39
BAB II LANDASAN HUKUM PEMBUATAN AKTA NOTARIS SECARA ELEKTRONIK
A. Peranan Notaris Dalam Transaksi Elektronik Fakta menunjukkan bahwa transaksi konvensional yang menggunakan kertas seakan telah berubah menjadi bentuk transaksi yang menggunakan sistem elektronik. Hal ini sejalan dengan kesepakatan global dalam forum UNCITRAL, yang telah lama memberikan rekomendasi tentang perlunya pengakuan terhadap nilai hukum pada suatu informasi dan/atau dokumen elektronik. UNCITRAL telah menggulirkan model law on ecommerce (1996), dan model law on e-Signature (2001), yang dapat digunakan oleh semua negara dalam mengembangkan sistem hukum nasionalnya untuk mengakomodir dinamika perniagaan secara elektronik dan pengaturan tentang tanda tangan elektronik.51 Perkembangannya, kemudian lahir konvensi internasional tentang ecommerce dalam lingkup antara pelaku usaha (B2B) yaitu United Convention on the use of e- communication in internasional contract (2005). Konvensi ini telah diratifikasi menjadi standar pengaturan dalam perdagangan secara elektronik lintas negara. Sehubungan dengan itu, urgensi fungsi dan peran notaris secara elektronik telah mengemuka pada International Congres XXIV dari latin notaris tahun 2004 yang sempat dibahas dalam working group untuk them II (the naotary and electronik
51
Edmon Makarim. Op. Cit., Hlm. 1
39
Universitas Sumatera Utara
40
contract), pada pokoknya menyadari untuk membuka diri dengan mengakomodasi semua perkembangan tersebut dengan baik dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana mestinya. Konferensi ini telah menyadari kemungkinan pembuatan akta autentik secara elektronik.52 Seiring dengan dinamika tersebut, beberapa negara telah menerapkan electronik notary ataupun cyber notary dalam sistem hukum nasionalnya, terutama dalam konteks kebutuhan akan jaminan keauntentikan suatu informasi elektronik, khususnya dalam dukungan penyelenggaraan tanda tangan digital. Amerikat Serikat dan Prancis adalah dua negara yang mempresentasikan dua tradisi hukum yang berbeda, namun keduanya telah menyelenggarakan cyber notary ataupun e-notary pada sistem hukum nasionalnya. Sementara beberapa negara lainnya baru mulai mengarah untuk menjalankan sistem yang hampir sama.53 Penggunaan dan pembuatan akta notaris secara elektronik tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara. Diantara berbagai sistem hukum yang ada di dunia secara garis besar terbagi dalam dua sistem hukum, yaitu sistem hukum Anglo Saxon atau juga disebut Common Law System dan Eropa Kontinental atau juga disebut sistem hukum Romawi atau Civil Law System. Sistem Hukum Anglo Saxon adalah sistem hukum dimana yang diutamakan adalah hukum tidak tertulis yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang ditujukan kepadanya, yang pada
52 53
Ibid., Hlm. 2-3 Ibid., Hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
41
umumnya menggunakan sistem juri pada peradilannya dan pembuktian diutamakan pada adanya saksi dan bukti tertulis hanya merupakan penunjang dari keterangan saksi, sedangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah sistem hukum dimana hukum dibuat dalam bentuk tertulis dan terkodifikasi yang dalam hal pembuktian diutamakan pada bukti tertulis.54 Dalam pratek kenotariatan di dunia juga yang secara garis besar terbagi menjadi dua aliran, yakni Notaris Latin dan Notaris Anglo Saxon. Notaris Latin diadopsi oleh negara yang menganut Sistem Hukum Sipil (Civil Law System), sedangkan Notaris Anglo Saxon diadopsi oleh negara yang menganut Sistem Hukum Kasus (Common Law System). Kelompok negara yang menganut Civil Law System adalah negara-negara Eropa seperti Belanda, Prancis, Luxemburg, Jerman, Austria, Swiss, Skandinavia, Italia, Yunani, Spanyol dan juga negara-negara bekas jajahan mereka. Untuk kelompok yang termasuk dalam negara yang menganut Common Law System adalah Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan.55 Sedangkan negara yang menganut sistem hukum notaris Latin diantaranya negaranegara benua Eropa (Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Belgia, Portugal) kecuali beberapa negara Scandinavia, Negara Asia, Afrika, Amerika Latin, Quebec, dan Negara Bagian Louisina di Amerika Serikat.56
54
Wasis S.P., Pengantar Ilmu Hukum, (UMM Press, Malang, 2002) Hlm. 29-31 G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit., Hlm. 15. 56 Herlien Budiono, Akta Otentik Dan Notaris Pada Sistem Hukum Anglo-Saxon Dan Sistem Hukum Romawi, Percikan Gagasan Tentang Hukum Ke-III, (Mandar Maju, Bandung, 1998) Hlm. 104 55
Universitas Sumatera Utara
42
Bagi negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, kewenangan notaris sangat berbeda dengan Notaris di negara-negara penganut sistem hukum Anglo Saxon. Notaris di negara-negara penganut sistem hukum Eropa Kontinental merupakan profesi yang dilakukan oleh ahli hukum (yurist) yang dijabat seumur hidup atau sampai memasuki masa pensiun, Notaris Latin dapat memberikan nasihat kepada kliennya dalam pembuatan alat bukti tertulis. Kewenangan notaris di negara-negara penganut sistem Anglo Saxon rata-rata hanyalah merupakan pendaftaran surat-surat saja, yang bagi notaris di Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental merupakan waarmerking (pendaftaran surat di bawah tangan), notaris pada sistem hukum Anglo Saxon tidak berperan dalam pembuatan dan menentukan isi surat/akta. Selain itu, untuk menjadi seorang Notaris di negara-negara penganut sistem Anglo Saxon rata-rata tidak menjalani pendidikan sebagai ahli hukum (yurist) dan menjabat dalam jangka waktu tertentu terlebih dahulu. Akta yang merupakan produk notaris Latin mempunyai kekuatan bukti formil, materiil dan untuk perbuatan hukum tertentu juga mempunyai kekuatan eksekutorial. Kekuatan alat bukti tertulis berupa akta autentik mempunyai tempat yang tertinggi, terkuat dan terpenuh atau alat bukti sempurna dalam sistem hukum Eropa Kontinental, hal tersebut menyebabkan kedudukan Notaris dalam sistem hukum Eropa Kontinental ini sangat penting mengingat tugas dan kewenangannya dalam membuat akta autentik. Oleh karena itu penerapan akta notaris secara elektronik pada sistem common law tidak akan berpengaruh pada kekuatan akta. Sebaliknya Notaris
Universitas Sumatera Utara
43
di Indonesia yang menggunakan sistem civil law memandang bahwa akta yang dibuat oleh dan dihadapan notaris adalah akta yang autentik.57 Indonesia menganut mazhab Notaris Latin, bukan Notaris Anglo Saxon. Notaris di Indonesia memberikan nasihat hukum (legal advice) kepada para pihak dan bertanggung jawab terhadap isi perjanjian akta. Tidak seperti notaris di Amerika Serikat yang hanya bertanggung jawab terhadap akurasi dan legalitas isi perjanjian akta. Oleh karenanya, akta yang dihasilkan notaris latin sangat diperhitungkan oleh pengadilan karena merupakan bukti autentik, sebaliknya akta yang dihasilkan notaris Anglo Saxon tidak diperhitungkan sebagai alat bukti oleh pengadilan.58 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kekuatan akta autentik sebagai alat bukti sempurna yang terkuat dan terpenuh tidak terlepas dari pengaruh sistem hukum yang dianut di Indonesia, Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda menganut sistem hukum sebagaimana yang diwariskan oleh Belanda yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Merespons perkembangan konsep cyber notary dan mengikuti perkembangan teknologi yang terjadi saat ini, di Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik (UU ITE), yang diundangkan sejak 21 april 2008 lalu dan merupakan landasan hukum awal bagi notaris dalam mewujudkan konsep cyber notaris di Indonesia.
57
Emma Nurita, Op. Cit., Hlm. 36. Anonim, “Notaris Mewakili Negara” diakses wodpress.com, tanggal 20 November 2016. Pukul 13. 30 WIB. 58
melalui
website:
hhtp://taligara.
