BAB II LANDASAN TEORI
1.1. Bisnis Keluarga Bisnis keluarga adalah bisnis yang mempertimbangkan usaha-usaha keluarga untuk membangun atau mendirikan berbagai macam usaha yang mendapat pengaruh signifikan dari seorang pengusaha, penerus CEO serta oleh seorang atau beberapa orang anggota keluarga. Pengaruh terhadap perusahaan diberikan melalui partisipasi dewan kepemimpinan dan manajerial, kontrol kepemilikan, preferensi strategis pemegang saham, serta nilai moral dan budaya dari keluarga pemegang saham ( Poza, 2010: 5). Poza (2010: 5) menjelaskan bahwa perbedaan bisnis keluarga dengan bisnis yang dikontrol oleh manajemen non keluarga terletak pada niat, nilai, dan strategi yang memperngaruhi interaksi pemilik yang berasal dari satu keluarga yang sama. Hasilnya adalah percampuran unik antara keluarga, manajemen dan pemilik yang kemudian menciptakan keistimewaan pada sistem bisnis keluarga. Poza (2010: 7-14) merumuskan teori yang berkaitan dengan bisnis keluarga, yaitu:
2.1.1. System Theory System theory adalah pendekatan teoritis yang sering kali digunakan oleh akademisi untuk mempelajari bisnis keluarga. Pada pendekatan system theory, perusahaan keluarga digambarkan dengan bagan yang terdiri dari tiga subsistem yaitu pemilik, manajemen dan keluarga. Keseluruhan bagian tersebut saling tergantung, bertumpukan, dan berinteraksi. Model ini menunjukan bahwa perusahaan keluarga paling baik dipahami dan dipelajari sebagai sistem sosial yang kompleks dan dinamis dimana integrasi ini tercapai melalui penyesuaian timbal balik antar subsistem.
Diagram 1. System Theory (Teori)
5 pemilik 2
3 1
keluarga
manajemen 4
6
Sumber : (Poza, 2010)
7
Bagian (1) menunjukan anggota keluarga yang aktif dalam manajemen perusahaan dan merupakan bagian dari pemegang saham, bagian (2) menunjukan anggota keluarga yang merupakan pemegang saham, bagian (3) menunjukan pemegang saham non keluarga yang aktif dimanajemen perusahaan, bagian (4) menunjukan anggota keluarga yang aktif dimanajemen perusahaan namun tidak memiliki saham, bagian (5) menunjukan pemegang saham non anggota keluarga dan berada diluar manajemen perusahaan, bagian (6) menunjukan anggota keluarga yang tidak memiliki saham dan tidak aktif di manajemen perusahaan, sedangkan bagian (7) menunjukan pelaku non anggota keluarga yang hanya aktif dimanajemen perusahaan.
2.1. Kebudayaan Kebudayaan pada hakekatnya dapat disimpulkan sebagai keseluruhan aktivitas manusia, baik yang bersifat material (fisik) atau berwujud (tangible), maupun yang bersifat imaterial (abstrak) dan tidak berwujud (intangable); atau keseluruhan hasil aktivitas manusia baik yang bersifat artifaktual maupun bersifat sosiofaktual, seperti tercermin dalam kelembagaan sosial, norma, hukum, tatanan atau sistem hidup, moralitas, spritualitas, mentalitas, etos, etika, prilaku dan sikap ( Suryo, 2009:2) Dijabarkan lebih lanjut, menurut Kluckhohn dalam Suryo (2009:3) ada lima orientasi nilai kebudayaan yang mempengaruhi sikap dan perilaku manusia dalam lingkungan kehidupannya :
Orientasi terhadap hubungan antara manusia dengan hidup (jelek – campuran - baik)
Orientasi manusia terhadap hubungan antara manusia dengan lingkungan dan alam (menyerah-harmoni-menguasai)
Orientasi manusia terhadap waktu (lampau – kini – mendatang)
Orientasi terhadap kerja
Orientasi terhadap hubungan antar sesama
Banyak orang masih sering mempersoalkan perbedaan antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur. Konsep itu berasal dari orang Eropa Barat dalam zaman ketika mereka berekspansi menjelajah dunia, menguasai wilayah luar di Afrika, Asia dan Oseania, dan memantapkan pemerintahan jajahan mereka dimana-mana. Semua kebudayaan diluar kebudayaan mereka di Eropa Barat disebutnya kebudayaan Timur, sebagai lawan dari kebudayaan mereka sendiri yang mereka sebut kebudayaan Barat. Secara kontras perbedaan antara kebudayaan Barat dan Timur dapat dianalisis mengunakan beberapa variabel kebudayaan yang didasari dari teori Neuling (1999) dan Qingxue (2003). Perbedaan kebudayaan tersebut dapat dijabarkan melalui tabel berikut :
Tabel 1. Perbedaan Kebudayaan Barat dan Timur Ditinjuau ari Variabel Kebudayaan Neuling (1999) dan Qingxue (2003) (Teori)
Variabel kebudayaan Barat
Timur
(Nia Fliam)
(Agus Ismoyo)
Individualism
Masyarakat dengan kebudayaan ini
Masyarakat dengan kebudayaan ini
tinggal dalam kehidupan sosial dimana
tinggal didalam kehidupan sosial
mereka diajarkan untuk berdiri diatas
dimana semenjak lahir sampai
kedua kaki mereka sendiri dan tidak
seterusnya mereka memiliki rasa
tergantung pada kelompok manapun,
integritas serta kohesi tinggi dalam
serta mengidentifikasian diri mereka
kelompok, dan berusaha untuk menjaga
sebagai individu yang mandiri.
