BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Pendidikan Kewarganegaraan atau disingkat PKn merupakan bidang studi yang bersifat nultifaset dengan konteks lintas bidang keilmuan. Namun secara filsafat keilmuan ia memiliki ontologi pokok ilmu politik khususnya konsep ‘political democracy’ untuk aspek ‘duties and rights of citizen’ (Chreshore:1986) dalam Rahmat (2009:4). Dari ontologi pokok inilah berkembang konsep ”Civics”, yang secara harfiah diambil dari bahasa Latin “civicus” yang artinya warga negara pada jaman Yunani Kuno, yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya “civic education” yang selanjutnya di Indonesia diadaptasi menjadi “Pendidikan Kewarganegaraan” (PKn). Secara epistemologis, PKn sebagai suatu bidang keilmuan merupakan pengembangan dari salah satu dari lima tradisi “social studies” yakni “citizenship transmission” (Barr, Barrt dan Shermis, 1997) dalam Rahmat (2009:4). Dikemukakan pula oleh Winaputra (2001) bahwa saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu “body of knowledge” yang dikenal dan memiliki paradigma sistemik yang di dalamnya terdapat tiga domain “citizenship education” yakni domain akademis, domain kurikuler dan domain sosial cultural. Ketiga domain itu satu sama lain memiliki saling keterkaitan struktural dan fungsional yang diikat oleh konsepsi “civic virtue and culture” yang
17
18
mencakup “civic knowledge, civic disposition, civic skills, civic confidence, dan civic competence” (CCE, 1998) dalam Rahmat (2009:4). Oleh karena itu, ontologi PKn saat ini sudah lebih luas dari pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kulikuler PKn, dan aktivitas sosial-kultural PKn saat ini benar-benar bersifat multifaset/multidimensional. Sifat multidimensionalitas inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai: pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak asasi manusia, dan pendidikan demokrasi. Pendidikan Pancasila menurut Depdiknas (2006:49) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD Tahun 1945. Dalam penjelasan Pasal 39 UU No. 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditegaskan sebagai berikut: pendidikan Pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung persatuan bangsa dalam masyarakat yang beraneka ragam kebudayaan dan beraneka kepentingan, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat, ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah dan mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Somantri (2001: 299) menjelaskan pengertian PKn sebagai berikut: Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan
19
lainya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD tahun 1945. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PKn merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD Tahun 1945. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan yang berbasis nilai, pada pembelajarannya tidak hanya sebatas pada penguasaan materi semata atau hanya menekankan pada dimensi kognitif saja, tetapi lebih menekankan dan mengembangkan aspek afektif yang akan ditampilkan peserta didik dalam perilakunya.
2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai salah satu mata pelajaran bidang sosial dan kenegaraan memiliki fungsi yang sangat esensial dalam meningkatkan manusia Indonesia yang memiliki keterampilan hidup bagi diri, masyarakat, bangsa dan negara. PKn mempunyai fungsi dan tujuan sebagaimana disebutkan dalam buku panduan pengajaran yang dikutip oleh Fitriani Yuniar (2008:18), yaitu: a. melestarikan dan mengembangkan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka, yaitu nilai moral Pancasila yang dikembangkan itu mampu menjawab tantangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat; b. mengembangkan dan membina siswa menuju manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik, hukum dan konstitusi Negara Kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila Dan UUD Tahun 1945;
20
c. membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antar sesama warga negara agar mengetahui dan mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warga Negara; d. membekali siswa dengan sikap dan perilaku yang berdasarkan nilainilai moral Pancasila dan UUD Tahun 1945 dalam kehidupan seharihari. Bagaimanapun nilai moral Pancasila merupakan komitmen bangsa kita menjadi jati diri bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Nilai-nilai Pancasila yang bersifat dinamis dan terbuka dapat membuat kita optimis, bahwa nilai moral Pancasila itu akan mampu menjawab tantangan yang terjadi dalam masyarakat. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa Sistem Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn)
memiliki
fungsi
yang
sangat
esensial
dalam
meningkatkan manusia Indonesia yang memiliki keterampilan hidup bagi diri, masyarakat, bangsa dan negara. Fungsi dari Pendidikan Kewarganegaraan diantaranya melestarikan dan mengembangkan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka, yaitu nilai moral Pancasila yang dikembangkan itu mampu menjawab tantangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat.
21
3. Pendidikan Kewarganegraan Sebagai Mata Pelajaran Di Sekolah PKn untuk persekolahan sangat erat kaitannya dengan dua disiplin ilmu kenegaraan, yakni Ilmu Politik dan Hukum yang terintegrasi dengan Humaniora dan dimensi keilmuan lainnya yang dikemas secara ilmiah dan pendagogis untuk kepentingan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, PKn ditingkat persekolahan bertujuan utnuk mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara yang cerdas dan baik (to be smart and good citizenship). Warga negara yang dimaksud adalah warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat dimamfaatkan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang diajarkan disetiap jenjang pendidikan yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang baik serta berkarakter sesuai dengan Pancasila UUD 1945. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Maftuh dan Sapriya (2005:321) mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diartikan sebagai berikut: Mata pelajaran PKn adalah program pendidikan atau mata pelajaran yang memiliki tujuan utama untuk mendidik siswa agar menjadi warga negara yang baik, demokratis dan bertanggung jawab. Program PKn ini memandang siswa dalam kedudukannya sebagai warga negara, sehingga program-program, kompetensi atau materi yang diberikan kepada peserta didik diarahkan untuk mempersiapkan mereka mampu hidup secara fungsional sebagai warga masyarakat dan warga negara yang baik. Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 dijelaskan bahwa: Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta pendidikan
22
pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Sedangkan dalam Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2006:2) dijelaskan bahwa: Pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosiokultural, bahasa, usia, serta suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas, terampil dan berkarakter sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan kewarganegaran sebagai mata pelajaran di sekolah merupakan program pengajaran yang memuat berbagai aspek, tidak hanya aspek kognitif semata, melainkan aspek afektif serta psikomotor secara utuh dan menyeluruh guna membentuk setiap siswa untuk menjadi warga negara yang baik. Warga negara yang dimaksud adalah warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
4. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegraan a. Pengertian dan Tujuan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegraan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di setiap jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA s/d Perguruan Tinggi) sangatlah penting, hal itu disebabkan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang menekankan hubungan warga negara berkenaan dengan bela negara yang didalamnya memuat
23
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan untuk membentuk warga negara yang baik. Adapun pengertian pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menurut Djahiri (2006:22) sebagai berikut: Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan pembelajaran yang secara programatik berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan serta memberdayakan (empowering) manusia/anak didik (diri dan kehidupannya) menjadi warga negara yang baik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejalan dengan pendapat di atas, Cogan (dalam Somantri, 2001:161) mengemukakan bahwa “pembelajaran pendidikan kewarganegaraan merupakan proses pendidikan secara utuh dan menyeluruh terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga negara yang cerdas dan baik”. Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan
harus
diinternalisasikan
secara
utuh
dan
menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan (baik pribadi/keluarga, sekolah, masyarakat maupun bangsa dan negara) dengan tujuan untuk membentuk karakter siswa sebagai warga negara yang cerdas dan baik, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 menyebutkan bahwa dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi itu salah satunya wajib memuat Pendidikan Kewarganegaraan.
Hal
itu
menunjukan
bahwa
keberadaan
Pendidikan
Kewarganegaraan sangatlah penting pada pelaksanaan pembelajaran di sekolah.
24
Sesuai dengan tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Maftuh dan Sapriya, 2005:320 yaitu: Secara umum tujuan negara mengembangkan Pendidikan Kewarganegaraan adalah agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizenship), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civic intelligence), baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan bertanggung jawab (civic responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (civic participation) agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Berdasarkan perkembangan mutakhir, tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat lokal mapun nasional (Winaputra dan Budimansyah, 2007:185). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006), menjelaskan bahwa pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tujuan sebagai berikut: 1) Berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu-isu kewarganegaraan. 2) Berpartisipasi secara aktif, bertanggung jawab dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta anti-korupsi. 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karekter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya. 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang dapat digambarkan sebagai warga negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, saling menghormati, menjungjung tinggi nilai-nilai toleransi, memupuk rasa kekeluargaaan, memupuk
25
rasa bangga dan cinta terhadap bangsa serta tanah air, demokratis, cakap dan bertanggung jawab, berwawasan luas, menaati hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat, berbudi pekerti luhur, memiliki kecerdasan dan keterampilan intelektual, spiritual, sikap/emosional, sehingga dapat mengembangkan potensi serta mampu memposisikan diri dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, bahkan dalam pergaulan antar bangsa.
b. Strategi dan Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegraan Secara umum strategi diartikan sebagai kumpulan dari metode untuk kepentingan menyampaikan bahan-bahan atau materi dalam proses pembelajaran. Wuryan dan Syaifullah (2008:52-53) memaparkan bahwa “dalam konteks pembelajaran civics dan PKn, agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sudah barang tentu dalam pembelajaran tersebut harus mengimplementasikan strategi pembelajaran yang dipandang tepat atau sesuai dengan karakter dari pelajaran Civics dan PKn itu sendiri serta keadaan para siswa yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran itu”.