Universitas Sumatera Utara
44
Diketahui bahwa era globalisasi sebagai suatu proses yang pada akhirnya akan membawa seluruh penduduk planet bumi menjadi suatu “world society”. Selanjutnya “global society” dipandang dan dipahami sebagai proses yang wajar yang tidak terhindarkan yang diakibatkan oleh semakin majunya peradaban manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi.59 Untuk itu, notaris harus siap menyambut era elektronik, di mana konsep cyber notary atau ada juga yang menyebutnya notary by digital, akan merambah masuk ke Indonesia. Kemajuan teknologi informasi membawa pengaruh positif pada peningkatan lalu lintas perdagangan, salah satu bukti dari kemajuan teknologi informasi yang sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dalam bidang bisnis/perdagangan adalah electronik commerce atau lazim dikenal dengan sebutan e-commerce. Dunia perdagangan saat ini tidak lagi bersifat tradisional, tetapi sudah memanfaatkan teknologi dan informasi, sebagai contoh seperti internet yang digunakan untuk mempromosikan produk atau jasa, ada juga transaksi jual beli melalui elektronik yang disebut online shopping. Di dalam dunia perdagangan dikenal juga dengan istilah kontrak elektronik yang memungkinkan para pihak terikat di dalam suatu kesepakatan. Dalam lalu lintas perdagangan yang sudah menggunakan e-commerce, peran notaris dituntut untuk bisa turut serta dalam perkembangan perekonomian dan perdagangan karena di dalam suatu transaksi elektronik tersebut
59
Komar Andasasmita, Notaris Selayang Pandang, (Bandung: Alumni, 2001), Hlm. 2
Universitas Sumatera Utara
45
sangat dimungkinkan adanya campur tangan notaris dalam transaksi perdagangan tersebut. Melihat kondisi dunia perdagangan di Indonesia sekarang ini sangatlah tepat apabila pemerintah Indonesia dalam hal ini bekerjasama dengan notaris dan pihakpihak yang ikut serta di dalam sistem penyelenggaraan jasa secara elektronik, khususya dalam bidang kenotariatan untuk bisa mendukung terciptanya konsep cyber notary. Oleh karena, kehadiran notaris adalah suatu kehendak dari hukum atau dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan, peristiwa hukum, atau perbuatan hukum. Dengan dasar ini, seorang notaris yang diangkat harus memiliki semangat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh sebab, notaris tidak akan berarti apa-apa bila masyarakat tidak menghendakinya. Kedudukan pejabat notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya dibangun berdasarkan suatu sistem hukum yang terdiri dari kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, dan menjadi tatanan tata tertib hukum dalam mengatur fungsi dan peran notaris. Berdasarkan teori sistem, dapat dirumuskan bahwa hukum sistem hukum kenotariatan adalah kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpihak di mana tata tertib hukum jabatan notaris itu di bangun. Dengan adanya ikatan asas-asas hukum tersebut, berarti hukum kenotariatan merupakan suatu sistem hukum.60
60
Ibid., Hlm. 24
Universitas Sumatera Utara
46
Fungsi notaris di masyarakat didasari adanya suatu keperluan dan keinginan dari masyarakat itu sendiri, sehingga notaris tidak mungkin melakukan suatu pekerjaan atau membuat akta tanpa ada permintaan dari para penghadap. Mengingat perkembangan teknologi Informasi dan komunikasi yang saat ini terjadi di masyarakat, notaris harus siap menyambut era elektronik, di mana konsep cyber notary merupakan jawaban dari tantangan perkembangan teknologi informasi yang saat ini terjadi secara global. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi sangat memberikan manfaat besar bagi masyarakat luas, demikian pula bagi pemerintah. Hal ini terbukti dengan berkembangnya perdagangan berbasis teknologi informasi yang menggunakan aplikasi internet dan pelayanan administrasi publik oleh pemerintah. Seperti pengadaan barang/ jasa pemerintah secara elektronik, pendaftaran fidusia secara elektronik dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, maka urgensi peran notaris dalam transaksi elektronik disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a. Transaksi konvensional yang menggunakan kertas seakan telah berubah menjadi bentuk transaksi yang menggunakan sistem elektronik. Hal tersebut sejalan dengan kesepakatan global dalam forum UNCITRAL, yang telah lama memberikan rekomendasi tentang perlunya pengakuan terhadap nilai hukum pada suatu informasi dan/atau dokumen elektronik. b. Lahir konvensi internasional tentang e-commerce dalam lingkup antara pelaku usaha (B2B) yaitu United Convention on the use of e- communication in
Universitas Sumatera Utara
47
internasional contract (2005). Konvensi ini telah diratifikasi menjadi standar pengaturan dalam perdagangan secara elektronik lintas negara. c. Perkembangannya beberapa negara telah menerapkan electronik notary ataupun cyber notary dalam sistem hukum nasionalnya, terutama dalam konteks kebutuhan akan jaminan keauntentikan suatu informasi elektronik, khususnya dalam dukungan penyelenggaraan tanda tangan digital. d. Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik (UU ITE), yang diundangkan sejak 21 april 2008 lalu. Berdasarkan UU ITE, setiap orang dapat menggunakan tanda tangan elektronik (e-signature) yang didukung oleh suatu layanan penyelenggara sertifikasi elektronik. e. Kemajuan teknologi informasi membawa pengaruh positif pada peningkatan lalu lintas perdagangan, salah satu bukti dari kemajuan teknologi informasi yang
sangat
dirasakan
manfaatnya
oleh
masyarakat
dalam
bidang
bisnis/perdagangan adalah electronik commerce atau lazim dikenal dengan sebutan e-commerce. f. Notaris sebagai pejabat umum berdasarkan UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mempunyai fungsi dan peran yang penting dalam legalisasi transaksi di Indonesia, bahkan notaris juga dipahami menjadi pihak ketiga yang terpercaya (Trusterd-Third-Party) dalam kehidupan sehari-hari.Fungsi notaris di masyarakat di dasari adanya suatu keperluan dan keinginan dari masyarakat itu sendiri, sehingga notaris tidak mungkin melakukan suatu
Universitas Sumatera Utara
48
pekerjaan atau membuat akta tanpa ada permintaan dari para penghadap. Mengingat perkembangan teknologi Informasi dan komunikasi yang saat ini berkembang di masyarakat, maka notaris harus siap menyambut era elektronik, di mana konsep cyber notary merupakan jawaban dari tantangan perkembangan teknologi informasi yang saat ini terjadi secara global.
B. Aktivitas Transaksi Elektronik 1.
E-commerce (perdagangan elektronik) E-commerce adalah suatu proses berbisnis dengan memakai teknologi
elektronik yang menghubungkan antara perusahaan, konsumen dan masyarakat dalam bentuk transaksi elektronik, dan pertukaran/penjualan barang, servis, dan informasi secara elektronik.61 Definisi e-commerce secara lengkap dikemukakan oleh Julian Ding, bahwa: E-commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dan pembeli utuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan dengan media elektronik (digital medium) di mana para pihak tidak hadir secara fisik. Media ini terdapat di dalam jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau World Wid Web. Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah syarat nasional.62 Istilah e-commerce dengan istilah e-business sering dipertukarkan, sebenarnya terdapat perbedaan yang prinsipil di antara kedua istilah tersebut. Istilah e-commerce dalam arti sempit diartikan sebagai suatu transaksi jual beli atas suatu produk barang, jasa atau informasi antarmitra bisnis dengan memakai jaringan komputer yang
61 62
Munir Fuady, Pengangar Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), Hlm. 407 Titik Triwulan Tutik., Op. Cit., Hlm. 374
Universitas Sumatera Utara
49
berbasiskan kepada internet. Sedangkan e-commerce dalam arti luas diartikan sama dengan istilah e-business, yakni mencakup tidak hanya transaksi on line, tetapi juga termasuk layanan pelanggan, hubungan dagang dengan mitra bisnis, dan transaksi internal dalam sebuah organisasi. Suatu kegiatan e-commerce dilakukan dengan orientasi-orientasi sebagai berikut: a. Pembelian on line (on-line transaction). b. Komunikasi digital (digital communication), yaitu suatu komunikasi secara elektronik. c. Penyediaan jasa (service), yang menyediakan informasi tentang kualitas produk dan informasi instan terkini. d. Proses bisnis, yang merupakan sistem dengan sasaran untuk meningkatkan otomatisasi proses bisnis. e. Market of one, yang memungkinkan proses customization produk dan jasa untuk diadaptasikan pada kebutuhan bisnis.63 Berbeda dengan transaksi perdagangan pada umumnya, e-commerce memiliki beberapa karaktaristik, yaitu: a. Transaksi tanpa batas. Sebelum era internet, batas-batas geografis menjadi penghalang suatu perusahaan atau individu yang ingin go internatisonal. Sehingga hanya perusahaan atau individu yang memiliki modal besar yang dapat memasarkan produknya ke luar negeri. Dengan adanya internet, perusahaan kecil atau menengah dapat memasarkan barangnya ke luar negeri dengan hanya membuat website atau memajang iklan di internet tanpa batas waktu (24 jam). b. Transaksi bersifat anonim. Penjual dan pembeli dalam transaksi e-commerce tidak harus bertemu muka secara langsung satu sama lainnya. c. Produk yang diperdagangkan. Produk yang diperdagangkan melalui internet elektronik berupa produk digital maupun non digital, barang berwujud dan tidak berwujud, dan barang bergerak.64
63 64
Munir Fuady, Op. Cit., Hlm. 407-408 Rudyanti Dorotea Tobing, Op.Cit., Hlm. 215
Universitas Sumatera Utara
50
Ditinjau dari sudut para pihak dalam bisnis e-commerce, maka yang merupakan jenis-jenis transaksi dari suatu kegiatan e-commerce adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f.