kelompok tersebut dengan imbalan
Collectivism
loyalitas tanpa tanda tanya, serta mengidentifikasikan diri mereka sebagai individu yang kolektif. High Uncertainty Avoidance
Low Uncertainty Avoidance
Masyarakat dengan kebudayaan barat
Masyarakat dengan kebudayaan timur
memiliki toleransi rendah terhadap
beranggapan bahwa ketidak pastian
ketidak pastian dan ambiguitas, yang
adalah bagian dari hidup. Memiliki
menyebabkan mereka memiliki tingkat
tingkat stres dan kepanikan yang
stres dan kepanikan tinggi.
rendah, menerima ambiguitas, serta mampu memandang kesejateraan sebagai suatu hal yang subjektif.
Variabel kebudayaan
Barat
Timur
(Nia Fliam)
(Agus Ismoyo)
Low Power Distance
High Power Distance
Masyarakat dengan kebudayaan barat
Masyarakat dengan kebudayaan timur
memiliki kesetaraan hubungan antara
memiliki jarak kekuasaan yang jauh
atasan dan bawahan dan bekerja
dalam hubungan antar atasan dengan
bersama secara dekat dalam lingkup
bawahan. Bawahan merasa sungkan dan
profesionalisme. Bawahan tidak takut
takut untuk mengutarakan keragu-
untuk mengutarakan keragu-raguan
raguan atau ketidak setujuan terhadap
atau ketidak setujuan terhadap
keputusan atasan.
keputusan atasan. Sistem hierarki dapat disesuaikan tergantung pada situasi yang terjadi. Assertiveness
Interpersonal Harmony
Masyarakat dengan kebudayaan barat
Masyarakat dengan kebudayaan timur
memiliki sikap tegas dan agresif dalam
mengutamakan kepentingan kelompok
prilaku komunikasinya dan berinisiatif
dan keharmonisan hubungan antar
dalam upaya untuk meraih apa yang
sesama, menghindari keagresifitasan
mereka sukai dan kesejahteraan pribadi. dalam berkomunikasi guna menjauhi konflik. Sumber: Neuling (1999) dan Qingxue (2003)
Teori dari Neuling (1999) dan Qingxue (2003) digunakan oleh peneliti dengan mempertimbangkan relevansi faktor kebudayaan dengan cara individu dalam malakukan keputusan-keputusan perusahaan, termasuk dalam perencanaan
suksesi seperti penetapan kualifikasi dari calon suksesor potensial dan pemahaman mengenai pentingnya sebuah perencanaan sukesi dalam bisnis keluarga. Sementara untuk melihat pengaruh kebudayaan terhadap kesetaraan gender, pandangan
terhadap
materi
dan
keluarga,
peneliti
menggunakan
teori
Makulinisme dan Feminisme, Hosftede (2003). Hal ini dilakukan mengingat komponen-komponen tersebut dapat mempengaruhi proses perencanaan suksesi sebuah bisnis keluarga.
