BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Teori yang Relevan dan Hasil Penelitian Terdahulu 2.1.1
Teori Keagenan (Agency Theory) Menurut Jensen dan Meckling (1976), hubungan keagenan (agency
relationship) didefinisikan sebagai: “a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent”. Berdasarkan pengertian tersebut, hubungan kontrak antara principal dan agent memungkinkan pemilik perusahaan untuk mendelegasikan wewenangnya kepada manajer untuk kepentingannya. Konsekuensi yang harus ditanggung manajer sebagai penerima delegasi wewenang tersebut adalah mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada pemilik modal. Namun Jensen dan Meckling (1976) menyatakan, jika terdapat dorongan kepentingan ekonomis yang sama-sama kuat dari kedua pihak dalam hubungan tersebut, maka dapat dimungkinkan manajer tidak dapat selalu mengambil keputusan yang sesuai dengan keinginan pemilik modal. Benturan kepentingan inilah yang kemudian disebut dengan istilah konflik keagenan. Adapun teori agensi dalam hal ini menyoroti masalah-masalah yang timbul dalam hubungan keagenan,
sebagaimana
yang
dikemukakan
15
oleh
Eisenhardt
(1989):
16
“Agency theory is concerned with resolving two problems that can occur in agency relationships. The first is the agency problem that arises when (a) the desires or goals of the principal and agent conflict and (b) it is difficult or expensive for the principal to verify what the agent is actually doing”. Poin (b) dalam pernyataan Eisenhardt tersebut menyatakan bahwa salah satu pemicu konflik keagenan disebabkan karena pemilik modal sulit untuk mengetahui seluruh aktivitas manajer secara jelas. Kondisi demikian dinamakan asimetri informasi, yakni ketidak seimbangan informasi antara pemilik modal dan manajer yang dikarenakan pengungkapan informasi yang tidak lengkap oleh manajer. Dampak negatif dari adanya asimetri informasi adalah memungkinkan manajer untuk bertindak oportunis, yaitu meraih keuntungan pribadi (Pratiwi dan Desniwati, 2012). Menurut Jensen dan Meckling (dalam Istanti, 2009), adanya konflik keagenan dapat menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang terdiri atas: a. The monitoring expenditures by the principal, biaya monitoring yang dikeluarkan untuk memonitoring perilaku agen. b. The bonding expenditures by the agent, biaya untuk menjamin bahwa agen tidak melakukan tindakan yang akan merugikan prinsipal. c. The residual loss, yang merupakan penurunan tingkat kesejahteraan (wealth) prinsipal maupun agen setelah adanya agency relationship. Suhardjanto dan Wardhani (2010) mengemukakan bahwa salah satu cara mengurangi biaya keagenan tersebut adalah dengan meningkatkan pengungkapan (disclosure) pada laporan tahunan.
17
Laporan tahunan pada dasarnya merupakan sarana transparansi dan akuntabilitas manajer kepada pemilik modal (Bernardi dkk, 2009). Dengan pengungkapan yang luas (extent disclosure), asimetri informasi antara manajer dan pemilik modal dapat berkurang (Diamond dan Verrecchia, dalam Benardi dkk, 2009). Konsekuensinya, manajer didorong untuk melakukan pengungkapan lebih banyak dalam laporan tahunannya, termasuk pengungkapan informasi mengenai modal intelektual.
2.1.2
Teori Sinyal (Signalling Theory) Menurut Spence (dalam Stephanie dan Yuyetta, 2012) teori sinyal
mengasumsikan bahwa perusahaan akan mengirimkan sinyal ke pasar melalui pengungkapan informasi keuangan. Hal yang melatar belakanginya yaitu adanya asimetri informasi (Nuswandari, 2009). Ketika terjadi asimetri informasi, pasar akan menilai setiap perusahaan memiliki kinerja yang sama. Hal ini akan merugikan perusahaan dengan kinerja yang lebih baik, karena kinerjanya dipersamakan dengan perusahaan yang kinerjanya lebih rendah. Sebaliknya bagi perusahaan dengan kinerja kurang baik, keadaan tersebut justru menguntungkan karena kinerjanya dinilai lebih baik dari yang sebenarnya. Menurut Ahmed dan Courtis (dalam Purnomosidhi, 2006), perusahaan besar dan kinerja keuangannya yang baik (superior and profitable firm), cenderung mengirimkan sinyal positif (good news) lebih banyak untuk mengubah penilaian investor. Nuswandari (2009) mengartikan sinyal sebagai informasi mengenai hal-hal yang telah dilakukan manajer untuk mewujudkan keinginan
18
pemilik. Bentuk sinyal positif yang dikirim perusahaan dapat berupa promosi atau informasi lain yang menurut pertimbangannya dapat meningkatkan kredibilitas dan kesuksesan perusahaan meskipun informasi tersebut tidak diwajibkan.
2.1.3
Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) Teori pemangku kepentingan menyatakan bahwa perusahaan berfungsi
untuk melayani tujuan publik yang lebih luas, yaitu menciptakan nilai bagi para pemangku kepentingan. Adapun istilah stakeholder menurut Freeman dan Reed (dalam Ulum, 2009) didefinisikan sebagai: “any identifiable group or individual who can affect the achievement an organisation’s objective, or is affected by the achievement of an organisation’s objective”. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa para pemangku kepentingan (Stakeholder) mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh aktivitasaktivitas perusahaan. Oleh sebab itu, mereka perlu mengetahui aktivitas apa saja yang dilakukan perusahaan, meskipun di lain pihak mereka dapat memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut (Purnomosidhi, 2006). Disamping itu, teori ini juga mengatakan bahwa para pemangku kepentingan (Stakeholder) memiliki fungsi pengendalian atas manajer dalam pelaporan seluruh potensi yang dimiliki oleh perusahaan (Stephanie dan Yuyetta, 2012). Lebih jauh lagi, Purnomosidhi (2006) mengemukakan bahwa akuntabilitas organisasi dalam bentuk pelaporan tahunan tidak hanya terbatas pada kinerja ekonomi atau keuangan saja, akan tetapi perlu juga melakukan pengungkapan sukarela tentang modal intelektual.
19
2.1.4
Teori Legitimasi (Legitimacy Theory) Teori ini berpijak pada kenyataan bahwa perusahaan terikat dalam kontrak
sosial dengan masyarakat di sekitar perusahaan beroperasi (Guthrie et al, 2006). Kontrak sosial yang dimaksud adalah sejumlah besar harapan masyarakat tentang bagaimana seharusnya perusahaan melaksanakan operasinya (Ulum, 2009). Teori legitimasi juga menyatakan bahwa organisasi harus secara berkelanjutan mencari cara untuk menunjukkan keberlangsungan usahanya berada dalam norma yang berlaku di masyarakat (Guthrie dan Parker, dalam Ulum, 2009). Norma tersebut tidak bersifat tetap akan tetapi dapat berubah kapan saja, oleh karena itu perusahaan dituntut untuk selalu responsif terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar (Deegan, dalam Boedi, 2008). Lindblom (dalam Guthrie et al, 2006) menyarankan jika legitimasi sebuah organisasi tengah dipertanyakan, organisasi tersebut dapat menjalankan sejumlah strategi
yang agresif. Pertama, organisasi
dapat mencari jalan untuk
menginformasikan kepada stakeholder nya perubahan-perubahan yang terjadi pada kinerja dan aktifitas organisasi. Kedua, organisasi dapat mencari cara untuk mengubah persepsi stakeholder, tanpa mengubah perilaku organisasi tersebut yang sebenarnya. Ketiga, organisasi dapat mencari cara untuk memanipulasi persepsi stakeholder dengan cara mengarahkan kembali (memutar balik) perhatian atas isu tertentu kepada isu yang berkaitan lainnya. Masih menurut Lindblom (Guthrie et al, 2006), perusahaan dapat menggunakan sarana pengungkapan untuk mengimplementasikan strategi–strategi tersebut. Melalui pengungkapan, perusahaan dapat memperlihatkan
perhatian
20
manajemen terhadap nilai-nilai masyarakat atau untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari aktifitas perusahaan yang berdampak negatif. Teori legitimasi sangat terkait erat dengan pengungkapan modal intelektual. Berbeda dengan teori stakeholder yang menempatkan para pemangku kepentingan sebagai penentu dalam kebijakan pengungkapan informasi, dalam teori ini faktor utama yang mempengaruhi kebijakan pengungkapan perusahaan adalah persepsi publik. Hal ini mungkin terjadi pada saat sebuah perusahaan ingin melegitimasi statusnya di masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Guthrie et al (2006) : “Companies are more likely to report on their intellectual capital if they have a specific need to do this. This may happen when companies find themselves unable to legitimise their status on the basis of the hard assets that are traditionally recognised as the symbols of corporate success”. Berdasarkan
pernyataan
tersebut,
perusahaan
akan
memanfaatkan
pengungkapan modal intelektual untuk melegitimasi statusnya di masyarakat, manakala aset fisik yang merupakan simbol kesusksesan tradisional tidak lagi cukup untuk melegitimasi statusnya.