Business to Business (B2B). Business to Consumer (B2C). Consumer to consumer (C2C) Consumer to Business (C2B). Non-Business Electronic Commerce. Intrabusiness (Organizational) Electronic Commerce.65 Berikut ini penjelasan dari masing-masing jenis transaksi e-commerce
tersebut, yaitu sebagai berikut: a. Business to Business (B2B) Transaksi Business to Business (B2B) ini merupakan bisnis e-commerce yang paling banyak dilakukan. Business to Business (B2B) ini terdiri dari: 1) Transaksi Inter-Organizational Systems (IOS), misalnya transaksi extranets, electronic funds transfer, electronic forms, integrated messaging, share data based, supply chain management, dan lain-lain. 2) Transaksi pasar elektronik (electronic market transaction). b. Business to Consumer (B2C) Business to Consumer (B2C) merupakan transaksi ritel dengan pembeli individual. c. Consumer to Consumer (C2C). Consumer to Consumer (C2C) merupakan transaksi di mana konsumen menjual produk secara langsung kepada konsumen lainnya. Dan juga seorang individu yang mengiklankan produk barang atau jasa, pengetahuan, maupun keahliannya di salah satu situs lelang. d. Consumer to Business (C2B) Merupakan individu yang menjual produk atau jasa kepada organisasi dan individu yang mencari penjual dan melakukan transaksi. e. Non-Business Electronic Commerce Dalam hal ini meliputi kegiatan nonbisnis seperti kegiatan lembaga pendidikan, organisasi nirlaba, keagamaan dan lain-lain. f. Intrabusiness (Organizational) Electronic Commerce
65
Munir Fuady. Op.Cit., Hlm. 408
Universitas Sumatera Utara
51
Kegiatan ini meliputi semua aktivitas internal organisasi melalui internet untuk melakukan pertukaran barang, jasa dan informasi, menjual produk perusahaan kepada karyawan, dan lain-lain.66 Teknologi internet mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perekonomian dunia. Internet membawa perekonomian dunia memasuki babak baru yang lebih populer dengan istilah digital economics atau perekonomian digital. Makin banyak kegiatan perekonomian dilakukan melalui media internet. Misalnya, semakin banyak mengandalkan jual beli sistem online (e-commerce) sebagai media transaksi. E-commerce pada dasarnya merupakan suatu kontak transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet jadi proses pemesanan barang, pembayaran transaksi hingga pengiriman barang dikomunikasikkan melalui internet. Dalam perkembangannya, bisnis perdagangan tidak lagi membutuhkan pertemuan secara langsung antara pelaku bisnis. Oleh karena kemajuan teknologi telah memungkinkan untuk dilaksanakannya hubungan-hubungan bisnis melalui perangkat teknologi atau melalui media internet. Pelaksanaa penawaran dan permintaannya dapat dilakukan melalui perangkat lunak atau melalui media internet. Keadaan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelaku bisnis yang kini memilki kecenderungan memerlukan informasi yang cepat, dan tidak memakan waktu yang lama. Namun, perkembangan kontrak dagang melalui media Internet dalam perspektif hukum telah menimbulkan berbagai persoalan, diantaranya adalah masalah 66
Ibid., Hlm. 408-409
Universitas Sumatera Utara
52
ketidakpastian di bidang hukum kontrak nasional maupun internasional yang memerlukan pengaturan hukum secara komperehensif. Menurut Moch. Isnaeni dalam Tutik Tri Wulan Tutik: Persoalan-persoalan tersebut dapat muncul terutama berkaitan dengan prinsipprinsip hukum kontrak itu sendiri, seperti kapan lahirnya kontrak, hukum mana yang berlaku kalau antara pihak yang melakukan penawaran dan pihak yang mengakseptasi berdomisili di negara yang berlainan, bagaimana pula ketentuannya kalau objek perjanjian berupa jasa, sehingga hal ini merupakan tantangan bagi kalangan orang hukum. Selain itu juga, bagaimana hukum nasional mampu merespons pengaturan ketentuan-ketentuan hukum kontrak via Internet sebagai satu kesatuan hukum nasional.67 Perjanjian e-commerce yang dilakukan oleh para pihaknya bukan seperti layaknya perjanjian pada umumnya, tetapi perjanjian tersebut dapat dilakukan meskipun tanpa adanya pertemuan langsung antara kedua belah pihak, namun perjanjian antar para pihak tersebut dilakukan secara elektronik. Perjanjian antar pihaknya dilakukan dengan mengakses halaman web yang disediakan, berisi klausul atau perjanjian yang dibuat oleh pihak pertama (penjual), dan pihak yang lain (pembeli) hanya tinggal menekan tombol yang disediakan sebagai tanda persetujuan atas isi perjanjian yang telah ada, tanpa perlu membubuhkan tanda tangan seperti perjanjian pada umumnya, tetapi menggunakan tanda tangan elektronik atau digital signature. Sehingga para pihak tidak perlu bertemu langsung untuk mengadakan suatu perjanjian. Aktivitas bisnis pada dasarnya senantiasa dilandasi aspek hukum terkait, ibaratnya sebuah kereta api hanya akan dapat berjalan menuju tujuannya apabila
67
Ibid., Hlm. 372
Universitas Sumatera Utara
53
ditopang dengan rel yang berfungsi sebagai landasan geraknya. Tidak berlebihan kiranya, apabila keberhasilan suatu proses bisnis yang menjadi tujuan akhir para pihak hendaknya senantiasa memperhatikan aspek kontraktual yang membingkai aktivitas bisnis tersebut.68 Transaksi e-commerce merupakan salah satu kegiatan transaksi elektronik. perjanjian dalam aktivitas e-commerce pada dasarnya sama dengan perjanjian yang dilakukan dalam transaksi perdagangan konvensional, akan tetapi perjanjian yang dipakai dalam e-commerce merupakan perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik atau disebut kontrak elektronik.69 Perjanjian dalam e-commerce sama halnya dengan perjanjian jual beli, merupakan perjanjian timbal balik. Pasal 1457 KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Pengertian jual beli menurut KUH Perdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.70
68
Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian Asas Proporsional Dalam Kontrak Komersial. (Surabaya: LBM, 2013) Hlm. 135 69 Rudyanti Dorotea Tobing. Op.Cit., Hlm. 216 70 Ibid., Hlm. 217
Universitas Sumatera Utara
54
E-commerce dalam bidang hukum perdata, sebagai sub sistem dari hukum perjanjian, maka e-commerce memiliki asas-asas yang sama dengan hukum perjanjian pada umumnya. Berlakunya asas-asas hukum perjanjian dalam ecommerce, maka ketentuan tentang perikatan tetap berlaku, sehingga berlaku pula Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yakni sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.71 2.
E-contract (Kontrak elektronik) Edmon Makarim menggunakan istilah kontrak elektronik (electronik
contract), bagi kontrak elektronik (e-contract) dan mendefinisikan kontrak online sebagai perikatan atau hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer dengan sistem komunikasi yang berdasar atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunicated based), yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan internet.72 Perdagangan internasional dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari kesepakatan antara dua belah pihak yang dituangkan dalam bentuk kontrak. Semakin meningkatnya transaksi perdagangan membuat bentuk-bentuk kontrak juga semakin berkembang.73 Black’s law dictionary menyebutkan bahwa kontrak ialah
71
Ibid., Hlm. 216-217 Cita Yustia Sefriani, et. al. Buku Pintar Bisnis Online dan Transaksi Elektronik, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2013). Hlm. 101 73 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional Edisi Revisi (Bandung: Refika Aditama, 2010) Hlm.3 72
Universitas Sumatera Utara
55
suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan tertentu. Substansi yang dimuat dalam suatu kontrak bisa bermacam-macam tergantung dari jenis kontrak tersebut apakah di bidang bisnis barang, jasa, wisata, dan lain sebagainya. Selain tergantung dari objek yang diatur, substansi kontrak juga tergantung dari kehendak para pihak mengenai hal-hal apa saja yang hendak diatur di dalam kontrak yang dibuat. Menurut Cita Yustisa Sefriani, kontrak elektronik dibuat melalui sistem elektronik adalah “serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan,
mengolah,
menganalisis,
menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, dan atau menyebarkan informasi elektronik”.74 Kontrak elektronik, meskipun berbeda secara fisik dengan kontrak konvensional, namun keduanya tunduk pada ketentuan hukum kontrak/perjanjian. Sehingga kontrak elektronik harus memenuhi syarat-syarat perjanjian dan asas-asas perjanjian. Selain itu, kontrak elektronik yang lazim dalam bentuk standart kontrak (kontrak baku), tidaklah boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan kata lain, penyelenggaraan kontrak elektronik (econtract) tetap harus mengacu pada ketentuan hukum perjanjian yang diatur dalam hukum
perdata
yang
merupakan
ketentuan
umum
dari
penyelenggaraan
kontrak/perjanjian secara elektronik.
74
Cita Yustia Sefriani, et. al. Op. Cit., Hlm. 99
Universitas Sumatera Utara
56
Kebebasan para pihak untuk membuat serta menentukan isi kontraknya disebut dengan prinsip kebebasan berkontrak. Meski demikian secara formal terdapat syarat-syarat yang harus ditaati oleh para pihak dalam membuat kontraknya antara lain: a. Persetujuan Persetujuan ialah pernyataan satu pihak bahwa ia menerima atau setuju mengenai persyaratan yang diajukan oleh orang yang memberikan penawaran. Penawaran hanya dapat disetujui oleh orang atau pihak yang dituju dalam penawaran. Pernyataan setuju harus final dan tidak diubah oleh pihak yang menerima. Pernyataan setuju harus dikomunikasikan dan diwujudkan dalam bentuk yang dapat diterima secara objektif.75 Joshua menjelaskan bahwa hal penting diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 mengenai transaksi elektronik adalah penentuan terjadinya transaksi elektronik dalam bidang perdagangan (e-commerce).76 Sebab, hal ini akan menjadi persoalan apabila tidak ditentukan oleh para pihak kapan transaksi elektronik yang dilakukan terjadi kesepakatan (persetujuan). Teori yang dapat digunakan dalam menentukan terjadinya transaksi (persetujuan) dalam perjanjian elektronik, diantaranya: 1) Teori Pernyataan (uilitingstheorie), dengan teori ini maka terjadinya kontrak adalah ketika pihak penerima menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. 2) Teori Pengiriman, menurut teori ini terjadinya kontrak adalah pada saat penerima mengirim telegram. 3) Teori Pengetahuan, menurut teori ini terjadinya kontrak adalah sejak diketahuinya adanya aceceptatie (penerimaan). 75 76
Joshua Sitompul, Op.Cit., Hlm. 77 Ibid., Hlm. 76
Universitas Sumatera Utara
57
4) Teori penerimaan, menurut teori ini kontrak terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari lawan.77 b. Suatu perihal tertentu Salah satu syarat dari suatu kontrak/perjanjian adalah unsur perihal tertentu. Syarat ini penting untuk menghindari apa yang dalam praktik disebut dengan istilah membeli kucing dalam karung.78 Diketahui bahwa salah satu syarat sahnya suatu kontrak adalah adanya unsur apa yang disebut dengan perihal tertentu. Mengenai apa yang dimaksud dengan perihal tertentu tidak lain adalah perihal yang merupakan objek perjanjian atau objek dari suatu kontrak. Dengan kata lain, suatu kontrak haruslah mempunyai objek tertentu. Suatu kontrak jual beli pesawat terbang, maka objek yang dijualbelikan adalah pesawat terbang itu sendiri. Agus Yudha Hernoko menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak. Sehingga pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luas kewajiban para pijak adalah tidak mengikat (batal demi hukum).79 Dalam KUH Perdata, terdapat beberapa pasal yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan suatu kontrak terkait dengan pemahaman mengenai perihal tertentu yang merupakan sebagai salah satu syarat sahnya kontrak, yaitu Pasal 1332, 1333, dan 1334 KUH Perdata, sebagai berikut: 77
Salim. HS. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. (Jakarta: Sinar Grafika 2012), Hlm.40-41 78 Munir Fuady, Hukum Kontrak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), Hlm. 57 79 Agus Yudha Hernoko. Op. Cit., Hlm. 191
