1 BAB II LANDASAN TEORI
A. Hakekat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) SD 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
secara teori dapat dinyatakan sebagai;
”seleksi dan adaptasi dari lintas disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk mencapai salah satu tujuan IPS “ (Somantri, 2001:159). Labih lanjut Muhammad Nu’man Somantri (2001:154) mengemukakan bahwa: “ Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta pendidikan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara’. Sedangkan Djahiri (2002:91) menjelaskan secara lebih luas tentang makna PKn sebagai berikut: ”PPKN sebagai bagian pendidikan ilmu kewarganegaraan atau PKn di manapun dan kapanpun sama/mirip, yakni program dan rekayasa pendidikan untuk membina dan membelajarkan anak menjadi warganegara yang baik, iman, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki nasionalisme (rasa kebangsaan) yang kuat/mantap, sadar serta mampu membina serta melaksanakan hak dan kewajiban dirinya sebagai manusia, warga masyarakat dan bangsa negaranya, taat asas/ketentuan (rule of law) , demokratis dan partisipatif, aktif-kreatif-positif dalam kebhinnekaan kehidupan masyarakatbangsa-negara madani (civil sociaty) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta kehidupan yang terbuka, mendunia (global) dan modern tanpa melupakan jati diri masyarakat bangsa dan negaranya”.
1
2 Pendapat lain tentang Pedidikan Kewarganegaraan dijelaskan Sanusi (1999) dengan menawarkan
model pendidikan yang didasarkan pada sepuluh pilar
demokrasi meliput: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Hak Asasi Manusia, (3) Kedaulatan rakyat, (4) Kerakyatan yang cerdas, (5) Pembagian kekuasaan negara, (6) Otonomi Daerah, (7) Rule of law,
(8) Pengadilan yang merdeka, (9)
Kemakmuran umum, dan (10) Keadilan sosial. Sedang menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 39 ditegaskan bahwa : Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa dan negara. Sementara
dalam
Kewarganegaraan
Kurikulum
(citizenship),
2004
adalah
disebutkan
merupakan
bahwa
mata
Pendidikan
pelajaran
yang
memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa yang menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Depniknas, 2003:7). Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah merupakan bagian dari ilmu pendidikan sosial (IPS) yang dipersiapkan untuk membekali peserta didiknya dengan pengetahuan dan keterampilan dasar
yang berkenaan dengan hubungan antara warga negara
dengan negara yang dilaksanakan dengan proses pembinaan dan
pembelajaran
agar menjadi warganegara yang baik, iman, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki nasionalisme (rasa kebangsaan) yang kuat/mantap, sadar serta
2
3 mampu melaksanakan hak dan kewajiban dirinya sebagai manusia, warga masyarakat dan bangsa negaranya, taat asas/ketentuan (rule of law), demokratis dan partisipatif, aktif serta kreatif dalam kebhinekaan kehidupan masyarakatbangsa-negara madani (civil sociaty) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta kehidupan yang terbuka, mendunia (global) dan modern tanpa melupakan jati diri masyarakat bangsa dan negaranya. 1. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Dilihat dari segi materi dan tujuan pembelajarannya, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan bagian atau salah satu tujuan Pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikan yang diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, pancasila, UUD 1945, dan perundang-undangan negara, dengan tekanan, bahan pendidikan
pada
hubungan warga negara dengan negara dan bahan pendidikan yang berkenan dengan bela negara (Soemantri,2001: 161) Labih lanjut Nu’man Somantri (2001:166) menjelaskan tentang fungsi Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai: “Usaha sadar yang dilakukan secara ilmiah dan psikologis untuk memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik agar terjadi internalisasi moral Pancasila dan pengetahuan kewarganegaraan untuk melandasi tujuan pendidikan nasional, yang diwujudkan dalam integritas pribadi dan prilaku sehari-hari”. Sematara itu secara teoretik keilmuan, Djahiri (1994:1) menyatakan bahwa: ‘Target harapan dan isi utama PKn adalah memanusiakan dan mendewasakan serta membudayakan anak manusia (siswa) secara paripurna berdasarkan nilai, moral Pancasila, agama dan budaya luhur bangsa Indonesia sehingga kelak di kemudian hari akam hidup suatu generasi “Manusia Indonesia Pancasila Sejati” dalam tatanan kehidupan budaya pancasila”
3
4 Kemudian secara rinci
A. Kosasih Djahiri (1994:10) menjelaskan
tujuan PKn adalah sebagai berikut: a. Secara umum, tujuan PKn harus ajeg dan medukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu: “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan “. b. Secara khusus, tujuan PKn yaitu; “membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam Masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat ataupun kepentingan dapat diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah adalah sebagai berikut bahwa tujuan Pendidikan Kewarganegraan adalah: 1) Berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. 2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta anti korupsi 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi dan komunikasi. Sejalan dengan isi dari petikan peraturan Permendiknas di atas Bunyamin Maftuh
(2008:96)
menjelaskan
tentang
tujuan
utama
Pendidikan
Kewarganegaraan, “adalah untuk mendidik siswa yang baik dan bertanggung jawab, mampu memecahkan masalah mereka sendiri dan masalah masyarakatnya,
4
5 termasuk memecahkan konflik antar pribadi dan antar kelompok, dalam cara-cara yang damai dan demokratis”. Berdasarkan dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan mengenai tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan dapat di bagi pada sekala umum, adalah merupakan bagian dari tujuan Ilmu Pendidikan Sosial yaitu bahan pendidikan yang diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, pancasila, UUD 1945, dan perundangundangan negara, dengan tekanan, bahan pendidikan
pada hubungan warga
negara dengan negara dan bahan pendidikan yang berkenan dengan bela negara. Sedangkan dalam sekala khusus adalah tujuan yang bangun dalam bingkai pembinaan, pengajaran dan pembelajaran terhadap anak didik (di tingkat pendidikan dasar dan menengah) yaitu bertujuan untuk mendidik siswa yang baik dan bertanggung jawab, mampu memecahkan masalah mereka sendiri dan masalah masyarakatnya, termasuk memecahkan konflik antar pribadi dan antar kelompok, dalam cara-cara yang damai dan demokratis. Adapun
karakter
peserta
didik
setelah
mengikuti
pendidikan
kewarganegaraan tersebut adalah, diharapkan mampu mengembangkan peserta didik yang
berpikir kritis, rasional dan kreatif
dalam menanggapi isu
kewarganegaraan, berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta anti korupsi, berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain, serta mampu berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam
5
6 percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi dan komunikasi. 2. Metode Pembelajaran PKn Dalam membelajarkan siswa, guru dituntut untuk menggunakan metode yang bervariasi agar tidak menimbulkan kejenuhan dan kebosanan para siswa. Kosasih Djahiri (1995) memaparkan beberapa metode yang digunakan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yakni: metode ceramah, metode ekspositorik, metode pengajaran konsep, metode tanya jawab, metode partisipatori, metode diskusi dan kelompok belajar, metode inquiri dan pemecahan masalah serta pengajaran VCT. Demikian pula dalam Suplemen PKN dan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kosasih Djahiri (2002), mengembangkan pendekatan pembelajaran kontekstual menjadi beberapa
metode pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam
Pendidikan Kewarganegaraan antara lain: ”Pola Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning), Penemuan (discovery), Metode Pemecahan Masalah (problem solving), Inquiry, Interactif, Eksploratif, Berpikir Kritis, Catatan Kegiatan, Skala Sikap, Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan Praktikum PKn. Sejalan dengan pendapat di atas, Depdiknas (2003:5) menyatakan sebagai berikut: ”Pembelajaran dalam mata pelajaran PKn merupakan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan belajar kontekstual untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, keterampilan dan karakter warga negara. Pendekatan belajar kontekstual dapat diwujudkan antara lain dengan metode: 1) kooperatif, 2) penemuan, 3) inkuiri, 4) interaktif, 5) eksloratif, 6) berpikir kritis dan 7) pemecahan masalah”.
