BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU
2.1 Konsep Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang menyangkut objek, proses, yang berkaitan dengan penelitian. Dalam KBBI dan Kamus Linguistik, konsep diartikan sebagai gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Hal-hal yang dibicarakan dalam penelitian ini merupakan konsep-konsep yang mendasari penelitian. 2.1.1 Kekerabatan Bahasa Kekerabatan dalam istilah linguistik diartikan sebagai hubungan antara dua bahasa atau lebih yang diturunkan dari sumber yang sama (KBBI, 2008 ). Sedangkan, bahasa berkerabat
diartikan sebagai bahasa yang mempunyai
hubungan genealogis dangan bahasa lain. Dengan demikian, bahasa yang berkerabat adalah bahasa yang memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan ini bisa jadi merupakan asal dari induk yang sama sehingga terdapat kemiripan, atau dapat juga karena adanya ciri-ciri umum yang sama. Dalam hal bahasa, kemiripan ini terutama terlihat dari segi fonologinya, atau mungkin morfologi, bahkan sintaksisnya. Kridalaksana (2008:116) menjelaskan dalam Kamus Linguistik bahwa Kekerabatan (genetic relationship) adalah hubungan antara dua bahasa atau lebih yang diturunkan dari sumber bahasa induk yang sama, yang disebut bahasa purba.
Universitas Sumatera Utara
Bahasa-bahasa yang berada dalam satu rumpun yang sama tentulah memiliki kekerabatan. Akan tetapi, tingkat kekerabatan bahasa-bahasa yang berada dalam satu rumpun ini kemungkinan tidaklah sama. Sejauh mana tingkat keeratan hubungan bahasa yang satu dengan yang lainnya dapat dilihat dari kemiripan atau perbedaan dari bahasa-bahasa yang dibandingkan. Semakin mirip kedua bahasa,
semakin eratlah hubungan kekerabatannya. Semakin berbeda
kedua bahasa, semakin rengganglah hubungan kekerabatannya.
2.1.2 Bahasa Melayu Bahasa Melayu adalah salah satu bahasa daerah
yang digunakan di
Sumatera Utara yang berfungsi dan berkedudukan sebagai alat komunikasi, pendukung kebudayaan, dan lambang identitas masyarakat Melayu. Selama berabad-abad, bahasa Melayu berperan sebagai lingua franca di berbagai belahan bumi. Bahasa Melayu digunakan dan dimanfaatkan untuk kelancaran komunikasi dalam pergaulan, perdagangan, dan lainnya. Fungsi dan kedudukan bahasa terkait erat dengan masyarakat penutur dan pemakai bahasa. Demikian pula dengan kawasan tempat bahasa itu digunakan, dimanfaatkan, dan diperlukan. Penggunaan bahasa Melayu tidak mengenal batas negara, bangsa, maupun suku bangsa. Sekalipun dikenal rumusan bahwa orang Melayu adalah orang yang berbahasa, berbudaya, dan bertempat tinggal di pemukiman masyarakat Melayu, namun “kawasan penggunaan bahasa Melayu” dan “masyarakat pengguna bahasa Melayu” tidaklah sempit. Selanjutnya, sekalipun yang dikenal sebagai budaya Melayu adalah budaya yang berlandaskan ajaran agama Islam dengan pilar
Universitas Sumatera Utara
utamanya adat bersendikan syaraq, syaraq bersendikan qitabullah, namun penutur dan pemakai bahasa Melayu tidaklah terbatas hanya pada pemeluk agama Islam (Ridwan, 2005:208). Dalam perkembangannya, bahasa Melayu, khususnya yang berada di Nusantara berkembang menjadi dialek-dialek atau bahkan terpecah menjadi bahasa yang berdiri sendiri. Di Sumatera utara saja, dikenal bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu Deli, bahasa Melayu Serdang, bahasa Melayu Bedagai, bahasa Melayu Batubara, bahasa Melayu Asahan, bahasa Melayu Bilah, bahasa Melayu Kotapinang, bahasa Melayu Panai, dan bahasa Melayu Kualoh. Bahasa Melayu yang dijadikan objek penelitian adalah bahasa Melayu Deli karena bahasa Melayu Deli dianggap yang paling dapat mewakili bahasa Melayu secara keseluruhan dan karena bahasa Melayu Deli digunakan oleh masyarakat Melayu yang tinggal di Medan.
2.1.2 Bahasa Batak
Dalam Kamus Linguistiknya, Kridalaksana menyebut bahasa Batak dengan sebutan “Dialek-Dialek Batak”, yang menyiratkan bahwa bahasa Batak memiliki banyak variasi yang masih tergolong dalam dialek. Terdiri atas bahasa Batak (dialek) Karo/Alas/pakpak, bahasa Batak (dialek) Toba, bahasa Batak (dialek) Simalungun, bahasa Batak (dialek) Angkola Mandailing.
