BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Dampak
Ketunanetraan
Terhadap Keterampilan
Membaca 1. Pengertian Tunanetra Salah satu jenis kecacatan adalah cacat netra atau tunanetra atau cacat penglihatan. Pengertian Tunanetra
menurut Kamus besar Bahasa
Indonesia (DEPDIKBUD, 1990: 971) Tuna artinya rusak, luka, kurang, tidak memiliki, sedangkan Netra artinya mata (DEPDIKBUD, 1990:631), jadi Tunanetra artinya orang yang rusak matanya, atau luka matanya atau tidak memiliki mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihataannya. Hal
ini
diperkuat
oleh
pernyataan
Sutjihati
(2006:65)
yang
mengungkapkan Tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (ke dua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Sedangkan menurut Anggaran Rumah Tangga PERTUNI Bab 1, pasal 1 (2004:12), bahwa : Tunanetra adalah mereka yang berindera penglihatan lemah pada ke dua matanya sehingga tidak memiliki kemampuan membaca tulisan atau huruf cetak ukuran normal (ukuran huruf ketik pita) pada keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kacamata, sampai dengan mereka yang buta total Sabinus ngadu, 2012 Pengaruh Teknik Mangold Terhadap Kecepatan MembacaTulisan Braille Anak Tunanetra Kelas 1 Tingkat SDLB Di SLBN A Kota Bandung Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
14
Berdasarkan pengertian tersebut, tunanetra atau cacat netra bukan hanya seseorang yang tidak dapat melihat namun kemampuan jarak pandangnya terbatas. Sehingga dengan keterbatasannya, penyangdang cacat netra memerlukan usaha yang lebih besar untuk belajar dibandingkan orang awas. Secara khusus dalam kemampuan membaca cepat, seorang tunanetra memerlukan usaha yang lebih besar, waktu yang lebih lama dan teknik pembelajaran yang tepat dibandingkan dengan orang awas. Menurut DIT. PLB (2006) bahwa tunanetra memiliki keterbatasan dalam penglihatan antara lain: a.
tidak dapat melihat gerakan tangan pada jarak kurang dari satu meter;
b.
ketajaman penglihatan 20/200 kaki yaitu ketajaman yang mampu melihat suatu benda pada jarak 20 kaki
c.
bidang penglihatannya tidak lebih luas dari 20 derajat.
Menurut WHO (dalam Tarsidi, 2002) yang dimaksud dengan kebutaan adalah kehilangan medan pandang pada mata yang lebih baik setelah mendapatkan koreksi terbaik, atau sama dengan kehilangan penglihatan yang cukup untuk mampu berjalan-jalan. Sedangkan seseorang dikatakan kurang awas (low vision) apabila ada: a. mengalami gangguan fungsi penglihatan meskipun sudah memperoleh perawatan atau b. telah mendapat koreksi pembisaan standar, atau
15
c. memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 0,3 (6/18) hingga hanya memiliki persepsi cahaya atau d. medan pandangnya kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi tetapi menggunakan atau berpotensi untuk dapat menggunakan penglihatan guna merencanakan dan melaksanakan suatu tugas. Berdasarkan pengertian tunanetra di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tunanetra adalah orang yang kehilangan penglihatannya sedemikian rupa, sehingga seseorang itu sukar atau tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan dengan metode yang bisaanya dipergunakan di sekolah bisaa. Sebenarnya anak tunanetra dalam pendidikan tidak saja mempergunakan metode khusus, melainkan juga alat Bantu khusus yang digunakan untuk membaca dan menulis di antaranya adalah huruf Braille, riglet, dan pen. Menurut Tarsidi
(2003), secara edukasional,
tunanetra dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu : tunanetra berat yakni mereka yang dalam kegiatan pendidikannya menggunakan tulisan Braille atau dengan media audio, dan tunanetra ringan yiatu mereka yang dalam kegiatan pendidikannya menggunakan tulisan cetak besar (large print) dan juga media audio.
16
Sedangkan
Menurut
Sutjihati
(2006:66)
tunanetra
dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu a. Buta (Tunanetra Total) Dikatakan buta jika individu sama sekali tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar (visusnya = 0) b. Low Vision Bila anak masih mampu menerima rangsangan cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.
Kemampuan dan kebutuhan anak tunanetra berdasarkan klasifikasi tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam memberikan layangan dalam aktivitas pendidikannya. Anak tunanetra berat (buta) memerlukan bukubuku Braille, media/alat-alat pendidikan taktual dan rekaman-rekaman audio, sedangkan anak-anak yang low vision memerlukan buku-buku cetak yang diperbesar, berwarna kontras, alat bantu magnifikasi, dan juga rekaman-rekaman audio. Tentu saja anak-anak yang low vision akan memperoleh keuntungan yang lebih, disamping menggunakan buku-buku yang diperbesar mereka juga memahami tulisan Braille. Hal yang paling penting untuk diingat adalah pelajar yang mengalami kebutaaan dan kurang awas bisaanya membutuhkan teknik pembelajaran, cara dan alat Bantu yang berbeda.
