BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
II.1
Earnings Management (Manajemen Laba)
II.1.1 Definisi Earnings Management (manajemen Laba) Adanya perbedaan kepentingan antara pemegang saham dengan agen, perbedaan ini terjadi karena kemakmuran manajer sangat kecil dibandingkan dengan perubahan kemakmuran pemegang saham, sehingga manajer cenderung untuk mencari keuntungan sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Kecenderungan tersebut membuat praktek manajemen laba sering dilakukan oleh manajemen. Menurut Belkaoui (2006:74) manajemen laba yaitu suatu kemampuan untuk "memanipulasi" pilihan-pilihan yang tersedia dan mengambil pilihan yang tepat untuk dapat mencapai tingkat laba yang diharapkan. Menurut Kieso (2010:161) mendefinisikan “Earnings management sebagai perencanaan waktu pendapatan, beban, keuntungan dan kerugian untuk mengurangi gejolak laba”. Menurut Sulistyanto (2008:47), “Manajemen laba merupakan suatu upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan”. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen laba adalah suatu intervensi dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi.
13
II.1.2 Motivasi Manajemen Laba Kebijakan akuntansi yang memberi kebebasan kepada manajemen dalam memilih dan menetapkan metode-metode akuntansi menjadi dasar utama untuk melakukan manajemen laba. Ada beberapa motivasi yang mendorong melakukan manajemen laba. Scott (2000) dalam Riduwan (2011:6), menyebutkan berbagai motivasi mengapa perusahaan, dalam hal ini manajer, melakukan manajemen laba, yaitu: Manajemen laba didorong oleh beberapa motivasi. Scott (2000) dalam Riduwan (2011:6) berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang dapat memotivasi manajer melakukan manajemen laba, yaitu: 1. Bonus Purposes (Rencana Bonus) Para manajer yang berkerja pada perusahaan yang menerapkan rencana bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkannya dengan tujuan dapat memaksimalkan jumlah bonus yang akan diterimanya. 2. Debt Convenant (Kontrak Utang Jangka Panjang) Menyatakan bahwa semakain dekat suatu perusahaan kepada waktu pelanggaran perjanjian utang maka para manajer akan cenderung untuk memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan dengan harapan dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak utang. 3. Political Motivation (Motivasi Politik) Menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan dengan skala besar dan industri strategis cenderung untuk menurunkan laba terutama pada saat periode
14
kemakmuran yang tinggi. Upaya ini dilakukan dengan harapan memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah. 4. Taxation Motivation (Motivasi Perpajakan) Menyatakan bahwa perpajakan merupakan salah satu motivasi mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkanya. Tujuannya adalah dapat meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar. 5. Pergantian CEO (Chief Executive Officer) Biasanya CEO yang mendekati masa pensiun atau masa kontraknya menjelang berkahir akan melakukan strategi memaksimalkan jumlah pelaporan laba guna meningkatkan jumlah bonus yang akan mereka terima. Hal yang sama akan dilakukan oleh manajer dengan kinerja yang buruk. Tujuannya adalah menghindarkan diri dari pemecatan sehingga mereka cenderung untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan. 6. Initial Public Offering (Penawaran Saham Perdana) Menyatakan bahwa pada awal perusahaan menjual sahamnya kepada publik, informasi keuangan yang akan dipublikasikan dalam prospektus merupakan sumber informasi yang sangat penting. Informasi ini penting karena dapat dimanfaatkan sebagai sinyal kepada investor potensial terkait dengan nilai perusahaan. Guna mempengaruhi keputuan yang dibuat oleh para investor maka manajeer akan berusaha untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan.