Hal ini
kemudian didukung oleh temuan Balai Bahasa Medan dalam kegiatan pemetaan bahasa-bahasa di seluruh Nusantara dengan perhitungan dialektologi yang masih mengategorikan bahasa batak dan varian-variannya dalam bentuk dialek-dialek,
Universitas Sumatera Utara
bukan bahasa-bahasa yang berdiri sendiri.
Perlu dicatat bahwa data yang
digunakan dalam kegiatan itu adalah data bahasa yang diperoleh pada tahun 1990. Dengan kemungkinan adanya perubahan dalam kurun waktu setiap 10 tahun, kenyaataan yang ada saat ini bisa jadi tidak lagi sama.
Sementara itu, Panggabean dalam tesisnya pada tahun 1994 menyebut “Bahasa-Bahasa Batak” yang dimaknai bahwa variasi-variasi yang ada dalam kelompok bahasa Batak sudah berdiri sebagai bahasa. Ini ditopang dengan kenyataan bahwa masing-masing masyarakat Batak akan menganggap sukunya sebagai
suku
yang
berbeda
dan
berdiri
sendiri.
Masyarakat
Batak
Mandailing/Angkola bertahan bahwa mereka adalah masyarakat yang berbeda, bukan bagian dari Batak. Saat ini, hal itu berkembang lagi dengan kenyataan bahwa Mandailing dengan Angkola pun tidak mau disamakan lagi. Begitu juga yang terjadi dengan Simalungun, Karo, Pakpak/Dairi. Walaupun begitu, hal itu bukanlah sesuatu yang terlalu penting mengingat dalam penelitian ini perbandingan akan dilakukan dalam bahasa-bahasa yang jelas berbeda, bukan dalam ranah bahasa Batak dan varian-variannya. Bahasa Batak yang akan digunakan sebagai bahan kajian adalah bahasa Batak Toba.
Bahasa Batak Toba adalah salah satu bahasa daerah yang dipergunakan di daerah sekitar Danau Toba dan sekitarnya, termasuk Pulau Samosir, Sumatera Utara. (http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Batak_Toba). Diperkirakan, penutur bahasa Batak Toba dewasa ini sekitar 2 juta jiwa dengan perincian 1,5 juta bermukin di daerah Batak Toba dan selebihnya berada di perantauan seperti
Universitas Sumatera Utara
Medan, Jakarta, dan di kota-kota besar lainnya, bahkan sampai Papua karena “Orang Batak” terkenal dengan sifatnya yang keras dan memiliki semangat hidup yang tinggi untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
2.1.3 Bahasa Nias Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya. Namun, seperti layaknya bahasa-bahasa yang ada di Nusantara, bahasa Nias juga termasuk dalam rumpun Austronesia.
Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal. Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan | ( http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Nias).
Bahasa Nias yang dijadikan objek penelitian adalah bahasa Nias dialek Gunung Sitoli dengan alasan Kota Gunung Sitoli merupakan kota terbesar di Pulau Nias sehingga bahasa Nias yang kemungkinan memiliki dialek-dialek akan bertemu di Kota Gunung Sitoli yang dulunya merupakan ibukota Kabupaten Nias sebelum Nias dimekarkan menjadi 5 kabupaten. Hal ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang bahasa Nias secara umum.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Landasan Teori Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang berkaitan dengan Linguistik Historis Komparatif. Dalam Linguistik Historis Komparatif dibicarakan kekerabatan bahasa berdasarkan sejarah timbulnya bahasa-bahasa tersebut. Dalam hal ini, konsep bahasa purba yang dianggap sebagai bahasa asal bahasa-bahasa turunan tentulah menjadi hal yang sangat berperan dalam penetapan keluarga bahasa. Karena itulah, suatu telaah atau kajian historis juga membicarakan kesamaan bentuk bahasa secara fonetis serta perubahan-perubahannya, lewat korespondensi bunyi dan variasi-variasi bunyi yang terdapat dalam bahasa-bahasa yang berkerabat,
berupaya menetapkan
waktu pisah bahasa-bahasa yang dibicarakan, juga memperkirakan usia bahasabahasa tersebut melalui metode-metode tertentu.
