BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori 1. Teori Negara Kesejahteraan Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum.1 Artinya, negara dalam segala aktivitasnya senantiasa didasarkan pada hukum. Negara dalam konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum. Dalam perkembangan pemikiran mengenai negara hukum, dikenal dua kelompok negara hukum, yakni negara hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum materiil ini dikenal juga dalam istilah Welfarestate atau negara kesejahteraan. Menurut Jimly Asshiddiqie Ide negara kesejahteraan ini merupakan pengaruh dari faham sosialis yang berkembang pada abad ke-19, yang populer pada saat itu sebagai simbol perlawanan terhadap kaum penjajah yang Kapitalis-Liberalis. Dalam perspektif hukum, menurut Wilhelm Lunstedt berpendapat : Law is nothing but the very life of mindkind in organized groups and the condition which make possible peaceful co-existence of masses of individuals and social groups and the coorporation for other ends than more existence and propagation2 Dalam pemahaman ini, Wilhelm Lunstedt nampak menggambarkan bahwa untuk mencapai Social Welfare, yang pertama harus diketahui adalah apa yang mendorong masyarakat yang hidup dalam satu tingkatan peradaban tertentu untuk mencapai tujuan mereka. Pendapat Lunsteds mengenai social welfare ini hampir sama dengan pendapat Roscou Pound,3 namun demikian ia ingin menegaskan bahwa secara faktual keinginan sebagian besar manusia yaitu ingin hidup dan mengembangkannya secara layak. Melihat pandangan mengenai social welfare tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa bidang social welfare mencakup semangat umum untuk berusaha dengan dalildalilnya dan adanya jaminan keamanan, sehingga dapat dibuktikan bahwa ketertiban
1
Negara modern sebagai personifikasi dari tata hukum merupakan bentuk penyederhanaan atau generalisasi yang dilakukan Hans Kelsen berdasarkan perspektif teori hukum murni, dimana negara hanya dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum, yakni korporasi. Lihat dalam Hans Kelsen, 2010, Teori Umum Hukum dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih bahasa oleh : Soemardi. Cet, III. Bee Media Indonesia, Bandung, h. 225. 2 Soetikno, Filsafat Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976, hal. 88 3 Ibid, hal. 9-10
hukum harus didasarkan pada suatu skala nilai-nilai tertentu, yang tidak dirumuskan dengan rumus-rumus yang mutlak akan tetapi dengan memperhatikan kepentingankepentingan masyarakat yang berubah-ubah mengikuti perubahan zaman, keadaan, dan perubahan keyakinan bangsa.4 Kunci pokok dalam negara kesejahteraan adalah isu mengenai jaminan kesejahteraan rakyat oleh negara. Mengenai hal ini, Jurgen Habermas berpendapat bahwa jaminan kesejahteraan seluruh rakyat merupakan hal pokok bagi negara modern. Selanjutnya menurut Habermas, jaminan kesejahteraan seluruh rakyat yang dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas, “The risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the state”.5 Selanjutnya C.A. Kulp dan John W, resiko-resiko tersebut dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang berisiko fundamental dan kelompok berisiko khusus.6 Dalam negara kesejahteraan, menurut Sentanoe Kertonegoro, kedua kelompok resiko tersebut harus mendapatkan perhatian untuk diatasi. Alasannya adalah karena resiko fundamental
sifatnya adalah makro kolektif dan dirasakan oleh seluruh atau
sebagaian besar masyarakat sebagaimana resiko ekonomis. Sedangkan resiko khusus yaitu resiko yang sifatnya lebih kepada makro individual, sehingga dampaknya dirasakan oleh perorangan atau unit usaha.7 Dengan demikian, dalam hakekatnya negara kesejahteraan dapat digambarkan keberadaannya sebagai pengaruh dari hasrat manusia yang mengharapkan terjaminnya rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan agar tidak jatuh ke dalam kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan sebagai motor penggerak sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa mengupayakan berbagai cara demi mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Sehingga ketika keinginan tersebut telah dijamin dalam konstitusi suatu negara, maka keinginan tersebut harus dijamin dan negara wajib mewujudkan
4
Ibid, hal. 9-10 Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State “Sosiological Introduction, (California: Standford University Press, 1992, hal. 126. 6 Sentanoe Kertonegoro, Jaminan Sosial dan Pelaksanaannya di Indonesia. Cet, II . Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1987, hal. 7 7 Ibid, hal. 7 5
keinginan tersebut. Dalam konteks ini, negara ada dalam tahapan sebaga negara kesejahteraan. Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
juga
menganut
faham
Negara
Kesejahteraan. Hal ini ditegaskan oleh para Perintis Kemerdekaan dan para Pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa negara demokratis yang akan didirikan adalah
Negara
Kesejahteraan
(walvaarstaat)
bukan
Negara
Penjaga
Malam
(nachtwachterstaat). Dalam pilihan terkait konsepsi negara kesejahteraan Indonesia ini, Moh. Hatta menggunakan istilah Negara Pengurus.8 Prinsip Welfare State dalam UUD 1945 dapat ditemukan rinciannya dalam beberapa pasal, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi. Dengan masuknya perihal kesejahteraan dalam UUDNRI Tahun 1945, menurut Jimly Asshidiqie Konstitusi Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi (economic constitution) dan bahkan konstitusi sosial (social constitution) sebagaimana juga terlihat dalam konstitusi Negara Rusia, Bulgaria, Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia, Iran, Suriah dan Hongaria.9 Selanjutnya menurut Jimly, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur dalam UUD 1945, nampak dipengaruhi oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada Negara-negara sosialis.10 Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV yang didalamnya memuat pasal 33 tentang sistem perekonomian dan pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak telantar) serta sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan sosial sebenarnya merupakan flatform sistem perekonomian dan sistem sosial di Indonesia. Sehingga, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut faham “Negara Kesejahteraan" (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan sosial dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan atau welfare pluralism. Model ini menekankan bahwa negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (sosial security) meskipun dalam 8
Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945: Risalah Sidang BPUPKI/PPKI, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1959, hal. 299 9 Ibid, hal. 135 10 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 124
operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat.11
Menurut Mubyarto, Kedua pasal
tersebut merupakan suatu hubungan kausalitas yang menjadi dasar disahkannya UUD 1945 oleh para pendiri negara, karena baik buruknya Perekonomian Nasional akan ikut menentukan tinggi rendahnya Kesejahteraan Sosial.
2. Teori Bekerjanya Hukum Hukum tumbuh hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Hukum merupakan sarana menciptakan ketertiban dan ketentraman bagi kedamaian dalam hidup sesama warga masyarakat. Hukum tumbuh dan berkembang bila warga masyarakat itu sendiri menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Tujuan dari hukum itu sendiri adalah untuk mencapai suatu kedamaian dalam masyarakat.12 Oleh karena itu hukum melindungi kepentingan manusia, misalnya kemerdekaan, transaksi manusia satu dengan yang lain dalam masyarakat pasar dan sebagainya. Di samping itu juga untuk mencegah selanjutnya menyelesaikan pertentangan yang dapat menumbuhkan perpecahan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan lembaga. 13 Berdasarkan fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial mampu sebagai sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan yang mengatur retribusi diciptakan untuk dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya. Warga masyarakat (individu) sebagai pihak yang dituju oleh suatu peraturan wajib dengan lapang hati dan penuh pengertian patuh kepada hukum tersebut.
14
Adanya peraturan-peraturan hukum
dan lembaga-lembaga serta aparat penegak hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan tanpa didukung oleh kesadaran warga masyarakat sebagai individu anggota masyarakat,
maka kemungkinan hukum itu mengalami banyak
hambatan dalam penerapannya, karena perilaku individu bermacam-macam. Dalam suatu masyarakat yang pluralistik, penyimpangan yang dilakukan seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan demikian diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku pekerti warga masyarakat agar selalu tetap
11
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial, Teks 9 Januari 2008, hal. 34 dapat diunduh di unduh, 6 Juli 2015. 12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum., UI Press, Jakarta, 1986, hal. 13 Ibid, hlm. 16 14 Ibid, hlm. 17 13
konform dengan keharusan-keharusan norma, hampir selalu dijalankan dengan berdasarkan kekuatan sanksi.15 Seringkali kontrol sosial tidak terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan karena kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, tetapi karena sikap toleran agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran yaitu sementara pelanggar norma lepas dari sanksi yang seharusnya dijatuhkan.16 Di samping itu, kadar ketaatannya juga dipengaruhi oleh sanksi dari peraturannya atau dari hukum dan para aparat penegak hukumnya. Sehingga tidak jarang pula terlihat kesenjangan antara perilaku yang diharapkan dengan maksud dan tujuan peraturn dengan perilaku yang diwujudkan. Keefektifan hukum bila dikaitkan dengan badan-badan penegak hukumnya, maka faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah undang-undang yang mengaturnya harus dirancang dengan baik (perancangan undang-undang) dan mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus memusatkan tugasnya dengan baik pula. Hukum agar bisa berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat biasa dan masyarakat pejabat (pegawai), maka dapat dipakai pula pendekatan dengan mengambil teori Robert Siedman yang menyatakan bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat itu melibatkan tiga komponen dasar, yaitu pembuat
hukum (Undang-undang), birokrat
pelaksana dan pemegang peranan. Dengan mencoba untuk menerapkan pandangan tersebut di dalam analisisnya mengenai bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Model tentang bekerjanya hukum itu dilukiskan di dalam bagan sebagai berikut:
15
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum. Paradigma dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perklumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa), 1986, hlm. 19 16 Ibid, hlm. 58
Gambar 1: Bagan Teori Robert Siedman dan Chamblis.17 Faktor-faktor sosial dan personal lainnya Umpan Balik
Lembaga penerapan peraturan
Norma
Lembaga Pembuat Peraturan Umpan Balik Norma
Pemegan
aktivitas penerapan g Peran
Faktor-faktor sosial dan
faktor-faktor sosial dan personal lainnya
personal lainnya
Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pelaksana hukum, perilakunya ditentukan pula peranan yang diharapkan daripadanya, namun harapan itu tidak hanya ditentukan oleh peraturan-peraturan saja, melainkan juga ditentukan oleh faktor-faktor lainnya, termasuk faktor yang ikut menentukan bagiamana respon yang diberikan oleh pemegang peran adalah sebagai berikut.18 a.
Sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya
b.
Aktifitas dari lembaga-lembaga atau badan-badan pelaksana hukum
c.
Seluruh kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran itu.
3. Teori Implementasi Kebijakan 17
Teori Robert Siedman dan Chamblis, Law, Order and Power, Reading, Mass: Affison – Wesly 1971, hal. 12 18 Ibid, hal.. 12
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi berarti, 19 1) Pelaksanaan yaitu Pelaksanaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu badan atau wadah secara berencana, teratur dan terarah guna mencapai tujuan yang diharapkan. 2) Penerapan, Kamus Blacks’s Law merumuskan secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out (menimbulkan dampak/ akibat terhadap sesuatu).20 Kalau pandangan ini diikuti, maka implementasi kebijaksanaan keputusan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanaan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk Undang-Undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, pemerintah eksekutif atau dekrit persiden). Salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah paksaan. Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). 21 Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar).22 Dalam hubungannya dengan penulisan ini, implementasi diberi batasan pada berlakunya suatu hukum atau peraturan perundang-Undangan di dalam masyarakat. Proses implementasi adalah keputusan dasar biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun dapat pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang
19
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2003, hal 319 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing, USA, hal. 888 21 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 172-173 22 Ibid 20
penting atau keputusan badan peradilan.
23
Pada umumnya, keputusan tersebut
mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi dengan menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstruktur atau mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui beberapa tahapan tertentu, yang biasanya diawali dengan kebijakan dalam bentuk kebijakan bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan pelaksananya. Implementasi merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah sumbersumber didalamnya termasuk manusia, dana, kemampuan organisional, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta (individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan). Sebagai suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan, yang memperhitungkan baik keputusan yang fundamental maupun keputusan yang inkramental dan memberikan urutan teratas bagi proses pembuatan kebijakan fundamental yang memberikan arahan dasar dan proses-proses pembuatan kebijaksanaan dan inkramental yang melapangkan jalan bagi keputusan-keputusan itu tercapai.24 Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah
yang ada yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Rangkaian implementasi kebijakan dapat diamati dengan jelas yaitu dimulai dari program, ke proyek, dan ke kegiatan.
25
Model tersebut mengadaptasi
mekanisme yang lazim dalam manajemen, khususnya manajemen sektor publik. Kebijakan diturunkan berupa program program yang kemudian diturunkan menjadi proyek-proyek, dan akhirnya berwujud pada kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun kerjasama pemerintah dengan masyarakat.
23
Ibid, hlm. 178 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hal. 19 25 Ibid, hal. 21 24
Van Meter dan Van Horn26 mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan
dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-
tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan- tujuan yang telah ditetapkan. Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab27, mengatakan bahwa: Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan
merupakan fokus perhatian implementasi
kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usahausaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau
diidentifikasi
oleh
keputusan-keputusan
kebijakan.
Jadi
implementasi
merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh berbagai aktor sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran kebijakan itu sendiri. Terdapat beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu: a. Teori George C. Edward Edward III berpandangan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, 28 yaitu: a) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi 26
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo 2002, hlm. 146-
147 27
Solichin Abdul Wahab, Op.Cit., hlm 65 A.G. Subarsono, A.G. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Cet 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm 90-92 28
tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. b) Sumberdaya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial. c) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. d) Struktur Birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Menurut pandangan Edwards29 sumber sumber yang penting meliputi, staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayananpelayanan publik. Struktur Birokrasi menurut Edwards30
terdapat dua
karakteristik utama, yakni Standard Operating Procedures (SOP) dan Fragmentasi. SOP atau prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya 29 30
Budi Winarno, Op.Cit.,, hlm 181 ibid, hal 203
organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Sedangkan fragmentasi berasal dari tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif,
kelompok-kelompok
kepentingan
pejabat-pejabat
eksekutif,
konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi pemerintah. Selain itu, menurut pandangan Edward III proses komunikasi kebijakan dipengaruhi tiga hal penting, yaitu31: 1) Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. 2) Faktor kedua adalah kejelasan, jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-intruksi yang diteruskan kepada pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. 3) Faktor ketiga adalah konsistensi, jika implementasi
kebijakan ingin
berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah yang disampaikan kepada pelaksana kebijakan jelas, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. b. Teori Merilee S. Grindle Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle
32
dipengaruhi
oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel tersebut mencakup: sejauhmana kepentingan kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group, sejauhmana perubahan 31 32
ibid, hal 175-177 A.G. Subarsono, Op.Cit., hal 93
yang diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah letak sebuah program sudah tepat, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai. Sedangkan Wibawa33 mengemukakan model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan,
barulah
implementasi
kebijakan
dilakukan.
Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut:Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan. a) Jenis manfaat yang akan dihasilkan. b) Derajat perubahan yang diinginkan. c) Kedudukan pembuat kebijakan. d) (Siapa) pelaksana program. e) Sumber daya yang dihasilkan Sementara itu, konteks implementasinya adalah: a) Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat. b) Karakteristik lembaga dan penguasa. c) Kepatuhan dan daya tanggap. Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.
3) Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
33
Mardian Wibowo.. Studi Implementasi Kebijakan Penanganan Gelandangan di Kota Jakarta Timur. Fisip UI, Jakarta, 1994, hlm. 22-23
Menurut Mazmanian dan Sabatier34 (dalam Subarsono, 2011: 94) ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni karakteristik
dari
masalah
(tractability
of
the
problems),
karakteristik
kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation) dan variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation). 4) Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn Menurut Meter dan Horn35 (dalam Subarsono, 2011: 99) ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan sasaran kebijakan, sumberdaya, komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana dan kondisi sosial, ekonomi dan politik.
4. Teori Pelayanan Publik Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daerah, BUMN, dan BUMD dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku (KEPMENPAN No. 81 tahun 1993). Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai satu-satunya pemberi pelayanan di bidang pertanahan mempunyai misi menjadi Lembaga / Badan Pertanahan yang mampu mewujudkan tanah dan pertanahan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia. Sesuai dengan misi tersebut diharapkan BPN dapat memberikan pelayanan sertifikasi tanah secara optimal kepada masyarakat. Agus Dwiyanto36 mengukur kinerja birokrasi organisasi publik berdasar adanya indikator yang secara lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut : a.
Produktivitas Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumunya di pahami sebagai rasio antara input dengan ouput.
b. 34
Kualitas layanan
A.G. Subarsono, Op.Cit., hlm 93 A.G. Subarsono, Loc. Cit. 36 Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 50 35
Isu mengenai kualitas layanan cenderung semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik..Banyak pandangan negative yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidak puasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari orrganisasi publik. c.
Responsivitas Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, mengembangkan program- program pelayana publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d.
Responsibilitas Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiaatan organisasi publik itu dilakukakan sesuia dengn prinsip- prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit.
e.
Akuntabilitas Akuntabilitas publik menunjukan pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk para pejabat publik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasekan kepentingan rakyat. Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaikanya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai- nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Penulis
memilih
untuk
menggunakan
indikator
pengukuran
kinerja
yang
dikemukakan oleh Agus Dwiyanto karena dipandang sesuai, lebih tepat dan lebih mampu mengukur kinerja Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Wonogiri dalam pelayanan administrasi setifikasi tanah. kinerja Indikator pengukuran kinerja yang dikemukakan oleh Agus Dwiyanto meliputi lima indikator, yaitu produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas.
5. Tinjauan tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah a.
Pengaturan Pendaftaran Hak Atas Tanah Bidang pertanahan di Indonesia pada dasarnya diatur dan bersumber pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Bumi air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesarbesar kemakmuran rakyat”. Tindak lanjut dari pasal tersebut di atas, telah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA). Dalam pasal tersebut mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat. Sebagai pelaksanaan dari pasal tersebut maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA). Undang Undang Pokok Agraria adalah undang-undang yang memuat dasar-dasar pokok di bidang Agraria yang merupakan landasan dalam Hukum Agraria di tanah air juga diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Menurut sifat dan azasnya bahwa persoalan agraria (pertanahan) merupakan tugas Pemerintah, hak tersebut sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pokok Agraria tentang hak menguasai dari negara yang memberi wewenanng untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persedian
dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa. Sebagai tindak lanjut dari kewenangan negara atau pemerintah dalam bidang pertanahan tersebut, maka salah satu kebijakan pertanahan yang ada sampai saat ini adalah sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) untuk melaksanakan pendaftaran Tanah yang menyatakan : Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pendaftaran tersebut meliputi : a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah. b. Pendaftaran ak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Selanjutnya atas dasar hak mneguasai dari negara sebagai mana yang dimaksud Pasal 2 Undang Undang Pokok Agraria, ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah, yang dapat diberikan dan dipunyai oleh perorangan atau badan-badan hukum. Adapun macam-macam hak atas tanah sebagaimana Pasal 16 ayat (1) adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam pasal 53 Undang Undang Pokok Agraria seperti hak gadai, hak menumpang dan sebagainya. Adapun ketentuan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yang meliputi: a. Undang-undang Pokok Agraria Pasal 19 ayat (1), 23 ayat (1), 32 ayat (1) dan 38 ayat (1); b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang PendaftaranTanah, menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah; c. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. d. Peraturan Pemerintah Nomor 128 tahun 2015 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. Pada pasal 19 ayat (1) Undang Undang Pokok Agraria menjelaskan kewajiban pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah, yaitu “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah” Ketentuan pasal tersebut merupakan suatu instruksi bagi pemerintah agar di seluruh wilayah Republik Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat menjamin kepastian hukum.