2.1.5
Teori Biaya dan Manfaat (Cost and Benefit Theory) Menurut Oliveira et al. (2008), mekanisme pengungkapan yang bersifat
wajib maupun sukarela termasuk modal intelektual dalam laporan tahunan memiliki beberapa manfaat. Di antaranya dapat mengurangi asimetri informasi, memperbaiki penilaian yang salah (miss-evaluation) terhadap perusahaan,
21
mengurangi biaya modal (cost of capital), meningkatkan permintaan investor, dan mengurangi selisih harga beli dan harga jual saham (bid-ask spread). Meskipun banyak manfaat yang diperoleh dari pengungkapan, kebijakan pengungkapan perusahaan juga dipengaruhi oleh faktor biaya. Kieso (2004) menyatakan : “providing useful financial information is limited by a pervasive constraint on financial reporting-cost should not exceed the benefits of a reporting practice”. Pernyataan Kieso tersebut menjadi pijakan teori biaya dan manfaat dalam memandang kebijakan pengungkapan. Terlebih, menurut Foster (dalam Sutanto dan Supatmi, 2012), biaya untuk mengungkapkan informasi cenderung mahal. Oleh karena itu manajer hanya akan termotivasi untuk melakukan pengungkapan sukarela ketika manfaat yang dihasilkan melebihi biaya langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan untuk pengungkapan itu sendiri (Oliveira, 2008).
2.2 2.2.1
Karakteristik Perusahaan Definisi Karakteristik Perusahaan Istilah karakteristik perusahaan didefinisikan sebagai ciri-ciri khusus
yang
melekat
pada
perusahaan,
menandai
sebuah
perusahaan
dan
membedakannya dengan perusahaan lain (Suhardjanto dan Wardhani, 2010). Menurut Sidharta dan Christanti (dalam Laraswita dan Indrayani, 2010), karakteristik perusahaan dapat dilihat dari beberapa aspek seperti jenis usaha atau
22
industri, struktur kepemilikan, tingkat likuiditas, tingkat profitabilitas, dan ukuran perusahaan (size). Sementara itu Marwata (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010) menambahkan status pendaftaran perusahaan di pasar modal, dan leverage sebagai karakteristik perusahaan. Dari semua pendapat ahli, uraian mengenai karakteristik perusahaan yang paling sistematis dikemukakan oleh Wallace et al (dalam Tristanti dan Zulaikha, 2012) yang mengelompokkan variabel karakteristik perusahaan kedalam tiga kategori, antara lain: a. Variabel yang berkaitan dengan struktur (structure-related variable), yakni variabel yang sifatnya cenderung stabil, contohnya ukuran perusahaan dan tipe
kepemilikan.
b. Variabel yang berkaitan dengan kinerja (performance-related variable), yakni variabel yang sifatnya berubah dari waktu ke waktu. Contohnya profitabilitas, leverage, dan likuiditas. c. Variabel yang berkaitan dengan pasar (market-related variable), yakni variabel yang dapat berubah ataupun stabil dari waktu ke waktu. Sifatnya dapat kualitatif maupun kuantitatif. Variabel pasar yang kualitatif sifatnya dikotomis, yaitu dibagi menjadi dua kelompok (ya atau tidak), contohnya jenis industri dan status perusahaan. Sedangkan variabel pasar kuantitatif, yaitu variabel yang dapat diukur dengan angka, contohnya struktur kepemilikan modal dan umur perusahaan.
23
Ahmad dan Sulaiman (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010) menyebutkan bahwa karakteristik perusahaan yang bervariasi menyebabkan relevansi dan urgensi pengungkapan yang bervariasi pula pada setiap perusahaan.
2.2.2
Profitabilitas Tujuan dari setiap perusahaan adalah memperoleh laba atau keuntungan
guna meningkatkan kesejahteraan semua golongan dalam perusahaan tersebut. Dewasa ini kinerja suatu perusahaan dinilai berdasarkan kinerja keuangan (financial performance), salah satunya yakni profitabilitas. Walker (dalam Stephanie dan Yuyetta, 2012) bahkan mengatakan bahwa financial performance hanya berfokus pada satu dimensi yaitu profitabilitas. Untuk memberikan pengertian yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan profitabilitas, berikut ini diuraikan definisi dari beberapa peneliti. Menurut penelitian Sangkala, (2012), rasio profitabilitas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam mendapatkan keuntungan. Definisi yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Harahap (1998) yang
mengartikan
profitabilitas
sebagai
kemampuan
perusahaan
dalam
menghasilkan laba dengan semua kemampuan dan sumber yang ada, seperti penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan sebagainya. Motivasi investor berinvestasi pada perusahaan adalah untuk mendapatkan return atau pengembalian. Semakin tinggi profitabilitas maka semakin besar return yang diharapkan oleh investor. Petronila dan Mukhlasin (dalam Sutanto dan Supatmi, 2012) menyatakan bahwa profitabilitas merupakan indikator dari
24
kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan. Penelitian yang dilakukan Singhvi dan Desai (dalam Tristanti, 2012) membenarkan anggapan tersebut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa profitabilitas yang tinggi menandakan kinerja manajemen yang baik. Artinya, ketika profitabilitas perusahaan tinggi atau meningkat, maka dapat dikatakan manajemen telah berhasil atau memiliki kinerja yang baik. Sebaliknya, apabila profitabilitas perusahaan kecil atau menurun maka perusahaan dikatakan kurang berhasil. Profitabilitas dapat diukur dengan sejumlah cara, salah satunya dengan menggunakan rasio Return on Asset (ROA). Rasio ini menunjukkan laba bersih yang diperoleh perusahaan ketika diukur dari nilai asetnya (Tristanti dan Zulaikha, 2012). Dalam analisis laporan keuangan, rasio ini paling sering disoroti karena mampu menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Nilai ROA yang semakin besar menunjukkan kinerja perusahaan yang semakin baik, dikarenakan tingkat pengembalian investasi (return) semakin besar. Menurut Horne dan Wachowicz (2008), ROA dihitung dengan membandingkan nilai laba bersih setelah pajak (net profit after taxes) terhadap total aset perusahaan.
25
Rumus: ROA = Laba Bersih setelah pajak x 100% Total Aset Horne dan Wachowicz (2008)
ROA juga dapat digunakan sebagai alat ukur tingkat kesehatan kinerja keuangan sebuah perusahaan. Berikut pada tabel 2.2 ditampilkan kriteria tingkat kesehatan perusahaan berdasarkan nilai ROA-nya. Tabel 2.2 Predikat Kesehatan Return On Assets (ROA)
Rasio
Predikat
>1,22%
Sehat
0,99% - 1,21%
Cukup Sehat
0,77% - 0,98%
Kurang Sehat
< 0,76%
Tidak Sehat
Sumber: Taswan (dalam Milan et al, 2013) dengan penyesuaian.
2.2.3
Ukuran Perusahaan Secara umum ukuran perusahaan (organization size) dapat diartikan
sebagai suatu perbandingan besar atau kecilnya suatu perusahaan (Sembiring, 2012). Sementara itu, besar kecilnya perusahaan dapat dilihat dari besarnya nilai equity, nilai penjualan, atau nilai total aset (Riyanto, dalam Maryati dan Dwinurti, 2012).