6
7 Dengan beberapa metode pembelajaran di atas, diharapkan dapat menjadikan strategi alternatif sehingga para guru mampu meningkatkan motivasi, kreasi berpikir bahkan partisipasi siswa dalam mengikuti pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, tentunya tidak secara serempak semua metode itu dipergunakan dalam setiap pelaksanaan proses pembelajaran, melainkan sangat ditentukan oleh tingkat/jenjang pendidikan bahkan usia pekembangan peserta didik. Akhirnya dengan tetap memperhatikan berbagai aspek yang terkait guna terciptanya proses pembelajaran
yang efektif, dan kompetitif, salah satunya
adalah dengan pemilihan metode pembelajaran
yang tepat, produktif dan
kualitatif sehingga tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat tercapai secara maksimal.
B. Hakekat Metode Pembelajaran Pemecahan Masalah (Problem Solving) 1. Pengertian metode pemecahan masalah (problem solving) Problem solving atau memecahkan masalah adalah suatu istilah yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia termasuk didalamnya memecahkan masalah di sekolah, karena di sekolah senantiasa para siswa dihadapkan dengan berbagai masalah terutama bekaitan dengan kesulitan, gangguan dalam mengikuti proses pembelajaran. Berkaitan dengan proses pembelajaran teresebut Metode Pemecahan masalah (problem solving) dapat didefinisikan sebagai penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah tersebut sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan masalah atau
7
8 jawabannya oleh siswa (Sudirma dkk, 1987 :146). Pemasalahan itu dapat diajukan atau diberikan guru kepada siswa, dari siswa bersama guru,atau dari siswa sendiri,yang kemudian dijadikan pembahasan dan dicari pemecahannya sebagai kegiatan pembelajaran siswa. Metode pemecahan masalah ini sering disebut pula sebagai problem solving method, reflective thinking methode,atau scientific method. Lalu apa sebenarnya masalah itu ? Masalah ialah segala sesuatu yang mengandung keragu-raguan, ketidak pastian atau kesulitan yang harus dipecahkan, dikuasai dan dijinakan Ada dua pandangan tentang pengertian pemecahan masalah (problem solving);
pertama, sebagai system atau metode ilmiah untuk memecahkan
masalah, hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Cormik (1990) yang mengartikan problem solving kedalam empat pengertian; " a) a teaching method that ancourages active learning, b) a generic ability to deal with problem solution, a) method used subject as mathematics and science or d) an empirical investigation" (Syariful, 2004: 26). Berkaitan dengan problem solving sebagai sistem atau metode ilmiah, secara mendalam John Dewey (1970) menggambarkan metode problem solving kedalam pengetian metode ilmiah dengan berdasarkan lima langkah yaitu : "a) felt difficulty, b) clarification of the problem, c) identification of possible solution, d) testing the suggested solution, and e) verification of the result. Tokoh lain Polya (1957) menyatakan empat langkah dalam pemecahan masalah yaitu; "a) understanding the problem , b) devising a plan, c) carring out plan, and d) looking back-checking the result and evaluating the solution "
8
9 Kedua
pemecahan masalah sebagai pendekatan pengajaran,
dijelaskan
oleh Sellwod (1989) "..The problem solving immerses student in active, and investigation learning". Hal itu menunjukan bahwa problem solving dipahami bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga
merupakan suatu metode
berpikir, sebab dalam problem solving dapat pula menggunakan metode-metode lainnya dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik kesimpulan (Sudjana, 2005:85). Lebih jelasnya lagi Sudirman dkk (1987: 146 ) mengemukakan bahwa : "Metode problem solving adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam upaya mencari pemecahan masalah atau jawabannya oleh siswa. Permasalahan itu dapat diajukan kepada siswa, dari siswa bersama guru, atau dari siswa sendiri, yang kemudian dijadikan pembahasan yang dicari pemecahannya dalam sebuah kegiatan pembelajaran siswa. Metode pemecahan masalah ini sering disebut pula sebagai problem solving method, reflective thinking method, atau scientific method." Dengan demikian Metode Pemecahan Masalah (problem solving) adalah merupakan suatu strategi pemecahan untuk menghasilkan suatu jawaban (kesimpulan) tentang suatu permasalahan yang dihadapi seseorang, adapun metode pemecahan masalah dapat dilakukan dengan langkah-langkah penelitian tertentu dalam bentuk, pendidentifikasian, pencarian, penetapan hipotesis dan pengujian kembali tentang hipotesis sehingga menghasilkan tesa-tesa yang baru.
2. Langkah-langkah Pelaksanaan Metode Pemecahan Masalah (problem solving) Guna mencapai hasil (keputusan) yang tepat, sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka dalam pelaksanaan metode pemecahan masalah ini harus
9
10 melalui beberapa langkah yang teratur. John Dewey dalam Nasution (1982: 47) menjelaskan beberapa langkah dalam memecahkan masalah secara sederhana adalah sebagai berikut : 1) Merumuskan dan menegaskan masalah 2) Mencari fakta pendukung dan meneruskan hipotesis 3) Mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan 4) Mengadakan pengujian atau verifikasi Selanjutnya Gagne yang dikutip Winatapura (1993:159) mengemukakan bahwa dalam prakteknya proses pemecahan masalah, biasanya ada lima langkah yang harus dilakukan, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5)
Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas; Menyatakan masalah dralam bentuk yang lebih operasional; Menyusun hipotesis alternative dan prosedur kerja yang diperkirakan baik; Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memeroleh hasilnya; Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh
3. Pelaksanaan Metode Pemecahan Masalah (problem solving) dalam Proses Pembelajaran Model pengajaran dengan menggunakan metode pemecahan masalah pada dasarnya adalah model pengajaran yang menekankan pada upaya peningkatan kemampuan siswa untuk mengatasi masalah dengan cara-cara sistematis dan ilmiah. Berkenaan dengan hal tersebut maka harus dilakukan langkah-langkah strategis dalam pelaksanaannya. Frederiksen dalam Slavin (1991: 187) mengusulkan enam elmen dalam suatu strategi menagajarkan Pemecahan Masalah yaitu; 1) Allow time for incubation; yang terpenting disini adalah jangan cepat menuju pada suatu solusi, tetapi lebih tepatnya adanya ketenangan,
10
11
2)
3) 4) 5)
6)
menerawang dan memikirkan pada masalah melalui beberapa solusi alternatif sebelum memilih suatu tindakan. Suspens judgment; dalam pemecahan masalah kreatif, siswa harus didorong untuk mendukung penilaian, dan mempertimbangkan semua kemungkinan sebelum mencoba suatu solusi. Establish approriate climates; pemecahan masalah bisa dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang tenang (rileks) Analize and juxtapose elemen; mendata karakteristik utama atau elmenelmen spesifik dari suatu masalah. Teach the underlying cognitive abilities; para siswa dapat diajari strategistrategi spesifik untuk mendekati probel solving secara kreatif, seperti pemikiran tentang gagasan-gagasan baru, munculnya gagasan/ide-ide, merencanakan, memetakan kemungkinan, merangkai kata-kata, atau memasukan mesalah yang sudah jelas/benar kepada pikiran kita. Provide practice with feedback; yaitu dengan banyak memberikan praktik dan umpan balik kepada siswa sebagai cara yang paling efektif untuk mengajarkan pemecahan masalah.
