BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Konsep adalah ide-ide, penggambaran, hal-hal, atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46). Untuk memahami hal-hal yang ada dalam penelitian ini perlu beberapa konsep, yaitu bahasa, pilihan bahasa, peristiwa tutur,
iklan komersial produk makanan dan
minuman, dan televisi. 2.1.1 Bahasa Interaksi yang terjadi di masyarakat tentu saja tidak terlepas dari masyarakat karena bahasa adalah salah satu sarana penting sebagai media komunikasi. Bahasa yang digunakan berupa bahasa lisan dan bahasa tulis. Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer. Sebagai sebuah langue bahasa memiliki sistem dan subsistem yang dipahami oleh penutur bahasa itu. Namun, karena manusia adalah penutur yang heterogen, maka wujud bahasa yang konkret yang disebut parole (ujaran) menjadi tidak seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi. Menurut Chaer (2004:73) bahasa yang beragam dan bervariasi menimbulkan variasi bahasa seperti idiolek, dialek, sosiolek, kronolek, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Pilihan Bahasa Situasi kedwibahasaan menyediakan pilihan bahasa dalam masyarakat. Seseorang harus melakukan pilihan bahasa mana yang tepat untuk berbicara dengan mitra tuturnya sesuai latar belakang sosial budaya yang mengikutinya. Masalah pilihan bahasa dapat dipandang sebagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat dwibahasa. Dalam satu topik pembicaraan tertentu beserta beberapa kondisi sosial budaya yang menyertainya, satu variasi bahasa cenderung lebih dipilih untuk digunakan daripada variasi bahasa yang lain, secara sadar maupun tidak oleh penutur. Hal ini disebabkan adanya penyesuaian yang dilakukan penutur untuk memenuhi kebutuhan berbahasa. Menurut Sumarsono dan Paina (2002:200-204) terdapat tiga jenis pilihan bahasa dalam kajian sosiolinguistik. Pertama yang disebut alih kode (code switching). Kedua yang disebut campur kode (code mixing). Jenis ketiga adalah variasi dalam bahasa yang sama (variation within the same language). Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004:107) mendefinisikan alih kode (code switching) itu sebagai, ”gejala peralihan bahasa karena berubahnya situasi”. Sedangkan Hymes (dalam Chaer, 2004:107-108) menyatakan alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Pengertian campur kode dalam Sosiolinguistik (Sumarsono, 2002:202): Dalam campur kode (code mixing) penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Pada kasus A, dalam berbahasa Bali dia memasukkan unsur-unsur dari bahasa Indonesia; ketika berbicara dalam bahasa Indonesia dia dengan sengaja memasukkan unsur-unsur bahasa Bali atau bahasa Inggris; dan dalam berbahasa Inggris kemungkinan dia memasukkan unsur-unsur bahasa Indonesia. Unsur-unsur yang diambil dari “bahasa lain” itu sering kali berwujud kata-kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok kata.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sumarsono (2002:203) variasi tunggal bahasa (variasi dalam bahasa yang sama) biasanya seorang penutur harus memilih ragam mana yang harus dipakai dalam dalam situasi tertentu. Penggunan variasi dalam bahasa yang sama juga digunakan untuk menghindari timbulnya kesalahan bahasa. Dapat didengar pada penggunaan bahasa Jawa yang memiliki tingkatan bertutur. Misalnya, Pedagang dan pembeli umumnya tidak saling mengenal sehingga tidak diketahui tingkat sosial lawan bicaranya. Hal tersebut menyebabkan kedua belah pihak tidak tahu tingkat bahasa mana yang tepat digunakan. Jadi, bahasa Indonesia dianggap lebih aman dalam situasi tutur yang demikian itu karena dapat terhindar dari keharusan menggunakan tingkat tutur yang berbeda seperti yang terdapat pada penggunaan bahasa Jawa. 2.1.3 Peristiwa Tutur Untuk menganalisis tuturan dalam kajian bahasa, pemahaman yang tidak bisa dilupakan adalah peristiwa tutur. Peristiwa tutur adalah serangkaian tindak tutur yang mengarah pada suatu tujuan. Menurut Chaer dan Agustina (2004:47) yang dimaksud dengan peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Peristiwa tutur atau pertuturan (speech act, speech event) dalam kamus Lingusitik (Kridalaksana, 2008:191) adalah: “(1) perbuatan berbahasa yang dimungkinkan oleh dan diwujudkan sesuai dengan kaidah-kaidah pemakaian unsur-unsur bahasa; (2) perbuatan menghasilkan bunyi bahasa secara berurutan sehingga menghasilkan ujaran bermakna; (3) seluruh komponen linguistik dan nonlinguistik yang meliputi suatu perbuatan bahasa yang utuh, yang menyangkut partisipan, bentuk penyampaian amanat, topik, dan konteks amanat itu; (4) pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar.