Dalam teori ini, Hofstede, mengklasifikasikan
kebudayaan kedalam dua kelompok, kebudayaan maskulinisme dan kebudayaan feminisme, masyarakat dengan kebudayaan maskulinisme berada dalam kehidupan sosial dimana peranan gender secara sosial jelas berbeda : pria seharusnya tegas, kuat dan fokus pada kesuksesan material; wanita seharusnya lembut, rendah hati dan memperhatikan kualitas hidup. Sementara masyarakat kebudayaan feminisme berada dalam kehidupan sosial dimana tidak ada batasan dalam peran gender: baik pria maupun wanita seharusnya rendah hati, lembut dan memperhatikan kualitas hidup. (Hofstede, 2003: 297). Dijabarkan lebih lanjut oleh Hofstede mengenai karakteristik negara dengan kebudayaan maskulinisme dan kebudayaan feminisme melalui tabel berikut :
Tabel 2. Karakteristik Masyarakat Dalam Negara dengan Kebudayaan Maskulinisme dan Feminisme (Teori)
Maskulinisme Norma Sosial
Feminisme
Orientasi Ego.
Orientasi hubungan.
Uang dan ke benda Kualitas merupakan
hal
penting.
merupakan
Bekerja untuk hidup.
Pertumbuhan ekonomi Perlindungan merupakan
prioritas
utama. Pemecahan
lingkungan merupakan prioritas utama.
konflik Pemecahan
melalui pemaksaan.
Agama
manusia
dan
hal penting.
Hidup untuk bekerja. Politik dan Ekonomi
hidup
konflik
melalui negosiasi.
Agama merupakan hal Agama merupakan hal terpenting
dalam
hidup.
yang kurang penting dalam hdup.
Hanya pria yang dapat Pria atau wanita dapat menjadi
pemuka
agama. Pekerjaan
menjadi
pemuka
agama.
Besarnya kesenjangan Kecilnya kesenjangan pendapatan antara pria
pendapatan antara pria
dan wanita.
dan wanita.
Sedikit wanita yang Lebih banyak wanita bekerja. Memilih
yang bekerja. pekerjaan Memilih
pekerjaan
Maskulinisme berdasarkan
besaran
pendapatan.
Feminisme berdasarkan kefleksibelan
waktu
kerja. Keluarga dan sekolah
Sturktur
keluarga Sturktur
tradisional. Anak
fleksibel. perempuan Baik
anak
menangis, anak laki-
maupun
laki tidak; anak laki-
menangis
laki berkelahi, anak
satupun
perempuan tidak.
berkelahi.
Kegagalan malapetaka.
Sumber : (Hofstede, 2003)
keluarga
adalah Kegagalan
laki-laki
perempuan ;
tidak yang
adalah
kecelakaan kecil.
Marsh (2011;2-3) mengatakan bahwa ketika dua kebudayaan disatukan dalam satu ikatan, baik melalui pernikahan atau yang lainnya dan individu tersebut terlibat dalam bisnis keluarga, akan ada satu titik dimana permasalahan perbedaan kebudayaan yang ada diantara mereka menjadi sebuah topik yang didiskusikan dan individu tersebut harus mampu menghadapi permasalahan tersebut. Karena jika keluarga merasa tidak memiliki kecocokan dengan individu tersebut, ia akan kehilangan pengaruhnya atau bahkan tidak dianggap sama sekali.
1.3. Perencanaan Suksesi Rothwell (2010: 371) mengatakan perencanaan suksesi adalah proses pengembangan bakat yang sesuai dengan kebutuhan organisasi baik saat ini maupun dimasa mendatang. Setiap saat ketika seorang manajer memberikan tugas, ia sebenarnya sedang mempersiapkan sesesorang bagi masa depan perusahaan karena apa yang dilakukannya adalah pembangunan kemampuan bekerja. Pengalaman kerja membangun kompetensi kerja, pengalaman kerja yang berbeda menghasilkan kompetensi kerja yang berbeda pula. Bork (1986:125-132) menerangkan model suksesi dalam bisnis keluarga terbatas sesuai dengan jumlah keluarga dan situasi yang dihadapi oleh keluarga tersebut. Secara garis besar terdapat lima model suksesi sesuai dengan situasi yang dihadapi :
2.2.1. Suksesi dengan Pewaris Tunggal Sejauh ini suksesi yang paling sederhana adalah suksesi dengan pewaris tunggal. Hak sebagai penerus biasanya jatuh ke anak lelaki tertua. Namun seperti yang sering terjadi, pengusaha seringkali tidak rela untuk melepaskan usahanya. Masalah
lain muncul ketika ahli waris yang ada adalah seorang anak perempuan. Karena statusnya sebagai wanita, orangtua bisa saja tidak mengindahkan keinginan dan bakat sang anak, hal lain yang mungkin terjadi adalah pendapat bias yang mendiskriminasi wanita sebagai pelaku bisnis. Dari pihak anak perempuan, dia mungkin tidak menginginkan atau memiliki ekspektasi apapun terhadap suatu posisi dalam bisnis keluarganya meskipun ia memiliki kemampuan, keterampilan, dan pendidikan yang mendukung.
