BAB II KEWENANGAN MPW DALAM MELAKUKAN PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN ADMINISTRATIF YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS A.
Dasar Hukum Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Notaris Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris memberikan pengertian terhadap Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang lainnya. Artinya notaris sebagai pejabat umum memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh Undang-Undang Jabatan Notaris. Dengan diangkatnya seorang notaris oleh Menteri Kehakiman maka seorang notaris dapat menjalankan tugasnya dengan bebas, tanpa dipengaruhi badan eksekutif dan badan lainnya. Maksud kebebasan ini adalah supaya profesi Notaris nantinya tidak akan takut untuk menjalankan jabatannya, sehingga dapat bertindak netral dan independen. 49 Notaris selaku pejabat umum yakni terkait pada pembuatan akta otentik yang dimaksud oleh Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut bunyi Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang harus dilakukan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dengan tugas menjamin
49
Doddy Radjasa Waluyo, Hanya Ada Satu Pejabat Umum Notaris, Media Notaris, Hal. 41
kepastian tanggal, penyimpanan akta dan memberikan grosse, salinan dan kutipan. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. 50 Pembuatan akta otentik dihadapan notaris, bukan saja karena diharuskan
oleh
peraturan
perundang-undangan,
tetapi
juga
karena
dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan demi kepastian hak dan kewajiban para pihak yang berkepentingan sekaligus masyarakat secara keseluruhan. Dalam menjalankan jabatannya sebagai seorang pejabat umum yang diberikan wewenang oleh negara untuk membuat akta otentik, maka notaris dalam melakukan pekerjaannya haruslah sesuai dengan koridor tugas dan tanggungjawab seperti yang telah dinyatakan dalam Peraturan Jabatan Notaris. 51 Profesionalisme kerja seorang notaris mensyaratkan adanya tiga watak kerja, yaitu : 1.
Bahwa kerja itu memrefleksikan adanya itikat untuk merealisasikan kebajikan yang dijunjung tinggi dalam masyarakat, yang oleh karena itu tak akanlah kerja itu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil untuk para pelakunya, melainkan tegaknya kehormatan diri.
50
Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris Nawawi, Hadari, Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur Pemerintah, Jakarta : Erlangga, 1995, hal. 48 51
2.
Bahwa kerja itu dikerjakan berdasarkan kemahiran teknis yang bermutu tinggi, yang karena itu amat mensyaratkan adanya pendidikan dan pelatihan yang berlangsung bertahun-tahun secara ekslusif dan berat; serta
3.
Bahwa kualitas teknis dan moral yang amat diisyaratkan dalam kerjakerja
pemberian
jasa
profesi
ini
dalam
pelaksanaannya
harus
menundukkan diri pada control pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas, yang pelanggarannya akan memberikan konsekuensi bagi si pelanggar. 52 Kewajiban notaris merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh notaris, dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban : a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol notaris; c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta; d. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta;
52
Hal. 32
Soetandyo Wignjosoebroto, Profesi Profesionalisme dan Etika Profesi, Media Notariat, 2001,
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; g. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1(satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan; j. Mengirim daftar Akta sebagaimana yang dimaksud dalam huruf I atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakannya urusan pemerintahan dibidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m. Membacakan Akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat dibawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;dan n. Menerima magang calon notaris. (2)
Kewajiban menyimpan minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal notaris mengeluarkan Akta in originali.
(3)
Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a.
Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b.
Akta penawaran pembayaran tunai;
c.
Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tuidak diterimanya surat berharga;
d.
Akta keterangan kepemilikan;
e.
Akta keterangan kepemilikan; dan
f.
Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4)
Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata “ BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU BERLAKU UNTUK SEMUA”.
(5)
Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6)
Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(7)
Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menhendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan notaris.
(8)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap pembacaan kepala Akta, komparisi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup akta.
(9)
Jika salah satu syarat sebagaimana pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai Akta dibawah tangan.
(10)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk pembuatan Akta Wasiat.
(11)
Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:
(12)
a.
Peringatan tertulis;
b.
Pemberhentian sementara;
c.
Pemberhentian dengan hormat;
d.
Pemberhentian dengan tidak hormat.
Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat dijadikan alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
(13)
`Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis. 53
53
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris
Undang-undang Jabatan Notaris merupakan bagian dari hukum positif tertulis dan mempunyai sanksi atas kewajiban notaris dalam melakukan pekerjaannya. Kewajiban-kewajiban yang diatur dalam undang-undang Jabatan Notaris tersebut lebih cenderung berkaitan dengan pembuatan akta, yang mana kewajiban tersebut harus dipatuhi oleh notaris, sehingga apabila dilanggar kewajiban-kewajiban tersebut, maka akta yang dibuat oleh notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan saja. Secara administratif, instrumen penegakan hukum dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, meliputi langkah preventif (pengawasan) dan langkah represif (penerapan sanksi). Langkah preventif dilakukan melalui pemeriksaan protokol notaris secara berkala dan kemungkinan adanya pelanggaran adminstratif dalam pelaksanaan jabatan notaris menurut Undang-undang Jabatan Notaris. Sedangkan langkah represif dilakukan melalui penjatuhan sanksi oleh : a.
Majelis Pengawas Wilayah, berupa teguran lisan dan teguran tertulis, 54 serta berhak mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat; 55
54 55
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris Pasal 73 butir e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris Pasal 73 butir f.
b.
Majelis Pengawas Pusat, berupa pemberhentian sementara, 56 serta berhak mengusulkan kepada menteri berupa pemberhentian dengan tidak hormat; 57
c.
Menteri, berupa pemberhentian dengan
hormat dan pemberhentian
dengan tidak hormat. Penjatuhan sanksi administratif ini diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, juga didasarkan kepada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dalam hal ini pengaturan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris terkait sanksi yang langsung dimasukkan ke dalam pasal-pasal kewajiban dalam menjalankan tugas notaris. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004, yaitu: 1. Mengenai wewenang MPD, kewenangan MPD tidak untuk menjatuhkan sanksi apapun kepada notaris. Meskipun MPD mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari notaris lainnya dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris; tetapi tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun, tapi MPD hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kepada MPW dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris
56 57
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris Pasal 77 butir c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris Pasal 77 butir d.
yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi (Pasal 71 huruf e UUJN). 2. Mengenai wewenang MPW untuk menjatuh sanksi, dalam Pasal 73 ayat (1) huruf e UUJN, bahwa MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan teguran secara tertulis, tapi dalam Keputusan Menteri angka 2 butir 1 menentukan bahwa MPW juga berwenang untuk menjatuhkan (seluruh) sanksi sebagaimana yang tersebut dalam UUJN. 3. Mengenai wewenang MPP, yaitu mengenai penjatuhan sanksi dalam Pasal 77
huruf c UUJN menentukan bahwa MPP berwenang untuk
menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi seperti ini merupakan masa menunggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan sanksi yang lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan notaris. Sanksi-sanksi yang lainnya MPP hanya berwenang untuk mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian tidak hormat kepada Menteri. Dengan demikian pengaturan sanksi yang terdapat dalam UUJN, sanksisanksi yang melekat pada pasal-pasal yang berisikan norma hukum bagi notaris berupa teguran lisan dan teguran tertulis hanya dapat dijatuhkan MPW. Sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatan notaris hanya dapat dilakukan oleh MPP,
sanksi berupa pemberhentian tidak hormat dan dengan hormat dari jabatan notaris dilakukan oleh Menteri.
B.