Dalam kaitanya dengan pemecahan masalah maka menurut John Dewey (dalam Nana Syaodih, 1997:43) dapat dilakukan dengan langkah-langkah berpikir reflektif yaitu: 1) 2) 3) 4) 5)
Merasakan adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah, Mengadakan interpretasi tentatif (merumuskan hipotesis), Mengadakan penelitian atau menggunakan data yang cermat, Memperoleh hasil dari pengujian hipotesis tentatif, Hasil pembuktian sebagai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat.
Kelima langkah di atas oleh John Dewey dalam Abin Syamsuddin (1996) disebut sebagai proses belajara masalah, yaitu: 1) Become a ware of the problem, dalam hal ini individu menyadari masalah kalau ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan, sehingga merasakan adanya semacam kesulitan, 2) Clarifeing and defining problem, yaitu invidu melokalisasikan di mana letak kesulitan tersebut untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan dengan menggunakan prinsip atau dalil atau rule yang diketahui sebagai pegangan, 3) Searching for fact and formulating hypotesis, yaitu individu menghimpun berbagai informasi yang relevan, termasuk bagaimana pengalaman orang lain dalam mengdapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengidentifikasikan dengan berbagai alternatif kemungkinan
11
12 pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaan atau pernyataan jawaban sementara bagi pembuktian (hipotesys). 4) Evaluating proposed solution, yaitu setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya, dan selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan. 5) Experimental verification, dalam hal ini alternatif pemecahan yang dipilih, dipraktekan. Dari hasil pelaksanaan itu akan diperoleh informasi untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan. Selajan dengan pendapat diatas, Sudjana (2005:86) menjelaskan tentang metode problem solving untuk tujuan proses pembelajaran
harus menempuh
langkah-langkah sebagai berikut: 1) Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan, masalah tersebut harus tumbuh dari siswa sesuai dengan tarap kemampuannya;. 2) Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut, misalnya dengan membaca buku-buku, meneliti, bertanya berdiskusi, dal lain-lain; 3) Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas; 4) Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut, dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jabawaban tersebut itu betul-betul cocok. Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan metode-metode lainnya seperti; demontrasi, tugas diskusi dan lain-lain; 5) Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada simpulan terahir tentang jawaban dari masalah tadi. Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa untuk mengaplikasikan metode pemecahan masalah dalam proses pembelajaran seperti telah dijelaskan di atas, hal yang paling prinsip adalah upaya pendekatan guru dalam ikut mendorong para siswa untuk mampu berpikir lebih maju, kritis dan rasional, sehingga berbagai pemasalahan (kesulitan) yang mereka hadapi terutama berbagai masalah yang bekaitan dengan aktivitas belajar-mengajar secara bertahap mampu ia pecahkan
dan
akhirnya
mereka
mampu
menyimpulkanya.
12
memahami,
mengkoreksi
dan
13 Hal tersebut paling tidak sesuai dengan penjelasan Sapriya (2002 :87) tentang langkah-langkah proses pembelajaran dengan teknik problem solving yang harus dilakukan dengan tahapan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Mengenali adanya masalah 2) Mencari alternatif pendekatan untuk memecahkan masalah tersebut. 3) Memilih dan menerapkan pendekatan 4) Mencapai kesimpulan C. Hakekat Motivasi Belajar 1. Pengertian Motivasi Istilah motivasi menunjukan kepada semua gelaja yang terkandung dalam stimulasi tindakan
di mana sebelumnya tidak ada gerakan menjadi timbulnya
dorongan-dorongan dasar atau internal
dan intensif menuju ke arah tujuan
tertentu . Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi bagi seseorang dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi kadang-kadang dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil. Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep tentang motivasi. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif (Gage & Berliner, 1984). Motivasi berasal dari kata motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Hal itu seperti yang dikemukakan oleh Mc. Donald, mendifinisikan motivasi adalah : ”Motivasi is a
13
14 energy change within the person characterized by affective arousal and anticipatory goal reactions.” Motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk mencapai tujuan (Hamalik, 2004: 173) Dari definisi yang dikemukakan Mc. Donald di atas mengandung tiga elmen penting yaitu : 1) Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan neurophysiological yang ada pada organisme manusia. Walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri manusia, namun penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia. 2) Motivasi ditandai dengan munculnya rasa/feeling, afeksi seseorang dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan,afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkahlaku manusia. 3) Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebagai respon dari satu aksi (tujuan). Motivasi itu mucul karena terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain yaitu tujuan yang dibutuhkan (Sardiman AM, 2008 :74). Sementara itu,
komponen motivasi memiliki dua komponen, yaitu
komponen dalam (inner component) dan komponen luar (outer component). Komponen dalam ialah perubahan di dalam diri seseorang, seperti keadaan merasa tidak puas, dan ketegangan psikologis. Sedangkan komponen luar ialah apa yang diinginkan seseorang, yakni tujuan yang menjadi arah prilakunya. Dengan demikian komponen dalam berarti kebutuhan-kebutuhan yang hendak dipuaskan,
14
15 sedangkan komponen luar adalah tujuan yang hendak dicapai. (Hamalik, 2004: 174)
2. Motivasi Dalam Belajar Pentingnya peranan motivasi dalam proses pembelajaran perlu dipahami oleh pendidik agar dapat melakukan berbagai bentuk tindakan atau bantuan kepada siswa. Motivasi dirumuskan sebagai dorongan, baik diakibatkan faktor dari dalam maupun luar siswa, untuk mencapai tujuan tertentu guna memenuhi/ memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks pembelajaran maka kebutuhan tersebut berhubungan dengan kebutuhan untuk pelajaran. Peran motivasi dalam proses pembelajaran, motivasi belajar siswa dapat dianalogikan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin motivasi belajar yang memadai akan mendorong siswa berperilaku aktif untuk berprestasi dalam kelas, tetapi motivasi yang terlalu kuat justru dapat berpengaruh negatif terhadap kefektifan usaha belajar siswa. Dengan demikian esensi dari motivasi belajar adalah apa yang memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa. Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan Sardiman A.M (2008:75) bahwa kaitannya dengan kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga tujuan yang diharapkan oleh subyek belajar itu dapat tercapai.
15
16 Dengan pengertian istilah motivasi seperti tersebut di atas, kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa. Secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandangnya, yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dan social cognition. (http://iwanps.wordpress.com/2008/04/17/teorimotivasi). 3. Teori-teori Motivasi Kaitannya Dengan Pelaksanaan Belajar a.
Teori-teori Behavioral Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan
Optimal Arousal Theory atau teori tentang tingkat motivasi optimal, yang menggambarkan hubungan empiris antara rangsangan (arousal) dan kinerja (performance). Teori ini menyatakan bahwa kinerja meningkat sesuai dengan rangsangan tetapi hanya sampai pada titik tertentu; ketika tingkat rangsangan menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun, sehingga disimpulkan terdapat rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu (Yerkes & Dodson, 1908). Pada tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory yang menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon
yang
muncul
mungkin
bermacam-macam
bentuknya
(Budiningsih, 2005). Masih menurut Hull, suatu kebutuhan biologis pada makhluk hidup menghasilkan suatu dorongan (drive) untuk melakukan aktivitas memenuhi
16
17 kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa makhluk hidup ini akan melakukan respon berupa reduksi kebutuhan (need reduction response). Menurut teori Hull, dorongan (motivators of performance) dan reinforcement bekerja bersama-sama untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang sesuai (Wortman, 2004). Pada periode 1935 - 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory yang dipengaruhi oleh prinsip dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa perilaku ditentukan baik oleh person (P) maupun oleh environment (E): Behaviour = f (P, E) Menurut Lewin, besar gaya motivasional pada seseorang untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor: tension (t) atau besar kecilnya kebutuhan, valensi (G ) atau sifat objek tujuan, dan jarak psikologis orang tersebut dari tujuan (e). Force = f (t, G)/e Dalam persamaan Lewin di atas, jarak psikologis berbanding terbalik dengan besar gaya (motivasi), sehingga semakin dekat seseorang dengan tujuannya, semakin besar gaya motivasinya. Sebagai contoh, seorang pelari yang sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia melihat atau mendekati garis finish. Teori Lewin memandang motivasi sebagai tension yang menggerakkan seseorang untuk mencapai tujuannya dari jarak psikologis yang bervariasi (Berliner & Calfee, 1996). b.