17
2. Dampak Ketunanetraan Terhadap Keterampilan Membaca Dengan adanya hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan akan membawa dampak terhadap berbagai bidang perkembangan. Menurut Tarsidi (Nawawi, 2007) bahwa kehilangan penglihatan memiliki dampak terhadap perkembangan anak dalam empat bidang
perkembangan,
yaitu
perkembangan
sosial
dan
emosi,
perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, serta perkembangan motorik, orientasi dan mobilitas. Adanya ganggunan pada ke empat bidang perkembangan tersebut akan menghambat proses belajar tunanetra baik secara langsung maupun tidak langsung. Berhubungan dengan belajar, ketunanetraan memiliki dampak terhadap keterampilan membaca. Dalam kasus tunanetra pembaca Braille, fungsi mata digantikan oleh fungsi ujung-ujung jari. Braille merupakan sistem tulisan yang terdiri dari konfigurasi titik-titik timbul yang diciptakan oleh Louis Braille untuk dibaca secara taktual melalui ujung-ujung jari. Telah diungkap oleh berbagai penelitian bahwa membaca melalui saluran penglihatan lebih cepat daripada membaca melalui saluran perabaan. Kecepatan rata-rata membaca dari pembaca Braille yang terampil adalah 90-115 kata per menit, berbanding 250-300 kata per menit untuk mereka yang membaca secara visual (Simon & Huertas, 1998). Dapat diasumsikan bahwa penyebab utama dari perbedaan ke dua jenis membaca tersebut terletak pada jumlah informasi yang dapat diserap melalui ke dua alat indera tersebut. Pembaca awas menyerap informasi
18
tertulis melalui "visual fixation" (tatapan mata), di mana bidang persepsi dari masing-masing tatapan mata itu meliput sekurang-kurangnya 15 huruf (Simon & Huertas, 1998, dalam Tarsidi, 2007). Dalam hal membaca Braille, "tactile fixation" (rabaan ujung jari) tidak dapat dibandingkan dengan visual fixation, karena membaca taktual melibatkan koordinasi gerak jari, tangan dan lengan. Yang memungkinkan didapatnya informasi tertulis oleh pembaca Braille adalah gerakan tangan yang kontinyu, bukan sentuhan ujung-ujung jari pada tulisan itu saja. Di samping itu, bila gerakan mata memungkinkan orang melewatkan beberapa kata dari teks yang dibacanya, (meskipun terdapat sedikit fiksasi pada sebagian besar dari kata-kata itu), tetapi pembaca Braille tidak dapat melakukan hal yang sama, karena ujung jari-jarinya harus menyusur di atas semua huruf dari teks yang dibacanya. Keadaan
tersebut
di
atas
mengakibatkan
pembaca
tunanetra
menghadapi hambatan sensorial yang lebih besar, karena tactile field (bidang rabaan) dalam Braille ditentukan oleh informasi (setiap karakter Braille) yang dapat ditangkap oleh ujung-ujung jari.
Simon & Huertas (Tarsidi (2007) mengemukakan bahwa hasil beberapa eksperimen menunjukkan bahwa coverage time pada umumnya lebih besar daripada synthesis time. Mereka mengemukakan bahwa pembaca Braille harus mengidentifikasi masing-masing karakter yang
19
membentuk sebuah kata, menyimpan karakter-karakter itu di dalam ingatannya hingga keseluruhan kata itu teridentifikasi. Menurut Foulke (Tarsidi, 2007), pada umumnya pembaca Braille harus mengidentifikasi dan mengingat semua huruf dalam sebuah kata dan kemudian mengintegrasikannya agar dapat mengidentifikasi ke seluruhan kata itu. B. Sistem Tulisan Braille 1. Pengembangan sistem tulisan Braille Sebuah usaha untuk menciptakan tulisan bagi orang tunanetra telah dimulai sejak abad ke-4, yaitu ketika seorang cendikiawan tunanetra Jepang mengukir huruf-huruf pada kayu dan mendirikan sebuah perpustakaan yang cukup besar untuk menghimpun karya-karya itu (Tarsidi, 2007:6). Pada tahun 1676, seorang tunanetra katolik di Roma, Italia, bernama Francesco Terzi, menciptakan sejenis “abjad tali”. Dia membentuk
huruf-huruf
dari
berbagai
variasi
simpul
tali,
dan
menggunakan abjad talinya itu untuk mentranskripkan kitab injil. Seorang musisi wanita tunanetra dari Wina, Maria Theresa Von Paradis (lahir tahun 1741), belajar membaca dengan alat bantu berupa paku-paku yang ditancapkan pada sebuah bantalan untuk membentuk huruf-huruf. Dengan cara ini dia berhasil belajar membaca partitur music (Andersen, 2000). Upaya yang terkonsentrasikan untuk menciptakan sistem tulisan bagi tunanetra terjadi di paris pada tahun 1780-an. Valentine Hauy (1745-
20
1822), pendiri dan direktur sekolah pertama bagi tunanetra di dunia, menghasilkan huruf-huruf timbul pada kertas tebal yang dapat diraba dan dibaca dengan ujung-ujung jari. Untuk menghasilkan huruf timbul tersebut, pertama-tama dia membuat cetakan huruf dari logam (tarsidi, 2007:7). Kurun waktu dari tahun 1825 hingga 1835 tampaknya merupakan masa dimana terdapat kegiatan yang universal untuk menciptakan dan mencetak tulisan timbul, di Inggris ada Gall, Alston, Moon, Fry, Frere, dan Lucas yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan mempunyai
pendukungnya masing-masing,
dan di
Amerika ada
Friedlander, Howe dan lain-lain (shodorsmall, 2000 dalam Tarsidi, 2007:9). Yang paling menonjol di antara mereka adalah Dr. William Moon seorang tunanetra Inggris. Pada tahun 1845 dia menciptakan sebuah sistem huruf timbul yang menggunakan abjad romawi, dengan beberapa huruf dimodifikasi atau disederhanakan. Prinsip yang digunakan adalah bahwa sedapat mungkin huruf timbul itu sama dengan bentuk aslinya (abjad romawi) tetapi harus mudah dikenali dengan perabaan. Dalam abjad Moon ini, 8 huruf tetap sama, 14 huruf disederhanakan, dan 5 huruf dirancang sama sekali baru. Sistem Moon ini dipergunakan oleh relatif banyak orang tunanetra untuk jangka waktu yang cukup panjang. Abjad ini masih dipergunakan hingga awal abad ke 20 (tarsidi, 2007:9).