Universitas Sumatera Utara
58
1) Pasal 1332 KUH Perdata, menegaskan bahwa: hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian. 2) Pasal 1333 KUH Perdata, menegaskan bahwa: suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. 3) Pasal 1324 KUH Perdata, menegaskan bahwa: barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak diperkenankan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakat orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu. Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa dalam berkontrak harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak (prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak. Bahwa “tertentu” tidak harus dalam artian gramatikal dan sempit harus sudah ada ketika kontrak dibuat, adalah dimungkinkan untuk hal atau objek tertentu tersebut sekadar ditentukan jenis, sedang mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian hari.80 c. Kapasitas/kecapakan pembuat kontrak Menurut hukum, semua orang dalam keadaan cakap (berwenang) berbuat, sehingga mereka dapat membuat perbuatan hukum, termasuk membuat atau menandatangani suatu perjanjian, kecuali mereka-mereka yang dikecualikan oleh undang-undang, mereka yang dikecualikan ini disebutkan orang yang tidak cakap (tidak berwenang) berbuat suatu perbuatan hukum, yaitu pihak-pihak sebagai berikut: 1) Orang yang masih belum dewasa 2) Orang yang ditempat di dalam pengampuan, misalnya orang gila. 3) Wanita yang bersuami, tetapi sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, dengan menghapus pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan. 80
Ibid., Hlm. 192
Universitas Sumatera Utara
59
4) Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.81 Apabila salah satu atau kedua belah pihak dalam perjanjian ternyata tidak cakap berbuat, maka konsekuensi yuridisnya adalah sebagai berikut: 1) Jika perjanjian tersebut dibuat oleh anak di bawah umur (belum dewasa), maka perjanjian tersebut akan batal atas permintaan dari pihak anak yang belum dewasa tersebut, semata-mata karena alasan belum kedewasaannya tersebut. 2) Jika perjanjian dibuat oleh orang yang berada di bawah pengampuan, maka perjanjian tersebut batal atas permintaan dari orang yang berada di bawah pengampuan tersebut, dengan alasan semata-mata karena keberadaannya di bawah pengampuan tersebut. 3) Jika perjanjian tersebut dibuat oleh perempuan yang bersuami, maka perjanjian tersebut akan batal sekedar perjanjian tersebut dibuat dengan melampaui kekuasaannya. 4) Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang dilarang oleh undangundang untuk melakukan perbuatan tertentu, maka mereka dapat menuntut pembatalan perjanjian tersebut, kecuali jika ditentukan lain oleh undangundang. 5) Perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap berbuat tersebut, yang kemudian dinyatakan batal, maka para pihak dalam perjanjian tersebut harus menempatkan perjanjian tersebut pada keadaan sebelum perjanjian dibuat, jadi perjanjian tersebut dianggap seolah-oleh tidak pernah ada.82 Berdasarkan uraian di atas, maka salah satu syarat sahnya suatu perjanjian, bahwa perjanjian tersebut haruslah dibuat oleh orang yang cakap berbuat, antara lain dibuat oleh orang yang sudah dewasa. Timbul persoalan, sejak kapankah persisnya seseorang oleh hukum dianggap telah dewasa. Untuk menjawab persoalan ini, maka daat dilihat ketentuan Pasal 330 KUH Perdata, yang menentukan bahwa seseorang dianggap sudah dewasa jika: 1) Sudah genap berumur 21 tahun. 81 82
Munir Fuady. Konsep Hukum Perdata. (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Hlm. 196 Ibid., Hlm. 196-197
Universitas Sumatera Utara
60
2) Sudah kawin, meskipun belum berumur genap 21 tahun. 3) Sudah kawin dan kemudian bercerai, meskipun belum genap berumur 21 tahun. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan (curatele) oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum (tidak cakap berbuat), mengenai hal ini dapat dilihat ketentuan Pasal 433 KUH Perdata, bahwa mereka yang diletakkan di bawah pengampuan adalah sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5)
Orang yang dungu Orang gila Orang yang mata gelap Orang yang boros Orang yang sakit ingatan, meskipun kadang-kadang dia waras. Terhadap orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dalam melakukan
perbuatan hukum, dia harus diwakili oleh pengampunya, yang disebut dengan istilah kurator. Selain itu, KUH Perdata juga memasukkan istri yang bersuami ke dalam golongan orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Pertimbangannya adalah bahwa hanya diperlukan satu nakhoda untuk sebuah kapal. Dalam sebuah rumah tangga, sang nakhodanya adalah suami (sebagai kepala rumah tangga). Akan tetapi, dalam perkembangan hukum dan realitas tentang ketidakcapakan isteri yang bersuami dewasa ini sudah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dihapusnya ketentuan Pasal 108 dan 110 KUH Perdata berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963. Selain itu, pertimbangan emansipasi wanita, dan peraturan yang mempengaruhi perubahan sikap terhadap ketidakcakapan isteri yang bersuami melakukan perbuatan hukum.
Universitas Sumatera Utara
61
d. Suatu sebab yang halal Sahnya suatu perjanjian, undang-undang mensyaratkan adanya causa. Undang-undang memberikan pengertian tentang kausa, yang dimaksud dengan kausa bukan hubungan sebab akibat, tetapi isi atau maksud dari perjanjian. Melalui syarat ini, di dalam praktik maka hakim dapat mengawasi perjanjian tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Syarat-syarat yang telah dijabarkan diatas tidak hanya berlaku bagi kontrak dalam bentuk tertulis akan tetapi berlaku pula untuk kontrak elektronik (e-contract). Berdasarkan Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2102 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, disebutkan bahwa suatu Kontrak Elektronik dianggap sah apabila: 1) Terdapat kesepakatan para pihak; 2) Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3) Terdapat hal tertentu; dan 4) Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Ketentuan syarat sahnya suatu kontrak elektronik (e-contract) dalam peraturan
pemerintah
tersebut
tidak
jauh
berbeda
dengan
syarat
sahnya
kontrak/perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan kata lain, penyelenggaraan kontrak elektronik tetap mengacu pada ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam hukum perdata.
Universitas Sumatera Utara
62
3.
E-signature E-signature atau tanda tangan digital, ataupun tanda tangan elektronik pada
dasarnya adalah teknik dan mekanisme yang digunakan untuk memberikan kesamaan fungsi dan karaktaristik tanda tangan tertulis (basah) yang dapat diterapkan dalam lingkungan elektronik (functional equivalence approach). Tanda tangan elektronik merupakan data dalam bentuk elektronik yang diletakkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik yang berguna untuk mengidentifikasi penanda tangan dan menunjukkan persetujuan penanda tangan atas informasi elektronik yang dimaksud. Dengan kata lain, tanda tangan elektronik berfungsi sebagai alat verifikasi dan autentikasi.83 Pasal 53 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2102 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, menjelaskan bahwa: a. Tanda Tangan Elektronik berfungsi sebagai alat autentikasi dan verifikasi atas: 1) identitas penanda tangan; dan 2) keutuhan dan keautentikan informasi elektronik. b. Tanda Tangan Elektronik dalam Transaksi Elektronik merupakan persetujuan Penanda Tangan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditandatangani dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut. Tanda tangan elektronik berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah jika: a. Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
83
Joshua Sitompul., Op. Cit., Hlm. 93
Universitas Sumatera Utara
63
b. Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan; c. Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; d. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penanda Tangannya; dan f. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait. Munir Fuady menjelaskan, tanda tangan elektronik baru memiliki kekuatan hukum jika: a. Data pembuatan tanda tangan elektronik hanya terkait dengan pihak penandatangannya. b. Pada saat proses pendandatanganan elektronik, maka data pembuatan tanda tangan elektronik hanya berada dalam kuasa pihak penanda tangan. c. Segala perubahan perubahan terhadap tanda tangan elektronik atau perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut, yang terjadi setelah waktu penandatanganan, dapat diketahui. d. Tersedianya cara-cara tertentu yang diapaki untuk mengidentifikasi siapa pihak penandatangannya. e. Tersedia cara-cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik terkait.84 Adapun cara-cara tertentu untuk mengidentifikasi dari tanda tangan elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, bahwa untuk penyelenggaran tanda tangan elektronik maka harus dilaksanakan dengan sistem terpercaya. Adapun yang dimaksud dengan sistem terpercaya berdasarkan penjelasan Pasal 55 ayat (3) huruf d adalah suatu sistem yang mengikuti prosedur penggunaan Tanda Tangan Elektronik yang memastikan autentitas dan integritas Informasi
84
Munir Fuady. Op. Cit., Hlm. 417
Universitas Sumatera Utara
64
Elektronik. Hal tersebut dapat dilihat dengan memperhatikan beberapa faktor, antara lain: a. Keuangan dan sumber daya; b. Kualitas perangkat keras dan perangkat lunak; c. Prosedur sertifikat dan aplikasi serta retensi data; d. Ketersediaan data pembuatan tanda tangan elektronik; dan e. Audit oleh lembaga independen. Menjamin
keamanan
dari
penandatangan
secara
elektronik,
maka
penyelenggara elektronik harus menerapkan teknik kriptografi yang dimaksudkan untuk menjamin integritas Tanda Tangan Elektronik. Pemilihan teknik kriptografi yang diterapkan untuk keperluan tersebut harus mengacu pada ketentuan atau standar kriptografi yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kriptografi adalah suatu cabang ilmu matematika terapan yang digunakan untuk mengubah pesan ke dalam bentuk yang tidak dapat dibaca secara langsung dan kembali kepada bentuk awalnya. Tujuan penerapan kriptografi adalah untuk menjaga kerahasiaan (confidentiality), intgeritas atau keutuhan (integrity), autentikasi (authentication). Dengan kriptografi, seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara rahasia, sehingga orang lain tidak mengetahui atau mencuri informasi yang dipertukarkan.85 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kedudukan tanda tangan dalam suatu akta atau perjanjian adalah sangat penting, di samping sebagai 85
Joshua Sitompul. Op. Cit., Hlm. 90
Universitas Sumatera Utara
65
bentuk persetujuan dari para pihak dalam membuat suatu perjanjian juga berfungsi sebagai pembuktian. Tanda tangan juga merupakan identitas diri dan sekaligus sebagai simbol semiotik “hukum” bahwa diantara para pihak itu telah melahirkan konsensus untuk tunduk pada norma-noma imperatif yang dibangunnya. Oleh karena itu, hakikat tanda tangan dalam kaitannya dengan tujuan hukum adalah sarana membangun kepastian untuk menjadi pedoman dalam melahirkan peristiwa-peristiwa hukum (seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan perjanjian utang piutang lainnya). M. Yahya Harahap menguraikan pentingnya tanda tangan adalah sebagai syarat yang mutlak, agar tulisan yang hendak dijadikan surat itu ditandatangani pihak yang terlibat dalam pembuatannya. Lebih tegas Yahya Harahap menguraikan bahwa suatu surat atau tulisan yang memuat pernyataan atau kesepakatan yang jelas dan terang, tetapi tidak ditandatangani ditinjau dari segi hukum pembuktian, tidak sempurna sebagai surat atau akta sehingga tidak sah dipergunakan sebagai alat bukti tulisan.86 4.
