BAB II LANDASAN DAN KAJIAN TEORI A. Tinjauan tentang Teori 1. Tinjauan Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Ekonomi Peranan hukum, khususnya dalam pembangunan ekonomi nasional menjadi sangat signifikan. Secara umum dalam pembangunan ekonomi, hukum memiliki 1
beberapa peran, diantaranya ; a. Hukum sebagai alat pembangunan sosial (Law as tool of social engineering), berarti hukum berperan aktif dalam merekayasa perubahan sosial dalam masyarakat; b. Hukum sebagai sarana kontrol sosial (Law as tool of sosial control), artinya hukum diperlukan sebagai kontrol sosial dan menjaga ketertiban dalam kehidupan masyarakat melalui suatu aturan atau undang-undang yang berisi larangan-larangan, tuntutan, sanksi pemidanaan maupun ganti kerugian; c. Hukum sebagai alat kontrol pembangunan, disini hukum dimaknai sebagai aturan yang memberikan arah dan batasan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat; d. Hukum sebagai sarana penegak keadilan, hukum digunakan untuk mencapai tujuan hukum yakni memperoleh keadilan; e. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat, adalah hukum harus mampu menciptakan pola perilaku masyarakat sehingga mampu mendukung keberhasilan pembangunan yang berjalan dan memelihara serta menjaga pembangunan yang telah dilaksanakan. Sesuai dengan perkembangan arus globalisasi yang terjadi, maka fungsi dan peranan hukum juga diharapkan mampu mengikuti perkembangan yang terjadi, sehingga hukum selain memiliki peran sebagaimana disebutkan diatas, juga dapat memiliki peran seperti, pertama: standar of conduct, yakni menjadi ukuran tingkah laku dan kesamaan sikap yang harus ditaati oleh setiap orang dalam hidup 1 Abdul Manan. Op,cit. hlm. 36-56.
bermasyarakat, kedua: as a tool of social engineering, yakni hukum harus dapat dijadikan alat menuju kehidupan yang lebih baik sesuai dengan situasi dan kondisi perubahan zaman, ketiga : as a tool of justification, yakni hukum sebagai alat untuk menyatakan benarnya suatu tingkah laku yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, keempat : as a tool of control, yakni sebagai alat untuk mengontrol pemikiran dan tingkah laku manusia agar mereka selalu terpelihara moralnya, tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum, norma susila dan ajaran agama yang dipeluknya, kelima : rechzeken heid, yakni agar dalam setiap persoalan dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat ada kepastian hukum untuk dijadikan pegangan oleh seluruh masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hakikat dari pembangunan nasional terletak pada masalah pembaharuan cara berpikir dan sikap hidup. Hukum harus mampu berperan dalam proses pembangunan sesuai dengan fungsi hukum itu sendiri sebagai alat pembaharuan masyarakat atau sarana pembaharuan masyarakat.
2
Dalam masyarakat di Negara berkembang yang sedang mengalami proses membangun, memiliki ciri perubahan dan peranan hukum dalam pembangunan untuk menjamin bahwa perubahan tersebut terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh peraturan perundang-undangan atau 3
keputusan peradilan. Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum (baik dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan) lebih baik dibandingkan perubahan yang berdasarkan atas kekuasaan belaka. Karena baik perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses 4
pembangunan. Dalam pembangunan, hukum juga berperan dalam menggerakkan masyarakat untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Hukum disatu segi harus mampu menciptakan pola perilaku masyarakat sehingga mampu mendukung 2 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung, 2002, hlm. 83. 3 H. Lili Rasjidi dan Ira Thamra Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 83, dikutip dari Julius Rizaldi. Op. Cit, hlm. 39. 4 Julius Rizaldi. Op. Cit, hlm. 39.
keberhasilan pembangunan juga mampu memelihara dan menjaga pembangunan yang dilaksanakan. Dalam pembentukan hukum harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum yang tinggi menimbulkan ketaatan terhadap hukum, sedangkan kesadaran hukum yang lemah mengakibatkan timbulnya ketidaktaatan terhadap hukum.
5
2. Teori Keadilan John Rawls John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusiinstitusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.
6
Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan 7
“posisi asli” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance) . Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan di dasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga 5 Abdul Manan, op.cit, hlm. 54. 6 Pan Mohamad Faiz, “Teori Keadilan John Rawls”, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1 (April 2009), hlm. 139-140. 7Ibid.
membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh 8
prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as fairness” . Pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asli” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, di antaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompatibel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu. Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity principle). Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.
9
Menurut Rawls keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan yang dialami kaum lemah. John Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial sebagaimana dalam sistem pemikiran. Hal ini mengandung 8Ibid.
9 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, , 2006, terjemahan dari John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University press, London 1973.
konsekuensi bahwa teori yang tidak benar harus ditolak, begitupun hukum yang tidak adil harus direformasi. Masyarakat yang tertata dengan baik adalah jika ia tidak hanya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya, namun secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu: a. Setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama. b. Institusi-institusi sosial dasar pada umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut. Dalam hal ini institusi dianggap adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan menentukan keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial. c. Adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan pada pembagian keuntungan dalam kehidupan sosial. Keadilan sosial di sini melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi dan stabilitas. Dalam hal ini John Rawls banyak berbicara tentang keadilan di bidang ekonomi. Pokok pikiran yang ketiga dalam peran keadilan tersebut di atas menyangkut bidang kehidupan sosial ekonomi, yaitu adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan dalam pembagian keuntungan. Dalam hal ini makna keadilan sebagai fairness bukan merupakan prinsip yang berdiri sendiri, melainkan melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi dan stabilitas. Teori
Keadilan
John
Rawls
menyajikan
konsep
keadilan
yang
menggeneralisasikan teori kontrak sosial yang diungkapkan oleh John Locke, Rousseau dan I. Kant ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi. Beberapa gagasan penting tentang keadilan sebagai fairness antara lain sebagai berikut:
10
a. Prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan dari kesepakatan. b. Prinsip keadilan sebagai fairness adalah prinsip yang akan diterima orangorang yang bebas dan rasional untuk mengejar kepentingan mereka dalam
10 Fadhilah, “Refleksi terhadap Makna Keadilan sebagai Fairness Menurut John Rawls dalam Perspektif Keindonesiaan”, dalam Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007, hlm. 40.
posisi asal (original position) ketika mendefinisikan kerangka dasar asosiasi mereka. c. Posisi asal (original position) berkaitan dengan kondisi alam dalam teori tradisional kontrak sosial, yaitu situasi hipotetis yang mengarah pada konsepsi keadilan tertentu. Contoh bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang berbagai pihak dalam situasi awal dan sama-sama netral. Dalam posisi asal ini diasumsikan tak seorang pun tahu tempatnya, posisi/status
sosialnya
dalam
masyarakat,
termasuk
kekayaannya,
kecerdasannya, kekuatannya, dll dalam distribusi aset serta kekuatan alam. d. Keadilan adalah hasil dari persetujuan dan tawar menawar yang fair antar individu dalam posisi asali (yang rasional dan sama-sama netral). e. Keadilan sebagai fairness menolak prinsip utilitas yang menerima struktur dasar hanya karena memaksimalkan keuntungan tanpa mengindahkan efekefek permanennya pada kepentingan dan hak dasarnya. Hal ini karena prinsip utilitas tidak konsisten dengan konsepsi kerjasama sosial bagi keuntungan bersama. f. Kerjasama sosial harus bisa menjamin kepuasan hidup, termasuk dalam hal pembagian keuntungan bagi kelompok/golongan masyarakat yang paling tidak beruntung. Keadilan menurut John Rawls ini dalam hal-hal utama yang ingin diperoleh setiap orang (primary goods) merupakan kebutuhan dasar manusia, yang diinginkan oleh setiap manusia normal dalam mencapai kebutuhan yang layak, hak-hak, kebebasan, berpendapat dan kesehatan. Prinsip keadilan haruslah berdasar pada asas hak, bukan manfaat. Jika asas manfaat yang menjadi dasar maka ia akan mengabaikan prosedur yang fair, hal yang dianggap utama adalah hasil akhirnya yang memiliki banyak manfaat untuk sebanyak mungkin orang tanpa mengindahkan cara dan prosedurnya. Sebaliknya, prinsip keadilan yang berdasarkan pada asas hak akan melahirkan prosedur yang fair karena berdasar pada hak-hak (individu) yang tak boleh dilanggar, yaitu hak-hak individu memang hal yang dengan gigih diperjuangkan Rawls untuk melawan kaum utilitarian. Maka dengan menghindari pelanggaran terhadap hak semua orang sesungguhnya juga akan menciptakan
prosedur yang adil (fair), apapun manfaat yang dihasilkannya. Rawls mengatakan bahwa prosedur harus dibuat pada posisi asal yang diandaikan ada oleh orang-orang yang tak memihak, yang berada di balik selubung ketidaktahuan. Menurut Rawls, sambil berada dalam posisi asal kita dapat menyetujui prinsip-prinsip keadilan tersebut. Rawls percaya bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asli, yang hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi. Keadilan merupakan fokus utama dari setiap sistem hukum dan keadilan tidak dapat begitu saja dikorbankan, seperti pendapat Jhon Rawls yang dikutip oleh Munir 11
Fuady sebagai berikut : Nilai keadilan tidak boleh ditawar-tawar dan harus diwujudkan ke dalam masyarakat tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Suatu ketidakadilan hanya dapat dibenarkan jika hal tersebut untuk menghindari ketidakadilan yang lebih besar, karena merupakan kebajikan yang terpenting dalam kehidupan manusia, maka terhadap kebenaran dan keadilan tidak ada kompromi. Prinsip keadilan menurut John Rawls dapat dirinci sebagai berikut ; a. Terpenuhinya hak yang sama terhadap kebebasan dasar (equa liberties) b. Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif, yaitu ; 1) Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi pihak yang lemah (maximum minimorium) 2) Terciptanya kesempatan bagi semua orang. Menurut Rawls, keadilan akan didapatkan jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masingmasing (justice as fairness). 1. Teori Perlindungan Hukum Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
11 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hlm. 94.
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingak masyarakat. Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh 12
hukum . Menurut Philipus M. Hadjon,
13
bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua
macam, yaitu : a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif. b. Sarana Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia 12 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 53 13 Phillipus M. Hadjon, “perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia”, PT. Bina Ilmu, Surabaya 1987, hlm. 2.
diarahkan
kepada
pembatasan-pembatasan
dan
peletakan
kewajiban
masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. Pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, jelas dikatakan bahwa tujuan dari dibuatnya Undang-Undang tersebut salah satunya adalah untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu perlindungan hukum pemilik merek beritikad baik terhadap pihakpihak yang beritikad tidak baik yang melakukan perbuatan curang demi memperoleh keuntungan pribadi. 2. Teori Hak Kepemilikan John Locke Dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual, Teori Kepemilikan yang dicetuskan oleh John Locke dianggap sebagai teori pertama yang mempengaruhi kepemilikan hak dan pembatasan hak. Teori Kepemilikan yang disampaikan John Locke terdapat dalam bukunya yang berjudul “The Second Treatise of Government” yang diterbitkan 14
pada tahun 1690 . Pada teori Locke tersebut masih sangat kuat pengaruh dari teori hukum alam. Hal itu terlihat jelas dari tulisannya yang menyebutkan : God, who has given the world to men in common, has also given them reason to make us of it to the best advantage of life and convenience. The earth and all that is therein is given to men for the support and comfort of their being. And though all the fruits it naturally produces and beasts it feeds belong to mankind in common, as they are produced by the spontaneous handoff nature; and nobody has originally a private dominion exclusive of the rest of mankind in any of them, as they are thus in their natural state; yet, being given for the use of men, there must of necessity be a means to appropriate them some way or other before they can be of any use or at all beneficial to any particular man. The fruit or venison which nourishes the wild Indian, who knows no enclosure and still a tenant in common, must be his, and so his, i.e., a part of him, that another can no longer have any right to it before it can do him any good for the support of his life. 14 Ignatius Haryanto, Sesat Pikir Kekayaan Intelektual, membongkar akar-akar pemikiran konsep Hak Kekayaan Intelekual, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2014, hlm. 7.
(Tuhan yang telah memberikan dunia kepada seluruh bangsa manusia, juga telah memberikan mereka akal sehat untuk mempergunakan hasil bumi/alam itu sebaikbaiknya demi kehidupan mereka. Bumi dan segala isinya diberikan kepada manusia untuk mendukung dan menyenangkan hidup mereka. Dan memang semua tanaman/hasil bumi yang mereka hasilkan, dan semua binatang yang memakannya (hasil bumi itu), menjadi milik bersama bangsa manusia, karena semua itu dihasilkan secara spontan oleh tangan Alam, dan tidak ada orang yang pada awal mulanya mempunyai kekuasaan eksklusif melebihi semua orang lain atas hasil-hasil Alam itu, dan dengan demikian semua hasil Alam itu ada dalam keadaan Alam mereka, tetapi semua hasil Alam itu diberikan supaya dimanfaatkan oleh manusia, maka pastilah harus ada satu atau lain cara untuk mengelolanya sebelum hasil-hasil Alam dapat berguna atau bermanfaat bagi orang-orang tertentu. Buah atau daging rusa yang memberi makan kepada orang Indian liar yang mengembara ke mana-mana tetapi tetap merupakan pemakaian bersama, harus menjadi miliknya, dan miliknya-artinya bagian dirinya-itu sedemikian rupa sehingga orang lain tidak dapat lagi mempunyai hak atas barang itu sebelum barang itu dapat berguna baginya untuk mendukung 15 hidupnya). Terkait dengan kepemilikan hak tersebut Locke juga sangat menekankan pada proses transisi dari kepemilikan umum kepada kepemilikan pribadi dengan mengatakan “The transition from a stage of subsistence property and common right to one of individual and unequal property ownership.” (“situasi transisi dari kondisi kepemilikan yang subsisten dan dimiliki orang banyak menuju pada kepemilikan pribadi dan ketidaksamaan atas hak milik tersebut.”)
