BAB II LANDASAN TEORI
A. Pinjam Modal 1. Pengertian Modal Modal kerja yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan (a) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi, dan (b) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place.1 dari suatu barang.2 Dalam bahasa arab modal atau harta disebut al-amal (mufradtunggal), atau al-anwal (jamak). Secara harfiah, al mal (harta) adalah ma malakathu min kulli syay. Artinya segala sesuatu yang engkau punyai. Adapaun dalam istilah syar’i, harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan dalam perkara legal menurut syara (hukum Islam).3 2.
Dasar Hukum Pentingnya modal dalam kehidupan manusia ditunjukan dalam AlQur’an surat Al-Imron ayat 14 yaitu :
1
Place utility adalah nilai yang diciptakan oleh suatu bisnis dengan menyediakan produk di tempat yang diinginkan customer. Sebagai contoh, tempe mendoan khas Purwokerto tidak tersedia dengan mudah di Jakarta. 2 M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm.160 3 Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam, (UIN Malang Press, 2007), hlm. 37
17
18
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apaapa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (Q.S. Al-Imron:14).4
Bang bang Riyanto, pengertian modal kerja terdapat beberapa konsep yaitu : a. Konsep Kuantitatif Konsep ini mendasarkan pada kuantitas dari dana yang tertanam dalam unsur-unsur aktiva lancar dimana aktiva ini merupakan aktiva yang sekali berputar kembali dalam bentuk semula atau aktiva dimulai dari yang tertanam di dalamnya akan dapat bebas lagi dalam waktu yang pendek. Dengan demikian modal kerja dalam konsep ini adalah keseluruhan dari jumlah aktiva lancar. b. Konsep Kualitatif Dalam konsep ini pengertian modal kerja juga dikaitkan dengan besarnya jumlah utang lancar atau utang yang harus segera dibayar. Dengan demikian maka sebagian dari aktiva lancar itu harus disediakan untuk memenuhi kewajiban financial yang harus segera dibayar
4
Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya : Surya Cipta Aksara. 1989) hlm.77
19
dimana bagian aktiva lancar ini tidak boleh digunakan untuk membayar operasi perusahaan untuk menjaga likuiditasnya. Oleh karena itu modal kerja menurut konsep ini adalah sebagian dari aktiva lancar yang benarbenar dapat digunakan untuk membayar operasi perusahaan mampu mengganggu likuiditasnya yaitu yang merupakan kelebihan aktiva lancar diatas utang lancar. Modal kerja dalam pengertian ini sering disebut modal kerja memo (non working capital) c. Konsep Fungsional Konsep ini mendasarkan pada fungsi dari dana dalam menghasilkan pendapatan. Setiap dana yang dikerjakan atau digunakan dalam perusahaan dimaksudkan untuk menghasilkan pendapatan. Pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan dalam satu periode accounting (current income) bukan periode berikutnya (future income). Dari pengertian tersebut maka terdapat sejumlah dana yang tidak menghasilkan current income atau kalau menghasilkan tidak sesuai dengan misi perusahaan yaitu : Non working capital, sehingga besarnya modal kerja adalah: 1) Besarnya kas 2) Besarnya persediaan 3) Besarnya piutang 4) Besarnya sebagian dana yang ditanamkan dalam aktiva tetap (besarnya adalah sejumlah dana yang berfungsi untuk menghasilkan current income tahun yang bersangkutan).
20
Sedangkan bagian piutang yang merupakan keuntungan adalah tergolong dalam modal kerja potensial dan sebagian dana yang ditanamkan dalam aktiva tetap yang menghasilkan future income (pendapatan tahuntahun sesudahnya) termasuk dalam non working capital.5
B. Baitul Maal wat-Tamwil (BMT) 1. Pengertian Baitul Maal wat-Tamwil Baitul Maal wat-Tamwil (BMT) adalah lembaga swadaya masyarakat, dalam artinya, didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat. Terutama sekali pada awal pendiriannya, biasanya dilakukan dengan menggunakan sumber daya, termasuk dana atau modal, dari masyarakat setempat itu sendiri.6 M. Zaidi Abdad mendefinisikan bahwa ‘Baitul Mall’ adalah suatu lembaga keuangan yang dibentuk pemerintahan Islam guna mengatur segala aktivitas perputaran keuangan, baik mulai penerimaan, penyimpanan, maupun pendistribusian untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat berdasarkan Syariat Islam.7 Andri Soemitra mendefinisikan BMT adalah kependekan kata Balai Usaha Mandiri Terpadu atau Baitul Maal wat-Tamwil, yaitu lembaga keuangan mikro (LKM) yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Syariah.8
5
Bambang Riyanto, Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, (Yogyakarta : BPFE. 2001), hlm. 57-58 6 Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), hlm. 82 7 M. Zaidi Abdad, Lembaga Perekonomian Umat Di Dunia Islam (Bandung: Angkasa, 2003), hlm.79. 8 Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2009), hlm.51.