21
Gambar2.1 Abjad Moon Pada tahun 1815, dalam peperangan Napoleon, Barbier menciptakan tulisan sandi yag terdiri dari titik-titik dan garis-garis timbul yang dinamakan “tulisan malam”. Dia menggunakan tulisan ini untuk memungkinkan pasukannya membaca perintah-perintah militer dalam kegelapan malam dengan merabanya melalui ujung-ujung jari. Sistem ini didasarkan atas metodologi fonetik (atau sonografi). Setiap kata diuraikan menjadi bunyi, dan setiap bunyi dilambangkan dengan konfigurasi titiktitik dan garis-garis tertentu (Davidson,2005; shodorsmall, 2000 dalam Tarsidi 2007:10) Barbier menggunakan pola 12 titik yang terdiri dari dua deretan vertikal yang masing-masing terdiri dari enam titik. Titik-titik tersebut dibuat dengan menusukkan sebuah alat tajam pada kertas tebal yang diletakkan pada sebuah cetakan logam. Alat yang inovatif ini masih bertahan hingga kini sebagai alat tulis Braille yang paling banyak digunakan. Akan tetapi, sistem tulisan malam ini memiliki banyak kekurangan. Sistem ini tidak membedakan huruf capital dan huruf kecil, tidak ada
22
tanda-tanda untuk angka ataupun tanda-tanda baca; membutuhkan banyak ruang, dan sulit dipelajari. Tulisan maslam mungkin efektif untuk menuliskan pesan-pesan singkat seperti “maju” atau “musuh ada di belakang kita”, tetapi tidak bagus dipergunakan untuk membuat buku bagi tunanetra (Davidson, 2005; Tarsidi, 2007:11). Sistem tulisan malam inilah yang mendasari sitem tulisan Braille yang kita kenal sekarang ini.
2. Sistem Tulisan Braille a. Sejarah Perkembangan sistem Braille Sistem tulisan bagi tunanetra yang kita kenal sekarang ini diberi nama pencipta, yaitu Braille. Louis Braille lahir pada tanggal 4 Januari 1809 di Coupvray. Dia menjadi buta pada usia tiga tahun sebagai akibat kecelakaan dengan pisau milik ayahnya yang seorang pembuat pelana kuda. Dia masuk sekolah bisaa di daerah tempat tinggalnya. Ayahnya membantu Louis Braille dengan membuat tulisan yang dapat dibacanya, yaitu dengan membentuk huruf dari paku-paku yang ditancapkan pada papan kayu. Pada usia sepuluh tahun, Louis dimasukkan ke sekolah khusus bagi tunanetra di paris, dimana dia bertemu dengan kapten Charles Barbier dan diperkenalkan dengan sistem tulisan Barbier. Louis Braille menyadari bahwa sistem tulisan Barbier kurang baik sebagai media baca/tulis, tetapi dia sangat menyukai gagasan
23
penggunaan titik-titik untuk tulisan bagi tunanetra, maka setelah pertemuannya
dengan
Charles
Barbier,
Louis
Braille
selalu
memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membuat titik-titik dan garis-garis pada kartu-kartu untuk berusaha menciptakan tulisan yang cocok bagi tunanetra (Tarsidi, 2007:13). Dia selalu mencoba hasil tulisan-tulisannya kepada temannya. Temannya lebih peka terhadap titik-titik daripada garis, maka dia memutuskan untuk hanya menggunakan titik-titik saja dan mengesampingkan garis-garis bagi tulisannya itu. Kemudian dia mengurangi jumlah titiknya dari dua belas hanya menjadi enam saja. Pada tahun 1834, ketika Louis Braille berusia awal 20-an, setelah bereksperimen dengan inovasinya itu selama lebih dari sepuluh tahun, sempurnalah sistem tulisan yang terdiri dari titik-titik timbul itu. Louis Braille hanya mengunakan enam titik “domino” sebagai kerangka sistem tulisannya itu – tiga titik ke bawah dan dua titik ke kanan (lihat gambar 2.2). untuk memudahkan pendeskripsian, tiga titik di sebelah kiri diberi nomor 1, 2 dan 3 (dari atas ke bawah), dan tiga titik disebelah kanan diberi nomor 4, 5, dan 6. Satu atau beberapa dari enam titik itu divariasikan letaknya sehingga dapat membentuk sebanyak 63 macam kombinasi yang cukup untuk menggambarkan abjad, angka, tanda-tanda baca, matematika, musik , dan lain-lain (Tarsidi, 2007 :14)
24
Gambar 2.2 Kerangka Abjad Braille
Pada tahun 1851 Dr. Dufau mengajukan ciptaan Braille itu kepada Pemerintah Perancis dengan permohonan agar ciptaan tersebut mendapat pengakuan pemerintah, dan agar Louis Braille diberi tanda jasa. Tetapi hingga dia meninggal pada tanggal 6 januari 1852, tanda jasa ataupun pengakuan resmi terhadap ciptaannya itu tidak pernah diterimanya. Baru beberapa bulan setelah wafatnya, ciptaan Louis Braille itu diakui secara resmi di L’Institute Nationale des Jeunes Aveugles, dan beberapa tahun kemudian dipergunakan di beberapa sekolah tunanetra di negara-negara lain. Baru menjelang akhir abad ke-19 sistem tulisan ini diterima secara universal dengan nama tulisan “Braille”. b. Perkembangan alat tulis Braille Braille dapat diproduksi menggunakan beberapa macam alat, yaitu (1) reglet dan pen, (2) mesin tik Braille, dan (3) komputer dengan printer Braille. 1) Reglet dan Pen
25
Reglet dan pen (slate and stylus) merupakan alat tertua yang dipergunakan untuk menulis Braille. Prototype alat ini diciptakan oleh Charles Barbier (Shodorsmall, 2000).