Kewenangan MPW (Majelis Pengawas Wilayah) Dalam Menerapkan Sanksi-Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Yang Dilakukan Notaris. Sebelum berlakukanya UUJN, pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan
sanksi terhadap Notaris dilakukan oleh badan peradilan yang ada pada waktu itu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 140 Reglement op de Rechtelijke Organisatie en Het beleid Der Justitie (Stbl. 1847 No. 23), Pasal 96 Reglement Buitingewesten, Pasal 3 Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen- Lembaran Negara 1946 Nomor 135 dan Pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris, kemudian pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh peradilan umum dan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut dalam Pasal 32 dan 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Notaris, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Notaris dan terakhir dalam Pasal 54 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004. 58 Dalam kaitan tersebut diatas, meskipun Notaris diangkat oleh pemerintah (dahulu oleh Menteri Kehakiman, sekarang oleh Menteri Hukum dan HAM) mengenai pengawasannya dilakukan oleh Badan Peradilan, hal ini dapat dipahami karena pada waktu itu kekuasaan kehakiman ada pada Departemen Kehakiman. Setelah berlakunya UUJN badan peradilan tidak lagi melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan terhadap Notaris, tetapi pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris. Majelis Pengawas Notaris dan Majelis Kehormatan Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang melakukan pengawasan, pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, tiap jenjang Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah, Pusat) mempunyai wewenang masingmasing. Kewenangan dalam penjatuhan sanksi administrasi pada tingkat pertama terhadap Notaris ada pada Majelis Pengawas Wilayah, hal ini diatur dalam Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 serta dituangkan dalam perubahan UUJN (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris). 59 Penentuan sanksi administratif yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Wilayah pada tingkat pertama harus melalui beberapa proses untuk mencari
58
Widiatmoko, Himpunan Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta, 2007, hal. 25 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang, dan Di masa Datang, Jakarta : Gramedia Pustaka, 2008. 59
kebenaran agar sanksi yang dijatuhkan tepat sasaran atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris. Penerapan proses ini disebut dengan hukum acara pada Majelis Pengawas Wilayah (MPW), didasarkan pada Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 juncto Pasal 73 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN), berkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh MPW, yaitu: 1.
Majelis Pemeriksa Wilayah memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa Daerah;
2.
Majelis Pemeriksa Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan MPD dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima;
3.
Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk didengar keterangannya;
4.
Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima. 60 Pengaturan akan kewenangan MPW diatur dalam UUJN Pasal 73 yaitu dalam
penambahannya dangan : 1.
Memberikan sanksi baik peringatan lisan maupun peringatan tertulis;
60
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Pasal 30
2.
Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa : a. Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau b. Pemberhentian dengan tidak hormat 61 Putusan yang diambil oleh Majelis Pengawas Wilayah dalam pengenaan sanksi
dibuatkan berita acara, laporan-laporan yang dimaksudkan dalam berita acara adalah hukum acara pemeriksaan sampai dengan penjatuhan sanksi kepada Notaris atau pembebasan atas Notaris apabila tidak terbukti bersalah dalam kasus dugaan pelanggaran adminstratif yang dibuatnya. Berita acara ini juga berisikan laporan kepada instansi yang berwenang adanya unsur pidana yang diberitahukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Atas laporan tersebut, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat. Lembaga Pengawas Notaris khususnya Majelis Pengawas Wilayah dalam melakukan proses peradilan administratif kepada Notaris harus memiliki organ-organ dan kedudukan yang sah menurut hukum, Pasal 72 UUJN menyatakan bahwa untuk sahnya lembaga ini maka : 1. Majelis Pengawas Wilayah dibentuk dan berkedudukan di ibukota Provinsi; Pembentukan lembaga Majelis Pengawas Wilayah dibentuk oleh Menteri dalam hal ini yaitu Menteri Hukum dan HAM untuk wilayah 61
Pasal 73 Undang-Undang Jabatan Notaris