Elektronik data interchange Menurut kamus TI Pengertian EDI Adalah Metode untuk saling bertukar data
bisnis atau transaksi secara elektronik melalui jaringan komputer. Secara formal EDI didefinisikan oleh International Data Exchange Association (IDEA) sebagai transfer data terstruktur dengan format standard yang telah disetujui yang dilakukan dari satu sistem komputer ke sistem komputer yang lain dengan menggunakan media 86
M. Yahya Harahap., Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) Hlm. 560
Universitas Sumatera Utara
66
elektronik. EDI memiliki standarisasi pengkodean transaksi perdagangan, sehingga organisasi komersial tersebut dapat berkomunikasi secara langsung dari satu sistem komputer yang satu ke sistem komputer yang lain tanpa memerlukan hardcopy, faktur, serta terhindar dari penundaan, kesalahan yang tidak disengaja dalam penanganan berkas dan intervensi dari manusia.87 Prinsip dari teknologi EDI sebenarnya adalah menerjemahkan bahasa aplikasi dari sistim yang sama-sekali berbeda menjadi bahasa yang terstandarisasi, sebagai contoh dalam hal ini UN/EDIFACT yang merupakan singkatan dari United Nation Electronic Data Interchange for Administration, Commerce and Transport, di sini bisa dilihat bahwa bahasa tersebut distandardisasi oleh PBB. Teknologi EDI ini adalah teknologi ‘less investment’ di mana pelaku bisnis tidak perlu lagi membeli peralatan baru sebagai infrastruktur untuk pertukaran dokumennya, dengan kata lain tetap menggunakan peralatan yang telah tersedia. Electronic Data Interchange (EDI) adalah sebuah metode pertukaran dokumen bisnis antar aplikasi komputer antar perusahaan/instansi secara elektronis dengan menggunakan format standar yang telah disepakati, dimana antara dua pihak yang berhubungan yang memiliki sistem dan aplikasi yang berbeda dihubungkan dengan teknologi EDI. Pemanfaatan EDI di Indonesia masih belum mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan. Masih sangat jarang yang memanfaatkan sistem ini sebagai salah satu komponen teknologi informasi. 87
Anonim “Electronic Data Interchange” diakses melalui bloq: http://cophetoes.blogspot. co.id, tanggal 10 September 2016. Pukul 12: 30 WIB
Universitas Sumatera Utara
67
Komponen dasar pada EDI ialah hub (pihak yang memberikan perintah), spoke (pihak yang menerima perintah), komputer (sebagai electronic hardware) dan Electronic software.88 Tujuan utama dari pemakaian teknologi EDI, sebenarnya adalah agar teknologi ini dapat membantu para pelaku bisnis mengkomunikasikan dokumennya dengan pihak lain lebih cepat, akurat dan lebih efisien karena sifatnya yang dapat mengeliminir kesalahan yang diakibatkan proses re-entry dan dapat mengurangi pemakaian kertas, komunikasi dan biaya-biaya lain yang timbul pada metode konvensional sehingga diharapkan dapat menekan biaya-biaya yang tidak diperlukan dan diharapkan dapat meningkatkan laba kepada pemakainya. Apabila proses tersebut terpenuhi, otomatis proses bisnis internal perusahaan tersebut akan menjadi lebih baik, terencana dan pada akhirnya hubungan bisnis dengan pihak lain-pun akan dapat lebih baik. Keuntungan dalam menggunakan EDI adalah waktu pemesanan yang singkat, mengurangi biaya, mengurangi kesalahan, memperoleh respon yang cepat, pengiriman faktur yang cepat dan akurat serta pembayaran dapat dilakukan secara elektronik.89
C. Landasan Hukum Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik Akta notaris secara elektronik atau yang sering disebut dengan cyber notary belakangan ini menjadi objek perbincangan hangat, karena di samping merupakan
88
Nia Naviani, Electronik Data Interchange, diakses melalui bloq: http://niaviniani. blogspot .co.id. Tanggal 13 Spetember 2016. Pukul 11: 45 WIB 89 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
68
suatu kebutuhan akan tindakan cepat, juga karena dibutuhkan suatu pembenaran hukum atas tindakan cepat tersebut.
Serangkaian pembahasan yang telah
dilaksanakan tidak menghasilkan kesepakatan yang dapat dijadikan patokan bagi notaris dalam melakukan tindakan yang berkaitan dengan tugasnya sebagai pejabat umum yang diserahi tugas untuk membuat sebagian besar akta autentik. Permasalahan yang sering muncul dalam perbincangan tentang cyber notary ini adalah akta-akta yang bagaimana yang dimungkinkan dan yang bagaimana tidak dimungkinkan untuk dibuat dalam bentuk cyber notary. Diskusi yang berlangsung 28 Nopember 2009 di Hotel Grand Aquila, Bandung, hampir semua pembicara yang berlatar belakang hukum kenotariatan ketika itu berpandangan bahwa akta autentik untuk saat ini belum bisa berbentuk elektronik. Kalau akta bawah tangan bisa saja, karena bentuk akta merupakan kesepakatan dari para pihak, alasannya adalah: 1. Akta Autentik bentuknya ditentukan oleh peraturan dan belum ada peraturan yang menyatakan bahwa Akta Autentik boleh dalam bentuk elektronik, 2. Akta harus ditandatangani dan sampai saat ini belum ada peraturan yang secara eksplisit dan bersifat lex specialis yang menyatakan bahwa digital signature boleh digunakan untuk menandatangani akta autentik, 3. Pembuatan akta dan penandatanganan harus dihadiri dan disaksikan oleh Notaris dan para saksi dan sampai saat ini belum ada peraturan yang menyatakan bahwa Notaris boleh menyaksikan penandatanganan melalui, misalnya, teleconference.90
90
Ahmadi Miru, Makalah, Cyber Notary Dari Sudut Pandang Sistem Hukum Indonesia Dan Pemberlakuan Cyber Notary Di Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Jabatan Notaris, seminar Hukum Cyber Notary, yang diadakan oleh Asosiasi Mahasiswa Hukum Perdata Fakultas Hukum UNHAS (AMPUH) pada hari Sabtu 25 Juni 2011, di Hotel Mercure, Makassar.
Universitas Sumatera Utara
69
Permasalahan mengenai pembuatan akta notaris secara elektronik timbul kepermukaan karena terbukanya kemungkinan untuk melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan menggunakan sarana media elektronik dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Penyelenggaran RUPS dapat dilakukan melalui media elektronik diatur dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), mensyaratkan dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham melalui media telekonferensi agar membuat risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta Rapat Umum Pemegang Saham. Tetapi, dalam Pasal 90 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, risalah RUPS yang telah dibuat dengan Akta Notaris tidak disyaratkan untuk ditandatangani oleh semua peserta Rapat Umum Pemegang Saham. Pembutan Akta Notaris dalam pelaksanaan RUPS melalui telekonferensi dalam rangka perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas dapat dilakukan dengan menggunakan 2 cara yaitu Akta yang dibuat langsung oleh notaris dalam bentuk Akta Berita Acara atau Akta Relaas (ambtelijke akten) dan Akta Pernyataan Keputusan Rapat (partij akten).
Universitas Sumatera Utara
70
Pelaksanaan RUPS melalui telekonferensi guna perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas dibuat ke dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat (partij akten), maka pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat dilakukan dengan memberi kuasa kepada salah seorang yang hadir dalam rapat untuk membuat dan menyatakan kembali risalah rapat di hadapan Notaris. Pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat (partij akten) tidak memiliki permasalahan yang muncul karena pembuatan Akta Notaris dilakukan secara konvensional. Pelaksanaan RUPS melalui telekonferensi guna perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas dibuat ke dalam Akta Berita Acara atau Akta Relaas (ambtelijke akten), maka notaris harus hadir secara langsung mengikuti RUPS guna mencatat segala perbuatan hukum yang terjadi atas suatu keadaan yang didengar, dilihat atau disaksikan oleh notaris sendiri ke dalam Akta Berita Acara. Permasalahan yang muncul dalam pembuatan akta Berita Acara atau Akta Relaas (ambtelijke akten) pada RUPS melalui telekonferensi adalah Notaris dalam pembuatan akta Acara Berita RUPS tidak melakukan pertemuan fisik secara langsung kepada para peserta Rapat Umum Pemegang Saham karena RUPS diadakan melalui telekonferensi. Keadaan ini tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf l juncto Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 bahwa Notaris harus hadir secara fisik dalam membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan menandatangani akta di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris. Jika ketentuan Pasal
Universitas Sumatera Utara
71
16 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tidak dipenuhi maka Akta Notaris hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Akta Berita Acara RUPS melalui media telekonferensi merupakan Akta autentik yang dibuat oleh Notaris (pejabat umum) disebut dengan akta relaas (relaas acten) atau Akta Berita Acara yang berisi uraian yang dilihat atau didengar sendiri secara langsung oleh notaris yang dilakukan oleh dan atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak dilakukan dan dituangkan ke dalam bentuk Akta Notaris. Akta Berita Acara RUPS sebagai akta autentik merupakan salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata yaitu alat bukti tertulis yang termasuk pada alat bukti tertulis autentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna (Pasal 1870 KUH Perdata), sehingga Akta Berita Acara RUPS harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam akta tersebut, walaupun demikian Akta Berita Acara RUPS sebagai akta autentik masih dapat dilumpuhkan oleh bukti Notaris dalam pembuatan Akta Berita Acara RUPS melalui media telekonferensi sebagai akta autentik harus memenuhi syarat-syarat pembentukan akta autentik yang terdiri dari sebagai berikut: 1) Dibuat dihadapan Pejabat yang berwenang (Pasal 1 Angka 7 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris). 2) Ketentuan Penghadap dan Saksi yang menghadap Notaris diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Universitas Sumatera Utara
72
3) Hal-hal yang harus dicantumkan dalam Akta Notaris (Pasal 38 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris) 4) Notaris Membacakan Akta di Hadapan Para Penghadap (Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris). 4) Ditandatangani Semua Pihak (Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris). 5) Pembacaan, Penerjemahan atau Penjelasan dan Penandatanganan Pada Akhir Akta (Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris). Dengan demikian, kehadiran secara fisik Notaris dalam pembuatan Akta Berita Acara Rapat ditinjau secara yuridis memiliki ketidak harmonisasi antara Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dengan Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berlakunya asas preferensi hukum “lex specialis derogat legi generali” mengakibatkan terjadi pergeseran arti dari kata menghadap yang “harus secara fisik”, pada penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menjadi difasilitasi oleh media lain secara elektronik, khususnya RUPS yang dilakukan secara telekonferensi pada Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga ketentuan Pasal 16 ayat (9) tidak berlaku dan Akta Berita Acara RUPS melalui media telekonferensi tetap menjadi akta autentik.