26
Di antara ketiga alat ukur tersebut, total aset adalah alat yang paling sering digunakan. Sesuai dengan pernyataan Sembiring (2012) bahwa “aset merupakan tolak ukur besaran atau skala suatu perusahaan”. Fitriani (dalam Tristanti dan Zulaikha, 2012) juga membuktikan bahwa total aset lebih menggambarkan ukuran perusahaan daripada kapitalisasi pasar. Hal ini dikarenakan besarnya total aset masing-masing perusahaan pasti berbeda dan bahkan mempunyai selisih yang besar, hingga dapat menyebabkan nilai yang ekstrim. Skala perusahaan yang didasarkan pada total aset juga diatur oleh UndangUndang No 20 Tahun 2008 dengan pengklasifikasian pada tabel 2.1 sebagai berikut. Tabel 2.1 Klasifikasi Skala Usaha Skala Usaha
Kekayaan
Hasil Penjualan
Mikro
< Rp 50 juta
< Rp 300 juta
Kecil
Rp 50 juta – Rp 500 juta
Rp 300 juta – 2,5 miliar
Menengah
Rp 500 juta – Rp 10 miliar
Rp 2,5 miliar – Rp 50 miliar
Besar
> Rp 10 miliar
> Rp 50 miliar
Sumber: Diolah dari UU No. 20 Tahun 2008
Secara matematis ukuran perusahaan diukur dengan logaritma natural total aset (Goyal, dalam Sembiring, 2012). Penggunaan bentuk logaritma natural ini ditujukan untuk penyederhanaan bentuk dari nilai total aset perusahaan yang nilainya berjumlah miliaran hingga triliunan rupiah.
27
Rumus: Size = Ln Total Aset Benardi dkk. (2009)
2.2.4
Leverage Leverage adalah perbandingan antara dana yang diperoleh dari pihak
ekstern perusahaan (kreditor) berupa hutang, terhadap dana yang disediakan oleh pemilik perusahan (Makmun, dalam Sutanto dan Supatmi, 2012). Rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya (Tristanti dan Zulaikha, 2012). Mujiyono dan Nany (2010) mengemukakan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat leverage yang semakin tinggi merupakan pertanda semakin besar pula potensi transfer kemakmuran dari kreditor (debtholders) kepada pemegang saham dan manajer yang kemudian menimbulkan konflik keagenan. Leverage diukur dengan rasio total utang terhadap ekuitas (Debt to Equity Ratio) yang juga disebut rasio leverage. Rasio ini membandingkan jumlah modal pemilik yang dapat dijaminkan untuk pembayaran utang-utang kepada pihak luar (Harahap, 1998). Semakin kecil tingkat debt to equity ratio semakin baik, Yang artinya semakin kecil proporsi utang yang harus dijaminkan dengan modal sendiri. Menurut Arista dan Astohar (2012), DER yang aman biasanya kurang dari 50%. Adapun debt to equity ratio tersebut dihitung dengan rumus sebagai berikut,
28
Rumus: DER = Total Utang x 100% Modal Harahap (1998)
2.3
Modal Intelektual
2.3.1
Definisi Modal Intelektual Istilah modal intelektual (intellectual capital) pertama kali dikemukakan
oleh seorang ekonom bernama John Kenneth Galbraith pada tahun 1969, yang menulis surat kepada temannya, Michael Kalecki. Galbraith menulis: “I wonder if you realize how much those of us the world around have owed to the intellectual capital you have provided over the last decades” (Hudson, 1993 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010). Menurut Chang dan Hsieh (dalam Khalique et al, 2011), tidak ada definisi yang berlaku secara umum mengenai modal intelektual. Namun banyak peneliti yang mencoba mendefinisikan konsep yang sama tentang modal intelektual dengan cara yang beragam, yaitu: 1. Klein dan Prusak yang kemudian dipopulerkan oleh Stewart (1994) menyatakan: “…we can define intellectual capital operationally as intellectual material that has been formalized, captured, and leveraged to produce a higher valued asset” (Sawarjuwono dan Kadir, 2003). 2. Brooking (1996) menyatakan bahwa: “IC is the term given to the combined intangible assets of market, intellectual property, human centred and infrastructure – which enable the company to function‟
29
(dalam Ulum, 2009). 3. Edvinsson (1997) menyatakan bahwa: “Intellectual capital is the sum of human capital and structural capital” (Khalique, 2011). 4. Bontis (1998) mengakui bahwa “IC is elusive, but once it is discovered and exploited, it may provide an organization with a new resources-base from which to compete and win‟ (Ulum, 2009). 5. Sullivan (1998) menyatakan: “Intellectual capital includes intellectual assets that can be converted into revenues” (Keenan dan Aggestam, 2001). 6. Bukh et al (2005) menyatakan bahwa istilah modal intelektual seringkali didefinisikan sebagai: “...knowledge resources, in the form of employees, customers, processes or technology, which the company can mobilize in its value creation processes”. 7. Low
and
Kalafut
(2002)
mendefinisikan
modal
intelektual
sebagai “Intangible assets which include technology, customer information, brand name, reputation and corporate culture that are invaluable to a firm’s competitive power” (Taliyang dan Jusop, 2011). Selain definisi-definisi tersebut, ada satu definisi yang paling banyak digunakan yaitu dinyatakan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bahwa modal intelektual sebagai nilai ekonomi dari dua kategori intangibles assets perusahaan: (1) organisational (structural) capital; dan (2) human capital (dalam Purnomosidhi, 2006).
30
Berdasarkan, pengertian-pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa modal intelektual merupakan sekumpulan aset tidak berwujud (intangible assets) yang terdiri atas beberapa komponen yang jika digunakan secara optimal akan dapat meningkatkan nilai perusahaan dan keunggulan bersaing.
2.3.2
Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™) Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™) Metode VAIC™,
dikembangkan oleh Pulic (1998), didesain untuk menyajikan informasi tentang value creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible assets) yang dimiliki perusahaan. Model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). VA adalah indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai (value creation) (Pulic, 1998). VA dihitung sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1999 dalam Ulum). Tan et al. (2007) menyatakan bahwa output (OUT) merepresentasikan revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan input (IN) mencakup seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh revenue. Menurut Tan et al. (2007), hal penting dalam model ini adalah bahwa beban karyawan (labour expenses) tidak termasuk dalam IN. Karena peran aktifnya dalam proses value creation, intellectual potential (yang direpresentasikan dengan labour expenses) tidak dihitung sebagai biaya (cost) dan tidak masuk dalam komponen IN (Pulic, 1999).