2.2.1 Migrasi Bahasa Dalam teori migrasi bahasa disebutkan adanya asumsi bahwa untuk mencapai tempat-tempat yang sekarang didiami oleh bahasa tertentu, penuturpenutur bahasa proto
atau bahasa purba harus berpindah tempat dari suatu
wilayah proto (proto area) yang menjadi tempat asal penutur-penutur bahasa itu. Ada dua dalil yang mendasari teori migrasi bahasa ini: 1. Wilayah asal bahasa-bahasa kerabat merupakan suatu daerah yang bersinambung. 2. Jumlah migrasi yang mungkin direkonstruksi akan berbanding terbalik dengan jumlah gerak perpindahan dari tiap bahasa.
Universitas Sumatera Utara
Dalil pertama manyebutkan adanya wilayah asal bahasa, dengan kata lain, adanya asumsi bahwa bahasa-bahasa yang berkerabat sebenarnya berasal dari satu wilayah yang sama, dengan kata lain pula, berasal dari satu bahasa yang sama yang kemudian berkembang menjadi bahasa-bahasa yang berbeda. Karena bahasa-bahasa yang berkerabat merupakan bentuk percabangan dari satu bahasa proto, maka semua bentuk itu dapat ditelusuri kembali melalui gerak-gerak yang berasal dari wilayah yang bersinambung tadi. Yang dimaksud dengan wilayah asal adalah wilayah dari bahasa yang menurunkan bahasa-bahasa yang setara dewasa ini. Daerah asal bahasa-bahasa yang setara itu disebut Homeland atau Negeri asal Dalil kedua dapat dianggap sebagai kaidah “gerak yang paling minimal”. Maksudnya, bila jumlah gerak dalam dua buah peluang migrasi yang direkonstruksikan itu berbeda, maka migrasi dengan jumlah gerak yang paling kecil mempunyai peluang yang paling besar sebagai migrasi yang sesungguhnya pernah terjadi. (Keraf, 1984: 172-174).
2.2.2 Korespondensi Bunyi Korespondensi bunyi atau kesepadanan bunyi, awalnya dikenal dengan istilah hukum bunyi (Lautgesetz, Sound Law, Grimm’s Law), diartikan sebagai hubungan yang teratur mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada katakata dengan makna yang mirip (Keraf, 1984:42). Seperti dijabarkan di bagian pendahuluan, hukum bunyi ini awalnya dirumuskan oleh Jacob Grimm. Dalam penelitian atas bahasa-bahasa Jerman dan bahasa Indo-Eropa lainnya Grimm
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan kenyataan bahwa ada pergeseran atau pertukaran bunyi yang berlangsung secara teratur dalam bahasa-bahasa yang ditelitinya. Para ahli bahasa pada masa itu yang dikenal dengan sebutan aliran Junggrammatiker memberi perhatian yang besar pada hukum bunyi ini dan menyatakan bahwa hukum bunyi ini berlaku tanpa kecuali. Bahasa-bahasa yang ada dewasa ini diasumsikan berasal dari satu bahasa yang sama. Perubahan-perubahan yang terjadi kemudian karena faktor waktu dan letak geografis ternyata masih menyisakan kemiripan atau kesamaan dalam beberapa bahasa. Bahasa-bahasa yang masih memiliki kemiripan inilah yang disebut sebagai berkerabat. Dalam hal ini, perubahan yang terjadi masih dapat diamati dan dirumuskan melalui hukum bunyi atau korespondensi bunyi yang terdapat dalam bahasa-bahasa tersebut. Misalnya, dengan mempergunakan katakata bilangan atau kata-kata yang menyangkut anggota tubuh (yang dianggap universal karena dimiliki oleh semua bahasa di dunia) dapat ditentukan perangkat korespondensi. Contoh:
Melayu
hidung
Ma’ayan
urung
Banjar
hidung
Lamalera
irung
Jawa
irung
Batak
igung
Tagalog
ilung
Universitas Sumatera Utara
Dari data-data tersebut, diperoleh perangkat korespondensi berikut: /h–ø-h–ø–ø–ø–ø/ / i - u – i -- i – i – i – i / /d–r–d– r–r–g –l/ /u–u–u–u–u–u–u/ / G - G---
G-
G- G- G- G/
Semakin banyak data yang diperbandingkan maka semakin banyak pula kemungkinan untuk memperoleh perangkat korespondensi fonemisnya. Akan tetapi, korespondensi fonemis ini tidak dapat dirumuskan dari satu pasangan kata saja, data lain juga harus menunjukkan kesesuaian dengan data yang sebelumnya. Dalam bahasa-bahasa Nusantara, kita dapat melihat contoh pada kata ‘batu’. Dalam bahasa Melayu: batu, Jawa: watu, Batak: batu, Lamalera: foto. Dalam pasangan kata ini terdapat indikasi adanya perangkat korespondensi fonemis: /b – w – b – f /. Jika hubungan antara fonem-fonem itu menjadi perangkat korespondensi fonemis yang sesungguhnya, maka harus dapat diperoleh dari pasangan kata-kata lain. Dan, memang itulah yang terjadi, dalam pasangan katakata berikut: Glos