Teori-teori Cognitive Berkaitan dengan Teori Cognitive maka terdapat
beberapa pendapat,
daiantarnyan; pertama, pada tahun 1957 Leon Festinger mengajukan Cognitive Dissonance Theory yang menyatakan jika terdapat ketidakcocokan antara dua
17
18 keyakinan, dua tindakan, atau antara keyakinan dan tindakan, maka kita akan bereaksi untuk menyelesaikan konflik dan ketidakcocokan ini. Implikasi dari hal ini adalah bahwa jika kita dapat menciptakan ketidakcocokan dalam jumlah tertentu, ini akan menyebabkan seseorang mengubah perilakunya, yang kemudian mengubah pola pikirnya, dan selanjutnya mengubah lebih jauh perilakunya (Huitt, 2001). Teori kedua yang termasuk dalam teori-teori cognitive adalah Atribution Theory yang dikemukakan oleh Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967, 1971), dan Bernard Weiner (1985, 1986). Teori ini menyatakan bahwa setiap individu mencoba menjelaskan kesuksesan atau kegagalan diri sendiri atau orang lain dengan cara menawarkan attribut-atribut tertentu. Atribut ini dapat bersifat internal maupun eksternal dan terkontrol maupun yang tidak terkontrol seperti tampak pada diagram berikut. Internal
Eksternal
Tidak terkontrol
Kemampuan (ability)
Keberuntungan (luck)
Terkontrol
Usaha (effort)
Tingkat kesulitan tugas
Dalam sebuah pembelajaran, sangat penting untuk membantu siswa mengembangkan atribut-diri usaha (internal, terkontrol). Jika siswa memiliki atribut kemampuan (internal, tak terkontrol), maka begitu siswa mengalami kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan perilaku belajar yang melemah (Huitt, 2001). Ketiga, pada tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy Theory yang secara matematis dituliskan dalam persamaan: Motivation = Perasaan berpeluang
18
19 sukses (expectancy) × Hubungan antara sukses dan reward (instrumentality) × Nilai dari tujuan (Value) Karena dalam rumus ini yang digunakan adalah perkalian dari tiga variabel, maka jika salah satu variabel rendah, motivasi juga akan rendah. Oleh karena itu, ketiga variabel tersebut harus selalu ada supaya terdapat motivasi. Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa ia dapat sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan belajar yang dicapainya bernilai, maka kecil kemungkinan bahwa ia akan terlibat dalam aktivitas belajar. c.
Teori-teori Psychoanalytic Salah satu teori yang sangat terkenal dalam kelompok teori ini adalah
Psychoanalytic Theory (Psychosexual Theory) yang dikemukakan oleh Freud (1856 - 1939) yang menyatakan bahwa semua tindakan atau perilaku merupakan hasil dari naluri (instinct) biologis internal yang terdiri dari dua kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression). Selanjutnya Erik Erikson yang merupakan murid Freud yang menentang pendapat Freud, menyatakan dalam Theory of Socioemotional Development (atau Psychosocial Theory) bahwa yang paling mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial (Huitt, 1997). d.
Teori-teori Humanistic Teori yang sangat berpengaruh dalam teori humanistic ini adalah
diantaranya: Theory of Human Motivation yang dikembangkan oleh Abraham Maslow (1954). Maslow mengemukakan gagasan hirarki kebutuhan manusia, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu deficiency needs dan growth needs.
19
20 Deficiency needs meliputi (dari urutan paling bawah) kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan penghargaan. Dalam deficiency needs ini, kebutuhan yang lebih bawah harus dipenuhi lebih dulu sebelum ke kebutuhan di level berikutnya. Growth needs meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan self-transcendence. Menurut Maslow, manusia hanya dapat bergerak ke growth needs jika dan hanya jika deficiency needs sudah terpenuhi. Hirarki kebutuhan Maslow merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan antara motif manusia dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson, 1983). Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba mengembangkan sebuah teori tentang motivasi yang memasukkan semua faktor yang mempengaruhi motivasi ke dalam satu model (Grand Theory of Motivation), misalnya seperti yang diusulkan oleh Leonard, Beauvais, dan Scholl (1995). Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang merupakan sumber motivasi, yaitu 1) instrumental motivation (reward dan punishment), 2) Intrinsic Process Motivation (kegembiraan, senang, kenikmatan), 3) Goal Internalization (nilainilai tujuan), 4) Internal Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5) External Self-Concept yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995). e.
Teori-teori Social Learning Social Learning Theory (1954) yang diajukan oleh Julian Rotter menaruh
perhatian pada apa yang dipilih seseorang ketika dihadapkan pada sejumlah alternatif bagaimana akan bertindak. Untuk menjelaskan pilihan, atau arah tindakan, Rotter mencoba menggabungkan dua pendekatan utama dalam
20
21 psikologi, yaitu pendekatan stimulus-response atau reinforcement dan pendekatan cognitive atau field. Menurut Rotter, motivasi merupakan fungsi dari expectation dan nilai reinforcement. Nilai reinforcement merujuk pada tingkat preferensi terhadap reinforcement tertentu (Berliner & Calfee, 1996). f. Teori Social Cognition Tokoh dari Social Cognition Theory adalah Albert Bandura. Melalui berbagai eksperimen Bandura dapat menunjukkan bahwa penerapan konsekuensi tidak diperlukan agar pembelajaran terjadi. Pembelajaran dapat terjadi melalui proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang lain. Bandura menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah yang mengkombinasikan pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu: (1) Attention, memperhatikan dari lingkungan; (2) Retention, mengingat apa yang pernah dilihat atau diperoleh; (3) Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara meniru dari apa yang dilihat; dan (4) Motivation, lingkungan memberikan konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan muncul lagi (reinforcement and punishment) (Huitt, 2004). g.
Teori Curiosity Berlyne Pada tahun 1960 Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang Curiosity
atau rasa ingin tahu. Menurut Berlyne, ketidakpastian muncul ketika kita mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks. Ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat kita. Respon manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan mengarahkan manusia kepada perilaku yang berusaha mengurangi ketidakpastian (Gagne, 1985).
21
22 Dari berbagai penjelasan teori tersebut diatas maka jelaslah dengan demikian bahwa motivasi itu bisa dikembangkan dalam berbagai sudut psikologi belajar, misalnya dari teori behavioral, motivasi itu akan timbul manakan ditumbuhkannya rangsangan belajar dan pemenuhan kepuasan (biologis) dengan demikian proses pembelajaran harus lebih menyentuh kenyamanan pisik maupun psikis peserta didik, bila itu dipenuhi maka akan timbul motivasi belajar yang terus berkembang. Dilihat dari teori cognitif, pembelajaran harus dibangun pada penemuan konsep-konsep baru yang meyakinkan akan kebenarannya, sehingga siswa tidak dibuatnya ragu dalam mengikuti, memahami sebuah konsep dari proses pembelajaran. Selain itu harus lebih bersifat rasional matematis, sehingga persoalan dan jawaban dalam proses pembelajaran bisa diselesaikan dengan jelas dan tepat serta penuh dengan argumen. Dilihat dari teori Psychoanalytic, menyatakan bahwa motivasi belajar akan timbul manakala terpenuhuinya i naluri (instinct) biologis internal yang terdiri dari dua kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression).