kedudukan yaitu di ibukota provinsi yang mempunyai kewenangan dalam hal pengawasan. 2. Majelis Pengawas Wilayah berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur : a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang; b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan c. Ahli atau akademisi sebanyak 3 (tiga) orang. 62 Legalitas Majelis Pengawas Wilayah harus berjumlah 9 (sembilan) orang dengan menggabungkan 3 (tiga) unsur yaitu pemerintah, Organisasi Notaris, dan ahli atau akademisi yang dipilih oleh Menteri Hukum dan HAM. Pemerintah dalam hal ini adalah orang-orang yang profesional dibidang hukum dan kenotariatan, hal ini biasanya diduduki oleh pegawai eselon IV pada Kementerian Hukum dan HAM wilayah tersebut serta pengusulan terhadap anggota dari pihak pemerintah diberikan kewenangan kepada Kepala Kantor Wilayah. 63 Pihak Organisasi yang manjadi Majelis Pengawas Wilayah adalah orangorang yang menjadi anggota dari Ikatan Notaris Indonesia yang di tegaskan bahwa dalam Pasal 82 butir ke- 2 (dua) bahwa wadah organisasi Notaris yang diakui dan sah oleh undang-undang adalah Ikatan Notaris Indonesia serta profesionalitas dan berpengalaman dalam bidang pengawasan notaris serta 62
Pasal 72 Undang-Undang Jabatan Notaris Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung : CV. Mandar Maju, 2009, hal. 36 63
pengususulan unsur organisasi oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia. Pihak Ahli atau akademis yang profesional dibidang hukum dan kenotariatan adalah orang-orang yang berkompeten dalam hal memberikan pengawasan pada Notaris, hal ini biasanya diduduki oleh dosen-dosen hukum di wilayah tersebut serta pengusulan unsur ahli/ahli akademisi oleh pemimpin fakultas hukum atau perguruan tinggi setempat 3. Memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan yang berlaku untuk Majelis Pengawas Notaris; Pemenuhan unsur-unsur oleh orang-orang yang profesional juga diikuti oleh syarat-syarat administarif yaitu : a. Warga Negara Indonesia; b. Bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa; c. Pendidikan paling rendah Sarjana Hukum; d. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; e. Tidak dalam keadaan pailit; f. Sehat jasmani dan rohani; g. Berpengalaman dalam bidangnya paling rendah 3 (tiga) tahun. 64
64
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Pasal 12
4. Memiliki Ketua Majelis Pengawas Wilayah serta memiliki satu atau lebih Sekretaris untuk membantu dalam melakukan pekerjaan Majelis Pengawas Notaris 65 Dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris, Majelis Pengawas Wilayah harus memiliki ketua majelis yang dipilih dalam rapat majelis dan juga memilih sekretaris yang mempunyai tugas untuk membantu pekerjaan Majelis Pengawas Wilayah. Syarat sahnya penunjukan sekretaris dalam Majelis Pengawas Wilayah adalah : 66 a. Berasal dari unsur pemerintahan b. Mempunyai golongan ruang paling rendah III/d untuk Majelis Pengawas Wilayah 5. Telah diangkat sumpah oleh pejabat yang mengangkatnya dengan masa jabatan 3 (tiga) tahun. 6. Memiliki
kantor
wilayah
untuk
Majelis
Pengawas
Wilayah
yang
berkedudukan di ibukota provinsi. Dalam beberapa hal diatas maka Majelis Pengawas Wilayah merupakan lembaga yang diperintahkan oleh UUJN dalam salah satu kewenangannya yaitu memeriksa dan menentukan sanksi atas rekomendasi dari Majelis Pengawas Daerah maupun laporan masyarakat yang langsung disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah. Dalam melakukan wewenangnya Majelis Pengawas Wilayah harus 65 66
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Pasal 11 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Pasal 12 ayat (c)
memenuhi syarat dan ketentuan yang diatur dalam UUJN serta diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kewenangan penentuan sanksi terhadap Notaris harus bersifat administrasi sesuai dengan ketentuan yang ada di UUJN dan Peraturan Menteri Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata cara pengangkatan anggota, pemberhentian anggota, Susunan Organisasi, Tata kerja dan tata cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman pelaksanaan tugas Majelis Pengawas Notaris. Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris yang diduga melanggar aturan perilaku dan pelaksanaan jabatan didalam persidangannya sulit diketahui hasilnya untuk umum, hal ini dikarenakan sifat dari persidangan tersebut tertutup untuk umum. Ketertutupan ini juga membuat pelapor sulit mengetahui tindakan apa yang sudah diberikan kepada Notaris teradu. Termasuk mengetahui apakah Majelis Pengawas Wilayah benar-benar independen saat melakukan pemeriksaan atau tidak. Hal ini juga diikuti dengan tidak ada dukungan dana kepada Majelis Pengawas untuk melakukan pekerjaan dibidang pengawasan terhadap Notaris, minimnya dana ini membuat permasalahan baru yaitu pemeriksaan tersebut biasanya ditalangi oleh Notaris. 67
67
http//hukumonline.com, menunggu langkah proaktif Majelis Pengawas Notaris, diakses tanggal 20 Maret 2015
Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah dalam menerapkan sanksi-sanksi harus mempunyai dukungan yang kuat dari pemerintah, dukungan dana dan pelatihan dari pemerintah membuat Majelis Pengawas Wilayah dalam melakukan salah satu kewenangannya yaitu penerapan sanksi terhadap Notaris yang melanggar bisa lebih independen tanpa ada penyelundupan hukum yang membuat lembaga ini tidak dipercaya oleh masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan memberikan anggaran yang cukup diikuti dengan pengawasan yang ketat dari Kementerian Hukum dan HAM agar terlaksananya pekerjaan pengawasan ini secara efektif dan independen.