16
Teori Kepemilikan John Locke dapat dilihat dan dikaji dari beberapa aspek17
aspek diantaranya ; 18
a. Masalah faktor kerja (labor) ; Locke mengatakan bahwa manusia berhak menguasai alam dan hasilnya, terutama karena manusia telah bekerja mengolah alam dan untuk itu manusia berhak untuk mendapatkan atau memiliki hasil olahan atas alam tersebut. Hasil kerja manusia adalah milik manusia tersebut. Disini dikatakan pula oleh Locke, ketika manusia telah mencampur pekerjaannya dengan hasil alam (mixed his labor), maka hasil tersebut adalah miliknya, karena manusia telah mengeluarkan keringat atas hasil kerja keras dan juga pencampuran dengan 15 Ibid. hlm. 39-40. 16 Ibid. hlm. 42. 17 Ibid. hlm. 7. 18 Ibid. hlm. 43-48.
kerja manusia (something annexed), maka manusia berhak memiliki hasil tersebut. Inilah yang disebut teori kerja (labor theory) oleh John Locke. Faktor kerja manusialah yang menjadi point penting dalam teori ini, pentingnya kerja manusia sebagai basis untuk menjadikan hak milik. Locke dalam teorinya tersebut bukannya membebaskan semua manusia untuk dapat memiliki hak milik sebebas-bebasnya, justru dalam teori yang dikemukakan oleh Locke tersebut memberikan batasan hak kepemilikan yang dikuasai oleh seseorang. Locke berpendapat bahwa hak milik dari hasil kerja manusia selain sebagai suatu imbalan yang adil bagi hasil kerja payah manusia, juga menjadi tolok ukur yang juga adil untuk membatasi manusia dengan hak miliknya. Dengan berpegang pada prinsip bahwa manusia tidak boleh mengambil sesuatu lebih banyak daripada yang ia butuhkan, maka kerja manusia juga akan membatasi apa yang bisa menjadi hak miliknya, dan kemudian juga tidak ada alasan untuk bertengkar tentang hak, dan tidak ada keraguan tentang besarnya milik yang diberikannya. Asas dalam hal pembatasan hak disini bukan atas jumlah tertentu, tetapi atas kepentingan orang lain yang bisa memanfaatkan situasi alam yang ada, yaitu orang lain yang bisa tercukupi. Selain itu terdapat juga asas bahwa pembatasan hak milik pribadi, yaitu asas untuk tidak menyia-nyiakan potensi alam yang telah ada sehingga menjadi rusak atau busuk (hal ini terkait dengan mengambil sejauh yang manusia butuhkan). Locke juga mengkritik terhadap tindakan orang yang taak dan berbuat curang dengan mengambil sesuatu yang bukan merupakan haknya karena telah mengambil sesuatu lebih dari yang ia butuhkan. 19
b. Masalah mencampurkan dengan hal lain (mixing metaphor) ; Pada kepemilikan hak yang dikemukakan oleh John Locke sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa terdapat suatu prasyarat barang yang tersisa untuk kepentingan orang lain. Karena barang itu telah diambil dari keadaan alaminya, dengan demikian melalui daya kerja ini barang itu ditambahkan, sehingga tidak memungkinkan lagi orang-orang lain mempunyai hak atas 19 Ibid. hlm. 48-44
barang itu, karena “kerja”-nya merupakan hak milik pekerja yang tak dapat dipertanyakan, maka tidak ada orang kecuali dirinya sendiri yang dapat mempunyai hak atas apa yang telah digabungkan dengannya, sekurangkurangnya ada cukup barang dan juga baik, yang masih tersedia bagi orang lain.
20
Prasyarat kedua yang dituliskan oleh Locke adalah sebagaimana manusia mendapatkan hasil alam dari Tuhan, maka Tuhan membuat bendabenda ini bagi manusia untuk bisa dinikmati dan tidak untuk dirusak atau dihancurkan. Dengan bertumpu pada hukum alam, Locke mengatakan bahwa pembatasan itu telah muncul dengan sendirinya, yang nanti terkait dengan unsur manusia mempergunakan benda-benda yang ada pada alam sejauh tidak menjadikannya rusak dan busuk. 21
c. Masalah tidak boleh mengambil sesuatu lebih dari yang dibutuhkan manusia ; Aspek ini memiliki keterkaitan dengan aspek ketersediaan yang cukup untuk orang lain, dan juga aspek agar manusia mempergunakan kekayaan alam itu sejauh tidak menjadi rusak atau busuk. Locke juga menilai bahwa perbuatan manusia yang mengambil atau mempergunakan melebihi dari yang dibutuhkannya sebagai perbuatan bodoh dan curang. Manusia boleh memanfaatkan, mengolah, dan menjadikan hasil alam bagi hak miliknya pribadi dengan kerja manusia, tetapi dengan alam yang ada, manusia juga harus memikirkan nasib orang lain, dan tidak boleh menjadi serakah serta merampas hak orang lain untuk memanfaatkan hasil yang sama. 22
d. Masalah tentang ketersediaan untuk orang lain . Manusia mengambil manfaat sejauh yang dibutuhkannya, dan jika ia mengambil lebih daripada yang dibutuhkannya, maka itu berarti akan merusak atau membuat busuk hasil alam itu. Banyak kalangan yang menilai bahwa teori kepemilikan yang disampaikan oleh John Locke tersebut telah mengilhami dan menjiwai konsep 20 John Locke. 1952 poin 27, dikutip dari Ignatius Haryanto. Ibid, hlm. 50. 21 Ibid.hlm. 51-53. 22 Ibid. hlm. 49-51.
dasar Hak Kekayaan Intelektual hingga saat ini. Para pendukung teori John Locke tersebut diantaranya ialah Debora J. Halbert, Adam Moore, dan Justine Hughes. Debora J Halbert
23
dalam bukunya Intellectual Property in The
Information Age: The Politics of Expanding Ownership Rights (1999) mengatakan dari tujuh kriteria yang harus dipenuhi dalam sistem kekayaan intelektual yang hendak diberlakukan terdapat tiga kriteria yang relevan dengan pembahasan tentang pengaruh John Locke. Pertama adalah pasar yang memadai untuk menghasilkan sistem komersial dari produksi kebudayaan. Kedua adalah diakuinya konsep pengarang sebagai penghasil pertama teks tersebut, ketimbang sebagai pengemas (reproducer) kebenaran tradisional yang telah dikenal. Ketiga, perlu adanya teori. B. Tinjauan tentang Merek 1. Pengertian Merek Sebelum lebih jauh membahas soal merek, perlu kiranya mendefinisikan istilah merek baik secara yuridis maupun menurut beberapa pakar dan para sarjana. Sehingga dapat digunakan sebagai pedoman pada pengertian yang sama dalam melakukan pembahasan guna memperoleh hasil yang sesuai dengan apa yang hendak dicapai. Secara yuridis, menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, memberikan definisi tentang merek yaitu “Tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsurunsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa”.
24
Selain batasan yuridis sebagaimana diuraikan diatas, terdapat beberapa ahli dan sarjana yang juga memberikan deskripsi terhadap merek, yaitu ; a. H.M.N. Purwo Sutjipto, S.H., menyatakan bahwa “Merek adalah suatu 23 Debora J Halbert, Intellectual Property in The Information Age: The Politics of Expanding Ownership Rights (1999), dalam Ibid. hlm. 85. 24 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis”.
25
b. Prof. R. Soekardono, S.H., mendefinisikan “Merek adalah tanda (Jawa : ciri atau tenger) dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu, di mana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.”
26
c. Mr. Tirtaamidjaya yang mensitir pendapat Prof. Vollmar memberikan rumusan bahwa “suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu tanda yang dibubuhkan di atas barang atau diatas bungkusnya, gunanya membedakan barang itu dengan barang-barang sejenis lainnya.”
27
d. H. OK. Saidin, S.H., M.Hum. merumuskan kesimpulan dari para sarjana yang telah memberikan definisi tentang merek, yaitu “Merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.”
28
e. Sementara Jacki Ambadar, Mirantiy Abidin dan Yanti Isa mendeskripsikan “Suatu merek adalah label yang mengandung arti dan asosiasi. Suatu merek yang terkenal bahkan memiliki fungsi yang lebih, yakni dalam memberikan warna dan getaran pada produk atau jasa.”
29
25 H.M.N. Purwo Sutjipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1984, hlm. 82. 26 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cetakan ke-8, Dian Rakyat Indonesia, Jakarta, 1983. 27 Mr. Tirtaamidjaya, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Djambatan, Jakarta, 1962, hlm. 80.
28 H.OK.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), Rajawali Press, Jakarta, 2013, hlm. 345. 29 Jacki Ambadar, Mirantiy Abidin dan Yanti Isa, Mengelola Merek. Yayasan Bina Karsa Mandiri, Jakarta,
Dari uraian tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai peran dan fungsi merek yang bukan hanya sekedar nama atau logo, namun Merek dapat menjadi sebuah “payung” yang dapat mempresentasikan produk atau layanan jasa. Merek juga mengandung arti sebagai cap, tanda atau lambang dengan berbagai bentuk yang melambangkan sesuatu, dan pada merek setiap tanda atau lambang yang mampu memberi kesan pada penglihatan. Setiap merek sebagai tanda mempunyai ciri khusus, dan tujuan dari adanya ciri khusus tersebut adalah untuk membedakan milik seseorang dari tanda atau cap orang lain.
30
Lambang atau cap
yang melekat dalam suatu produk dipakai dalam dunia perdagangan untuk menunjukkan suatu asal-usul barang, mutu maupun kualitas produk. Ditinjau dari segi hukum suatu penemuan atau hasil karya/produk hanya akan mempunyai arti bagi pemiliknya kalau pemilik tersebut tersedia sarana-sarana hukum untuk melindungi hasil karyanya terhadap perbuatan-perbuatan orang lain (kompetitor) yang mencari keuntungan secara tidak sehat dalam perdagangan dengan cara meniru produk/hasil karya tersebut, termaksud didalamnya terkait merek yang digunakan.
31
2. Fungsi Merek Dari berbagai uraian dan deskripsi yang dipaparkan oleh beberapa sarjana dan pakar diatas, merek memiliki fungsi sebagai pembeda dari produk barang atau jasa yang dibuat oleh seseorang atau badan hukum dengan produk barang atau jasa sejenis yang dibuat oleh seseorang atau badan hukum lain. Barang atau jasa sejenis disini diartikan bahwa barang atau jasa tersebut harus termasuk dalam kelas barang atau jasa yang sama pula. Bagi pihak produsen, merek berfungsi juga untuk jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, kemudahan pemakaiannya atau hal-hal lain yang pada umumnya berkenaan dengan 2007. hlm. 2. 30 M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan UndangUndang Merek Nomor 19 Tahun 1992Citra Adityabakti, , Bandung, 1996. hlm. 177. 31 Asikin Kusuma Atmadja, Beberapa Catatan atas makalah Sdr. Bambang Kesowo, SH, SH,LLM, Perlindungan Hukum Hak Milik Perindustrian, dalam Seminar Hak Milik Perindustrian Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Jakarta, 23-24 Januari 1987.
teknologinya. Sementara bagi pedagang, merek digunakan untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasaran. Sedangkan dari sisi konsumen, 32
Merek diperlukan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli. Merek juga dapat berfungsi untuk merangsang pertumbuhan industri dan perdagangan yang sehat dan menguntungkan semua pihak. Menurut beberapa kalangan, bahkan merek dapat berfungsi sebagai penghubung antara barang dan jasa yang bersangkutan dengan produsennya, maka hal ini akan menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya dalam perdagangan. Di dunia bisnis, merek mempunyai 2 fungsi yang paling utama, yaitu ; a. Merek memberikan identifikasi terhadap suatu produk sehingga konsumen mengenali merek dagang yang berbeda dengan pihak lain. b. Merek membantu untuk menarik calon pembeli. Dalam dunia perdagangan yang semakin meluas, merek seringkali digunakan sebagai salah satu cara untuk menciptakan dan mempertahankan good will di mata konsumen dan sekaligus sebagai sarana untuk memperluas pasaran suatu barang atau jasa. Merek yang sudah memiliki reputasi tinggi menjadikan good will bagi pemilik barang atau jasa, hal ini merupakan sesuatu yang tidak ternilai. 33
Menurut Muhamad Djumhana dan R Djubaedillah , merek memiliki beberapa fungsi antara lain ; a. Merek mempunyai fungsi menghubungkan barang dan jasa yang bersangkutan dengan produsennya, sehingga menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan. b. Merek berfungsi memberikan jaminan nilai atau kualitas dari barang dan jasa yang bersangkutan. 32 Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual, Khususnya Hak Cipta, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, 1990. hlm. 45. 33 Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual : Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. hlm. 170.
c. Merek berfungsi sebagai sarana promosi (mean of trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha-pengusaha yang memperdagangkan barang dan jasa yang bersangkutan. d. Merek berfungsi merangsang pertumbuhan industri dan perdagangan yang sehat yang menguntungkan semua pihak. 3. Jenis Merek Secara yuridis, dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek hanya membagi merek menjadi 2 (dua) jenis, yakni merek dagang dan merek jasa. Merek dagang berdasarkan Pasal 1 ayat (2) adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersamasama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Sementara merek jasa diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang mengyatakan bahwa merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Sabriando Leonal
34
membedakan merek dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek selain merek dagang dan merek jasa juga terdapat merek kolektif yang diartikan sebagai merek yang digunakan pada barang dan jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang 35
dan/atau jasa sejenis lainnya. Sementara Soekardono , mengatakan bahwa tentang bentuk atau wujud dari merek itu tidak terdapat ketentuan yang mengatur khusus dalam Undang-Undang, namun hanya memerintahkan memiliki daya pembeda yang diwujudkan dengan : a. cara yang oleh siapapun mudah dapat dilihat (bell mark). b. merek dengan perkataan (word mark) c. kombinasi dari merek atas penglihatan dan merek perkataan 3. Syarat Merek 34 Sabriando Leonal. Op.Cit. hlm. 29. 35 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cetakan ke-8, Dian Rakyat, Jakarta, 1983, hlm. 149.