Sementara
Psychoanalytic Theory (Psychosexual Theory) menyebutkan bahwa yang paling mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial. Dipandang dari Teori-teori Humanistic, motivasi
bisa timbul manakala
memenuhi kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan penghargaan. Motivasi itupun akan tumbuh bila memperdulikan pertumbuhan kebutuhan anak (growth needs) meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan self-transcendence.
22
23 Sementara bila dilihat dari sudut teori Social Learning, motivasi akan tubuh manakala adanya pendekatan stimulus-response atau reinforcement
dan
pendekatan cognitive atau fiel, kemudian lebih dijelaskan lagi oleh Social Cognition Theory karya Albert Bandura bahwa Pembelajaran dapat terjadi melalui proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang lain. Yaitu dengan penemuannya dalam pola 4 langkah yang mengkombinasikan pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu: (1) Attention, memperhatikan dari lingkungan, (2) Retention, mengingat apa yang pernah dilihat atau diperoleh, (3) Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara meniru dari apa yang dilihat, (4) Motivation, lingkungan memberikan konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan muncul lagi (reinforcement and punishment) Disudut lain motivasi belajar itu akan tumbuh manakala tumbuh rasa keingintahuannya secara mendalam,
hal tersebut merupakan prinsip Teori
Curiosity yang menganggap bahwa ketidakpastian muncul ketika kita mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks. Ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat kita. Respon manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan mengarahkan manusia kepada perilaku yang berusaha mengurangi ketidakpastian.
4. Fungsi Motivasi dalam belajar Sehubungan dengan keberhasilan proses pembelajaran, maka paling tidak motivasi mempunyai beberapa fungsi diantaranya:
23
24 1) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. 2) Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. 3) Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatanperbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain atau membaca komik, sebab tudak serasi dengan tujuannya. (Sardiman AM, 2008 :85) Dengan memperhatikan pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa diantara fungsi motivasi dalam proses belajar adalah: 1)
Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan, seperti timbulnya dorongan untuk belajar.
2)
Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan ke pencapaian tujuan yang diinginkan.
3) Motivasi berfungsi sebagai penggerak, artinya besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu perbuatan. 5. Cara-cara Menumbuhkan Motivasi Belajar Siswa Adapun beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi siswa (Sardiman, 2008: 92-95) menjelaskanya sebagai berikut: 1) Memberikan Angka (Nilai)
24
25 Banyak siswa belajar, tujuan utamanya ialah mendapatkan angka/nilai dari hasil ulangan atau yang tertera dalam rapot adalah nilai yang baik. Oleh karenanya,
guru
harus
menempuh
langkah-langkah
evalutif
yang
mengedepankan pemrolehan hasil belajar bermakna, salah satunya ialah dengan memberikan angka/nilai yang baik dari hasil tes proses pebelajaran siswanya. Supaya lebih vareatif, maka bagaimana cara guru memberikan angka-angka yang dikaitkan dengan values yang terkadung dalam setiap pengetahuan yang diajarkan kepada siswa tidak sekedar dari aspek kognitif saja, melainkan juga menyentuk aspek keterampilan dan afeksi siswa. 2) Memberi Hadiah Hadiah mungkin saja bisa juga membagkitkan motivasi belajar siswa, walaupun tidak secara merata hadiah itu bisa dimiliki oleh semua siswa. Misalnya guru kesenian akan memberikan hadiah kepada siswa yang menghasilkan gambar terbaik, nyanyian merdu dan seterusnya, bagaimana halnya dengan mereka yang tidak berbakat melukis maupu menyanyi secara baik. 3) Persaingan/ kompetensi Persaingan juga bisa mendorong siswa untuk berprestasi, namun persaingan yang dimaksud adalah persaingan yang sehat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan 4) Ego- involvement Seseorang akan berusaha dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi baiknya dan manjaga harga dirinya. Penyelesaian tugas dengan baik adalah
25
26 simbol kebangga dan harga dirinya, begitupun dengan siswa, mereka akan belajar dengan keras bisa jadi karena mempertaruhkan harga dirinya 5) Memberi Ulangan Para siswa akan menjadi giat belajar manakala telah mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu memberi ulangan ini juga merupakan sarana meningkatkan motivasi belajar. Namun harus diingat jangan terlalu sering (misalnya setiap hari ulangan) karena akan membuat siswa menjadi jenuh. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah guru harus terbuka dan komunikatif; yaitu memberitahukan dulu rencana ulangan kepada siswa pada saat sebelumnya. 6) Mengetahui Hasil Belajar siswa Dengan mengetahui hasil belajar siswa, apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui bahwa grafik hasil belajarnya meningkat, maka akan ada motivasi pada diri siswa untuk terus belajar, dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat 7) Memberi Pujian Dengan pujian yang tepat (reinforcement yang positif) pada setiap siswa yang sukses menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka akan memupuk suasana yang menyenangkan dan mempertinggi gairah belajar sekaligus akan membangkitkan harga dirinya. 8) Memberi Hukuman Dengan memberikan hukuman (reinforcement yang negatif) secara tepat dan bijak, maka bisa menjadi alat motivasi. Oleh karena itu guru harus memahami prinsip-prinsip hukuman.
26
27 9) Hasrat untuk belajar Hasrat untuk belajar, berarti ada unsur kesengajaan, ada maksud untuk belajar. Hal ini akan lebih baik dibanding segala sesuatu kegiatan yang tanpa tujuan. Hasrat untuk belajar berarti tumbuh pada diri anak didik untuk ingin belajar, sehingga hasilnyapun dipastikan akan lebih baik. 10) Minat Minat itu berarti kebutuhan, dan motivasi itu akan timbul manakala adaya rasa butuh, begitupun belajar akan berjalan lancar kalau disertai minat yang tinggi. Minat itu akan bangkit apabila dilakukan dengan cara-cara: a. Membangkitkan adanya suatu kebutuhan b. Menghubungkan dengan persoalan pengalaman yang lampau c. Memberi kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik d. Menggunakan berbagai macam bentuk mengajar 11) Tujuan yang diakui Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, akan merupakan alat motivasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai dalam suatu proses pembelajaran, maka gairah belajar akan terus tebangun. Dengan demikian makin jelaslah bahwa taugas guru harus senantiasa mampu untuk mencoba menganalisa, memahami, menguji coba, bahkan mengelaborasikan ke 11 unsur di atas yang banyak
berpengaruh dalam
membangkitkan motivasi siswa untuk mengikuti proses pembelajarannya. Akan tetapi yang harus menjadi catatan tidak setiap siswa sama akan merespon terhadap semua unsur motivasi di atas, karena masing-masing siswa
27
28 akan sangat tergantung dari segi kematangannya dalam mengikuti proses pembelajaran baik secara pisik maupun psikis. Oleh karenanya guru harus jeli, sadan penuh tanggung jawab dalam menjalankan program pengajarannya. Hal lain yang menarik dari penjelasan diatas adalah bahwa motivasi belajar siswa juga bisa tumbuh apabila gurunya mampu menggunakan berbagai macam bentuk mengajar, termasuk didalamnya memiliki keterampilan yang cukup untuk mempraktekan berbagai metode dalam pelaksanaan proses pembelajarannya.
