BAB II LANDASAN TEORI A. PENDIDIKAN AKHLAK 1.
Pengertian Pendidikan Akhlak Pendidikan akhlak terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan akhlak. Secara lebih rinci akan dipaparkan pengertian masing-masing sebagai berikut. Pendidikan berasal dari kata didik, yaitu memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan ialah proses membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, dan pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas pendidikan baik formal maupun informal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat mereka hidup.1 Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak–anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani kearah kedewasaan.2 Kata “akhlaq” berasal dari bahasa Arab, yaitu jama’ dari kata “khuluqun”, yang secara linguistik diartikan dengan budi pekerti,
1
hlm. 21
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Alquran, (Jakarta: Amzah, 2007),
2
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung; Remaja Rosda Karya,2000), hal. 11
14
15
perangai, tingkah laku atau tabiat, tata krama, sopan santun, adab dan tindakan.3 Berikut ini adalah definisi akhlak yang dikemukakan oleh para ahli: Ibrahim Anis, menyatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya muncul macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.4 Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M), yang dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.5 Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M), yang dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibnu Miskawaih, mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gamblang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.6 Al-Faidh Al-Kasyani (w. 1091) berpendapat bahwa akhlak adalah ungkapan untuk menunjukkan kondisi yang mandiri dalam jiwa, yang
3
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
hlm.13 4
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 5 Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Op. Cit., hlm. 14 6 Ibid., hlm. 14 5
16
darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa didahului perenungan dan pemikiran.7 Setelah kita mengetahui pengertian satu persatu daripada pendidikan dan akhlaq, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pendidikan akhlak adalah suatu proses bimbingan atau pertolongan pendidik secara sadar pada anak agar dalam jiwa anak tersebut tertanam dan tumbuh sikap serta tingkah laku atau perbuatan yang sesuai dengan ajaran Islam, sehingga dalam pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohaninya tertanam kebiasaan perbuatan baik dengan mudah tanpa melalui pertimbangan terlebih dahulu, akan tetapi perbuatannya didasarkan pada keimanan, dan juga terbentuk kepribadian yang utama. 2.
Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Kahar Masyhur menyebutkan bahwa ruang lingkup pendidikan akhlak meliputi pendidikan tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap pencipta-Nya, terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap keluarganya, serta terhadap masyarakatnya. Sedangkan Ahmad Azhar Basyir menyebutkan cakupan pendidikan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk
7
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 15
17
penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk ciptaan Allah.8 Ruang lingkup pendidikan akhlak meliputi: a. Akhlak kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Akhlak kepada Allah merupakan sikap atau perbuatan manusia yang seharusnya dilakukan sebagai makhluk Sang Khalik. Bentuk dari akhlak ini adalah mensyukuri nikmat Allah yang telah kita terima, tidak menyekutukan-Nya, dan bertawakkal pada-Nya.9 Sedangkan akhlak kepada Rasulullah merupakan sikap yang harus kita miliki dalam perspektif sebagai umat beliau. Walaupun kita tidak hidup di zaman Nabi, namun kita dapat meneladani, mencontoh dan meniru sifat dan sikap Nabi Muhammad melalui berbagai riwayat hadis maupun kitab klasik. Bentuk pengamalan nyata dari akhlak ini yaitu bersikap jujur, amanah, dan meneladani sikap mulia Nabi. b. Akhlak Pribadi dan Keluarga Akhlak pribadi dan keluarga mencakup bahasan sikap dan profil Muslim yang mulia. Akhlak terhadap sesama manusia, dalam hal ini juga termasuk akhlak terhadap keluarga, merupakan implikasi dari tumbuh dan berkembangnya iman seseorang. Sikap
8
Nur Hidayat, Op. Cit., hlm. 23 Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 80 9
18
memperlakukan manusia dengan baik merupakan salah satu indikator kuatnya keimanan seseorang. Ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadis mengungkapkan banyak cara yang dapat dilakukan manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain, antara lain senantiasa mengucapkan yang baik dan benar, tidak mengucilkan seseorang, tidak berprasangka buruk, tidak menceritakan keburukan orang dan tidak memanggil seseorang dengan panggilan buruk.10 c. Akhlak Bermasyarakat dan Muamalah Akhlak bermasyarakat dan muamalah yang di dalamnya mencakup hubungan antar manusia. Akhlak ini mengatur konsep hidup seorang Muslim dalam bermuamalah di segala sektor, seperti dalam sektor ekonomi, kenegaraan, maupun sektor komunikasi, baik itu kepada Muslim atau non muslim dalam tataran lokal maupun global.11 3.