Suatu nama, gambar atau etiket baru dapat dikatakan sebagai sebuah Merek apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti daya pembeda (capable of distinguishing) atau memiliki tanda yang dipakai (sign) yang membedakan barang atau jasa produksi perusahaan dari perusahaan lainnya. Selain memiliki daya pembeda, suatu merek dapat didaftarkan apabila memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, salah satunya adalah itikad baik. Pasal 4 “Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik.” Pasal 5 “Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini: a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; b. tidak memiliki daya pembeda; c. tidak menjadi milik umum; atau d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Pasal 6 1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut ; a) mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; b) mempunyai pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; c) mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 3) Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut : a) merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki oleh orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b) merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambing atau simbol atau emblem Negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; c) merupakan tiruan menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh Negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. 4. Sistem Perolehan Hak Atas Merek di Indonesia Ada 2 macam stelsel pendaftaran yang dikenal dalam kepustakaan yaitu
36
;
a. Sistem Konstitutif. Sistem konstitutif mengatur hak atas
merek diperoleh melalui
pendaftaran, artinya hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran (required by registration), dan pemegang hak Merek adalah seseorang/badan hukum yang mendaftarkan untuk perama kalinya di Kantor Merek.
37
Pada sistem konstitutif, pendaftaran merek merupakan hal yang
mutlak dilakukan. Merek yang tidak didaftar, otomatis tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Pihak berhak memperoleh hak atas suatu merek adalah pihak yang telah mendaftarkan mereknya. Pendaftaran ini menciptakan suatu hak atas merek. Pihak yang mendaftarkan, dialah satu-satunya yang berhak atas suatu merek dan pihak ketiga harus menghormati hak pendaftar sebagai hak mutlak. Sistem konstitutif, menggunakan prinsip first to file atau dengan doktrin prior in tempore, melior in jure, bahwa yang berhak atas suatu merek adalah pihak yang telah mendaftarkan mereknya. Jadi dengan adanya pendaftaran inilah menciptakan hak atas merek tersebut dan pihak yang mendaftarkan adalah satu-satunya yang berhak atas suatu merek dan bagi pihak lain harus menghormati hak pendaftar tersebut. Pendaftaran dengan sistem konstitutif ini dinilai lebih memiliki dan menjamin kepastian hukum daripada sistem 36 Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual : Perlidungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Alumni, Bandung, 2003. hlm. 331. 37 Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian “Prosedur/Proses Pendaftaran Merek”, terdapat dalam https://www.kemenperin.go.id/Kebijakan-Pemerintah-dalam-Perlindungan-Hak-KekayaanIntelektual-dan-Liberalisasi-Perdagangan-Profesi-di-Bidang-Hukum,diakses 8 Desember 2015, pukul 14.17 WIB.
deklaratif. Penerapan prinsip first to file dianggap dapat menciptakan ; 1) Kepastian hukum untuk mengkondisikan siapa sebenarnya pemilik merek yang paling utama untuk dilindungi. 2) Kepastian hukum pembuktian, karena hanya didasarkan pada fakta pendaftaran melalui sertifikat merek. Pendaftaran atau sertifikat merek menjadi satu-satunya alat bukti utama. 3) Mewujudkan dugaan hukum siapa pemilik merek yang paling berhak dengan pasti, tidak menimbulkan kontroversi antara pendaftar pertama dan pemakai pertama. b. Sistem Deklaratif. Sistem deklaratif mengatur pendaftaran merek tidak merupakan suatu keharusan, jadi tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan merek. Pendaftaran hanya untuk pembuktian, bahwa pendaftaran merek adalah pemakai pertama dari merek yang bersangkutan. Pendaftaran itu tidak menerbitkan hak, melainkan hanya memberikan dugaan atau sangkaan hukum (rechtsvermoeden) atau presemption iuris yaitu bahwa pihak yang mereknya terdaftar itu adalah pihak yang berhak atas merek tersebut dan sebagai pemakai pertama dari merek yang didaftarkan. Akibatnya tidak terdapat suatu kepastian atau perlindungan hukum didalam sistem deklaratif ini terhadap pemilik merek. Sebab masih dimungkinkan adanya gugatan dari pihak lain dengan pembuktian mana yang lebih kuat dalam persidangan. Sehingga potensi adanya sengketa merek sangat besar. 5. Hak Atas Merek Pengertian hak menurut Sudikno Mertokusumo adalah kepentingan yang dilindungi hukum.
38
Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan Negara
kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan merek itu tertentu menggunakan merek itu sendiri, atau memberi ijin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 38 Sudikno Mertokusumo dikutip dari Sabriando Leonal. Op. Cit. hlm. 35.
2001 tentang Merek). Hak atas kekayaan intelektual termasuk hak atas merek termasuk dalam kategori hak kebendaan yang memberi kekuasaan langsung atas suatu benda (merupakan benda tidak berwujud) kepada pemiliknya, yaitu kekuasaan untuk menggunakan dan menikmati. Hak atas merek merupakan hak kebendaan yang bersifat mutlak, bukan relatif, artinya setiap orang harus menghormati hak tersebut dan pemilik hak ini dapat mempertahankan terhadap siapapun yang tidak berhak. Hak kekayaan intelektual termasuk hak atas merek merupakan hak khusus yang diberikan oleh Negara kepada yang berhak (exclusive right), sehingga mengesampingkan pihak-pihak yang tidak berhak. Hak atas merek sebenarnya terbatas pada penggunaan atau pemakaiannya terhadap
produk-produk yang
dipasarkan dan mengandung nilai ekonomis. Hak atas merek dapat diperoleh melalui pendaftaran pada kantor merek dan pendaftaran harus mempunyai itikad baik. Adapun prosedur pendaftarannya adalah sebagai berikut ; a. Permohonan (application) b. Persyaratan formal (examination on complettness) c. pengumuman dan publikasi d. sanggahan dan keberatan e. pemeriksaan substantif f.
penerimaan dan penolakan
g. Banding atau penolakan Selanjutnya hak atas merek tersebut dapat dialihkan dengan beberapa cara seperti pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian dan sebab lain. 6. Sejarah Pengaturan Merek Dalam pembahasan tentang merek sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI), maka perlu dibahas terlebih dahulu pengertian dari HKI. Hak 39
Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) atau disingkat HKI adalah hak 39 Istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memang lebih popular dibandingkan dengan istilah Hak Milik Intelektual, istilah Hak Milik Intelektual (dengan beberapa argument baik yuridis maupun segi bahasa), untuk padanan kata Intellectual Property Rights, disamping istilah lain yang banyak digunakan seperti halnya : Hak atas Kekayaan Intelektual. Lihat pada Budi Santoso, Hak Kekayaan Intelektual, Cetakan ke 3, CV. Elangtuo Kinasih,
kebendaan, hak atas benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio 40
manusia. HKI telah menyita perhatian dunia sejak lama, sehingga banyak bentukbentuk konvensi yang diselenggarakan oleh internasional khususnya membahas soal perlindungan HKI. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan HKI tidak saja sebagai persoalan dalam satu Negara saja, namun sudah menjadi persoalan internasional atau antar Negara. Prinsip-prinsip tersebut juga menjadi dasar perlindungan dalam Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) yang dalam kerangka WTO telah dimasukkan dalam bidang tersendiri, yakni Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dibawah Dewan Umum (General Council). Persetujuan-persetujuan dalam TRIPs ini melengkapi perjanjian-perjanjian di bidang HKI yang telah ada sebelumnya, sekaligus memberikan perlindungan atas HKI secara internasional dibawah WTO. Perundingan di bidang ini (TRIPs) bertujuan 41
untuk ; a. meningkatkan perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual dari produk-produk yang diperdagangkan; b. menjamin prosedur pelaksanaan Hak Atas Kekayaan Intelektual yang tidak menghambat kegiatan perdagangan; c. merumuskan aturan disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual; d. mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme kerjasama internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan atas Hak Atas Kekayaan Intelektual. Kesemuanya tetap memperhatikan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh World Trade Organization (WTO). Konvensi Internasional pertama yang menjadi cikal bakal pengaturan Hak Milik Intelektual diselenggarakan di Paris, Perancis, dan dikenal dengan Konvensi Paris 1883. Konvensi Paris mengatur tentang industrial property (Paris Convention for the protection of industrial property). Selain konvensi Paris, salah satu konvensi yang menjadi tonggal sejarah pengaturan Hak Milik Intelektual adalah Konvensi Bern tahun 1886. Konvensi ini mengatur mengenai karya sastra dan ciptaan seni
Semarang, 2013. hlm. 156. 40 Cita Citrawinda, dikutip dari Sabriando Leonal, Op. Cit. hlm. 17. 41 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
(Bern Convention for the Protection of literary and Artistic Wokrs).
42
Pada Konvensi Paris, khususnya dalam article 1 (2) disebutkan bahwa : The Protection of industrial property has as its object patens, utility models, industrial designs, trademark, service marks, tradenames, indication of source or appellations of origin, and the repression of unfair competition. Dalam article 4 diatur mengenai : Paten, Utility Models, Industrial design, Marks, Inventor’s certificates; pada article 8 diatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Trade Names. Sedangkan article 10 mengatur tentang False Indications, dan article 10 bis menjelaskan tentang Unfair Competition. Menurut artikel-artikel tersebut, Konvensi Paris hanya mengatur tentang Paten, Merek, Desain Industri, Utility Models, Trade Names, False Indications dan Unfair Compertition, sementara segala hal terkait dengan Hak cipta (Copyright) belum tersentuh sama sekali dalam Konvensi ini. Ketentuan tentang hak cipta tersebut lebih lanjut diatur dalam Konvensi Bern 1886. Dalam perkembangannya, hak cipta juga memperoleh perhatian dalam Universal Copyright Convention (UCC) pada tanggal 6 September 1952.43 Seperti yang dijelaskan diatas, ketentuan mengenai perlindungan Hak Kekayaan Intelektual sebelumnya hanya diatur melalui sejumlah perjanjianperjanjian multilateral. Kemudian dari sejumlah perjanjian atau konvensi tersebut diadministrasikan oleh sebuah badan bernama World Intellectual Property 45
Organization (WIPO)44. Pendirian WIPO memiliki dua misi, yakni pertama untuk 42 ibid. hlm. 167-168. 43 Konvensi ini tercipta atas prakarsa UNESCO, sehingga dalam konvensi ini juga diatur mengenai perlindungan karya-karya dari Badan Organisasi Internasional. Lihat dalam Budi Santoso Op. Cit. hlm 169. 44 WIPO adalah istilah dalam bahasa Inggris, sedangkan dalam bahasa Perancis dan Spanyol dikenal dengan istilah “OMPI”, dan istilah “BONC” dalam bahasa Rusia. Secara historis, keberadaan WIPO berkaitan dengan Konvensi Paris dan Konvensi Bern yang pada saat itu membutuhkan semacam Internasional Biro atau secretariat, dan pada tahun 1893 terbentuk the United International Bureaux for the Protection of intellectual Property atau yang lebih dikenal dengan sebutan “BIRPT”. Dalam perkembangannya dan prakteknya tugas-tugas BIRPI ini dilakukan oleh WIPO yang ditunjuk sebagai special agency dari United Nations pada tahun 1974, yang merupakan agen khusus ke empatbelas dari PBB. Lihat dalam Budi Santoso, Op. Cit, hlm. 170. 45 WIPO didirikan pada tanggal 14 Juli 1967, melalui konvensi, Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, ditandatangani di Stockholm, namun baru berlaku pada tahun 1970. Sejak Desember 1974, secara resmi WIPO menjadi badan khusus PBB. Disamping WIPO, badan lain yang mengelola HKI adalah UNESCO melalui UCC dan UNCED yang mengelola suatu perjanjian tentang Bioderversity Convention.