Melayu
Jawa
Batak Karo
Lamalera
babi
babi
wawi
babi
fave
bulan
bulan
wulan
bulan
fula
buluh
buluh
wulu
buluh
fulo
(Keraf, 1984:52-53)
Universitas Sumatera Utara
2.2.3
Variasi Bunyi Perubahan bunyi yang muncul secara teratur disebut korespondensi,
sedangkan perubahan bunyi yang muncul secara sporadis disebut variasi (Mahsun, 1995:28). Variasi bunyi dapat berupa perubahan dari yang sama menjadi berbeda, dari yang berbeda menjadi sama, pelesapan atau penghilangan, penambahan, atau perubahan letak bunyi-bunyi yang terdapat dalam
kata-kata bahasa yang
berkerabat. Perubahan bunyi yang tergolong variasi adalah: 1. Asimilasi Asimilasi merupakan suatu proses perubahan bunyi ketika dua fonem yang berbeda dalam bahasa proto mengalami perubahan menjadi fonem yang sama dalam bahasa sekarang atau proses perubahan satu segmen (bunyi) menjadi serupa dengan yang lainnya. Asimilasi ini ada yang disebut asimilasi total atau identik, dan ada yang disebut sebagai asimilasi parsial atau sebagian saja. Asimilasi total atau identik terjadi apabila perubahan terjadi secara total. atau seluruhnya, sedangkan asimilasi parsial terjadi apabila perubahan terjadi bila hanya sebagian cirri-ciri fonetis bunyi-bunyi tersebut yang disamakan. Dalam bahasa Batak banyak terjadi asimilasi bunyi. Contoh: dang kuboto dakkuboto mambuka mabbuka
‘tidak kutahu’ ‘membuka’ dll.
2. Disimilasi Disimilasi merupakan kebalikan dari asimilasi. Jika asimilasi perubahan yang tidak sama menjadi sama, dalam disimilasi perubahan bunyi terjadi dari
Universitas Sumatera Utara
yang sama menjadi tidak sama. Dalam bahasa Proto Austronesia (PAN) dan Melayu, hal ini terjadi: Contoh: PAN
Melayu
* t’ambut
sambut
‘sambut’
* t’akit
sakit
‘sakit’
3. Metatesis Metatesis merupakan perubahan bunyi yang berkaitan dengan perubahan letak bunyi-bunyi bahasa. Perubahan letak bunyi-bunyi ini akan menghasilkan kata-kata yang berbeda tetapi masih berada dalam lingkup makna yang sama. Contoh-contoh yang ada dalam bahasa Indonesia:
lebat tebal, lajur jalur
4. Swarabakti Swarabakti ini disebut juga sebagai bunyi pelancar atau pelancar bunyi. Sering sekali bunyi-bunyi tertentu muncul ketika bunyi berupa gugus konsonan atau gugus vokal hadir. Sebenarnya, sebagian beranggapan bahwa swarabakti ini adalah bentuk penambahan bunyi seperti layaknya protesis, epentesis, dan paragoge. Akan tetapi, dalam swarabakti atau bunyi pelancar ini, bunyi yang muncul adalah bunyi-bunyi yang memang berfungsi untuk melancarkan bunyi. Misalnya, bunyi /y/ hadir antara vokal /ia/, bunyi /w/ hadir di antara vokal /ua/, dan bunyi /e/ hadir di antara konsonan /tr/, dll. Contoh: siang siyang uang uwang putra putera, dll.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Leksikostatistik Linguistik Historis Komparatif melandaskan metodenya pada kesamaan bentuk, tetapi kesamaan bentuk dalam perkembangan sejarah yang sama. Salah satu metode dalam Linguistik Historis Komparatif ialah leksikostatistik, yang berfungsi menentukan tingkat hubungan di antara dua bahasa dengan membandingkan kosakata dari bahasa dan menentukan tingkat kesamaan di antaranya. Leksikostatistik adalah suatu teknik yang memungkinkan kita untuk menentukan tingkat hubungan di antara dua buah bahasa, dengan menggunakan cara yang paling mudah, yaitu dengan membandingkan kosa kata pada bahasabahasa tersebut yang kemudian dapat dilihat dan ditentukan tingkat kesamaan di antara kosa kata kedua bahasa (Crowley: 1992:168). Dengan demikian, sejauh mana hubungan kekerabatan satu bahasa dengan bahasa