31
Karena itu, aspek kunci dalam model Pulic adalah memperlakukan tenaga kerja sebagai entitas penciptaan nilai (value creating entity) (Tan et al., 2007 dalam Ulum, 2007). VA dipengaruhi oleh efisiensi dari Human Capital (HC) dan Structural Capital (SC). Hubungan lainnya dari VA adalah capital employed (CE), yang dalam hal ini dilabeli dengan VACA. VACA adalah indikator untuk VA yang diciptakan oleh satu unit dari physical capital. Pulic (1998) mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari CE menghasilkan return yang lebih besar daripada perusahaan yang lain, maka berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan CE-nya. Dengan demikian, pemanfaatan CE yang lebih baik merupakan bagian dari IC perusahaan (Tan et al., 2007). Hubungan selanjutnya adalah VA dan HC. ‘Value Added Human Capital’ (VAHU) menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hubungan antara VA dan HC mengindikasikan kemampuan dari HC untuk menciptakan nilai di dalam perusahaan (Tan et al., 2007). Konsisten dengan pandangan para penulis IC lainnya, Pulic (1998) berargumen bahwa total salary and wage costs adalah indikator dari HC perusahaan. Hubungan ketiga adalah “structural capital coefficient” (STVA), yang menunjukkan kontribusi structural capital (SC) dalam penciptaan nilai. STVA mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai (Tan et al., 2007). SC bukanlah ukuran yang independent sebagaimana HC, ia
32
dependent terhadap value creation (Pulic, 1999). Artinya, menurut Pulic (1999), semakin besar kontribusi HC dalam value creation, maka akan semakin kecil kontribusi SC dalam hal tersebut. Lebih lanjut Pulic (1999) menyatakan bahwa SC adalah VA dikurangi HC, yang hal ini telah diverifikasi melalui penelitian empiris pada sektor industri tradisional (Pulic, 2000). Rasio terakhir adalah menghitung kemampuan intelektual perusahaan dengan menjumlahkan koefisienkoefisien yang telah dihitung sebelumnya. Hasil penjumlahan tersebut diformulasikan dalam indikator baru yang unik, yaitu VAIC™ (Tan et al., 2007 dalam Ulum, 2007)). 2.3.3
Komponen-Komponen Modal Intelektual Berbagai definisi tentang modal intelektual telah mendorong beberapa
peneliti untuk mengembangkan komponen spesifik atas modal intelektual (Ulum, 2009). Jumlah komponen yang dirumuskan oleh para peneliti beragam. Para peneliti di awal perkembangan modal intelektual seperti Stewart (1997), Sveiby (1997), Brooking (1996), Edvinsson (1997), Roos et al. (1997) and Bontis (1998) sepakat bahwa modal intelektual terdiri atas tiga komponen utama, yaitu human capital, customer capital, dan structural capital (Khalique et al, 2011). Namun dalam perkembangannya, kini komponen modal intelektual lebih dikembangkan lagi oleh beberapa peneliti. Dalam Ismail (2005) misalnya, mengembangkan konsep modal intelektual dan mengidentifikasi bahwa modal spiritual (spiritual capital) adalah komponen penting dalam modal intelektual. Selain itu Ramezan (2011) juga menambahkan technological capital sebagai bagian dari komponen modal intelektual. (Khalique et al, 2011). Menurut
33
Purnomosidhi (2006), walaupun terdapat versi yang beragam tentang komponen modal intelektual, pada dasarnya hanya terdapat tiga skema yang sering dikutip dalam berbagai penelitian, yaitu skema yang diusulkan Sveiby (1997), Stewart (1997), dan Edvinsson dan Sullivan (1996). Ketiga skema tersebut memiliki tiga elemen yang sama, yaitu modal intelektual yang terletak dalam diri manusia (human capital), modal intelektual yang melekat dalam perusahaan (structural capital), dan modal intelektual yang terkait dengan hubungan dengan pihak eksternal (relational capital). Untuk lebih jelasnya, ketiga skema tersebut dirinci pada tabel 2.3 berikut. Tabel 2.3 Skema Komponen Modal Intelektual Author Elemen
Modal inteletual
Modal Inteletual
Modal inteletual
yang melekat pada
yang melekat pada
yang melekat pada
manusia
organisasi Organizational capital Structure capital
hubungan
Edvinson
Human capital
Stewart
Human capital
Sveiby
Employee competence
Li et al
Human capital
Internal structure Organizational capital
Customer capital Customer capital Exsternal structure Relational capital
Sumber: Purnomosidhi (2006)
Dalam Bontis et al. (2000) menyatakan bahwa secara umum, para peneliti mengidentifikasi tiga konstruk utama dari IC, yaitu: human capital (HC), structural capital (SC), dan customer capital (CC). Menurut Bontis et al. (2000), secara sederhana HC merepresentasikan individual knowledge stock suatu organisasi yang direpresentasikan oleh karyawannya. HC merupakan kombinasi dari genetic inheritance; education; experience, and attitude tentang kehidupan
34
dan bisnis. Lebih lanjut Bontis et al. (2000) menyebutkan bahwa SC meliputi seluruh non-human storehouses of knowledge dalam organisasi. Termasuk dalam hal ini adalah database, organisational charts, process manuals, strategies, routines dan segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar daripada nilai materialnya. Sedangkan tema utama dari CC adalah pengetahuan yang melekat dalam marketing channels dan customer relationship dimana suatu organisasi mengembangkannya melalui jalannya bisnis (Bontis et al., 2000 dalam Ulum, 2007)).
2.3.4
Formulasi dan tahapan perhitungan Modal Intelektual (VAIC™) VAIC™ itu sendiri adalah kombinasi dari ketiga VA yang dikembangkan oleh
Pulic (1998, 1999, 2000). Menghitung Value Added (VA). VA dihitung sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1999). Dimana:
VA = OUT - IN
a. OUT = Output: total penjualan dan pendapatan lain. b. IN = Input: beban penjualan dan biaya-biaya lain (selain beban karyawan).
Tahap Kedua: Menghitung Value Added Capital Employed (VACA). VACA adalah indikator untuk VA yang diciptakan oleh satu unit dari physical capital. Rasio ini menunjukkan kontribusi yang dibuat oleh setiap unit dari CE terhadap value added organisasi.
35
VACA = VA/CE Dimana:
a. VACA = Value Added Capital Employed: rasio dari VA terhadap CE. b. VA = value added c. CE = Capital Employed: dana yang tersedia (ekuitas, laba bersih)
Selanjutnya penjelasan mengenai masing-masing komponen modal intelektual dan tahapan perhitungan menurut Pulic: 1. Modal Manusia (Human Capital) Menurut Edvinsson dan Malone (dalam Khalique et al, 2011), “Human capital is the heart of intellectual capital”. Sedangkan Sawarjuwono dan Kadir (2003) menyebutnya sebagai lifeblood dalam modal intelektual. Dari komponen inilah inovasi dan pengembangan berasal, meskipun pengukuran terhadapnya cukup sulit dilakukan (Sawarjuwono dan Kadir, 2003). Hal tersebut dikarenakan Human capital melekat pada diri masing-masing individu sehingga tidak bisa dimiliki oleh perusahaan sepenuhnya (Kavida dan Sivakoumar, dalam Sutanto dan Supatmi, 2012). Human capital merupakan sumber pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi dalam suatu perusahaan yang dapat meningkat seiring dengan kemampuan perusahaan dalam mengelola pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya. Menurut Sutanto dan Supatmi (2012), human capital adalah gabungan kemampuan dari individu dalam sebuah perusahaan untuk mencari solusi atas masalah bisnis yang dihadapi.
36
Saleh et al (2007) memberikan gambaran singkat mengenai karakteristik human capital sebagai berikut : “human capital is the knowledge that employees take with them when they leave the organization”. Lebih jelasnya, Brinker (2000) memberikan beberapa indikator dasar yang dapat diukur dari modal ini, yaitu training programs, credential, experience, competence, recruitment, mentoring, learning programs, individual potential and personality (Sawarjuwono dan Kadir, 2003). Tahap Ketiga: Menghitung Value Added Human Capital (VAHU). VAHU menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Rasio ini menunjukkan kontribusi yang dibuat oleh setiap rupiah yang diinvestasikan dalam HC terhadap value added organisasi. VAHU = VA/HC
Dimana: a. VAHU = Value Added Human Capital: rasio dari VA terhadap HC. b. VA = value added c. HC = Human Capital: beban karyawan.
