ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
48
BAB II LANDASAN FILOSOFI KEPUTUSAN FIKTIF NEGATIF PEJABAT TATA USAHA NEGARA
2.1. Prinsip Good Governance Munculnya
konsep
good
governance
berawal
dari
adanya
kepentingan lembaga-lembaga donor seperti PBB, Bank Dunia, ADB maupun IMF dalam memberikan bantuan pinjaman modal kepada negaranegara yang sedang berkembang. Dalam perkembangan selanjutnya good governance ditetapkan sebagai syarat bagi negara yang membutuhkan pinjaman dana, sehingga good governance digunakan sebagai standar penentu untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.43 Konsep good governance mengemuka menjadi paradigma tidak dapat dilepaskan dari adanya konsep governance, yang menurut sejarah pertama kali diadopsi oleh para praktisi di lembaga pembangunan internasional, yang mengandung konotasi kinerja efektif yang terkait dengan management publik dan korupsi.44 Pengertian good governance secara sekilas bisa diartikan sebagai pemerintahan yang baik, akan tetapi wujudnya bagaimana dan bagaimana hal itu dapat dicapai masih membutuhkan pemahaman yang lebih dalam lagi. Secara umum penyelenggaraan pemerintahan yang dimaksud dalam
43
Hafifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi Dan Good Governance, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, h. 5. 44 Sadjijono, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2011, h. 141
THESIS
48
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
49
good governance itu berkaitan dengan isu transparansi, akuntabilitas publik, dan sebagainya. Secara konseptual dapat dipahami bahwa good governance menunjukkan suatu proses yang memposisikan rakyat dapat mengatur ekonominya. Institusi serta sumber sosial dan politiknya tidak hanya sekedar dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan integrasi bagi kesejahteraan rakyat. Good governance juga dipahami sebagai suatu penyelenggaraan
manajemen
pemerintahan
yang
solid
dan
bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar, pemerintahan yang efisien, serta pemerintahan yang bebas dan bersih dari kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).45 Menurut I Gede Winasa, dalam konsep good governance pada hakikatnya didukung oleh tiga kaki, yakni :46 a. Tata pemerintahan di bidang politik dimaksudkan sebagai proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan publik. Penyusunannya baik dilakukan oleh birokrasi maupun birokrasi bersama politis. Partisipasi masyarakat dalam proses ini tidak hanya pada tataran implementasi, melainkan mulai dari formulasi, implementasi, sampai evaluasi. b. Tata pemerintahan di bidang ekonomi, meliputi proses pembuatan keputusan untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara para penyelenggara ekonomi. Sektor pemerintahan
45
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Cetakan I, Nuansa, Bandung, 2010, h. 81-82. 46 I Gede Winasa, Best Practices Reformasi Birokrasi, disampaikan pada Workshop, Surakarta, 2007, h. 1.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
50
diharapkan tidak terlampau banyak campur dan terjun langsung pada sector ekonomi karena ini bisa menimbulkan distorsi mekanisme pasar. c. Tata pemerintahan di bidang adminisrasi adalah berisi implementasi kebijakan yang telah diputuskan oleh institusi politik. Pelayanan umum (public service) adalah produk yang dihasilkan oleh pemerintah. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan haknya, maka pelayanan umum menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan dan pengembangan pelayanan publik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat menjadi suatu tugas bagi setiap pemerintahan. Berbagai terobosan kebijakan pun gencar dilakukan demi dan untuk peningkatan pelayanan kesejahteraan masyarakat. Pelayan publik selama ini telah menjadi ranah di mana negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi langsung dengan pihak non pemerintah. Dalam ranah ini telah terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan masyarakat, dan baik atau buruknya dalam pelayanan publik sangat dirasakan oleh masyarakat tersebut. Ini sekaligus membuktikan, jika terjadi perubahan signifikan dalam pelayanan publik dengan sendirinya manfaat dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik good governance dalam pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan masyarakat.47
47
Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 20.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
51
Untuk itu pemerintah dituntut untuk lebih kreatif, inovatif, dan cerdas tentang mana yang harus dilakukan dan diprioritaskan, selain juga mampu membedakan antara yang urgen dan yang tidak perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keterbatasan sumber daya, menghemat dan menambah sumber aset publik melalui investasi publik dengan tidak membebani mereka. Salah satu contoh adalah terkait masalah pemberian izin.48 Berbagai macam tanggapan dari stakeholder yang intinya bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah berlakunya otonomi daerah. Namun dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, dan kesamaan perlakukan ( tidak diskriminatif) masih jauh yang diharapkan dan masih memiliki beberapa kelemahan yang diantaranya adalah :49 a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayan, mulai pada tingkatan petugas sampai pada tingkatan pertanggungjawaban instansi. b. Kurang
inovatif.