15
II.1.3 Pola Manajemen Laba Menurut Scott (2000) dalam Aryanti (2009:58) dapat dapat dilakukan dengan empat pola manajemen laba, yaitu: 1. Taking a Bath Pola taking a bath ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO (Chief Executive Officer) baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa datang. 2. Income Minimazation Pola income minimization dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba pada periode sebelumnya. 3. Income Maximization Pola income maximization dilakukan pada saat laba mengalami penurunan. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. 4. Income Smoothing Pola ini dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena investor pada umumnya cenderung lebih menyukai perusahaan dengan laba yang stabil untuk berinvestasi. Perusahaan dengan laba yang stabil dianggap lebih mampu bertahan menghadapi masalah-masalah yang ada dibandingkan dengan perusahaan yang fluktuasi labanya tinggi dari tahun ke tahun. Oleh karena itu manajer akan berusaha untuk membuat laba perusahaan yang dikelolanya
16
menjadi terlihat stabil yaitu dengan melakukan perataan laba. Dalam debt covenant semakin berfluktuasi laba bersih yang dilaporkan, semakin besar kemungkinan terjadi pelanggaran atas kontrak pinjaman. Untuk mengurangi volatilitas laba bersih, manajemen lebih menyukai meratakan (smooth) rasiorasio hutangnya. Perusahaan juga mungkin meratakan laba bersihnya untuk pelaporan eksternal dengan maksud sebagai penyampaian informasi internal perusahaan kepada pasar dalam meramalkan pertumbuhan laba jangka panjang perusahaan, yang dapat menurunkan cost of capital perusahaan.
II.2
Income Smoothing (Perataan Laba)
II.2.1
Definisi Income Smoothing (Perataan Laba) Menurut Belkaoui (2006:73) definisi awal mengatakan bahwa perataan laba
(income smoothing) adalah “pengurangan fluktuasi laba dari tahun ke tahun dengan memindahkan pendapatan dari tahun ke tahun yang tinggi pendapatannya ke periodeperiode yang kurang menguntungkan”. Definisi yang lebih akhir mengenai perataan laba melihatnya sebagai fenomena “proses manipulasi profil waktu dari pendapatan atau laporan pendapatan untuk membuat laporan laba menjadi kurang bervariasi, sambil sekaligus tidak meningkatkan pendapatan yang dilaporkan selama periode tersebut”. Menurut Prasetio et al. (2002:48) menyatakan bahwa perataan laba adalah tindakan sukarela manajemen yang dimotivasi oleh aspek-aspek lingkungan di dalam perusahaan dan lingkunganya.
17
Sedangkan Menurut Kustiani dan Ekawati (2006:56) menyebutkan bahwa perataan laba adalah proses manipulasi suatu laporan keuangan agar laba yang dilaporkan kelihatan stabil. Perataan laba (income smoothing) menurut Zuhroh (1996) dalam Herni dan Sutanto (2008:303) adalah cara yang digunakan oleh manager untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan agar sesuai dengan target yang diinginkan baik melalui metode akuntansi maupun melalui transaksi. Berdasarkan beberapa pngertian di atas dapat disimulasikan bahwa income smoothing adalah suatu tindakan yang disengaja untuk menyakinkan bahwa laba perusahaan adalah stabil.
II.2.2
Teknik - teknik Perata Laba Sugiarto (2003) menjelaskan berbagai teknik yang digunakan dalam perataan
laba adalah sebagai berikut: 1. Perataan melalui waktu terjadinya transaksi atau pengakuan transaksi Pihak manajemen dapat menentukan atau mengendalikan waktu transaksi melalui kebijakan manajemen sendiri (accruals). Misalnya pada biaya riset dan pengembangan. Selain itu banyak juga perusahaan yang menerapkan kebijakan diskon dan kredit sehingga hal ini dapat menyebabkan meningkatnya jumlah piutang dan penjualan pada bulan terakhir tiap kuarter, sehingga laba kelihatan stabil pada periode tertentu.
18
2. Perataan melalui alokasi untuk beberapa periode tertentu Manajer memiliki kewenangan dan kebijakan sendiri untuk mengklasifikasikan pos-pos rugi laba dalam kategori yang berbeda. Misalnya, jika pendapatan nonoperasi sulit untuk didefinisikan maka manajer dapat mengklasifikasikan pos itu pada pendapatan operasi atau pendapatan non-operasi. Dan hal ini dapat digunakan sewaktu-waktu untuk meratakan laba melihat kondisi pendapatan periode itu.