21
Dari beberapa definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa BMT merupakan lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat bawah dan kecil dengan berlandaskan sistem syariah, yang mempunyai tujuan meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat dan mempunyai sifat usaha yakni usaha bisnis, mandiri, ditumbuhkembangkan dengan swadaya dan dikelolah secara profesional. Sedangkan dari segi aspek Baitul Maal lebih mengarah pada usahausaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non-profit, seperti zakat, infaq, dan sadaqoh.9 Lembaga ini didirikan dengan maksud untuk memfasilitasi masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh pelayanan Bank Islam dan BPR Islam. Baitul Maal wat-Tamwil (BMT) merupakan suatu lembaga yang terdiri dari dua istilah yaitu: a. Baitul Maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang nonprofit, seperti; zakat, infaq, dan shadaqah. b. Baitul Tamwil adalah sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial.10 Sebagai Bait al-Maal, beberapa bagian dari kegiatan BMT dijalankan tanpa orientasi mencari keuntungan. BMT berfungsi sebagai pengemban amanah, serupa dengan amil zakat, menyalurkan bantuan dana secara langsung kepada pihak yang berhak dan membutuhkan. Sumber dana kebanyakan
9
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi (Yogjakarta: Ekonisia, 2005), hlm.103. 10 Nurul Huda dan Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: PT Kencana, 2010), hlm.363
22
berasal dari zakat, infak dan shadaqoh. Adapun bentuk penyaluran dana atau bantuan yang diberikan cukup beragam. Ada yang murni bersifat hibah, dan adapula
yang
merupakan
pinjaman
tanpa
dibebani
biaya
dalam
pengembalianya. Sebagai Bait at Tamwil, BMT terutama berrfungsi sebagai suatu lembaga keuangan syariah yang melakukan upaya penghimpunan dana penyaluran dana prinsip syariah. Prinsip syariah yang paling mendasar dan sering digunakan adalah sistem bagi hasil yang adil, baik dalam hal penghimpunan maupun penyaluran dana.11 2. Fungsi Baitul Maal wat-Tamwil (BMT) Dalam rangka mencapai tujuannya, BMT berfungsi sebagai berikut; a. Mengidentifikasi,
memobilisasi,
mengorganisasi,
mendorong
dan
mengembangkan potensi serta kemampuan potensi ekonomi anggota, kelompok anggota muamalat (pokusma) dan daerah kerjanya. b. Meningkatkan kualitas SDM anggota dan pokusma menjadi lebih profesional dan Islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi persaingan modal. c. Menggalang
dan
memobilisasi
potensi
masyarakat
dalam
rangka
meningkatkan kesejahteraan anggota. d. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary) antara agninya sebagai shohibul maal dengan du’afa sebagai mudhorib, terutama untuk dana-dana sosial seperti zakat, infaq, sedekah, wakaf, hibah, dan lain-lain.
11
Brosur Company Profile BMT Mitra Muamalah Jasa Syari’ah
23
e. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary), antara pemilik dana (shohibul maal), baik sebagai pemodal maupun penyimpan dengan pengguna dana (mudhorib) untuk pengembangan usaha produktif.12 3. Prinsip-Prinsip Utama BMT Dalam mengembangkan prinsip BMT, BMT sendiri mempunyai prinsipprinsip utama, yaitu: a.
Keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah dan muamalah Islam ke dalam kehidupan nyata;
b.
Keterpaduan (Kaffah) dimana nilai-nilai spiritual berfungsi mengarahkan dan menggerakan etika dan moral yang dinamis, proaktif, progresif, adil, dan berahlak mulia;
c.
Kekeluargaan (kooperatif);
d.
Kebersamaan;
e.
Kemandirian;
f.
Profesionalisme;
g.