meningkatkan atau mempromosikan perlindungan HKI di seluruh dunia dan kedua adalah untuk mengadministrasikan perjanjian-perjanjian internasional di bidang HKI dan anggota-anggota pesertanya. Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional dan anggota WTO membawa konsekuensi wajib menyesuaikan dan melakukan harmonisasi ketentuan hukum nasionalnya. Sebagai anggota, Indonesia harus tunduk atas hukum yang diberlakukan dalam organisasi internasional tersebut. Keharusan akan ratifikasi ketentuan yang diatur dalam WTO tersebut menjadi bentuk desakan yang memungkinkan adanya ketidaksesuaian dengan hukum masyarakat Indonesia sendiri. Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional telah meratifikasi ketentuan WTO Agreement yang kemudian disusul dengan pembentukan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), merupakan pintu gerbang bagi perkembangan globalisasi ekonomi. Ratifikasi WTO Agreement menimbulkan sebuah konsekuensi yuridis bahwa pemerintah Indonesia harus melakukan harmonisasi ketentuan hukum nasionalnya khususnya di bidang ekonomi agar sesuai dengan standar-standar WTO Agreement, termasuk kaitannya dengan Perlindungan HKI. Masuknya Indonesia ke dalam tatanan organisasi WTO akan menimbulkan pengaruh yang tidak dapat diabaikan terhadap perekonomian nasional, yang pada gilirannya juga akan mempengaruhi kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Pengaruh ini akan terlihat jelas dalam bidang investasi. Masuknya modal asing ke dalam negeri Indonesia tidak lepas dari kesiapan Indonesia dalam upaya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Investor asing dalam berbagai hal akan melakukan investasi dalam bentuk teknologi, keahlian serta perangkat lunak lainnya (software) yang termasuk ke dalam kerangka perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). a. Pengaturan Secara Internasional
lihat dalam, Adi Sulistiyono, Eksistensi & Penyelesaian Sengketa HaKI (Hak Kekayaan Intelektual), Cetakan ke-3. LPP UNS dan UNS Press, Surakarta, 2008. hlm. 18.
Sekitar abad 19, desakan mengenai pengaturan tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual semakin dirasakan. Hal tersebut diperlukan menyusul semakin
berkembangnya
teknologi
yang
berorientasi
internasional
dan
peningkatan perdagangan internasional. Selain itu, kebutuhan untuk mendapatkan perlindungan terhadap penemuan-penemuan di beberapa Negara mengalami kendala oleh pengaturan hukum masing-masing Negara yang berbeda. Pada tahun 1873, Pemerintah Austria telah mengundang beberapa Negara untuk berpartisipasi dalam
pameran
internasional
tentang
penemuan-penemuan
baru,
yang
diselenggarakan di Wina. Dari pertemuan tersebut akhirnya berlanjut dengan diadakan kongres internasional tentang pelindungan milik perindustrian di Paris pada tahun 1878. dalam kongres ini diusulkan membentuk perserikatan internasional dalam rangka perlindungan milik perindustrian. Berpijak dari usulan tersebut, akhirnya dibentuklan sebuah konferensi internasional di Paris pada tahun 1880 dan berhasil mengesahkan draft perjanjian internasional yang mengatur secara substantif perlindungan milik perindustrian. Dari perjanjian tersebut lalu kembali diadakan konferensi diplomatik pada tahun 1883 dan berhasil dilakukan penandatanganan konvensi internasional yang mengatur perlindungan hak milik perindustrian yang disebut “The Paris Convention for The Protection on Industrial Property” atau sering disebut sebagai Konvensi Paris, yang merupakan tonggak perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (Paten, Merek dan Desain Industri) internasional. Persetujuan TRIPs memuat norma-norma dan standar perlindungan bagi karya intelektual manusia dan menempatkan perjanjian internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual sebagai dasar. Berkaitan dengan merek, Perjanjian TRIPs merupakan perjanjian yang memiliki peran strategis dalam pengaturan perdagangan internasional saat 46
ini. Persetujuan TRIPs mengatur definisi merek sebagai berikut ; Any sign or any combination of sign, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those trademark. Such signs, in particular words including personal names, letter, numeral, figurative elements and combinations colors as well as any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the 46 Persetujuan TRIPs Pasal 15 ayat (1), dikutip dari Sabriando Leonal. Op. Cit. hlm. 43.
relevant goods or services. Member may make registrability depend on distinctivencess acquired through use. member may require, as a condition of registration, that signs be visually percetible. Untuk menyempurnakan dari hasil Konvensi Paris tersebut, maka sering diadakan pertemuan-pertemuan lanjutan dalam rangka memperbaiki sistem perlindungan HKI di Internasional. Beberapa pertemuan yang diadakan pasca Konvensi Paris tersebut diantaranya ; 1) Konferensi Den Haag tahun 1925 yang bertujuan merevisi tentang perluasan pemberian hak prioritas atau The right of priority menjadi 6 bulan sebagai salah satu upaya melindungi merek terkenal (well-know mark) dari tindakan reproduksi dan pemalsuan. 2) London Act tahun 1934, mengenai perluasan perlindungan terhadap merek terkenal (famous mark), termasuk di dalamnya peniruan penerjemahan tanpa hak, serta tentang lisensi merek. 3) Selain dua konferensi untuk merevisi Konvensi Paris, juga terdapat 3 konferensi lain yang turut berperan dalam perbaikan Konvensi Paris tersebut, diantaranya Konferensi Lisabon tahun 1958, Konferensi Stockhol tahun 1967, dan Konferensi Jenewa tahun 1979. Berdasarkan konferensi-konferensi diatas, secara garis besar pokok aturan yang diatur dalam Konvensi Paris dibagi menjadi 4, yakni ; 1) Aturan yang berisi tentang hukum substantif yang menjamin persamaan hak bagi semua orang (national treatment) di setiap Negara, 2) Aturan tentang hak prioritas (right of priority), 3) Mencakup aturan umum bidang hukum susbtantif yang berisi hak dan kewajiban seseorang atau badan hukum serta aturan yang mensyaratkan atau memperbolehkan Negara-negara anggota membuat regulasi sendiri yang sesuai dengan aturan umum tersebut, 4) Terkait kerangka kerja administratif yang telah diatur untuk menerapkan konvensi tersebut. Sedangkan dorongan untuk membentuk organisasi internasional yang khusus menangani Hak Kekayaan Intelektual terwujud pada Konferensi Stockhol tahun 1967 dengan kesepakatan dalam Convention Establishing the World Intellectual
Property Organization (WIPO) yang mana seluruh anggota dari Konvensi Paris merupakan anggota dari WIPO tersebut. Menurut WIPO, maka kesepakatan internasional di bidang HKI dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok, yakni : Tabel 1. Konvensi Internasional Tentang Hak Kekayaan Intelektual
Sumber : Budi Santoso. Hak Kekayaan Intelektual. Cetakan ke 3. Semarang. CV. Elangtuo Kinasih. hlm. 183-185.
b.
Pengaturan Secara Nasional Jauh sebelum melakukan ratifikasi atas ketentuan yang diatur dalam
TRIPs, Indonesia sebenarnya telah memiliki ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hak milik intelektualnya sejak tahun 1840 di bawah kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda
47.
Kemudian
sejak tahun 1855 Pemerintah
Kolonial Belanda membuat Undang-Undang beberapa ketentuan Undangundang di bidang Hak Kekayaan Intelektual, seperti Undang-Undang Merek pada tahun 1855, Undang-Undang Paten tahun 1910, Undang-Undang Hak Cipta tahun 1912. Indonesia yang saat itu masih bernama Netherlands East-Indies juga telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property pada tahun 1883, dan juga ikut terlibat dalam Madrid Convention sejak tahun 1893 hingga 1936, serta anggota Berne Convention for Protection of Literary and Artistic Work sejak tahun 1914. Sejak masa kependudukan Jepang hingga kemerdekaan, seluruh ketentuan yang mengatur tentang HKI tersebut tetap berlaku dengan dasar Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan semua peraturan yang telah ada sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka dinyatakan masih berlaku. Oleh karena itu perlindungan atas hak milik perindustrian yang diatur dalam Reglement Industriele Eigendom Stb. 1912 Nomor 545, terkait Patent yang diatur dalam Octrooiwet 1910 S Nomor 33 yis 1912 Stb. Nomor 600, juga dinyatakan masih berlaku. Sistem yang diatur dalam Reglement tersebut adalah sistem deklaratif, artinya yang memperoleh perlindungan hukum ialah pemakai pertama kali, bukan siapa yang mendaftarkan pertama kali. Sehingga asas yang ditegakkan adalah “the prior user has a better right”, yang berarti pemakai pertama kali memiliki hak yang lebih utama dibanding dengan pendaftar pertama. Jadi sistem yang digunakan pada saat itu adalah sistem Deklaratif. Akan tetapi di dalam Reglement ini dirasa masih terdapat beberapa kekurangsempurnaan dan ketidakjelasan, diantaranya mengenai hak prioritas, lisensi, pemalsuan serta ganti rugi dan pemidanaan. Bahkan Reglement tersebut
47 Sebenarnya merek mulai berkembang pesat di Indonesia sejak peralihan antara abad 19 dan abad 20. Pada masa penjajahan Belanda pada masa ini sudah banyak produk Indonesia, seperti jamu, rokok, kecap, kopi dan batik menggunakan logo atau gambar sebagai merek. Hanya saja tujuan pemakaian merek pada masa itu lebih difokuskan sebagai tanda untuk mengidentifikasi produsen, perancang dan atau penyedia jasa spesifik, Lihat dalam Casavera, 8 Kasus Sengketa di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009. hlm 2.
juga dinilai bertentangan dengan semangat nasionalisme bangsa Indonesia, terlebih terkait Paten terdapat ketentuan yang mengatur permohonan dapat diajukan di kantor Paten yang berada di Batavia, namun pemeriksaannya dilakukan di Octrooviraad yang ada di Belanda. Akhirnya pada tahun 1953, Pemerintah
Indonesia
melalui
Kementerian
Kehakiman
mengeluarkan
Pengumuman Nomor J. S. 5/41/4 dan Nomor J. g. 1/2/17 yang mengatur tentang Paten. Pada tahun 1961 lahirlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Perniagaan, yang merupakan regulasi pertama dalam bentuk Undang-Undang yang dibuat di Indonesia setelah kemerdekaan menggantikan ketentuan aturan peninggalan dari masa Kolonial Belanda. Undang-Undang ini masih terlalu sederhana dan terdapat banyak kesamaan dengan Reglement sebelumnya, selain sama-sama tidak mencantumkan sanksi pidana, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 juga tidak memerlukan peraturan lebih lanjut tentang peraturan pelaksanaannya. perbedaan antara Reglement dengan Undang-Undang ini hanyalah terkait dengan masa berlakunya perlindungan merek, yakni 10 tahun menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, sementara dalam Reglement adalah 20 tahun. Perbedaan lain adalah adanya penggolongan barang-barang dalam 35 kelas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, sementara dalam Reglement belum diatur. Barulah pada tanggal 10 Mei 1979, Indonesia sebagai salah satu Negara anggota dari Konvensi Paris wajib melakukan ratifikasi atas ketentuan kesepakatan yang dicapai dalam konvensi tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979. Namun tidak sepenuhnya seluruh isi kesepakatan dalam konvensi diberlakukan di Indonesia. Pemerintah Indonesia membuat reservasi/perkecualian terhadap beberapa pasal, seperti Pasal 1 sampai dengan Pasal 12, dan Pasal 28 ayat (1). Sementara ketentuan mengenai Hak Cipta baru disahkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagai pengganti Undang-Undang peninggalan Belanda
yang bertujuan untuk melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya seni dan sastra di Indonesia. Pemerintah Indonesia kembali melakukan upaya perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual dengan membentuk tim khusus di bidang HKI melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1986. Tim khusus ini bertugas untuk menyusun kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan perundang-undangan di bidang HKI, serta sosialisasi sistem HKI kepada masyarakat, pemerintah dan aparat hukum. Desakan untuk lebih mengatur tentang perlindungan HKI di Indonesia semakin kuat menyusul antara tahun 1985 hingga tahun 1987, di Indonesia terjadi pembajakan berbagai bentuk karya cipta semakin marak, mulai dari buku, rekaman lagu, kaset dll telah terjadi pembajakan. Termasuk salah satu penyanyi luar negeri Bob Geldof dengan lagunya yang berjudul “ We are the World” yang merupakan lagu untuk kemanusiaan juga menjadi korban pembajakan saat itu, tanpa pemberian royalty sedikitpun. Bahkan organisasi 48
terkemuka di bidang HKI, International Intellectual Property Alliance (IIPA)
memberikan data yang menunjukkan bahwa karya-karya seniman dari Amerika Serikat yang paling banyak dibajak, terlebih terkait aplikasi software, yakni senilai 4,65 Miliar dolar, kemudian disusul mengenai entertainment program senilai 4,4 miliar dolar. Sedangkan untuk penerbit di Amerika, dilansir mengalami kerugian akibat pembajakan hak ciptanya sebesar 685,3 juta dolar pada tahun 1998. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada tahun sebelumnya (1997) sebesar 665,3 juta dolar. Amerika menuding bahwa Negara yang paling besar melakukan pembajakan atas hak kekayaan intelektual Negara lain adalah dari Negara Cina. Berdasarkan data dari IIPA, Cina telah merugikan penerbit asing sebesar 125 juta dolar, Rusia sebesar 45 juta dolar, Pakistan, 40 Juta dolar, Filipina sebesar 39 juta dolar, Korea dan Meksiko masing-massing sebesar 3,5 juta dolar. Sementara India dan Indonesia merugikan sebesar 30 juta dolar. 48 Suyud Margono, Dampak Implementasi TRIPs Agreement Terhadap Prosedur Upaya Hukum HKI di Indonesia, http://supremasihukumusahid.org/jurnal/88-volume-iii-no-1/101-dampak-implementasi-tripsagreementterhadap-prosedur-upaya-hukum-haki-di-indonesia.html hlm. 2-3. diakses pada 28 Juli 2015, pukul 11.16 WIB.