Tujuan Pendidikan Akhlak Tujuan pendidikan akhlak menurut Omar Muhammad AlThoumy Al-Syaibani “Tujuan tertinggi agama dan akhlak ialah menciptakan kebahagiaan dua kampung (dunia dan akherat), kesempurnaan jiwa bagi individu, dan menciptakan kebahagiaan,
10
Ibid., hlm. 80-81 Ibid.
11
19
kemajuan, kekuatan dan keteguhan bagi masyarakat”.12 Pada dasarnya apa yang akan dicapai dalam pendidikan akhlak adalah output berupa sikap dan kepribadian manusia. Menurut Moh. Athiyah Al–Abrasyi tujuan dari pendidikan moral dan akhlaq dalam Islam ialah untuk membuat orang–orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci.13 4.
Materi Pendidikan Akhlak Muatan
materi
pendidikan
akhlak
sangatlah
luas,
karena
pendidikan akhlak mengatur segala sikap dan tingkah laku manusia agar selalu berada dalam koridor kebaikan. Berikut ini beberapa materi pendidikan akhlak: a. Jujur Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.14 Perilaku yang jujur adalah perilaku yang diikuti oleh sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya tersebut atau integritas. Jujur pada diri sendiri berarti pula kesungguhan yang amat sangat 12
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 346 13 M. Athiyah Al–Abrasyi, Dasar – Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1990), hal. 104 14
Ulil Amri Syafri, Op. Cit., hlm. xi
20
untuk meningkatkan dan mengembangkan misi keberadaannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain.15 b. Tangguh dan Pantang Menyerah Keuletan merupakan modal yang sangat besar di dalam menghadapi segala tantangan dan tekanan (pressure). Sikap istiqamah, kerja keras, tangguh, dan ulet akan tumbuh sebagai bagian dari kepribadian diri kita, seandainya kita mampu dan gemar hidup dalam tantangan (challenge).16 c. Persaudaraan Persaudaraan sesama muslim adalah persaudaraan saling menolong, saling membantu secara nyata dalam pendidikan jiwa. Dimana tiap orang saling menolong dengan saudara-saudaranya yang lain. Seseorang yang sendirian adalah lemah dan bersama saudara-saudaranya adalah kuat.17 d. Kesabaran Kesabaran ada dua macam, yaitu sabar atas hal-hal yang dibenci dan sabar atas hal-hal yang dicintai. Segala sesuatu dalam hidup ini bersandar pada sabar.18 Sabar harus dibiasakan dan akan menjadi sifat yang tertanam untuk menghadapi segala kondisi.
15
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani,2002), hlm.
81-83 16
Ibid., hlm. 125-127 Abdul Hamid al-Balali, Madrasah Pendidikan Jiwa, terjemahan Atik Fikri Ilyas (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) hlm. 82 18 Khalil Al-Musawi, Bagaimana membangun kepribadian anda:Resep-resep Sederhana dan Mudah Membentuk Kepribadian Islam Sejati, terjemahan Ahmad Subandi, (Jakarta: Lentera Basritama, 1998), hlm. 26 17
21
5.
Metode Pendidikan Akhlak Metode berasal dari bahasa latin “meta” yang berarti melalui, dan “hodos” yang berarti jalan ke atau cara ke. Dalam bahasa Arab metode disebut “Tariqah” artinya jalan, cara, sistem atau ketertiban dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah suatu sistem atau cara yang mengatur suatu cita-cita.19 Selanjutnya yang dimaksud dengan metode pendidikan akhlak di sini adalah jalan, atau cara yang dapat ditempuh untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan akhlak kepada anak didik agar terwujud kepribadian yang dicita-citakan. Diantara metode pendidikan akhlak adalah sebagai berikut: a.