Pada dasarnya pendekatan pembelajaran dalam Civics dan PKn harus menekankan pentingnya keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran siswa melalui partisipasi aktif dan positif dalam menemukan ide atau gagasan kreatif dalam rangka melatih untuk memecahkan masalah (solve the problem) yang dihadapi. Menurut Wuryan dan Syaifullah (2008:54) proses pembelajaran yang baik adalah proses pembelajaran yang interaktif, pembelajaran ini memiliki karakteristik umum sebagai berikut: 1) Adanya variasi kegiatan klasikal, kelompok, dan perorangan 2) Keterlibatan mental (pikiran, perasaan) siswa tinggi;
26
3) Guru/dosen/tutor/instruktur sebagai fasilitator belajar, nara sumber, dan menejer kelas yang demokratis 4) Menerapkan pola komunikasi banyak arah (multiways traffic communication); 5) Suasana kelas yang fleksibel, demokratis, menantang, dan tetap terkendali oleh tujuan yang ditetapkan sebelumnya; 6) Potensial dapat menghasilkan dampak instruksional (instructional affect) dan dampak pengiring (nurturant affect) lebih baik; 7) Dapat digunakan dalam dan/atau di luar kelas/ruangan. Menurut Suparman (Wuryan dan Syaifullah, 2008:54) secara teoritis terdapat ragam jenis model pembelajaran interaktif, namun secara umum dapat dikelompokan ke dalam tiga rumpun yaitu: 1) Model berbagi informasi, yaitu tujuannya menitikberatkan pada proses komunikasi dan diskusi melalui interaksi argumentatif yang sarat dengan penalaran. Termasuk kedalam rumpun ini adalah model orientasi, model sidang umum, model seminar, model konferensi kerja, model simposius, model forum dan model panel. 2) Model belajar melalui pengalaman, yang tujuannya menitikberatkan pada proses pelibatan dalam situasi yang memberi implikasi perubahan perilaku yang sarat dengan nilai dan sikap sosial. Termasuk ke dalam rumpun ini adalah model simulasi, model bermain peran, model sajian situasi, model kelompok aplikasi, model sajian konflik, model sindikat, dan model kelompok T. 3) Model pemecahan masalah, yang tujuannya menitikberatkan pada proses pengkajian dan pemecahan masalah melalui interaksi dialogis dalam situasi yang sarat dengan penalaran induktif, Termasuk ke dalam rumpun ini adalah model curah pendapat, model riuh bicara, model diskusi bebas, model kelompok akupasi, model kelompok silang, model tutorial, model studi kasus, model lokakarya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan strategi sangat penting dalam proses pembelajaran PKn. Strategi mengajar perlu dimiliki oleh pendidik atau guru karena keberhasilan proses belajar mengajar (PBM) bergantung pada cara mengajar guru baik itu dalam metode maupun media pembelajaran.
27
Metode mengajar adalah cara-cara menyajikan bahan pelajaran kepada siswa untuk tercapainya tujuan yang telah ditetapkan (Sobry Sutikno, 2007:55). Seperti yang telah di jelaskan di atas bahwa dalam membelajarkan siswa, guru dituntut untuk menggunakan metode yang bervariasi agar tidak menimbulkan kejenuhan dan kebosanan para siswa. Menurut Djahiri dalam bukunya Dasar-dasar Umum Metodologi dan Nilai Pengajaran Nilai-Moral PVCT (1995/1996:11) memaparkan beberapa metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) yaitu: “Ceramah Bervariasi, metode ekpasitori, pengajaran konsep, tanya Jawab, Partisipatori, Diskusi dan kelompok belajar, Kejarkop, Inkuiri dan Pemecahan Masalah serta Value Clarificatation Technique (VCT)”. Dimana VCT adalah pola pengajaran yang membelajarkan potensi/dunia afektif peserta didik sekaligus pola mempribadikan isi pesan (mean, value, nilai dan moral-jiwa serta semangat) yang tersirat dalam suatu kajian pelajaran. Dalam
bukunya
Paparan
Klarifikasi
Pembaharuan
Pendidikan
Kewarganegaraan dan Budi Pekerti-PKN suplemen 1999/2000 (PKN-PBP) dan Kurikulum berbasis Kompetensi 2002 yang dikutip oleh Tintin Rosmala Dewi (2008:28),
Kosasih
Djahiri
mengembangkan
pendekatan
pembelajaran
kontekstual menjadi beberapa pembelajaran yang dapat diterapkan dalam PKn, antara lain: Pola pembelajaran Kooperatif (Cooperative learning), Penemuan, (Discovery), Metode pemecahan Masalah (problem solving), Inquiry, Interactive, Eksploratif, berpikir kritis, catatan kegiatan, Skala sikap, koleksi tugas, Diskusi, Portopolio, Pola pemberdayaan Media cetak dan Praktikum PKn.
28
Sejalan dengan pendapat tersebut, Depdiknas (2003:5) menyatakan bahwa: Pembelajaran dalam mata pelajaran PKn merupakan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan belajar kontekstual untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, keterampilan, dan karakter warga negara. Pendekatan belajar kontekstual dapat diwujudkan antara lain dengan metode: 1) Kooperatif; 2) Penemuan; 3) Inquiri; 4) Interaktif; 5) Eksploratif; 6) berpikir kritis; 7) Pemecahan masalah. Oleh karena itu, tujuan dari berbagai metode dan pembelajaran yang dapat digunakan dalam PKn adalah untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, keterampilan, dan karakter warga negara Indonesia. Sehingga guru harus melakukan analisis terlebih dahulu terhadap kondisi siswa dan lingkungan serta sumber belajar yang tersedia agar metode yang digunakan tepat dan bermakna bagi proses pembelajaran siswa.
c. Materi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegraan Materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian interdisipliner, artinya materi Pendidikan Kewarganegaraan dijabarkan dari beberapa disiplin ilmu antara lain Ilmu Politik, Ilmu Negara, Ilmu Tata negara, Hukum, sejarah, Ekonomi, Moral dan Filsafat. Menurut Djahiri (1996:17), yang dikutip oleh Nurmayanti (2007:17) mengemukakan bahwa pengembangan dan program pengajaran (bahan materi pelajaran) yang layak untuk Pendidikan Kewarganegaraan antara lain: 1) Sumber formal, terdiri atas: a) Pancasila, UUD 1945 dan seluruh perangkat hukum yang berlaku baik dokumenter maupun sumber dan publikasi lembaga yang berwenang (Departemen Pusat serta Daerah dan lain-lain) b) Agama yang diakui oleh Negara Republik Indonesia (RI) dan nilai luhur budaya bangsa (lokal dan nasional) 2) Sumber litelatur keilmuan yang tidak terlarang
29
3) Media massa, baik cetak mupun elektronik 4) Nara sumber yang layak, baik secara keilmuan, sosial politik, budaya maupun keagaman. Paparan di atas menegaskan bahwa materi Pendidikan Kewarganegaraan dapat diperoleh dari berbagai sumber yang memiliki kualifikasi untuk dijadikan bahan ajar yang tidak menyimpang dari kurikulum yang telah ditentukan. Materi tersebut dapat berasal dari sumber formal maupun informal. Menurut Djahiri (1996:37) materi Pkn harus memiliki kualifikasi sebagai berikut: 1. Menyerap sejumlah azas dan pendekatan yang dimintai kurikulum 1994. 2. Memadukan dengan kualifikasi aspek the hidden sehingga terwujud the proper instructional program. 3. Mutu domain-taksonomi tinggi multi dimensi/gatra: sumber, media, dan pola evaluasi. 4. Tematis, kemasyarakat, meluas (dan terpadu integratif) 5. Padat nilai moral (value base Pancasila UUD 1945 -agama- dan buaya luhur Indonesia)
Selain itu juga, Kosasih Djahiri (1997) pernah menegaskan bahwa “materi PKn hendaknya lebih menitikberatkan pada pembinaan watak, pemahaman dan penghayatan nilai dan pengalaman Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, pembinaan siswa untuk melihat kenyataan, fokus belajar pada konsep yang benar menurut dan sesuai dengan Pancasila”. Materi pengajaran PKn harus meliputi ketiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Tidak hanya itu, materi pendidikan harus menjawab tantangan dunia kerja sehingga kesesuaian antara dunia penidikan dan dunia kerja. Ruang lingkup mata pelajaran PKn meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Permendiknas Nomor 22/2006): 1) Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia,
30
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
sumpah pemuda, keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap negara kesatuan Republik Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional. Hak Asasi Manusia meliputi: Hak dan Kewajiban Anak, Hak dan Kewajiban Anggota Masyarakat, Instrumen Nasional dan Internasional HAM, Pemajuan, Penghormatan dan Perlindungan HAM. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai Keputusan Bersama, Prestasi Diri, Persamaan Kedudukan warga Negara. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan Konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan Dasar negara dengan Konstitusi. Kekuasaan dan Politik, meliputi: Pemerintahan Desa dan Kecamatan, Pemerintahan Desa dan Otonom, Pemerintahan Pusat, Demokrasi menuju masyarakat Madani, Sistem Pemerintahan, Pers dalam Masyarakat Demokrasi. Pancasila, meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai Ideologi Terbuka. Globalisasi meliputi: Globalisasi di Lingkungan, politik Luar Negeri, Indonesia di Era Globalisasi, dampak Globalisasi, Hubungan Internasional, dan Organisasi Internasional dan mengevaluasi Globalisasi.
d. Proses Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam proses pembelajaran pendidikan, terdapat beberapa komponen yang mempengaruhi pembelajaran baik secara langsung atau tidak langsung serta dapat mempengaruhi proses dan kualitas pembelajaran tersebut, yakni meliputi: 1) Raw input, adalah kondisi dan keberadaan siswa yang mengakui kegiatan pembelajaran (minat, sikap dan kebiasaan). 2) Instrumental input, adalah sarana dan prasarana yang terkait dengat proses pembelajaran seperti metode, guru, teknik, media dan bahan pembelajaran. 3) Enviromental Input, adalah situasi dan keberadan lingkungan baik fisik, sosial maupun budaya dimana kegiatan pembelajaran dilaksanakan.