Istiqamah: konsisten, kontinuitas atau berkelanjutan tanpa henti dan tanpa pernah putus asa. Setelah mencapai suatu tahap, maju ke tahap berikutnya, dan hanya kepada Allah berharap.13
4. Pembiayaan a. Pengertian Pembiayaan Dalam kegiatan penyaluran dana BMT atau Lembaga Syariah lainnya melakukan investasi dan pembiayaan. Disebut investasi karena 12
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wat-Tamwil , (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 131 13 Andri Soemitra, Op.cit, hlm.449-450.
24
prinsip yang dilakukan adalah prinsip penanaman dana atau penyertaan, dan keuntungan yang akan diperoleh bergantung pada kinerja usaha yang menjadi objek penyertaan tersebut sesuai dengan nisbah bagi hasil yang telah diperjanjikan sebelumnya.14 Disebut pembiayaan karena Bank Syariah maupun Lembaga Syariah menyediakan dana guna membiayai kebutuhan nasabah yang memerlukan dan layak memperolehnya. Pembiayaan atau financing ialah pendanaan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga.15 Menurut Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 Pasal 1 No. 25, dinyatakan bahwa : Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: 1) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; 2) Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; 3) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; 4) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan 5) Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah
14
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajement Bank Syariah, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hlm.200. 15 M.Nur Al Arif, Dasar-Dasar dan Pemasaran Bank Syariah, (Bandung: Avabeta, 2010), hlm.42.
25
dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.16 Antonio memandang bahwa pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediyaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.17 Perbedaan yang mendasar antara pembiayaan dengan sistem syariah dengan sistem konvensioanal menurut Muhammad Safi’i Antonio (1999) dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel. 1.2 Perbedaan Bunga Dengan Bagi Hasil. 18) SISTEM BUNGA 1. Penentuan biaya ditentukan pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
2. Biasanya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan 3. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi 4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang ”boming” 5. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam
16
BAGI HASIL 1. Penentuan besaranya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi 2. Biasanya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh 3. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak 4. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan 5. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
http://www.dpr.go.id/id/undangundang/2008/21/UU/- Perbankan-Syariah Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.160. 18 Muhammad Syafei Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama & Cendikiawan (Jakarta, Islamic Bank dan Tazkia Institute, 2001), hlm.12 17
26
Dari uraian-uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pembiayaan bisa berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang misalnya bank atau lembaga pembiayaan membiayai pembelian mobil atau barang lainnya. Kemudian adanya kesepakatan antara pihak pemberi pembiayaan terhadap pihak penerima pembiayaan dengan perjanjian yang telah disepakati. b. Lembaga Pembiayaan Pemaparan terhadap pembiayaan akan dijelaskan terlebih dahulu dengan singkat yang dimaksud dengan lembaga pembiayaan. Istilah lembaga pembiayaan merupakan padanan dari istilah bahasa Inggris financing intitution. Lembaga pembiayaan ini kegiatan usahanya lebih menekankan pada fungsi pembiayaan, yaitu dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dan tidak menarik dana secara langsung. c. Unsur-Unsur Lembaga Pembiayaan Berdasarkan definisi di atas, dalam pengertian lembaga pembiayaan terdapat unsur-unsur sebagai berikut.19 1) Badan usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan. 2) Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan pekerjaan atau aktivitas dengan cara membiayai pada pihak-pihak atau sektor usaha yang membutuhkan.
19
Ibid, hlm.2.
27
3) Penyediaan dana, yaitu perbuatan menyediakan uang untuk suatu keperluan. 4) Barang modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu atau barang lain, seperti mesin-mesin, peralatan pabrik dan sebagainya. 5) Tidak menarik dana secara langsung (non deposit taking) artinya tidak mengambil uang secara langsung dalam giro, deposito, tabungan, dan surat sanggup bayar kecuali hanya untuk dipakai sebagai jaminan utang kepada bank yang jadi kreditornya. 6) Masyarakat, yaitu yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. 20 d. Jenis-Jenis Pembiayaan Kegiatan
pembiayaan
(financing)
yaitu
pemberian
fasilitas
penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu: 1) Pembiayaan Produktif Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan
sektor
produktif,
seperti
pembiayaan
modal
kerja,
pembiayaan pembelian barang modal dan lainnya yang mempunyai tujuan untuk pemberdayaan sektor riil.21 Menurut keperluannya dapat dibagi kedalam pembiayaan Modal Kerja, yaitu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan, diantaranya:
20 21
Sunaryo, Op.cit, hlm.1. M.Nur Al Arif, Dasar-Dasar dan Pemasaran Bank Syariah, hlm.43.