lainnya dapat diketahui. Menurut Crowley (1987: 191—192), metode leksikostatistik beroperasi di bawah dua asumsi dasar. Asumsi pertama ialah bahwa beberapa bagian kosakata dari sebuah bahasa sukar berubah daripada bagian lainnya. Apa yang dimaksud dengan kosakata yang sukar berubah adalah kosakata dasar, yakni kata-kata yang sangat intim dalam kehidupan bahasa, dan merupakan unsur-unsur yang menentukan mati hidupnya suatu bahasa ( lihat juga Keraf, 1991: 123). Kemudian, istilah ‘perubahan’ mengacu pada penggantian sebuah kata dengan sebuah kata nonkerabat karena bentuk asli berubah maknanya sehingga kemunculannya merujuk kepada sesuatu yang lain, atau karena sebuah kata dipinjam dari bahasa lain untuk mengekspresikan makna tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Asumsi kedua ialah bahwa perubahan kosakata dasar pada semua bahasa adalah sama. Asumsi ini telah diuji pada 13 bahasa, di antaranya bahasa yang memiliki naskah-naskah tertulis. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam tiap 1.000 tahun, kosakata dasar suatu bahasa bertahan antara 86,4—74,4 %, atau dengan angka rata-rata 80,5%. Tentu saja hal itu tidak dapat diartikan bahwa semua bahasa akan bertahan dengan persentase rata-rata tersebut, karena semua bahasa yang digunakan dalam eksperimen itu (kecuali dua bahasa) adalah bahasa-bahasa Indo-Eropa. Bila asumsi kedua diterima, retensi rata-rata kosakata dasar suatu bahasa dalam tiap 1.000 tahun dapat dinyatakan dalam rumus: 80,5% x N. Simbol N adalah jumlah kosakata dasar yang ada pada awal kelipatan 1.000 tahun yang bersangkutan. Dari 200 kosakata dasar (N) suatu bahasa sesudah 1.000 tahun pertama akan tinggal 80,5% x 200 kata = 161 kata. Sesudah 1.000 tahun kedua akan tinggal 80,5% x 161 kata = 139,6 kata atau dibulatkan menjadi 140 kata. Sesudah 1.000 tahun ketiga kosakata dasarnya tinggal 80,5 x 140 kata = 112,7 atau dibulatkan menjadi 113 kata, dan seterusnya. “Leksikostatistik adalah metode pengelompokan bahasa yang dilakukan dengan menghitung prosentase perangkat kognat/kerabat (Mahsun,1995:115)”. Dalam penghitungan leksikostatistik, kata-kata yang memiliki kemiripan dari segi fonetis atau morfologi akan dianggap sebagai kata yang berkerabat atau dikenal dengan istilah kognat (cognate). Melalui kata-kata berkerabat inilah dilakukan penghitungan waktu pisah dari bahasa protonya atau usia bahasa.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Keraf,(1984: 121) Leksikostatistik itu suatu teknik dalam pengelompokan bahasa yang lebih cenderung mengutamakan peneropongan katakata (leksikon) secara statistik, untuk kemudian berusaha menetapkan pengelompokan itu berdasarkan persentase kesamaan dan perbedaan suatu bahasa dengan bahasa lain. Dari konsep di atas, Keraf kemudian menjabarkan metode kerja dalam leksikostatistik yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian kekerabatan bahasa.
Asumsi Dasar Leksikostatistik Ada empat macam asumsi dasar yang dapat dipergunakan sebagai titik tolak dalam usaha mencari jawaban mengenai usia bahasa, atau secara tepatnya bilamana terjadi diferensiasi antara dua bahasa atau lebih (Keraf: 1984: 123) Asumsi-asumsi dasar tersebut adalah : 1. Sebagian dari kosa kata suatu bahasa sukar sekali berubah bila dibandingkan dengan bagian lainnya. Kosa kata yang sukar berubah dalam asumsi dasar adalah kosa kata dasar yang merupakan kata-kata yang sangat intim dalam kehidupan bahasa sekaligus merupakan unsur-unsur yang menentukan mati hidupnya suatu bahasa. Kosa kata yang diambil dalam metode leksikostatistik dibatasi jumlahnya, setelah diadakan penilaian yang ketat dan pengujian-pengujian untuk menerapkan metode ini secara baik. Yang ingin dicapai dalam seleksi ini adalah dapat disusun sebuah daftar yang bersifat universal, artinya kosa kata yang dianggap harus ada pada semua bahasa sejak awal mula perkembangannya. Kosa kata dasar itu meliputi :