Gambar 2.3 Reglet
Reglet ini terdiri dari dua plat logam atau plastik yang digunakan dengan engsel. Satu plat logam (plat bawah) mempunyai lubang-lubang tak tembus berfungsi sebagai cetakan titik-titik, sedangkan satu plat lainnya (plat atas) mempunyai lubang-lubang tembus yang berfungsi untuk mengarahkan penggunanya dalam membentuk titik-titik itu. Lubang-lubang pada plat atas itu disebut petak. Dalam keadaan plat bawah dan plat atas ditutupkan, setiap petak merupakan pedoman untuk mengarah pada enam lubang titik yang membentuk kerangka tulisan Braille. 2) Mesin Tik Braille Mesin tik Braille (Braille writer atau Brailler) adalah alat yang dipergunakan untuk menghasilkan tulisan Braille dengan cara yang banyak persamaannya dengan mesin tik bisaa menghasilkan tulisan awas. Prototype mesin ini diciptakan pada tahun 1951 oleh David Abraham, seorang guru di Perkins School
26
for the Bling, Amerika Serikat (perkins School for the Blind, 2007). Terdapat beberapa macam mesin tik Braille yang diproduksi oleh beberapa negara, tetapi prinsip kerjanya sama. Mesin tik Braille yang paling banyak dipergunakan di seluruh dunia adalah Perkins Brailler buatan Howe Press, Amerika serikat. Berbeda dari mesin tik bisaa, mesin tik Braille hanya mempunyai enam tombol untuk menghasilkan karakter Braille, satu tombol spasi (di tengah), dan dua tombol lainnya (masingmasing satu tombol di pinggir kiri dan kanan mesin) untuk menggerakkan kertas.
Gambar 2.4 Perkins Braille 3) Komputer dengan printer Braille Printer Braille (yang juga dikenal dengan istilah Braille embosser), mencetak data yang dikirim dari komputer. Braillo merupakan satu dari banyak produsen printer Braille di dunia. Printer ini banyak terdapat di Indonesia sebagai kerjasama antara pemerintah
Indonesia
dan
pemerintah
Norwegia
mengembangkan pendidikan bagi tunanetra di Indonesia.
untuk
27
Untuk dapat mencetak data menggunakan printer Braille, terlebih dahulu data itu dibuat menggunakan program pengolah data seperti Microsoft Word. Kemudian data Word itu dikonversi ke dalam format Braille menggunakan program aplikasi penerjemah Braille. Program inilah yang mengirim data Braille dari komputer ke Braille Embosser itu. Inovasi ini telah membuat pencetakan Braille menjadi lebih mudah dan lebih cepat.
Gambar 2.5 Printer Braille
c. Abjad Braille Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa karakter Braille dibentuk berdasarkan kerangka enam titik: dua titik ke kanan dan tiga titik ke bawah,. Untuk memudahkan perujukan pada titik-titik dalam kerangka tersebut, masing-masing titik diberi nomor sebagai berikut: 1
4
2
5
3
6
Gambar 2.6 kerangka Braille
28
Jadi, dihitung mulai dari atas, titik-titik di sebelah kiri di beri nomor 1, 2, dan 3, sedangkan titik-titik di sebelah kanan di beri nomor 4, 5, dan 6. Penomoran ini akan mempermudah dalam belajar menulis Braille dengan menggunakan reglet maupun mesin tik. Abjad Braille dibentuk dengan pola yang logis sehingga mudah dihafal. Sepuluh huruf pertama (a sampai j) hanya menggunkan titik 1, 2, 4, dan 5. Dengan kata lain, sepuluh huruf pertama tersebut hanya menggunakan “tanda atas”. Dengan
melafalkan sepuluh huruf
pertama ini, huruf-huruf lainnya dapat “dikalkulasi” dengan mudah. Kesepuluh huruf pertama itu dapat dilihat pada table 2.1 sebagai berikut. Table 2.1 Huruf A-J A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
Nomor titik huruf-huruf di atas adalah sebagai berikut a = titik 1 b = titik 1-2 c = titik 1-4 d = titik 1-4-5 e = titik 1-5 f = titik 1-2-4
29
g = titik 1-2-4-5 h = titik 1-2-5 i = titik 2-4 j = titik 2-4-5
Sepuluh huruf berikutnya (k hingga t) dibentuk dengan menambahkan titik 3 pada ke sepuluh huruf pertama sebagai berikut: Table 2.2 Huruf K-T K
L
M
N
O
P
Q
R
S
T
k
l
m
n
o
p
q
r
s
t
Nomor titik huruf-huruf di atas adalah sebagai berikut: k = titik 1-3 l = titik 1-2-3 m = titik 1-3-4 n = titik 1-3-4-5 o = titik 1-3-5 p = titik 1-2-3-4 q = titik 1-2-3-4-5 r = titik 1-2-3-5 s = titik 2-3-4 t = titik 2-3-4-5
30
Lima huruf berikutnya (u,v, x,
y, z) dibentuk dengan
menambahkan titik 3-6 dari huruf a, b, c, d, dan e. Bagaimana dengan huruf w? huruf ini tidak dikenal dalam bahasa perancis (sekurang-kurangnya hingga tahun 1860), sehingga huruf w tidak tercantum dalam abjad Braille yang asli. Huruf w baru ditambahkan kemudian setelah abjad Braille dibawa ke Amerika Serikat. Oleh karena itu, konfigurasinya pun tidak mengikuti pola di atas. Huruf u hingga z selengkapnya adalah sebagai berikut: Table 2.3 Huruf U-Z U
V
W
X
Y
Z
u
v
w
x
y
z
Nomor titik-titik untuk huruf u hingga z adalah sebagai berikut: u = titik 1-3-6 v = titik 1-2-3-6 w = titik 2-4-5-6 x = titik 1-3-4-6 y = titik 1-3-4-5-6 z = titik 1-3-5-6 Seperti telah diketahui bahwa anak tunanetra lambat dalam membaca. Untuk meningkatkan keterampilan membaca maka anak tunanetra
31
perlu dikenalkan dengan sistem tulisan Braille sedini mungkin. Pengenalan huruf Braille bukan hanya pada pengenalan titik-titik yang membentuk huruf, tetapi harus juga dikenalkan dengan tulisan Braille dan cara membaca tulisan Braille agar taktil anak terlatih sejak dini untuk meraba dan membaca tulisan Braille. Salah satu teknik yang dapat memberikan pembelajaran pengenalan huruf dan melatih taktil anak dalam membaca tulisan Braille adalah teknik Mangold.