Berbagai
macam
informasi
yang
seharusnya
disampaikan kepada masyarakat menjadi terlambat atau bahkan tidak sampai. c. Kurang accessible, berbagai unit pelaksana pelayanan yang terkait satu dengan yang lainnya sangat kurang koordinasi. d. Birokratis (khususnya dalam masalah perizinan) e. Kurang mau mendengar keluhan, saran, dan aspirasi masyarakat. 48 49
THESIS
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Op.cit., h. 83-84. Ibid.
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
52
f. Tidak efisien, berbagai persyaratan yang diperlukan seringkali tidak relevan. Jika tindakan atau perbuatan tersebut dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang memang merupakan kewajibannya sesuai yang diamanahkan oleh perundang-undangan, sehingga hal ini dapat pula dinyatakan telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang berimplikasi pada baik peradilan tata usaha negara, peradilan perdata maupun peradilan pidana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (4) berbunyi “ Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh Informasi Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. 2.1.1. Prinsip Kehati-hatian Pejabat Publik Pada dasarnya konsepsi welfare state, pemerintah diberi kewajiban untuk mewujudkan bestuurszorg (kesejahteraan umum), yang untuk itu kepada
pemerintah
diberikan
kewenangan
untuk
campur
tangan
(staatsbemoeienis) dalam segala lapangan kehidupan masyarakat. Artinya pemerintah dituntut untuk bertindak aktif di tengah dinamika kehidupan masyarakat. Namun bentuk campur tangan pemerintah ini harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan asas legalitas, yang menjadi sendi utama negara hukum.50
50
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Perss, Jakarta, 2011, h. 229.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
53
Setiap pejabat tata usaha Negara yang melaksanakan wewenangnya, khususnya dalam mengeluarkan suatu surat keputusan, wajib berdasarkan pada suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan tersebut, misalnya dalam pemberian izin pengelolaan lingkungan wajib merujuk pada peraturan tentang lingkungan hidup, ini dilakukan agar tindakan pejabat tata usaha negara tidak bertentangan dengan peraturan hukum tersebut, walaupun diketahui ada wewenang kebebasan bertindak bagi pejabat tata usaha negara yang diberikan, asalkan kewenangan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan perundang-undangan. Pejabat tata usaha negara dalam pemberian izin pengelolaan lingkungan yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dan kepentingan umum, maka diperlukan suatu sikap kehati-hatian bagi pejabat tata usaha negara tersebut dalam memberikan pelayan kepada seseorang atau badan hukum perdata. Pada dasarnya sikap kehati-hatian tersebut merupakan suatu keharusan yang dimiliki oleh pejabat tata usaha negara dalam bertindak, dan oleh karena itu maka, tindakan kehati-hatian tersebut selalu dijadikan prinsip dalam bertindak, seperti pada pejabat tata usaha negara dalam pemberian izin pengelolaan lingkungan telah dicantumkan sebuah prinsip kehati-hatian dalam mengeluarkan sebuah kebijakan bagi seseorang atau badan hukum perdata. Precautionary principle (prinsip kehati-hatian) adalah prinsip yang pada awalnya diadopsi dalam deklarasi dan kemudian diadopsi dalam
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
54
berbagai
konvensi
sebagai
bentuk
pengejawantahan
dari
prinsip
pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini merupakan perkembangan dalam kebijakan nasional maupun internasional yang bertujuan melindungi manusia dan lingkungan hidup dari bahaya yang serius dan tidak bisa dipulihkan.51 Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka dapat diketemukan prinsip kehati-hatian bagi penyelenggara dalam memberikan pelayanan. Seperti pada ketentuan Pasal 4 huruf i mengenai asas “akuntabilitas”, asas inilah sebagai rujukan akan pentinggnya penggunaan kehati-hatian bagi penyelenggara pelayanan publik. Sehingga apabila penyelenggara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat kemudian menimbulkan kerugian terhadap seseorang atau badan hukum perdata, maka penyelenggara tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum. Selain itu, prinsip kehati-hatian dapat pula dilihat dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik pada Pasal 3, yaitu “Undang-Undang ini bertujuan untuk: (a). menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alas an pengambilan suatu keputusan publik; (b). mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; (c). meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang 51
Yeni Widyastuti, Mendorong Akuntabilitas Birokrasi Pejabat Publik Melalui Ethics Leadership, Jurnal LAB-ANE FISIP Untirta, ISBN: 978-602-96848-2-7, Jakarta, 2011.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
55
baik; (d). mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan,
efektif
dan
efisien,
akuntabel
serta
dapat
dipertanggungjawabkan; (e). mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; (f). mengembangkan ilmu pengetahuan
dan
mencerdaskan
kehidupan
bangsa;
dan/atau
(g).
meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Dengan berdasarkan ketentuan Pasal 3 tersebut, maka bagi badan publik khususnya lembaga eksekutif dalam melaksakan fungsi dan wewenangnya tidak dapat dipisahkan dari adanya prinsip kehati-hatian, sebab tindakan badan publik tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dihadapan publik. Dari kedua ketentuan perundang-undangan tersebut yang melandasi keharusan bagi pejabat publik menggunakan prinsip kehati-hatian, maka pada penerapannya dapat dirujuk dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud”.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
56
Interprestasi ketentuan tersebut diatas, bahwa tidak dikeluarkannya keputusan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, dilandasi oleh tindakan kehati-hatian badan atau pejabat tersebut, karena tindakan tersebut jelas mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum bagi badan atau pejabat yang dilekati kewenangan bertindak, sehingga dengan prinsip kehati-hatian yang digunakan oleh badan atau pejabat TUN dapat terhindarkan dari adanya interpensi atau tekanan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang berimplikasi pada tindakan mall administrasi. 2.1.2. Prinsip Demokrasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara hukum menghormati kedaulatan rakyat sebagai symbol demokrasi dan demokrasi menghormati negara hukum sebagai tatanan dalam bernegara. Demokrasi mempunyai arti yang penting bagi masyarakat, sebab demokrasi adalah hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalan hidup organisasi suatu negara.52 Istilah demokrasi telah dikenal sejak abad ke-5 SM, yang pada awalnya merupakan reaksi dari kediktatoran di negaranegara Yunani Kuno.53 Demokrasi adalah bentuk pemerintahan atau kekuasaan yang tertinggi di mana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan kerakyatan. Selain itu demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih dibawah system pemilihan umum yang
52
Mahfud M.D, Demokrasi dan Konstitusi, Studi Tentang Integrasi Politik Dalam Kehidupan Ketatanegaraan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, h. 20. 53 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respons Intelektual Muslim Indonesia 1966-1993, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999, h. 71.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
57
bebas.54 Demokrasi dipraktikan bersifat langsung
(direct democracy),
artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Pada hakikatnya demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan,55 dimana rakyat bebas menentukan dan menilai kebijaksanaan negara yang menentukan kehidupan rakyat. Pada konteks Indonesia, demokrasi mengandung tiga arti; pertama, demokrasi dikaitkan dengan system pemerintahan, dalam arti bagaimana caranya rakyat diikutsertakan dalam penyelenggaraan pemerintahan; kedua, demokrasi sebagai asas yang dipengaruhi oleh perjalanan historis bangsa Indonesia;
dan
menyelesaikan
ketiga,
demokrasi
sebagai
beberapa
persoalan
yang
solusi
dihadapi
tentatif
untuk
dalam
rangka
penyelenggaraan negara sehingga lahir istilah musyawarah mufakat.56 Perlu dibanggakan bahwa kemampuan pendiri bangsa merumuskan demokrasi dalam UUD 1945 tidak hanya dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan pengetahuan, tetapi juga oleh kehidupan keluarga dan daerah asal yang sangat mengakar di seluruh pelosok negara Indonesia. Rumusan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dapat dijadikan sebagai petunjuk yang tegas bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi (berkedaulatan rakyat) yang telah tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya 54
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, h. 35. 55 Sobirim Melian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001, h. 44. 56 Hazairin, Demokrasi Pancasila, Bina Aksara, Jakarta, 1985, h. 69.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
58
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketentuan tersebut telah diubah pada amandemen kedua sehingga berbunyi bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perubahan tersebut menunjukan bahwa demorkasi di Indonesia adalah demokrasi konstitsional.57 Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah bahwa gagasan pemerintahan
yang
demokratis
adalah
pemerintah
yang
terbatas
kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi/UUD 1945. Pada hakikatnya, terdapat tiga ide untuk menetapkan suatu system pemerintahan yang demokrasi, yaitu sebagai berikut:58 1. Ide partisipasi; mengandung pengertian bahwa rakyat ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dalam bidang politik dan bidang pemerintahan, baik melalui perwakilan maupun secara langsung, dengan pernyataan pendapat baik lisan maupun tulisan yang harus dilindungi secara konstitusional. 2. Ide pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat berarti bahwa pemerintah harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya kepada rakyat (accountability) sebab pemerintah melaksanakan fungsinya berdasarkan wewenang yang diberikan oleh rakyat.
57 58
THESIS
Agussalim Andi Gadjong, Op.,cit, h. 36. Ibid, h. 36-37.
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
59
3. Ide kesamaan, dalam hal ini kesamaan dalam demokrasi, berarti kesamaan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam hukum dan pemerintahan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya prinsip atau paham demokrasi pada suatu Negara secara umum dan Negara Indonesia secara khusus, sehingga kebijakan-kebijakan yang dibentuk dan dikeluarkan oleh lembaga Negara baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudisial tidak dapat dilepaskan dari tindakan pengawasan (control) masyarakat secara umum, baik secara individu maupun secara korporasi oleh karena masyarakat tersebut adalah pemilik kedaulatan yang dijalankan atau dilaksanakan oleh para penyelenggara Negara tersebut.
