagalan. Berdasarkan
uraian
diatas
disimpulkan
bahwa
modal
psikologis
merupakan sumber daya psikologis positif dalam diri individu yang dapat membawa menuju kesuksesan.
2. Komponen Modal Psikologis Luthans, Youssef & Avolio (2007) mengatakan bahwa modal psikologis merupakan konstruk inti yang terdiri dari sumber daya psikologi positif, yaitu hope, optimism, self efficacy dan resiliency. Hope digambarkan Luthans et al (2007) sebagai suatu keadaan motivasional yang positif untuk mencapai kesuksesan yang merupakan hasil interaksi energi yang diarahkan ke sasaran (agency) dan rencana untuk mencapai sasaran (pathways). Yungsiana, Widyarini & Silviandari (2013) menguraikan bahwa individu yang memiliki harapan yang tinggi cenderung termotivasi dan
26 Universitas Sumatera Utara
lebih percaya diri dalam mengambil tugas, memiliki energi dan keinginan yang kuat serta determinasi yang tinggi untuk memenuhi harapannya, dan cenderung memiliki cara alternatif ketika hambatan muncul, sehingga menghasilkan kinerja yang lebih tinggi. Optimism digambarkan Luthans et al (2007) sebagai suatu ekspektasi positif ke depan yang terbuka terhadap pengembangan. Yungsiana et al (2013) menguraikan bahwa individu yang optimis memiliki harapan bahwa hal-hal baik akan terjadi pada dirinya, tidak mudah menyerah dan biasanya cenderung memiliki rencana tindakan dalam kondisi sesulit apapun. Mereka berusaha menggapai harapan dengan pemikiran yang positif, bekerja keras dalam menghadapi stres dan tantangan sehari-hari secara efektif, memiliki impian untuk mencapai tujuan, berjuang sekuat tenaga, tidak ingin duduk berdiam diri menanti keberhasilan yang akan diberikan oleh orang lain, ingin melakukan sendiri segala sesuatunya dan tidak ingin memikirkan ketidakberhasilan sebelum mencoba, dan berpikir yang terbaik. Self Efficacy digambarkan Luthans et al (2007) sebagai keyakinan seseorang tentang kemampuannya untuk menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif dan tindakan yang dibutuhkan agar sukses dalam melaksanakan suatu tugas spesifik. Yungsiana et al (2013) menguraikan individu yang memiliki self efficacy tinggi, yakin bahwa dirinya mampu menangani secara efektif peristiwa dan situasi yang dihadapi, tekun dalam menyelesaikan tugas, percaya pada kemampuan diri yang dimiliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman, suka mencari situasi baru, menetapkan sendiri tujuan yang menantang
27 Universitas Sumatera Utara
dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha yang kuat terhadap apa yang dilakukannya dan meningkatkan usaha pada saat menghadapi kegagalan, fokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan bahwa dirinya mampu mengontrolnya. Resiliency digambarkan Luthans et al (2007) sebagai kapasitas untuk mengatasi atau bangkit kembali dari kesulitan, konflik, kegagalan atau tanggung jawab yang meningkat. Yungsiana et al (2013) menguraikan individu yang memiliki resiliency yang tinggi biasanya cepat memulihkan rasa mampu setelah mengalami kegagalan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa modal psikologis memiliki empat komponen, yaitu : hope (kemampuan untuk mengarahkan diri mencapai tujuan dengan tekun), optimism (membuat atribusi positif tentang keberhasilan saat ini dan di masa yang akan datang), self efficacy (keyakinan untuk mencapai kesuksesan pada tugas-tugas yang menantang) dan resiliency (kemampuan untuk bertahan dan bangkit kembali dari kesulitan dan kegagalan).
D. Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja terhadap Keterikatan Kerja Kanten & Sadullah (2012) menemukan dalam penelitiannya bahwa kualitas kehidupan kerja membantu karyawan dalam mengelola kehidupan personal mereka yang pada akhirnya dapat meningkatkan keterikatan kerja karyawan. Karenanya, perusahaan perlu meningkatkan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan kerja.
28 Universitas Sumatera Utara
Mengacu pada teori kualitas kehidupan kerja Walton (1973), Kanten & Sadullah (2012) menemukan dalam penelitiannya bahwa masing-masing dimensi kualitas kehidupan kerja, kecuali dimensi work occupancy memiliki hubungan positif yang signifikan dengan keterikatan kerja. Work occupancy meliputi aspek pengaruh pekerjaan terhadap waktu luang, jadwal kerja dan waktu istirahat, serta pengaruh pekerjaan pada kehidupan keluarga.