2.2.2. Suksesi dengan Beberapa Pewaris Merupakan sesuatu yang lazim bagi sebuah keluarga jika mereka memiliki lebih dari satu orang yang mengharapkan atau menantikan untuk mewarisi bisnis keluarga. Situasi seperti ini menyebabkan berbagai macam kesulitan yang dapat mengganggu kelancaran bisnis dan keharmonisan keluarga.
2.2.3. Suksesi pada Pemilik Tak Aktif Secara prinsip, banyak masalah dapat dihindari jika para anggota keluarga yang tidak ingin untuk aktif dalam bisnis dan juga tidak memegang saham dalam bisnis. Keingintahuan dan keinginan para anggota tidak aktif seringkali berlawanan dengan keinginan para anggota keluarga yang aktif dalam bisnis. Singkatnya, pemilik tidak aktif biasanya menginginkan keuntungan perusahaan dibagikan dalam bentuk deviden daripada diputar dalam bentuk dana sabar atau investasi. Anggota yang aktif dan bekerja dalam perusahaan memiliki pengetahuan yang menyeluruh dan mendalam mengenai rancangan-rancangan dan kebutuhan keuangan perusahaan. Hal-hal yang disebutkan sebelumnya meliputi penggunaan dana sabar
untuk kebutuhan bagi peningkatan aset, ekspansi, dan untuk mempertahankan posisi dalam pasar.
2.2.4. Suksesi dengan Pewaris yang Merupakan Pasangan dari Pemilik yang Telah Meninggal Istri atau suami dari perintis perusahaan seringkali tidak diperhitungkan sebagai penerus. Meski begitu, kemampuan dan minat pada perusahaan sang pasangan bisa jadi sama atau bahkan lebih besar daripada anak-anak lelaki dan perempuan, saudarasaudara lelaki dan perempuan, serta sepupu-sepupu yang dilihat sebagai calon penerus. Hasilnya, jika ia adalah ahli waris yang dipilih, ia harus disadarkan akan tanggung jawabnya yang semakin besar dalam mengoperasikan perusahaan sebelum suatu perubahan membuatnya mengambil keputusan yang tidak bijaksana.
2.2.5. Suksesi dengan Pewaris Bukan Keluarga Penerus bisa saja tidak berasal dari dalam keluarga dikarenakan tidak ada anak sebagai penerus, atau anak-anak yang ada tidak tertarik untuk berkarier dalam usaha keluarga. Dalam kasus ini, keluarga harus melihat ke dalam perusahaan dan mencari seseorang yang memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menduduki jabatan tertinggi. Jika orang tersebut tidak berhasil ditemukan, satu-satunya pilihan yang tersedia hanyalah mencari orang di luar perusahaan. Kriteria yang dibutuhkan untuk memilih penerus diluar ikatan keluarga meliputi keterampilan, pengalaman, dan kemampuan untuk meneruskan tradisi keluarga, jika itu adalah yang diinginkan oleh keluarga.
Grassi dan Giamarcos dalam Bradley dan Burroughs (2010: 41) menyebutkan lima tahapan dalam perencanaan suksesi : 1.
Menentukan tujuan dan misi jangka panjang pemilik terhadap bisnis keluarga.
2.
Menentukan kebutuhan keuangan dari pemilik dan pasangannya dan mengembangkan dalam perencanaan jaminan keuangan.
3.
Menentukan siapa yang akan berada dalam manajemen bisnis keluarga dan siapa yang akan mengembangkan manajemen tersebut.
4.
Menentukan siapa yang akan meneruskan bisnis keluarga dan bagaimana ia menyerahkan bisnis keluarga tersebut.
5.
Meminimalisir pajak dalam proses penyerahan kekuasaan. Mancuso dan Shulman (1991: 23) memaparkan bahwa mengembangkan perencanaan
bisnis tidak berarti bahwa orangtua atau pemilik saat ini harus menyerahkan kontrol bisnis mereka secara penuh, proses ini mungkin membutuhkan waktu beberapa tahun. Hasil akhir dari proses ini adalah penyerahan kepemilikan pada generasi berikutnya.