31
4) Expected output, merujuk pada rumusan normatif yang menjadi milik siswa setelah melaksanakan proses pembelajaran ( Ibrahim dkk, 2002:51). Keempat komponen pembelajaran tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan proses pembelajaran, hal itu dikarenakan komponen yang satu erat kaitannya dengan komponen lainnya. Dengan demikian, sebaiknya guru
sebelum
memberikan
pembelajaran
harus
memperhatikan
kondisi
lingkungan sekitarnya serta hidden curriculum yang dapat digali oleh siswa agar pembelajaran berlangsung dengan baik sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Proses pembelajaran Pendidikan Kewaganegaraan mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran yang dikemukakan oleh Budimansyah (2002:8-13) antara lain: 1.) Prinsip pembelajaran siswa aktif ( Student active Learning) Proses pembelajaran Pkn menerapkan prinsip belajar siswa aktif, artinya keaktifan siswa menjadi prioritas dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini aktivitas siswa lebih mendominasi selama proses pembelajaran berlangsung. 2.) Kelompok belajar kooperatif (Cooperative Learning) Proses pembelajaran PKn menerapkan prinsip belajar kooperatif, yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen sekolah. 3.) Pembelajaran partisipatorik Prinsip pembelajaran ini ialah Learning by doing (siswa belajar sambil melakoni), sehinnga siswa akan lebih memahami materi yang diajarkan, tidak hanya secara teoritis melainkan secara praktis. 4.) Reactive teaching Dalam prinsip ini lebih menekankan bagaimana guru dapat menciptakan strategi agar siswa mempunyai motivasi belajar. Ciri guru yang reaktif yaiti: a) menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar; b) pembelajaran di mulai dengan hal-hal yang sudah di ketahui dan pahami siswa; c.) selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai suatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan siswa, serta d)
32
segera mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui, segera menanggulanginya. Keempat prinsip dasar dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di atas hendaknya dapat diimplementasikan secara berkesinambungan, agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik dan tepat guna, sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
e. Media Pembelajaran PKn Media yang paling baik adalah media yang paling sesuai dengan tujuan pembelajaran/karakter bahan ajar, metode yang akan digunakan, dan keadaan siswa, serta kemampuan guru/sekolah. Seperti yang dikemukakan oleh Jarolinek (Kosasih Djahiri, 1979:76) sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5)
Tujuan instruksional yang ingin dicapai Tingkat usia dan kematangan siswa Kemampuan baca siswa Tingkat kesulitan dan jenis konsep pelajaran tersebut Keadaan/latar belakang pengetahuan pelajaran tersebut
Selain itu, Djahiri (1995/1996:31) menyatakan bahwa: “media pengajaran ditentukan oleh metode dan kualifikasi bahan materi pelajaran”. Adapun jenis dan bentuk medianya dikategorikan kedalam beberapa macam yang terdiri dari: 1) Yang bersifat Materil (kebendaan) berupa alat peraga, benda cetak, (buku, majalah, Koran, dll) 2) Yang bersifat Immaterial (tidak berwujud) seperti iklim, keadaan kehidupan (kaya, miskin, dll) 3) Yang bersifat personal (manusia seperti tokoh, pahlawan, narasumber, dll). Berkaitan dengan hal tersebut, Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (2003:6) menyatakan bahwa:
33
Dalam pembelajaran Kewarganegaraan dapat menggunakan berbagai media yang mempunyai potensi untuk menambah wawasan dan konteks belajar serta meningkatkan hasil belajar. Slide, Film, Radio, televisi dan komputer yang dilengkapi CD-ROM dan hubungan Internet dapat dimanfaatkan untuk mengakses berbagai informasi tentang isu-isu Internasional dan aktivitas kewarganegaraan di negara-negara lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa media adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada khususnya. Selain itu berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa terdapat berbagai macam jenis dan bentuk dari media, sehingga dalam memilih dan menggunakan media guru harus menyesuaikannya dengan materi yang akan disampaikan pada siswa, agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Adapun Standar Kompetensi Dan Kompetensi Dasar 2006 Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Untuk kelas X Sekolah Menegah Atas (SMA) Yaitu: Tabel 2.1 Materi Pendidikan Kewarganegaraan kelas X SMA Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 1. Memahami hakikat 1.1 Mendeskripsikan hakikat bangsa dan unsurbangsa dan negara unsur terbentuknya negara Kesatuan Republik 1.2 Mendeskripsikan hakikat negara dan bentukIndonesia (NKRI) bentuk kenegaraan 1.3 Menjelaskan pengertian, fungsi, dan tujuan NKRI. 1.4 Menunjukan semangat kebangsaan, nasionalisme, dan patriotisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Menampilkan sikap 2.1 Mendeskripsikan pengertian sistem hukum positif terhadap sistem dan peradilan nasional hukum dan peradilan 2.2 Menganalisis peranan lembaga-lembaga nasional. peradilan. 2.3 Menunjukan sikap yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 2.4 Menganalisis upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
34
3. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). 4. Menganalisis hubungan dasar negara dengan konstitusi.
5. Menghargai persamaan kedudukan warga negara dalam berbagai aspek kehidupan,
6. Menganalisis sistem politik di Indonesia.
2.5 Menampilkan peran serta dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia 3.1 Menganalisis upaya pemajuan, penghormatan, dan penegakan HAM. 3.2 Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan, dan penegakan HAM di Indonesia. 3.3 Mendeskripsikan instrumen hukum dan peradilan internasional HAM. 4.1 Mendeskripsikan hubungan dasar negara dengan konstitusi 4.2 Menganalisis substansi konstitusi negara. 4.3 Menunjukan sikap positif terhadap konstitusi negara. 5.1 Mendeskripsikan kedudukan warga negara dan perwaganegaraan di Indonesia. 5.2 Menganalisis persamaan kedudukan warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara. 5.3 Menghargai persamaan kedudukan warga negara tanpa membedakan ras, agama, gender, golongan, budaya, dan suku. 6.1 Mendeskripsi suprastruktur dan infrastkuktur politik di Indonesia. 6.2 Mendeskripsikan perbedaan sistem politik di berbagai negara. 6.3 Menampilkan peran serta dalam sistem politik di Indonesia.
Tabel di atas merupakan acuan materi Pendidikan Kewarganegaran (PKn) untuk kelas X SMA yang dari segi subtansinya telah disesuaikan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sehingga dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut.
f. Penilaian Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Penilaian atau evaluasi dalam pembelajaran, penting dilakukan untuk mengetahui hasil dari suatu proses pembelajaran tersebut. Adapun pengertian
35
penilaian atau evaluasi menurut Tyler (dalam Arikunto, 2002:3) yaitu “proses pengumpulan data untuk menentukan sejauhmana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Jika belum, bagian mana yang belum dan apa sebabnya”. Stufflebeam (dalam Arikunto, 2002:5) mendefinisikan penilaian atau evaluasi dalam cakupan yang lebih luas yaitu: “Proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauhmana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan. Dengan demikian, penilaian pada dasarnya merupakan proses pengambilan keputusan secara kualitatif tentang nilai dari sesuatu: baik, sedang, kurang, buruk dan lain-lain”. Tujuan dari penilaian atau evaluasi proses dan hasil dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan antara lain, untuk: 1.) Membelajarkan kembali (re-edukasi). Menilai itu bukan memvonis siswa dengan harga mati, lulus atau gagal, melainkan untuk mencari informasi tentang pengalaman belajar serta didik dan informasi tersebut digunakan sebagai balikan (feed back) untuk membelajarkan mereka kembali. 2.) Merefleksi pengalaman belajar. Dalam hal ini, penilaian dijadikan media untuk merefleksikan (bercemin) pada pengalamanan yang telah siswa miliki dan kegiatan yang telah mereka selesaikan. Reflkesi pengalaman belajar merupakan satu cara untuk belajar, menghindari kesalahan di masa yang akan datang dan untuk menetapkan kinerja. Di samping itu, penilaian juga dapat dijadikan sarana untuk merefleksi kinerja guru. 3.) Memantau kemajuan atau mendiagnosis kemampuan belajar siswa, sehingga memungkinkan dilakukan pengayaan remediasi untuk memenuhi kebutuhan siswa sesuai dengan kemajuan dan kemampuannya (Budimansyah, 2002:112). Dengan demikian, penilaian atau evaluasi dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan sangat bermanfaat bagi guru maupun siswa, untuk mengetahui serta memantau sejauh mana proses dan hasil kinerja guru dalam mengajar serta hasil belajar siswa.
36
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (2003:5) mengemukakan bahwa: Penilaian dalam mata pelajaran Kewarganegaraan diarahkan untuk mengukur pancapaian indikator hasil belajar. Penilaian dapat menggunakan model penilaian berdasarkan perbuatan (performance based assessment) atau juga dikenal dengan penilaian otentik (authentic assessment) Evaluasi merupakan serangkaian kegiatan penilaian secara keseluruhan program mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai dengan pengawasan. Dengan demikian yang dimaksud dengan penilaian hasil belajar adalah proses penentuan nilai terhadap hasil belajar yang ingin dicapai siswa. Evaluasi dalam pembelajaran PKn merupakan bagian yang terpadu dari proses belajar mengajar dan bukan suatu bagian tersendiri serta bukan kegiatan akhir dari suatu pendidikan. Evaluasi PKn secara garis besar terdiri atas teknik tes dan non tes atau melalui prosedur formal dan informal. Dalam prosedur formal atau penggunaan tes objektif dan essay. Menurut Wahab (1986:187) yang umum digunakan dalam tes objektif antara lain meliputi: 1) 2) 3) 4) 5)
pilihan ganda; menjodohkan; melengkapi essay; benar salah; mengenai/bereaksi terhadap situasi kritis dan problematik.
Sedangkan yang tergolong teknik non tes atau prosedural informal menurut Wahab (1986: 149) yaitu: 1) Teknik observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti dan seksama serta pencatatan secara tematis; 2) Daftar cocok merupakan suatu daftar pertanyaan dimana responden tinggal memberikan tanda cek list () pada tempat yang telah disediakan;
37
3) Skala penilaian (Rating Scale) merupakan suatu teknik untuk menggambarkan suatu nilai yang dimanifestasikan dalam bentuk angka terhadap hasil pertimbangan; 4) Kuesioner adalah daftar pertanyaan atau butir-butir yang meminta kepada responden untuk memberi tanda atau cek () dengan cara tertentu; 5) Wawancara, teknik ini berguna untuk menilai kemajuan siswa dalam pengembangan nilai moral. Menurut Sundawa (2003:7-9), pada pelaksanaan proses evaluasi dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) harus memperhatikan beberapa prinsip sebagai berikut: 1) Beberapa Prinsip umum yang perlu diartikan dalam proses evaluasi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn): a) Objektivitas b) Representatif c) Keseksamaan d) Keterbukaan e) Kejelasan 2) Sedangkan beberapa prinsip khusus yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan evaluasi Pendidikan Kewarganegaraan: a) Evaluasi Pendidikan Kewarganegaraan lebih banyak untuk kepentingan siswa dibandingkan untuk kepentingan guru b) Hasil evaluasi Pendidikan Kewarganegaraan bukan merupakan sesuatu yang final akan tetapi hanya bersifat sementara. Dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, evaluasi atau penilaian dilakukan tidak hanya mengukur pada tingkat penguasaan sejumlah bahan ajar saja, tetapi dilakukan secara menyeluruh, berkesinambungan dan multi sistem melalui bentuk penilaian hasil. Penilaian proses bertujuan untuk hasil belajar sementara selama proses belajar berlangsung. Penilaian ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai seberapa jauh peserta didik mencapai tujuan pembelajaran dalam satu kali pertemuan, sedangkan penilaian hasil bertujuan untuk mendapatkan informasi
38
mengenai penguasaan peserta didik terhadap materi atau kompetensi tertentu. Penilaian ini dilakukan secara periodik setelah selesainya satu pokok bahasan atau gabungan beberapa pokok bahasan, dan secara berkala dilakukan pada setiap akhir semester.