Metode Perintah (Imperatif) Perintah dalam Islam dikenal dengan sebutan al-amr. Dalam pembahasan masalah akhlak, kalimat al-amr lebih bermakna mutlak, kontinu atau istimrar, karena perintah yang kerap disebutkan pada masalah akhlak adalah penjelasan perkaraperkara baik yang harus dikerjakan oleh seorang Muslim. Perintah untuk mengerjakan sesuatu berarti juga bisa dimaknai larangan untuk amalan sebaliknya. Seperti perintah untuk berbuat jujur berarti larangan untuk melakukan kebohongan, perintah
19
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2005), hlm.123
22
untuk beramal dengan sifat kasih dan sayang yang berarti larangan berbuat kasar dan kekerasan, dan seterusnya.20 b.
Metode Larangan Pendekatan ini memberi pendidikan dalam berbagai dimensi kehidupan seorang mukmin untuk menjadi hamba-Nya yang taat. Larangan yang kerap disebutkan pada masalah akhlak adalah merupakan
penjelasan
perkara-perkara
buruk
yang
harus
ditinggalkan.21 Pelarangan-pelarangan dalam proses pendidikan bukanlah sebuah aib, tetapi metode itu penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Implikasi metode larangan adalah berupa pembatasan-pembatasan
dalam
proses
pendidikan,
dan
pembatasan itu dapat dilakukan dengan kalimat melarang atau mencegah.22 c.
Metode Targhib (Motivasi) Targhib kerap diartikan dengan kalimat yang melahirkan keinginan kuat (bahkan sampai pada tingkat rindu), membawa seseorang tergerak untuk menggerakkan amalan. Targhib bukan saja memiliki reaksi yang menimbulkan keinginan untuk menggerakkan
sesuatu,
tapi
juga
memunculkan
tingkat
kepercayaan pada sesuatu. Bisa juga dimaknai dengan rasa rindu yang membawa seseorang melakukan suatu amalan. Targhib 20
Ulil Amri Syafri, Op. Cit., hlm. 99-103 Ibid., hlm. 107 22 Ibid., hlm. 112 21
23
menjadi model pendidikan yang memberi efek motivasi untuk beramal dan memercayai sesuatu yang dijanjikan.23 Metode ini mendorong manusia-didik untuk belajar sesuatu bahan pelajaran atas dasar minat (motif) yang berkesadaran pribadi, terlepas dari paksaan atau tekanan mental. Belajar berdasarkan motif-motif yang bersumber dari kesadaran pribadi adalah suatu kegiatan positif yang membawa keberhasilan proses belajar.24 d.
Metode Tarhib Tarhib adalah upaya menakut-nakuti manusia agar menjauhi dan meninggalkan suatu perbuatan. Landasan dasarnya adalah ancaman, hukuman, sanksi, di mana hal tersebut adalah penjelasan sanksi dari konsekuensi meninggalkan perintah atau mengerjakan larangan.25
e.
Metode Kisah Kisah atau cerita mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Pembaca atau pendengar cerita tidak dapat bersikap kerja sama dengan jalan cerita dan orang-orang yang terdapat di dalamnya. Sadar atau tidak ia telah menggiring dirinya untuk mengikuti jalan cerita mengkhayalkan bahwa ia berada di pihak
23
Ibid., hlm. 112-113 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 210 25 Ulil Amri Syafri, Op. Cit., hlm. 118 24
24
ini atau itu dan sudah menimbang-nimbang posisinya dengan posisi tokoh cerita, yang mengakibatkan ia senang, benci atau merasa kagum.26 Tujuan yang hendak dicapai dari metode kisah atau cerita adalah untuk memberi dorongan psikologis kepada peserta didik.27 f.
Metode Dialog dan Debat Pendidikan melalui model-model dialog dan debat tentunya akan memberi didikan yang membawa pengaruh pada perasaan yang amat dalam bagi diri seseorang.28 Metode ini mengajak peserta didik berkomunikasi secara langsung dengan pendidik melalui pertanyaan dan jawaban berkesinambungan.
g.
Metode Pembiasaan Proses pendidikan yang terkait dengan perilaku ataupun sikap tanpa diikuti dan didukung adanya praktik dan pembiasaan pada diri, maka pendidikan itu hanya menjadi angan-angan belaka karena pembiasaan dalam proses pendidikan sangat dibutuhkan. Model pembiasaan ini mendorong dan memberikan ruang kepada anak didik pada teori-teori yang membutuhkan aplikasi langsung, sehingga teori yang berat bisa menjadi ringan bagi anak didik bila kerap dilaksanakan.29
26
Nur Uhbiyati, Op. Cit., hlm. 138 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 168 28 Ulil Amri Syafri, Loc. Cit., 29 Ibid., hlm. 139-140 27
25
h.