2.2. Landasan Filosofi Pasal 3 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Nengara Menurut Cicero (dalam Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik) hukum yang baik adalah hukum yang didasarkan pada Ratio yang murni, oleh karena itu hukum positif harus berdasarkan atas dalil atau asas-asas hukum, jika tidak demikian maka hukum positif tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat.59 Teori tersebut berimplikasi pada pembentukan peraturan perundangundangan, mengingat peraturan perundang-undangan adalah salah satu 59
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Abad Ke-20, Nuansa, Cetakan I, Bandung, 2010, h. 64.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
60
bagian hukum positif. Jika dikaitkan dengan keadaan peraturan perundangundangan, teori tersebut menginginkan agar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pihak legislator (pembentuk peraturan perundangundangan) wajib memahami dan memasukan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat. Jika interprestasi ini benar adanya maka dapat dikatakan pula bahwa landasan filosofis, landasan sosilogis, dan landasan yuridis dalam setiap peraturan perundang-undangan merupakan perwujudan dari asas-asas yang dimaksud dalam teori di atas. Untuk mengetahui apakah peraturan perundang-undangan memuat ketiga landasan, yaitu filosofis, sosiologis, dan yuridis untuk itu perlu dilakukan penelusuran dan analisi ketentuan latar belakang pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Sedangkan di sisi lain, mengenai pasal-perpasal
suatu
perundang-undangan
juga
diwajibkan
dalam
pembentukannya selalu dilandasi pada nilai-nilai filosofis, sosiologis dan yuridis, hal ini dilakukan agar pasal-perpasal yang dibentuk dalam perundang-undangan dapat dihindarkan dari perselisihan makna (konflik norma) tersebut. Selain itu pula, termuatnya nilai filosofis, sosiologis dan yuridis dalam pasal-perpasal suatu perundang-undangan berimplikasi pada pemenuhan landasan filosofi dalam pasal-perpasal perundang-undang. Landasan filosofi berkenaan dengan salah satu ketentuan dari suatu undang-undang yang diacu dalam menjawab isu hukum yang dihadapi peneliti. Landasan filosofi secara sederhana dapat diartikan alasan mengapa ada ketentuan itu. Membahas landasan filosofi suatu ketentuan undang-
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
61
undang tidak dapat terlepas dari dasar ontologis dan landasan filosofis undang-undang yang memuat ketentuan itu.60 Istilah “ketentuan” yang dimaksudkan disini adalah suatu “pasal” yang menjadi norma hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, yang dimaksud landasan filosofi “ketentuan” undang-undang tersebut adalah landasan filosofi pasal atau norma hukum tertulis dalam undang-undang. Pengertian landasan filosofi yang diuraikan oleh Peter Mahmud Marzuki di atas, digunakan untuk mengkristalisasikan isu hukum yang di analisi saat ini, yaitu landasan filosofi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079). Untuk mengetahui landasan filosofi Pasal 3 tersebut, hal pertama yang dilakukan adalah menguraikan landasan filosofis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut. Alasan digunakannya undang-undang 5 Tahun 1986 dikarenakan Pasal 3 tersebut masih merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sekalipun telah dilakukan 2 (dua) kali perubahan, sehingga yang melandasai lahirnya (landasan filosofi) Pasal 3 tersebut dapat diketahui dari latar belakang filosofis61 ketentuan penjelasan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 sebagai berikut:
60
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009, h. 104. Sabri Guntur, Daya Berlaku Peraturan Daerah Kabupaten Induk Terhadap Kabupaten Pemekaran, Tesis, FH Universitas Airlangga, Surabaya, 2011, h. 33 61
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
62
Negara Republik Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, serta tertib. Dalam tata kehidupan yang demikian itu dijamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum. Akan tetapi, pelaksanaan pelbagai fungsi untuk menjamin kesamaan kedudukan tersebut dan hak perseorangan dalam masyarakat harus disesuaikan dengan pandangan hidup serta kepribadian Negara dan bangsa berdasarkan Pancasila, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Garis-garis Besar Haluan Negara mengamanatkan bahwa usaha untuk mewujudkan tata kehidupan yang dicita-citakan itu dilakukan melalui pembangunan nasional yang bertahap, berlanjut, dan berkesinambungan. Dalam usaha untuk mencapai tujuan tersebut, sesuai dengan sistem yang dianut dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara, Pemerintah melalui aparaturnya di bidang Tata Usaha Negara, diharuskan berperan positif aktif dalam kehidupan masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya itu Pemerintah wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat masyarakat pada umumnya dan hak serta kewajiban asasi warga masyarakat pada khususnya. Oleh karena itu pemerintah wajib secara terus menerus membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparaturnya di bidang Tata Usaha Negara agar mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa dan yang dalam
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
63
melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk masyarakat. Menyadari sepenuhnya peran positif aktif pemerintah dalam kehidupan untuk masyarakat, maka pemerintah perlu mempersiapkan langkah untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antar Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, dari segi hukum, perlu dibentuk Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978
yang
dihubungkan
dengan
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. Karena pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai bagian pembangunan hukum merupakan bagian pembangunan nasional yang berwatak dan bersifat integral serta dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan, maka pembangunan Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan pula secara bertahap, berlanjut dan berkesinambungan. Ketentuan tersebut merupakan pelaksanaan lebih lanjut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara, kecuali sengketa tata usaha di lingkungan Angkatan Besenjata dan dalam