6. Prinsip-prinsip Motivasi Belajar. Sebagai dasar pijakan untuk menumbuhkembangkan motivasi belajar siswa, guru senantiasa harus mengetahui dan memahami beberapa prinsip dari motivasi belajar. Merujuk pada pendapat
Keller (1983) dijelaskan bahwa prinsip-prinsip
motivasi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, yang disebut sebagai model ARCS, yaitu: a. Attention (Perhatian) Perhatian peserta didik muncul karena didorong rasa ingin tahu. Oleh sebab itu, rasa ingin tahu ini perlu mendapat rangsangan, sehingga peserta didik akan memberikan perhatian selama proses pembelajaran. Rasa ingin tahu tersebut dapat dirangsang melalui elemen-elemen yang baru, aneh, lain dengan yang sudah ada, kontradiktif atau kompleks. Apabila elemen-elemen tersebut dimasukkan dalam rencana pembelajaran, hal ini dapat menstimulus rasa ingin tahu peserta didik. Namun, perlu
28
29 diperhatikan agar tidak memberikan stimulus yang berlebihan, untuk menjaga efektifitasnya. b. Relevance (Relevansi) Relevansi menunjukkan adanya hubungan
materi pembelajaran dengan
kebutuhan dan kondisi peserta didik. Motivasi peserta didik akan terpelihara apabila mereka menganggap bahwa apa yang dipelajari memenuhi kebutuhan pribadi atau bermanfaat dan sesuai dengan nilai yang dipegang. Kebutuhan pribadi (basic need) dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu motif pribadi, motif
instrumental dan motif kultural. Motif nilai pribadi
(personal motif value), menurut McClelland
mencakup tiga hal, yaitu (1)
kebutuhan untuk berprestasi (needs for achievement), (2) kebutuhan untuk berkuasa (needs for power), dan (3) kebutuhan untuk berafiliasi (needs for affiliation). c. Confidence (Percaya diri) Merasa diri kompeten atau mampu, merupakan potensi untuk dapat berinteraksi secara positif dengan lingkungan. Prinsip yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa motivasi akan meningkat sejalan dengan meningkatnya harapan untuk berhasil. Harapan ini seringkali dipengaruhi oleh pengalaman sukses di masa lampau. Motivasi dapat memberikan ketekunan untuk membawa keberhasilan (prestasi), dan selanjutnya pengalaman sukses tersebut akan memotivasi untuk mengerjakan tugas berikutnya. d. Satisfaction (Kepuasan) Keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan. Kepuasan karena mencapai tujuan dipengaruhi oleh konsekuensi yang diterima,
29
30 baik yang berasal dari dalam maupun luar individu. Untuk meningkatkan dan memelihara motivasi peserta didik, dapat menggunakan pemberian penguatan (reinforcement) berupa pujian, pemberian kesempatan, dsb. D. Hakekat Bepikir Kritis 1. Pengertian Berpikir Kritis Berpikir kritis adalah suatu proses berpikir dengan mengemukakan penilain dan menerapkan norma dan standar yang tepat (Sapriya dan Winataputra, 2003:196). Adapun Spliter (1992:90-93) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah: Keterampilan bernalar dan berpikir reflektif yang difokuskan untuk memutuskan hal-hal yang diyakini dan dilakukan, selain itu keterampilan berpikir kritis adalah keterampilan yang terarah pada tujuan, yaitu menghubung kognitif dengan dunia luar sehingga mampu membuat keputusan, pertimbangan, tindakan dan keyakinan. Pendapat lain Suryati (2001:11) mengemukakan bahwa; ”keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan menganalisis terhadap berbagai persoalan yang menyangkut mata pelajaran, memberikan argumentasi memunculkan wawasan dan memberikan interpretasi”. Berfikir kritis merupakan proses bertanya dan bernalar secara dinamik, proses pengajuan dan pencarian pertanyaan tentang pernyataan dan kesimpulan yang dibuat sendiri dan dibuat orang lain tentang keyakinan dan tindakan, yang dalam pelaksanaannya kita melihat masa lampau dan masa yang akan datang, dengan mempertimbangkan apa yang sudah ada dalam diri manusia. Jadi berpikir kritis mencerminkan sifat atau kualitas pikiran, jiwa wan kritis atau skeptisme reflektif (Cornbleth, 1982:3)
30
31 Kemampuan berpikir kritis merupakan istilah yang memiliki berbagai sinonim. Para pakar psikologi lebih sering menggunakan istilah kemampuan memecahkan masalah, sedangkan para pendidik cenderung menggunakan istilah kemampuan berfikir (Khailir, 1996:3). Arthur L. Costa (1985:310) menggambarkan bahwa berpikir kritis adalah : "using basic thinking processes to analyze arguments and generate insight into particular meanings and interpretation; also known as directed thinking" R.Matindas (1996:71) menyatakan bahwa: "Berpikir kritis adalah aktivitas mental yang dilakukan untuk mengevaluasi kebenaran sebuah pernyataan. Umumnya evaluasi berakhir dengan putusan untuk menerima, menyangkal, atau meragukan kebenaran pernyataan yang bersangkutan". Matindas (1996:71) juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak terlalu membedakan antara berpikir kritis dan berpikir logis padahal ada perbedaan besar antara keduanya yakni bahwa berpikir kritis dilakukan untuk membuat keputusan sedangkan berpikir logis hanya dibutuhkan untuk membuat kesimpulan. Pada dasarnya pemikiran kritis menyangkut pula pemikiran logis yang diteruskan dengan pengambilan keputusan. Memang banyak cara kita dalam mendefinisikan berpikir kritis, misalnya Dewey mengartikan berpikir kritis sebagai "... essentially problem solving "; Ennis (dalam L.Costa,1985): "the process of reasonably deciding what to believe"; atau juga dapat didefinisikan sebagai :"... a search for meaning, not the acquisition of knowledge" (Arendt,1977)
31
32 Ennis
(dalam
L.Costa,1985)
dalam
bentuk
working
definition
menggambarkan bahwa : "critical thinking is reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to believe" Gega (1977:78) Orang yang berpikir kritis adalah ".... who base sugesstion and conclusions on evidence ..." yang ditandai dengan: menggunakan bukti untuk mengukur
kebenaran
kesimpulan,,menunjukkan
pendapat
yang
kadang
kontradiktif dan mau mengubah pendapat jika ternyata ada bukti kuat yang bertentangan dengan pendapatnya. Senada dengan apa yang dikemukakan Gega, The Statewide History-social science Assesment Advisory commitee (USA) mendefinisikan berpikir kritis sebagai " ... those behaviors associated with deciding what to believe and do" Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa berpikir kritis itu melipuri dua langkah besar yakni melakukan proses berpikir nalar (reasoning) yang
diikuti
dengan
pengambilan
keputusan/
pemecahan
masalah
(deciding/problem solving). Dengan demikian dapat pula diartikan bahwa tanpa kemampuan yang memadai dalam hal berpikir nalar (deduktif, induktif dan reflektif), seseorang tidak dapat melakukan proses berpikir kritis secara benar. 2. Ciri-ciri Berpikir Kritis Berfikir kritis merupakan fenomena yang abstrak, oleh karenanya sangat sulit untuk menentukan seseorang telah berpikir kritis atau belum. Oleh karenanya perlu adanya kriteria-kriteria yang menentukannya. LM Sartorelli dalam Zaleha (2004:110) menyusun daftar penilaian terhadap tindakan bersifat kritis tersebut. Kriteria-kriteria seseorang dapat dikatakan berpikir kiritis adalah apabila: 1) Menghadapi tantatangan demi tantangan dengan alasan-alasan
32
33 2) Memberikan contoh-contoh dan argumen yang berbeda dari yang sudah ada 3) Menerima saran dari orang lain untuk mengembangkan ideu-ideu baru 4) Mencari dan memaparkan hubungan antara masalah atau pengalaman lain yang relevan 5) Menghubungkan masalah khusus yang menjadi subyek diskusi dengan prinsip yang lebih bersifat umum 6) Menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dan beraturan 7) Meminta klarifikasi 8) Meminta elaborasi 9) Menanyakan sumber informasi 10) Berusaha untuk memahami 11) Mendengarkan dengan hati-hati 12) Mendengarkan agar pikiran terbuka 13) Berbicara bebas 14) Bersikap sopan 15) Mencari dan memberi ide pilihan variasi
Sementara itu Keterampilan perpikir kritis, sebagaimana di jelaskan oleh Bayer (Andriani, 2005 :41) dikembangkan dengan beberapa indikator yaitu: 1) Mampu
membedakan antara fakta yang dapat diverifikasi dan
tuntutan nilai yang sulit diverifakasi (diuji kebenarannya) 2) Membedakan antara informasi, tuntutan atau alasan yang relevan dengan yang tidak relevan 3) Menentukan kecermatan factual (kebenaran) dari suatu pernyataan 4) Menentukan kredibilitas (dapat dipercaya) dari suatu pernyataan 5) Mengidentifikasi tuntutan atau argument yang mendua 6) Mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan 7) Mendeteksi bias (menemukan penyimpangan) 8) Mengidentifikasi kekeliruan logika 9) Mengenali ketidak konsistenan logika dalam suatu alur 10) Menemukan kekuatan suatu argument atau tuntutan
3.