Metode Qudwah (Teladan) Keteladanan atau qudwah merupakan satu model yang sangat efektif untuk mempengaruhi orang lain. Model ini banyak terdapat pada bidang pendidikan dan dakwah. Model qudwah memiliki daya pengaruh dalam menyampaikan pesan.30 Dalam proses pendidikan berarti setiap pendidik harus berusaha menjadi teladan peserta didiknya. Teladan bagi semua kebaikan dan bukan sebaliknya. Dengan keteladanan itu dimaksudkan peserta didik senantiasa akan mencontoh segala sesuatu yang baik-baik dalam perkataan maupun perbuatan.31
i. Metode Hukuman dan Ganjaran Efektifitas metode hukuman dan ganjaran berasal dari fakta yang menyatakan bahwa metode ini secara kuat berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan individu. Seorang peserta didik yang menerima ganjaran akan memahaminya sebagai tanda penerimaan kepribadiannya yang membuat merasa aman. Keamanan merupakan salah satu kebutuhan psikologis, sementara hukuman yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak disukainya akan dapat menguatkan rasa aman tersebut.32
30
Ibid., hlm.142 Ramayulis, Op. Cit., hlm. 170 32 Ibid., hlm. 168 31
26
j.
Metode Disiplin Peserta didik sejak dini harus dikenalkan dengan nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia, yang berguna bagi dirinya masing-masing agar berlangsung tertib, efisien dan efektif. Dengan kata lain setiap peserta didik harus dibantu hidup secara disiplin, dalam arti mau dan mampu mematuhi atau mentaati ketentuan yang berlaku di lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya.33
B. REMAJA 1.
Pengertian Remaja World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Definisi tersebut berbunyi sebagai berikut. Remaja adalah suatu masa dimana: a.
Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
b.
Individu
mengalami
perkembangan
psikologis
identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
33
Ibid., hlm. 172
dan
pola
27
c.
Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.34 Remaja merupakan sekelompok usia yang menjadi perhatian
banyak kalangan baik psikolog, sosiolog, pendidik dan sebagainya. Secara fisik mereka dalam kondisi yang optimal karena berada pada puncak perkembangannya. Namun mereka berada pada fase yang mengalami banyak masalah baik menyangkut hubungan dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.35 Masa
remaja
dapat
ditinjau
sejak
mulainya
seseorang
menunjukkan tanda-tanda pubertas dan berlanjut hingga dicapainya kematangan seksual, telah mencapai tinggi badan secara maksimal, dan pertumbuhan mentalnya secara penuh yang dapat diramalkan melalui pengukuran tes-tes intelegensi.36 Diantara perubahan-perubahan fisik, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi panjang dan tinggi), mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda sekunder yang tumbuh.37 Masa remaja disebut pula masa
34
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 11-12 M. Sugeng Sholehudin, Psikologi Perkembangan dalam Perspektif Pengantar, (Pekalongan: STAIN Press, 2008), hlm. 135 36 Panut Panuju dan Ida Umami, Psikologi Remaja, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 4 37 Sarlito W. Sarwono, Op. Cit., hlm. 62 35
28
puber. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.38 Jadi remaja adalah tahap dimana seorang individu mengalami perubahan dalam berbagai aspek meliputi fisik dan psikis, mengalami berbagai masalah penyesuaian diri dengan yang ada dalam kehidupannya, kebingungan dan membutuhkan bimbingan berupa pendidikan berkelanjutan dalam berbagai hal. 2.
Ciri-ciri Masa Remaja a. Ciri-ciri fisik Ciri-ciri masa remaja dilihat dari aspek fisik yaitu sebagai berikut: 1) Pada Anak Perempuan: a) Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggotaanggota badan menjadi panjang). b) Pertumbuhan payudara. c) Tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan dan ketiak. d) Haid. 2) Pada Anak Laki-Laki: a) Pertumbuhan tulang-tulang. b) Testis (buah pelir) membesar. c) Tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus dan berwarna gelap.