28
a) Peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; b) Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang. 22 2) Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) beserta fasilitas- fasilitas yang erat kaitannya dengan itu. 3) Pembiayaan Konsumtif Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan yang bersifat konsumtif, seperti pembiayaan untuk pembelian rumah, kendaraan bermotor,
pembiayaan
pendidikan,
dan
apapun
yang
sifatnya
konsumtif.23 e. Prinsip Pembiayaan Pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah maupun lembaga syariah untuk menyalurkan dana yang telah dihimpunnya kepada masyarakat melalui pembiayaan dapat dilakukan dengan prinsip sebagai berikut: 1) Pembiayaan dengan Prinsip Jual Beli Pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang, dimana keuntungan telah
22 23
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajement Bank Syariah, hlm.201. 33 A Arif, Dasar-Dasar dan Pemasaran Bank Syariah, hlm.43.
29
ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual.24 Akad yang dipergunakan dalam produk jual beli ini antara lain: a) Murabahah Murabahah adalah jual beli pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.25 b) Salam Salam adalah bentuk jual beli dengan pembayaran di muka dan penyerahan barang dikemudian hari (advanced payment atau forward buying atau future sales) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, dan tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelum dalam perjanjian.26 c) Istishna Istishna adalah akad jual beli antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dengan produsen atau penjual (shani’) dimana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat (manufactured) lebih dahulu dengan kriteria yang jelas.27 2) Pembiayaan dengan Prinsip Sewa Pembiayaan dengan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa, dimana keuntungan ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau barang yang di sewa.28 Yang termasuk dalam katagori ini adalah ijarah dan Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT). 3) Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil
24
Ibid.hlm.43. Syafi’i Antonio, Op.cit, hlm.101. 26 Veitzal Rifai, dkk, Op.cit, hlm.780 27 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.91. 28 M.Nur Rianto, Op.cit, hlm.48. 35 25
30
Prinsip ini digunakan untuk usaha kerja sama yang ditujukan untuk mendapatkan barang dan jasa sekaligus, produk tersebut terdiri dari: a) Musyarakah Musyarakah yaitu pembiayaan sebagian kebutuhan modal pada suatu usaha untuk jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan.29 b) Mudharabah Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.30 4) Pembiayaan dengan Akad Pelengkap Sedangkan pembiayaan dengan akad pelengkap ditujukan untuk mempelancar pembiayaan dengan menggunakan prinsip-prinsip di atas. Berikut akad pelengkap tersebut, yaitu: hawalah (alih hutang-piutang), rahn (gadai), qard (pinjaman uang), wakalah (perwakilan), kafalah (garansi bank). C. Usaha Rumah Tangga Menurut Direktorat Industri skala rumah tangga pada Departemen Industri, unit-unit perusahaan industri skala rumah tangga sangat bervariasi, diantaranya yaitu beberapa jenis sulaman dan batik; beberapa jenis anyaman (produk-produk jerami seperti keranjang dan kesetan); kayu dan kulit, serta pengolahan makanan dan minuman.31
29
Wirdyaningsih, Bank Dan Ansuransi Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), hlm.119. 30 Syafi’i Antonio, Bank Syariah, hlm.95. 31 James, K. dan N. Akrasanee, Aspek-Aspek Finansial Usaha Kecil dan Menengah, (Jakarta: LP3ES,1992), hlm.2
31
Menurut Harianto salah satu jenis usaha makanan adalah usaha makanan skala rumah tangga atau home industry makanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan mendefinisikan industri makanan skala rumah tangga adalah suatu perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Sebagian besar konsumen usaha makanan skala rumah tangga adalah pedagang, di- mana mereka membeli dalam jumlah yang banyak untuk dijual kembali.32 Menurut Badan Pusat Statistik (1999), berdasarkan jumlah tenaga kerja, industri dapat dikategorikan menjadi empat kelompok yaitu: 1. Jumlah tenaga kerja 1-4 orang untuk industri rumah tangga 2. Jumlah tenaga kerja 5-19 orang untuk industri kecil 3. Jumlah tenaga kerja 20-99 orang untuk industri menengah 4. Jumlah tenaga kerja ≥ 100 orang untuk industri besar. Tetapi kemudian terjadi perkembangan mengenai pengklasifikasian industri berdasarkan jumlah tenaga kerja yaitu seperti yang disebutkan oleh Bappekab Jepara (2009) adalah sebagai berikut: 1. Industri Mikro : 1-4 orang 2. Industri Kecil : 5-19 orang 3. Industri Menengah : 20-99 orang Industri rumah tangga pada umumnya memusatkan kegiatan di sebuah rumah keluarga tertentu dan para karyawannya berdomisili di tempat yang tak jauh dari rumah produksi tersebut. Secara geografis dan psikologis hubungan 32