Universitas Sumatera Utara
1. kata ganti; 2. kata bilangan; 3. kata-kata mengenai anggota badan (dan sifat atau aktivitasnya); 4. alam dan sekitarnya: udara, langit, air, gunung, dan sebagainya beserta sifat atau aktivitasnya; 5. alat-alat perlengkapan sehari-hari yang sudah ada sejak permulaan: tongkat, pisau, rumah, dan sebagainya. Morris Swadesh mengusulkan sekitar 200 kosa kata dasar yang dianggapnya universal, artinya bisa terdapat pada semua bahasa di seluruh dunia. 2. Retensi (ketahanan ) kosa kata dasar adalah konstan sepanjang masa. Asumsi dasar yang kedua mengatakan bahwa dari kosa kata dasar yang ada dalam suatu bahasa, suatu persentase tertentu selalu akan bertahan dalam 1.000 tahun. Kalau asumsi ini diterima, maka dari sebuah bahasa yang memiliki 200 kosa kata, sesudah 1.000 tahun akan bertahan 80,5%, dan dari sisanya sesudah 1.000 tahun kemudian akan bertahan lagi dalam persentase yang sama. 3. Perubahan kosa kata dasar pada semua bahasa adalah sama. Setelah menguji beberapa bahasa dengan asumsi dasar ketiga ini, hasilnya akan menunjukan bahwa dalam tiap 1000 tahun, kosa kata dasar suatu bahasa bertahan dengan angka-angka rata-rata 80,5%. Apabila kita ingin menghitung retensi ( ketahanan) kosa kata dasar kedua bahasa dengan mempergunakan asumsi dasar kedua, dapat dinyatakan dengan rumus : 80.5% x N. N adalah jumlah kosa kata dasar yang ada pada awal kelipatan 1000 tahun kedua bahasa. Sehingga, dari 200 kosakata dasar (N) suatu bahasa, sesudah 1000 tahun pertama akan tinggal
Universitas Sumatera Utara
80,5% x 200 = 161kata, sesudah 1000 tahun kedua akan tinggal 80,5% x161 kata = 139,6 kata atau dibulatkan menjadi 140 kata. Selanjutnya sesudah 1000 tahun ketiga kosa kata dasar yang tinggal adalah 80,5% x 140 kata = 112,7 kata atau dibulatkan menjadi 113 kata, dan seterusnya (seperti yang dijabarkan oleh Crowley di atas). Dalam leksikostatistik, tataran yang berbeda dari subkelompok dinamai sebagai berikut:
Tabel 1 Penamaan Subkelompok Bahasa Level subkelompok
persentase kerabat pada kosakata inti
Bahasa (language)
81—100%
Keluarga (family)
36—81%
Rumpun (stock)
12—36%
Mikrofilum
4—12%
Mesofilum
1—4%
Makrofilum
0—1%
Dalam klasifikasi leksikostatistik, kesamaan pada tingkat 81-100% disebut bahasa,
kesamaan pada tingkat 36—81% disebut keluarga, kesamaan pada
tingkat 12-36% disebut rumpun, kesamaan pada tingkat 4-12% disebut mikrofilum, kesamaan pada tingkat 1-4% disebut mesofilum, dan kesamaan pada tingkat 0-1% disebut makrofilum. Namun, perlu dicatat bahwa ahli bahasa yang berbeda adakalanya menggunakan hitungan yang berbeda. Perbandingan yang sistematis memerlukan metode yang tepat. Penelitian ini menggunakan metode perbandingan untuk menyusun perangkat ciri yang berkorespondensi dalam bahasa BN, BB, dan BM dengan menggunakan daftar
Universitas Sumatera Utara
kosakata dasar dari ketiga bahasa itu, yang disusun oleh Morris Swadesh. Daftar kosakata itu membawa keuntungan dalam penelitian karena terdiri atas kata-kata nonkultural serta retensi kata dasarnya telah diuji dalam bahasa-bahasa yang memiliki naskah-naskah tertulis. Keraf (1991: 127—130) mengatakan bahwa dalam membandingkan katakata untuk menetapkan kata-kata kerabat dan kata-kata nonkerabat terdapat asumsi bahwa fonem bahasa proto yang berkembang secara berlainan dalam bahasa-bahasa kerabat akan berkembang secara konsisten dalam lingkungan linguistis bahasa kerabat masing-masing. Dalam perbandingan itu, fonem-fonem dalam posisi relatif sama dibandingkan satu sama lain. Bila terdapat hubungan genetis, pasangan fonem tersebut akan timbul kembali dalam banyak pasangan lain. Tiap pasangan yang sama yang timbul dalam hubungan itu merupakan pantulan suatu fonem atau alofon dalam bahasa protonya (lihat juga Crowley). 