B. Metode Pemecahan Masalah 1. Pengertian Metode Pemecahan masalah Dalam melaksanakan suatu kegiatan, peranan metode sangat penting untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (KBBI. 2002:740), metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode dalam konteks pembelajaran menurut Ahmadi dan Prasetya (1997:52), yang dikutip oleh Nurmayanti (2007:35) ialah: Teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, baik secara individu atau secara kelompok/klasikal, agar pelajaran itu bisa diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh siswa dengan baik”. Terdapat beberapa jenis metode yang digunakan dalam pembelajaran PKn antara lain: ceramah, Tanya jawab, pengajaran konsep, inkuiri dan pemecahan masalah. Salah satu metode yang relevan dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis yaitu metode pemecahan masalah karena dalam metode ini bahan pelajaran yang disajikan berisikan masalah atau mengandung isu-isu aktual dan kontroversial yang terjadi di masyarakat, sehingga melatih siswa dalam
39
menghadapi sebuah masalah serta keterampilan untuk mancari solusi atas masalah tersebut. Problem Solving adalah belajar memecahkan masalah. Dengan kata lain bahwa Problem Solving merupakan proses belajar menemukan jawaban yang bisa dilakukan siswa secara individual maupun kelompok. Pada para anak didik belajar merumuskan dan memecahkan masalah, memberikan respon terhadap rangsangan yang
menggambarkan
atau
membangkitkan
situasi
problematik,
yang
mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Metode pemecahan masalah merupakan bagian dari inkuiri, karena metode pemecahan masalah ini pada hakekatnya sama dengan metode inkuiri. Persamaan metode tersebut yaitu sama-sama berisikan sebuah masalah yang harus dicari pemecahan masalahnya, sedangkan perbedaannya yaitu dalam metode pemecahan masalah hanya sampai pada proses penentuan alternatif pemecahan masalah, sedangkan dalam metode inkuiri sampai pada tahapan penetapan keputusan yang terbaik. Adapun metode pemecahan masalah menurut Sudirman (1987:146) yaitu: Cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan masalah atau jawabannya oleh siswa. Permasalah itu dapat diajukan atau diberikan kepada siswa, atau dari siswa itu sendiri, yang kemudian dijadikan pembahasan yang dicari pemecahannya ini sebagai kegiatan pembelajaran siswa. Metode pemecahan masalah ini sering disebut pula sebagai problem solving method, reflective method atau scientific method”. Sejalan dengan pendapat di atas Munsyi (1981:77) mengemukakan bahwa “metode pemecahan masalah ialah metode yang dilakukan dengan cara langsung menghadapi masalah, mengetahui dengan sejelas-jelasnya dan menentukan kesukaran-kesukarannya sehingga dapat dipecahkan”.
40
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar dengan menggunakan metode pemecahan masalah merupakan cara belajar yang berlandaskan pada masalah yang memerlukan solusi melalui proses berpikir secara terstruktur dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian siswa tidak hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, melainkan siswa belajar untuk mendekati setiap persoalan/tugas baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, mengasimilasi informasi baru dan membangun pengertian sendiri. 2. Kegunaan Metode Pemecahan Masalah Pentingnya metode pemecahan masalah dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, karena belajar pada prinsipnya adalah suatu proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Proses ini dapat juga sebagai proses internalisasi, dengan demikian di dalam proses interaksi tersebut manusia aktif memahami dan menghayati makna dari lingkungan. Proses ini berlangsung secara bertahap, mulai dari menerima stimulus dari lingkungan, sampai pada memberi respon yang tepat terhadapnya (Gulo, 2005:111) Metode pemecahan masalah berguna untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik, karena bahan pelajaran yang disajikan mengandung isu-isu aktual dan kontroversial yang terjadi di masyarakat, sehingga siswa lebih antusias untuk mengikuti pembelajaran serta terlatih untuk dapat menyelesaikan permasalahan dalam sehidupan sehari-hari, baik lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat.
41
Menurut Djahiri (1983:133) metode pembelajaran pemecahan masalah memberi beberapa kegunaan/manfaat yakni: a. mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan serta mengambil keputusan secara objektif dan mandiri; b. mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Anggapan yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan akan bertambah, kiranya kurang dapat dibenarkan dalam IPS. Proses berpikir terdiri dari serentetan keterampilan (mengumpulkan informasi atau data, membaca data dll) yang penerapannya membutuhkan latihan serta pembiasaan atau pembakuan; c. melalui inkuiri atau metode problem solving, kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi atau keadaan yang benar-benar dihayati, diminati serta dalam berbagai macam ragam alternatif; membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir objektif - mandiri, kritis - analisis, baik secara individual maupun kelompok. Kegunaan-kegunaan yang dikemukakan oleh Djahiri di atas dapat tercapai dengan baik jika guru mampu menciptakan iklim yang kondusif untuk terselenggaranya penggunaan metode pemecahan masalah tersebut. Jarolinek (dalam Djahiri, 1983:132) memberikan pedoman atau rambu-rambu untuk menciptakan iklim yang kondusif tersebut, diantaranya yaitu tuntutan yang bersifat individual dan tuntutan yang bersifat kelompok Tuntutan yang bersifat Individual antara lain: 1. Berikan kesempatan kepada siswa anda untuk merumuskan sesuatu dalam bahasa dan pikirannya sendiri. 2. Berikan kepada mereka mencari jalannya sendiri dalam menempuh pemecahan masalah yang telah disepakati bersama/oleh yang bersangkutan. 3. Berikan hak mengemukakan sesuatu dalam berbagai cara serta hak berbuat/melakukan kesalahan, dan kesalahan itu hendaknya dapat dimanfaatkan sebagai pengalaman kearah mencari perbaikan. 4. Binalah situasi kelas/kelompok yang memungkinkan siswa mengemukakan pendapat/jawaban sendiri. 5. Sediakan waktu, peralatan serta pertolongan secukupnya (secara wajar). 6. Doronglah agar siswa mengemukkan pendapat, hipotesa, pemecahan dan kesimpulannya sendiri dalam berbagai variasi dan alternatif.
42
7. Berikan kesempatan kepada siswa mengembangkan cara pola kerja sendiri. Sedangkan tuntutan yang bersifat kelompok/kelas diantaranya adalah: a. Kelas diarahkan kepada pokok-pokok permasalahan yang telah jelas rumusannya, patokan/cara serta tujuannya. b. Agar dipahami bahwa inkuiri/problem solving adalah pengembangan kemampuan membuat perkiraan serta proses berpikir. Peranan peratanyaan dan kemampuan mengemukakan pertanyaan (teknik bertanya) dari guru akan sangat menentukan keberhasilan inkuiri. c. Hendaknya diberikan kekuasaan kepada siswa untuk mengemukakan berbagai kemungkinan (alternatif) dalam bertanya dan menjawab. d. Bahwa cara menjawab dapat diutarakan dengan berbagai cara sepanjang hal itu mengenai permasalahan yang sedang diinkuiri/problem solving. e. Bahwa pada umumnya inkuiri/problem solving adalah mengenai nilainilai dan sikap siswa-siswi anda. f. Guru hendaknya menjaga diri untuk tidak menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan. g. Usahakan selalu jawaban bersifat merata dan komparatif (dapat diperbandingkan dengan jawaban lain) Berdasarkan jawaban di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode pemecahan masalah dapat terlaksana secara kondusif apabila diantaranya guru dan siswa terjalin koordinasi yang baik satu sama lain. Artinya, guru sebagai fasilitator pembelajaran mampu memfasilitasi serta mengarahkan siswa untuk belajar dengan berlandaskan pada masalah yang memerlukan solusi, sedangkan siswa terlatih uantuk mencari solusi/penyelesaian masalah dari setiap masalah yang dihadapi.
3. Langkah-langkah dalam Penerapan Metode Pemecahan masalah Menurut John Dewey belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut: individu menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam kesulitan.
43
Langkah-langkah dalam memecahkan masalah adalah sebagai berikut: a. Merumuskan dan menegaskan masalah Individu melokalisasi letak sumber kesulitan, untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan prinsip atau dalil serta kaidah yang diketahuinya sebagai pegangan. b. Mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk pengalaman orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengidentifikasi berbagai alternatif kemungkinan pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaan jawaban sementara yang melakukan pembuktian (hipotesis). c. Mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan Setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya. Selanjutya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan. d. Mengadakan pengujian atau verifikasi Mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental alternatif pemecahan yang dipilih, dipraktekkan atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan itu diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah dirumuskan. Selain itu juga, banyak ahli yang menjelaskan langkah-langkah dalam penerapan metode pemecahan masalah, antara lain: a. John Dewey (dalan Sanjaya, 2008:217). Langkah-langkah metode pemecahan masalah yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Merumuskan masalah Menganalisis masalah Merumuskan hipotesis Mengumpulkan data Menguji hipotesis Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah
b. Davi Johnson dan Johnson (dalam Sanjaya, 2008:217), Langkahlangkah metode pemecahan masalah yaitu: 1) 2) 3) 4) 5)
Mendefinisikan masalah Mendiagnosis masalah Merumuskan alternatif strategi Menentukan dan menerapkan strategi pilihan Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil
44
c. Sudjana (2002:86), Langkah-langkah metode pemecahan masalah yaitu: 1) Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan 2) Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah 3) Menetapkan jawaban sementara dari masalah 4) Menguji kebenaran jawaban sementara 5) Menarik kesimpulan d. Larkin (dalam Hamalik, 1986:6) Definisi permasalah Identifikasi alternatif Analisa akibat Penerapan kriteria Pengambilan keputusan e. Solso (dalam Made wena 2009:56) 1) Identifikasi permasalahan 2) Representasi permasalahan 3) Perencanaan pemecahan 4) Menerapkan/mengimplementasikan perencanaan 5) Menilai perencanaan 6) Menilai hasil pemecahan f. Sapriya (2008:66) Mengenali adanya masalah Mencari alternatif pendekatan untuk memecahkan masalah itu Memilih dan menerapkan pendekatan Mencapai kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari pendapat para ahli di atas, pada dasarnya memiliki kesamaan seperti langkah pertama yaitu merumuskan adanya masalah, langkah kedua menganalisis masalah, langkah ketiga pengumpulan data, langkah keempat perumusan hipotesis, langkah kelima pengujian hipotesis, dan langkah keenam penarikan kesimpulan. Di samping itu, beberapa pendapat para ahli di atas memiliki perbedaan yang tidak terlalu prinsipil, dimana pada langkah-langkah metode pemecahan masalah menurut John Dewey, metode pemecahan masalah yang
45
diterapkan menggunakan perumusan hipotesis dan perumusan rekomendasi pemecahan masalah, sedangkan pada langkah-langkah metode pemecahan masalah menurut David Jonhson dan Jonhson, metode pemecahan masalah yang diterapkan menggunakan perumusan alternatif strategi serta evaluasi. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah dalam penerapan metode pemecahan masalah yaitu: a. Merumuskan masalah; b. Menganalisis masalah c. Merumuskan hipotesis/jawaban sementara; d. Mengumpulkan data; e. Pengujian hipotesis/jawaban sementara; f. Penarikan kesimpulan; dan g. Perumusan alternatif pemecahan masalah..