Salah satu kesimpulan penelitian
adalah bahwa organisasi yang mampu memenuhi hak-hak karyawannya (constitutionalism), mampu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, adanya relevansi sosial, memberikan kompensasi yang adil dan mencukupi, menyediakan peluang penggunaan kemampuan, peluang penggunaan dan pengembangan kemampuan, peluang tumbuh dan keamanan kerja, dan adanya integrasi sosial, dapat meningkatkan keterikatan kerja karyawan. Mendukung penelitian Kanten & Sadullah (2012) diatas, Yipyintum (2012) dalam hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa karyawan yang merasa bahagia dengan kualitas kehidupan kerja yang baik, menunjukkan produktivitas dan kualitas kehidupan kerja yang lebih baik, sikap positif dan niat untuk lebih komit pada organisasi. Marciano (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa keterikatan kerja dapat timbul melalui perasaan respect (berharga). Respect (rasa berharga) ini diperoleh melalui organisasi, kepemimpinan, anggota tim, pekerjaan dan individu itu sendiri. Organisasi terkait dengan misi, visi, tata nilai, sasaran, kebijakan dan tindakan yang ditetapkan organisasi sehingga membuat karyawan bangga mengatakan bahwa dia bekerja untuk organisasi ini. Kepemimpinan berkaitan
29 Universitas Sumatera Utara
dengan pengawas (atasan) langsung karyawan yang dipercaya bahwa dia kompeten dan memiliki etika, mampu membuat keputusan yang baik dan memperlakukan orang-orang dengan adil. Anggota tim terkait dengan rasa percaya bahwa mereka kompeten, bekerjasama, jujur, mendukung dan berkeinginan untuk memenuhi beban kerja. Pekerjaan berkaitan dengan sifat pekerjaan yang menantang, mendapat reward menarik dan memiliki nilai bagi pelanggan internal dan eksternal. Individu terkait dengan perasaan dihargai oleh organisasi, atasan dan anggota tim.
Hasil penelitian Marciano (2010)
menunjukkan bahwa lingkungan kerja memiliki pengaruh kuat
terhadap
keterikatan kerja karyawan. Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa keterikatan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang dikenal dengan sebutan kualitas kehidupan kerja.
E. Pengaruh Modal Psikologis terhadap Keterikatan Kerja Terkait dengan modal psikologis, Hodges (2010) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa terdapat hubungan signifikan antara modal psikologis dengan keterikatan kerja karyawan. Self efficacy yang merupakan bagian dari modal psikologis, merupakan keyakinan diri untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan pencapaian yang ditetapkan. Keyakinan self efficacy telah dicatat sebagai suatu faktor yang berkontribusi bagi individu untuk mengerahkan lebih banyak usaha dan motivasi untuk menyelesaikan tugas-tugas, dan lebih siap bertahan dalam menghadapi kegagalan atau hambatan yang
30 Universitas Sumatera Utara
signifikan. Kapasitas modal psikologis berikutnya, Hope, yang merupakan keadaan motivasi yang di dalamnya terdapat agency (energi) dan pathways (cara) untuk mencapai tujuan. Tingginya kapasitas hope menimbulkan kemampuan untuk menghasilkan satu atau lebih cara yang mungkin untuk mencapai tujuan. Selanjutnya, kapasitas psikologi Optimism, berpikir tentang masa depan yang memunculkan energi untuk berjuang mengejar tujuan secara aktif. Kapasitas psikologi terakhir, Resilience, yang membawa kemampuan bagi karyawan untuk berhasil dalam menghadapi perubahan, kesulitan dan risiko, serta bangkit kembali dari keterpurukan dan kegagalan. psikologis mendukung kemunculan
Keempat kapasitas psikologi dalam modal perilaku keterikatan kerja, bersemangat,
berenergi dan antusias serta memberikan upaya lebih dalam melaksanakan pekerjaan untuk mencapai tujuan. Semakin tinggi modal psikologis, semakin tinggi harapan hal-hal baik terjadi dalam pekerjaan, semakin percaya mereka mampu menciptakan kesuksesan mereka sendiri, dan lebih mampu bangkit lagi dari kesulitan, jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki modal psikologis rendah. Sejalan dengan itu, Herbert (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa sub dimensi modal psikologis tertentu (seperti optimism dan self efficacy) dapat memprediksi varians dalam vigor dan dedication secara kuat. Terlihat bahwa level modal psikologis yang semakin tinggi, khususnya optimism dan self efficacy, bisa meningkatkan keseluruhan keterikatan kerja seorang individu dalam pekerjaannya yang bisa berdampak pada hasil positif bagi individu, juga organisasi. Orang-orang yang memiliki harapan positif dan tetap yakin pada masa
31 Universitas Sumatera Utara