4. Bila persentase dari dua bahasa kerabat (cognate) diketahui, maka dapat dihitung waktu pisah kedua bahasa tersebut. Berdasarkan asumsi dasar yang kedua, ketiga, dan keempat, kita dapat menghitung usia atau waktu pisah bahasa-bahasa yang diteliti kalau diketahui persentase kata kerabat kedua bahasa itu. Dan karena dalam tiap 1000 tahun kedua bahasa kerabat itu masing –masing akan kehilangan kosa kata dasarnya dalam persentase yang sama, maka waktu pisah dalam kedua bahasa itu harus dibagi dua. Misalnya persentase kata kerabatnya adalah 80, 5%, maka waktu pisah kedua bahasa adalah 500 tahun yang lalu.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan prinsip itu, waktu pisah kedua bahasa kerabat dengan prosentase kata kerabat yang diketahui adalah seperti tertera dalam tabel berikut ini (Keraf: 1984: 125):
Tabel 2 Perkiraan Waktu Pisah dan Usia Bahasa
Jumlah kata
Persentase kata
Usia (waktu pisah) antara bahasa A—
kerabat antara A—
kerabat
B sekian tahun yang lalu (sudah
B
dibagi 2)
200-162
100-81
0-500
162-132
81-66
500-1000
132-106
66-53
1000-1500
106-86
53-43
1500-2000
86-70
43-35
2000-2500
70-56
35-28
2500-3000
dan seterusnya
Jika jumlah kata berkerabat antara dua bahasa yang ditelaah antara 200162, dengan persentase 100-81, maka waktu pisah diperkirakan 0-500 tahun yang lalu. Jika jumlah kata yang berkerabat antara 162-132 dengan persentase 81-66, maka waktu pisah kedua bahasa diperkirakan antara 500-1000 tahun yang lalu. Jika jumlah kata berkerabatnya 132-106, dengan persentase 66-53, maka waktu pisah kedua bahasa itu diperkirakan 1000-1500 tahun yang lalu, dan seterusnya. Setelah menghitung waktu pisah bahasa-bahasa yang dijadikan objek penelitian, selanjutnya dapat pula dilakukan penghitungan usia bahasa seperti yang
Universitas Sumatera Utara
dijabarkan di atas dikaji dalam Linguistik Historis Komparatif dengan metode yang disebut glotokronologi.
2.2.5 Glotokronologi
Glotokronologi adalah suatu teknik dalam linguistik historis yang berusaha mengadakan pengelompokan dengan lebih mengutamakan perhitungan waktu (time depth) atau perhitungan usia bahasa-bahasa kerabat. Dalam hal ini, usia bahasa tidak dihitung secara mutlak dari suatu tahun tertentu, tetapi dihitung secara umum, misalnya mempergunakan satuan ribuan tahun (millennium) (Keraf, 1984: 121). Pendapat itu ditunjang oleh pakar yang lain, yaitu Terry Crowley yang menyatakan, metode kedua yang biasanya digunakan untuk menentukan waktu tepatnya kapan bahasa yang berkerabat berpisah disebut dengan glotokronologi. Metode ini memungkinkan seorang linguis atau ahli bahasa mengetahui sudah berapa lama bahasa-bahasa yang berkerabat yang dalam hal ini termasuk pada level sub-grouping telah berpisah (Crowley, 1992:79). Jadi, jika leksikostatistik berusaha melakukan pengelompokan bahasa berdasarkan waktu pisah bahasabahasa yang diteliti, glotokronologi berusaha memperkirakan usia bahasa-bahasa tersebut. Hasil perhitungan tersebut dapat dikelompokkan Crowley (1992:179) menjadi: Tingkat Pengelompokan
Tahun Pisah
Dialek dari satu bahasa Bahasa dari satu keluarga
Kurang dari 500 tahun 500 sampai dengan 2500 tahun
Universitas Sumatera Utara
Keluarga dari satu rumpun Rumpun dari satu mikrofilum Mikrofilum dari satu mesofilum Mesofilum dari satu makrofilum
2500 sampai dengan 5000 tahun 5000 sampai dengan 7500 tahun 7500 sampai dengan 10.000 tahun Lebih dari 10.000 tahun
Pada kenyataannya, kedua bidang ini selalu dipakai berdampingan karena untuk menghitung usia bahasa dengan teknik glotokronologi ini, harus menggunakan leksikostatistik karena perhitungan yang dilakukan berangkat dari hasil perhitungan leksikostatistik. Begitu juga sebaliknya, untuk melakukan pengelompokan bahasa juga tidak terlepas dari masalah waktu yang dijadikan sebagai landasan pengelompokan. Karena itu, banyak ahli yang pada dasarnya menyamakan pengertian kedua istilah ini Gorys Keraf (1984:122). Berbicara tentang usia bahasa, tidak terlepas dari pemikiran tentang berapakah usia bumi? Pertanyaan ini juga akan sampai pada, berapakah usia bahasa yang ada di bumi? Sebuah sumber menyatakan bumi ini berusia sekitar 4,6 miliar