Universitas Sumatera Utara
73
Permasalahan mengenai pembuatan akta notaris secara elektronik dalam RUPS sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (1) UUPT tidak hanya berbenturan dengan ketentuan yuridis mengenai kehadiran dari notaris, para pihak dan juga saksi sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (9) UUJN. Tetapi, persoalan hukum yang lebih urgen adalah adanya pembatasan terhadap pembuatan akta notaris secara elektronik dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE. Dengan demikian, pembuatan akta notaris secara elektronik masih perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut, kemungkinan dibuatnya akta notaris dengan menggunakan media elektronik perlu dilakukan dengan berbagai pendekatan, terutama dengan pendekatan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), UU ITE dan UU Perseroan Terbatas. 1.
Pembuatan akta notaris secara elektronik berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Perdata Ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata mengatur bahwa suatu akta notaris dapat
menjadi akta autentik apabila memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Berdasarkan pengertian akta autentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata maka ada 3 (tiga) syarat suatu akta dapat dinyatakan menjadi autentik, yaitu: a. Pertama, akta dibuat di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, maksudnya adalah pembuatannya harus memenuhi ketentuan undang-undang. b. Kedua, keharusan pembuatannya dihadapan atau oleh pejabat umum, maksud dari pembuatan dihadapan menunjukkan bahwa akta tersebut dibuat atas
Universitas Sumatera Utara
74
permintaan seseorang, sedangkan pembuatan oleh Pejabat Umum karena adanya suatu kejadian, pemeriksaan, keputusan dan lain-lainnya sebagai contoh adalah risalah rapat. c. Ketiga, pejabat harus memiliki kewenangan ditempat akta tersebut di buat, maksud dari berwenang di sini menyangkut 3 hal, yaitu: jabatanya dan jenis akta yang dibuat. Pembuatan akta secara elektronik oleh notaris sangat sulit untuk diwujudkan, apabila mengacu pada tiga syarat pembuatan akta autentik yang ditetapkan dalam Pasal 1868 KUH Perdata, karena ketiga syarat tersebut tidak dapat atau tidak akan dapat dipenuhi bila akta notaris dibuat secara elektronik.
Pasal 1868 BW,
mengandung makna adanya 2 macam bentuk akta yang dibuat oleh pejabat notaris, yaitu: a. Akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten), yaitu akta yang dibuat oleh notaris memuat uraian dari notaris suatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris, sebagai contoh relaas akta misalnya berita acara rapat para pemegang saham perseroan terbatas, berita acara undian berhadiah dan sebagainya. b. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta partij (partij akten), yaitu akta yang dibuat oleh notaris berdasarkan apa yang diterangkan para pihak kepada notaris dalam melaksanakan jabatannya
Universitas Sumatera Utara
75
dimana para pihak ingin agar keterangan atau perbuatan tersebut dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta autentik, sebagai contoh partij akta misalnya perjanjian hibah, jual beli, tukar menukar dan sebagainya.91 Menurut R. Subekti, berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, maka ada dua macam akta autentik, yaitu: Suatu yang dibuat oleh dan suatu yang dibuat dihadapan pegawai umum yang ditunjuk oleh undang-undang. Apabila seorang notaris membuat suatu perslag atau laporan tentang suatu rapat yang dihadirinya dari para pemegang sero dari suatu perseroan terbatas, maka proses verbal itu merupakan suatu akta autentik yang telah dibuat oleh notaris tersebut. Begitu pula proses perbal yang dibuat oleh juru sita Pengadilan tentang pemanggilan seorang tergugat atau seorang saksi merupakan suatu akta otentuk yang dibuat oleh juru sita tadi. Akta-akta tersebut merupakan suatu laporan (relas) tentang suatu perbuatan resmi yang telah dilakukan oleh pegawai umum.92 Penandatanganan dalam akta partij oleh para pihak merupakan suatu keharusan, penandatanganan dalam akta partij berarti bahwa memang benar yang bersangkutan memberi keterangan dihadapan Notaris. Hal mana ditentukan dalam Pasal 1874 KUH Perdata ayat (2) dan (3) yang selengkapnya berbunyi: Penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut. Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud. R. Subekti menjelaskan, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akta dan
91 92
G. H. S Lumban Tobing, Op. Cit., Hlm. 50-51 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2010), Hlm. 26-27
Universitas Sumatera Utara
76
surat-surat lain. Surat akta ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani.93 Dengan demikian, penandatanganan suatu akta merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh para pihak dan juga notaris sebagai pejabat publik yang mengetahui dan atau membuat akta tersebut. Sedangkan dalam akta relaas tidak menjadi masalah apakah orang-orang yang hadir tersebut menolak untuk menandatangani akta itu, misalnya pada pembuatan Akta Berita Acara Rapat Para Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas, orang-orang yang hadir dalam rapat tersebut telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditanda tangani, maka Notaris cukup menerangkan di dalam akta bahwa para pemegang saham/peserta rapat yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta tersebut dan akta tersebut tetap sah merupakan akta autentik. Perbedaan antara kedua jenis akta tersebut adalah pada pemberian pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta itu. Kebenaran isi akta pejabat (ambtelijk akta) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu, sedangkan pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh bahwa akta tersebut akta palsu akan tetapi dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan yang diuraikan dalam akta itu adalah tidak benar, artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenalkan pembuktian sebaliknya. Berdasarkan dua bentuk akta notaris tersebut, dapat terlihat bahwa salah satu
93
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2009), Hlm. 178
Universitas Sumatera Utara
77
perbuatan hukum yang tidak dapat lepas dalam pembuatan akta autentik adalah pembubuhan tanda tangan. Dalam pembuatan akta yang diwajibkan membubuhkan tanda tangan tidak hanya Notaris, melainkan para pihak serta para saksi diwajibkan untuk membubuhkan tanda tangannya. Sedangkan pembuatan akta para pihak menerangkan kehendaknya dihadapan Notaris dan kehendak tersebut dituangkan ke dalam sebuah akta autentik yang dibacakan oleh Notaris dihadapan para pihak, apabila para pihak sudah mengerti dan menyetujui isi akta tersebut maka para pihak berkewajiban membubuhkan tanda tangan, diikuti oleh para saksi-saksi dan Notaris. Tanda tangan sendiri penting keberadaannya, karena dengan adanya tanda tangan berarti orang yang menandatangani mengetahui dan menyetujui isi dari akta tersebut, sehingga dengan demikian orang tersebut terikat dengan isi dari akta tersebut. Menurut Tan Thong Kie, tanda tangan adalah “suatu pernyataan kemauan pembuat tanda tangan (penanda tangan), bahwa ia dengan membubuhkan tanda tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri”.94 Pembubuhan tanda tangan ini sering dilihat dalam penutup akta, dimana terdapat satu klausul yang menyebutkan sebagai berikut: “Setelah saya, Notaris membacakan akta ini kepada para penghadap dan para saksi, maka segera para penghadap, para saksi dan saya, Notaris menandatangani akta ini”. Demikian pula halnya dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, mengatur tentang penandatanganan akta yang dibuat dihadapan atau
94
Tan Thong Kie, Studi Notariat Dan Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007) Hlm. 473
Universitas Sumatera Utara
78
dibuat oleh pejabat notaris. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagai implementasi Peraturan Jabatan Notaris mengatur juga tentang ketentuan penandatanganan yaitu sebagai berikut: (1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya. (2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada akhir akta. Pasal 44 ayat (1) ini memberikan suatu kewajiban bagi para penghadap untuk menandatangani akta setelah dibacakan oleh Notaris, dengan pengecualian apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan maka penghadap tersebut harus menyebutkan alasan yang nantinya akan dinyatakan secara tegas pada akhir akta tersebut. Hal ini menimbulkan penafsiran apabila seorang penghadap tidak dapat membubuhkan tanda tangannya diakibatkan sakit, cacat atau buta aksara maka orang tersebut dapat tidak menandatangani akta tersebut dengan hanya menyebutkan alasannya secara tegas dalam akhir akta dan penghadap diperbolehkan tidak membubuhkan tanda-tanda lainnya dalam akta sebagai bentuk pengindividualisiran akta. Praktek kenotariatan apabila seseorang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya maka akan dibubuhkan cap jempol ibu jari tangan kirinya pada akta autentik tersebut sebagai pengindividualisiran suatu akta. Hal ini menyebabkan adanya pembedaan antara tanda tangan dengan cap jempol, serta jelas dalam Pasal 44 ayat (1) UU Perubahan Atas UUJN tersebut dapat ditafsirkan bahwa penggunaan cap
Universitas Sumatera Utara
79
jempol sebagai sebuah tanda tangan dalam akta autentik dalam UUJN, eksistensi cap jempol sebagai tanda tangan tidak diakui. Keharusan adanya tanda tangan dalam sebuah akta tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain, jadi fungsi tanda tangan adalah untuk mengindividualisir suatu akta. Penandatanganan dalam suatu akta adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf berupa singkatan tanda tangan saja dianggap tidak cukup, nama tersebut harus ditulis tangan oleh si penanda tangan sendiri atas kehendaknya sendiri.95 Pengaturan tentang autentik dalam Pasal 1868 KUH Perdata, dapat dipahami bahwa secara yuridis bahwa pembuatan akta oleh pejabat notaris secara elektronik sesuai dengan perkembangan teknologi informasi belum dapat dilakukan, terlebih pembuatan akta dalam bentuk akta relaas. Hal ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Notaris Syamsurizul. A. Bispo, sebagai berikut: “Peluang untuk membuat akta secara media elektronik selain akta relas, masih belum bisa dilakukan. Karena belum di atur didalam UU. Dan notaris juga memiliki Klausul Hadir dihadapan saya, oleh karena ini akta partij harus dibuat secara langsung dengan para penghadap harus hadir dihadapan notaris”.96 Dengan demikian, pembuatan akta secara elektronik berdasarkan ketentuan Hukum Perdata belum dimungkinkan untuk dilaksanakan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Notaris Rosniaty, yang menjelaskan bahwa:
95
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yokyakarta: Liberty, 2009)
Hlm. 152. 96
Hasil wawancara dengan Notaris Syamsul. A. Bispo, pada tanggal 13 Agustus 2016.