Universitas Sumatera Utara
Satu peristiwa tutur harus memiliki delapan
komponen seperti yang
dinyatakan oleh Dell Hymes, seorang pakar sosiolinguistik, dalam Chaer dan Agustina (2004, 48:49), yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. (S) Setting and scene, yaitu berkenaan dengan waktu, tempat, dan situasi tuturan. (P) Participants, yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara, pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). (E) End, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. (A) Act sequence,
mengacu pada bentuk dan isi ujaran. (K) Key, meliputi nada, cara,
dimana suatu pesan disampaikan. (I) Instrumentalities, mengacu pada bahasa yang digunakan atau variasi bahasa seperti dialek, ragam atau register. (N) Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. (G) Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti puisi, narasi, doa dan sebagainya. 2.1.4 Iklan Komersial Produk Makanan dan Minuman Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:421) iklan adalah (1) berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda atau jasa yang ditawarkan; (2) pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dipasang di dalam media massa (seperti surat kabar dan majalah) atau di tempat umum. Pengertian komersial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:583) adalah (1) berhubungan dengan niaga atau perdagangan; (2) dimaksudkan untuk diperdagangkan; (3) bernilai niaga tinggi, kadang-kadang mengorbankan nilai-nilai lain (sosial, budaya, dsb). Jadi, iklan komersial suatu bentuk promosi produk suatu perusahaan (makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, dan sebagainya) yang ditawarkan kepada khayalak ramai dan memiliki nilai niaga.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Televisi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1162) televisi adalah sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dilihat dan bunyi yang dapat didengar, digunakan untuk penyiaran pertunjukkan, berita, dan sebagainya. 2.2 Landasan Teori Adapun landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 2.2.1 Bilingualisme Bilingualisme dapat juga disebut kedwibahasaan. Untuk dapat menentukan seseorang bilingual atau tidak, ada batasan-batasan mengenai bilingualisme yang dikemukakan oleh beberapa pakar. Weinrich (dalam Umar dan Delvi, 1994:8) mengartikan kedwibahasaan sebagai praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian. Dalam hal ini tidak diisyaratkan tingkat penguasaannya. Haugen (dalam Umar dan Delvi, 1994:8) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan untuk mengeluarkan ucapanucapan yang berarti dalam bahasa lain. Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 1995:113) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jadi, menurut Blomfield seseorang disebut bilingual apabila dapat menggunakan bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) dengan derajat yang sama baiknya.
Universitas Sumatera Utara
Nababan (1991:27) mengemukakan pendapatnya tentang bilingualisme dan bilingualitas. Ia mengatakan bahwa: Kalau kita melihat seorang memakai dua bahasa dalam pergaulan dengan orang lain, dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan yang kita akan sebut bilingualisme. Jadi, bilingualisme ialah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Jika kita berpikir tentang kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa, kita akan sebut ini bilingualitas (dari bahasa Inggris bilinguality). Jadi, beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa bilingualisme adalah kemampuan penutur dalam memahami, mengerti atau mengunakan dua bahasa. Bahasa yang dipakai dapat dipilih oleh penutur itu sendiri dan tergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya.