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
64
soal-soal militer yang menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1953 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1958 diperiksa, diputus, dan diselesaikan oleh Peradilan Tata Usaha Militer, sedangkan sengketa Tata Usaha Negara lainnya yang menurut undang-undang ini tidak menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, diselesaikan oleh Peradilan Umum. Sesuai dengan maksudnya, maka sengketa itu haruslah merupakan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dianggap melanggar hak orang atau badan hukum perdata. Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara itu diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Akan tetapi, dalam hubungan ini perlu kiranya disadari bahwa di samping hak-hak perseorangan, masyarakat juga mempunyai hak-hak tertentu. Hak masyarakat ini didasarkan pada kepentingan bersama dari orang yang hidup dalam masyarakat tersebut. Kepentingan-kepentingan tersebut tidak selalu sejalan, bahkan kadangkadang saling berbenturan. Untuk menjamin penyelesaian yang seadiladilnya terhadap benturan antara kepentingan yang berbeda itu, saluran hukum merupakan salah satu jalan yang terbaik dan sesuai dengan prinsip yang terkadung dalam falsafah Negara kita, Pancasila, maka hak dan kewajiban asasi warga masyarakat harus diletakkan dalam keserasian,
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
65
keseimbangan dan keselarasan antar kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, tujuan Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi sekaligus juga melindungi hak-hak masyarakat. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung, sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1870 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan Hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Di tiap daerah tingkat II dibentuk sebuah Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di Kotamadya atau Ibu Kota Kabupaten, pembentukan itu dilakukan dengak Keputusan Presiden. Di tiap daerah tingkat I dibentuk sebuah Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di Ibu Kota Propinsi, pembentukan ini dilakukan dengan undang-undang. Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha
Negara
akan
dilaksanakan
secara
bertahap
dengan
memperhatikan berbagai faktor, baik yang bersifat teknis maupun non teknis.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
66
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengket Tata Usaha Negara bagi rakyat pencari keadilan. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasarnya merupakan Pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali: a. Sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya; dalam hal ini Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertindak sebagai Pengadilan tingkat pertama dan terakhir. b. Sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya adminsitratif, dalam hal ini Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertindak sebagai Pengadilan tingkat pertama. Sebagaimana diketahui, di dalam sistem peraturan perundangundangan kita kenal adanya penyelesaian sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara melalui upaya administratif. Setelah adanya undang-undang ini, bagi mereka kini terbuka kemungkinan untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Mahkamah Agung sebagai pelaksana tertinggi kekuasaan kehakiman dan pengadilan kasasi diatur dalam undang-undang tersendiri, yaitu UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya, serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
THESIS
tentang
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Kekuasaan
Kehakiman,
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
67
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan demi terselenggaranya negara hukum Repubik Indonesia. Agar peradilan bebas dalam memberikan putusannya sesuai dengan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, maka perlu ada jaminan bahwa baik Pengadilan maupun Hakim dalam melaksanakan tugas terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh lainnya. Oleh karena itu, Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal pengadilan mengadili sengketa tertentu yang memerlukan keahlian khusus, maka Ketua pengadilan dapat mengangkat seorang dari luar pengadilan sebagai Hakim Ad Hoc dalam Majelis Hakim yang akan mengadili sengketa dimaksud. Bagi Hakim Ad Hoc tidak berlaku persyaratan-persyaratan tertentu seperti yang berlaku bagi Hakim Tata Usaha Negara. Dalam setiap pengangkatan, pemberhentikan, mutasi, kenaikan pangkat, atau tindakan/hukuman administratif terhadap Hakim pengadilan perlu ada kerja sama, konsultasi, dan koordinasi antara Mahkamah Agung dan Pemerintah. Di samping itu, perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan, khususnya bagi para Hakim, demikian pula pangkat dan gaji diatur sendiri berdasarkan
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
68
peraturan yang berlaku, sehingga para pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi, baik moril maupun materiil. Untuk lebih menegakkan kehormatan dan kewibawaan Hakim serta peradilan, maka perlu juga dijaga mutu/keahlian para Hakim, dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakum yang diatur dalam undang-undang ini. Untuk itu diperlukan pendidikan tambahan bagi para Hakim guna meningkatkan pengetahuan/keahlian mereka. Selain itu diperlukan juga pembinaan sebaik-baiknya, yang tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Selanjutnya diadakan juga larangan bagi para Hakim merangkap jabatan penasihat
hukum,
pelaksana
putusan
pengadilan,
wali
pengampu,