Data yang dimiliki oleh IIPA pada tahun 2003 justru menempatkan Indonesia ke dalam daftar Priority Watch List, sehingga jika pembajakan masih tetap berjalan dan dibiarkan, maka terdapat kemungkinan Indonesia akan dikenakan sanksi penalti. Bahkan IIPA menyebutkan jika prosentase pembajakan di Indonesia pada tahun tersebut mencapai 90%. Ini artinya hanya terdapat 10% produk legal yang beredar di pasaran. Menanggulangi hal tersebut, masyarakat internasional mendesak Pemerintah Indonesia segera bertindak, dan lahirlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Undang-Undang Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Untuk melengkapi atas upaya perlindungan HKI tersebut, pada tahun 1988, Pemerintah dengan Keppres Nomor 32 Tahun 1988 menetapkan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Cipta yang sebelumnya masih tergabung dalam Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan dibawah Departement Kehakiman. Berbagai perubahan dan perbaikan ketentuan perundang-undangan terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Pada tahun 1989, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui rancangan UndangUndang tentang Paten dan diundangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989. Selanjutnya pada tahun 1992 kembali mengesahkan UndangUndang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek sebagai pengganti atas UndangUndang Nomor 21 Tahun 1961 yang dinilai sudah tidak dapat mengikuti perkembangan jaman untuk memberikan perlindungan HKI di bidang Merek. Dasar pertimbangan diubahnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Mereksebagaimana disebutkan dalam penjelasan umumnya diantara adalah ; 1) Bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya, merek sebagai salah satu wujud karya intelektual, memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa; 2) Bahwa dengan memperhatikan pentingnya peranan merek tersebut, diperlukan penyempurnaan pengaturan dan perlindungan hukum atas merek
yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek, karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan; 3) Materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek bertolak dari konsepsi merek yang tumbuh pada masa sekitar perang dunia kedua. Sebagai akibat perkembangan keadaan dan kebutuhan serta semakin majunya norma dan tatanan niaga, menjadikan konsepsi merek yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Merek tertinggal jauh. Hal ini semakin terasa saat komunikasi semakin maju dan pola perdagangan antar bangsa sudah tidak lagi terikat pada batas-batas Negara. Keadaan ini menimbulkan saling bergantungan antar bangsa, baik dalam kebutuhan, kemampuan maupun kemajuan teknologi dan lain-lainnya yang mendorong pertumbuhan dunia sebagai pasar bagi produk-produk mereka; 4) Perkembangan norma dan tatanan niaga itu sendiri telah menimbulkan persoalan baru yang memerlukan antisipasi yang harus diatur dalam suatu undang-undang. Sejak
diundangkannya
Undang-Undang
tentang
merek
ini,
mulai
dikenal/diberlakukannya sistem “first to file” untuk memberikan perlindungan terhadap pemilik merek yang mendaftarkannya pertama kali. Dengan diubahnya ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, maka terjadi perubahan yang sangat signifikan di bidang merek, diantaranya adalah sbb ;
Tabel 2. Perbandingan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek No
Undang-Undang nomor 21 tahun 1961
Undang-Undang nomor 19 tahun 1992
1
Hanya mengatur merek dagang
Telah mengatur merek dagang dan jasa
2
Menganut sistem pendaftaran deklaratif
Menganur sistem pendaftaran konstitutif
3
Pendaftaran hanya dengan pemeriksaan Dilakukan dengan pemeriksaan substantif formal
4
Tidak mengatur tentang hak prioritas, Mengakui dan menerapkan hak prioritas, pengalihan
merek
dengan
lisensi pengalihan merek dengan lisensi dan
maupun sanksi pidana
sanksi pidana
Sumber : Sabriando Leonal, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta 2011, yang berjudul “Implementasi Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hubungan Dengan Praktik Persaingan Usaha Bidang Merek”.hlm. 63.
Harmonisasi hukum dalam perlindungan Hak kekayaan Intelektual di Indonesia diawali pada tahun 1994. Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah Indonesia menandatangani “Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade relaed Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Sehingga dalam keterlibatannya penandatanganan tersebut, maka Indonesia meratifikasi ketentuan tersebut dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1994. Paska ratifikasi ketentuan WTO tersebut, kembali Pemerintah Indonesia melakukan perubahan-perubahan atas ketentuan Undang-Undang di bidang HKI. Undang-Undang Hak Cipta diubah ke dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 1997, Undang-Undang Paten diubah dengan Undang-Undang nomor 13 tahun 1997. dan Undang-Undang tentang Merek diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek sifatnya hanya melengkapi, menambah dan mengubah ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek, dan bukannya menggantikan. Beberapa ketentuan yang ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek ialah perlindungan terhadap indikasi geografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk lingkungan faktor alam atau faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Selain dalam Undang-Undang
Pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 tentang Merek diatur pula perlindungan terhadap indikasi asal, yaitu tanda yang hampir serupa dengan tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis, tetapi perlindungannya diberikan tanpa harus didaftarkan. Hal lain yang diubah dalam Undang-Undang tahun 1997 adalah hak atas merek jasa terdaftar yang erat kaitannya dengan kemampuan atau keterampilan pribadi seseorang, dapat dialihkan maupun No.
Konvensi
Ratifikasi
dilisensikan kepada pihak
lain
dengan ketentuan harus disertai dengan jaminan kualitas dari pemilik merek tersebut. Selain itu draft rancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI juga mulai disusun Pemerintah, seperti Rancangan Undang-Undang tentang Desain Industri, Rancangan Undang-Undang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rancangan Undang-Undang Rahasia Dagang. Perubahanperubahan dan penyusunan draft Rancangan Undang-Undang tersebut merupakan langkah Pemerintah dalam melakukan penyesuaian dengan ketentuan yang diatur dalam TRIPs, dan sebagai Negara berkembang, Indonesia wajib memberlakukannya 5 tahun sejak ditandatangani atau paling lambat 1 Januari tahun 2000. Beberapa ratifikasi atas konvensi-konvensi atau persetujuan juga dilakukan pada tahun tersebut, diantaranya adalah ; Tabel 3. Daftar Ratifikasi Perundang-Undangan
1
Paris Convention for the Preotection of Keppres no 15 tahun 1997 Industrial Property
2
Patent Cooperation Treaty
Keppres Nomor 16 tahun 1997
3
Trademark Law Treaty
Keppres no 17 tahun 1997
4
Berne Convention for the Protection of Keppres Nomor 18 tahun Literary and Artistic Work 1997
5
WIPO Copyright Treaty
Su mber : OK. Saidin. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Rajawali Pers, Jakarta, 2007. hlm. 17.
Keppres Nomor 19 tahun 1997 Sekitar
tahun 2000, barulah Pemerintah Indonesia melengkapi beberapa kekurangan regulasi yang tercantum di dalam TRIPs dengan mengesahkan draf Rancangan Undang-Undang berikut menjadi Undang-undang ; a. draft Rancangan Undang-Undang Perlindungan Varietas Baru Tanaman ke dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2000, b. draft Rancangan Undang-Undang Rahasia Dagang ke dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2000, c. draft Rancangan Undang-Undang Desain Industri ke dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2000, dan d. draft Rancangan Undang-Undang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu ke dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2000. Bahkan untuk memenuhi tuntutan dalam TRIPs mengenai harus diaturnya prosedur yudisial dan sanksi pidana bagi pelanggaran HKI, Pemerintah juga melakukan perubahan atas Undang-Undang Paten menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek. Perubahan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan semakin meningkat pesat dan juga untuk mempertahankan iklim persaingan usaha yang sehat serta untuk menampung beberapa aspek atau ketentuan dalam persetujuan TRIPs yang belum tertampung
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek. Perubahan yang tampak mendasar yakni diaturnya penyelesaian sengketa dan sifat delik di dalam pelanggaran HKI yakni termasuk ke dalam delik aduan, sehingga suatu pelanggaran baru dapat diproses apabila telah terdapat aduan/laporan dari pihak yang merasa dirugikan. Dalam penyelesaian sengketa diatur dengan pembentukan peradilan Niaga untuk menangani sengketa di bidang komersial dan HKI. Hal ini diharapkan agar sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Upaya hukum dalam Pengadilan Niaga tersebut juga masih dimungkinkan dilakukan sampai pada tahap kasasi di Mahkamah Agung. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pemilik merek juga diberikan upaya perlindungan hukum lain, yaitu Penetapan Sementara Pengadilan yang bertujuan untuk melindungi merek untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Artinya pengadilan dapat memerintahkan Tergugat dalam sengeta merek untuk menghentikan produksi, peredaran barang atau jasa yang menggunakan merek tersebut secara tanpa hak dan melawan hukum. Guna memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesaian sengeketa, dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek juga memuat ketentuan tentang Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa, artinya pada pihak dapat menggunakan media lain yang bersifat non litigasi, yakni Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) di lembaga yang berwenang untuk itu. Perbedaan lain yang menonjol dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek) diantaraya adalah penyelesaian permohonan pendaftaran merek, pada Undang-Undang sebelumnya pemeriksaan substantif dilakukan setelah permohonan pendaftaran dinyatakan diterima secara administratif. Sementara sebelum pemeriksaan substantif dilakukan setelah selesainya masa pengumuman tentang adanya permohonan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Merek, jangka waktu pengumuman dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, atau lebih singkat dari janka waktu pengumuman Undang-Undang sebelumnya. 7. Syarat dan alur pendaftaran Merek di Indonesia
Seperti disebutkan diatas, pengakuan atau syarat timbulnya hak atas merek bagi pemilik merek menurut sistem konstitutif adalah mendaftarkan mereknya pada Direktorat Jenderal HKI sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan demikian pendaftaran merek sekaligus menjadi faktor penting dalam rangka perlindungan hukum yaitu tahap awal suatu perlindungan yang bersifat preventif dan dasar berpijak yang kuat bagi upaya perlindungan merek selanjutnya. Oleh sebab itu pelaksanaan prosedur pendaftaran merek sebagaimana diatur oleh undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek perlu dikemukakan disini. Adapun pelaksanaan
prosedur pendaftaran
merek menurut
Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dimulai dengan permohonan pendaftaran merek yang diajukan dengan cara mengisi formulir dari kantor merek dalam bahasa Indonesia, diketik rangkap 4 (empat). Pemohon diwajibkan melampirkan: a) fotokopi kartu tanda penduduk pemohon; b) Surat pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftaran adalah miliknya; c) 24 lembar etiket merek (4 lembar dilekatkan pada formulir) yang dicetak di atas kertas; d) salinan resmi akte pendirian badan hukum atau fotokopinya yang dilegalisir oleh notaris, apabila pemohon badan hukum; e) Surat kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran merek diajukan melalui kuasa; f) Bukti Pembayaran biaya yang telah ditentukan dalam peraturan pemerintah; g) Bukti prioritas asli dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, apabila permohonan dilakukan dengan hak prioritas; Pada tahap ini, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual menerima semua permohonan pendaftaran merek dengan berpedoman bahwa pemohon atau 49
pendaftar merek merupakan pemohon atau pendaftar yang beritikad baik . Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, penolakan baru akan dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal setelah melalui tahap pemeriksaan administratif dan substantif. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal penerimaan (filling date) seharusnya Direktorat Jenderal sudah melakukan
49 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
pemeriksaan substantif terhadap seharusnya
suatu
permohonan
merek. Pemeriksaan
bisa diselesaikan dalam waktu 9 bulan.
50
ini
Setelah permintaan
pendaftaran merek itu diajukan dilakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan administrasi.
51
Pada tahap ini berkas permohonan diperiksa kelengkapan administrasinya sesuai peraturan mengenai syarat dan tata cara permohonan. Dalam tahap ini juga apabila seluruh persyaratan lengkap maka kantor merek memberikan tanggal penerimaan, tetapi apabila belum lengkap diberikan kesempatan melengkapi dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman pemberitahuan. Jika dalam jangka waktu tersebut habis belum memenuhi kelengkapan persyaratan maka permohonan merek dianggap ditarik kembali. Selain itu juga diatur permohonan menggunakan hak prioritas sebagai pelaksaan Konvensi Paris dan WTO. Pengajuan berdasarkan hak prioritas harus diajukan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penerimaan pendaftaran merek bersangkutan pertama kali di Negara lain yang menjadi anggota Konvensi Paris dan WTO yang dilampirkan dalam permohonan sebagai bukti adanya hak prioritas
dan
diterjemahkan
dalam
bahasa Indonesia. Apabila bukti hak
prioritas belum dilampirkan, diberikan kesempatan 3 (tiga) bulan untuk melampirkannya
termasuk
kekurangan
kelengkapan
syarat-syarat
umum
pendaftaran dalam rangka pemeriksaan formil terhitung sejak berakhirnya masa 6 (enam) bulan pengajuan berdasarkan hak prioritas. Apabila setelah masa tiga bulan tidak dapat menunjukkan bukti adanya hak prioritas, permohonan selanjutnya tetap diproses tanpa hak prioritas kecuali ternyata dalam jangka waktu itu pula tidak melengkapi syarat umum yang lain untuk pendaftaran, maka permohonan dianggap ditarik kembali. Apabila seluruh persyaratan
permintaan
pendaftaran
merek dalam
persyaratan administratif tersebut telah dipenuhi oleh pemohon atau kuasa
50 Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 51 Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
hukumnya
maka
Direktorat
Jenderal
melakukan
pemeriksaan
substantif.