Universitas Sumatera Utara
80
Aturan umum dalam pembuatan akta oleh pejabat notaris adalah KUH Perdata, sehingga selain mengacu pada ketentuan UUJN, maka notaris juga mengacu kepada ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata. Mengenai pembuatan akta autentik oleh notaris, redaksi Pasal 1868 KUH Perdata tidak sedikitpun memberikan celah bagi notaris untuk membuat akta secara elektronik, terlebih pembuatan akta dalam bentuk akta relaas.97 Demikian pula pendapat yang dikemukakan oleh Notaris Tony, dalam keterangannya ketika di wawancarai beliau menjelaskan bahwa: Dalam hal pembuatan akta oleh pejabat notaris, dikenal ada 2 (dua) bentuk akta, yaitu akta relaas dan akta partij. Untuk jenis akta relaas, jelas akta ini tidak dapat dibuat secara elektronik, oleh sebab dalam pembuatan akta ini harus disaksikan sendiri oleh pejabat notaris. Namun, untuk jenis akta partij masih dimungkinan dibuat secara elektronik, akan tetapi belum ada pengaturan secara khusus tentang hal itu.98 Berdasar pada pendapat narasumber di atas, dapat dipahami pembuatan akta secara elektronik oleh pejabat notaris, belum terkonsep dalam KUH Perdata. Sebaliknya ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, tidak memungkinkan pembuatan akta secara elektronik oleh pejabat notaris, oleh karena adanya keharusan para pihak dan saksi untuk membubuhkan tanda tangannya, terlebih dalam pembuatan akta partij, di mana adanya keinginan para pihak yang harus dikonstartir oleh notaris. 2. Pembuatan akta notaris secara elektronik berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris Pembuatan akta notaris secara elektronik, selain mengacu kepada ketentuan KUH Perdata juga mengacu kepada ketentuan peraturan Jabatan Notaris, yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang perubahan ke II atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Sehubungan dengan pembuatan akta notaris 97 98
Hasil wawancara dengan Notaris Rosniaty. pada tanggal 15 Agustus 2016. Hasil wawancara dengan Notaris Tony. pada tanggal 15 Agustus 2016.
Universitas Sumatera Utara
81
secara elektronik, perlu diperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 UUJN, yang selengkapnya berbunyi: “akta notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris”. Apabila dicermati, substansi Pasal 1 angka 7 UUJN tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang mengharuskan pembuatan akta notaris dilaksanakan dihadapan notaris. Ketentuan ini menjadi suatu hambatan bagi notaris ketika menerapkan perkembangan teknologi informasi dalam memberikan layanan jasa notaris, khususnya pembuatan akta secara elektronik. Oleh karena, dalam proses pembuatan akta dilakukan secara elektronik, mulai dari penghadapan para pihak, pertukaran informasi secara transaksi elektronik, dan penggunaan tanda tangan digital, dilakukan tanpa kehadiran para pihak. Sebaliknya, ketidakhadiran para pihak dalam pembuatan akta elektronik merupakan alasan yang mendasar dalam pembuatan akta secara elektronik tersebut, mengingat efektivitas dan efisiensi waktu dan juga biaya. Maksud dari frasa kata menghadap, penghadap, berhadapan, dalam Pasal 1 angka 7 merupakan terjemahan dari kata verschijnen yang berarti datang menghadap yang dimaksud dalam artian yuridis adalah kehadiran nyata.99 Lebih lanjut, Pasal 16 ayat (7) menyebutkan: Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena 99
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, (Bandung: Refika Aditama, 2011). Hlm.147
Universitas Sumatera Utara
82
penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Berdasarkan redaksi pasal 16 ayat (7), Meskipun terdapat kemungkinan bagi notaris untuk tidak membacakan akta dihadapan para pihak, namun bukan berarti karena para pihak tidak berada dihadapan notaris, oleh karena alasan mengenai tidak dibacakannya akta notaris oleh notaris harus dinytakan dalam penutup akta, dan kemudian diparaf oleh penghadap, saksi dan juga notaris. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa terdapat keharusan atau kewajiban penandatangan akta autentik yang dibuat dihadapan atau oleh notaris. Lebih lanjut Pasal 16 ayat (9) menyebutkan: “Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan”. Sehingga, keadaan di mana tidak dibacakannya akta oleh notaris dan tidak ditandatanganinya akta oleh para pihak setelah pembacaan akta akan berdampak pada kekuatan hukum akta tersebut. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 16 ayat (9), hanya memiliki kekuatan pembuktian di bawah tangan. Konsekuensi hukum ini jelas tidak sesuai dengan tujuan pembuatan akta dihadapan atau oleh pejabat notaris, yang bertujuan agar peristiwa hukum yang dicatatkan dalam akta tersebut memiliki kekuatan hukum sebagai akta autentik. Pembuatan akta autentik secara elektronik oleh pejabat notaris juga dibatasi oleh ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a yang menentukan bahwa pejabat notaris
Universitas Sumatera Utara
83
dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsep perkembangan teknologi informasi yang tidak memiliki batas-batas yurisdiksi. Di mana setiap orang dapat melakukan hubungan atau transaksi dengan menggunakan sarana elektronik, tanpa dibatasi oleh jarak, ruang dan waktu. Sementara itu, pejabat notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangan memiliki batasan atau lingkup wilayah yang menjadi daerah kewenangannya. Hal ini jelas tidak memungkinkan bagi seorang notaris, jika permintaan pembuatan akta secara elektronik di luar wilayah tugasnya. Sebagai contoh, misalnya A berada di daerah Labuhan Batu, sedangkan B (notaris) memiliki wilayah tugas di kota Medan, dan si C ingin membeli Tanah milik si A yang berada di kota Labuhan Batu. Karena si C mengenal Notaris B, maka pembuatan akta jual beli tanah antara si A dan si C dilakukan secara elektronik, dengan dibuat oleh si B (notaris). Dalam hal ini, meskipun si C mengenal baik si B sebagai pejabat notaris, namu si B (notaris) tidak memiliki kewenangan membuat akta pelepasan/jual beli antara si A dan si C. Oleh karena objek jual beli tanah tersebut berada di luar yurisdiksi kewenangan dari si B sebagai pejabat notaris yang memiliki wilayah tugas di Kota Medan. Perkembangannya pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, di mana wilayah kerja PPAT menjadi 1 Propinsi. Jadi, PPAT yang berkedudukan di Kota medan misalnya bisa membuat akta-akta PPAT sampai Labuhan Batu, Padang Sidimpuan, Toba
Universitas Sumatera Utara
84
Samosir dan seterusnya selama masih dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara. Tetapi, ketentuan ini hanya berlaku bagi PPAT, tidak bagi notaris, kecuali pejabat notaris merangkap sebagai PPAT. Sedangkan untuk kewenangan bagi pejabat notaris sendiri masih berdasarkan pada pembagian wilayah kerja, yakni berdasarkan lingkup wilayah kerja kabupaten/kota. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penggunaan teknologi dalam pembuatan akta notaris mengacu pada UUJN masih belum dimungkinkan, sebab secara yuridis UUJN belum mengakomodir penggunaan teknologi informasi dalam pembuatan akta notaris. Meskipun dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN, disebutkan bahwa selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun maksud kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangan-undangan bukanlah kewenangan pembuatan akta secara elektronik. Disebutkan dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3), yang selengkapnya berbunyi: “dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang”. Berdasarkan penjelasan Pasal 15 ayat (3), dapat diketahui bahwa kewenangan notaris dalam penerapan teknologi informasi hanya sebatas dalam mensertifikasi transaksi elektronik yang dilakukan secara elektronik. Namun mengenai bagaimana tindak lanjut dari kewenangan mensertifikasi transaksi secara elektronik tersebut,
Universitas Sumatera Utara
85
dalam UUJN tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Dengan demikian, pelaksanaan kewenangan notaris terkait dengan pembuatan akta notaris secara elektronik masih mengalami kendala secara yuridis bila dilihat dari substansi hukum pembuatan akta autentik oleh pejabat notaris yang diatur dalam UUJN. 3.