Cara Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
33
34 Seperti yang dijelaskan Panner, L.M Sartorelli dan R. Swatz dalam Zaleha (2004:95) ada beberapa cara dan strategi dalam melatih siswa untuk berpikir kritis diantaranya: 1) 2) 3) 4) 5)
Membaca dengan kritis Meningkatkan daya analisis Mengembangkan kemampuan observasi Meningkatkan rasai ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi Metakognisi (merencankan cara berpikir, menyadari dan mengawasi cara berpikir, menerima proses berpikir khusus, menjelaskan tahapan-tahapan berpikir untuk setiap proses yang dilalui dan mengevaliasi tahap berpikir menuju efesiensi 6) Mengamati model berpikir 7) Diskusi yang kaya
4. Langkah-langkah berpikir kritis The Statewide History-social science Assesment Advisory commitee (Kneedler dalam L. Costa,1985) mengemukakan bah wa langkah berpikir kritis itu dapat dikelompokkan menjadi tiga langkah yaitu: pengenalan masalah masalah (defining/ clarifying problems), menilai informasi (judging informations) dan memecahkan masalah atau menarik kesimpulan (solving problems/drawing conclusion). Lebih rinci lembaga ini pun mengungkapkan bahwa untuk melakukan langkah-langkah itu diperlukan keterampilan-keterampilan yang oleh mereka dinamai Twelve Essential critical thinking skills (12 keterampilan essensial dalam berpikir kritis), sebagai berikut: a. Mengenali masalah (defining and clarifying problem): 1) Mengidentifikasi isu-isu atau permasalahan pokok. 2) Membandingkan kesamaan dan perbedaan-perbedaan 3) Memilih informasi yang relevan
34
35 4) merumuskan/memformulasi masalah. b. Menilai informasi yang relevan: 1) Menyeleksi fakta, opini, hasil nalar /judgment. 2) Mengecek konsistensi 3) Mengidentifikasi asumsi 4) Mengenali kemungkinan faktor stereotip 5) Mengenali kemungkinan bias, emosi, propaganda, salah penafsiran kalimat (semantic slanting) 6) Mengenali kemungkinan perbedaan orientasi nilai dan ideologi. c. Pemecahan Masalah/ Penarikan kesimpulan: 1) Mengenali data-data yang diperlukan dan cukup tidaknya data 2) Meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari keputusan/ pemecahan masalah/kesimpulan yang diambil Dengan lebih operasional dan sederhana Matindas (1996) menguraikan langkah-langkah berpikir kritis berikut (contoh-contoh bukan sepenuhnya dari Matindas): 1) Pahami dengan seksama pernyataan yang ada. Apa mungkin ditafsirkan lain ? Contoh:"Pers pancasilais adalah pers yang bebas dan bertanggungjawab" kalimat ini pendek dan sederhana tapi telah terbukti selama Orde Baru, kalimat pendek itu telah membawa korban pembreidelan banyak penerbitan akibat "penafsiran yang kompleks", yakni penafsiran pemerintah beda dengan penafsiran kalangan pers , ya khan ? 2) Cermati maksud di balik pernyataan (sekedar informasi, mempengaruhi sikap, ajakan dll.)
35
36 Cermati kalimat berikut: Seseorang yang diidentifikasi sebagai anggota salah satu parpol mengatakan : " Telah terbukti bahwa sangat banyak pejabat yang korupsi, dan mereka adalah anggota golkar" , dapatkah anda menebak apa maksud dibalik pernyataannya ? 3) Cermati alasan yang diajukan untuk mendukung pernyataan. (gunakan logika) Perhatikan pernyataan ini : "Orde baru menghendaki pelaksanaan Pancasila dan UUD'45 secara murni dan konsekuen, karena itu maka menggugat ORBA sama dengan menggugat Pancasila dan UUD'45",dalam era reformasi kini, nalar apa tidak pernyataan tersebut ? (Pada masa ORBA walupun banyak penyimpangan tentu logis, ya khan ?) 4) Cermati alasan dengan mengklasifikasikan alasan itu ke dalam: fakta, penafsiran, keinginan,atau kesimpulan ahli atau bahkan mungkin ajaran agama. Coba renungkan ungkapan seorang mantan pejabat: "Untuk menjaga integritas negara dan bangsa Peristiwa tanjung Priok adalah masa lalu yang tidak perlu diungkapkan lagi" Tafsirkan sendiri, ini fakta, keinginan, tafsiran atau ungkapan ketakutan ? bingung ? 5) Ambil keputusan. Setelah menjalani proses-proses di atas silakan ambil keputusan terima atau tolak; setuju atau tidak setuju. Selalu ada pilihan, dan anda merdeka untuk memilih yang anda mau, tentu dengan resiko yang anda perhitungkan. O'K ? selamat berpikir kritis dan nikmati kemerdekaan anda. Contoh kasus: Dalam kasus meninggalnya aparat saat mengamankan demonstrasi. Ada pihak tertentu yang mengeluarkan pernyataan bahwa penyebab meninggalnya aparat tersebut adalah karena dianiaya oleh
36
37 mahasiswa. (Lakukan proses berpikir kritis, apakah anda dapat menerima pernyataan tersebut ?) d. Bagaimana upaya untuk mengembangkan berpikir kritis kita ? Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dapat dilakukan hal-hal berikut: a.
Kuasai terlebih dahulu kemampuan-kemampuan berpikir dasar.(induktif, deduktif dan reflektif)
b.
Selalu
bersikap
skeptis
tentang
segala
sesuatu!,
benar/tidak
?,
cocok/tidakdll c.
Tanamkan dalam diri kita bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak selain yang datang dari Allah.
d.
Latihlah hal-hal berikut: • Mengenali inti sebuah pernyataan • Mengulang pernyataan dalam kalimat sendiri • Mencari contoh untuk mengilustrasikan pernyataan • Mengenali maksud di balik pernyataan • Mencari kemungkinan penafsiran lain dari pernyataan • Membedakan antara inti pernyataan dengan alasannya • Memeriksa antara pernyataan denggan alasannya • Merumuskan pertanyaan dengan jelas dan benar • Membedakan antara fakta dengan opini atau penafsiran.
e. Yakini bahwa selalu ada kemungkinan kekeliruan atau kesalahan dari suatu pernyataan.
37
38 f. Yakini bahwa tidak ada larangan untuk berpikir kritis dan berpendapat lain. g.
Yakini bahwa pendapat orang banyak belum tentu benar.
h.
Yakini bahwa berpikir kritis adalah juga kunci untuk maju
i. Selalu dahului keputusan yang kita ambil sekecil apapun dengan berpikir nalar (menggunakan logika). j. Jika kita ingin berpikir kritis, jangan lupa pula bahwa orang lain pun mau. siapkah ?