Harianto, B, Peluang Bisnis Makanan Untuk Home Industry, (Jakarta. PT. Agromedia Pustaka, 2008), hlm. 22
32
mereka sangat dekat (pemilik usaha dan karyawan) sehingga memungkinkan kemudahan dalam menjalin komunikasi.33 Berdasarkan eksistensi dinamisnya industri rumah tangga di Desa Menganti dapat dibagi kedalam tiga kelompok kategori, yaitu : industri lokal, industri sentra, dan industri mandiri. Industri lokal adalah kelompok jenis industri yang menggantungkan kelangsungan hidupnya kepada pasar setempat yang terbatas. Industri sentra adalah kelompok jenis industri yang membentuk suatu pengelompokan atau kawasan produksi yang terdiri dari unit usaha yang menghasilkan barang sejenis, sedangkan industri mandiri adalah kelompok jenis industri yang berkemampuan mengadaptasi teknologi produksi yang cukup canggih.34 Persoalan yang telah menjadi bagian lekat dari eksistensi industri dan rumah tangga yaitu antara lain pembelian bahan mentah dalam jumlah yang relatif sedikit mengakibatkan kedudukan pengusaha untuk berperan dalam penentuan harga yang wajar dari bahan mentah itu kurang menguntungkan. Selain itu kesulitan dalam bidang pemasaran yang bersumber adanya tingkat persaingan yang tajam, disain dan kualitas produk yang kurang baik, kurangnya penguasaan terhadap situasi pasar. Masalah dimana kurang berkembangnya teknik produksi mengakibatkan kesulitan pengembangan usaha, tingkat efisiensi relatif rendah dan semakin menurun, serta ketidakmampuan mengakomodasi perubahan selera konsumen.
33
Anonima. 2009. Teknologi Tepat Guna Pengolahan Pangan Tepung Tapioka. http://www.iptek.net.id/ind/warintek. Diakses pada tanggal 4 Desember 2015. 34 Saleh, I. A. Industri Kecil : Sebuah Tinjauan dan Perbandingan, (Jakarta: LP3ES. 1986), hlm.12
33
D. Ekonomi Syariah 1. Pengertian dan Dasar Hukum Ekonomi Syariah Makna etimologi ekonomi berasal dari oikonomeia (Greek atau Yunani). Kata oikonomeia berasal dari dua kata oicos yang berarti rumah dan nomos yang berarti aturan. Jadi, ekonomi ialah aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah tangga, baik rumah tangga
rakyat
(volkshuishouding),
(staathuishouding),
yang
dalam
maupun bahasa
rumah
Inggris
tangga
Negara
disebutnya
sebagai
economics.35 Secara terminologi, mengutip pendapatnya Samuelson tentang Ilmu Ekonomi, didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi.36 Seorang pakar ekonomi dunia terkemuka sekaligus peraih Nobel dalam bidang ekonomi ditahun 1970 Paul A. Samuelson mengartikan, bahwa ekonomi merupakan studi mengenai bagaimana orang-orang dan masyarakat membuat pilihan, dengan atau tanpa penggunaan uang, dengan menggunakan sumber daya yang terbatas, tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa serta mendistribusikannya untuk
35
Abdullah Zaky al-Kaaf, Ekonomi dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Pustaka Setia, pertama, 2002), cet.I, hlm.18 36 Murasa Sarkaniputra, Pengantar Ekonomi Islam; Bahan kuliah pada Fakultas Syariah, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah 1999), hlm.6
34
keperluan konsumsi sekarang dan dimasa yang akan datang, kepada berbagai orang dan golongan masyarakat.37 Sedangkan Lionel Robins mendefinisikan, bahwa ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan tujuan yang ingin dicapai dan sumber daya langka yang mempunyai berbagai kemungkinan penggunaan.38 Menurut sistem ekonomi konvensional terdapat kelangkaan dari sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas, sehingga timbul pilihan-pilihan atas penggunaan sumber daya yang bisa dimiliki.39 Dari berbagai definisi yang diuraikan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi adalah sesuatu yang menyangkut tentang perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan materialnya dengan sumber daya yang terbatas. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut manusia melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan seperti produksi, distribusi dan konsumsi. Tiga model kegiatan inilah yang menjadi pokok kegiatan dalam ekonomi. Jika definisi tersebut dijadikan acuan, maka Islam bisa memberikan komentar tentang apa yang seharusnya menjadi tujuan aktivitas itu. Yang tentunya tercermin dalam tujuan hidup muslim itu sendiri, yang tidak hanya mencakup segi-segi material, tetapi juga spiritual.