2. Modal Struktural (Structural Capital) Pengertian structural capital dikemukakan oleh Bontis (dalam Khalique et al, 2011) sebagai: “...all the nonhuman storehouses of knowledge including databases, organizational charts, process manuals, strategies, routines and
37
policies”. Sedangkan Saleh et al (2007) menyebut modal struktural sebagai pengetahuan yang bersifat independen, artinya akan tetap ada dalam organisasi meskipun karyawan meninggalkan organisasi. Elemen kedua ini menunjukkan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam menjalankan rutinitas perusahaan dan strukturnya sehingga mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal. Karl Erik Sveiby (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010) membagi elemen ini menjadi dua komponen penting yaitu Intellectual property dan infrastructure assets. Intellectual property merupakan modal yang keberadaannya dilindungi oleh hukum, seperti paten (patent), hak cipta (copyright), dan merk dagang (trademark). Sedangkan Infrastructure asset, yakni modal struktural yang dapat diciptakan sendiri di dalam maupun diperoleh dari luar perusahaan. Suhardjanto dan Wardhani (2010) menyebut budaya perusahaan (corporate culture), management process, sistem informasi, networking system, dan research project termasuk ke dalam elemen ini. Stewart (dalam Khalique et al, 2011) menjelaskan bahwa structural capital menyediakan lingkungan yang mendukung individu-individu untuk meningkatkan pengetahuannya. Seorang individu dapat memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan prosedur yang buruk maka intellectual capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal antaranya (Sawarjuwono dan Kadir, 2003). Tahap Keempat: Menghitung Structural capital Value Added (STVA). Rasio ini mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari
38
VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai. STVA = SC/VA
Dimana: a. STVA = Structural Capital Value Added: rasio dari SC terhadap VA. b. SC = Structural Capital : VA – HC c. VA = value added
3. Modal Konsumen (Customer Capital) Elemen ketiga ini merupakan komponen modal intelektual yang memberikan nilai secara nyata (Sawarjuwono dan Kadir, 2003). Bozzolan et al mendefinisikannya sebagai “Valuable knowledge that interacts with the external sources of the organization like customers, suppliers and creditors through networks, strategic alliances and distribution channels” (Saleh et al, 2007). Sedangkan menurut Sawarjuwono dan Kadir (2003), definisi relational capital yaitu: Hubungan yang harmonis / association network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar. Modal konsumen dapat muncul dari berbagai pihak di luar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut. Edvinsson
39
(dalam Sawarjuwono dan Kadir, 2003) menyarankan pengukuran elemen atas ini melalui beberapa hal berikut: 1. Customer Profile. Siapa pelanggan-pelanggan kita, dan bagaimana mereka berbeda dari pelanggan yang dimiliki oleh pesaing. Hal potensial apa yang kita miliki untuk meningkatkan loyalitas, mendapatkan pelanggan baru, dan mengambil pelanggan dari pesaing. 2. Custumer Duration. Seberapa sering pelanggan kita berbalik pada kita? Apa yang kita ketahui tentang bagaimana dan kapan pelanggan akan menjadi pelanggan yang loyal? Serta seberapa sering frekuensi komunikasi kita dengan pelanggan. 3. Customer Role. Bagaimana kita mengikutsertakan pelanggan ke dalam disain produk, produksi dan pelayanan. 4. Customer Support. Program apa yang digunakan untuk mengetahui kepuasan pelanggan. 5. Customer Success. Berapa besar rata-rata setahun pembelian yang dilakukan oleh pelanggan. Suhardjanto dan Wardhani (2010) mengatakan, relational capital terdiri atas beberapa elemen seperti pelanggan (customer), jaringan distribusi (distribution channel), kolaborasi bisnis (business collaboration), perjanjian franchise, dan sebagainya. Roos et al (dalam Khalique et al, 2011) menyatakan bahwa hubungan perusahaan dengan pelanggan sangatlah penting karena pelanggan yang membeli produk atau jasa dari perusahaan. Dengan kata lain, pelanggan merupakan sumber
40
utama pendapatan perusahaan. Tahap Kelima : Menghitung Value Added Intellectual
Coefficient
(VAIC™). VAIC™ mengindikasikan kemampuan intelektual organisasi yang dapat juga dianggap sebagai BPI (Business Performance Indicator). VAIC™ merupakan penjumlahan dari 3 komponen sebelumnya, yaitu: VACA, VAHU, dan STVA. Atau dengan kata lain yang member nilai nyata bagi perusahaan (arti dari Customer Capital). VAIC™ = VACA + VAHU + STVA
Menurut Purnomosidhi (2006), komponen-komponen modal intelektual yang telah dijabarkan di atas merupakan indikasi nilai perusahaan di masa depan (future value) dan kinerja keuangan perusahaan. Oleh karena itu menurutnya, diperlukan metode pelaporan dan pengelolaan terhadap dimensi-dimensi modal intelektual yang lebih sistematis. Per Nikolaj Bukh dan beberapa peneliti lain (2005) telah mencoba menyusun daftar indikator pengungkapan modal intelektual ke dalam dimensidimensi yang lebih sistematis. Dalam penelitiannya yang berjudul “Disclosure of information on intellectual capital in Danish IPO prospectuses”, terdapat enam dimensi pengungkapan, antara lain dimensi karyawan (employee), pelanggan (customer), teknologi dan informasi (technology information), proses (processes), penelitian dan pengembangan (research and development), dan pernyataan tentang strategi (strategic statement). Enam dimensi tersebut kemudian dirinci lagi hingga menjadi 78 indikator pengungkapan dalam tabel 2.4 berikut.
41
Tabel 2.4 HUMAN CAPITAL NO 1
Employee
Item Pengungkapan Employee breakdown by age
2
(27 Items)
Employee breakdown by seniority
E2
3
Employee breakdown by gender
E3
4
Employee breakdown by Nationality
E4
5
Employee breakdown by department
E5
6
Employee breakdown by job function
E6
7
Employee breakdown by level of education
E7
8
Rate of employee turnover
E8
9
Comments on changes in the number of employees
Kode E1
E9
10
Comment on employee health and safety
E10
11
Employee absenteeism rate
E11
12
Discussion of employee interviews
E12
13
Statements of policy on competency development
E13
14
Description of competency development programs and activities
E14
15
Education and training expense
E15
16
Education and training expenses by number of employees
E16
17
Employee expenses by number of employees
E17
18
Recruitment policies of the firm
E18
19
Separate indication firm has a HRM department, division or function
E19
20
Job rotation opportunities
E20
21
Career opportunities
E21
22
Remuneration and incentive systems
E22
23
Pensions
E23
24
Insurance policies
E24
25
Statements of dependence on key personnel
E25
26
Revenues per employee
E26
27
Value added per employee
E27
42
STRUCTURAL CAPITAL / ORGANIZATIONAL CAPITAL 42
Techonology
Description of investments in IT
IT1
43
Information (IT) 5( Items)
Description of existing IT systems
IT2
44
Software assets held or developed by the firm
IT3
45
Description of IT facilities
IT4
46
IT expenses
IT5
47
Process
Information and communication within the company
P1
48
(8 items)
Efforts related to the working environment
P2
49
Working from home
P3
50
Internal sharing of knowledge and information
P4
51
External sharing of knowledge and information
P5
Measure of internal or external processing failures
52
Discussion of fringe benefits and company social programs
53
Environmental approvals and statements/policies
54 55 56 57 58
Research and
P7 P8
Statements of policy, strategy and/or objectives of R&D activities
RD1
R&D expenses
RD2
Development Ratio of R&D expenses to sales R&D invested into basic research (9 Items) R&D invested into product design and development
59
P6
RD3 RD4 RD5
60
Details of future prospects regarding R&D
RD6
61
Details of existing company patents
RD7
62
Number of patents and licenses, etc.
RD8
63 64
Information on pending patents
RD9
Description of new production technology
SS1
65
Statements of corporate quality performance
SS2
Information about strategic alliances of the firm
SS3
Objectives and reason for strategic alliances
SS4
66 67 68 69
Strategic Statement (15 Items)
Comments on the effects of the strategic alliances Description of the network of suppliers and distributors
SS5 SS6
43
70
Statements of image and brand
SS7
71
Corporate culture statements
SS8
72
Statements about best practices
SS9
73
Organisational structure of the firm
SS10
74
Utilization of energy, raw materials and other input goods
SS11
75
Investment in the environment
SS12
76
Description of community involvement
SS13
77
Information on corporate social responsibility and objective
SS14
78
Description of employee contracts/contractual issues
SS15
CUSTOMER CAPITAL / RELATIONAL CAPITAL 28
Customers
Number of customers
C1
29
(14 Items)
Sales breakdown by customer
C2
30
Annual sales per segment or product
C3
31
Average purchase size by customer
C4
32
Dependence on key customers
C5
33
Description of customer involvement in firm’s operations
C6
34
Description of customer relations
C7
35
Education/training of customers
C8
36
Ratio of customers to employees
C9
37
Value added per customer or segment
C10
38
Absolute market share (per cent) of the firm within its industry
C11
39
Relative market share (not expressed as percentage) of the firm
C12
40
Market share (per cent) breakdown by country, segment, product
C13
41
Repurchases
C14
Sumber: Bukh et al (2005)
44
2.4
Pengungkapan (Disclosure)
2.4.1
Definisi Pengungkapan (Disclosure) Hendriksen dan Breda (dalam Benardi dkk, 2009) mendefinisikan istilah
pengungkapan (disclosure) sebagai “penyajian informasi yang diperlukan dalam laporan keuangan untuk mencapai operasi pasar modal yang efisien”. Evan (dalam Nuswandari, 2009) membatasi pengertian pengungkapan hanya terkait hal yang menyangkut keuangan. Namun Nuswandari (2009) menyatakan bahwa istilah pengungkapan pada laporan keuangan tidak hanya merujuk pada penyampaian informasi keuangan saja, tetapi juga mencakup informasi tambahan (supplementary communications) yang terdiri atas catatan kaki, informasi tentang kejadian setelah tanggal pelaporan, analisis manajemen tentang operasi perusahaan di masa yang mendatang, prakiraan keuangan dan operasi serta informasi lainnya. Guthrie dan Parker (dalam Suardjanto dan Wardhani, 2010) turut membenarkan
pernyataan
tersebut.