38
Desmita, Psikologi Perkembangan, (PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 190
29
d) Awal perubahan suara. e) Ejakulasi (keluarnya air mani). f)
Tumbuh rambut-rambut halus di wajah (kumis, jenggot).39
b. Ciri-ciri sikap dan perilaku meliputi: 1) Ingin menyendiri, pada masa ini anak-anak biasanya menarik diri dari teman-teman dan kegiatan keluarga, melamun, terkadang melakukan eksperimen seks melalui masturbasi. 2) Bosan, remaja bosan dengan permainan yang sebelumnya digemari, tugas-tugas sekolah, kegiatan-kegiatan sosial dan kehidupan pada umumnya. Akibatnya, anak sedikit sekali bekerja sehingga prestasinya menurun. 3) Antagonisme sosial, seringkali tidak mau bekerja sama, sering membantah dan menentang. 4) Emosi yang meninggi, kemurungan merajuk, merasa khawatir, gelisah dan cepat marah. 5) Hilangnya kepercayaan diri, perubahan fisik yang terjadi pada remaja menyebabkan mereka sering merasa tidak percaya diri.40 c. Ciri-ciri ditinjau dari segi pisikis: 1) Masa Remaja sebagai Periode yang Penting Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental, terutama pada masa 39 40
Sarlito W. Sarwono, Op. Cit., hlm. 62-63 M. Sugeng Sholehudin, Op. Cit., hlm. 143-144
30
awal remaja. Semua itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.41 2) Masa Remaja sebagai Periode Peralihan Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Mereka harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku yang baru. 3) Masa Remaja sebagai Periode Perubahan Ada lima perubahan yang hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tigkat perubahan fisik dan psikologis. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk diperankan, menimbulkan masalah baru. Ketiga, remaja akan
tetap
ditimbuni
masalah
sampai
ia
sendiri
menyelesaikannya menurut kepuasannya. Keempat, dengan berubahnya pola minat dan perilaku maka nilai-nilai juga berubah. Kelima, setiap remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.
41
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, alih bahasa oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991), hlm. 207
31
4) Masa Remaja sebagai Usia Bermasalah Karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.42 Disinilah timbul masalah baru karena apa yang mereka harapkan tidak sesuai dengan realita yang terjadi. 5) Masa Remaja sebagai Masa Mencari Identitas Identitas diri yang dicari remaja berupa uaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat. Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu
adalah
dengan
menggunakan
simbol
status
kepemilikan benda. 6) Masa Remaja sebagai Masa yang Menimbulkan Ketakutan Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anakanak yang tidak rapih, tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut tanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.
42
Ibid., hlm. 208
32
7) Masa Remaja sebagai Masa yang Tidak Realistik Remaja cenderung memandang dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita menyebabkan tingginya emosi yang merupakan ciri awal dari masa remaja. 8) Masa Remaja sebagai Ambang Masa Dewasa Pada fase ini remaja mulai memusatkan diri dengan perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa. Mulai membanyangkan dan memikirkan mengenai apa yang akan ia hadapi kelak.43 Dari penjelasan yang telah dipaparkan dapat ditarik definisi bahwa pendidikan akhlak remaja merupakan proses pembentukan tingkah laku, sikap seorang remaja yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara pesat agar terarah sesuai tujuan pendidikan yang dicita-citakan dan dalam jiwanya tertanam kebaikan.