Kegiatan pendaftaran tanah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah secara terus menerus dalam rangka menginventarisasikan data-data berkenaan dengan hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah, sedangkan pendaftaran hak atas tanah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh si pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan dilaksanakan secara terus menerus setiap ada peralihan hak-hak atas tanah tersebut menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah guna mendapatkan sertipikat tanda bukti tanah yang kuat. 37 Muchtar Wahid mengutarakan bahwa hukum menghendaki kepastian. Hukum Pertanahan Indonesia menginginkan kepastian siapa pemegang hak milik atau hakhak lain atas bidang tanah. Realitasnya, pemegang sertipikat atas tanah belum merasa aman atas kepastian haknya, bahkan sikap keraguan-raguan yang sering kali muncul dengan banyaknya gugatan yang menuntut pembatalan sertipikat tanah melalui lembaga pengadilan.38 Mengenai pendaftaran tanah di Indonesia diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961, karena sejalan dengan perkembangan yang ada dimana perlu adanya penyempurnaan-penyempurnaan berkaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah. 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dikeluarkan berdasar pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang Undang Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur
dengan
peraturan
pemerintah.
Hal
yang
dimaksudkan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang Undang Pokok Agraria tersebut ditegaskan oleh ayat (2) yang menyebutkan Pendaftaran Tanah meliputi kegiatan : a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut 37
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Alumni , Bandung,1993, hlm 15 38 Muchtar Wahid,MemaknaiKepastian Hukum Hak Milik AtasTanah, (Republika,Jakarta, 2008) hlm. 8 39 Ibid hlm. 10
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. b. Azas-azas Pendaftaran Hak Atas Tanah Dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia juga berpedoman pada asas-asas pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 berpedoman pada asas-asas sebagai berikut: a. Asas sederhana, yaitu pendaftaran tanah hendaknya diselenggarakan dengan ketentuan-ketentuan pokok, dan prosedur yang dapat dengan mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. b. Asas aman, penyelenggaraan pendaftaran tanah dilaksanakan secara teliti dan cermat sehingga menghasilkan sertifikat hak atas tanah yang dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak. c. Asas terjangkau, pendaftaran tanah diselenggarakan dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pendaftaran tanah harus bisa terjangkau bagi para pihak yang memerlukan. d. Asas mutakhir, pendaftaran tanah memerlukan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya, untuk itu diperlukan kewajiban mendaftar dan perubahan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari. Sehingga data yang tersimpan pada Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan kondisi yang nyata di lapangan. e. Asas terbuka dimaksudkan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang diperlukan setiap saat. c.
Pengertian Pendaftaran Hak Atas Tanah Pendaftaran berasal dari kata cadastre yaitu suatu istilah teknis untuk satu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan (alas hak) dari suatu bidang tanah. Cadastre berasal dari bahasa latin Capitastrum yang berarti suatu register atau capita atau urut yang diperbuat untuk pajak tanah romawi (caputatip terreus).