37
Murasa Sarkaniputra dan Agus Krisriawan, Ilmu Ekonomi (Pengantar Ekonomi Moneter: Suatu Awalan), Bahan Pengajaran Ekonomi Perbankan dan Asuransi Islam, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), cet.I, hlm.2 38 Carla Poli, dkk, Pengantar Ilmu Ekonomi I, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm.20-22 39 Tim Penyusun, Prinsip Syariah Dalam Ekonomi, (Jakarta: MES, 2001), hlm.47
35
Apakah seorang muslim hendak merubah definisi kegiatan ekonomi? Pertanyaan itulah yang hendak dijawab oleh beberapa pemikir ekonomi muslim. Apa yang dimaksud ekonomi Islam itu? Dengan mencantumkan label Islam, berarti ada sebuah akar teoritis yang dijadikan acuan untuk mendefinisikan ilmu tersebut. Dalam bahasa Arab ekonomi dinamakan mu’amalah maddiyah, yaitu aturan-aturan tentang pergaulan dan perhubungan manusia mengenai kebutuhan hidupnya. Lebih tepat lagi dinamakan iqtishad, yaitu mengatur soal-soal penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya.40 Dalam al-Qur’an Allah memberikan contoh tegas mengenai ajaranajaran para Rasul, dalam kaitannya dengan masalah-masalah ekonomi yang menekankan bahwa perilaku ekonomi merupakan salah satu bidang perhatian agama. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah mengenai risalah kenabian Ibrahim as. dan putra-putranya. Allah berfirman:
Kami telah menjadikan mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk manusia dengan perintah kami, dan kami turunkan wahyu kepada mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, melaksanakan sholat dan zakat, dan mereka senantiasa beribadah kepadaKu”. (QS. al-Anbiya’: 73).41 Ekonomi Islam yang dibangun paling tidak diwarnai oleh prinsipprinsip religius yang punya orientasi kehidupan dunia dan juga akhirat. 40
Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Perspektif Islam,hlm.19 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya : Surya Cipta Aksara. 1989), hlm.504 41
36
Ekonomi Islam merupakan paradigma baru dalam sistem ekonomi dunia saat ini. Paradigma ini bagi ekonom-ekonom muslim bukan merupakan hal yang perlu ditakuti, akan tetapi menjadi sebuah tantangan untuk dapat lebih mengembangkan ekonomi Islam sehingga ia menjadi sebuah jawaban atas berbagai permasalahan ekonomi dunia dewasa ini. Semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) yang melandasi ekonom-ekonom muslim bahkan non muslim dalam mendalami ekonomi Islam berdampak pada perbedaan pendapat tentang definisi ekonomi Islam itu sendiri. Perbedaan ini ‘lumrah’ terjadi selama tidak keluar dari jalur Islam. Sebagaimana beragamnya definisi mengenai ekonomi secara umum yang dikemukakan oleh para pakar ekonomi, maka ekonomi Islam pun didefinisikan secara beragam pula oleh para pakar ekonomi Islam, diantaranya oleh Muhammad Abdul Manan seorang pakar ekonomi Islam, menurutnya yang dimaksud dengan ekonomi Islam adalah pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.42 Menurut Abdullah al-Arabi ekonomi Islam adalah sekumpulan dasardasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan diatas dasar-dasar tersebut sesuai dengan lingkungan dan masyarakat.43
42
Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Potan Arif Harahap (terj), (Jakarta: Internusa, 1992), hlm.19 43 Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm.245
37
Definisi lain juga disampaikan oleh Dr. Yusuf Qardhawi, bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah. Aktifitas ekonomi seperti produksi, distribusi, konsumsi, import dan eksport tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Tuhan.44 Ekonomi Islam yang dikemukakan S.M. Hasanuzzaman adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.45
44
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),
45
Rustam Effendi, Produksi Dalam Islam, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2003), ,
hlm.31 hlm.2-3