tahun
(http://www.gotquestion.orang/indonesia/umur-bumi.html)
sedangkan sumber lain yang memperkirakan usia bahasa menyatakan bahwa bahasa manusia sudah ada sejak 2.900 tahun Sebelum Masehi (http://planetberita.blogspot.com/2011/10/umur-bahasa-di-dunia.html)
walaupun,
diinformasikan juga adanya temuan tentang bahasa tulis yang sudah berusia 50 ribu tahun, yaitu bahasa Sumerian. Lalu, berapakah usia bahasa-bahasa yang dijadikan oebjek penelitian? Relevankah dengan perkiraan usia bumi dan bahasa tertua tersebut? Tentunya hal ini akan menjadi temuan yang sangat menarik. 2.3 Penelitian Terdahulu
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang berbicara tentang leksikostatistik antara lain adalah Ika Indriani H. dengan judul Leksikostatistik Bahasa Batak Toba dengan Bahasa Pakpak Dairi (2007). Dalam penelitian ini digunakan daftar kosa kata yang disusun oleh Mahsun sebanyak 809 kosa kata. Akan tetapi, dalam penelitian ini tidak digambarkan secara jelas perubahan-perubahan yang terjadi pada bahasabahasa yang diteliti. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa bahasa Batak Toba dan bahasa Pakpak Dairi merupakan bahasa tunggal pada 2.320-2200 tahun yang lalu. Bahasa Batak Toba dan bahasa Pakpak Dairi mulai berpisah dari suatu bahasa proto antara 320-200 sebelum Masehi (dihitung dari tahun 2000). Suyata Pujiati Dari Leksikostatistik ke Glotokronologi: Analisis Sembilan Bahasa di Indonesia (1998). Dalam penelitian ini dikaji kekerabatan Sembilan bahasa di Indonesia, yaitu bahasa Batak, bahasa Minang, bahasa Melayu, bahasa Banjar, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Bali, dan bahasa Bugis dengan alat bantu 100 kosakata dasar Swadesh. Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta dengan menggunakan
mahasiswa
sebagai
informan.
Pujiati
menggunakan teknik yang dikemukakan oleh Dyen dan hasil yang didapatkannya adalah bahasa Batak dan bahasa Bugis merupakan bahasa proto atau bahasa tertua, yang menurunkan bahasa yang lain, dari kesembilan bahasa yang diteliti sehingga Pujiati menyebutnya sebagai bahasa proto Batak-Bugis. Bahasa proto Batak-Bugis awalnya adalah bahasa satu bahasa. Dalam perjalanannya, induk bahasa tersebut berpisah menjadi 3 subgrup: 1. Subgrup Batak, Melayu, Minang, dan Banjar; 2. Subgrup Sunda , Jawa, dan Madura; 3. Subgrup Bali dan Bugis. Dalam penelitian itu disimpulkan bahwa bahasa yang memiliki kekerabatan
Universitas Sumatera Utara
paling renggang atau jauh adalah Batak dan Bugis, sedangkan bahasa Melayu dan bahasa Minang memiliki tingkat kekerabatan yang paling erat atau dekat. Himpun
Panggabean
Telaah
Bahasa-Bahasa
Batak
dari
Segi
Leksikostatistik (1994). Dalam penelitian ini Panggabean menggunakan 300 kosa kata dasar yang merupakan kombinasi dari Swadesh, Gudschinsky, Travis, Rea, dan Keraf. Panggabean menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa Batak mempunyai tigkat kekerabatan dan waktu pisah yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Bahasa Batak Toba dan Angkola berada dalam satu bahasa yang sama, dengan kata lain kekerabatan keduanya masih sangat erat sehingga salah satunya berstatus dialek dari yang lain. Sedangkan bahasa-bahasa Batak yang lain berada dalam lingkup keluarga. Dengan perincian, bahasa Karo, bahasa Alas, dan bahasa Dairi berada dalam satu kemompok, dan bahasa Simalungun tidak berada dalam kelompok kedua kelompok bahasa tersebut. Ini berarti, bahasa Simalungun berdiri sendiri. Selain itu, telaah kekerabatan bahasa-bahasa yang ada di Nusantara juga banyak dilakukan oleh para pakar, seperti Kridalaksana, Blust, Dyen, Fernandes, Mbete, Mahsun, dan lain-lain yang dalam penelitian ini dijadikan rujukan.
Universitas Sumatera Utara