depan, meski menghadapi hambatan serius, mereka percaya bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif atau tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan suatu tugas khusus. Hal itu menyebabkan terikatnya individu dalam pekerjaannya. Xanthopoulou et al (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keterikatan kerja dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor individual. Faktor individu mengacu pada evaluasi diri yang positif yang berkaitan dengan resiliency dan rasa mampu untuk mengendalikan dan mempengaruhi lingkungan mereka dengan sukses. Faktor individual ini disebut dengan personal resource yang terdiri dari self efficacy, self esteem dan optimism. Konsep personal resource ini paralel dengan konsep modal psikologis yang dikembangkan oleh Luthans et al (2007) yang terdiri dari empat sumber daya, yaitu optimism, efficacy, resiliency dan hope. Avey, Wensing & Luthans (2008) menemukan bahwa karyawan dengan level tinggi pada modal psikologis mengalami emosi yang lebih positif, yang terkait dengan keterikatan kerja mereka. Seorang karyawan yang penuh harapan (sebagai suatu elemen modal psikologis) bisa menciptakan suatu visi karir yang dia inginkan dalam hidupnya atau suatu kegigihan yang membuatnya fleksibel dan bertahan pada semua tantangan dan tekanan yang dihadapi dalam pekerjaan. Avey, Reichard, Luthans & Mhatre (2011)
dalam penelitiannya
menyatakan bahwa modal psikologis berhubungan dengan komitmen terhadap organisasi. Mereka yang memiliki modal psikologis yang tinggi, lebih komit terhadap organisasi. Mereka juga cenderung melekat dan antusias dengan
32 Universitas Sumatera Utara
pekerjaannya (engagement). Riset juga menemukan bahwa modal psikologis berhubungan negatif dengan sikap karyawan yang tidak diinginkan, berlawanan dengan menyerah dan putus asa. Mereka dengan modal psikologis yang tinggi cenderung kurang memiliki niat mengundurkan diri. Level optimisme yang lebih tinggi terhadap masa depan dan keyakinan dengan kemampuan diri untuk sukses dalam pekerjaan mereka saat ini akan memotivasi mereka untuk bertanggung jawab atas pekerjaan mereka, menjalani dan menghadapi tantangan dengan usaha keras, melakukan upaya dan sumber daya yang diperlukan, dan gigih dalam menghadapi rintangan. Semakin tinggi modal psikologis, semakin tinggi harapan bahwa hal-hal baik terjadi dalam pekerjaan (optimism), semakin yakin mereka mampu menciptakan kesuksesan mereka sendiri (efficacy & hope) dan lebih sanggup untuk bangkit lagi (resilience). Berdasarkan uraian hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa keterikatan kerja dipengaruhi oleh modal psikologis.
F.
Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis terhadap Keterikatan Kerja Bakker & Demerouti (2008) menyatakan hasil penelitiannya bahwa job
resouces dan personal resources memprediksi keterikatan kerja karyawan. Job resource menyangkut aspek lingkungan karyawan yang meliputi aspek fisik, aspek sosial dan aspek organisasional. Contoh : dukungan sosial dari kolega dan atasan, feedback kinerja, hubungan dengan kelompok, peluang pengembangan, keberagaman skill, otonomi, apresiasi, iklim organisasi, peluang belajar, dan lain-
33 Universitas Sumatera Utara
lainl. Sedangkan personal resources menyangkut aspek individual karyawan itu sendiri yang meliputi aspek self efficacy, resilience dan self esteem. Keberagaman skill, dukungan sosial dari kolega dan supervisor, feedback kinerja dan otonomi yang merupakan bagian dari job resource, memulai suatu proses motivasional yang membawa kepada keterikatan kerja individu (Bakker & Demerouti, 2008). Resilience, self efficacy dan optimism yang merupakan bagian dari personal resources individu menjelaskan kesadaran individu atas kemampuan mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan kemampuan untuk mengendalikan lingkungan dengan sukses sehingga berdampak pada keberhasilan. Semua ini memberikan kontribusi dalam keterikatan kerja karyawan (Bakker & Demerouti, 2008). Bakker & Demerouti (2008) menyatakan bahwa job resources dan personal resources secara sendiri-sendiri atau bersama-sama meramalkan keterikatan kerja karyawan. Dampak positif terhadap keterikatan kerja ini akan lebih kuat saat tuntutan kerja tinggi, misal : beban kerja, tuntutan emosional, tuntutan mental yang tinggi. Marciano (2010) menyatakan bahwa karyawan yang sangat terikat akan bertindak seperti pemilik bisnis kecil. Mereka melakukan apa yang harus dikerjakan meski di luar kewajibannya. Mereka cepat masuk kerja, pulang lambat dan membawa pekerjaan pulang jika dibutuhkan. Jika ada masalah, mereka tangani sesuai jadwal. Mereka mengkhawatirkan hal-hal kecil. Mereka memikirkan gagasan yang meningkatkan bisnis dan memuaskan pelanggan.