C. Teknik Mangold Teknik Mangold merupakan sebuah program pembelajaran membaca yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan membaca yang baik dengan menggunakan ke dua belah tangan. Beberapa riset telah menunjukkan bahwa beberapa pembaca Braille yang baik hanya menggunakan sebelah tangan akan tetapi kebanyakan pembaca yang cepat menggunakan ke dua belah tangan. Dalam buku karya Sally Mangold, yang berjudul The Mangold Developmental Program of Tactual Perception and Braille letter Recognition (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), disebutkan bahwa bahan bacaan Mangold terutama berusaha mengatasi kekurangan-kekurangan yang serius, seperti diperolehnya gerakan yang dapat dan ringan di atas halaman Braille melihat secara horizontal dan vertikal, dan teknik-teknik menyusur serta dapat menggunakan ke dua belah tangan secara efesien.
32
Teknik Mangold terdiri dari beberapa pelajaran. Adapun ringkasan pelajaran-pelajaran dalam teknik Mangold adalah sebagai berikut:
1. Pelajaran 1 Untuk pelajaran 1 terdiri dari kegiatan 1-5 memberikan latihan menggunakan ke dua tangan bersama-sama. Cara menggunakan tangan sendiri dimulai dari kegiatan 6-11. adapun kegiatan-kegiatan dalam pelajaran pertama adalah sebagai berikut: a. Kegiatan 1 Dalam pelajaran berikut ini lebih menekankan pada pengenalan apakah garis itu tebal, tipis, panjang, pendek. Letakkan tangan murid hingga semua jari-jarinya ada di atas halaman. Bantulah dia menemukan ujung kiri garis di atas. Bantulah dia menyusuri garis hingga ke ujung kanan. Tunjukkan cara menyusuri kembali garis tadi keujung kiri. Sekarang Bantu dia menyusuri garis vertikal ke bawah hingga menemukan garis ke dua. Tekanan “permulaan” dan “ujung” setiap garis dan “atas” serta “bawah” dari halaman.
Gambar 2. 7. Halaman garis tebal dan tipis
33
b. Kegiatan 2 Bantulah
murid untuk menyusuri dari kiri ke kanan hingga
menemukan ujung kanan garis atas. Lalu katakan bahwa ia bisa memotong ke garis berikutnya. Bantu ia menyusuri garis diagonal hingga menemukan permulaan garis berikutnya.
Gambar 2.8. gambar garis memotong diagonal
c. Kegiatan 3 Dengan cara memotong, gerakan jari di atas tiap garis secepat mungkin. Perhatikan apakah garis-garis itu berbeda dari garis pada halaman sebelumnya.
Gambar 2.9. gambar halam garis panjang pendek
34
d. Kegiatan 4 Mengenalkan Pad. Pemakaian pad ini akan memperkuat otot-otot yang ia gunakan waktu membaca dan menulis Braille, yang nantinya akan membantu dia bekerja sendiri. Letakkan jarum/paku pada ujung-ujung atas. Suruh siswa berlatih menyusuri semua garis pada halaman.
Aaaaaaaaaaaaaaaaa Gggggggggg Cccccccccccccc Llllllllllllllllllll Iiiii Ffffffffffffffff bbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
Gambar 2.10. Halaman Pad
35
e. Kegiatan 5 Gerakkan jarimu secepat mungkin di atas pad. Hitunglah jumlah kotak-kotak pada setiap garis. Halaman garis dengan kotak seperti pada gambar berikut. _ _ _ _ _ _ _ _#_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ____________________________ ____ __________ __________ ____________ _____________ _____
_________ ____
________________________________ _______________
_________________
________ _______________
________
Gambar 2.11 gambar halaman garis dengan kotak
36
f. Kegiatan 6 Tunjukkan pada siswa cara menyusuri garis-garis pendek dengan ke dua tangannya bersamaan dengan mengikuti halamn kiri kemudian barulah halaman kanan. Suruh siswa kembali kebagian atas dari halaman. Suruh siswa menyusuri garis-garis pendek sebelah kiri dengan ke dua tangan, berhenti pada garis vertikal. Lalu telusuri bagian kanan dengan tangan kanan saja.
Aaaaaaaaaaaaaaa Ccccccccccccccc Ggggggggggggggg Ggggggggggggggg ############### bbbbbbbbbbbbbbb
Aaaaaaaaaaaaaaa Ccccccccccccccc aaaaaaaaaaaaaaa bbbbbbbbbbbbbbb bbbbbbbbbbbbbbb ###############
Gambar 2.12 halaman garis huruf dengan garis di tengah
37
g. Kegiatan 7 Kegiatan ini sama seperti pada kegiatan 6. suruh siswa menyusuri garis garis pendek sebelah kiri dengan ke dua tangan, berhentilan pada bagian kosong di tengah dan dengan tangan kanan menyelesaikan garis-garis
Aaaaaaaaaaaaaaa Ccccccccccccccc Ggggggggggggggg Ggggggggggggggg ############### bbbbbbbbbbbbbbb
Aaaaaaaaaaaaaaa Ccccccccccccccc aaaaaaaaaaaaaaa bbbbbbbbbbbbbbb bbbbbbbbbbbbbbb ###############
Gambar2.13. halaman baris huruf tanpa garis Untuk kegiatan 8-10 hampir sama dengan kegiatan 6 dan 7
38
h. Kegiatan 11 Kegiatan 11 merupakan permainan zigzag. Dalam kegiatan ini anak disuruh mencari ujung garis yang dekat dengan garis tebal di tengah. Ketika guru menyebut mulai siswa mengikuti zig-zag sampai pada ujung lainnya sebelum guru menyuruh berhenti. Permainan dimainkan oleh tangan kiri saja atau tangan kanan saja atau dengan ke dua tangan
Gambar 2.14 halaman garis zig-zag
39
2. Pelajaran II Dalam pelajaran ke dua ini terdiri dari 4 kegiatan. Setiap kegiatan hampir sama dengan kegiatan pada pelajaran yang pertama. Tapi pada pelajaran ke dua ini, huruf-huruf sudah bervariasi pada setiap barisnya. Sedangkan pada pelajaran satu tiap baris terdiri dari satu huruf atau satu tanda. Adapun kegiatan dari pembelajaran ke dua di antaranya sebagai berikut:
a. Kegiatan 1 Menyusuri dari arah kiri ke kanan di atas huruf-huruf yang berdempetan tanpa jarak
Afyxprtihtvajlghobcksrhgfmsfpr Alhgbdetpoqmnzxbslhaewrtnmeklpep Sdlejqwlepebhhfmdfqdq Mnaksphailgsbiwtdinlksdafl; Gnklzgoaplhld Fskdioagl;amhsksl Bsldjnl;sj;fnjjfhgoajpohgh Gsdki hggfuhosjgpagorgjognih Gambar 2.15 halaman baris huruf tanpa jarak
40
b. Kegiatan 2 Telusuri secepat mungkin dari kiri ke kanan pada semua garis pada halaman ini. Sekarang kembali ke garis atas. Letakkan jarum pada permulaan dan ujung setiap garis. Halaman ini hampir sama dengan halaman pada kegiatan 1
c. Kegiatan 3 untuk kegiatan ke tiga hampir sama dengan kegiatan 7 pelajaran 1. hanya pada kegiatan ini huruf-huruf pada setiap baris lebih bervariasi.