4. Kelebihan dan kekurangan Metode Pemecahan Masalah a. Kelebihan Metode Pemecahan Masalah Metode Pemecahan Masalah mempunyai kelebihan sebagai berikut: 1) Metode ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia kerja 2) Proses belajar mengajar melalui metode pemecahan masalah dapat membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, apabila menghadapi permasalahan di dalam kehidupan dalam
46
keluarga, bermasyarakat, dan bekerja kelak, suatu kemampuan yang sangat bermakna bagi kehidupan manusia. 3) Metode ini merangsang pengembangan kemampuan berpikir kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya. Sanjaya (2008:221) mengungkapkan keunggulan metode pemecahan masalah (bagi siswa) antara lain: 1) Aspek Kognitif, terdiri atas: a) Pemecahan masalah (problem solving) merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran b) Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. c) Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru. d) Pemecahan masalah (problem solving) dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa e) Melalui Pemecahan masalah (problem solving) bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran (matematika, IPA, sejarah dan sebagainya) pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau buku-buku saja. 2) Aspek afektif, terdiri atas: a) Pemecahan masalah (problem solving) dianggap lebih menyenangkan dan disukai oleh siswa. b) Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. 3) Aspek psikomotor, terdiri atas: a) Pemecahan masalah (problem solving) dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa
47
b) Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Di samping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik tehadap hasil maupun proses belajarnya. c) Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. Lebih lanjut Killen (dalam Juniarti, 2007:11-12) yang dikutip oleh Tintin Rosmala Dewi (2008:39) mengungkapkan keunggulan metode pemecahan masalah, sebagai berikut: 1) Dapat mengembangkan berbagai solusi yang tepat untuk memecahkan masalah-masalahnya yang dapat mengarahkan siswa untuk dapat lebih memahami materi-materi dalam setiap mata pelajaran; 2) Siswa akan mendapatkan kepuasan tersendiri ketika menanamkan sesuatu hal yang baru dalam setiap mata pelajaran yang mereka hadapi; 3) Mendorong siswa agar lebih aktif dalam proses belajar 4) Membantu siswa dalam mempelajari bagaimana cara untuk mentransfer ilmu pengetahuan yang mereka kuasai dari teori ke dalam praktek kehidupan sehari-hari. 5) Membantu para siswa bertanggung jawab dalam membentuk dan mengarahkan cara belajar mandiri; 6) Pemecahan masalah dapat dianggap menjadi sesuatu hal yang memberikan pengalaman belajar yang tidak hanya menarik tetapi juga merangsang minat siswa; 7) Dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis dan juga dapat mengembangkan kemampuan mereka dalam beradaptasi terhadap situasi belajar mereka yang baru; 8) Mendorong para siswa untuk berdiskusi tentang konsep-konsep yang sedang mereka pelajari; dan 9) Dapat membantu para siswa dalam mengembangkan kemandirian, sabar dan kegigihan. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode pemecahan masalah memiliki banyak keunggulan dalam berbagai aspek, baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor, sehingga metode pemecahan masalah sangat bermanfaat
untuk
dikembangkan
dalam
pembelajaran
Pendidikan
48
Kewarganegaraan khususnya untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
b. Kekurangan Metode Pemecahan Masalah Selain itu, sebagai suatu metode pembelajaran, metode pemecahan masalah memiliki beberapa kelemahan. 1) Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru. 2) Proses belajar mengajar dengan menggunakan metode ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pelajaran lain. 3) Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berpikir memecahkan masalah permasalahan
sendiri atau kelompok,
yang kadang-kadang
memerlukan sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa. Kelemahan metode pemecahan masalah menurut Sanjaya (2008: 220-221), antara lain: 1) Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa denggan untuk mencoba. 2) Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan cukup waktu untuk persiapan 3) Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
49
Lebih lanjut Killen (dalam Juniarti, 2007:11-12) mengungkapkan kelemahan metode pemecahan masalah, sebagai berikut: 1) “Pemecahan masalah dianggap para siswa sebagai suatu hal yang merepotkan. 2) Pemecahan masalah diharapkan dapat membuat para siswa tertarik dan percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah, tetapi pada kenyataannya siswa ragu untuk mencoba. 3) Pembelajaran dengan metode pemecahan masalah akan berhasil jika dilengkapi dengan persiapan waktu yang cukup lama. 4) Karena siswa cenderung untuk bekerja sendiri, maka mungkin tidak dapat “menanamkan” semua hal yang seharusnya mereka dapatkan, tetapi ketika siswa belajar dalam satu kelompok, siswa yang kemampuannya kurang/kurang percaya diri cenderung didominasi oleh siswa yang pintar. 5) Siswa yang menggunakan strategi pemecahan masalah yang tidak tepat mungkin akan membuat kesimpulan yang salah. 6) Para siswa yang terbiasa menganggap guru sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan mungkin merasa tidak nyaman dengan teknik pemecahan masalah yang digunakan. 7) Beberapa siswa mungkin mempunyai gaya belajar yang tidak cocok dengan penggunaan strategi pemecahan masalah Dari pendapat di atas, menunjukan bahwa metode pemecahan masalah akan sulit diterapkan apabila siswa tidak memiliki minat untuk mencoba mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi, sehingga mereka tidak memahami atas masalah yang sedang dipelajarinya. Selain itu, keberhasilan dalam proses pembelajarannya memerlukan waktu yang relatif lama. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode pemecahan masalah memiliki beberapa keunggulan serta kelemahan. Meskipun demikian, metode pemecahan masalah tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar. Dengan penggunaan metode pemecahan masalah ini diharapkan siswa mampu meningkatkan kemampuan berpikir kirtis sehingga dalam proses belajarnya siswa
50
banyak melakukan aktivitas belajar dengan menyoroti, menganalisis dan mengkaji permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi.
C. Bepikir kritis 1. Pengertian Berpikir Kritis Jonson (2000) dalam Sapriya (2008:115) mengemukakan keterampilan berpikir dapat dibedakan menjadi berpikir kritis dan berpikir kreatif. Kedua jenis berpikir ini disebut juga sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi (Lilisari, 2002). Johnson (1992) merumuskan istilah “berpikir kritis (critical thinking) secara etimologis. Ia menyatakan bahwa kata “critic” dan “critical” berasal dari ”krinein” yang menyatakan “menaksirkan nilai sesuatu”. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa kritik adalah perbuatan seorang yang mempertimbangkan, menghargai, dan menaksir nilai sesuatu hal. Berpikir kritis merupakan proses mental yang terorgnisasi dengan baik dan berperan dalam proses pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah dengan menganalisis dan menginterpretasi dalam kegiatan inkuiri ilmiah. Sedangkan berpikir kreatif adalah proses berpikir yang menghasilkan gagasan asli atau orsinil, konstruktif dan menekankan pada aspek intuitif dan rasional (Jonson, 2000). Pemahaman umum mengenai berpikir kritis, sebenarnya adalah pencerminan dari apa yang digagaskan oleh Jonh Dewey sejak tahun 1916 sebagai inkuiri ilmiah dan merupakan sutu cara untuk membangun pengetahuan.