40
Arti yang tegas cadastre adalah record (rekaman) lahan-lahan, nilai-nilai
tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian 40
A.P Parlindungan, 1994, Hukum Agraria serta Landreform. Alumni, Bandung, 1994, hlm. 11-12
cadastre merupakan sarana yang tepat, memberikan uraian dan identifikasi dari lahan sebagai Continuous Recording (rekaman bekesinambungan) hak atas tanah.41 Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya (Pasal 1 angka 1 Peraruan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997). Dari ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemeriantah Nomor 24 tahun 1997 tersebut menurut A.P Parlindungan bahwa pendaftaran tanah dapat dipertegas sebagai berikut: a. Pendaftaran awal, yang mendaftarkan hak atas tanah untuk pertama kali dan harus tetap terpelihara. b. Pendaftaran hak karena adanya mutasi hak, ataupun adanya pengikatan jaminan hutang dengan tanah sebagai agunan dan pendirian hak baru (HGB atau Hak Pengelolaan diatas hak milik) c. Hak-hak yang timbul dari Rumah Susun dan bagian-bagian dari rumah susun. d. Pendaftaran tersebut meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta memelihara data fisik dan data yuridis.42 Dari pengertian yang diuraikan di atas, apabila diperinci maka pendaftaran tanah mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Suatu rangkaian kegiatan Pendaftaran tanah ialah berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu dengan yang lain, berurutan menjadi kesatuan demi tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan bagi masyarakat. b. Terus-menerus
41
Ibid, hlm. 15
42
Ibid, hlm 73
Pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah yang selalu berkelanjutan. Data yang sudah terkumpul dan tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, hingga tetap sesuai dengan keadaan yang terkini. c. Teratur Bahwa kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku karena akan menjadi alat bukti menurut hukum. Sehingga kegiatan pendaftaran tanah ini melalui suatu ketentuan yang sangat teliti dan terarah d. Data tanah Data yang dikumpulkan dalam pendaftaran tanah terdiri dari dua data, yaitu: 1) Data fisik, adalah informasi mengenai letak tanah, batas-batas tanah, berapa luas bidang tanah, termasuk keterangan mengenai bangunan atau bagian bangunan diatasnya. 2)
Data Yuridis, adalah informasi mengenai jenis hak atas tanah, individu pemegang hak tersebut, serta peralihan dan pembebanan dengan hah-hak lain.
e. Wilayah Adalah mencakup kesatuan wilayah tata usaha pendaftaran tanah adalah desa atau kelurahan (Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997). f. Tanah tertentu Berarti menuju pada bidang tanah sebagai obyek pendaftaran tanah dan hak-hak yang melekat padanya. d. Tujuan Pendaftaran Hak Atas Tanah Pendaftaran tanah ini melalui suatu ketentuan yang sangat teliti dan terarah sehingga tidak mungkin asal saja, terlebih lagi tujuan dari pendaftaran tersebut bukan sekedar untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah.43 Tujuan dari pendaftaran tanah menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah: a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar
43
Ibid, hlm. 81
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Menurut Boedi Harsono tujuan dari pendaftaran tanah adalah agar dari kegiatan tersebut dapat diciptakan suatu keadaan, dimana:44 a. Orang-orang dan badan-badan hukum yang mempunyai tanah dengan mudah dapat membuktikan, bahwa merekalah yang berhak, hak apa yang dipunyai, dan tanah manakah yang dihaki. Tujuan itu dicapai dengan memberikan surat tanda bukti hak kepada pemegang hak yang bersangkutan. b. Orang-orang dan badan hukum yang memerlukan dapat mudah memperoleh keterangan yang dapat dipercaya mengenai tanah-tanah yang terletak di wilayah pendaftaran yang bersangkutan (baik ia calon pembeli / kreditur) yang ingin memperoleh kepastian, apakah keterangan yang diberikan kepadanya oleh calon penjual / debitur itu benar. Tujuan ini dicapai dengan memberikan sifat terbuka bagi umum terhadap data yang disimpan. e.
Obyek Pendaftaran Hak Atas Tanah Pendaftaran tanah menurut Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahum 1997 dilaksanakan terhadap obyek-obyek sebagai berikut : a. Bidang-bidang tanah yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
44
b.
Tanah Hak Pengelolaan
c.
Tanah Wakaf
d.
Hak Milik atas satuan rumah susun
e.
Hak Tanggungan
f.
Tanah Negara
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Cetakan 11, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 471-473
Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum, maka kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah, kecuali dalam hal pendaftaran tanah terhadap obyek bidang tanah yang berstatus tanah negara dilakukan dengan mencatatnya dalam daftar tanah dan tidak diterbitkan sertipikat. 6.
Penyelenggara dan Pelaksana Pendaftaran Hak AtasTanah Dalam ketentuan pada Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 menyebutkan bahwa penyelenggara pendaftaran tanah dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Lebih lanjut pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada Pejabat lain. Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud kegiatan tertentu dalam hal ini adalah kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah Kerja Kepala Kantor Pertanahan, misalnya pengukuran titik dasar teknik, pemetaan fotogrametri dan sebagainya.
g.
Sistem Pendaftaran Hak Atas Tanah Sistem pendaftaran tanah merupakan suatu cara atau metode yang digunakan dalam melaksanakan pendaftaran tanah. Dalam pendaftaran tanah, dikenal beberapa sistem pendaftaran tanah sebagai berikut: a.