Menurutnya,
pengungkapan
meliputi
ketersediaan informasi keuangan dan non-keuangan berkaitan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, yang dapat dibuat dalam laporan tahunan perusahaan. Wolk dan Tearney (dalam Nuswandari, 2009) menjelaskan bahwa pengungkapan menyangkut untuk siapa informasi diungkapkan, apa tujuan pengungkapan tersebut dilakukan, tingkat keluasan dan kerincian pengungkapan, dan bagaimana cara dan waktu mengungkapkan informasi.
45
Singhvi dan Desai (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010) menunjukkan bahwa bentuk pengungkapan yang sangat penting adalah melalui laporan tahunan, karena digunakan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam hal pengambilan keputusan investasi. Selain itu, laporan tahunan juga dipilih karena mempunyai kredibilitas yang tinggi dan memiliki beberapa manfaat lainnya seperti digunakan untuk mempengaruhi penyebaran distribusi, mendeskripsikan manajemen dan untuk tujuan penelitian (Haniffa dan Cooke, dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010).
2.4.2
Jenis-jenis Pengungkapan Terdapat tiga konsep mengenai luas pengungkapan laporan keuangan
(Kartika, 2009), yaitu: 1. Pengungkapan Memadai (Adequate Disclosure) Yaitu pengungkapan minimal yang disyaratkan oleh peraturan sehingga laporan tersebut dapat digunakan oleh investor dan tidak menyesatkan. 2. Pengungkapan Wajar atau (Fair Disclosure) Pengungkapan wajar yaitu pengungkapan yang menyangkut tujuan-tujuan etis untuk memberikan perlakuan yang sama bagi semua pembaca potensial. 3. Pengungkapan Penuh (Full Disclosure) Yaitu pengungkapan atas semua informasi yang relevan. Artinya, semua informasi yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung terhadap perusahaan diungkapkan.
46
Kartika (2009) juga menyebutkan bahwa pengungkapan berdasarkan sifatnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1. Pengungkapan Wajib (Mandatory Disclosure) Mandatory
disclosure
merupakan
pengungkapan
minimum
yang
disyaratkan standar akuntansi yang berlaku. Adapun standar yang mengatur tentang pengungkapan
wajib
telah sesuai
dengan
peraturan
mengenai
pengungkapan laporan tahunan yang dikeluarkan oleh BAPEPAM yaitu Peraturan Nomor X.K.6. 2. Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure) Pengungkapan
sukarela
adalah
pengungkapan
informasi
yang
dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diwajibkan oleh peraturan yang berlaku.
2.4.3
Pengungkapan Modal Intelektual Pengungkapan
modal
intelektual
merupakan
suatu
laporan
yang
disampaikan untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan informasi pengguna laporan (Abeysekera dalam Boedi, 2008). Selanjutnya Guthrie dan Petty (dalamUlum,2009). Mengungkapkan definisi pengungkapan modal intelektual (Intellectual capital disclosure) secara implisit dengan menyebutkan bahwa pengungkapan modal intelektual kini memberikan manfaat yang lebih besar dibanding masa lalu. Terutama bagi sektor yang mempunyai karakteristik industri dominan yang kemudian mengalami perubahan, contohnya sektor manufaktur yang berubah menjadi high technology, finansial, jasa asuransi dan sebagainya.
47
Adapun manfaat pengungkapan modal intelektual secara lebih rinci dikemukakan oleh Bukh et al (2005): “Disclosure of information on intellectual capital is expected to reduce information asymmetry and to enhance stock market liquidity and increase demand for companies’securities”. Penelitian Guthrie dan Petty (dalam Istanti, 2009) mengenai pelaporan modal intelektual menunjukkan hasil sebagai berikut: 1.
Pengungkapan modal intelektual lebih banyak (95%) disajikan secara terpisah dan tidak ada yang disajikan dalam angka atau kuantitatif.
2.
Pengungkapan mengenai modal eksternal lebih banyak dilakukan oleh perusahaan. Tidak terdapat pola tertentu dalam laporan-laporan tersebut.
3.
Pelaporan dan pengungkapan modal intelektual dilakukan masih secara sebagian dan belum menyeluruh.
4.
Secara keseluruhan perusahaan menekankan bahwa modal intelektual merupakan hal penting untuk menuju sukses dalam menghadapi persaingan masa depan. Mouritsen et al (dalam Ulum, 2009) turut membenarkan hasil penelitian
tersebut. Menurutnya, pengungkapan atas modal intelektual dapat diungkapkan dengan mengkombinasikan dengan angka, visualisasi dan naratif sehingga berguna dalam menciptaan nilai bagi perusahaan. Penciptaan nilai perusahaan dapat terjadi manakala informasi yang disampaikan dalam laporan tahunan menggambarkan aktivitas perusahaan yang kredibel, terpadu dan “true and fair”. Bertentangan dengan hasil penelitian Guthrie dan Petty (2000), Boedi
48
(2008) menemukan fakta bahwa saat ini sangat sedikit jumlah perusahaan yang mengungkapkan modal intelektual secara terpisah. Hal ini dikarenakan jika modal intelektual dilaporkan secara terpisah akan menyebabkan laporan-laporan yang kohesif, sehingga tidak perlu untuk menyediakan pengungkapan yang kredibel mengenai kegiatan perusahaan. Hubungan antara IC (VAICTM) dan Kinerja Perusahaan Hubungan intellectual capital dengan kinerja keuangan perusahaan telah dibuktikan secara empiris oleh beberapa peneliti dalam berbagai pendekatan di beberapa negara. Tabel berikut ini merangkum beberapa penelitian yang dilakukan untuk menguji hubungan antara IC dengan kinerja perusahaan.
2.5
Pengaruh Profitabilitas terhadap Tingkat Pengungkapan Modal Intelektual Meek et al (dalam Purnomosidhi, 2006) mengungkapkan, salah satu
mekanisme untuk membedakan perusahaan tingkat profitabilitasnya tinggi dengan perusahaan yang tingkat profitabilitasnya rendah adalah dengan melihat tingkat pengungkapan sukarelanya. Anggapan ini dilandaskan pada teori sinyal yang menyatakan bahwa superior and profitable firm cenderung mengungkapkan lebih banyak informasi kepada investor (Ahmed dan Courtis, dalam Purnomosidhi, 2006). Singvi dan Desai (dalam Benardi dkk, 2009) mengutarakan bahwa rentabilitas ekonomi dan profit margin yang tinggi akan mendorong para manajer untuk memberikan informasi yang lebih rinci, sebab manajer ingin menyakinkan
49
investor terhadap profitabilitas perusahaan. Haniffa dan Cooke (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010) juga menunjukkan hal yang sama. Argumentasi yang dikemukakan adalah karena semakin tinggi profitabilitas yang berarti semakin besar dukungan finansial perusahaan, maka akan semakin banyak pengungkapan informasi termasuk informasi mengenai modal intelektual. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa profitabilitas memiliki pengaruh positif tehadap tingkat pengungkapan modal intelektual.