C.
Mekanisme Pemeriksaan Dan Penjatuhan Sanksi Oleh Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Kepada Notaris Yang Melakukan Pelanggaran Administratif Notaris diangkat oleh penguasa selaku representasi kekuasaan umum
(openbaar gezag). Untuk kepentingan publik. Otoritas para notaris diberikan oleh undang-undang, demi pelayanan kepentingan publik, bukan untuk kepentingan diri sendiri notaris. Karenanya, kewajiban-kewajiban yang diemban notaris, adalah kewajiban jabatan (ambtsplicht). 68 Notaris wajib untuk melakukan perintah tugas jabatan itu, sesuai isi sumpah pada waktu hendak memangku jabatan notaris. Batasan dimana seorang notaris tidak melakukan perintah imperative undang-undang yang dibebankan kepadanya.
68
Habib Adjie, Menjalin Pemikiran-Pendapat Tentang Kenotariatan (Kumpulan Tulisan), Bandung : PT. Refika Aditama, 2008, hal. 40
Undang-undang memberikan kepercayaan yang demikian besar kepada jabatan notaris. Setiap jabatan yang disertai pemberian otoritas ekslusif kepadanya, juga diletakkan kepercayaan yang menyangkut diri atau kepentingan perorangan atau kepentingan umum. Tanggung jawab jabatan, otomatis didasarkan pada hukum dan berdasarkan moral. Seorang notaris, walaupun memiliki kecakapan hukum yang baik tanpa dilandasi tanggung jawab dan tanpa internalisasi nilai keluhuran dan martabat jabatannya serta standar etika, tidak dapat dikatakan telah menjalankan tugas jabatan sebagaimana mestinya yang diharapkan oleh hukum dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris sehingga mengakibatkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak terkait dengan pelaksanaan akta Notaris tersebut, maka terhadap akta tersebut dapat diturunkan (didegradasi) kekuatan pembuktiannya menjadi akta dibawah tangan. 69 Selain itu, notaris dalam membuat akta otentik apabila melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi oleh Majelis Pengawas Notaris, seperti yang dinyatakan dalam UUJN bahwa, atas pelanggaran dari notaris dalam membuat akta otentik, yang menyebabkan akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan atau suatu akta akan menjadi batal demi hukum, maka dapat menjadi alasan bagi para pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris. 70 Sanksi tersebut digolongkan sebagai sanksi perdata terhadap notaris, sanksi perdata
69 70
Ibid, hal. 55 Pasal 16 ayat (12) Undang-Undang Jabatan Notaris
merupakan sanksi yang dijatuhkan terhadap kesalahan yang terjadi karena wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Mekanisme dan atau prosedur dan proses beracara dalam pemeriksaan dan penjatuhan sanksi administratif terhadap notaris oleh Majelis Pengawas Wilayah sebagai lembaga yang berhak untuk memberikan sanksi pada tingkat pertama berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan Peraturan Menteri (Permen) Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 adalah : 1.
Pemeriksaan bersifat tertutup untuk umum 71
2.
Putusan diucapkan dalam sidang yang bersifat terbuka untuk umum
3.
Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) diantara sesama MPW, maka perbedaan tersebut dimuat dalam putusan 72
Dalam prosedur serta proses pemeriksaan maka MPW : 1.
Memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan MPD
2.
Pemeriksaan dimulai paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima dari MPD
3.
MPW berwenang memanggil pelapor dan terlapor untuk didengarkan keterangannya
71 72
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Pasal 25 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Pasal 25 ayat (2)
4.
Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh ) hari sejak berkas diterima 73 Mekanisme tersebut diatas merupakan proses awal sampai dengan penjatuhan
sanksi administratif bagi notaris yang melanggar, mengenai sanksi adminstratif didalam diunia kenotariatan adalah sanksi yang timbul sebagai spesialitas dari kajian Hukum Adminstrasi Negara. 74 Maka kaitannya dengan hukum notaris adalah sangat erat karena UUJN juga menerapkan sanksi yang berkaitan dengan adminstratif. Dalam hukum administratif yang mempunyai sanksi adminstratif memiliki kekhasan tersendiri sehingga untuk membuktikan bahwa sanksi yang didalam UUJN merupakan sanksi yang berdasarkan hukum administrasi negara perlu dilakukan perbandingan untuk memastikan sanksi tersebut adalah sanksi administratif. Menurut Phipus M. Hadjon terdapat beberapa kekhasan sanksi dalam hukum Administrasi Negara yaitu : 75 1. Besturssdwang atau paksaan pemerintah, yang dapat diuraikan sebagai tindakan- tindakan yang nyata dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum adminstrasi atau ; 2. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan, yaitu sanksi yang digunakan untuk menarik kembali keputusan atau ketetapan yang menguntungkan dengan mengeluarkan ketetapan baru atau ; 73
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Pasal 26 S.F.Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogyakarta, Liberti, 1997 75 Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara, Cetakan kesembilan, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005, hlm. 245-265 74
3. Pengenaan denda administratif, ditujukan kepada mereka yang melangggar peraturan perundang-undangan tertentu, dan kepada si pelanggar dikenakan sejumlah uang tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, kepada pemerintah diberikan wewenang untuk menetapkan sanksi tersebut ; 4. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah, ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, disamping denda yang disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum. Tiada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum manakala kaidah-kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural (hukum acara). Sanksi pada hakikatnya merupakan instrumen yuridis yang biasanya diberikan apabila kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan yang ada dalam ketentuan hukum telah dilanggar. 76 Hakikat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum.
76
Ibid, hal. 262
Secara garis besar sanksi administratif dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu : 77 a. Sanksi reparatif, yaitu sanksi yang ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum. Dapat berupa penghentian perbuatan terlarang, kewajiban perubahan sikap/ tindakan sehingga tercapai keadaan semula yang ditentukan, tindakan memperbaiki sesuatu yang berlawanan dengan aturan. Misalnya paksaan untuk berbuat sesuatu untuk pemerintah dan pembayaran uang paksa yang ditentukan sebagai hukuman. b. Sanksi punitif, yaitu sanksi yang bersifat menghukum, merupakan beban tambahan, sanksi hukuman tergolong dalam pembalasan, dan tindakan preventif yang menimbulkan ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk pelanggar-pelanggar lainnya. Misalnya pembayaran denda kepada pemerintah, teguran keras c. Sanksi regresif, yaitu sanksi sebagai reaksi atas suatu ketidaktaatan, dicabutnya hak atas sesuatu yang diputuskan menurut hukum, seolah-olah dikembalikan kepada keadaan hukum yang sebenarnya sebelum keputusan diambil. Misalnya pencabutan, perubahan, atau penangguhan suatu keputusan. Dalam UUJN adapun sanksi yang diatur adalah 1. Peringatan lisan;
77
Muhammad Abdulkadir, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum, Erlangga, Jakarta, 2008, hal. 45
2. Peringatan tertulis 3. Pemberhentian sementara 4. Pemberhentian dengan hormat 5. Pemberhentian dengan tidak hormat Jelaslah dapat dipahami bahwa yang mana dimaksud dalam angka 1 (satu) dan angka 2 (dua) adalah tindakan sanksi administratif berupa besturssdwang atau paksaan pemerintah. Karena ada unsur mengingatkan kearah yang sesuai dengan peraturan. Walaupun bahasa “tegur” terkesan memaksa dalam arti yang berjenjang, apabila notaris yang bersangkutan tidak mampu dipaksa dengan teguran lisan, maka akan dilakukan tindakan berupa teguran tertulis. Yang mana kadar paksaannya lebih besar dari teguran lisan. 78 Sementara dalam poin 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima), adalah perbuatan Hukum Administratif yaitu penarikan kembali keputusan yang menguntungkan. Keputusan Tata Usaha untuk mengizinkan notaris untuk membuka praktek adalah hal yang menguntungkan bagi notaris maka jika notaris diberhentikan secara sementara maupun permanen, itu adalah perbuatan yang tidak menguntungkan. Karena penarikan kembali keputusan yang menguntungkan adalah termasuk juga pembatalan izin untuk berbuat sesuatu.