II.2.3
Tipe Perataan Laba Menurut Ayres (1994) dalam Narsa, dkk. (2003) mengungkapkan 3 faktor yang
dapat dikaitkan dengan munculnya praktik perataan laba, yaitu: 1. Manajemen akrual (accruals management) Faktor ini biasa dikaitkan dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer. Contohnya: dengan mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan, menganggap biaya sebagai suatu tambahan investasi. 2. Penerapan suatu kebijakan akuntansi (adoption of mandatory accounting changes) Faktor ini berkaitan dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib diterapkan oleh perusahaan, yaitu: antara menerapkan lebih awal dari waktu yang diterapkan atau menunda sampai saat berlakunya kebijakan tersebut. Para manajer tentu akan memilih menerapkan
19
kebijaksanaan akuntansi bila dengan penerapan tersebut dapat mempengaruhi baik aliran kas maupun keuntungan perusahaan. 3. Perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting changes) Faktor ini berkaitan dengan upaya manajer untuk mengganti atau mengubah suatu metode akuntansi tertentu di antara sekian banyak metode yang dapat dipilih dan tersedia serta diakui oleh badan akuntansi yang ada. Contohnya : penggantian metode FIFO ke LIFO atau sebaliknya, mengubah metode penyusutan aktiva dari metode garis lurus ke metode yang dipercepat atau sebaliknya.
II.3 Indeks Eckel Penggunaan indeks Eckel dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa indeks tersebut objektif dan berdasarkan perhitungan statistik dengan suatu cut off yang jelas antara perata laba dan tidak perata laba. Selain itu metode ini telah berhasil digunakan dengan baik untuk mengindikasikan perusahaan sebagai perata laba dan tidak perata laba dengan sampel yang berbeda-beda. Menurut Narsa dkk. (2003) bahwa model Eckel ini mempunyai beberapa kelebihan diantaranya : 1. Objektif dan didasarkan pada perhitungan statistik yang dapat memisahkan dengan jelas antara perusahaan yang melakukan perataan laba dan tidak melakukan perataan laba. 2. Tidak tergantung pada prediksi laba, pembuatan model-model yang diperlukan untuk menetapkan laba yang diharapkan, pengujian biaya atau pertimbangan
20
subjektif lainnya. Biasanya model-model pengharapan sulit dilakukan dan menghasilkan kesimpulan yang mengandung kesalahan. 3. Indeks ini mengukur perata laba dengan cara merata-rata pengaruh beberapa variabel perata dan diperlukan waktu lebih dari satu periode.
II.4 Penelitian yang Relevan Dalam penelitiannya di Singapura, Ashari, et al. (1994) berhasil membuktikan adanya praktik perataan laba pada perusahaan yang terdaftar di Singapore Stock Exchange. Ashari et al. (1994) menguji empat faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba yaitu ukuran perusahaan (total aktiva), profitabilitas, jenis industri dan nasionalisasi
kepemilikan
(kebangsaan).
Hasil
penelitian
menunjukan
bahwa
profitabilitas, jenis industri dan nasionalisasi kepemilikan (kebangsaan) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap praktik perataan laba, sedangkan ukuran perusahaan (total aktiva) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap praktik perataan laba. Di indonesia penelitian yang sama tentang praktik perataan laba juga telah banyak dilakukan. Jin dan Machfoedz (1998) menggunakan ukuran perusahaan (total aktiva), profitabilitas (return on asset), sektor industri dan financial leverage sebagai faktorfaktor yang mempengaruhi praktik perataan laba . Dari 53 perusahaan yang go public (34 perusahaan manufaktur dan 19 lembaga keuangan selama tahun 1993-1996 terhadap 74 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Faktor-faktor yang diteliti adalah ukuran perusahaan (nilai pasar saham), net profit margin, kelompok usaha dan winner/losser stock. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ternyata keempat faktor tersebut tidak berpengaruh terhadap praktik perataan laba.