2.2.2 Peristiwa Tutur Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 2004: 47). Jadi, secara sederhana peristiwa tutur adalah peristiwa komunikasi dengan menggunakan bahasa yang terstuktur dan mengarah pada satu tujuan. Satu peristiwa tutur harus memiliki delapan
komponen seperti yang
dinyatakan oleh Dell Hymes, seorang pakar sosiolinguistik, dalam Chaer dan Agustina (2004, 48:49), yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. (S) Setting and scene, yaitu berkenaan dengan waktu, tempat, dan situasi tuturan. (P) Participants, yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara, pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). (E) End, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. (A) Act sequence,
mengacu pada bentuk dan isi ujaran. (K) Key, meliputi nada, cara,
Universitas Sumatera Utara
dimana suatu pesan disampaikan. (I) Instrumentalities, mengacu pada bahasa yang di gunakan atau variasi bahasa seperti dialek, ragam atau register. (N) Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. (G) Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti puisi, narasi, doa dan sebagainya.
2.2.3 Pilihan Bahasa Situasi kedwibahasaan menyediakan beberapa bahasa atau variasi bahasa dalam masyarakat. Seseorang harus melakukan pilihan variasi bahasa mana yang tepat untuk berbicara dengan mitra tuturnya sesuai latar belakang sosial budaya yang mengikutinya. Masalah pilihan bahasa dapat dipandang sebagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat dwibahasa. Dalam satu topik pembicaraan tertentu beserta beberapa kondisi sosial budaya yang menyertainya, satu variasi bahasa cenderung lebih dipilih untuk digunakan daripada variasi bahasa yang lain, secara sadar maupun tidak oleh penutur. Hal ini disebabkan adanya penyesuaian yang dilakukan penutur untuk memenuhi kebutuhan berbahasa. Menurut Sumarsono dan Paina (2002:200-204) terdapat tiga jenis pilihan bahasa dalam kajian sosiolinguistik. Pertama yang disebut alih kode (code switching). Kedua yang disebut campur kode (code mixing). Jenis ketiga adalah variasi dalam bahasa yang sama (variation within the same language). 2.2.3.1 Alih kode ( code switching) Lebih dahulu diingat, kode adalah istilah netral yang mengacu kepada bahasa, dialek, sosiolek, dan ragam bahasa. Jika misalnya A mempunyai B1 bahasa Bali dan B2 bahasa Indonesia serta menguasai juga bahasa Inggris, dia dapat beralih kode dengan tiga bahasa itu (Sumarsono, 2002:201).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004:107) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan bahasa karena berubahnya situasi”. Sedangkan Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004:107-108) menyatakan alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragan atau gayagaya yang terdapat dalam satu bahasa. Misalnya, beberapa orang mahasiswa sedang bercakap-cakap dalam dalam bahasa santai. Tiba-tiba datang seorang ibu dosen dan turut berbicara, maka kini para mahasiswa itu beralih kode dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam formal. Mengapa mereka tidak terus saja dengan ragam santai? Sebab kehadiran orang ketiga yang berstatus ibu dosen ini, mengharuskan mereka untuk menggunakan ragam formal itu. Kecuali, kalau ibu dosen ini memulai dengan ragam santai (Chaer, 2004:110).
2.2.3.2 Campur Kode ( code mixing) Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Pada kasus A, dalam berbahasa Bali dia memasukkan unsur-unsur dari bahasa Indonesia; ketika berbicara dalam bahasa Indonesia dia dengan sengaja memasukkan unsur-unsur bahasa Bali atau bahasa Inggris; dan dalam berbahasa Inggris kemungkinan dia memasukkan unsur-unsur bahasa Indonesia. Unsur-unsur yang diambil dari “bahasa lain” itu sering kali berwujud kata-kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok kata (Sumarsono, 2002:202).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3.3 Variasi dalam Bahasa yang Sama (variation within the same language) Jenis pilihan bahasa ini sering menjadi fokus kajian tentang sikap bahasa misalnya dimasukkan pilihan bentuk “sor-singgih” dalam bahasa Bali atau “ngokokarma” dalam bahasa Jawa, karena variasi unda-usuk dalam kedua bahasa itu ada dalam “bahasa yang sama” (Sumarsono, 2002:203-204). Contoh lain, variasi tunggal bahasa (variasi dalam bahasa yang sama) digunakan untuk menghindari timbulnya kesalahan pada penggunaan bahasa Jawa yang memiliki tingkatan bertutur. Pedagang dan pembeli umumnya tidak saling mengenal sehingga tidak diketahui tingkat sosial lawan bicaranya. Hal tersebut menyebabkan kedua belah pihak tidak tahu tingkat bahasa mana yang tepat digunakan. Jadi, bahasa Indonesia dianggap lebih aman dalam situasi tutur itu karena dapat terhindar dari keharusan menggunakan tingkat tutur yang berbeda seperti yang terdapat pada penggunaan bahasa Jawa (Wibowo, 2006:50).