51
Lebih lanjut Johnson (1992) dalam Sapriya (2008:115) merangkum beberapa definisis critical thinking dari beberapa ahli, seperti Ennis (1987,1989), Lipman (1988), Paul (1989), dan McPeck (1981), yang disebut juga “the group of Five”. Ia menyimpulkan bahwa ada tiga persetujuan subtansi dari kemampuan berpikir kritis. Pertama, berpikir kritis memerlukan sejumlah kemampuan kognitif, kedua, berpikir kritis memerlukan sejumlah informasi dan pengetahuan; dan ketiga, berpikir kritis mencakup dimensi afektif yang semuanya menjelaskan dan menekankan secara berbeda-beda. Savage and Armstrong (1996) mengemukakan bahwa tahap awal sebagai syarat untuk memasuki sikap berpikir kritis adalah adanya sikap siswa memunculkan ide-ide atau pemikiran-pemikiran baru. Tahap ini disebut pula berpikir kreatif. Tahap kedua, siswa membuat pertimbangan atau penilaian atau taksiran berdasarkan kriteria-kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan. tahap kedua inilah yang dikategorikan sebagai tahap berpikir kritis. Siegel (1988) R. Swartz dan D.N Perkins (1990) dalam Hassoubah (2008: 86) mengatakan bahwa berpikir kritis berarti: a. Bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan logis b. Memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dalam membuat keputusan c. Menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan standar tersebut d. Mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian. Perlunya mengembangkan kemampuan berpikir kritis untuk para siswa di sekolah diakui oleh sejumlah ahli pendidikan. Preston dan Herman (1974) menyatakan bahwa inkuiri dan keterampilan kritis tumbuh subur di kelas ketika
52
guru menilai pemikiran-pemikiran yang berbeda termasuk pemikiran yang berbeda dengan nilai yang dibawa oleh guru dan mendorong siswa untuk berpikir secara bebas. Marzano (1992) dalam Fitriani Yuniar (2008:35) memberikan kerangka tentang pentingnya pembelajaran berpikir yaitu: (1) berpikir diperlukan untuk mengembangkan sikap dan persepsi yang mendukung terciptanya kondisi kelas yang positif; (2) berpikir perlu untuk memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan; (3) perlu untuk memperluas wawasan pengetahuan; (4) perlu untuk mengaktualisasikan kebermaknaan pengetahuan; (5) perlu untuk mengembangkan perilaku berpikir yang menguntungkan. Beradasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah salah satu kemampuan berpikir yang mempunyai kategori tingkat tinggi. Dalam proses pembelajaran, berpikir kritis ini sangat penting, karena dengan keterampilan berpikir kritis ini diharapkan siswa akan mampu menganalisa terhadap berbagai persoalan yang menyangkut materi pelajaran, memberikan argumentasi, memunculkan wawasan dan mampu memberikan interpretasi. Ennis (1987) dalam Sapriya (2008:115) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan istilah yang digunakan untuk suatu aktivitas reflektif untuk mencapai tujuan yang memuat keyakinan dan perilaku yang rasional. Ia pun telah melakukan identifikasi lima kunci unsur berpikir kritis, yakni, “praktis, reflektif, rasional, terpercaya, dan berupa tindakan”. Dengan didasari oleh pemikiran inilah, ia merumuskan suatu definisi bahwa berpikir kritis merupakan aktivitas berpikir
53
secara reflektif dan rasional yang difokuskan pada penentuan apa yang harus diyakini atau dilakukan. Definisi ini lebih menekankan pada bagaimana membuat keputusan atau pertimbangan-pertimbangan. Berdasarkan definisi tersebut, maka kemampuan berpikir kritis menurut Ennis terdiri atas 12 komponen yaitu: (1) merumuskan masalah; (2) menganalisis argument; (3) menanyakan dan menjawab pertanyaan; (4) menilai kreabilitas sumber informasi; (5) melakukan observasi dan menilai laporan hasil observasi; (6) membuat deduksi dan menilai deduksi; (7) membuat induksi dan menilai induksi; (8) mengevalusi; (9) mendefinisikan dan menilai definisi; (10) menidentifikasi asumsi; (11) memutuskan dan melaksanakan; dan (12) berinterksi dengan orang lain. Dressel & Myhew (1954) dalam dalam Fitriani Yuniar (2008:36) mengutip kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan oleh komite berpikir kritis antar-Universitas yang terdiri atas: (1) kemampuan mendefinisikan masalah; (2) kemampuan menyeleksi informasi untuk pemecahan masalah; (3) kemampuan mengenali asumsi-asumsi; (4) kemampuan merumuskan hipotesis; dan (5) kemampuan menarik kesimpulan. Tujuan berpikir kritis ialah untuk menguji suatu pendapat atau ide. Termasuk ke dalam proses ini adalah melakukan pertimbangan atau pemikiran yang didasari pada pendapat yang diajukan. Pertimbangan-pertimbangan itu biasanya didukung oleh kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan. Hossoubah (2002: 13-14) mengatakan bahwa “berpikir kritis itu kemampuan untuk mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung sutu penilaian”. Tiga ahli
54
psikologi yaitu Winter, MC. Clelland & Stewart menyimpulkan bahwa keterampilan berpikir kritis itu adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g.
Perbedaan dan diskriminasi dalam tingkatan luas dari fenomena Formasi konsep yang abstrak Integrasi konsep abstrak dengan fenomena khusus Evaluasi fakta dan revisi konsep abstrak dan hipotesis yang benar Artikulasi dan komunikasi dari konsep abstrak Perbedaan dan diskriminasi dari abstrak identifikasi konsep abstrak Pemahaman terhadap hubungan yang logis didalam konsep abstrak.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan guru dalam menumbuhkan kemampuan berpikir kritis siswa yaitu dengan memberikan latihan kepada siswa melalui indikator sebagai berikut: menjawab pertanyaan dari guru, mengajukan pertanyaan, membuat hipotesis, bekerja sama dalam kelompok, keaktifan, kreativitas, kemampuan membuat keputusan dan mengemukakan pendapat (Asnaulkhair, 2000:69). Sedangkan Ennis (1985:54-56) membagi indikator ketermpilan berpikir kritis menjadi lima kelompok, yitu: a. b. c. d. e.
Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification) Membangun keterampilan dasar (basic support) Membuat inferensi (inferring) Membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification) Mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics)
Kelima indikator tersebut diuraikan lebih lanjut dalam tabel berikut. Tabel 2.2 Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Keterampilan berpikir kritis 1. Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification)
Sub keterampilan Penjelasan berpikir kritis a. Memfokuskan pertanyaan 1. Menidentifikasi atau merumuskan pertanyaan 2. Mengidentifikasi kriteria-kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin 3. Menjaga kondisi pikiran
55
b. Menganalisis argument
c. Bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang 4. Membangun keterampilan dasar (basic support)
a. Mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber
b. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi
3. Inferensi (kesimpulan)
a. Membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi b. Membuat induksi dan mempertimbangkan induksi c. Membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan a. Mengidentifikasi asumsi
4. Membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification) 5. Mengatur a. Memutuskan suatu strategi dan tindakan taktik (strategies and tactics)
2. Mengidentifikasi kesimpulan 3. Mengidentifikasi alasan 4. Mengidentifiksi alasan yang tidak dinyatakan 5. Mengidentifikasi ketidakrelevanan dan kerelevanan 6. Mencari persamaan dan perbedaan 7. Merangkum 10. Mengapa 11. Apa intinya 12. Apa contohnya 13. Bagaimana menerapkannya dalam kasus tersebut 1. Ahli 2. Tidak adanya konflik interest 3. Menggunakan prosedur yang ada 4. Ikut terlibat dalam menyimpulkan 5. Dilaporkan oleh pengamat sendiri 6. Mencatat hal-hal yang diinginkan 1. Kelompok yang logis 2. Kondisi yang logis 3. Membuat generalisasi 4. Membuat kesimpulan dan hipotesis 5. Latar belakang fakta 6. Penerapan prinsip-prinsip 7. Memikirkan alternative 1. Penawaran secara implisit 2. Asumsi yang diperlukan
1. Mengidentifiksi masalah 2. Merumuskan alternatif yang memungkinkan 3. Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan secara tentatif 4. Mereview
56
2. Ciri-ciri Berpikir Kritis Berpikir kritis ialah kegiatan menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkan ke arah yang lebih sempurna. ciri-ciri berpikir kritis adalah sebagai berikut: -
Mengenai secara rinci bagian-bagian dari keseluruhan Pandai mendeteksi permasalahan Mampu membedakan ide yang relevan dengan yang tiak relevan Mampu membedakan fakta dengan fiksi atau pendapat Mampu mengidentifikasi perbedaan-perbedaan dengan kesenjangankesenjangan informasi Dapat membedakan argumentasi logis dan tidak logis Mampu mengembangkan kriteria atau standar penilaian data Suka mengumpulkan data untuk pembuktian faktual Dapat membedakan diantara kritik membangun dan merusak Mampu mengidentifikasi pandangan perspektif yang bersifat ganda yang berkaitan dengan data Mampu mengetes asumsi dengan cermat Mampu mengkaji ide yang bertentangan dengan peristiwa dalam lingkungan Mampu mengidentifikasi atribut-atribut manusia, tempat dan benda, seperti sifat, bentuk dan wujud dan lain-lain. Mampu mendaftar segala akibat yang mungkin terjadi atau alternatif pemecahan terhadap masalah, ide dan situasi Mampu membuat hubungan yang berurutan antara satu masalah dengan masalah yang lainnya Mampu menarik kesimpulan generalisasi dari data yang telah tersedia dengan data yang diperoleh dari lapangan Mampu menggambarkan konklusi dengan cermat dari data yang tersedia Mampu membuat prediksi dari informasi yang tersedia Dapat membedakan konklusi yang salah dan tepat terhadap informasi yang diterimanya. Mampu menarik kesimpulan dari data yang telah ada dan terseleksi Mampu membuat interprestasi pengertian, definisi, reasoning, dan isu yang kontroversial Sanggup memberikan pembuktian-pembuktian yang kondusif Mampu mengklasifikasi informasi dan ide Mampu menginterprestasikan dan menjabarkan informasi ke dalam pola atau bagan-bagan tertentu Mampu menginterprestasikan dan membuat flow charts
57
- Mampu menganalisis isi, unsur, kecenderungan, pola, hubungan, prinsip, promosi dan bias. - Sanggup membuat reasoning berdasarkan persamaan-persamaan analog - Mampu membandingkan dan mempertentangkan yang kontras - Sanggup mendeteksi bias atau penyimpangan-penyimpangan - Terampil menggunakan sumber-sumber pengetahuan yang dapat dipercaya - Mampu menginterprestasi gambar dan kartun - Mampu menentukan hubungan sebab akibat - Mampu membuat konklusi yang valid (Wijaya, 1999:72-73) Sehubungan dengan itu, Zeidler, et al (1992) dalam Fitriani Yuniar (2008:48) menyatakan ciri-ciri orang yang mampu berpikir kritis adalah: a. Memiliki perangkat pikiran tertentu yang dipergunakan untuk mendekati gagasannya dan memiliki motivasi kuat untuk mencari dan memecahkan masalah b. Bersikap skeptis yaitu tidak mudah menerima ide atau gagasan kecuali dia sudah dapat membuktikan kebenarannya.
3. Alternatif Pendekatan Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Pada saat ini, sejumlah teori dan model pengajaran berpikir kritis telah meliputi pendekatan, strategi, perencanaan dan sikap siswa dalam berpikir kritis dan telah dijelaskan oleh para ahli studi sosial di Amerika Serikat seperti Wilen (1995), Beyer (1985), and Fraenkel (1980). Wilen (1995) dalam Sapriya (2008:117) memperkenalkan suatu pendekatan metacognitif dalam pengajaran berpikir kritis untuk studi sosial. Menurut Wilen, pendekatan metakognitif merupakan suatu cara alternatif untuk mengajar keterampilan berpikir kritis. Ia menggarisbawahi satu strategi untuk membantu para siswa mendapatkan keterampilan berpikir kritis melalui penjelasan guru, membuat percontohan, atau model oleh guru dan oleh para siswa.