21
Di Surabaya Narsa, dkk (2003) menggunakan 129 perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Efek Surabaya selama tahun 1994-2000 untuk menguji apakah faktor ukuran perusahaan, profitabilitas (net profit margin) dan financial leverage mempunyai pengaruh terhadap praktik perataan laba. Hasil penelitian menunjukan bahwa ukuran perusahaan dan profitabilitas (net profit margin) mempunyai pengaruh terhadap praktik perataan laba. Yusuf dan Soraya (2004) meneliti empat faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba yaitu ukuran perusahaan (total aktiva), profitabilitas (return on asset), leverage operasi dan status perusahaan. Sebanyak 30 perusahaan (14 perusahaan asing dan 16 perusahaan non asing) yang telah melakukan penawaran umum perdana di Bursa Efek Jakarta diteliti selama tahun 1998-2001 dan hasil penelitian menunjukan bahwa hanya leverage operasi yang mempunyai pengaruh terhadap praktik perataan laba, sedangkan ukuran perusahaan (total aktiva), profitabilitas (return on asset) dan status perusahaan tidak mempunyai pengaruh terhadap praktik perataan laba. Sebanyak 54 perusahaan manufaktur dan industri perbankan/ lembaga keuangan lainya yang terdaftar di Bursa Efek Surabya diteliti oleh Juniarti dan Carolina (2005). faktor-faktor yang diteliti dalam tahun 1994-2001 (tidak termasuk tahun 1997 dan 1998) adalah ukuran perusahaan, profitabilitas (return on asset) dan sektor industri. Hasil penelitian tidak berhasil membuktikan bahwa ukuran perusahaan, profitabilitas (return on asset) dan sektor industri mempengaruhi praktik perataan laba. Dwimulyani dan Abraham (2006) juga melakukan penelitian terhadap 51 perusahaan selama tahun 2000-2003. Hasil penelitian membuktikan bahwa tidak ada
22
satupun dari faktor ukuran perusahaan (nilai pasar saham), profitabilitas (net profit margin) dan winner/losser stock yang berpengaruh terhadap praktik perataan laba. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Gumanti dan Singgih (2006) pada tahun 2000-2001. Dengan sampel sebanyak 109 perusahaan yang terdaftar
di
Bursa
Efek
Jakarta membuktikan bahwa financial leverage, ukuran perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta membuktikan bahwa financial leverage, ukuran perusahaan dan pertumbuhan aset tidak mempunyai pengaruh terhadap praktik perataan laba. Faktor yang ternyata mempunyai pengaruh terhadap praktik perataan laba adalah perubahan penjualan dan profitabilitas (return on asset).
II.5 Hipotesis Penelitian Pengertian hipotesis menurut Narimawati (2008:20) adalah sebagai berikut: 1. Merupakan ungkapan berupa jawaban sementara atas masalah penelitian yang di turunkan dari kerangka pemikiran. 2. Jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus di uji secara empiris melalui suatu analisis (berdasarkan data dilapangan). 3. Kesimpulan yang sifatnya masih sementara perlu di uji secara empiris melalui suatu analisis (berdasarkan data dilapangan).
II.5.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Income Smoothing Murtanto (2004) menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang lebih besar kurang memiliki dorongan untuk melakukan perataan laba di bandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang lebih kecil karena perusahaan-perusahaan yang lebih besar
23
di teliti dan di pandang lebih keritis oleh para investor. Sedangkan menurut Moses (1987) menemukan bukti empiris bahwa perusahaan-perusahaan besar memiliki dorongan yang lebih besar untuk melakukan praktik perataan laba di bandingkan dengan perusahaan-perusahaan kecil karena perusahaan-perusahaan besar menjadi subjek ketat dari pemerintah dan masyarakat umum. Oleh karena itu peneliti menduga bahwa ukuran perusahaan mempengaruhi besaran perataan laba. Jika tindakan perataan laba tersebut oportunis maka semakin besar perusahaan maka semakin kecil tindakan perataan laba. Jika tindakan perataan laba efisien maka semakin besar ukuran perusahaan semakin tinggi tindakan perataan laba. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang di ajukan adalah sebagai berikut: Ha1
: Ukuran perusahaan mempunyai pengaruh secara positif terhadap tindakan perataan laba.
II.5.2 Pengaruh Profitabilitas terhadap Income Smoothing Profitabilitas
adalah
kemampuan
perusahaan
memperoleh
laba
dalam
hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Bagi investor jangka panjang akan sangat berkepentingan dengan analisa profitabilitas ini misalnya bagi pemegang saham akan melihat keuntungan yang benar-benar akan di terima dalam bentuk deviden (Sartono,2001:130). Menurut Archibalt (1967) bahwa perusahaan yang memiliki profitabilitas rendah cenderung melakukan perataan laba. Hasil penelitian ini diperkuat oleh Ashari et al. (1994) yang membuktikan bahwa perusahaan yang melakukan perataan laba memiliki profitabilitas lebih rendah daripada perusahaan yang tidak melakukan perataan laba.
24
Oleh karena itu peneliti menduga bahwa profitabilitas mempengaruhi tindakan perataan laba. Jika tindakan perataan laba tersebut oportunis maka semakin tinggi profitabilitas semakin kecil tindakan perataan laba. Jika tindakan perataan laba efisien maka semakin tinggi profitabilitas semakin tinggi tindakan perataan laba. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesi yang diajukan adalah sebagai berikut: Ha2
: Profitabilitas mempunyai pengaruh secara positif terhadap tindakan perataan laba.