78
Laica H.M, Marzuki, ”Penggunaan Upaya Administrasi dalam Sengketa Tata Usaha Negara”, Hukum dan Pembangunan, No. 2, Tahun XXII, Jakarta :Sinar Grafindo, 1992, hal. 15
Tata cara dalam melakukan pemeriksaan sampai dengan penjatuhan sanksi kepada notaris memiliki dasar hukum pada peraturan pelaksana yaitu PERMEN (Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) Nomor : M.02.PR.08.10 Th 2004. Dalam Permen tersebut dikatakan bahwa dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris, Majelis Pengawas membentuk Majelis Pemeriksa Daerah, Majelis Pemeriksa Wilayah dan Majelis Pemeriksa Pusat dari masing-masing unsur. Secara garis besar Majelis Pemeriksa Daerah bertugas untuk menyelidiki laporan yang datang dari masyarakat terhadap notaris yang melakukan pelanggaran, kewenangan Majelis Pemeriksa Daerah hanya sampai pada penyelidikan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Daerah. Majelis Pengawas Daerah tidak mempunyai wewenang untuk menentukan sanksi atas pelanggaran yang dibuat oleh notaris apabila benar terjadi pelanggaran. Pelanggaran yang disampaikan kepada MPD bisa berupa pelanggaran kode etik/ pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris, pelaporan ini dilakukan secara tertulis disertai bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Setelah laporan diterima maka MPD memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris, pemeriksaan dilakukan tertutup untuk umum dan dimulai dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah laporan diterima dan penyampaian hasil pemeriksaan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak laporan diterima serta dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris serta surat pengantar
pengiriman berita acara pemeriksaan disampaikan kepada MPW, dengan tembusan kepada pelapor, terlapor, MPP, dan Pengurus Daerah Organisasi Notaris. Pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Wilayah (MPW) yang diatur dalam Pasal 26 PERMEN Nomor M.02.PR.08.10 Th 2004 yaitu : a. MPW memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan MPD b. Pemeriksaan dimulai paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima MPD c. MPW berwenang memanggil pelapor dan terlapor untuk didengar keterangannya d. Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak berkas diterima Sedangkan pada Pasal 27 PERMEN Nomor M.02.PR.08.10 Th 2004 yaitu : a. Putusan harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup untuk menjatuhkan putusan b. Putusan ditandatangani oleh ketua, anggota dan sekretaris Majelis Pemeriksa Wilayah c. Dalam hal laporan tidak dapat dibuktikan, laporan dinyatakan ditolak dan terlapor direhabiltasi nama baiknya d. Dalam hal laporan dapat dibuktikan, terlapor dijatuhi sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran
e. Salinan putusan disampaikan kepada Menteri, Pelapor, Terlapor, MPD, PP Organisasi Notaris, dalam jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan. Mengingat luasnya kewenangan Notaris dan berharganya suatu akta otentik, serta adanya tanggung jawab yang dimiliki Notaris sebagai profesi yang luhur, diperlukan adanya tanggung jawab yang dimiliki Notaris sebagai profesi yang luhur, diperlukan pengawasan agar dalam melaksanakan jabatan dan profesinya senantiasa sejalan dengan Undang-Undang. Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Wilayah selaku pengawas yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pada tingkat pertama kepada Notaris dalam upaya untuk mencegah agar tidak terjadinya pelanggaran dan apabila terlanjur berbuat pelanggaran, harus dikoreksi agar diketahui apa saja pelanggarannya dan diperbaiki, pengawasan ini dilakukan secara preventif dan kuratif.