Sistem Positif Menurut sistem ini suatu sertipikat tanah diterbitkan yang diberikan kepada pemegang hak, berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya bukti hak atas tanah. Ciri pokok sistem positif ini, pendaftaran tanah adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah, kenyataannya ia ternyata bukanlah pemilik yang berhak atas tanah tersebut. Sistem positif ini memberikan kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah. Pejabat Balik Nama Tanah dalam sistem Positif memainkan peranan yang sangat aktif. Mereka meyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindahkan itu dapat untuk didaftar atau tidak. Menurut sistem Positif hubungan hukum antara hak dari
orang yang namanya terdaftar dalam buku tanah dengan pemberi hak sebelumnya terputus sejak hak tersebut didaftarkan.45 b. Sistem Negatif Dalam sistem negatif ini segala apa yang tercantum didalam sertipikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) di muka sidang pengadilan. Adapun asas peralihan hak atas tanah menurut sistem Negatif ini adalah asas memo plus yuris yakni melindungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang ingin mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya. Ciri pokok sistem negatif ini, pendaftaran tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat untuk dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah nama pemilik sebenarnya. Hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan mata rantai perbuatan hukum dalam pendafataran hak atas tanah. Ciri pokok lainnya dari sistem Negatif ini ialah Pejabat Balik Nama Tanah berperan pasif, artinya pejabat yang bersangkutan tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari susrat-surat yang diserahkan kepadanya.46 h. Sistem Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia dan Kekuatan Pembuktian Sertipikat Hak Atas Tanah Pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem pendaftaran tanahnya adalah sistem negatif, tetapi mengandung unsur (bertendensi) positif karena akan menghasilkan surat-surat bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf C, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) Undang Undang Pokok Agraria, ditambah ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. Kepada pemilik hak atas tanah diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang 45
Bachtiar Effendi, Op. Cit. hlm. 32 Ibid, hlm. 33
46
termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Makna pernyataan sertipikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat adalah selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya (tidak sesuai), data fisik data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan. Dengan demikian data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus sesuai dengan data yang tercantum pada surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.47 Sertipikat hak atas tanah diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum yang secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertfikat tersebut (Pasal 32 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997). Ketentuan tersebut bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada pihak lain untuk secara seimbang memberi kepastian hukum kepada pihak yang dengan ittikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah dengan sertipikat sebagai tanda buktinya, yang menurut Undang Undang Pokok Agraria sebagai alat pembuktian yang kuat. Sistem pendaftaran tanah yang digunakan Undang Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 adalah sistem negatif yang mengandung unsur (bertendensi) positif. Sistemnya bukan negatif murni, hal ini mengandung konsekuensi, bahwa Pemerintah sebagai penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha agar sejauh mungkin dapat disajikan data yang benar dalam buku tanah dan peta pendaftaran. Tetapi biarpun demikian sistemnya juga bukan positif. Dalam
47
Boedi Harsono, Op.cit., hlm. 478
sistem positif data yang disajikan dijamin kebenarannya, bukan hanya berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.48 i.
Kegiatan Pendaftaran Hak Atas Tanah Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, pendaftaran tanah di Indonesia dilaksanakan melalui dua kegiatan, yaitu: a. Pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) Adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi: 1).
Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
2).
Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya;
3).
Penerbitan sertipikat;
4).
Penyajian data fisik dan data yuridis;
5).
Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
b. Pemeliharaan data pendaftaran tanah (maintenance) Adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat buku tanah dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi : 1). Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak (Pasal 37 sampai dengan Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997) Sesuai dengan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, namun akta Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut dapat dikecualikan terhadap keadaan tertentu untuk daerah-daerah terpencil dan belum ditunjuk Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang bisa dibuktikan 48
Ibid, hlm. 82-83
dengan alat bukti lain yang menurut Kepala Kantor Pertanahan setempat kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan. 2). Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya (Pasal 47 sampai dengan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997) Dalam hal kegiatan perubahan data pendaftaran tanah lainnya dilakukan pelaksanaan pemeliharaan data pendaftaran tanah, yang terdiri dari : a.
Pendaftaran perpanjangan jangka waktu hak atas tanah
b.
Pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah
c.
Pembagian hak bersama.
j. Tinjauan Tentang Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan Bahwa untuk melaksanakan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan dalam rangka menyesuaikan perkembangan dan tuntutan kebutuhan pelayanan masyarakat di bidang pertanahan maka perlu menyempurnakan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang Prosedur Operasi apengaturan dan Pelayanan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasiona; Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan, maka perlu menetapkan
Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan merupakan pedoman dalam pelaksanaan layanan pertanahan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional dan dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan. Tujuan daripada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan ini bertujuan untuk mewujudkan kepastian Hukum, keterbukaan dan akuntabilitas pelayanan publik. Ruang lingkup peraturan tersebut meliputi :
1. Kelompok dan jenis pelayanan; 2. Persyaratan; 3. Biaya; 4. Waktu; 5. Prosedur dan; 6. Pelaporan. Kelompok dan jenis pelayanan sebagaimana tersebut diatas terdiri dari pelayanan: 1. Pendaftaran Tanah Pertama Kali; 2. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah; 3. Pencatatan dan Informasi Pertanahan; 4. Pengukuran Bidang Tanah; 5. Pengaturan dan Penataan Pertanahan; dan 6. Pengelolaan Pengaduan
B.