Pemeriksaan substantif memegang peranan penting untuk menentukan apakah suatu tanda yang dimintakan pendaftaran mereknya dapat diterima atau tidak. Pemeriksaan substantif ini dilakukan oleh pemeriksa merek yang memiliki kualifikasi tertentu.
52
Ada dua alasan bagi Direktorat Jenderal menolak setiap
permintaan pendaftaran merek yaitu penolakan secara absolut dan penolakan secara relatif. Penolakan secara absolut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
53
Ketentuan pasal ini dianggap sebagai syarat
absolut, yang tidak memungkinkan suatu merek didaftarkan, karena bersifat universal dan alasannya bersifat obyektif yang harus diketahui dan dimengerti oleh setiap pemeriksa merek, dan atau karena ketentuan itu selalu tercantum dalam setiap perundang-undangan merek di banyak negara walau diatur dalam susunan kalimat yang berbeda. Selanjutnya, alasan penolakan kedua adalah penolakan secara relatif, artinya penolakan itu bisa terjadi karena alasan yang bersifat subyektif atau bergantung pada kemampuan dan pengetahuan pemeriksa merek. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek Jo UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pada dasarnya pasal ini berisi kualifikasi merek yang harus ditolak pendaftarannya, yaitu: “Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan : a. Merek lain dengan produk sejenis yang sudah terdaftar dalam daftar umum merek. b. Merek terkenal baik yang terdaftar dalam daftar umum merek maupun yang belum terdaftar untuk produk yang sejenis dan mencakup produk tidak sejenis apabila merek terkenal tersebut memenuhi syarat yang ditentukan peraturan pemerintah. 52 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 53 Pasal 5 Undang-Undang Merek Tahun 1992 :”Merek tidak dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur dibawah ini:a).bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum; b).tidak memiliki daya pembeda; c).telah menjadi milik umum; d).merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran”.
c. Indikasi geografis atau indikasi asal. d. Nama atau foto orang terkenal maupun nama badan hukum orang lain kecuali ada persetujuan yang bersangkutan. e. Singkatan nama, bendera, lambang atau symbol atau emblem Negara atau lembaga nasional maupun internasional kecuali ada dasar persetujuan tertulis yang berwenang. f. Tanda atau cap resmi Negara atau lembaga pemerintah kecuali atas persetujuan tertulis yang berwenang.” Di Indonesia penilaian persamaan adalah adanya kesan dari masyarakat yang menilai suatu merek sama atau menyerupai baik arti maupun bunyinya. Secara singkat seluruh alur permohonan dan pemeriksaan sebagaimana disebut diatas dapat digambarkan dalam diagram alur sebagai berikut ;
Bagan I. Alur Proses Perolehan Hak Merek
Sumber : www.dgip.go.id
9. Penyelesaian Sengketa Merek Sengketa hukum yang terjadi diantara para pihak sudah pasti harus diselesaikan, dan tentunya berdasarkan mekanisme hukum yang telah ditentukan sebelumnya dalam peraturan perundang-undangan. Pada masyarakat bisnis terdapat 2 (dua) pendekatan umum yang sering digunakan untuk menyelesaikan sengketa.
54
Pertama adalah
pendekatan litigasi, merupakan suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui system perlawanan (the adversary system) dan menggunakan paksaan (coercion) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihakpihak yang bersengketa. Pendekatan kedua menggunakan paradigma penyelesaian sengketa non-litigasi, yakni dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan ‘konsensus’ dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan hasil penyelesaian ke arah win-win solution. a. Penyelesaian Sengketa Kekayaan Intelektual Internasional Pada taraf internasional, mekanisme penyelesaian sengketa di bidang Kekayaan Intelektual dilakukan oleh Pusat Arbitrase WIPO (WIPO Arbitration Centre/WAC) sebagai bagian tersendiri dari Biro Internasional WIPO. WAC didirikan sejak September 1993 pada sidang umum WIPO untuk menyelesaikan sengketa dibidang Kekayaan Intelektual Internasional yang melibatkan individu-individu. Penyelesaian sengketa dalam WAC menggunakan 2 metode yaitu
55
; Pertama, menggunakan
paradigma non-litigasi secara diplomatic, meliputi negotiation, mediation, dan conciliation, Kedua, paradigm litigasi, secara hukum, meliputi arbitration, dan judicial settlement. WAC dalam penyelesaian sengketa kekayaan intelektual internasional memberikan pilihan 4 prosedur penyelesaian, yaitu
56
;
1) Mediasi atau konsiliasi, adalah satu cara penyelesaian sengketa dengan orang penengah yang netral, tidak berpihak, dan bertindak sebagai mediator. Pada
54 Adi Sulistiyono, Eksistensi & Penyelesaian Sengketa HaKI (Hak Kekayaan Intelektual), LPP UNS dan UNS Press Surakarta, 2008, hlm. 3. 55 J.G. Merrils, International Dispute Settlement, Sweet & Maxwell, London, 1984, h.1. dalam ibid. hlm. 37. 56 Loc.cit. hlm. 38.
57
proses ini menggunakan ketetuan WIPO Mediation Rules ; 58
2) Arbitrase, pada proses ini digunakan ketentuan WIPO Arbitration Rules,
dimana para pihak yang bersengketa menunjuk arbitrator atau pusat arbitrase (arbitration centre), yang akan memberikan keputusan yang mengikat bagi para pihak; 3) Arbitrase dengan proses dipercepat, adalah suatu cara arbitrase dimana diadakan modifikasi tertentu agar arbitrase ini dapat berlangsung secara cepat dalam jangka waktu yang lebih singkat. Proses ini menggunakan WIPO 59
Expedited Arbitration Rules ; 4) Kombinasi antara mediasi dengan arbitrase, cara ini merupakan kombinasi dari baik mediasi maupun arbitrase, dimana para pihak harus berusaha untuk mencapai penyelesaian sengketa melalui mediasi, namun jika tidak diperoleh penyelesaian dalam jangka waktu tertentu yang telah dipastikan oleh para pihak (WIPO menetapkan jangka waktu 60 sampai 90 hari), maka akan diikuti penyelesaian melalui arbitrase. Ketentuan yang digunakan dalam prosedur ini juga menggunakan dua ketentuan, yakni Mediation Rules dan Arbitration Rules.
60
Selain WAC, dalam penyelesaian sengketa Kekayaan Intelektual Internasional yang melibatkan antar Negara, maka dapat dilakukan melalui mekanisme Dispute Settlement Body (DSB).
61
Mekanisme DSB digunakan untuk menyelesaikan sengketa dibidang Kekayaan
Intelektual yang disebabkan suatu Negara tidak melindungi Hak Kekayaan Intelektual milik warga Negara asing. DSB memiliki kewenangan untuk membentuk panel, mengesahkan laporan panel dan laporan banding panel, mengawasi pelaksanaan putusan dan rekomendasi panel, dan memberikan wewenang pada Negara untuk melaksanakan retalisasi (tindakan balasan) apabila yang kalah tidak mengindahkan putusan. 57 www.wipo.int, diakses pada 1 februari 2016, pukul 15.00 wib. 58 Ibid. 59 Ibid. 60 Ibid.
61 Adi Sulistiyono. Op. cit. hlm. 40. 62 Ibid. hlm. 41.
62
63
Pada penyelesaian melalui DSB , maka Negara yang HKI milik warganegaranya diperlakukan tidak baik oleh Negara lain, maka dapat mengajukan permintaan konsultasi secara tertulis yang berisi permohonan, identifikasi tindakan yang dipermasalahkan kepada DSB dan Dewan TRIPs. Selanjutnya DSB akan mengirimkan pemberitahuan kepada Negara yang dinilai melanggar HKI tersebut, dan diminta untuk menjawab dalam jangka waktu 10 hari sejak permintaan/pemberitahuan diterima, atau sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama. Apabila Negara yang dianggap melanggar tersebut menerima permintaan konsultasi, maka konsultasi harus segera dilaksanakan paling lambat 30 hari sejak pemberitahuan penerimaan konsultasi. Konsultasi bersifat rahasia diantara para pihak yang dimotori oleh DSB. Pada saat konsultasi, para pihak dapat meminta bantuan Dirjen WTO untuk menyelesaikan sengketa HKI tersebut melalui mediasi atau konsiliasi. Apabila dalam waktu 10 hari sejak penerimaan pemberitahuan dari DSB, Negara yang dinilai melanggar tidak memberikan jawaban penerimaan atau apabila setelah terjadinya konsultasi, namun dalam jangka waktu 60 hari setelah tanggal penerimaan gagal mendapatkan kesepakatan, maka Negara yang merasa HKI-nya dilanggar dapat mengajukan Panel. Pembentukan panel selambat-lambatnya dilakukan 30 hari setelah adanya permintaan pembentukan kepada DSB. Permohonan pembentukan panel diajukan secara tertulis dengan mencantumkan indikasi apakah konsultasi pernah diadakan, identifikasi tindakan yang dipermasalahkan, dasar hukum dan tuntutannya. Setelah pembentukan panel, maka akan ditetapkan keanggotaan dari panelis dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Selanjutnya batas waktu yang diberikan oleh DSB kepada panelis untuk menyelesaikan sengketa ialah 9 bulan sejak tanggal pembentukan panel apabila tidak adanya banding, maka harus sudah ada keputusan atau; jangka waktu ditetapkan secara consensus oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh DSB. Secara singkat proses penyelesaian sengketa melalui DSB dapat dibuat dalam bagan berikut; Bagan II. Alur Proses Penyelesaian sengketa HKI melalui DSB
63 Ibid. hlm. 42-44.
Sumber : Pasal IV Disputes Settlement Understanding (DSU), dalam Adi Sulistiyono, Eksistensi & Penyelesaian Sengketa HaKI.
b. Penyelesaian sengketa merek di Indonesia Guna memenuhi upaya penyelesaian sengketa ini, Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek telah mengatur tentang penyelesaian sengketa Merek baik melalui Pengadilan Niaga maupun dengan menggunakan mekanisme Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana yang tertuang pada Pasal 84 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Penyelesaian melalui jalur litigasi, berdasarkan ketentuan Pasal 80 maka gugatan pembatalan pendaftaran Merek diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat. Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan. Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan. Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari setelah gugatan pembatalan didaftarkan. Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud, memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum. Isi putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan. Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud hanya dapat diajukan kasasi. Permohonan kasasi diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut. Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon kasasi diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran. Pemohon kasasi sudah harus menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak Termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan. Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterima oleh panitera. Panitera wajib menyampaikan berkas perkara kasasi yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewat jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat. Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara kasasi dan menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan isi putusan kasasi kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan. Juru sita wajib menyampaikan isi putusan kasasi kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima. Secara singkat mekanisme atau alur penyelesaian sengketa di bidang merek dapat dijelaskan dalam bagan alur sebagai berikut ; Bagan III. Alur Proses Penyelesaian Sengketa Merek
Sumber : http://pn-pati.go.id/index.php/layanan-kami/prosedur-berperkara/haki/61-alur-perkara-haki, diakses 24 November 2015, pukul 10.25 WIB.
C. Tinjauan tentang Asas Itikad Baik 1. Asas Itikad Baik Secara Umum Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam Perjanjian. Prinsip atau asas itikad baik pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyebutkan “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas dalam pasal ini bermakna bahwa perjanjian yang disepakati para pihak harus dilaksanakan sesuai dengan kepatutan dan keadilan. Disana dikenal dua bentuk itikad baik, sebagaimana disampaikan oleh Subekti,64 yaitu ;
64 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2009, hlm. 7.
a. Itikad baik secara subjektif maknanya adalah kejujuran, dan kejujuran harus ada sebelum perjanjian dilaksanakan oleh para pihak. Artinya pada tahap pra kontraktual telah ada itikad baik secara subjektif b. Itikad baik secara objektif adalah kepatutan dan berada pada tahap kontraktual. hal ini terjadi karena masa kontraktual perjanjian berisi hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dengan itikad baik pula. Itikad baik dalam hukum Romawi mengacu pada tiga bentuk perilaku para pihak. Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya. Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur walaupun kewajiban itu tidak secara tegas diperjanjikan.
65
Terdapat suatu prinsip yang
disebut bona fides, yaitu suatu konsep yang pada mulanya merupakan sumber yang bersifat religius, yang bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lainnya, atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada orang lain.