34 Universitas Sumatera Utara
Pendek kata, mereka melakukan apapun yang mereka lakukan untuk kesuksesan organisasi. Marciano (2010) selanjutnya menyatakan bahwa faktor individu dan non individu dapat mempengaruhi karyawan untuk merasa terikat atau tidak terikat. Faktor individu penyebab tidak terikatnya karyawan adalah merasa tidak dihargai, harapan yang tidak realistis, apatis, tidak optimis. Harapan dan optimisme menurut Luthan (2007) merupakan bagian dari modal psikologis. Adapun faktor non individu mencakup aspek lingkungan pekerjaan yang terdiri dari : organisasi, kepemimpinan, anggota tim dan pekerjaan. Bagaimana kejelasan misi organisasi, visi, tata nilai, sasaran dan kebijakan membuat karyawan bangga menyatakan bahwa dia bangga bekerja untuk organisasi ini. Bagaimana para atasan memperlakukan bawahan dengan adil, adanya saling dukung dan kerjasama antar anggota tim, pekerjaan yang menantang & menarik, adanya reward, kesemua itu pada akhirnya membuat karyawan merasa terikat dengan organisasinya. Berdasarkan uraian diatas dan mengacu pada uraian definisi kualitas kehidupan kerja sebagai faktor lingkungan dan modal psikologis sebagai faktor individual karyawan, dapat disimpulkan bahwa kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis secara bersama-sama dapat mempengaruhi keterikatan kerja karyawan.
35 Universitas Sumatera Utara
G. Skema Hubungan Antar Variabel Keterikatan kerja karyawan yang tinggi ditunjukkan dengan kinerja terbaik mereka. Karyawan yang terikat bercirikan memiliki energi tingkat tinggi, fleksibilitas mental, keinginan memberikan kinerja terbaik, tetap teguh meski menghadapi berbagai kesulitan (vigor); terlibat dengan pekerjaan, antusias dan tertantang pada pekerjaan (dedication); berkonsentrasi penuh dan merasa asyik dengan pekerjaannya (absorption). Keterikatan kerja merupakan suatu keadaan yang dapat dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Perusahaan dapat memaksimalkan keterikatan kerja karyawan melalui pemenuhan kebutuhan personal mereka dalam kehidupan kerja yang terliput dalam kualitas kehidupan kerja. Disamping itu, karyawan juga perlu memiliki modal psikologis yang di dalamnya terdapat optimism (ekspektasi positif ke depan), hope (ketekunan mencapai sasaran), efficacy (keyakinan pada kemampuan untuk menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif dan tindakan yang dibutuhkan agar sukses melaksanakan tugas), dan resiliency (kapasitas untuk mengatasi atau bangkit kembali dari kesulitan, konflik, kegagalan atau tanggung jawab yang meningkat). Skema hubungan antar variabel kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis terhadap keterikatan kerja karyawan dapat dilihat dalam gambar di bawah ini :
36 Universitas Sumatera Utara
-
Kualitas Kehidupan Kerja Adequate & fair compensation Safe & healthy environment Development of human capacities Growth & security Social integration Constitutionalism The Total Life Space Social relevance
Modal Psikologis - Hope - Efficacy - Resiliency - Optimism
Keterikatan Kerja - Vigor - Dedication - Absorption
Gambar 1. Skema Hubungan Antar Variabel
H. Hipotesis Penelitian Berdasarkan pemaparan yang diuraikan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis berpengaruh positif dan signifikan terhadap keterikatan kerja karyawan.
37 Universitas Sumatera Utara