Penelitian yang Relevan Penelitian yang relefan dengan penelitian ini adalah : a.
Penelitian Tesis Kasyfunnur (2007), Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dengan judul Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Bekas Hak Milik Adat di Kecamatan Jati Asih Bekasi. Fokus Penelitian ini adalah Kesesuaian Peraturan yang berlaku dalam proses pendaftaran tanah bekas hak milik adat di Kecamatan Jati Asih Bekasi serta Kendala-Kendala yang dihadapi serta penyelesaiannya.
b.
Penelitian Tesis Fahmi Hasjmy (2002), Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul
Pendaftaran Tanah Hak Milik Adat
Sebagai Upaya Memperoleh Kepastian Hukum. Penelitian ini memfokuskan pada permasalahan pelaksanaan pendaftaran tanah hak milik adat, faktor-faktor yang menyebabkan pendaftaran tanah hak milik adat belum berjalan sebagaimana yang diharapkan dan cara yang ditempuh aparatur pemerintah dalam hal pendaflaran tanah hak milih adat untuk mewujutkan kepastian hukum, tertib penggunaan tanah dan tertib administrasi pertanahan.
c.
Penelitian Tesis
oleh I Wayan Gunarta (2007), Program Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Gadjahmada, dengan judul Pendaftaran Tanah dan Akibat Hukum bagi Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah di Kabupaten Sragen. Penelitian tersebut membahas terkait Pendaftaran tanah dan akibat hukumnya. d.
Penelitian skripsi (2000) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, oleh Prima Sri Suryanti dengan judul Pensertifikatan Tanah dan Pengaruhnya terhadap pemegang hak Atas tanah di Kabupaten Gunung Kidul. Penelitian tersebut membahas masalah hukum yang dihadapi oleh masyarakat Kabupaten Gunung Kidul sehubungan dengan Pensertifikatan massal yang dijalani. Selain itu juga membahas peranan Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul
dalam pelaksanaan Pendaftyaran
Tanah terhadap masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh masyarakat serta upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam melindungi Masyarakatnya terhadap masalah hukum yang dihadapi terkait pensertifikatan tanah. Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa
penelitian tesis ini meneliti tentang
Pengimplementasian Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri, dalam menjamin menjamin kepastian hukum Pertanahan
Kabupaten
Wonogiri
serta
Faktor-faktor
hak atas tanah di Kantor yang
berpengaruh,
dalam
Pengimplementasian Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri dalam menjamin kepastian hukum hak atas tanah bagi masyarakat yang berada di di Kabupaten Wonogiri.
C.
Kerangka Berpikir Tanah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang manyatakan “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Di dalam kehidupan masyarakat dan seiring dengan kemajuan ekonomi, makin bertambah banyak tanah rakyat yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Bertambahnya jual beli, sewa menyewa, pemberian jaminan kredit, bahkan hubungan dengan orang atau badan
hukum asing. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan kepastian hukum dan kepastian hak dalam bidang pertanahan (Agraria) nasional. Penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia merupakan implementasi dari Pasal 19 ayat (1) Undang Undang Pokok Agraria yang merupakan dasar bagi pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan pendaftaran tanah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
yang sekaligus menggantikan berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961. Kepala Badan pertanahan pada tanggal 25 Januari 2010, mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. Peraturan tersebut merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan dalam rangka menyesuaikan perkembangan dan tuntutan kebutuhan pelayanan masyarakat di bidang Pertanahan. Penyempurnaan dari Keputusan Kepala Badan Pertanahan nasional jo. Peraturan Kepala Badan Pertranahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasional Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan. Dengan peraturan ini semua kegiatan yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional, berpegang pada ketentuan tersebut. Penulis dalam tesis ini ingin mengetahui bagaimana implementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri dengan menggunakan teori implementasi kebijakan dan teori pelayanan publik serta mempergunakan teori bekerjanya hukum untuk mengetahui hambatan yang dihadapi untuk kemudian di analisa mengenai upaya penyelesaian atas hambatan yang dihadapi dalam implementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri. Untuk lebih jelasnya dalam kerangka pemikiran dapat penulis gambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut :
Gambar : 2 Alur kerangka berpikir : Pengaruh Pendaftaran Tanah terhadap pembuktian demi tercapainya kepastian Hukum Kesejahteraan Negara: Ps. 33 (3) UUD 1945; Ps. 2 UU No. 5/1960
PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Teori Bekerjanya Hukum
Hambatan
Teori Pelayanan Publik
Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan
Teori Implementasi