66
Konsep tersebut diperluas sedemikian rupa melalui diskresi pengadilan Romawi. Diskresi tersebut membolehkan orang membuat kontrak diluar formalisme yang telah ditentukan dan mengakui ex fide bona, yakni sesuai dengan persyaratan itikad baik. Disini semakin terlihat bahwa pengadilan Romawi selain mengakui keberadaan atau kekuatan hukum kontrak konsensual, pada saat yang bersamaan membebankan adanya kewajiban itikad baik bagi para pihak. Dengan demikian, fides bermakna sebagai keyakinan akan perkataan seseorang. Bona fides diterapkan untuk memastikan isi kontrak.
65Arkie V Y Tumbelaka, Kajian Kontrak Baku dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun Dalam Perspektif Iktikad Baik (Kasus Rumah Susun Permata Gandaria Antara Nyonya X dengan PT. Putra Surya Perkasa), Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 77. 66 Mery Christian Putri, Itikad Baik Pra Kontrak Dalam Perjanjian Antara Bank Issuer Dengan Cardholder Untuk Penerbitan Kartu Kredit, terdapat dalam http://merychristian.wordpress.com/2013/10/13/itikad-baik-prakontrak-dalam-penerbitan-kartu -kredit/, diakses pada 13 Juni 2014, pukul 11.04 WIB.
Kepercayaan akan perkataan seseorang merupakan prasyarat bagi suatu hubungan hukum67. Pemikiran tentang itikad baik harus meliputi keseluruhan tahap perjanjian, sehingga itikad baik hendaknya diartikan sebagai ; a. Kejujuran pada waktu membuat perjanjian; b. Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila perjanjian dibuat dihadapan pejabat, para pihak dianggap beritikad baik (meskipun atas pendapat ini masih terdapat keberatan dari beberapa pihak); c. Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam perjanjian, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Ridwan Khairandy menjelaskan bahwa standar itikad baik didasarkan pada kecermatan dalam berkontrak. Dengan asas ini, para pihak masing-masing memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta material yang berkaitan dengan perjanjian tersebut. Dengan standar tersebut, perilaku para pihak dalam melaksanakan perjanjian dan penilaian terhadap isi perjanjian harus didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan. Dalam teori itikad baik, kewajiban ini melahirkan predikat “beritikad baik” atau sebaliknya “beritikad buruk” bagi para pihak dalam pelaksanaan perjanjian 68. 2. Asas itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tidak diatur secara jelas mengenai deskripsi tentang asas itikad baik. Ketentuan mengenai asas itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek tersebut hanya terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi “Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik.” Itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang 67Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (bagian pertama), FH UII, Yogyakarta. 2013, hlm 126. 68 Ridwan Khairandy. Op, Cit. hlm.134.
Merek tersebut hanya dimasukkan dalam salah satu syarat dalam permohonan suatu merek. Batasan yang digunakan pada Pasal 4 Undang-Undang tersebut justru seolah-olah hanya berfungsi dan memberikan tugas kewenangan kepada pejabat pada Direktorat Jenderal Merek bahwa yang dapat didaftarkan dan memperoleh perlindungan atas hak merek adalah pemohon yang beritikad baik. Sementara untuk menilai apakah pemohon tersebut memiliki itikad baik atau tidak sangat sulit. Acuan yang dapat digunakan oleh pemeriksa merek hanya berdasarkan atas Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyatakan “Pemohon yang beritikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan Mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apa pun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran Merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen…” . Julius Rizaldi menyatakan bahwa itikad baik sebagai lawan kata dari itikad tidak baik. Itikad tidak baik melibatkan tindakan melakukan kesalahan yang dapat menyebabkan menyesatkan, tindakan penipuan dan penolakan terhadap kewajiban yang harus dipenuhi dengan dasar motif tidak jujur.
69
Untuk melihat pengertian dan batasan itikad baik dalam Merek, juga dapat dilihat dari beberapa yurisprudensi putusan Mahkamah Agung diantaraya putusan Nomor 1269 L/Pdt/1984 tanggal 15 Januari 1986, putusan Nomor 220 PK/Perd/1981 tanggal 16 Desember 1986, dan
putusan Nomor 1272
K/Pdt/1984 tanggal 15 Januari 1987, Mahkamah Agung berpendapat pemilik merek yang beritikat tidak baik karena telah menggunakan merek yang terbukti sama pada pokoknya atau sama pada keseluruhannya dengan merek pihak lawannya. Disitu telah terjadi peniruan merek yang sah milik orang lain. D. Tinjauan tentang Persaingan Usaha. 1. Pengertian Persaingan Usaha 69 Julius Rizaldi, op,cit. hlm. 127. 70 RR Putri Ayu Priamsari, Op Cit. hlm. 131.
70
Pelaku usaha atau pengusaha dalam mendirikan sebuah dan menjalankan usahanya murni bertujuan untuk memperoleh keuntungan, dengan menggapai kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang yang ada.
71
Demi mencapai
tujuan memperoleh keuntungan sebagaimana tersebut, bukan tidak mungkin terdapat pelaku usaha melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan pelaku usaha yang lain dengan melakukan persaingan usaha yang tidak sehat. Persaingan atau competition dalam bahasa Inggris oleh Webster didefinisikan sebagai “... a struggle or content between two or more persons for the same objects”
72
atau “rivalry between two or more businesses striving for the same
customer or market” (ada dua usaha atau lebih yang terlibat dalam upaya saling mengungguli).
73
Mengacu pada pengertian tersebut, maka Persaingan
Usaha memiliki unsur-unsur sebagai berikut ; a. ada dua atau lebih pihak yang terlibat dalam upaya saling mengungguli; b. ada kehendak diantara mereka untuk mencapai tujuan yang sama. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, justru tidak memberikan definisi secara tegas tentang apa yang disebut dengan persaingan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 hanya memberikan definisi Persaingan Usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
74
Makna dari persaingan menjadi begitu penting karena dengan adanya persaingan, pelaku usaha akan bersaingan untuk meningkatkan kualitas dari 71 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008 hlm. 9. 72 Galuh Puspaningrum, Hukum Persaingan Usaha, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 70. 73 Ibid. hlm. 28. 74 Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
barang dan atau jasa (produk) yang dihasilkan. Tetapi persaingan sering dikonotasikan negatif dan dianggap mementingkan kepentingan sendiri. Meskipun pada kenyataannya seorang manusia, apakah pada kapasitasnya sebagai individual maupun anggota suatu organisasi, secara ekonomi tetap akan berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dalam konsepsi persaingan usaha dengan asumsi bahwa faktor yang mempengaruhi harga adalah permintaan dan penawaran, dengan kondisi lain berada dalam hal-hal yang tetap/sama (cateris paribus), persaingan usaha akan dengan sendirinya menghasilkan barang atau jasa yang memiliki daya saing yang baik, melalui mekanisme produksi yang efisien dan efektif, dengan mempergunakan seminimum mungkin faktor-faktor produksi yang ada. Dalam sistem ekonomi pasar yang demikian, persaingan memiliki pengertian : a. Persaingan
menunjukkan
banyaknya
pelaku
usaha
yang
menawarkan/memasok barang dan jasa tertentu ke pasar yang bersangkutan. Banyak sedikitnya pelaku usaha yang menawarkan barang atau jasa ini menunjukkan struktur pasar (market structure) dari barang atau jasa tersebut. b. Persaingan merupakan suatu proses yang masing-masing perusahaan berupaya memperoleh pembeli/pelanggan bagi produk yang dijualnya, antara lain dapat dilakukan dengan ;
75
1) Menekan harga (price competition) 2) Persaingan bukan harga (non price competition), misalnya yang dilakukan melalui diferensiasi produk, pengembangan hak atas kekayaan intelektual, promosi, pelayanan purna jual, dan lain-lain; 3) Berusaha secara lebih efisien (low cost production) Secara garis besar, persaingan bisa membawa aspek positif apabila dilihat dari dua perspektif, yaitu ekonomi dan non ekonomi. Dalam perpektif
ekonomi,
kebanyakan
orang
lebih
banyak
mengajukan
argumentasi ekonomi (efisiensi) untuk menyetujui keberadaan persaingan. 75 Gunawan Widjaja, Merger dalam perspektif Monopoli, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1999, hlm. 10.
Tapi apabila dilihat dari perspektif non ekonomi akan diperoleh bahwa persaingan ternyata juga membawa aspek positif. Dari sisi politik, setidaknya ada tiga argument yang mendukung persaingan usaha, yakni pertama, dalam kondisi penjual maupun pembeli terstruktur secara atomistic (masing-masing berdiri sebagai unit-unit terkecil dan independen) yang dalam persaingan, kekuasaan ekonomi atau yang didukung oleh faktor ekonomi menjadi tersebar dan terdesentralisasi. Dengan demikian pembagian sumber daya alam dan pemerataan pendapatan akan terjadi secara mekanik, terlepas sama sekali dari campur tangan kekuasaan pemerintah maupun pihak swasta yang memegang kekuasaan. Kedua berkaitan erat dengan hal diatas, sistem ekonomi pasar yang kompetitif akan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi secara impersonal, bukan melalui personal pengusaha maupun birokrat. Dalam keadaan seperti ini kekecewaan politis masyarakat yang usahanya terganjal keputusan penguasa tidak akan terjadi. Dalam kalimat yang lebih sederhana dalam kondisi persaingan, jika seseorang warga masyarakat terpuruk dalam bidang usahanya, ia tidak terlalu merasa sakit karena terjatuh bukan karena kekuasaan orang tertentu, tetapi karena suatu proses yang mekanistik (permintaan-penawaran). Ketiga, kondisi persaingan juga berkaitan erat dengan kebebasan manusia untuk mendapatkan kesempatan yang sama di dalam berusaha. Dalam situasi persaingan, pada dasarnya setiap orang mempunyai kesempatan yang sama di dalam berusaha. Dari sudut pandang ekonomi, argumentasi sentral untuk mendukung persaingan berkisar pada masalah efisiensi. Argumentasi efisiensi ini sebenarnya merupakan idealisasi teoritis dari mazhab ekonomi klasik tentang struktur yang terbaik. Mengikuti sumber daya ekonomi akan bisa dialokasikan dan didistribusikan secara paling baik, apabila para pelaku ekonomi dibebaskan untuk melakukan aktivitas mereka dalam kondisi bersaing dan bebas menentukan pilihan merek. Sementara yang dimaksud sebagai Persaingan Usaha yang tidak sehat atau “unfair comptetition” dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai
76
berikut ; a. Dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, esp; the practice of endeavoring to substitute one’s own goods or products in the market for those of another by means of imitating or counterfeiting the name, brand, size, shape, or other distinctive characteristic of the article or its packaging. b. The body of law protecting the first user of such a name, brand, size, shape, or other distinctive characteristic against an imitating or counterfeiting competitor. 77 Sedangkan Margaret Barret juga mengemukakan tentang hukum persaingan usaha tidak sehat sebagai berikut ; a. The nature of the law of unfair competition, the origin of the law of unfair competition originally was viewed as part of the law of torts, but it has since evolved as an independent field of its own, as is demonstrated by the American Law Institute’s decision, in 1977, to eliminate it from the second restatement of torts, nonetheless, the influence of tort doctrine still readily can be seen in many of the theories of unfair competition. b. The Natureof the law of unfair competition: The Term “Unfair Competition”, is an umbrella term that covers a number of different theories of redress for immoral behavior in the market place-primarily improper behavior by business reputation and good will of others, which are valuable intangible assets. The law of unfair competition is flexible and continues to grow to provide remedies for new forms of market place misconduct as they develop. This outline will address many but not all, of the existing unfair competition. 2. Sejarah pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan kebutuhan mendesak, ketika praktik atau kegiatan ekonomi baik oleh Negara maupun pelaku ekonomi bersifat monopolistik. Kondisi di Indonesia ketika masa orde baru memang tidak pernah dibentuk suatu undang-undang anti monopoli dan persaingan usaha sehat. Hal ini tidak lepas dari politik hukum Pemerintah pada masa orde baru yang memang tidak mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat. Justru pada masa orde baru tersebut kegiatan ekonomi bersifat
76 Galuh Pupaningrum. Op,cit. hlm. 71 77 Ibid. hlm. 72.
sangat monopolistis dan berada dalam satu kelompok saja. Demikian pula persaingan usaha diantara para pelaku bisnis berlangsung secara tidak sehat. Pada masa orde baru, justru marak terjadi kolusi antara penguasa dan pengusaha, sehingga kebijakan dan produk hukum di bidang ekonomi lebih banyak menguntungkan kelompok tertentu. Akibatnya pada skala makro memunculkan kelompok-kelompok konglomerat yang semakin kuat dan menutup kesempatan usaha bagi kelompok-kelompok usaha lain. Ketika Indonesia menghadapi masa krisis ekonomi dan diikuti tumbangnya kekuasaan orde baru pada tahun 1998, maka upaya pertama yang dilakukan pemerintah untuk membenahi kegiatan ekonomi dan mereformasi pembangunan di bidang hukum, salah satunya adalah dibentuk UndangUndang yang melarang perbuatan monopolistic dan persaingan usaha tidak sehat. Pembangunan hukum diarahkan pada terciptanya produk hukum yang mampu melindungi kegiatan ekonomi agar berjalan secara fairplay dan sesuai dengan etika berusaha. Pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan perintah dan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 78
yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) , yakni ; a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; c. Bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; d. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Disisi lain, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan 78 Galuh Puspaningrum, Op. Cit. hlm. 17.
Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dipengaruhi oleh aspek lain diluar konstitusi dan hukum, yakni aspek ekonomi dan politik. Dibuktikan dengan adanya tuntutan internasional melalui International Monetery Fund (IMF). Mencermati Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut, terdapat dua aspek fundamental yang mendasari pembentukannya, yakni ; a. Aspek Ekonomi ; Dari sudut pandang ekonomi, pengaturan persaingan usaha diharapkan dapat mewujudkan : 1) Peningkatan daya saing produk lokal sehingga mampu bersaing dengan produk impor dan mendorong pangsa pasar internasional; 2) Efisiensi manfaat sumber daya yang dimiliki suatu bangsa; 3) Peningkatan produktivitas; 4) Peningkatan kesejahteraan masyarakat; dan, 5) Pendorong Inovasi. b. Aspek Hukum Pengaturan persaingan usaha diharapkan dapat mewujudkan keadilan, bukan hanya pelaku usaha, tetapi juga bagi konsumen produk yang dihasilkan pelaku usaha tersebut. 3. Asas dan Tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Asas dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tertuang dalam ketentuan Pasal 2 yang menyatakan bahwa “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.
79
Asas demokrasi ekonomi dalam Pasal 2 tersebut membuktikan
bahwa Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan atas amanat dari Pasal 33 79 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Pratik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sementara tujuan dari pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diatur dalam Pasal 3 yang ditetapkan sebagai berikut ; a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui perngaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; c. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; d. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. 80
Menurut Sutan Remi Syahdeni, tujuan pokok Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah efisiensi, dalam arti sebagai berikut ; a. Efisiensi bagi para produsen (productive efficiency), yaitu bagi perusahaan yang menghasilkan barang-barang dan jasa. Perusahaan dikatakan efisiensi apabila dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa perusahaan tersebut dilakukan dengan biaya-biaya serendah-rendahnya karena dapat menggunakan sumber daya yang sekecil mungkin; b. Efisiensi bagi masyarakat (allocative efficiency), adalah efisiensi bagi masyarakat konsumen. Dikatakan masyarakat konsumen efisien apabila para produsen dapat membuat barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen dan menjualnya pada harga yang pada para konsumen itu bersedia untuk membayar harga barang yang dibutuhkan. 4. Prinsip-Prinsip dalam Persaingan Usaha 80 Sutan Remi, dikutip dari Galuh Puspaningrum, Op. Cit., hlm. 46.
81 Hermansyah, dikutip dari Ibid, hlm. 46.
81
Prinsip-prinsip hukum menjadi sumber inspirasi dan aspirasi dalam pembentukan hukum positif sebagai bagian dari dogmatik hukum. Artinya dalam pembentukan hukum harus diperhatikan prinsip-prinsip yang ada, sehingga norma yang dibentuk tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku. Demikian pula prinsip-prinsip hukum dalam persaingan usaha
82
adalah sebagai berikut ; a. Prinsip Kebebasan Berkontrak Kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh Undang-Undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Prinsip kebebasan berkontrak tersirat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, “segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang untuk mereka yang membuatnya”. Berdasarkan atas hal tersebut, maka kebebasan berkontrak disini dapat diartikan memberikan kebebasan para pihak untuk ; 1) membuat atau tidak membuat suatu perjanjian 2) dengan siapapun melakukan perjanjian 3) menentukan isi perjanjian dan membuat bentuk perjanjian. b. Prinsip Kepastian Hukum Salah satu fungsi ditetapkannya norma hukum atau undang-undang adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Maka pengaturan perilaku bagi masyarakat akan lebih terarah, teratur dan sebagai konsekuensi bagi pelanggaran terhadap norma atau peraturan hukum maka ada tindakan yang dapat dikenakan sebagai sanksi bagi si pelanggar. c. Prinsip Keadilan Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil dan tidak adil. Hakekat keadilan menurut penganut teori etis terletak pada penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang diperlakukan. Kesulitan penerapan hakekat keadilan tersebut 82 Galuh Puspaningrum, Op. Cit, hlm. 23.
terletak pada pemberian batasan tentang isi yang memperlakukan dan pihak yang diperlakukan. Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam, yakni keadilan distributif (justisia distributive) yang menghendaki setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya, dan keadilan komutatif (justisia commutative) yang menghendaki setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya. d. Prinsip Keseimbangan Prinsip keseimbangan merupakan pelaksanaan dari prinsip itikad baik, prinsip transaksi jujur dan prinsip keadilan. Keseimbangan dalan hukum dilandasi adanya kenyataan disparitas yang besar dalam masyarakat, oleh karena itu diperlukan suatu sistem pengaturan yang dapat melindungi pihak yang memiliki posisi yang tidak menguntungkan. Kriterium keseimbangan menurut Herlien Budiono
83
terletak pada pencapaian kepatutan sosial (sociale
gezindheid) atau keseimbangan kepatutan imateriil (immateriele gezindheid) adalah suatu tujuan yang menjadi landasan pembenar perjanjian. e. Prinsip Itikad Baik Prinsip itikad baik merupakan prinsip bahwa para pihak harus melaksanakan substansi dari perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Prinsip itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik berarti bahwa kedua belah pihak harus berlaku terhadap yang lain berdasarkan kepatutan diantara orang-orang yang sopan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan dan tidak 84
hanya melihat kepentingan diri sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain .
E. Penelitian Yang Relevan Dalam menunjang penelitian yang dilakukan oleh Penulis, tentang 83 Herlen Budiono, Asas Keseimbangan bagi hukum Perjanjian Indonesia, (Hukum Perjanjian berlandaskan Asas-Asas Wigat,), dikutip dari Galuh Puspaningrum. Op.Cit, hlm 26. 84 HR. Daeng Naja, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, dikutip dari Galuh Puspaningrum. Op. Cit, hlm . 27.
implementasi asas itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek terdapat suatu penelitian yang relevan dengan tema yang dikaji oleh Penulis dalam penulisan ini. Selain itu dengan mengkaji penelitian terdahulu yang relevan juga berguna untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Penulis dengan penelitian terdahulu. Diantara beberapa penelitian tentang merek, berikut penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, dintaranya ; 1. “Penerapan Itikad Baik Sebagai Alasan Pembatalan Merek Menurut UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Di Tingkat Peninjauan Kembali)” yang ditulis oleh RR. Putri Ayu Priamsari pada tahun 2010. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan Penulis dalam hal mengkaji tentang asas itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Akan Tetapi pada penelitian RR. Putri Ayu Priamsari lebih menekankan asas itikad baik dalam pendaftaran atau permohonannya. Selain itu juga mengkaji lebih lanjut pada beberapa kasus dan putusan-putusan pengadilan untuk mengarahkan mengenai asas itikad baik dalam suatu merek dalam kasus tersebut. Putri Ayu juga menyebutkan atau melakukan analisa kasus terkait dengan akibat hukum penerapan itikad baik dalam suatu pendaftaran merek, berikut gugatan pembatalan dan/atau penghapusan suatu merek yang melanggar asas itikad baik atau memiliki itikad buruk tersebut, hingga adanya gugatan gantirugi yang diajukan oleh pemilik merek beritikad baik terkadap pemilik merek yang beritikad buruk. Lebih sempit lagi, dalam penelitian yang ditulis pada tahun 2010 itu membatasi ruang lingkupnya pada putusan-putusan sengketa merek yang menjadi contoh kasus dalam penelitiannya pada tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sementara dalam penelitian yang dilakukan oleh Penulis dalam penulisan hukum ini lebih mengkaji penerapan asas itikad baik di dalam merek, khususnya pengaturannya yang belum secara jelas diatur oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, terkait dengan bentuk-bentuk penggunaan merek seperti apakah yang dapat dikatakan telah melanggar asas itikad baik dihubungkan dengan tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
ini, yakni untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat. 2. “Implementasi Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hubungannya Dengan Praktik Persaingan Usaha Bidang Merek” yang ditulis tahun 2011, Tesis Sabriando Leonal dari Universitas Indonesia Jakarta. Sabriando lebih berkonsentrasi pada implementasi adanya persaingan usaha yang tidak sehat pada bidang merek terkait dengan adanya perjanjian lisensi diantara pemilik merek dengan penerima lisensi. Pada Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 khususnya Pasal 50 terdapat pengecualian terhadap pengaturan/keberlakukan Undang-Undang tersebut dalam Perjanjian Lisensi di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan Waralaba. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Sabriando tersebut adalah adanya perbuatan curang yang dilakukan baik oleh pemilik merek maupun penerima lisensi dalam pelaksanaan perjanjian lisensi di bidang merek, dan perlindungan hukum terhadap penggunaan merek atau penerima lisensi hanya dapat diberikan terhadap penerima lisensi yang memiliki itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian lisensi tersebut. Berbeda dengan penelitian yang telah ditulis tersebut, dalam penelitian yang ditulis oleh Penulis lebih menekankan dan memfokuskan pada kajian terhadap praktik persaingan usaha di bidang merek, khususnya pelanggaran asas itikad baik yang belum tegas batasannya menjadi “senjata” untuk melakukan upaya-upaya perbuatan curang demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. 3. “Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan Curang di Indonesia Dikaitkan dengan Undang-Undang Merek dan TRIPs-WTO,” Disertasi oleh Julius Rizaldi, 2009, Universitas Padjajaran. Penelitian ini merupakan penelitian yang mengkerucutkan pengkajian kepada perlindungan kemasan produk merek terkenal. Dalam hal ini Julius Rizaldi membedakan antara etiket Merek dengan kemasan produk merek. Perlindungan merek diperoleh dengan melalui pendaftaran pada Dirjen HKI. Namun menurut Julius Rizaldi perlindungan tidak hanya kepada merek yang didaftarkan, akan tetapi juga harus diberikan untuk kemasan produk merek meskipun belum terdaftar dalam daftar umum merek Dirjen HKI. Sementara Penulis dalam penelitian ini meskipun sama-sama dalam bidang merek dalam kaitannya dengan persaingan
usaha, namun lebih berfokus pada bentuk-bentuk itikad tidak baik yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam bidang merek dalam menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat.
F. Kerangka Berpikir Penulis dalam penelitian hukum ini mempunyai kerangka/pola berpikir sebagaimana yang tertuang dalam bagan sebagai berikut ;
Asas hukum merupakan fundamental norm atau hal yang paling mendasar dari sebuah ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Asas memberikan batasan dan arah yang jelas mengenai maksud dan tujuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Asas itikad baik merupakan suatu asas atau prinsip yang
bersifat general dan luas. Hingga saat ini belum ada yang dapat memberikan definisi yang jelas mengenai asas itikad baik (good faith). Asas itikad baik diartikan sebagai lawan kata dari itikad tidak baik. Asas itikad baik tidak memiliki suatu batasan dan definisi yang pasti, namun asas ini dapat dirasakan dalam pelaksanaannya, terlebih pelaksanaan atas ketentuan peraturan perundangundangan. Asas itikad baik secara umum telah dikenal dalam perjanjian. Prinsip atau asas itikad baik ini juga telah menjadi dasar dalam berbagai ketentuan UndangUndang yang terkait dengan dunia bisnis. Pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, asas atau prinsip itikad baik dijadikan sebagai dasar atau landasan dalam memperoleh hak atas merek. Itikad baik pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek hanya diatur di Pasal 4 yang memberikan tiga kata kunci, yakni pendaftaran merek, itikad baik dan persaingan curang sebagaimana tertuang dalam penjelasannya sebagai pemohon yang mendaftarkan Mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apa pun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran Merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Sementara yang dimaksud sebagai itikad tidak baik adalah lawan dari itikad baik atau pelanggaran atas Pasal 4 dengan penjelasannya tersebut. Pasal 4 tersebut dinilai hanya mencakup terhadap proses administrasi dalam Permohonan Merek, belum mencakup hal terkait persaingan curang atau persaingan usaha tidak sehat yang berpotensi terjadi di bidang merek. Pelaksanaan itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sendiri dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), pertama dalam tahapan permohonan pendaftaran, maka seorang Pemohon merek dalam mengajukan permohonan harus memenuhi syarat-syarat mutlak/absolut yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5, dan syarat relatif yang tercantum dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Seorang pemohon merek dikatakan memiliki itikad baik apabila dapat memenuhi kedua syarat (absolut dan relatif) tersebut. Pemohon yang memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4,
Pasal 5 dan Pasal 6, maka Merek yang diajukan dapat dicatatkan dalam Daftar Umum Merek dan diberikan hak atas Merek tersebut. Pemenuhan ini dianggap sebagai suatu perwujudan dari persaingan usaha yang sehat. Kedua, pada tahap penggunaan merek yang mewajibkan pemilik hak merek harus menggunakan hak yang dimilikinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, diantaranya Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 61 ayat (1) dan (2), dan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pelanggaran atas ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, 61 ayat (1) dan (2), dan Pasal 69 ayat (2) diatas merupakan suatu tindakan itikad tidak baik sehingga menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan rawan terjadi sengketa. Merek yang melanggar tersebut dapat dibatalkan maupun dihapuskan dari daftar umum merek pada Dirjen HKI. Seluruh
persyaratan
maupun
tahapan-tahapan
tersebut
merupakan
upaya
mewujudkan tujuan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sebagaimana diamanatkan dalam konsideran Undang-Undang guna menjaga persaingan usaha yang sehat.