58
Untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dapat dilakukan melalui beberapa metode pembelajaran seperti yang dikemukakan Djahiri (1995/1996) terdapat beberapa metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) yaitu: “Ceramah Bervariasi, metode ekpasitori, pengajaran konsep, tanya jawab, Partisipatori, Diskusi dan kelompok belajar, Kejarkop, Inkuiri dan Pemecahan Masalah serta Value Clarificatation Technique (VCT)”. Untuk dapat menumbuhkan cara beripikir kritis siswa adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan guru dalam proses pembelajaran, guru dapat menciptakan situasi dan suasana yang dapat mendorong dan membantu siswa untuk mau bertanya dan menyaring gagasan yang mereka temui. Guru dapat mengembangkan kreativitas kelas dimana siswa mau berpartisipsi dalam pembelajaran. Kegiatan kelas yang mengacu pada aktivitas siswa adalah dengan mengisi lembar kerja atau dengan mengadakan tanya jawab yang dikembangkan guru. Hal tersebut dapat berupa mengingat kembali informasi yang telah disampaikan. Pemahaman secara luas atau mendalam sehingga dapat melatih siswa untuk berpikir kritis. Untuk mengembangkan disposisi dan kemampuan berpikir kritis siswa di dalam kelas atau ketika berinteraksi dengan orang lain, situasi yang terjadi adalah mencakup beberapa sarana berikut sebagaimana yang telah dikumpulkan dari penelitian yang telah diadakan oleh Ian Wright
dan C.L. Bar (1987), L.M.
Sartorelli (1989) dan R. Swartz dan S. Parks (1992) dalam Hassoubah (2008:95) dintaranya adalah:
59
a. Membaca Dengan Kritis Untuk berpikir kritis, seseorang harus membaca dengan kritis pula. Ada beberapa langkah yang harus dikuasai untuk membaca dengan kritis diantaranya: - Amati dan baca sekilas sebuah teks sebelum membacanya secara keseluruhan - hubungan teks dengan konteksnya, yaitu dengan meletakkan pada konteks sejarah atau budaya yang betul - Buat pertanyaan tentang kandungan teks saat membaca - Refleksikan kandungan teks yang berhubungan dengan pendapat dan pendirian anda sendiri - Buat ringkasan kandungan teks dengan menggunakan kata-kata anda sendiri - Evaluasi teks dari segi logika, kreadibilitas dan reliabilitasnya. - Bandingkan teks yang anda baca dengan teks yang lain dalam hal persamaan dan berbedaan. b. Meningkatkan Daya Analisis Dalam meningkatkan daya analisis anda dalam diskusi kelompok dapat dilakukan dengan mengajukan berbagai alternatif pemecahan masalah kemudian ajukan dalam diskusi kelompok. Kemudian diskusikan akibat terburuk yang mungkin terjadi dalam menjalankan diskusi, dapat mengarahkan pembicaraan untuk mendapatkan beberapa preventatif. Strategi lain adalah dengan membuat kesimpulan sementara atas suatu permasalahan, kemudian kepada peserta diskusi yang lain untuk memberikan kritik dan saran yang diberikan harus diterima dengan positif, dipandang sebagai cara yang menjadikan seseorang dapat menerima pandangan orang lain serta usaha untuk mencari alternatif atau pilihan. Usaha untuk menerima pandangan orang lain akan membuat anda menjadi pemikir yang kritis. c. Mengembangkan Kemampuan Observasi Atau Mengamati Meningkatkan kemampuan mengamati berarti meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Dengan mengamati seseorang bisa mendapatkan ilmu tanpa harus mengikuti kegiatan formal. Dengan meningkatkan kemampuan mengamati, berarti meningkatkan kemampuan berpikir. Mengamati akan mempermudah seseorang untuk berpikir kritis, karena dengan mengamati seseorang dapat melihat kelebihan dan kekurangan dari sesuatu hal dan ini merupakan kemampuan yang harus dimiliki seorang yang berpikir kritis. Untuk meningkatkan kemampuan mengamati, seseorang harus: - Peka atau tanggap terhadap lingkungan - Melatih diri sendiri untuk mengoptimalkan pemakaian indera - Bisa langsung mengungkapkan secara verbal komentar yang ada di dalam pikiran.
60
d. Meningkatkan Rasa Ingin Tahu, Kemampuan Bertanya Dan Refleksi Meningkatkan rasa ingin tahu dapat dilakukan dengan mengemukakan pertanyaan yang bermutu dan berkualitas. Seseorang dengan bertanya akan menunjukan rasa keingintahuan yang tinggi. Guru di kelas harus dapat melatih dan membiasakan muridnya untuk meningkatkan rasa ingin tahu dengan cara merangsang siswa untuk mengemukakan pertanyaan yang bermutu. Sedangkan siswa lain harus dapat meresponnya dengan memberikan jawaban yang berkualitas pula sehingga pembelajaran menjadi interaktif. e. Metakognisi Dengan melakukan metakognisi, kita seolah mengamati dan mengarahkan pikiran kita dengan sadar atau dengan sengaja. Metakognisi berarti memahi cara berpikir sendiri. Jadi gunakanlah metakognisi untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Metakognisi dapat berupa: - Merencanakan cara berpikir - Menyadari dan mengawasi cara berpikir - Menamai proses berpikir khusus - Menjelaskan tahap-tahap berpikir untuk setiap proses khusus yang dilalui - Mengevaluasi tahap berpikir untuk menuju efisiensi f. Mengamati “Model” Dalam Berpikir Kritis Mengamati “model” dengan tujuan untuk membantu mengembangkan, menjelaskan dan melaksanakan tingkah laku yang akan kita lakukan dalam kehidupan. Dengan bantuan “Model” kita dapat melihat sifatsifat kritis seseorang dan dapat mencontohnya sehingga kita pun dapat memiliki sifat kritis tersebut. Orang yang dianggap sebagai “Model” atau contoh dalam berpikir kritis, menunjukan sifat-sifat tertentu: - Mampu menjelaskan alasan tindakan mereka dengan jelas sehingga dapat dipahami oleh orang yang mengamatinya - Bertanggung jawab atas tindakan mereka, mengakui kekurangan, kegelisahan dan kesuksesan yang dialami - Mengakui dilema dan kerancuan atau ketidakjelasan yang mereka hadapi. - Tidak mengubah tingkah laku atau respon mereka terhadap situasi yang kurang beralasan atau rasional. g. Diskusi Yang Kaya Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memberikan pendapat dan mendengarkan pendapat orang lain adalah penting. Melibatkan diri dalam diskusi dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Siswa dapat melibatkan dirinya secara aktif dalam diskusi yang kaya sehingga dengan demikian mereka akan dapat mengungkapkan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain,
61
mengevaluasi serta mempertimbangkan pendapat tersebut yang pada akhirnya mencari pendapat lain yang lebih baik. Ini semua merupakan proses berpikir kritis Kesempatan untuk diskusi yang kaya dapat melalui: - Forum perdebatan atas isu-isu yang kontroversial - Menghadiri pertemuan-pertemuan di masyarakat tempat pandangan dan pendapat yang berbeda-beda diungkapkan - Menulis surat pembaca atau artikel ke surat kabar untuk menyampaikan pendapat atau isu yang sedang hangat dibicarakan. - Menganalisa artikel dari surat kabar atau bahan-bahan lainnya untuk mencari kekurangan atau kelemahan dalam penulisan - Membaca litelatur yang menggambarkan nilai-nilai dan tradisi yang berbeda-beda Teaching Resource Center Universitas Tenesse di Chattanoga (Walker, 1997) yang dikutip oleh Krestin Ambar pramesti (2009:53) menawarkan 8 strategi yang berpotensi meningkatkan kemampuan berpikir kritis: a. CATS (Classroom Assessment Technique) menekankan perlunya sistem penilaian untuk memonitoring dan memfasilitasi berpikir kritis siswa. Caranya dengan memberikan tugas menulis singkat kepada siswa yang isinya merespon. Pertanyaan adakah sesuatu yang penting yang anda pelajari hari ini? Pertanyaan apa pada sesi ini yang menggugah pikiran Anda? b. CLS (Cooperative learning Strategies) menekankan pada penggunaan siswa agar belajar bekerja sama dalam kelompok c. Metode diskusi dan studi kasus ditandai dengan ajuan kasus yang disampaikan guru tanpa kesimpulan atau jalan keluar. Siswa ditantang untuk menacati kesimpulan melalui diskusi. d. Penggunaan pertanyaan ditandai dengan adanya pertanyaanpertanayaan yang disusun baik oleh siswa perkelompok maupun pribadi kemudian ditanyakan kepada siswa atau kelompok lain. e. Conference Style Learning berisi kegiatan seperti konferensi. Siswa diberi bahan yang harus mereka pahami kemudian mempresentasikannya di depan kelas. f. Pemberian tugas menulis g. Dialog yang dikemukakan oleh Robertson dan Rane Szostek (1996) dalam 2 bentuk yaitu dialog bahan tertulis dan dialog spontan. h. Ambigu yang dikemukakan oleh Strohm dan Baukus yang ditandai penciptaan situasi ambigu di dalam kelas. (Mulyanto, 2008)
62
Dari beberapa strategi pembelajaran tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis merupakan pembelajaran yang dapat membelajarkan siswa secara aktif di dalam proses pembelajarannya. Strategi pembelajaran tersebut dapat dilakukan melalui pembelajaran yang menekankan pada proses mengamati, membandingkan, mengelompokkan, menghipotesis, mengumpulkan, menanfsirkan, meringkas, menyelesaikan masalah serta membuat keputuasan. n.A Ametembun (1981:3) dalam Rahmawati (2006:62) menganjurkan agar berpikir perlu dikembangkan di sekolah-sekolah. Sekolah harus menjadi pusat pengembangan keterampilan berpikir kritis. Beck and Dole (Khailir 1996:3 dalam Sutisyana A. 1997:36) mengemukakan beberapa cara yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, yaitu: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Mengamati Membandingkan Mengelompokan Mengimajinasi Menghipotesis Mengasumsi Mengumpulkan dan mengorganisasi data Meringkas Menafsirkan Menyelesaikan masalah Membuat keputusan
Selain itu, Angelo (Achmad, 2007) mengidentifikasi 5 perilaku yang sistematis dalam berpikir kritis, antara lain: a. Keterampilan menganalisis merupakan suatu keterampilan menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Kata-kata operasional yang mengindikasi keterampilan berpikir analitis diantaranya: menguraikan, membuat diagram, mengidentifikasi, menggambarkan, menghubungkan, merinci, dsb.