2.1.4 Faktor-Faktor Penentu Pilihan Bahasa Pilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa atau multibahasa disebabkan oleh beberapa faktor sosial dan budaya. Evin-Trip (dalam Wibowo, 2006:24) mengidentifikasikan empat faktor, yaitu latar waktu dan tempat, situasi, partisipan, topik pembicaraan dan fungsi interaksi. Sedangkan menurut Geertz (dalam Umar dan Napitupulu, 1994:25) menyatakan adanya latar belakang sosial, isi percakapan, sejarah hubungan sosial pembicara, dan kehadiran pihak ketiga dalam percakapan. Gal dan Rubin (dalam Wibowo, 2006:24) masing-masing menyatakan bahwa partisipan adalah faktor terpenting terjadinya pilihan bahasa
Universitas Sumatera Utara
sedangkan Rubin menyatakan bahwa faktor lokasi terjadinya interaksi lebih menentukan pilihan bahasa.
2.2 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai pilihan bahasa dan peristiwa tutur bukanlah hal yang baru, tetapi sudah ada peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan masalah tersebut. Namun, yang meneliti khusus pilihan bahasa pada peristiwa tutur produk makanan dan minuman belum pernah diteliti. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah: 1. Arto Wibowo (2006) dengan skripsinya yang berjudul “Pilihan Bahasa Pedagang Etnis Cina dalam Interaksi Jual-Beli di Pasar kota Salatiga”. Dia menyimpulkan wujud variasi tunggal bahasa, alih kode dan campur kode pedagang etnis Cina dalam interaksi jual beli di pasar kota Salatiga, pola bahasa pedagang etnis Cina dalam interaksi jual-beli di pasar kota Salatiga, dan faktor-faktor yang menentukan pilihan bahasa pedagang etnis Cina dalam interaksi jual beli dipasar kota Salatiga 2. Mayerni Sitepu (2007) dengan skripsinya yang berjudul “Campur Kode dalam Majalah Aneka Yess!”. Dia menemukan bentuk-bentuk campur kode berupa penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, frase, bentuk baster, pengulangan kata, dan ungkapan atau idiom. Selain menemukan bentuk campur kode, dia juga memaparkan pengaruh campur kode terhadap bahasa Indonesia yaitu pengaruh interferensi dan integrasi. 3. Ade Azwida (2007) dengan skripsinya yang berjudul “Pemakaian Bahasa Gaul pada Iklan Produk Komersial Televisi”. Dia menyimpulkan adanya gejala bahasa pada iklan komersial di televisi. Selain adanya gejala bahasa
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini juga menemukan pesan atau makna yang terdapat di dalam iklan produk komersial di televisi yang menggunakan bahasa gaul. Dan pengaruh pemakaian bahasa gaul pada iklan produk komersial televisi terhadap konsumen dan pengaruh yang timbul adalah pengaruh positif dan negatif. Hasil penelitian sebelumnya, baik mengenai pilihan bahasa, campur kode, dan pemakaian bahasa gaul pada iklan produk komersial televisi menjadi informasi dan acuan bagi peneliti saat ini dalam penelitian pilihan bahasa pada peristiwa tutur dalam iklan komersial produk makanan dan minuman di televisi.
Universitas Sumatera Utara