pengusaha, dan setiap kegiatan yang bersangkutan dengan suatu perkara yang diperiksanya. Demikian pula diadakan larangan rangkap jabatan Panitera. Agar peradilan dapat berjalan dengan efektif, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diberi tugas pengawasan terhadap Pengadilan Tata Usaha Negara didaerah hukumnya. Hal ini akan meningkatkan koordinasi antara Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukum suatu Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang bermanfaat bagi rakyat pencari keadilan, karena Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam melakukan pengawasan tersebut dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan. Selain itu pekerjaan dan kewajiban Hakim secara langsung dapat diawasi sehingga pelaksanaan peradilan yang sederhana, cepat, adil, dan
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
69
biaya ringan akan lebih terjamin. Petunjuk yang menimbulkan persangkaan keras bahwa seorang Hakim telah melakukan perbuatan tercela dipandang dari sudut kesopanan dan kesusilaan, atau telah melakukan kejahatan, atau kelalaian yang berulang kali dalam pekerjaannya, dapat mengakibatkan ia diberhentikan dengan tidak hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara, setelah ia diberi kesempatan membela diri. Hal ini dicantumkan dengan tegas dalam undang-undang ini, mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim, sedangkan apabila ia melakukan perbuatan tercela dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya tetap berlaku sanksi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri. Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara, yang meliputi hukum acara pemeriksaan tingkat pertama dan hukum acara pemeriksaan tingkat banding. Hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan antara lain: a. pada Peradilan Tata Usaha Negara Hakim lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiel dan untuk itu undangundang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas. b. suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
70
Selanjutnya sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara untu memberikan perlindungan kepada masyarakat, maka dalam udang-undang ini diberikan kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan, antara lain: a. mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh Panitera Pengadilan untuk merumuskan gugatannya. b. warga pencari keadilan dari golongan masyarakat yang tidak mampu diberikan kesempatan untuk berperkara secara cuma-Cuma. c. apabila terdapat kepentingan penggungat yang cukup mendesak, atas permohonan
penggugat,
Ketua
Pengadilan
dapat
menentukan
dilakukannya pemeriksaan dengan acara cepat. d. penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang paling dekat dengan tempat kediamannya unuk kemudian diteruskan ke Pengadilan yang berwenang mengadilinya. e. dalam hal tertentu gugatn dimungkinkan untuk diadili oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. f. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil sebagai saksi diwajibkan untuk dating sendiri. Mengingat luas lingkup tugas dan berat beban pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar terhadap tata cara dan pelaksanaan pengelolaan administrasi Pengadilan, yang terdiri atas administrasi perkara dan administrasi umum. Hal ini sangat penting
THESIS
karena
bukan
saja
menyangkut
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
aspek
ketertiban
dalam
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
71
penyelenggaraan
administrasi,
baik
administrasi
perkara
maupun
administrasi di bidang kepegawaian, peralatan serta perlengkapan, keuangan, dan lain-lainnya, melainkan juga akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Peradilan itu sendiri. Sebagaimana halnya dengan prinsip penyelenggaraan administrasi di Pengadilan yang dianut oleh Peradilian Umum, yang diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, maka pertanggungjawaban administrasi Pengadilan dalam undang-undang ini juga dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu Panitera yang merangkap sekretatris dengan tugas di bidang masing-masing. Dalam pelaksanaan tugasnya selaku Panitera, ia dibantu oleh seorang Wakil Panitera dan beberapa orang Panitera Muda,sedang dalam pelaksanaan tugasnya selaku Sekretaris, ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris. Dengan demikian, staf kepaniteraan dapat lebih memusatkan perhatiannya pada tugas dan fungsinya untuk membantu Hakim di bidang peradilan, sedangkan tugas administrasi lainnya dapat dilaksanakan oleh staf sekretariat. Dengan adanya perbedaan administrasi perkara dan administrasi di bidang kepegawaian, peralatan serta perlengkapan, keuangan dan lainlainnya, maka pembinaannyapun berbeda. Pembinaan administrasi perkara dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan administrasi umum dilakukan oleh Departemen Kehakiman.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
72
Dari uraian di atas, penulis berasumsi bahwa isi setiap penjelasan filosofis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam kaitannya dengan alasan mengapa ada ketentuan (landasan filosofi) Pasal 3 yang menyamakan tindakan62 diam Pejabat Tata Usaha Negara dianggap telah mengeluarkan sebuah keputusan yang bentuknya keputusan penolakan (keputusan fiktif negatif), didasari dari beberapa unsur sebagai berikut: a. Menjamin kesamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan hak perseorangan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan
perseorangan
dengan
kepentingan
masyarakat
atau
kepentingan umum. Makna yang terkandung dari ketentuan tersebut merupakan implikasi Indonesia sebagai negara hukum, sehingga pejabat tata usaha negara dalam melaksanakan fungsi dan kewajibannya terhadap masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya tindakan diskriminasi oleh pejabat tata usaha negara mengingat esensi
62
Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, h. 48. Mengutip pendapat Donner mengemukakan bahwa “De ambelijkebestuurshandeling, waardoor eenzijdig opzettelijk in een bepaal geval een bestaande rechtstoestand word vastgesteld, of een nieuwe rechtsverhouding of rechtstoestand in het leven wordt geweigerd” artinya (tindakan pemerintahan, dijalankan oleh suatu jabatan pemerintahan, yang dalam suatu hal tertentu secara bersegi satu dan dengan sengaja, meneguhkan suatu hubungan hukum atau suatu keadaan hukum yang telah ada, atau yang menimbulkan suatu hubungan hukum atau suatu keadaan hukum yang baru atau menolaknya).