E. Dampak
Pemnggunaan
Metode
Pemecahan
Masalah
Terhadap
Keterampilan Berpikir Siswa dalam Pembelajaran PKn Dengan penggunaan metode masalah tentunya akan memberikan dampak suatu efek yang positif terhadap siswa. Hal tersebut karena dengan metode pemecahan masalah siswa diajak untuk mencari, menganalis dan memecahkan permasalah berdasarkan prinsifnya sendiri. Penggunaan prinsif berpikir menurut masing-masing siswa, menimbulkan adanya perbedaan persepsi diantara mereka. Dengan perbedaan persepsi tersebut akan menimbulkab suatu rangsangan (stimulus) terhadap kemampuan dan keterampilan berpikir kritis. Metode pemecahan masalah dengan keterampilan berpikir kritis memiliki kaitan yang sangat erat. Hal ini dapat dilihat dari manfaat metode pemecahan masalah yang menurut Djahiri (1983:133) yakni: a. Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan, serta mengambil keputusan secara obyektif dan mandiri b. Mengembangkan kemampuan berpikir siswa, dengan anggapan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan bertambah. Dan proses berpikir itu terdiri dari serentetan keterampilan (mengumpulkan informasi/data, membaca data dan lain-lain) yang penerapannya membutuhkan latihan serta pembiasaan/pemberlakuan.
38
39 c. Melalui inkuiri/problem solving, kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi/keadaan yang benar-benar dihayati, diminati siswa serta dalam berbagai macam ragam alternatif. d. Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir obyektif-mandiri,kritis-analitis, baik secara individual maupun kelompok.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan metode pemecahan masalah akan mengantarkan pada kemampuan siswa untuk berpikir kritis dalam mengikuti proses pembelajaran PKn. Karena karakter dari penggunaan metode pemecahan masalah menekankan adanya kemampuan siswa untuk; (1) Mengenali adanya masalah, (2) Mencari alternatif pendekatan untuk memecahkan masalah tersebut, (3) Memilih dan menerapkan pendekatan, (4) Mencapai kesimpulan. Dengan pembiasaan menggunakan ke 4 tahapan tahapan tadi, maka secara otomatis siswa telah melakukan proses kemampuan berpikir kritis, pada sehingga akhirnya akan mengembangkan pengetahuan siswa dalam materi-materi pembelajaran PKn menjadi lebih kritis, analitis dan dapat menyimpulkan pada suatu jawaban (pernyataan) yang argumentatif dan konprehensif Untuk menjadi pengangan selaras dengan teori Peaget (Muhammad Ali, 2008: 13) bahwa pengembangan kemampuan berpikir kritis pada usia SD usia 711 tahun) maka termasuk pada tahap konkrit-operasional, mereka baru mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda yang konkrit saja. Sementara untuk memikirkan benda-benda yang abstrak anak baru mampu menguasaainya pada tahap formal-operasional yaitu usia (11-15 tahun). Dengan demikian untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada usia kelas V SD baru pada tahap yang paling mendasar, dengan demikian guru
39
40 seyogianya memahami lebih dini dalam pengembangan berpikir kiritis jangan mempolitisir pemikirannya sehingga harus berpikir seperti orang dewasa.
F. Penelitian Yang Relevan Albert Richard Singal (2005) dalam penelitiannya “Kemapuan Menerapkan Problem Solving dalam Proses Mengajar IPS” menyimpulkan bahwa : (1) Adanya keterikatan tingkat pemahaman siswa, bahwa semakin baik siswa memahami konsep problem solving akan membawa dampak positif bagi siswa, karena siswa semakin aktif, responsive dan interaktif partisipatif dalam kegiatan belajarnya di kelas (2) Metode Problem Solving adalah strategi pembelajaran yang memposisikan siswa sebagai titik pusat (student centerid), oleh karenanya guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator belajar siswa, memberikan kemudahan siswa
mendapatkan pengalaman belajarnya sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya sehuingga terjadi interaktif yang aktif. (3) Dengan problem solving diharapkan siswa mampu menghadapi permasalahan dan memecahkannya sendiri atau secara bersama-sama dengan teman dengan berusaha mengerahkan segala kemampuannnya yang dimiliki siswa berupa pikiran, kemampuan, perasaan serta semangat untuk mencari pemecahannya sampai pada suatu kesimpulan yang diharapkan. Nanang Rijono (200) dalam penelitiannya “Mengajarkan Strtegi Belajar dan Berpikir kepada Siswa” yang menyimpulkan bahwa : (1) Guru dan sekolah seharusnya melatihkan dan mengajarkan bagaimana cara belajar (how to learn) dan bagaiamana cara berpikir (how to think) kepada
40
41 siswa semenjak sekolah dasar. Tanpa adanya kemampuan bagaimana cara belajar dan bagaimana cara berpikir, siswa akan kemandegan dalam belajar dan berpikir, sehingga mereka tidak akan dapat mengembangkan dirinya sendiri di kemudian hari dan kurang kreatif karena kurang terlatih berpikir. (2) Diantara cara mengikuti pembelajaran siswa harus bisa mempuh langkahlangkah seperti: - Bagaimana cara membaca buku - Bagaimana cara mengikuti pelajaran, mendengarakn sajian guru, dan membuatcatatan - Bagimana cara bertanya dan menjawab - Bagaimana cara mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan (3) Diantara bagaimana cara siswa berpikir adalah dengan melakukan langkahlangkah: -
Bagaimana cara menyimpan informasi dalam ingatan dan menyusun informasi
-
Bagaimana cara menghapal
-
Bagaimana cara mencari kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatan dan menggunakannya untuk ditransfer ke pihak lain Benny Ahmad Benyamin (2003) dalam penelitiannya “Efektivitas
Penggunaan Metode Problem Solving terhadap Peningkatan Motivasi Belajar Siswa dalam Pembelajaran PPKn (Suatu Studi Penelitian Tindakan Kelas di SMUN 1 Cianjur ) “, menyimpulkan bahwa: (1) Penggunaan
metode
problem solving
dengan
menggunakan
isu-isu
kontroversial sangat efektif dalam meningkatkan motivasi belajar siswa, hal
41
42 itu akan membangkitkan pro dan kontra dalam mengikuti pembahasan isu-isu kontoversi tadi. (2) Metode problem solving dapat melibatkan aktivitas dan kreatifitas siswa dalam proses berpikir untuk memecahkan permasalahan yang ada karena mereka terdorong untuk saling berargumentasi dan saling menguji pendapat temannya. (3) Metode problem solving, juga bisa memposisikan guru menjadi penengah, pengarah dan pembimbing dalam proses pembelajaran (4) Metode problem solving, mengodisikan suasana kelas menjadi lebih demokratis. (5) Penggunaan metode problem solving efektif membantu anak untuk belajar berfikir kritis, karena setiap pendapat siswa yang di ajukan dalam proses pendalaman pembahasan materi akan diuji secara kolektif, biasanya dapat ditemukan dalam pelaksanaan diskusi sesama teman di kelas.
Tin Rustini (2005) dalam penelitiannya; “Penerapan Model Problem Solving
untuk
Meningkatkan
Pengembangan
Potinsi
Berpikir
dalam
Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar (Penelitian Tindakan Kelas pada KelasV SDN Marga Endah Kecamatan Cimahi Kota Cimahi) menyimpulkan bahwa: b)
Penerapan strategi model problem solving mampu mengembangkan kemampuan berpikir reflektif, kritis dan kreatif.
c)
Model problem solving akan lebih berhasil dengan baik apabila dalam pelaksanaanya menggunakan strategi pembelajaran yang bervareatif.
42
43 d)
Model problem solving dapat memberikan kemudahan kepada guru dalam melaksanakan pembelajaran.
e)
Penerapan model pembelajaran
problem solving , dapat meningkatkan
kualitas proses maupun hasil belajar.
43
44
44