II.5.3 Pengaruh Financial Leverage terhadap Income Smoothing Financial leverage (leverage keuangan) menurut Keown, et al (2000:496) adalah “Pembiayaan sebagian dari asset perusahaan dengan surat berharga yang mempunyai tingkat bunga yang tetap (terbatas) dengan mengharapkan peningkatan yang luar biasa pada pendapatan bagi pemegang saham”. Menurut Sartono (2001) financial leverage menunjukan proporsi penggunaan utang untuk membiayai investasinya. Financial leverage menunjukan seberapa efisien perusahaan memanfaatkan ekuitas pemilik dalam rangka mengantisipasi hutang jangka panjang dan jangka pendek perusahaan sehingga tidak akan menggangu operasi perusahaan secara keseluruhan dalam jangak panjang. Hutang yang besar berarti rasio leverage yang besar. Hutang yang besar menyebabkan faktor resiko yang semakin meningkat. Rasio leverage yang besar menyebabkan turunnya minat investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut, sehingga dapat memicu adanya tindakan perataan laba. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesi yang diajukan adalah sebagai berikut:
25
Ha3
: Financial Leverage mempunyai pengaruh secara positif terhadap tindakan perataan laba.
II.5.4 Pengaruh Return on Assets terhadap Income Smoothing Return on Assets (ROA) merupakan ukuran penting untuk menilai sehat atau tidaknya perusahaan, yang mempengaruhi investor untuk membuat keputusan. Perusahaan yang mempunyai ROA yang lebih tinggi cenderung melakukan perataan laba dibandingkan dengan perusahaan yang lebih rendah karena manajemen tahu kemampuan untuk mendapatkan laba di masa mendatang sehingga memudahkan dalam menunda atau mempercepat laba (Assih dkk.,2000). Perubahan ROA menunjukan perubahan kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba dengan memanfaatkan aktiva yang digunakan dalam kegiatan operasi. Semakin besar perubahan ROA menunjukan semakin besar fluktuasi kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba. Hal ini mempengaruhi investor dalam memprediksi laba dan memprediksi resiko dalam investasi sehingga memberikan dampak pada kepercayaan investor terhadap perusahaan. Sehubungan dengan itu, manajemen termotivasi untuk melakukan praktik perataan laba agar laba yang dilaporkan tidak berfluktuatif sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap perusahaan. Dengan demikian, semakin besar perubahan ROA maka semakin besar kemungkinan manajemen melakukan praktik perataan laba. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesi yang diajukan adalah sebagai berikut: Ha4
: Return on Assets mempunyai pengaruh secara positif terhadap tindakan perataan laba.
26
II.5.5 Pengaruh Net Profit Margin terhadap Income Smoothing Net Profit Margin adalah suatu pengukuran dari setiap satuan nilai penjualan yang tersisa setelah dikurangi oleh seluruh biaya, termasuk bunga dan pajak. Menurut Salno dan Baridwan (2000) net profit margin di duga mempengaruhi perataan laba, karena secara logis margin ini terkait langsung dengan objek perataan penghasilan. Penggunaan net profit margin juga di dukung oleh penelitian Beattie et al (1994), Ronen dan Sadan (1975), yang meneliti berbagai instrumen laporan keuangan untuk meratakan penghasilan. Net Profit Margin atau margin penghasilan bersih ini diduga mempengaruhi praktik perataan laba, karena secara logis margin ini berkait langsung dengan obyek perataan laba. Pemilihan NPM sebagai variabel independen juga didukung oleh hasil penelitian Beatie, dkk 1994 yang menginvestigasi penggunaan berbagai instrumen laporan keuangan, seperti metode depresiasi, perubahan kebijakan penghasilan. Secara logis, NPM dapat merefleksi motivasi manajer untuk meratakan penghasilan akuntansi, dan extraordinary items untuk meratakan penghasilan. Secara logis, NPM dapat merefleksi motivasi manajer untuk meratakan penghasilan. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesi yang diajukan adalah sebagai berikut: Ha5
: Net Profit Margin mempunyai pengaruh secara positif terhadap tindakan perataan laba.
27