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
73
masyarakat dalam sebuah negara berkedudukan sama, yaitu sebagai bagian dari negara dan sebagai pemegang kedaulatan. b. Pemerintah melalui aparaturnya di bidang Tata Usaha Negara, diharuskan berperan positif aktif dalam kehidupan masyarakat. Asumsi dari ketentuan tersebut, yaitu mewajibkan kepada badan atau pejabat tata usaha negara dalam bertindak atau berbuat terhadap masyarakat secara perorangan dan badan hukum perdata, didasarkan pada tindakan atau perbuatan hukum.63 Salah satu bentuk tindakan atau perbuatan hukum tersebut, adalah keputusan badan atau pejabatan tata usaha Negara berisikan hak dan kewajiban bagi masyarakat secara perorangan dan badan hukum perdata baik tertulis maupun tidak tertulis yang berdasarkan nilai-nilai keadilan. c. Menjunjung tinggi harkat dan martabat masyarakat pada umumnya dan hak serta kewajiban asasi warga masyarakat pada khususnya. Ketentuan
ini
menunjukkan
akan
kebutuhan
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pemerintahan baik pusat maupun daerah. Bentuk kebutuhan-kebutuhan tersebut diwujudkan dengan adanya tindakan nyata badan atau pejabat tata usaha negara berupa percepatan pembangunan, peningkatan ekonomi, sosial, dan budaya. d. Menghadapi
kemungkinan
timbulnya
perbenturan
kepentingan,
perselisihan, atau sengketa antar Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat. 63
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Perss, Jakarta, 2011, h. 110.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
74
Ketentuan tersebut dapat diasumsikan sebagai pembatasan terhadap tindakan atau perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha Negara, seperti dalam mengeluarkan sebuah keputusan memerlukan ketelitian, kehati-hatian dan kedisiplinan. Sehingga dengan adanya ketentuan pembatasan terhadap tindakan atau perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha Negara tersebut, akan menjadi dasar atau acuan dalam penyelesaian sengketa dari segi hukum administrasi di Peradilan Tata Usaha Negara. Sebab sengketa itu haruslah merupakan sengketa yang timbul dari akibat dikeluarkannya suatu keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang dianggap melanggar hak masyarakat secara perorangan dan hak badan hukum perdata. e. Memberikan kepastian hukum bagi mmasyarakat secara perseorangan dan badan hukum perdata dalam melakukan permohonan kebijakan badan atau pejabat tata usaha Negara. Dari Kelima unsur tersebut diatas berimplikasi pada landasan filosofi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomr 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentan Peradilan Tata Usaha Negara dalam bentuk konkret, yang pada mulanya sebagai asas (norma hukum abstrak) dalam pembentukan (Pasal 3) undang-undang tersebut. Selain itu, kelima unsur tersebut, merupakan alasan yang substansial terbentuknya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UndangUndang Nomr 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
75
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentan Peradilan Tata Usaha Negara terdapat pada unsur yang kelima, yaitu memberikan kepastian hukum, sehingga dengan demikian apabila tindakan diam badan/pejabat tata usaha negara dikemudian hari berakibat pada kerugian bagi masyarakat secara perorangan dan badan hukum perdata selaku pemohon, maka dapat dilakukan upaya hukum sebab tindakan diam badan atau pejabat tata usaha negara disamakan sebagai keputusan dan dengan demikian nilai keadilan dan kepastian hukum telah terpenuhi. Dengan diketahuinya landasan filosofi atau alasan adanya Pasal 3 UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga memberikan ruang bagi masyarakat secara perorangan atau badan hukum perdata guna melakukan upaya hukum terhadap tindakan diam badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak mengeluarkan suatu keputusan yang telah dimohonkan, yang pada asasnya merupakan kewajiban bagi badan atau pejabat tata usaha negara untuk memberikan keterangan secara jelas atas suatu permohonan yang diajukan oleh masyarakat secara perorangan atau badan hukum perdata melalui sebuah keputusan tertulis yang bersifat konkret, individual dan final. Telah diketahui bahwa tindakan diam badan atau pejabat tata usaha negara disamakan sebuah keputusan dengan jenis keputusan penolakan. Jika ketentuan ini hanya dapat dimohonkan ke Peradilan Tata Usaha Negara, tidak demikian dengan Peradilan Umum, apabila dikaitkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