63
b. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentuk atau susunan yang baru. c. Keterampilan mengenal dan memecahkan masalah merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian baru. d. Keterampilan menyimpulkan yaitu kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan pengertian/pengetahuan yang dimilikinya. e. Keterampilan mengevaluasi atau menilai yaitu keterampilan yang menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Dari beberapa indikator keterampilan berpikir kritis tersebut menunjukan bahwa pembelajaran yang melibatkan kemampuan berpikir kritis bukan hanya tentang konsep apa yang harus dipelajari siswa tetapi bagaimana siswa harus mempelajarinya. Dalam hal ini, proses pembelajaran
yang melibatkan
kemampuan berpikir kritis lebih mengutamakan ”keterampilan proses” dimana siswa dibelajarkan untuk berpikir, merasa, dan berbuat melalui aktivitas menganalisis,
mensintesis,
memecahkan
masalah,
menyimpulkan
dan
mengevaluasi.
D. Penerapan Metode Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis 1. Metode
Pemecahan
Masalah
dalam
Pembelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan Pada dasarnya pendekatan atau metode pembelajaran CIVIC dan PKn harus menekankan pentingnya keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran sisea melalui partisipasi aktif dan positif dalam mengemukakan ide dan gagasan dalam rangka melatih untuk memecahkan masalah (solve problem) yang dihadapi.
64
Menurut Djahiri dalam bukunya Dasar-dasar Umum Metodologi dan Nilai Pengajaran Nilai-Moral PVCT (1995/1996:11) memaparkan beberapa metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) yaitu: “Ceramah Bervariasi, metode ekpasitori, pengajaran konsep, tanya Jawab, Partisipatori, Diskusi dan kelompok belajar, Kejarkop, Inkuiri dan Pemecahan Masalah serta Value Clarification Technique (VCT)”. Dimana VCT adalah pola pengajaran yang membelajarkan potensi/dunia afektif peserta didik sekaligus pola mempribadikan isi pesan (mean, value, nilai dan moral-jiwa serta semangat) yang tersirat dalam suatu kajian pelajaran. Salah satu metode tepat untuk diterapkan dalam pembelajaran Pendidikan kewarganegaraan terutama dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis yaitu metode pemecahan masalah karena dalam metode ini bahan pelajaran yang disajikan berisikan masalah atau mengandung isu-isu aktual dan kontroversial yang terjadi di masyarakat, sehingga melatih siswa dalam menghadapi sebuah masalah serta keterampilan untuk mancari solusi atas masalah tersebut. Dengan kata lain bahwa metode pemecahan masalah merupakan proses belajar menemukan jawaban yang bisa dilakukan siswa secara individual maupun kelompok. Pada para anak didik belajar merumuskan dan memecahkan masalah, memberikan
respon
terhadap
rangsangan
yang
menggambarkan
atau
membangkitkan situasi problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Metode pemecahan masalah sangat penting dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, karena belajar pada prinsipnya adalah suatu proses
65
interaksi antara manusia dengan lingkungan. Proses ini juga sebagai proses internalisasi, dengan demikian di dalam proses interaksi tersebut manusia aktif memahami dan menghayati makna dari lingkungan. Kekakuan dalam pembelajaran PKn selama ini mungkin dapat diatasi dengan menggunakan strategi atau pendekatan yang berpusat pada siswa melalui pembelajaran metode pemecahan masalah, sedangkan teknik yang digunakan dapat bermacam-macam misalnya dengan diskusi, debat dan sebagainya. Dengan menggunakan metode pemecahan masalah maka dapat berbagai aspek baik itu kognitif seperti kemampuan berpikir tingkat tinggi, maupun aspek sikap dan berprilaku. Melalui penggunaan metode pemecahan masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi berpikir kritis dan kreatif, dengan demikian
siswa
merumuskan
mampu
merumuskan
hipotesis/jawaban
masalah,
sementara,
menganalisis
mengumpulkan
data,
masalah, menguji
hipotesis, serta menarik suatu kesimpulan terhadap masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari siswa. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa metode pemecahan masalah merupakan suatu metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran PKn. Hal ini sesuai dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
yang
memiliki
kekuatan
materi
yang
berasal
dari
permasalahan-permasalahan sosial. Melalui pelakasanaan metode pemecahan masalah dapat membantu siswa mengembangkan potensi intelektual mereka, metode pemecahan masalah juga mengajarkan langkah-langkah yang dapat
66
digunakan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif serta memberikan kesempatan untuk menggunakan kehlian berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi di dalam kehidupan nyata.
2. Dampak
Penggunaan
Metode
Pemecahan
Masalah
Terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis Dalam kaitannya dengan pengembangan berpikir kritis, Splitter (dalam Zaleha Izhab Hasoubah, 2003:86) menyatakan bahwa “dalam proses pembelajaran pengembangan keterampilan berpikir kritis lebih melibatkan siswa sebagai pemikir daripada seorang yang belajar”. Dengan demikian, maka peran seorang guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis bagi peserta didiknya adalah sebagai pendorong, fasilitator dan motivator. Menurut Anna Poedjiadi (dalam Zaleha Izhab Hasoubah, 203:89) menyatakan bahwa” dewasa ini timbul pendapat bahwa kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui keterampilan menyelesaikan masalah. Dari pendapat tersebut, maka guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didiknya dapat menggunakan atau memilih metode dan pendekatan pembelajaran yang tepat, salah satunya melalui metode pemecahan masalah. Penggunaan metode pemecahan masalah tentunya akan memberikan suatu efek yang positif terhadap siswa. Hal ini dikarenakan dengan menggunakan, metode pemecahan masalah siswa dibiasakan untuk belajar dan berpikir untuk memecahkan permasalahan. Melalui metode pemecahan masalah siswa diajak untuk mencari, menganalisis dan memecahkan permasalahan berdasarkan persepsinya sendiri. Dengan adanya perbedaan persepsi pada siswa, maka akan
67
menimbulkan suatu rangsangan (stimulus) terhadap kemampun dan keterampilan untuk berpikir kritis. Dengan metode pemecahan masalah, siswa diberikan pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya sikap demokrasi dalam setiap aspek kehidupan, di samping melatih kemampun berpikir yang ada dalam diri sebagai potensi yang tersembunyi. Selain itu, melalui metode pemecahan masalah akan melatih pola pikir siswa, sehingga dia akan belajar bagaimana mengemukakan pendapat, dan belajar mengungkapkan pengalaman dan pengetahuannya, belajar berbeda pendapat, belajar menghormati pendapat orang lain, dan memberikan suatu sanggahan sesuai dengan yang ia yakini berdasarkan argumen atau alasan yang kuat. Apalagi dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang diyakini memiliki kekuatan materi yang berasal dari permasalahan-permasalahan sosial. Hal ini akan memberikan dorongan pada diri siswa untuk menggali dan mengkaji dari berbagai persepektif yang berbeda, sehingga memungkinkan implikasi pada pengembangan konsep berpikir kritis siswa sendiri. Metode pemecahan masalah dengan keterampilan berpikir kritis memiliki kaitan yang sangat erat. Hal ini dapat di lihat dari manfaat metode pemecahan masalah menurut Djahiri (1983:133), yakni: 1. Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan serta mengambil keputusan secara objektif dan mandiri 2. Mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Anggapan yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan akan bertambah, kiranya kurang dapat dibenarkan dalam IPS. Proses berpikir terdiri dari serentetan keterampilan (mengumpulkan informasi atau data, membaca data dll) yang penerapannya membutuhkan latihan serta pembiasaan atau pembakuan.
68
3. Melaui inkuiri atau metode problem solving, kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi atau keadaan yang benar-benar dihayati, diminati serta dalam berbagai macam ragam alternatif. 4. Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir objektif - mandiri, kritis - analisis, baik secara individual maupun kelompok. Sanjaya (2008:221) mengungkapkan keunggulan metode pemecahan masalah (bagi siswa) antara lain: 1) Aspek Kognitif, terdiri atas: a) Pemecahan masalah (problem solving) merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran b) Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. c) Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru. d) Pemecahan masalah (problem solving) dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa e) Melalui Pemecahan masalah (problem solving) bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran (matematika, IPA, sejarah dan sebagainya) pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau buku-buku saja. 2) Aspek afektif, terdiri atas: a) Pemecahan masalah (problem solving) dianggap lebih menyenangkan dan disukai oleh siswa. b) Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. 3) Aspek psikomotor, terdiri atas: a) Pemecahan masalah (problem solving) dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa b) Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Di samping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik tehadap hasil maupun proses belajarnya.
69
c) Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode pemecahan masalah dalam pembelajaran pendidikan kewarganegraan akan berakibat terhadap proses kemampuan berpikir kritis siswa. Dengan metode pemecahan masalah kemampun berpikir kritis siswa terus digali dan dilatih secara optimal. Selain itu juga, siswa diharapkan dapat menggunakan pola pikir kritis dalam setiap ucapan dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu keterampilan berpikir kritis harus dikembangkan dalam proses pembelajaran dan untuk melatih serta membiasakan siswa berpikir kritis dapat dilakukan dengan cara menerapkan metode pembelajaran pemecahan masalah. Kemampuan berpikir kritis siswa mampu mengembangkan aspek kompetensi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yaitu membentuk: a. Civic Knowledge, yaitu materi subtansi yang harus diketahui oleh warga negara, berkaitan dengan pengetahuan tentang hak dan kewajiban warga negara. b. Civic Skill yaitu keterampilan yang dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna, karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan berbangsa dan bernegara. c. Civic disposition, yaitu sifat-sifat yang harus dimiliki setiap warga negara untuk mendukung efektivitas partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang sehat, berkembangnya martabat, harga diri dan kepentingan umum.