Pembuatan Akta Notaris secara elektronik berdasarkan Undang-undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pembuatan akta notaris secara elektronik oleh Notaris, seyogyanya UU ITE
merupakan landasan hukum berpijak bagi notaris. Namun sebaliknya bukannya dapat dijadikan sebagai dasar hukum, UU ITE secara tegas menegaskan bahwa pembuatan akta notaril tidak dapat termasuk dalam informasi elektronik dan atau dokumen elektronik. Pasal 5 ayat (4) UU ITE, menyatakan bahwa ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak berlaku untuk: a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat secara tertulis; dan b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Penjelasan Pasal 5 ayat (4) huruf a UU ITE, surat yang menurut undangundang harus dibuat tertulis tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara. Ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU ITE, mempunyai korelasi dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU ITE. Pasal 8 ayat (3) UU ITE menyatakan bahwa dokumen elektronik dan tanda tangan digital tidak berlaku untuk:
Universitas Sumatera Utara
86
a. b. c. d. e.
Pembuatan dan pelaksanaan surat wasiat; Surat-surat berharga selain saham yang diperdagangkan di bursa efek; Perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak; Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan; dan Dokumen-dokumen lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan adanya pengesahan notaris atau pejabat yang berwenang. Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap kedudukan dokumen
elektronik dan tanda tangan digital, karena dalam pembuatan dan pelaksanaan surat wasiat, surat berharga, perjanjian yang obyeknya barang tidak bergerak, dokumen hak kepemilikan, dokumen elektronik dan tanda tangan digital tidak memiliki kedudukan yang sama dengan dokumen tertulis lainnya dan tanda tangan manual pada umumnya. Hal ini berarti bahwa surat beserta dokumennya yang menurut peraturan perundangundangan mengharuskan dibuat dalam akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta, juga dikecualikan sebagai dokumen elektronik dengan tanda tangan digital. Pasal 5 ayat (4) UU ITE menegaskan bahwa apabila dokumen-dokumen yang dikecualikan tersebut dibuat dalam dokumen elektronik maka tidak bisa berfungsi sebagai alat bukti yang sah. Ketentuan UU ITE yang berkaitan dengan surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril, mengandung arti bahwa surat beserta dokumen yang diharuskan oleh undang-undang dibuat dalam bentuk akta notaril dikecualikan dari ketentuan UU ITE. Wewenang notaris ini apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE yang menyatakan bahwa dokumen yang mengharuskan dibuat dalam akta notaril dan dokumen yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk
Universitas Sumatera Utara
87
akta notaril, maka ketentuan tersebut tidak akan mencapai maksud dan tujuan dari UU ITE yaitu dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik tidak dapat menggantikan kedudukan akta autentik yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan kata lain, UU ITE membatasi bahwa dokumen elektronik tidak berlaku terhadap dokumen atau akta yang harus dibuat berdasarkan akta notaril (notaris).
4. Pembuatan Akta Notaris secara elektronik berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Perkembangan masyarakat dan teknologi, muncul kebiasaan dan kebutuhan masyarakat untuk menggunakan teknologi dan informasi dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berinteraksi antar sesamanya. Misalnya saja dalam transaksi bisnis dari pola konvensional dengan cara tatap muka atau kontrak offline, bergeser ke era kontrak elektronik melalui komputer dengan cara kontrak online.100 Tentu saja model kontrak online tidak bertentangan dengan kontrak offline, yang membedakan keduanya hanyalah media penghubungnya. Kontrak atau perjanjian hanya suatu pristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.101 Dengan demikian pembuatan kontrak dengan cara berhadap-hadapan atau face to face misalnya antara para pihak, penjual dan pembeli dapat menggunakan media
100
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007) Hlm. 2 101 Ahmadi Miru, Undang-Undang Perseroan Terbatas 2007 dan Penjelasannya, (Yokyakarta: Gradien Mediatama, 2007) Hlm. 51
Universitas Sumatera Utara
88
internet, baik melalui electronic mail, teleconference, video conference dan lain sebagainya. Perkembangan teknologi informasi telah menimbulkan dampak pada perkembangan hukum, yaitu di bukanya peluang untuk melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) melalui media telekonferensi sebagaimana diatur Pasal 77 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi: Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.102 Permasalahan yang muncul kemudian dari RUPS Telekonferensi adalah tentang tata cara pelaksanaannya. Di dalam Pasal 77 ayat (4) menyebutkan bahwa Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.103 Pasal 90 ayat (1) mengatur bahwa setiap risalah RUPS wajib dibuat dan ditanda tangani oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. Lebih lanjut, dalam ayat (2) disebutkan bahwa penandatangan tidak disyaratkan apabila risalah rapat tersebut dibuat dengan akta notaris.
102
Ibid. Ahmadi Miru, Makalah, “Cyber Notary Dari Sudut Pandang Sistem Hukum Indonesia dan Pemberlakuan Cyber Notary di Indonesia Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris”, Op. Cit, Hlm. 10 103
Universitas Sumatera Utara
89
Berdasarkan ketentuan Pasal di atas, dapat dipahami bahwa tidak semua RUPS dibuat atau dicantumkan dalam akta notaris. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bentuk RUPS yang harus dicantumkan dalam akta notaris. Pasal 77 ayat (4) menjelaskan bahwa setiap perubahan yang berhubungan dengan anggaran dasar dari Perseroan Terbatas harus dibuat risalah rapat dan harus dituangkan dalam akta autentik, yaitu akta Notaris. Dengan demikian, maka dalam perubahan anggaran dasar perseroan diwajibkan untuk membuat risalah rapat pemegang saham dalam akta autentik. Sehingga pembuatan akta risalah rapat umum pemegang saham tersebut tidak saja melibatkan para pemegang saham, tetapi juga melibatkan jasa pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta yang dalam hal ini adalah pejabat notaris. Rapat Umum Pemegang Saham terdiri dari RUPS tahunan dan RUPS lainnya. RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. RUPS tahunan dapat diajukan oleh 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham atau Dewan Komisaris. Sedangkan RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan perseroan. Dalam praktek yang dimaksud RUPS lainnya dikenal sebagai RUPS luas biasa.104 Apabila RUPS dilakukan melalui media elektronik, maka tidak menutup kemungkinan jika notaris akan membuat akta risalah RUPS dalam bentuk elektronik
104
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Permata Aksara, 2012), Hlm.
112-113.
Universitas Sumatera Utara
90
juga. Inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu perbincangan tentang cyber notary di Indonesia.105 Dengan demikian, UUPT telah memberikan peluang kepada Notaris di Indonesia untuk memberikan penyelenggaraan jasa secara elektronik atau yang dikenal dengan cyber notary. Walaupun demikian, dalam perkembangannya diwacanakan untuk membuat suatu akta notaris melalui media elektronik, tentu saja masih membutuhkan pengkajian lebih lanjut agar dapat berjalan tanpa menimbulkan suatu masalah hukum baru. Memenuhi tuntutan masyarakat akan kemudahan dalam sistem pelayanan administrasi, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menerbitkan Peraturan Menteri No. 1 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dsaar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas. Pasal 1 angka 3 PermenKum-HAM No. 4 Tahun 2016 disebutkan bahwa: “Sistem Administrasi Badan Hukum yang selanjutnya disingkat SABH adalah pelayanan jasa teknologi informasi Perseroan secara elektronik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum”. Berdasarkan PermenKum-HAM No. 1 Tahun 2016, maka permohonan pengesahan badan hukum Perseroan diajukan oleh Pemohon kepada Menteri melalui sistem administrasi badan hukum yang dapat diajukan secara elektronik. Demikian pula nama Perseroan yang telah disetujui oleh Menteri diberikan persetujuan pemakaian nama secara elektronik. Dalam hal format pendirian perseroan 105
telah
Ahmadi Miru., Op.Cit., Hlm. 6
Universitas Sumatera Utara
91
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
Menteri
langsung
menyatakan tidak berkeberatan atas permohonan pengesahan badan hukum perseroan secara elektronik. Selanjutnya Menteri menerbitkan keputusan mengenai pengesahan badan hukum Perseroan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pernyataan tidak berkeberatan dari Menteri. Keputusan Menteri disampaikan kepada pemohon secara elektronik, kemudian Notaris dapat langsung melakukan pencetakan Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan untuk selanjutnya ditandatangani dan dibubuhi cap jabatan oleh Notaris serta memuat frasa yang menyatakan “Keputusan Menteri ini dicetak dari SABH”. Apabila dicermati pelaksanaan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas yang diatur dalam PermenKum-HAM No. 1 Tahun 2016, semua proses pembuatan akta tidak murni dilakukan secara elektronik. Oleh karena, pada tahap akhir proses pengesahan badan hukum perlu dilakukan penandatanganan dan pembubuhan cap jabatan oleh notaris yang bersangkutan. Artinya, pembuatan akta perubahan badan hukum oleh notaris tidak dibuat secara elektronik, hanya pada tahapan permohonan dan pengesahan Menteri yang dapat dilaksanakan secara elektronik. Mengacu pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan jabatan notaris dalam kewenangannya sebagai pejabat pembuat akta, pembuatan akta secara elektronik oleh pejabat notaris untuk saat ini belum dimungkinkan. Hal ini didasari
Universitas Sumatera Utara
92
belum adanya kepastian hukum yang menjadi landasan berpijak bagi notaris terkait dengan kewenangannya dalam membuat akta secara elektronik. Meskipun dalam Pasal 77 ayat (1) UUPT No. 40 Tahun 2007, dimungkinkan bagi notaris untuk membuat akta dengan menggunakan sarana atau melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya, akan tetapi ketentuan ini pada dasarnya dibatasi oleh Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembuatan akta secara elektronik belum memperoleh kepastian hukum. Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum atau undang-undang itu tidak ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan. Di mana undang-undang dibuat berdasarkan “rechtswerkelijkheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-undang tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan berlain-lainan. Sementara itu, UUPT No. 40 Tahun 2007 yang memberikan peluang bagi notaris untuk membuat akta secara elektronik belum dapat diterapkan karena terdapat pertentangan atau belum adanya harmonisasi hukum antara undang-undang yang satu dengan lainnya, khususnya antara UUJN dan UU ITE. Kepastian hukum sangat identik dengan pemahaman positivisme hukum, dimana undang-undang dan hukum diidentikkan, artinya, setiap peristiwa hukum yang terjadi di tengah masyarakat haruslah memiliki sarana atau undang-undang yang mengaturnya, sehingga peristiwa tersebut dapat memiliki kekuatan hukum dan memperoleh perlindungan hukum.
Universitas Sumatera Utara