76
Publik, maka ada ruang bagi masyarakat secara perorangan atau badan hukum perdata untuk melakukan upaya hukum diluar dari peradilan tata usaha negara (peradilan umum). Dimana diketahui bahwa pada Pasal 7 ayat (4) berbunyi “ Badan Publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap Orang atas Informasi Publik”. Ketentuan ini lebih dipertegas pada Pasal 11 ayat (1) huruf b yang berbunyi “Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap
saat
yang
meliputi…hasil
keputusan
Badan
Publik
dan
pertimbangannya”. Kedua pasal undang-undang tentang keterbukaan informasi publik tersebut, dikaitkan dengan Pasal 3 ayat (2) UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan secara ringkasnya “apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara”. Ketentuan ini sangat substansial melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 dimana telah dinyatakan merupakan kewajiban bagi badan publik membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik, khususnya suatu keputusan penolakan yang tidak tertulis, sebagaimana Pasal 3 ayat (3), yaitu “Dalam hal peraturan perundangundangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
77
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan (fiktif negatif)”. Dengan adanya keputusan penolakan tersebut yang tidak disertai dengan alasan tidak mengeluarkan keputusan secara tertulis, secara hakikatnya
telah
melanggar
ketentuan
undang-undang
keterbukaan
informasi, dan dengan demikian, atas tindakan atau perbuatan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai badan publik, sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya baik secara peradilan tata usaha negara, maupun peradilan perdata, dan peradilan pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 52, berbunyi “Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara sertamerta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Selain itu, adapula yang perlu dipahami bahwa didalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) dinyatakan keputusan “penolakan”, dan bukan “menerima”, jika dilihat dalam penjelsannya pasal tersebut berbunyi “Badan atau pejabat tata usaha Negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut apabila tenggang
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
78
waktu yang ditetapkan telah lewat dan badan atau pejabat tata usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang telah diterimanya”. Dari penjelasan ketentuan tersebut dapat diuraikan bahwa alasan ketentuan Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan keputusan “menolak” bukan “menerima”, karena pejabat yang telah menerima permohonan dari masyarakat atau badan hukum perdata dan tidak mengeluarkan suatu keputusan yang bersifat tertulis, maka dinyatakan atau disamakan menolak permohonan dari masyarakat atau badan hukum perdata, sedangkan apabila kalimat keputusan “menerima” yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) maka makna dari norma tersebut akan bersifat ambigu, artinya pejabat tata usaha Negara harus mengeluarkan keputusan yang bersifat tertulis dan apabila demikian, maka keberadaan Pasal 3 ayat (2) tersebut tidak berguna. Argumentasi tersebut merujuk pada konsep Soehardjo yang menyatakan bahwa pada umumnya para ahli berpendapat bahwa keputusan itu adalah keputusan sepihak, karena bagaimanapun keputusan itu tergantung dari pemerintah, yang dapat memberikan atau menolaknya.64 Secara teoritis apa yang diuraikan tersebut oleh ahli sehingga kalimat keputusan “menolak” dalam Pasal 3 ayat (2) tersebut telah sesuai karena mengingat keputusan pejabat tata usaha Negara bersifat sepihak, dan untuk mencegah agar tidak terjadinya kesewenang-wenangan oleh pejabat tata usaha Negara dengan bentuk menghambat atau secara sengaja tidak 64
Soehardjo, Hukum Administrasi Negara Pokok-Pokok Pengertian Serta Perkembangannya di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1991, h. 41-42.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
79
memberikan/mengeluarkan keputusan dari masyarakat atau badan hukum perdata yang telah mengajukan permohonan, maka disamakanlah tindakan tidak mengeluarkan keputusan yang bersifat tertulis (tindakan diam) oleh pejabat
tata
usaha
Negara
dengan
keputusan
menolak/penolakan
permohonan. Dan selain itupula adanya ketentuan tersebut, merupakan suatu bentuk perbaikan tindakan pejabata tata usaha negara, agara dalam bertindak selalu berdasarkan pada suatu prinsip kehati-hatian.
THESIS
Keputusan Fiktif negatif pejabat tata ...
Baharudin