C. PENCAK SILAT 1.
Pengertian Pencak Silat Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pencak silat memiliki pengertian permainan (keahlian) dalam mempertahankan diri dengan
43
Ibid., hlm. 209
33
kepandaian menangkis, menyerang dan membela diri, baik dengan atau tanpa senjata.44 Kata pencak maupun silat sama-sama mengandung pengertian kerohanian, irama, keindahan, dan kiat maupun praktik, kinerja atau aplikasinya. PB IPSI (Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia) pada tahun 1975 mendefinisikan pencak silat sebagai berikut: “Pencak silat adalah hasil budaya manusia Indonesia untuk membela,
mempertahankan
eksistensi
(kemandiriannya),
dan
integritasnya (manunggal) terhadap lingkungan hidup atau alam sekitarnya untuk mencapai keselarasan hidup guna meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.45 Pencak silat berintikan seni olah raga yang mengandung unsur pembelaan diri untuk mempertahankan kehormatan, keselamatan, dan kebahagiaan dari kebenaran terhadap setiap penyerang.46 Terdapat banyak perguruan pencak silat di Indonesia, masingmasing perguruan memiliki karakteristik gerak, jurus, hingga ajaran yang berbeda-beda. Salah satu perguruan pencak silat yang masih aktif keberadaannya yaitu Persaudaraan Setia Hati Terate (biasa disingkat PSHT atau SH Terate), Perisai Diri, Tapak Suci, Pagar Nusa, Merpati Putih, Persinas Asad, dan masih banyak perguruan
44
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat Membangun Jatidiri dan Karakter Bangsa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 85 45 Ibid., hlm. 86 46 Persaudaraan Setia Hati Terate Pusat Madiun, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, (Madiun), hlm. 5
34
lainnya yang tersebar di berbagai daerah di nusantara. Dan pencak silat yang akan penulis bahas pada penelitian ini adalah Persaudaraan Setia Hati Terate. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pencak silat merupakan seni beladiri yang berasal dari budaya asli bangsa Indonesia dan didalamnya mengandung berbagai ajaran luhur yang dapat diimplementasikan sebagai pendidikan akhlak. 2.
Manfaat Pencak Silat a. Pencak Silat sebagai Wahana Pendidikan Pencak Silat merupakan bagian dari budaya Bangsa Indonesia yang bernilai luhur, apabila dihayati keseluruhan nilai-nilainya akan mempunyai manfaat yang besar, bukan hanya bagi individu yang mempelajarinya tapi juga bagi masyarakat. Antara lain meningkatkan
takwa
kepada
Tuhan
Yang
Maha
Esa,
berkepribadian dan mencintai budaya Indonesia, serta mampu menguasai dan menjaga diri. Pencak silat yang berakar pada budaya Indonesia serta mencakup segi mental dan fisik secara integral diharapkan dapat membentuk manusia seutuhnya yang berkualifikasi seperti dibawah ini: 1) Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2) Berkepribadian dan mencintai budaya Indonesia. 3) Memiliki rasa percaya diri.
35
4) Mampu menguasai dan mengendalikan diri. 5) Senantiasa menegakkan kebenaran, kejujuran, dan keadilan, serta tahan uji dalam menghadapi cobaan dan godaan. 6) Mempunyai kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi dan suka menolong manusia lain yang sedang berada dalam kesulitan dan keresahan. 7) Anti kejahatan dan kenakalan yang mengganggu ketertiban dan ketenteraman masyarakat.47 b. Pencak Silat sebagai Pendidikan Jasmani Pencak Silat yang pada hakikatnya adalah kegiatan jasmani yang di dalamnya terkandung aspek olahraga juga merupakan wahana pendidikan jasmani yang memiliki tujuan tertentu. Tujuan yang terungkap dari pencak silat sebagai sarana pendidikan jasmani antara lain tujuan untuk mencapai kesehatan, tujuan rekreasi dan tujuan prestasi. Pencak Silat wujudnya merupakan peragaan dan latihan semua jurus dan teknik beladiri dilaksanakan secara utuh dan eksplisit dengan tujuan untuk memelihara atau meningkatkan kebugaran, ketangkasan, dan ketahanan jasmani.48
47 48
Mulyana, Op. Cit, hlm. 95-96 Ibid., hlm. 97
36
c. Pencak Silat sebagai Pendidikan Akhlak Sebagai hasil budaya bangsa Indonesia, pencak silat sarat dengan berbagai ajaran kerohanian yang berhubungan dengan akhlak. Berbagai ajaran tersebut mempunyai ciri khas masingmasing sesuai perguruan dan tempat pencak silat tersebut berasal. Namun dibalik semua keragaman tersebut tujuan utama ajaran pencak silat yang menyangkut akhlak mencakup tiga hal penting. Yaitu akhak kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak kepada sesama manusia dan akhlak kepada alam semesta. Sesuai dengan tujuan Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate yaitu “mendidik dan menjadikan manusia berbudi pekerti luhur, tahu benar dan salah, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.49
49
Persaudaraan Setia Hati Terate Pusat Madiun, Op. Cit., hlm. 8