Amwhakfcjlsqpos njagtlwosymdhge iyslamlpoqwdmgk trwqljmpsgosgka bcjaklsuoqgmahg
Tqriqpuuwpqm,eo Dosmxgtrakmagfp Bdlslgwtmabmalo Kpqhjdenbaoqyer Fiafyfqoqyhioyu
Gambar 2.16. halaman baris huruf-huruf bervariaasi tanpa garis di tengah
d. Kegiatan 4 Untuk kegiatan 4 hampir sama petunjuknya dengan kegiatan 6 pada pelajaran 1, yang membedakan hanya pada huruf-hurufnya yang lebih bervariasi pada kegiatan ini. Untuk gambar hampir sama dengan gambar 2.7, hanya pada kegiatan ini memakai garis tengah.
41
3. Pelajaran III Pada pelajaran ke tiga ini terdiri dari 4 kegiatan. Adapun kegiatan dari pelajaran ke tiga adalah sebagai berikut:
a. Kegiatan 1 Telusuri setiap garis pada halaman ini secepat mungkin. Sekarang kembali ke garis atas. Letakkan jarum pada ujung tiap garis
Eeeeeeee#eeeeeeeeeeeeee Bbbbbbbbbbbb#bbbbbbbb#b Aa#aaaaa#aaaaaaaa#aaaaa Lllll#lllllllllllll#lll Ffffffffff#ffff#fffffff #sssssssssssssssssssss# Oooooooooooooooooooo#o# Gambar 2.17. halaman baris huruf dengan kotak
b. Kegiatan 2 Untuk kegiatan 2 hampir sama dengan kegiatan 1. hanya pada kegiatan 2 semua huruf sama tanpa ada tanda kotak
42
c. Kegiatan 3 Letakkan sebuah paku pada permulaan dan akhir setiap baris
Ccccccc Cccccccccccccc Ccc Ccccccccccc Cccccccccccccccccccc Ccccc Cccccccc cccccccccccccccc Gambar 2.18. halaman baris huruf yang sama
d. Kegiatan 4 Letakkan paku pada permulaan setiap baris. Spasi di antara tandatanda. Halamn untuk kegiatan ini hampir sama dengan halaman kegiatan 3, hanya saja ada jarak atau spasi untuk tiap baris.
43
4. Pelajaran IV Pelajaran ke empat ini terdiri dari 4 kegiatan. Adapun salah satu dari kegiatan ke empat ini adalah sebagai berikut: menelusuri dari kiri ke kanan pada huruf-huruf dengan satu atau dua spasi.
A f y x p r t I h t v a j A l h g b d e t p o q m n z x b S d l e j q w l e p e M n a k s p h a I l g s b I w F s k d I o a g B s l d j n l ; s j ; f G s d k I f g t u e y e s H g g f u h o s j g p a g o r g fgjsgjagadjteriuioeqwyijf hifuyuyhw Gambar 2.19. halaman baris huruf yang bervariasi dengan jarak atau spasi
44
5. Pelajaran V Pelajaran v terdiri dari delapan kegiatan. Tetapi pada pelajaran ke lima ini mengajarkan cara menelusuri garis atau tanda-tanda secara vertikal. Salah satu contoh dari pelajaran ke lima ini adalah kegiatan pertama yaitu: menyusuri dari atas ke bawah pada huruf-huruf berurutan dan berdekatan. Posisi tangan yang betul adalah tempatkan ke dua telunjuk pada ujung atas garis vertikal pertama. Telunjuk tangan yang dominan dalam meraba harus bergerak menuruni kolom lebih dahulu. Bagian lain dari tangan kiri harus menyentuh halaman sebelah kiri yang vertikal.