2.6
Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Tingkat Pengungkapan Modal Intelektual Pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal
intelektual telah banyak diuji pada penelitian-penelitian sebelumnya. Menurut Cooke (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010), ukuran perusahaan merupakan variabel penting yang menjelaskan luas pengungkapan dalam laporan tahunan. Adapun pengaruh dari ukuran perusahaan terhadap pengungkapan modal intelektual dapat dilihat dari beberapa sudut pandang teori. Teori yang pertama yaitu teori agensi. Bernardi dkk (2009) menyebutkan bahwa semakin besar ukuran suatu perusahaan maka semakin banyak aktivitas yang dilakukannya Kondisi ini akan sangat memungkinkan terjadinya konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Manajer dalam hal ini adalah pihak yang mengelola perusahaan secara langsung setiap harinya, sehingga manajer tentu akan mengetahui kondisi
50
perusahaan secara detail. Berbeda dengan pemilik saham yang tidak secara langsung terjun ke dalam aktivitas perusahaan. Untuk mengetahui kondisi perusahaan mereka sangat mengandalkan laporan yang disampaikan oleh manajer. Dikarenakan memiliki kepentingan lain, terkadang manajer tidak mengungkapkan informasi secara lengkap yang mengakibatkan terjadinya asimetri informasi antara manajer dengan pemilik saham. Menurut Bukh et al (2005), salah satu manfaat pengungkapan modal intelektual adalah dengan cara mengurangi asimetri informasi. Alasannya, dengan mengungkapkan modal intelektual, pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya mengetahui lebih banyak mengenai potensi, aktivitas dan kinerja perusahaan yang sebenarnya. Dengan demikian semakin besar ukuran suatu perusahaan maka semakin besar pula dorongan untuk mengungkapkan modal intelektual. Dari sudut pandang teori sinyal, Ahmed dan Courtis (dalam Purnomosidhi, 2006) mengemukakan bahwa perusahaan yang ukurannya besar (superior firm) lebih banyak mengirimkan sinyal positif ke pasar dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja yang lebih baik dari perusahaan lainnya. Kaitannya dengan modal intelektual, yakni karena informasi modal intelektual merupakan sinyal positif yang dapat meningkatkan kredibilitas perusahaan. Di samping itu, Istanti (2009) menyatakan, dengan mengungkapkan informasi yang lebih banyak, perusahaan mencoba mengisyaratkan bahwa perusahaan seutuhnya dan telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen perusahaan yang baik atau GCG (Good Corporate Governance).
51
Pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual juga dapat ditinjau dari teori stakeholder. Suhardjanto dan Wardhani (2010) menyatakan bahwa semakin besar perusahaan semakin besar pula perhatian atau sorotan stakeholder, oleh karena itu perusahaan akan semakin banyak melaporkan informasi, salah satunya mengenai modal intelektual. Raffournier
(dalam
Purnomosidhi, 2006)
mengemukakan alasan
mengapa perusahaan-perusahaan besar melakukan pengungkapan informasi lebih banyak daripada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Pertama, pengungkapan informasi secara rinci bagi perusahaan besar secara relatif lebih murah (less costly) karena dianggap sudah menyediakan informasi tersebut untuk kepentingan intern. Kedua, karena laporan tahunan merupakan sumber informasi utama bagi pesaing, perusahaan-perusahaan yang lebih kecil enggan membuat pengungkapan yang lebih rinci tentang aktivitas mereka karena khawatir hanya akan menimbulkan competitive disadvantage. Ketiga, perusahaan-perusahan besar lebih
sensitif
terhadap
biaya
politik
(political
costs)
sehingga
akan
mengungkapkan lebih banyak informasi untuk menghilangkan kecaman publik atau intervensi pemerintah.
2.7
Pengaruh Leverage terhadap Tingkat Pengungkapan Modal Intelektual Teori agensi juga digunakan untuk menjelaskan hubungan antara leverage
perusahaan dengan pengungkapan laporan tahunan perusahaan. Menurut Jensen dan Meckling (dalam Purnomosidhi, 2006) bahwa terdapat suatu potensi untuk menstransfer kekayaan dari debtholder kepada pemegang saham dan manajer
52
pada perusahaan yang mempunyai tingkat ketergantungan utang sangat tinggi, sehingga menimbulkan biaya keagenan yang tinggi. Perusahaan yang memiliki proporsi utang yang tinggi dalam struktur modalnya akan menanggung biaya keagenan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang proporsi hutangnya kecil. Untuk mengurangi cost agency dalam bentuk biaya monitoring tersebut, manajemen akan memberikan pengungkapan yang lebih luas (komprehensif) guna meyakinkan kreditur (Aljifri dan Hussainey, dalam Benardi, 2009). Sejalan dengan pendapat tersebut, Sutanto dan Supatmi (2012) mengemukakan bahwa pengungkapan informasi yang luas akan mempermudah kreditur untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan secara detail. Manfaatnya dirasakan ketika perusahaan mengajukan pinjaman dana tambahan, Kreditur yang sudah mendapatkan informasi yang lengkap mengenai perusahaan yang akan meminjamkan dana dengan biaya murah. Namun
demikian,
beberapa
penelitian
menemukan
hasil
yang
bertentangan. Di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Belkoui dan Karpik (1989) dan Suhardjanto dan Wardhani (2010) dan Retno dan Priantinah (2012) yang justru menunjukkan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap luas pengungkapan. Argumentasinya adalah karena keputusan untuk mengungkapkan informasi sosial akan mengikuti suatu pengeluaran untuk pengungkapan yang menurunkan pendapatan (Belkaoui dan Karpik, dalam Sembiring 2005). Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki leverage yang tinggi akan mengurangi pengungkapan perusahaan termasuk pengungkapan modal intelektual
53
dengan maksud untuk mengurangi sorotan dari bondholder. 2.8
Penelitian Terdahulu Tabel 2.5 Ringkasan Penelitian Terdahulu
Tahun
Nama Peneliti
1989
Belkaoi dan karpik
1992
Cooke
1995
2001
Meek et al
Marwata
2004
Simanjuntak dan Widiastuti
2005
Bukh et al
2006
Guhtrie et al
Judul Penelitian Deteminant of the Corporate Decision to Disclosure Sosial Information The Impact of size, Stock Market Listing and industry Type on Disclosure in the annual reports of Japanese Listed Corporations Factors Influencing Voluntary Annual Report Disclosures by US, UK, and Continental European Multinational Corporations Hubungan antara Karakteristik Perusahaan dan Kualitas Ungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Perusahaan Publik di Indonesia
Hasil Penelitian Leverage Berpengaruh terhadap PMI Ukuran Perusahaan Berpengaruh Terhadap PMI
Ukuran, Status Listing dan Country Berpengaruh Sementara Profitabilitas tidak Berpengaruh terhadap PMI hanya Ukuran dan Penerbitan Sekuritas yang Berpengaruh Signifikan Terhadap PMI
Faktor-faktor yang Memepengaruhi Kelengakapan Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEJ Disclosure of Information on Intelectuall Capital in Danish IPO Prospectuses
Kepemilikan Manajerial Berpengaruh terhadap PMI
The Voluntary Reporting of Intelectual Capital : Comparing Evidence from Hongkong and Australia
Tingkat PMI Berhubungan Positif dengan Ukuran Perusahaan
Semua Variabel Berpengaruh terhadap PMI
54
Ukuran Perusahaan, Leverage dan Kinerja Modal Intelektual Berpengaruh Signifikan terhadap PMI
Purnomosidhi
Praktik PMI pada Perusahaan Publik di BEJ
2007
White et al
Drivers of Voluntary Intellectual Capital Disclosure in Listed Biotechnology Companies
2008
Boedi
Pengungkapan Intellectual Capital dan Kapitalisasi Pasar
2009
Ariestyowati et al
Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Praktik Pengungkapan Intellectual Capital dalam Laporan Tahunan Perusahaan Publik di Indonesia
Size, Leverage, Age, dan tipe Industri Berpengaruh terhadap PMI
2010
Suhardjanto dan Wardhani
Praktik Intellectual Capital Disclosure Perusahaan yang di BEI
Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas Berpengaruh Signifikan Terhadap PMI
Sutanto dan Supatmi
pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Tingkat Pengungkapan Intellectual Capital di dalam Laporan Tahunan (studi pada Indsutri Manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2009)
Ukuran Perusahaan Berpengaruh Signifikan
2006
2012
Komisaris Independen, Firm, Age, Leverage, dan Size Berpengaruh terhadap PMI Jenis Industri Berpengaruh terhadap PMI
Sumber : data diolah
Penelitian ini pada dasarnya merupakan replika dari penelitian oleh Suhardjanto dan Wardhani (2010) yang meneliti pengaruh karakteristik perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual pada laporan tahunan perusahaan dalam satu tahun. Namun dalam penelitian ini dilakukan penyesuaian-penyesuaian sehingga membedakannya dengan penelitian oleh Suhardjanto dan Wardhani (2010). Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain:
55
a. Penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2010) dilakukan pada populasi seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007. Sedangkan populasi yang digunakan dalam penelitian ini lebih spesifik, yaitu perusahaan go public yang tergabung dalam indeks LQ45 pada tahun 2012 dengan tujuan untuk merestriksi pengamatan pada kelompok perusahaan dengan skala besar dan kredibilitas yang tinggi saja.