L L L L L L L
g g g g g g g
c c c c c c c
Gambar 2.20 halaman huruf vertikal
45
6. Pelajaran VI Pada pelajaran ke enam ini hampir sama dengan pelajaran ke lima yaitu tentang menyusuri dari atas ke bawah. Pelajaran ke enam ini terdiri dari empat kegiatan. Kegiatan
pertama menyusuri rentetan tanda-tanda
yang berbeda-beda yang terletak berdekatan tanpa spasi. Kegiatan ke dua yaitu meletakkan jarum pada ujung atas dan ujung baris dari tiap-tiap lajur secepat mungkin. Kegiatan ke tiga yaitu letakkan satu jarum di dalam garis yang terpendek dan letakkan dua jarum di garis yang terpanjang. Kegiatan ke empat yaitu cobalah meletakkan jarum di tiap tempat yang kosong selagi menyusuri ke bawah. Adapun contoh halaman dari pelajaran ke enam kegiatan ke empat seperti gambar di bawah ini:
l v s f g t e d d t
s h j m d q f x f d
w q j s j c u j h a
Gambar 2.21. halaman huruf vertikal dengan tempat yang kosong
46
7. Pelajaran VII Pelajaran ke tujuh masih sama tentang menyusuri dari atas ke bawah. Pelajaran ke tujuh terdiri dari 4 kegiatan. Kegiatan pertama adalah menyusuri rentetan tanda-tanda yang sama yang dipisahkan antara huruf dengan satu spasi. Kegiatan ke dua yaitu membaca lajur ke bawah secepat mungkin dan gunakan garis bantu. Kegiatan ke tiga yaitu memasang jarum pada ujung atas dan ujung bawah dari tiap-tiap lajur selama sepuluh hitungan yang dilakukan. Kegiatan ke empat adalah menemukan semua kotak kecil dan letakkan sebuah paku pada masing-masing tanda kotak. Adapun contoh halaman dari pelajaran ke tujuh kegiatan ke dua seperti gambar di bawah ini
l l l l l l l l l
l l l l l l l l l
l l l l l l l l l
Gambar 2.22. halaman huruf vertikal dengan garis Bantu
47
8. Pelajaran VIII Pelajaran ke delapan masih tentang menyusuri dari atas ke bawah. Pelajaran ke delapan terdiri dari 3 kegiatan. Kegiatan pertama yaitu menyusuri dari atas ke bawah tanda-tanda yang berbeda-beda, yang masingmasing dipisahkan satu spasi. Kegiatan ke dua adalah mula-mula letakkan sebuah paku pada puncak dan kemudian pada dasar setiap kolom. Kegiatan ke tiga gerakan jari-jari secepat mungkin dari puncak ke dasar dari setiap kolom. Letakkan sebuah paku dalam setiap tanda kotak kecil Adapun contoh dari pelajaran ke delapan kegiatan ke tiga seperti gambar di bawah ini:
l v s h b g t r z
s h # j m f # n d
w q e k r y a x o
Gambar 2. 23. halaman huruf vertikal dengan kotak kecil (tanda pagar)
48
9. Pelajaran IX Dalam pelajaran sembilan ini menemukan 2 bentuk yang sama. Pelajaran ke sembilan terdiri dari tiga kegiatan. Kegiatan pertama temukan dua bentuk yang sama atau berbeda. Bila bentuknya berbeda jangan meletakkan sebuah paku pada akhir garis itu. Kegiatan ke dua sama dengan kegiatan pertama, dengan hanya saja menggunakan garis-garis dari bentuk tersebut. kegiatan ke tiga sama dengan kegiatan pertama, hanya bentukkanya yang berbeda. Adapun contoh halaman dari pelajaran ke sembilan kegiatan pertama seperti gambar berikut:
Gambar 2.24. halaman bentuk
49
10. Pelajaran X Pelajaran tentang menemukan dua tanda yang berbeda. Pelajaran ke sepuluh terdiri dari dua kegiatan. Kegiatan pertama adalah menemukan dua tanda-tanda Braille yang sama atau berbeda. Kegiatan ke dua hampir sama dengan kegiatan pertama, tapi pada kegiatan ke dua ini menaruh sebuah paku/jarum pada tanda yang sama dan pada kegiatan ke dua memakai garis pemisah di tengah-tengah halaman.
Gy Mm Ss Hy Pz Nn Rm
tz bj hh qq kk tu iw
Gambar 2.17. halaman dua tanda sama dengan garis di tengah
50
11. Pelajaran XI Pelajaran sebelas masih menemukan dua tanda-tanda Braille yang sama. Tapi pada pelajaran sebelas ini tanda-tanda berada pada garis Braille.
-----ll-----------------------gy-------------------------------------------pp-------rr---------------------------------------jj-----------------------qy---------------tt---------------------------------------Fq---------------------jj--Gambar 2.25. halaman dua tanda pada garis Braille
12. Pelajaran XII Pelajaran dua belas ini adalah menemukan satu tanda yang berbeda setiap baris (tanda 1 dan c)
Cccccccccccccccccccclccccc Cccccccccccccccccccccccclc Ccclcccccccccccccccccccccc Llllllllllllllclllllllllll Llllllclllllllllclllllllll Llllllllllllllllllclllllll Cccccccccccccclccccccccccc llllllllllllllllllllllllcl Gambar 2.26. halaman huruf “ l ” dan “ c ”
51
13. Pelajaran XIII Menemukan sebuah tanda yang berbeda dari yang lainnya.
ggggggggggggwggggggggggg bbbbbbbbbbbbbbbbbbbobbbb ffffyfffffffffffffffffff aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaata yyyyybyyyyyyyyyyyyyyyyyy eeeeeeeeeeeeeeeereeeeeee sssssssssbssssssssssssss cccccccgcccccccccccccccc Gambar 2.27. halaman baris huruf dengan satu tanda yang berbeda
D. Pengenalan huruf Braille melalui teknik Mangold Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, huruf Braille dikenalkan bagi anak tunanetra sejak duduk di kelas persiapan. Pada umumnya pengenalan huruf pada siswa tunanetra kelas persiapan menggunakan media papan pantule. Akan tetapi penggunaan media pantule tidak dapat melatih taktik anak tunanetra, karena huruf yang berada pada papan pantule ukurannya terlalu besar jika dibandingkan dengan ukuran tulisan Braille yang sebenarnya. Sehingga anak tunanetra harus belajar lagi untuk dapat meraba tulisan Braille yang ditulis dengan riglet. Sebuah teknik yang dapat digunakan dalam mengenalkan huruf Braille sekaligus melatih kemampuan taktil anak tunanetra adalah teknik Mangold.
52
Pengenalan huruf Braille melalui teknik Mangold, yaitu dengan cara menyusuri barisan huruf pada halaman huruf. Setiap halaman hanya terdiri dari satu huruf. Barisan pertama huruf tanpa jarak, barisan selanjutnya diberi jarak satu spasi dan barisan selanjutnya diberi dua spasi. Pengenalan huruf melalui teknik Mangold dibagi menjadi empat kegiatan. Kegiatan pertama pengenalan huruf Braille A-G. kegiatan ke dua pengenalan huruf Braille H-N. kegiatan ke tiga pengenalan huruf Braille O-T. kegiatan ke empat pengenalan huruf Braille U-Z.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa A a a a a a a a a a a a A a a a a a a a a a a a A a a a a a a a A a a a a a a a Gambar 2.28. halaman garis huruf a
E. Kecepatan membaca Membaca adalah suatu proses yang menuntut pembaca agar dapat memahami kelompok kata yang tertulis merupakan suatu kesatuan dan terlihat dalam
suatu
pandang sekilas, dan makna kata-kata itu dapat
diketahui secara tepat. Apabila hal ini dapat terpenuhi, maka pesan yang tersurat dan tersirat dapat dipahami, sehingga proses membaca dapat terlaksana dengan baik. Kegiatan membaca berhubungan erat dengan
53
kecepatan dan pemahaman isi bacaan seperti yang diungkapkan oleh Supriyadi (Soedarso, 1999) menyatakan: Keterampilan membaca yang sesungguhnya bukan hanya sekedar kemampuan menyuarakan lambang tertulis dengan sebaik-baiknya namun lebih jauh adalah kemampuan memahami dari apa yang tertulis dengan tepat dan cepat.
Rumus yang menghitung kecepatan membaca adalah : jumlah kata yang dibaca, dibagi waktu yang dibutuhkan untuk membaca. Jika kecepatan membaca itu diandaikan A, jumlah kata yang dibaca diandaikan B, dan waktu yang dibutuhkan untuk membaca diandaikan C, maka rumusnya menjadi A=B/C=Kpm (kata per menit) Seandainya waktu yang dibutuhkan untuk membaca itu terdapat detiknya (misalnya 3 menit 20 detik) maka waktu itu dikonversikan dulu ke detik; kemudian rumus di atas dikali 60 detik A=B/C x 60 detik= Kpm (kata per menit) Contoh Jumlah kata yang dibaca adalah 1500 kata; lama membaca adalah 4 menit 10 detik (=250 detik); maka kecepatan membacanya adalah 1500/250= 6 x 60 = 360 Kpm.
Pemahaman terhadap teks yang dibaca dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya faktor karakteristik materi bacaan dan karakteristik pembaca itu sendiri. Teks bacaan sangat berpengaruh terhadap pemahaman pembaca, ada teks yang tingkat kesulitannya rendah, sedang dan tinggi. Oleh karena itu
54
tingkat keterbacaan teks (readibility) adalah salah satu syarat yang harus diperhatikan dalam memilih teks. Selain itu kemenarikan dan keotentikan teks juga merupakan syarat untuk memilih teks yang baik. Karakteristik membaca juga dapat mempengaruhi pemahaman IQ, minat baca, kebisaaan membaca yang jelek, dan minimnya pengetahuan tentang cara membaca cepat dan efektif. Kecepatan membaca bergantung pada kebutuhan dan bahan yang dihadapinya. Untuk menentukan standarisasi kecepatan efektif membaca harus diikuti oleh pemahaman isi bacaan. Mengenai hal ini Nurhadi (1987:40) mengatakan “kecepatan membaca bisaanya diukur dengan berapa banyaknya kata yang terbaca pada setiap menitnya dengan pemahaman rata-rata 50% dengan kata lain berkisar 40%-60%” Tarigan (1985:29) mengatakan kemampuan membaca cepat siswa SD adalah sbb: Jumlah kata yang terbaca dalam permenit, yaitu kelas 1 60-80 kpm kelas 2 90-110 kpm kelas 3 120-140 kpm kelas 4 150-160 kpm kelas 5 170-180 kpm kelas 6 190-250 kpm
55
F. Kerangka berpikir Dalam penelitian ini memiliki dua variabel yaitu teknik Mangold dan kemampuan mengenali tulisan huruf Braille. Teknik Mangold merupakan program dasar membaca yang akan membantu pembaca Braille awal dari segala usia dengan memberikan dasar yang kokoh untuk membangun kemampuan membaca masa depan. (sumber:http://exceptionalteaching.net/online-katalog-Mangold programs.html). Teknik ini melatih tunanetra untuk dapat membaca cepat. Karena setiap pelajaran yang termuat dalam teknik Mangold melatih kecepatan jari, menempatkan posisi ke dua tangan , menemukan tanda-tanda serta membedakan tanda atau huruf Braille. Secara
tidak
keteramnpilan.
langsung
ketunanetra
memiliki
dampak
terhadap
Pada umumnya anak tunanetra cukup lambat dalam
membaca. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecepatan rata-rata membaca dari pembaca Braille yang terampil adalah 90-115 kpm. Selain itu,
metode
maupun teknik yang dipakai oleh guru SLB A,
terutama guru tingkat dasar maupun persiapan dalam mengenalkan huruf Braille kurang memperhatikan keterampilan membaca anak tunanetra. Pada umumnya
pengenalan
huru
bagi
siswa
tunanetra
kelas
persiapan
menggunakan media pantule. Penggunaan media pantule tidak dapat melatih taktil anak tunanetra, karena huruf yang dibuat di atas pantule ukurannya tertlalu besar jika dibandingkan dengan ukuran tulisan huruf Braille yang
56
sebenarnya, sehingga anak tunanetra harus belajar lagi untuk dapat meraba tulisan huruf Braille yang ditulis dengan menggunakan alat tulis Braille. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka diperlukan sebuah teknik pengenalan tulisan Braille yang dapat mengenalkan tulisan huruf Braille sebenarnya serta memberikan latihan taktil dan penggunaan posisi tangan yang tepat dalam meraba tulisan Braille. Oleh sebab itu, teknik pembelajaran Mangold diterapkan dalam pengenalan huruf Braille bagi kelas persiapan. Dengan adanya pengenalan huruf Braille melalui teknik Mangold bagi anak tunanetra kelas persipaan, maka diduga kemampuan mengenali tulisan huruf Braille anak tunanetra kelas persiapan lebih baik.