b. Pada penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2010), variabel struktur kepemilikan dan komisaris independen dijadikan variabel kontrol dan digabungkan kedalam istilah corporate governance. Oleh karena itu, pada penelitian tersebut tidak diketahui bagaimana pengaruh dari masing-masing variabel tersebut terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual. Sedangkan pada penelitian ini struktur kepemilikan dan komisaris independen dijadikan variabel independen, dengan maksud untuk mengetahui pengaruh masingmasing variabel tersebut terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual. Sedangkan pada penelitian ini digunakan kerangka pengungkapan yang lebih baru dan eksplisit yang dirumuskan oleh Bukh et al (2005). Kerangka pengungkapan ini terdiri atas 78 indikator pengungkapan.
c. Pengukuran
terhadap
variabel
struktur
kepemilikan
pada
penelitian
Suhardjanto dan Wardhani (2010) dilakukan dengan menghitung persentase saham yang dimiliki oleh tiga pemegang saham terbesar. Sedangkan pada
56
penelitian ini struktur kepemilikan diukur dengan melihat perbandingan porsi kepemilikan saham publik terhadap total kepemilikan saham.
2.9 Kerangka Pemikiran Pengungkapan modal intelektual di setiap perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah biaya. Perusahaan-perusahaan akan sangat mempertimbangkan faktor biaya yang harus dikeluarkan untuk pengungkapan ini. Sesuai teori Cost and Benefit, apabila manfaat yang diperoleh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan maka perusahaan mau mengungkapkan informasi ini, namun jika manfaat lebih kecil maka tidak dilakukan. Faktor biaya, seperti yang dikemukakan dalam penelitian oleh Sutanto dan Supatmi (2012) masih menjadi pertimbangan umum, namun di samping itu ada faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat pengungkapan modal intelektual sebuah perusahaan, yaitu karakteristik dari perusahaan itu sendiri. Karakteristik perusahaan adalah ciri khas dari perusahaan yang memberi perbedaan dengan perusahaan-perusahaan lain, seperti ukuran perusahaan (size), profitabilitas, tingkat leverage, umur listing perusahaan di bursa efek, struktur kepemilikan, dan komisaris independen. Keenam karakteristik ini berdasarkan teori-teori serta didukung oleh banyak penelitian sebelumnya memiliki pengaruh terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual perusahaan. Pengaruh keenam karakteristik ini terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual tidak sama, ada di antaranya yang memiliki pengaruh positif atau negatif.
57
Karakteristik yang pertama yaitu profitabilitas perusahaan. Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh profit. Karakteristik ini merupakan pertimbangan utama investor dalam pengambilan keputusan investasi, karena semakin bagus profitabilitas sebuah perusahaan maka semakin besar tingkat pengembalian investasi yang dapat diperolehnya. Dalam kaitannya dengan tingkat pengungkapan modal intelektual, teori sinyal menyatakan bahwa pengungkapan informasi merupakan media pengiriman sinyal keberhasilan (good news) dan sinyal buruk (bad news) dari perusahaan ke pasar. Perusahaan dengan kinerja keuangan (profitabilitas) yang baik akan mengungkapkan informasi yang lebih banyak, termasuk informasi modal intelektual guna menarik perhatian lebih banyak investor. Sedangkan perusahaan dengan kinerja keuangan yang kurang baik akan cenderung mengurangi pengungkapan informasinya, termasuk informasi modal intelektualnya. Karakteristik yang kedua adalah ukuran perusahaan. Faktor ini paling banyak digunakan oleh para peneliti sebelumnya, seperti Guthrie et al (2006), Suhardjanto dan Wardhani (2010), Sutanto dan Supatmi (2012), dan Stephani dan Yuyetta (2012). Dari semua penelitian tersebut, hasilnya menunjukkan adanya pengaruh positif dari ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual. Hasil tersebut mendukung teori agensi yang menyatakan bahwa pengungkapan modal intelektual dapat mengurangi biaya agensi yang diakibatkan karena adanya asimetri informasi antara pemilik (principal) dan manajer (agent). Teori lain yang turut menjadi pijakan hasil penelitian tersebut adalah teori stakeholder yang menyatakan bahwa semakin besar ukuran suatu perusahaan
58
maka semakin besar pula sorotan stakeholder, sehingga perusahaan dituntut untuk lebih banyak mengungkapkan informasi termasuk informasi mengenai modal intelektualnya. Di samping itu menurut Foster (dalam Sutanto dan Supatmi, 2012), biaya pengungkapan informasi cenderung mahal, terlebih biaya atas sinyal bad news (Spence, dalam Marisanti dan Kiswara, 2012). Berdasarkan teori cost and benefit, perusahaan
perlu
mempertimbangkan
asas
biaya
dan
manfaat
dalam
mengungkapkan informasi. Biaya yang dikeluarkan atas pengungkapan harus sepadan dengan manfaat yang diperoleh dari pengungkapan tersebut (Kieso, 2004). Bagi perusahaan dengan kinerja keuangan tinggi yang berarti memiliki dukungan finansial yang besar, biaya pengungkapan yang mahal bukanlah masalah. Lain halnya dengan perusahaan yang dukungan finansialnya sedikit, biaya pengungkapan akan menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan. Karakteristik ketiga yakni tingkat ketergantungan terhadap utang (leverage). Berdasarkan teori agensi dan teori stakeholder, indikator ini juga memiliki pengaruh terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual. Leverage artinya perbandingan antara dana yang diperoleh dari kreditor (utang) dengan dana dari pemilik perusahaan. Dari perspektif teori agensi, Purnomosidhi (2006) mengatakan, perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan memiliki biaya keagenan yang tinggi pula. Ini diakibatkan karena pada perusahaan seperti itu terdapat potensi untuk mentransfer kekayaan dari debtholders kepada pemegang saham atau manajer. Untuk mengurangi biaya keagenan tersebut, perusahaan dituntut untuk mengungkapkan informasi lebih banyak termasuk modal
59
intelektualnya. Pengaruh dari ketiga karakteristik perusahaan tersebut dapat diikhtisarkan ke dalam gambar 2.1. X1
Company Performance
VACA
X2
Y
X3
Gambar 2.1 Model Hubungan Antar Variabel
Keterangan: X1 = Profitabilitas (ROA) X2 = Ukuran Perusahaan (size) X3 = Leverage (DER) Y = Tingkat Pengungkapan Modal Intelektual (VAICTM)
VACU
STVA
60
2.10
Hipotesis Penelitian Berdasarkan paparan mengenai pengaruh karakteristik perusahaan
terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual pada kerangka pemikiran di atas maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:
Hipotesis 1
: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap tingkat
pengungkapan modal intelektual.
Hipotesis 2
: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap tingkat
pengungkapan modal intelektual.
Hipotesis 3
: Leverage berpengaruh positif terhadap tingkat
pengungkapan modal intelektual
Hipotesis 4
: Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Leverage
berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual