BAB II KETERSEDIAAN ATURAN HUKUM YANG MENJADI DASAR DALAM PELAKSANAAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH
A.
Deskripsi Lokasi Penelitian Provinsi Aceh terletak antara 01o 58' 37,2" - 06o 04' 33,6" Lintang Utara dan
94o 57' 57,6" - 98o 17' 13,2" Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat menuju ke Provinsi lain hanyalah dengan Provinsi Sumatera Utara. Luas Provinsi Aceh 5.677.081 Ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2.290.874 Ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 Ha. Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 Ha. 89 Luas wilayah pada 10 (sepuluh) kabupaten/kota di Provinsi Aceh yang terkena dampak tsunami adalah 2.250.993,6 Ha. Total luas bidang tanah yang mengalami kerusakan/ terkena dampak tsunami adalah 68.966,60 Ha atau 3.06% dari luas keseluruhan wilayah Provinsi Aceh. Kerusakan bidang tanah sebagai akibat dari bencana ini, tersebar di 10
89
http://acehprov.go.id/index.php/profil/read/2014/01/30/11/geografis-aceh.html/ pada tanggal 21 Juni 2014, pukul 10.54 WIB.
diakses
Universitas Sumatera Utara
(sepuluh) kabupaten/kota. Di bawah ini dijelaskan ke 10 (sepuluh) kabupaten/kota di Provinsi Aceh di mana luas wilayahnya rusak terkena bencana tsunami. Tabel II.1. Kerusakan Bidang Tanah Sebagai Akibat dari Bencana Tsunami No.
Wilayah Kabupaten/Kota Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Lhokseumawe Kab. Aceh Besar Kab. Pidie Kab. Bireuen Kab. Aceh Utara Kab. Aceh Barat Aceh Jaya Nagan Raya Total
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Luas Wilayah (Ha) 6.135,9 11.872 18.106 268.612 416.055 190.121 329.686 292.735 381.299 336.372 2.250.993,90
Luas Wilayah Terkena Tsunami (Ha) 3.857,7 50 588 7.150 480 200 8.158 6.429 38.130 3.924 68.966,60
Persentase (%) 62,87 0,42 3,25 2,66 0,12 0,11 2,47 2,20 10,00 1,17 3,06
Sumber: Data Badan Pertanahan Nasional, Penjelasan Pemerintah Berkenaan dengan Agenda Rapat yang Disampaikan Komisi II DPR RI kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional pada Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Badan Pertanahan Nasional, tanggal 7 Maret 2005, hal. 2. Kota Banda Aceh luas wilayahnya 6.135,9 Ha dan luas wilayah terkena tsunami 3.857,7 Ha dengan kata lain 62,87% luas wilayah Kota Banda Aceh rusak akibat tsunami. Sedangkan di Kabupaten Aceh Besar luas wilayahnya 268.612 Ha dan luas wilayah terkena tsunami 7.150 Ha dengan kata lain 2,66% luas wilayah Kabupaten Aceh Besar rusak akibat tsunami. Penelitian ini menetapkan gampong-gampong (desa-desa) di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar sebagai lokasi penelitian karena mengalami dampak terparah akibat gempa dan tsunami serta termasuk daerah prioritas pada tahun pertama pelaksanaan rekonstruksi pertanahan di Provinsi Aceh. 1.
Kota Banda Aceh
Universitas Sumatera Utara
Kota Banda Aceh terletak antara 05 16' 15" - 05 36' 16" Lintang Utara dan 95 16' 15" - 95 22' 35" Bujur Timur dengan tinggi rata-rata 0,80 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah administratif Kota Banda Aceh sebesar 61.359 Ha atau kisaran 61, 36 Km2 dengan batas-batas sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka; sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Darul Imarah dan Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh besar; sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Krueng Barona Jaya dan Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar; sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar. 90 Kota Banda Aceh merupakan ibukotanya Provinsi Aceh, mempunyai 9 kecamatan, 17 mukim dan 90 gampong. 91 Kota Banda Aceh merupakan daerah terpadat jumlah penduduknya yang rata-rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 4.251 jiwa. 92 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Badan Pembangunan dan Pendapatan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Aceh tahun 2013, jumlah penduduk Kota Banda Aceh: tahun 2008 sebanyak 217.918 jiwa, tahun 2009
90
http://www.bandaacehkota.go.id/1/13Letak_Geografis.html#s5_component_wrap/ diakses pada tanggal 21 Juni 2014, pukul 11.39 WIB. 91 Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Aceh dalam Angka 2013, (Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh bekerjasama dengan BAPPEDA Aceh, 2013), hal. 17. Mukim adalah persekutuan atau federasi dari beberapa gampong di Aceh. Saat ini satu mukim paling kurang terdiri dari tiga gampong. Mukim dipimpin oleh imuem mukim. Gampong adalah kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh yang berada di bawah mukim. Sebuah gampong terdiri dari beberapa jurong, tumpok atau ujong. Lihat Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh: Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), hal. xxi dan xviii. 92 Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Aceh dalam Angka 2013, (Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh bekerjasama dengan BAPPEDA Aceh, 2013), hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
sebanyak 212.241 jiwa, tahun 2010 sebanyak 223.446 jiwa, tahun 2011 sebanyak 228.562 jiwa dan tahun 2012 sebanyak 238.784 jiwa. Ketika terjadinya musibah gempa bumi 9,1 Skala Richter dan gelombang tsunami di Provinsi Aceh tanggal 26 Desember 2004, area Kota Banda Aceh yang terkena tsunami ± 3.800 ha dari 6.135 ha (63%), dalam tempo 30 menit, penduduk yang hilang dan meninggal ± 200.000 orang. Kantor Pertanahan Banda Aceh rusak parah tidak dapat digunakan dan dokumen yang rusak/musnah/tidak lengkap mencapai ± 80%. 93 Kota Banda Aceh hancur bagaikan kota mati, kegiatan warga dan pemerintahan lumpuh. 94 2.
Kabupaten Aceh Besar Kabupaten Aceh Besar 95 terletak pada garis 5,2º - 5,8º Lintang Utara dan
95,0º - 95,8º Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, Kota Sabang dan Kota Banda Aceh, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
93
Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh, “Laporan RALAS”, Presentase, (2014). Anonimus, Gambaran Umum Administrasi Pertanahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Pasca Tsunami, hal. 1. 95 Pada waktu Aceh masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh atau Kerajaan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar ditambah dengan beberapa kenegerian/daerah yang telah menjadi bagian dari Kabupaten Pidie. Selain itu, juga termasuk Pulau Weh (sekarang telah menjadi Pemerintah Kota Sabang), sebagian wilayah Pemerintah Kota Banda Aceh, dan beberapa kenegerian/daerah dari wilayah Kabupaten Aceh Barat. Aceh Besar dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk. Penyebutan Aceh Rayeuk sebagai Aceh yang sebenarnya karena daerah inilah yang pada mulanya menjadi inti Kerajaan Aceh dan juga karena di situlah terletak ibukota kerajaan yang bernama Bandar Aceh atau Bandar Aceh Darussalam. Untuk nama Aceh Rayeuk ada juga yang menamakan dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe (Aceh Tiga Sagi). http://www.acehbesarkab.go.id/page/Profil-Aceh-Besar/ids/2 diakses pada tanggal 6 Maret 2014, pukul 15.00 WIB. 94
Universitas Sumatera Utara
Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah 2.974,12 Km2, sebagian besar wilayahnya berada di daratan dan sebagian kecil berada di kepulauan. Sekitar 10% desa di Kabupaten Aceh Besar merupakan desa pesisir. Kabupaten Aceh Besar terdiri dari 23 kecamatan, 68 mukim dan 604 gampong. Wilayah kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Seulimeum yang meliputi lebih dari 16% dari luas wilayah Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan kecamatan yang mempunyai wilayah paling kecil yaitu Kecamatan Krueng Barona Jaya yang luasnya hanya 0,3% dari luas Kabupaten Aceh Besar. Jarak antara pusat-pusat kecamatan dengan pusat kabupaten sangat bervariasi. Kecamatan Lhoong merupakan daerah yang paling jauh, yaitu berjarak 106 km dengan pusat ibukota kabupaten (ibukota terletak di Kecamatan Kota Jantho). 96 Berdasarkan data BPS bekerjasama dengan BAPPEDA Provinsi Aceh tahun 2013, jumlah penduduk Kabupaten Aceh Besar: tahun 2008 sebanyak 310.107 jiwa, tahun 2009 sebanyak 312.762 jiwa, tahun 2010 sebanyak 351.418 jiwa, tahun 2011 sebanyak 359464 jiwa dan tahun 2012 sebanyak 371.412 jiwa. Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar 268.612 Ha, daerah yang terkena bencana tsunami seluas 695 Ha dan daerah yang tidak terkena bencana tsunami 267.917 Ha. 97
B.
Dampak Bencana Tsunami di Provinsi Aceh
96
Badan Pusat Statistik, Aceh Besar in Figures, Aceh Besar dalam Angka 2013, (Jantho: BAPPEDA Kabupaten Aceh Besar dengan BPS Kabupaten Aceh Besar, 2013), hal. 3. 97 Badan Pertanahan Nasional, Proposal Penanganan Pasca Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara Bidang Pertanahan, (Banda Aceh: Badan Pertanahan Nasional, 2005), Lampiran 1.
Universitas Sumatera Utara
1.
Gambaran dan Dampak Bencana Gempa bumi 98 9,1 Skala Richter yang terjadi 26 Desember 2004, merupakan
salah satu gempa bumi terkuat sepanjang sejarah modern di bagian Barat Indonesia, merupakan peristiwa alam yang diakibatkan oleh tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah “jinak” selama lebih dari seribu tahun. Namun, adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600 Km patahan dengan keras. Episentrumnya terletak di 250 Km Barat Daya Provinsi Aceh. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolam air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat. Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulau-pulau sekitarnya hingga 6 km ke arah
98
Secara garis besar gempa bumi dibagi menjadi dua, yaitu gempa bumi tektonik dan gempa bumi vulkanik. Gempa bumi tektonik adalah gempa bumi yang disebabkan oleh pergeseran lapisan batuan di dalam bumi. Gempa jenis ini bersifat regional (luas) dan dapat menimbulkan akibat mengerikan bila guncangannya terjadi dalam skala besar. Sejumlah peristiwa dahsyat yang tercatat sejarah akibat gempa tektonik, misalnya terjadi di Jepang pada tahun 1933 yang mengakibatkan 366.262 rumah warga di Tokyo hancur dan memakan korban 59.065 jiwa. Di Yokohama 11.615 rumah hancur, 23.440 orang meninggal, 3.183 orang hilang, dan 42.053 orang luka-luka. Tahun 1920 di Cina terjadi juga gempa tektonik yang menelan korban 200.000 jiwa. Di Indonesia, gempa tektonik cukup besar terjadi tahun 1926 di Padang Panjang lalu di Jawa pada zaman pendudukan Jepang. Gempa yang disebut terakhir menelan korban dalam kisaran 4.000 orang. Sedangkan gempa bumi jenis kedua adalah gempa vulkanik, gempa jenis ini tidak sedahsyat gempa tektonik karena bersifat lokal. Artinya, getaran dari perut bumi hanya dirasakan oleh daerah yang dekat dengan wilayah gunung api. Radius getarannya pun tergantung pada besar kecilnya letusan gunung api. Lihat Faizal Adriansyah, Aceh Laboratorium Bencana, (Banda Aceh: Acehpoint, 2012), hal. 6-7 dan 9. Bencana gempa bumi di Aceh yang diikuti dengan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 termasuk kepada jenis gempa tektonik.
Universitas Sumatera Utara
daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang, dan setelah tragedi itu 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000 an orang mendadak menjadi tunakarya. 99 Skala bencana yang terjadi dapat dilihat dari besarnya jumlah korban manusia dan kerusakan yang ditimbulkannya. Sebanyak 16 (enam belas) kabupaten/kota mengalami kerusakan. Dari seluruh kabupaten/kota yang terkena bencana tsunami, kabupaten/kota yang mengalami kerusakan terparah adalah Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Besar. Desa yang terkena tsunami sebanyak 654 desa (11,4%) dan persentase keluarga miskin terkena tsunami sebesar 15,16% (63.977 KK). 100 Menurut Himpunan Laporan Satlak I, II, dan III jumlah korban di 15 kabupaten di Provinsi Aceh 101 mencapai 126.602 meninggal dunia dan telah dimakamkan, serta hilang 93.638 orang (dari jumlah ini sebagian meninggal/ berada di pengungsian/di luar Aceh). Jumlah pengungsi sampai dengan tanggal 21 Maret 2005 adalah sebanyak 514.150 jiwa di 21 kabupaten/kota. 102 Secara keseluruhan, tragedi bencana gempa dan tsunami di Aceh memiliki dampak kerugian lebih dari 97% dari PDRB Provinsi Aceh. 103 Di bawah ini dapat dijelaskan lokasi tempat pengungsian dan jumlah para pengungsi.
99
BRR, Perumahan-Membentang Atap Berpilar Asa-Seri Buku BRR-Buku 7, (Jakarta: Penerbit BRR Bekerjasama dengan Multi Donor Fund dan UNDP, 2009), hal. viii. 100 Data UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005. 101 Data Bakornas PBP, 21 Maret 2005, pukul 17.00 WIB. 102 Himpunan Laporan Satlak I, II, dan III. 103 Republik Indonesia, Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara, (Maret 2005), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.1. Jumlah Pengungsi per 21 Maret 2005 Tabel II.2. Jumlah Pengungsi per Kabupaten/Kota Jumlah Pengungsi Rumah/Tenda Barak/Huntara Darurat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Kab/Kota Banda Aceh Aceh Besar Sabang Pidie Bireuen Aceh Utara Lhokseumawe Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Aceh Jaya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Selatan Aceh Singkil Simeulue
48.360 91.157 3.712 74.404 46.768 26.662 952 13.182 6.156 3.224 38.217 70.804 16.560 3.480 16.148 18.009
1.561 6.328 11.456 3.035 450 1.542 527 2.205 2.205 1.885 480 105 -
Total
49.921 97.485 3.712 85.860 49.860 27.112 2.494 13.709 6.156 3.224 40.422 72.689 17.040 3.480 16.148 105 18.009
Universitas Sumatera Utara
Rumah/Tenda Darurat
Jumlah Pengungsi Barak/Huntara
No. 18. 19. 20. 21.
Kab/Kota Bener Meriah 648 Aceh Tengah 5.288 Gayo Lues 234 Aceh Tenggara 611 Total 484.576 29.574 Sumber: Laporan Satlak I Lhokseumawe tanggal 18 Maret 2005.
Total
648 5.288 234 611 514.150
Tabel di atas menunjukkan, jumlah pengungsi terbanyak berada di Kabupaten Aceh Besar yaitu 97.485 orang sedangkan di Kota Banda Aceh jumlah pengungsi sebanyak 49.921 orang. Berdasarkan hasil penelitian, lokasi-lokasi pengungsian tersebut pada umumnya jauh dari lokasi tsunami dan lokasi asal pengungsi. Hal ini mempengaruhi pelaksanaan pendaftaran tanah berbasis masyarakat melalui kegiatan RALAS. Pelaksana RALAS dan masyarakat yang tinggal di lokasi bencana sebagai lokasi kegiatan RALAS sangat sulit untuk mengetahui dengan pasti keberadaan subyek hak atas tanah (masih hidup atau tidak). 104 Hal tersebut senada dengan pernyataan warga masyarakat yang berada pada lokasi pengungsian, merasa kurang nyaman berada di lokasi pengungsian karena jauhnya lokasi pengungsian dengan gampong tempat asalnya. 105
104
Hasil wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, Hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, Pukul 10.00 WIB. 105 Hasil wawancara dengan Fahrizal warga masyarakat Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, tanggal 23 Maret 2014, pukul 16.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penilaian kerusakan dan kerugian yang dilakukan oleh Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) dan World Bank, menyatakan ada beberapa sektor yang mengalami kerusakan dan kerugian yang antara lain sebagai berikut: 106 1.
sektor sosial, termasuk perumahan, pendidikan, kesehatan, agama dan budaya, kerusakan 13,657 dan kerugian 532 dengan total 16,186. 2. sektor infrastruktur, termasuk transportasi, komunikasi, energi, air dan sanitasi bendungan, kerusakan 5,915 dan kerugian 2,239 dengan total 8,154. 3. sektor produksi, termasuk agribisnis, perikanan, industri dan perdagangan, kerusakan 3,273 dan kerugian 7,721 dengan total 8,154. 4. lintas sektor, termasuk lingkungan, pemerintahan, bank dan keuangan, kerusakan 2,346 dan kerugian 3,718 dengan total 6,064. Selain keempat sektor di atas yang mengalami kerusakan dan kerugian akibat dampak yang ditimbulkan oleh gempa bumi dan tsunami, terdapat juga beberapa aspek yang mengalami hal yang sama yaitu; aspek sosial dan kemasyarakatan, aspek ekonomi, infrastruktur, dan pemerintahan. Kerusakan pada aspek sosial dan kemasyarakatan mempengaruhi proses pendaftaran tanah berbasis masyarakat yang dilaksanakan melalui kegiatan RALAS, dikarenakan fasilitas layanan kesehatan rusak seperti rumah sakit maupun alat-alat kesehatan, masyarakat yang menderita luka maupun trauma kurang maksimal dilayani, sehingga berdampak terhadap keaktifan masyarakat dalam proses pendaftaran tanah. Rusaknya rumah-rumah ibadah seperti meunasah juga mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, karena biasanya masyarakat Aceh selalu menggunakan fasilitas meunasah sebagai tempat bermusyawarah, termasuk 106
Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) dan World Bank, Damage and Loss Assessment, 2005.
Universitas Sumatera Utara
tempat berkumpulnya masyarakat dalam rangka membicarakan kesepakatan warga dan musyawarah terkait dengan pelaksanaan pendaftaran tanah. 107 Aspek ekonomi meliputi sektor perindustrian, perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah (UKM), pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan dan ketenagakerjaan. Dampak yang ditimbulkan dari kerusakan aspek ekonomi di bidang pertanahan adalah rendahnya nilai ekonomi tanah di lokasi bencana, hal ini disebabkan karena bukti kepemilikan tanah yang dimiliki masyarakat banyak yang musnah atau hilang begitu juga dengan batas-batas tanah yang hancur karena bencana sehingga tidak dapat diketahui lagi dengan jelas fisik tanahnya. 108 Berdasarkan hasil wawancara dengan Fahrul Razi, mengatakan bahwa tanah di lokasi tsunami sulit untuk mencari pembelinya karena tidak ada bukti/alas hak dan kekhawatiran aspek keamanan dan kenyamanannya. 109 Pernyataan tersebut sama dengan pernyataan Safrida warga gampong Baet Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar. 110 Aspek infrastruktur meliputi bidang perumahan, perhubungan, energi, pos dan telematika, air minum dan sanitasi serta sumber daya air. Akibat rusaknya aspek infrastruktur terutama sarana dan prasarana transportasi, berdampak terhadap pelaksanaan pendaftaran tanah berbasis masyarakat yang dilaksanakan melalui 107
Hasil wawancara dengan Bapak H.M. Ansari Yahya, Keucik Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, tanggal 16 Juni 2014, pukul 15.00 WIB. 108 Hasil wawancara dengan Irwansyah, Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh, tanggal 17 Juni 2014, pukul 15.00 WIB. 109 Hasil wawancara dengan Fahrul Razi, warga masyarakat Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, tanggal 16 Juni 2014, pukul 17.00 WIB. 110 Hasil wawancara dengan Safrida, warga masyarakat Gampong Baet, Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar, tanggal 17 Juni 2014, pukul 13.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
kegiatan RALAS, dikarena sulitnya Tim Ajudikasi turun ke lokasi bencana untuk melaksanakan proses pendaftaran tanah. 111 Infrastruktur pertanahan seperti gedung Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh mengalami kerusakan berat sedangkan gedung Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh hancur total, termasuk rusak/hilangnya dokumen pertanahan mengakibatkan pelayanan terhadap pertanahan terhambat. 112 Moda transportasi yang dimiliki oleh BPN seperti: mobil dinas, sepeda motor dinas hilang/hancur terkena tsunami sehingga perlu pengadaan yang memerlukan biaya besar dan waktu yang lama. 113 Aspek pemerintahan antara lain meliputi aparatur, sarana prasarana pemerintahan, batas administrasi. Kerusakan yang dialami oleh BPN di Provinsi Aceh pada aspek pemerintahan, antara lain: meninggalnya pejabat/staf BPN sebanyak 40 orang, 6 (enam) kantor hancur atau rusak parah termasuk perlengkapan survei, peralatan,
komputer,
buku
tanah,
dokumen-dokumen
pertanahan
serta
terhambat/terhentinya pelayanan pertanahan kepada masyarakat. Kondisi tersebut mempengaruhi
terhadap
pelaksanaan
rekonstruksi
pertanahan
di Provinsi Aceh. 114 2. Upaya Penanggulangan Dampak Bencana
111
Hasil wawaancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (mantan Project Manager Ralas tahun 2008) tanggal 25 Maret 2014, Pukul 10.00 Wib. 112 Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh, di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013, pukul 11.00 WIB. 113 Ibid. 114 Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usahan Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager Ralas Tahun 2006), di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013, Pukul 11.00 Wib.
Universitas Sumatera Utara
Upaya penanggulangan dampak bencana dilakukan melalui pelaksanaan tanggap darurat dan pemulihan kondisi masyarakat dan wilayah Aceh. Upaya penanggulangan dampak bencana tersebut dilakukan secara sistematis, menyeluruh, efisien dalam penggunaan sumberdaya dan efektif dalam memberikan bantuan kepada kelompok korban. Upaya penanggulangan dan pemulihan tersebut dilakukan dengan pendekatan secara utuh dan terpadu melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi yang harus berjalan secara bersamaan dalam pelaksanaan penanggulangan dampak bencana, lihat gambar di bawah ini: 115
Gambar II.2. Tahapan Penanggulangan Dampak Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami dan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Provinsi Aceh dan Nias, Sumatera Utara. Sumber: Republik 115
Republik Indonesia, Op. Cit, hal. 2-9.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara, Buku Utama, (Jakarta: Maret 2005), hal. 213. Penelitian ini terfokus pada tahapan rekonstruksi yaitu berkaitan dengan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. Namun demikian secara umum diuraikan juga penanggulangan dampak bencana pada tahap tanggap darurat 116 dan rehabilitasi, 117 karena kedua tahapan ini akan mempengaruhi tahapan rekonstruksi pertanahan. Tahap tanggap darurat bertujuan menyelamatkan masyarakat yang masih hidup, mampu bertahan dan segera terpenuhinya kebutuhan dasar yang paling minimal. Sasaran utama dari tahap tanggap darurat ini adalah penyelamatan dan pertolongan kemanusiaan. Dalam tahap tanggap darurat ini, diupayakan pula penyelesaian tempat penampungan sementara yang layak, serta pengaturan dan pembagian logistik yang cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana yang masih hidup. Saat bencana baru saja terjadi, tahap tanggap darurat ditetapkan selama 6 bulan setelah bencana, namun demikian, setelah ditetapkannya Inpres No. 1 Tahun 2005, tahap tanggap darurat ini kemudian diperpendek menjadi 3 bulan dan berakhir pada tanggal 26 Maret 2005.
116
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Pasal 1 angka 10 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 117 Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
Universitas Sumatera Utara
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(Bakornas
PBP)
yang
diketuai
oleh
Wakil
Presiden
telah
mengkoordinasikan upaya-upaya kedaruratan pada tahap tanggap darurat yang mencakup: 118 1. secepatnya menolong korban yang masih hidup; 2. secepatnya mengubur jenazah-jenazah korban; 3. secepatnya memperbaiki sarana dan prasarana dasar agar mampu memberikan pelayanan yang memadai untuk para korban. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006), pada tahap tanggap darurat, telah melaksanakan kegiatan pertanahan dalam program pemulihan pasca bencana di Provinsi Aceh secara integral dan holistik dengan langkah-langkah kegiatan sebagai berikut: 1. kegiatan penyelamatan personil; 2. kegiatan penyelamatan dokumen (administrasi umum dan pertanahan); 3. kegiatan penyelamatan sarana dan prasarana; 4. kegiatan pembukaan pelayanan pertanahan terbatas (di posko); 5. kegiatan perawatan dan migrasi data/dokumen pertanahan (di posko); 6. kegiatan pembukaan kembali kantor dan pelayanan pertanahan optimal. 119 Tahap rehabilitasi 120 bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap 118
Republik Indonesia, Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara, (Maret 2005), hal. 2-11. 119 Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006) di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013, pukul 11.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
tanggap darurat, seperti rehabilitasi mesjid, rumah sakit, infrastruktur sosial dasar serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek hukum melalui penyelesaian hak atas tanah, dan yang terkait dengan aspek psikologis melalui penanganan trauma korban bencana. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2008), pada tahap ini, BPN telah melaksanakan beberapa langkah kegiatan pertanahan sebagai berikut: 121 1. kegiatan penyiapan personil, 2. kegiatan penyiapan sarana dan prasarana, 3. kegiatan penyediaan peralatan teknis dan teknologi, 4. kegiatan penyiapan data yuridis dan data fisik, 5. kegiatan perawatan dan penyelamatan dokumen pertanahan. C. Rekonstruksi Pertanahan 122
120
Rehabilitasi meliputi perbaikan dan pemulihan: prasarana dan sarana umum serta pelayanan publik; prasarana dan sarana perekonomian yang mencakup perbankan, keuangan serta dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah; c. prasarana dan sarana kesehatan dan psiko-sosial; d. prasarana dan sarana kehidupan keagamaan serta adat istiadat; e. prasarana dan sarana pendidikan dan kebudayaan; f. hak-hak atas tanah dan bangunan; g. prasarana tempat tinggal sementara yang memadai dan manusiawi, dan h. prasarana dan sarana yang terkait langsung dengan normalisasi kegiatan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Lihat Pasal 4 Perpu No. 2 Tahun 2005. 121 Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2008) di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013 Pukul 14.00 WIB. 122 Rekonstruksi pertanahan adalah penataan dan penentuan kembali fisik/obyek dan subyek tanah terhadap tanah pertanian dan perumahan melalui penerbitan sertipikat hak milik. a. b.
Universitas Sumatera Utara
Rekonstruksi 123 pasca tsunami bertujuan membangun kembali kawasan kota, desa dan aglomerasi kawasan dengan melibatkan semua masyarakat korban bencana, para pakar, perwakilan lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha. Rekonstruksi pertanahan dilaksanakan untuk mengembalikan setiap jengkal tanah kepada pemilik yang sebenarnya seperti keadaan sebelum bencana alam tsunami di Provinsi Aceh. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah kepada masyarakat di lokasi tsunami. Obyek rekonstruksi pertanahan tersebut meliputi tanah yang berada di lokasi bencana tsunami dan lokasi yang terkena dampak baik terhadap pemilik tanah yang berdomisili di lokasi bencana atau di luar lokasi bencana. Rekonstruksi pertanahan dilakukan melalui kegiatan pendaftaran tanah berbasis masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, bahwa BPN melakukan rekonstruksi pemilikan dan penguasaan tanah masyarakat terkena bencana guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat melalui
123
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Pelaksanaan rekonstruksi meliputi: penataan ruang; penataan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam; pembangunan prasarana dan sarana perumahan serta pemukiman; pembangunan prasarana dan sarana umum serta pelayanan publik; pembangunan prasarana dan sarana perekonomian yang mencakup perbankan, keuangan serta dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah; pembangunan prasarana dan sarana kehidupan keagamaan dan adat istiadat; pembangunan prasarana dan sarana pendidikan dan kebudayaan; penciptaan tenaga kerja yang menunjang kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, dan pembangunan prasarana dan sarana yang terkait langsung dengan normalisasi kegiatan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat, dan pelaksanaan rekonstruksi lainnya sesuai dengan rencana induk dan rencana rinci. Lihat Pasal 5 Perpu No. 2 Tahun 2005.
Universitas Sumatera Utara
kegiatan RALAS. Dalam kegiatan RALAS masyarakat dilibatkan dan masyarakat mempunyai peranan penting terhadap kegiatan rekonstruksi pertanahan. Obyek kegiatan RALAS meliputi tanah yang berada dilokasi bencana tsunami termasuk bidang-bidang tanah yang telah dilakukan penataan melalui kegiatan konsolidasi tanah. 124
a.
Maksud dan Tujuan RALAS RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System) merupakan
Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Pengertian rekonstruksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 1996 diuraikan sebagai: 125 “Pengembalian sebagai semula” atau “penyusunan (penggambaran) kembali”. Pengertian sistem adalah “Perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas” atau “susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya” atau “metode”. 126 Pengertian administrasi dapat diuraikan sebagai berikut: 127 “Usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi” atau “usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan” atau
124
Hasil wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, di Banda Aceh, hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, Pukul 10.00 WIB. 125 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 829. 126 Ibid, hal. 950. 127 Ibid, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
“kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan” atau “kegiatan kantor dan tata usaha”. Sebagai perbandingan dikutip pendapat Dann Sugandha, dalam bukunya Kepemimpinan dalam Administrasi mengartikan “Administrasi adalah organisasi dan manajemen dari semua sumbernya agar secara berdaya guna dan berhasil guna dapat dicapai tujuan yang telah ditentukan. 128 Selanjutnya dibandingkan dengan pendapat John M. Pfeifener dalam bukunya Public Administration yang mengatakan “Administration may be defined as the organization and direction of human and material resources to achieve desired end”. 129 Administrasi pertanahan termasuk dalam bidang Administrasi Negara (Public Administration). Administrasi Negara adalah sebagai keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dan suatu negara dalam usaha mencapai tujuan negara. 130 Dalam fungsinya, administrasi negara mempunyai tugas utama yakni: 131 1.
menentukan tujuan menyeluruh yang hendak dicapai (organization goal);
2.
menentukan kebijaksanaan umum yang menyangkut seluruh organisasi (general and over all policies).
128
Dann Sugandha, Kepemimpinan dalam Administrasi, dalam Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan: Pelaksanaan Hukum Pertanahan dalam Praktek, Cetakan I, Edisi Revisi, (Bandung: Mandar Maju, 2013), hal. 1. 129 Rusmadi Murad, Op.Cit. 130 Sondang Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung, MCMLXXVV), hal.8. 131 Ibid, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
Rochmat Soemitro 132 membedakan pengertian administrasi dalam arti luas sebagai terjemahan “administration” yaitu “Bestuur van de staat, de provincien, de waterschappen, de gemeenten en grote maatschappijen. In de U.S. verstaat men order ‘the administration’ het gehele staatsbestuur, de president daaronder begrepen” (…. Pemerintah suatu negara, provinsi, subak, kota-kota dan maskapemaskape besar. Di Amerika Serikat dengan kata “the administration” dimaksudkan keseluruhan pemerintahan, termasuk presiden) dan dalam arti sempit dalam pengertian “tata usaha” yaitu “Elke stelselmatige, schrifelijke vastlegging en ordening van gegevens, samengesteld met het doel een overzicht vandeze gegevens te verkrijgen in hun onderling verband. Niet alle losse gecompileerde verzamelinggen van aantekeningen kan men als administratie qualificeren” (Setiap penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud untuk mendapatkan suatu ikhtisar dari keterangan-keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu dengan yang lain. Tidak semua himpunan catatan yang lepas dapat dinyatakan administrasi). Selanjutnya Rochmat Soemitro, bahwa dalam kegiatan “administrasi” telah termasuk kegiatan “tata usaha” dengan kata lain “tata usaha” sebagai bagian dari kegiatan “administrasi”. Pertanahan yang dimaksud di sini merupakan suatu kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah dalam mengatur hubungan hukum antara tanah dengan orang sebagaimana yang ditetapkan oleh UUD 1945 dan dijabarkan dalam UUPA,
132
Rochmat Soemitro dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
sehingga menurut Rusmadi Murad administrasi pertanahan adalah suatu usaha dan kegiatan suatu organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 133 Berdasarkan
kajian
RALAS
merupakan
kerangka
kebijakan
untuk
merekonstruksi hak atas tanah di Provinsi Aceh atau sebagai suatu usaha pengembalian sebagaimana keadaan semula semua unsur-unsur (perangkat) organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan di Provinsi Aceh pasca terjadi gempa bumi dan tsunami.
1. 2. 3. 4. 5.
Adapun yang menjadi tujuan RALAS adalah: 134 memulihkan dan melindungi terhadap hak atas tanah masyarakat di daerah tsunami; membangun kembali (merekonstruksi) sistem administrasi pertanahan; meningkatkan jaminan kepastian hak atas tanah; meningkatkan efisiensi dan transparansi serta kualitas pelayanan pertanahan; memperbaiki kapasitas kelembagaan untuk melaksanakan fungsi manajemen pertanahan secara efisien sesuai dengan Agenda Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sasaran spesifiknya adalah untuk:
1.
memulihkan dan memproteksi pemilikan tanah masyarakat di sekitar wilayah bencana; dan
2.
membangun kembali sistem administrasi pertanahan. 133
Rusmadi Murad, Op.Cit, hal. 2-3. Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh, RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System), Presentase, (2014). 134
Universitas Sumatera Utara
Pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah itu penting untuk dilakukan segera, oleh karena itu pemulihan dan proteksi itu menempatkan pondasi yang solid bagi pekerjaan rekonstruksi, perencanaan spasial, kompensasi dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Selain itu, pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah juga penting untuk membangun keadilan sosial dan menjamin stabilitas sosial jangka panjang. 135 BPN melakukan pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah di Provinsi Aceh pasca bencana tsunami termasuk di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar sehingga masyarakat, pemilik tanah atau ahli waris korban bencana mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanahnya. b.
Komponen dan Lokasi Kegiatan RALAS RALAS melaksanakan rekonstruksi pertanahan terhadap 3 (tiga) komponen
kegiatan. Ketiga komponen kegiatan RALAS adalah; Pertama penerbitan sertipikat hak-hak atas tanah, yang meliputi kegiatan: rekonstruksi data-data pertanahan, ajudikasi berbasis masyarakat dan kepedulian serta partisipasi masyarakat, pengukuran dan pemetaan, pendaftaran serta penerbitan sertipikat hak atas tanah, dan kebijakan dan isu-isu yang terkait dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, merekonstruksi kelembagaan BPN di Aceh, yang meliputi kegiatan: rekonstruksi fasilitas dan pengadaan peralatan dan furniture, pelatihan dan
135
Joyo Winoto, “Reconstruction of Land Administration System in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) and Nias”, Makalah pada ‘Expert Group Meeting on Secure Land Tenure: New Frameworks and Tools in Asian and Pacific’, 2005, hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
pengembangan kapasitas, dan komputerisasi dan pengembangan sistem cadangan (back up system). Ketiga, manajemen proyek, meliputi: dukungan terhadap manajemen proyek, pemantauan dan evaluasi serta mekanisme penanganan pengaduan, dan bantuan teknis terhadap pelaksanaan kegiatan. RALAS menetapkan 3 (tiga) kriteria lokasi prioritas. Ketiga kriteria prioritas lokasi RALAS tersebut, yaitu: wilayah yang akan menjadi prioritas utama pembangunan kembali infrastruktur/perumahan, wilayah yang terkena langsung tsunami dan lokasi terpilih di sekitar lokasi yang terkena langsung tsunami. Berdasarkan asil penelitian, pendaftaran tanah melalui kegiatan ajudikasi RALAS dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahun anggaran, yaitu: Lokasi kegiatan RALAS tahun 2005 adalah 2 (dua) kabupaten/kota yaitu Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, dengan total target sebanyak 50.000 bidang tanah, terdiri dari 30.000 bidang tanah di Kota Banda Aceh dan 20.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Besar. Lokasi kegiatan RALAS tahun 2006 adalah 9 (sembilan) Kabupaten/Kota yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, dan Kabupaten Nagan Raya. Target pensertipikatan tanah di kesembilan lokasi tersebut sebanyak 150.000 bidang tanah, terdiri dari 15.000 bidang tanah di Kota Banda Aceh, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Besar, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Pidie, 30.000 bidang tanah di Kabupaten Bireuen, 5.000
Universitas Sumatera Utara
bidang tanah di Kota Lhokseumawe, 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Utara, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Jaya, 25.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat, dan 5.000 bidang tanah di Kabupaten Nagan Raya. Lokasi kegiatan RALAS tahun 2008 adalah 13 (tiga belas) kabupaten/kota yaitu Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh
Barat
Daya,
Kabupaten
Singkil
dan
Kabupaten
Simeulue.
Target
pensertipikatan tanah di ketiga belas lokasi tersebut sebanyak 110.000 bidang tanah, terdiri dari 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Besar, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Pidie, 15.000 bidang tanah di Kabupaten Bireuen, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Utara, 5.000 bidang tanah di Kota Lhokseumawe, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Timur, 15.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Jaya, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Nagan Raya, 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Selatan, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat Daya, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Singkil dan 5.000 bidang tanah di Kabupaten Simeulue. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa obyek kegiatan RALAS meliputi pendaftaran bidang-bidang tanah di lokasi tsunami atau yang terkena dampak dari bencana tsunami. Namun demikian pelaksanaan pendaftaran tanah juga dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang menjadi obyek kegiatan konsolidasi tanah di lokasi tsunami.
Universitas Sumatera Utara
c.
Konsolidasi Tanah Konsolidasi tanah adalah suatu metode pembangunan yang merupakan salah
satu kebijaksanaan pengaturan penguasaan tanah, penyesuaian penggunaan tanah dengan Rencana Tata Guna Tanah/Tata Ruang dan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan serta kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumber daya alam. 136 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah menyatakan bahwa: “Konsolidasi Tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dengan mewujudkan suatu tatanan penguasaan serta penggunaan tanah yang tertib dan teratur”. Partisipasi aktif masyarakat berwujud kesepakatan para pemegang hak atas tanah dan/atau penggarap tanah negara yang menjadi objek konsolidasi tanah, yang menjadi Peserta Konsolidasi Tanah (PKT) untuk melepaskan hak atas tanah dan penguasaan fisik atas tanah-tanah yang bersangkutan, yang sebagian ditata kembali menjadi satuan-satuan baru yang akan dikembalikan kepada mereka dan sebagian lain merupakan sumbangan untuk pembangunan prasarana jalan dan fasilitas-fasilitas lain serta pembiayaan pelaksanaan konsolidasi. 137 Pemberian hak atas satuan-satuan tanah baru tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pemberian keringanan136
Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks UUPA - UUPRUUPLH, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 309. 137 Pasal 1, Pasal 6 dan Pasal 8 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah.
Universitas Sumatera Utara
keringanan tertentu bagi para Peserta Konsolidasi Tanah mengenai kewajibankewajiban finansialnya. 138
1. 2. 3. 4. 5.
Prinsip konsolidasi tanah adalah sebagai berikut: 139 kegiatan konsolidasi tanah membiayai dirinya sendiri; adanya “land polling” yang juga merupakan ciri khas konsolidasi tanah; hak atas tanah sebelum dan sesudah konsolidasi tidak berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah; konsolidasi tanah melibatkan peran serta secara aktif para pemilik tanah; tanah yang diberikan kembali kepada pemilik mempunyai nilai lebih tinggi daripada sebelum konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah meliputi kegiatan penataan kembali bidang-bidang tanah
termasuk haknya dengan melibatkan partisipasi para pemilik tanah secara langsung. Pengaturan bentuk-bentuk tanah yang semula terpecah-pecah dan tidak teratur menjadi bidang tanah yang teratur, baik bentuk maupun tata letaknya, dilakukan dengan cara: 1.
penggeseran letak;
2.
penggabungan;
3.
pemecahan;
4.
penukaran;
5.
penaatan letak;
6.
penghapusan letak. Lokasi konsolidasi tanah kemudian dilengkapi dengan prasarana dan fasilitas
yang diperlukan, seperti jalan, jalur hijau sehingga menghasilkan pemanfaatan tanah
138 139
Pasal 8 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah. Hasni, Op.Cit, hal. 310.
Universitas Sumatera Utara
yang optimal dan memenuhi berbagai persyaratan, agar menunjang kecepatan pembangunan dan pengembangan kota sesuai dengan rencara tata ruang. Bagi pemilik tanah, langsung menikmati nilai tambah atas tanahnya dan mendapatkan jaminan kepastian hukum hak atas tanahnya. Walaupun luas tanah yang diberikan kembali kepada pemilik tanah lebih kecil daripada sebelum konsolidasi, namun nilainya menjadi lebih tinggi karena di wilayah letak tanah tersebut sudah tersedia fasilitas jalan dengan kavling yang teratur. Konsolidasi tanah pada pokoknya bertujuan menyediakan tanah untuk kepentingan pembangunan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta memberikan pemanfaatan tanah yang optimal. 140 Secara sadar rakyat diajak ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan dalam rangka merealisasikan trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Tanah tersedia untuk prasarana jalan dan fasilitas umum tanpa ganti rugi. Lingkungan tertata secara baik sesuai dengan rencana tata ruang. Sasaran konsolidasi
140
Dengan tercapainya tujuan tersebut di atas, beberapa manfaat yang dapat diraih adalah sebagai berikut: 1. Kebutuhan akan adanya lingkungan pemukiman atau areal pertanian dapat terpenuhi, 2. Membantu mempercepat laju pembangunan pemukiman atau pembangunan daerah pertanian di pedesaan, 3. Pemerataan hasil-hasil pembangunan yang langsung dinikmati oleh pemilik tanah, 4. Menghindari akses-akses yang sering timbul dalam hal penyediaan tanah secara konvensional, 5. Konsolidasi tanah merupakan manifestasi prinsip gotong royong dan penerapan dari Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial hak atas tanah, 7. Rakyat pemilik tanah dapat menikmati secara langsung keuntungan-keuntungan akibat konsolidasi, baik kenaikan harga tanah ataupun kenikmatan lainnya karena terciptanya lingkungan yang teratur. Adanya sumbangan tanah sebagai peran serta, masih tetap menguntungkan sekalipun luas tanah yang dimilikinya berkurang, 8. Bagi Pemerintah sendiri, di samping dapat merealisasikan rencana umum tata ruang kota atau tata ruang daerah, sekaligus dapat menertibkan administrasi pemilikan tanah, menghemat pengeluaran biaya pembangunan dan bahkan terbuka kemungkingan peningkatan pemasukan keuangan melalui PBB, 9. Lebih jauh dapat menempatkan rakyat sebagai subjek dalam pembangunan.
Universitas Sumatera Utara
tanah adalah terwujudnya penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur sesuai kemampuan dan fungsinya dalam rangka tata tertib pertanahan. Konsolidasi tanah sebagai suatu modal pembangunan yang merupakan kegiatan terpadu (lintas sektoral) yang berkaitan dengan penataan/pengaturan kembali kepemilikan, penguasaan tanah dan kebijakan pengadaan tanah untuk prasarana dan fasilitas umum lainnya dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat/para pemilik tanah. Konsolidasi tanah pada hakikatnya meliputi aspek-aspek antara lain: 1.
aspek pengaturan penguasaan atas tanah, tidak saja menata dan menerbitkan bentuk fisik bidang-bidang tanah, tetapi juga hubungan hukum antara pemilik dan tanahnya;
2.
aspek penyerasian pengguna tanah dengan rencana tata guna tanah/tata ruang;
3.
aspek penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan dan fasilitas umum lainnya yang diperlukan;
4.
aspek peningkatan kualitas lingkungan hidup atau konservasi sumber daya alam. Konsolidasi tanah pada prinsipnya dilakukan berdasarkan atas kesepakatan
para pemilik tanah. Kesepakatan para pemilik tanah ini merupakan dasar dalam pelaksanaan
konsolidasi
karena
sejak
awal
telah
melibatkan
partisipasi
masyarakat/pemilik tanah, baik dalam proses perencanaan, pengawasan, pelaksanaan,
Universitas Sumatera Utara
dan terutama kesediaan mereka menyerahkan sebagian dari tanahnya untuk keperluan pembangunan prasarana umum. Kepemilikan tanah yang semula tidak teratur bentuknya setelah dikonsolidasi akan menjadi teratur, baik letak dan bentuknya, sesuai dengan tata ruang yang bersangkutan. Tiap persil mendapat/menghadap ke jalan, tempatnya bergeser sesedikit mungkin dari tempat asalnya, serta sudah dikurangi dengan peran serta masing-masing pemilik. Konsolidasi tanah sesuai Peraturan BPN Nomor 4 Tahun 1991 dapat dilihat dalam tahapan sebagai berikut: a.
pemilikan/penguasaan tanah di lokasi yang dikonsolidasi dilakukan inventarisasi dan identifikasi;
b.
masing-masing dihitung dan diukur luasnya;
c.
pemilik/penggarap hak atas tanah tersebut membuat pernyataan pelepasan hak dengan syarat bahwa tanahnya dilepaskan kepada negara untuk kemudian diterbitkan haknya atas nama masing-masing pemilik setelah dikurangi sumbangan peran serta;
d.
pemerintah (cq. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat) menerima pelepasan hak tersebut, sekaligus menyatakan bahwa tanah yang dilepaskan haknya akan dikembalikan kepada yang bersangkutan setelah dikonsolidasi/diredistribusi dan luasnya dipotong dengan sumbangan peran serta, juga letaknya akan bergeser dari tempat semula;
Universitas Sumatera Utara
e.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Kepala BPN melalui Kepala Kantor Wilayah BPN yang memohonkan penegasan tanah tersebut menjadi tanah negara sebagai objek konsolidasi yang akan dibagikan dalam rangka pelaksanaan konsolidasi tanah;
f.
atas dasar usulan tersebut, Kepala BPN menerbitkan surat keputusan tentang penegasan tanah negara yang menjadi objek konsolidasi, yang selanjutnya dibagikan kembali (redistribusi) kepada para pemilik;
g.
Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi yang bersangkutan dapat meredistribusikan kepada masing-masing pemilik sesuai usulan dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
h.
Surat Keputusan redistribusi di atas dijadikan sebagai dasar untuk menerbitkan sertipikatnya oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991, konsolidasi
tanah dapat dilaksanakan apabila sekurang-kurangnya 85% dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85% dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi, menyatakan persetujuannya. Persyaratan persetujuan dari calon peserta konsolidasi tanah sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 mutlak diperlukan, karena apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka konsolidasi tanah tidak dapat terlaksana di lokasi tersebut. Persyaratan persetujuan sekurang-kurangnya 85% dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85% dari luas
Universitas Sumatera Utara
seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi juga berlaku pada konsolidasi tanah di lokasi tsunami, karena pasca tsunami tidak ada aturan khusus yang dibuat dalam rangka konsolidasi tanah. Berdasarkan kajian proses yang terpenting dari pelaksanaan konsolidasi tanah berkaitan dengan pendaftaran tanah di lokasi tsunami adalah kegiatan konsolidasi tanah menghasilkan dasar kepemilikan baru yaitu berupa Surat Keputusan redistribusi. Surat Keputusan redistribusi ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menerbitkan sertipikat hak atas tanah. Sebagaimana diketahui bahwa bencana tsunami mengakibatkan dokumen pertanahan yang berada pada masyarakat, Kantor Pertanahan dan pada pihak-pihak terkait seperti PPAT/ PPATS dan Kantor Desa atau Kecamatan banyak yang musnah, hancur dan hilang, namun dengan telah dilakukannya konsolidasi tanah akan memudahkan pihak RALAS dalam melakukan pendaftaran tanah di lokasi konsolidasi tanah karena telah tersedianya bukti-bukti kepemilikan baru. Namun disayangkan konsolidasi tanah di lokasi tsunami tidak dilakukan secara maksimal dan berdasarkan hasil penelitian kegiatan konsolidasi tanah di lokasi tsunami pada masa rekonstruksi pertanahan hanya terdapat di gampong Lambung Kecamatan Meuraxa Kota Banda. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (mantan Project Manager RALAS tahun 2006): 141 “Di lokasi tsunami konsolidasi tanah hanya dilakukan di gampong Lambung Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Anggaran APBK Kota Banda Aceh. Konsolidasi tanah di Desa Lambung tersebut awalnya telah dilakukan pengukuran tanah 141
Hasil Wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006), hari Senin, 25 Nopember 2013, pukul 11.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
oleh Tim Ajudikasi RALAS dan belum seluruhnya diterbitkan sertipikat hak atas tanah karena masih terkendala dengan penentuan subyek dan dokumen yang diperlukan. Setelah dilakukan konsolidasi tanah BPN melakukan sertipikasi namun bukan dalam masa rekonstruksi pertanahan”. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh: 142 “Pendaftaran tanah pada lokasi konsolidasi tanah di Desa Lambung lebih mudah dilaksanakan dibandingkan dengan pendaftaran tanah pada bidangbidang tanah lain di lokasi tsunami. Hal ini dikarenakan pada lokasi konsolidasi tanah telah tersedia dasar kepemilikan baru (alas hak baru) dalam bentuk Surat Keputusan tentang redistribusi tanah yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan, berbeda halnya dengan bidang-bidang tanah di lokasi tsunami yang belum dilakukan konsolidasi tanah”. Sebagai pembanding dapat dilihat contoh negara yang melaksanakan konsolidasi tanah untuk menangani bencana tsunami dan gempa di negaranya yaitu Jepang. Penanganan bencana tsunami dan gempa di Jepang menggunakan Konsep konsolidasi tanah yang disebut Land Readjustment atau kukaku seiri. Land Readjustment (LR) didesain untuk menciptakan areal perkotaan yang nyaman, dilengkapi dengan berbagai perlengkapan perkotaan, dengan cara pertukaran dan penggabungan persil (exchange and merger of land), dan perubahan bentuk bidang tanah (shape of lots). 143 Hakikat Land Readjustment sebagai kebijakan partisipatif ditandai oleh adanya peran serta masyarakat melalui sumbangan tanah (lot contribution/land sharing/land reduction) dari peserta Land Readjustment untuk prasarana jalan dan infrastruktur lainnya serta untuk biaya pelaksanaan Land
142
Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2008) di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013 Pukul 14.00 WIB. 143 Masahide Sugiyama, “Major Issue and Promotion System for Land Readjustment Project Implementation”, Makalah pada 7th Seminar on Land Readjustment and Urban Development ‘Bali 93’, 1993, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
Readjustment (cost equivalent land - CEL). 144 Sebagai negara yang rawan bencana tsunami itu, Jepang tampaknya telah meyakini betapa konsep konsolidasi tanah mampu menata kembali wilayah perkotaan yang sudah terlanjur berkembang tidak teratur atau yang rusak akibat bencana alam. Meskipun pada awalnya konsep Land Readjustment diintroduksi dari Jerman, 145 fakta menunjukkan bahwa instrumen penataan wilayah perkotaan partisipatif itu berkembang pesat di Jepang. Sampai 31 Maret 2000, pelaksanaan Land Readjustment di Jepang sudah mencapai lebih dari 11.200 proyek Land Readjustment, yang meliputi areal 380.000 Ha 146 (atau lebih kurang 30% dari areal agregat aglomerasi perkotaan). 147 Japan International Cooperation Agency (JICA) juga menyatakan bahwa 90% dari kawasan yang sudah direncanakan pembangunannya melalui proyek peremajaan kota, ditata melalui Land Readjustment.
Karena
kontribusi
Land
Readjustment
sangat
berarti
bagi
pengembangan areal perkotaan yang sistematis, maka di Jepang Land Readjustment disebut “Mother of City Planning”. 148
144
Peter Nakamura, dalam Luciano Minerbi, dkk, Land Readjustment: The Japanese System, (Boston: Penerbit A Lincoln Institute of Land Policy Book, 1986), hal. 43. 145 Hirohide Konani, “Urban Development in Japan and International Technical”, Makalah th pada 7 International Seminar on Land Readjustment and Urban Development ‘Bali 93, 1993, hal. 2, menandaskan: “Land readjustment was first introduced from Germany in the late 19th century”. 146 Tetsuzo Iwasaki, “The Implementing System of the Land Readjustment Project”, Makalah pada The 10th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development, Denpasar-Bali, 7-9 November 2000, hal. 3, menunjukkan bahwa 11.000 Ha dari luas seluruh areal kota yang terkonsolidasi di Jepang itu berada di Kota Osaka. Di kota ini 50% dari luas wilayah kotanya terbangun dengan pola Land Readjustment (LR). 147 Hideo Madsuda, “Emerging Issues for Japanese Urban Development and Prospective Role of Land Readjustment Project”, Makalah pada The 10th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development, di Denpasar, Bali, Indonesia, tanggal 7-9 November 2000, hal. 1, 3. 148 Hayashi dan Mayasuki, Final Report (Land Readjustment), Laporan Tenaga Ahli JICA, (Jakarta: Penerbit Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Pertanahan Nasional, 1994). Dalam Oloan Sitorus et.al, Op.Cit, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
Momentum
perkembangan
pengaturan
Land
Readjustment,
dapat
dikelompokkan dalam lima tahapan penting: 149 Pertama, tahun 1899 yakni saat pertama kali 150 Jepang melakukan konsolidasi tanah berdasarkan Agricultural Land Conservation Act of 1899 dan Arable Land Consolidation Law (1899). Konsolidasi tanah yang dilakukan oleh para pemilik tanah (land owner) yang mendapat persetujuan minimal dari duapertiga para pemilik tanah di seluruh areal yang direncanakan, ditujukan untuk meningkatkan penggunaan tanah sawah (arable land). Dengan demikian, pada tahap ini pelaksanaan konsolidasi tanah belum ada hubungannya dengan ketentuan perencanaan kota. Arable Land Consolidation Law (1899) ini kemudian direvisi pada tahun 1909 dengan maksud bahwa pelaksanaan konsolidasi tanah tidak lagi hanya ditunjukkan untuk meningkatkan penggunaan tanah sawah (arable land), tetapi juga penggunaan seluruh tanah-tanah pertanian. Menurut revisi Arable Land Consolidation Law ini, badan pelaksana konsolidasi tanah tidak terbatas pada pemilik tanah (land owner), tetapi juga koperasi pertanian sawah yang anggotanya separuh dari para pemilik tanah di lokasi yang direncanakan. Kedua, tahun 1919 yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Perencanaan Kota (Planning City Act). Tahap ini disebut juga sebagai awal institusionalisasi Land 149
William Doebele, Land Readjusment, (USA: D.C. Heat and Company, 1982), hal. 18; lihat juga Luciano Minerbi, dkk, Land Readjustment: The Japanese System A Reconnaisssance and A Digest, (Boston-USA: Penerbit Oelgeschlager, Gunn & Hain, 1986), hal. 17-30; dan Takayuki Kishii, “Land Readjustment Projects Implementation by Cooperatives in Japan”, Makalah pada 7th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development ‘Bali 93’, 1993, hal. 5. 150 Minerbi, et.al, 1986, Op.Cit. hal. 17, menyatakan bahwa konsolidasi tanah yang pertama kali dilakukan di Provinsi (prefecture) Shizuoka, tetapi pengakuan konsolidasi tanah sebagai metode pengembangan kota secara legal dilakukan setelah adanya the 1888 Tokyo Urban Renewal Ordinance.
Universitas Sumatera Utara
Readjustment (the beginning of the institutionalization of land readjustment). Undang-undang yang juga disebut the basic law of Japanese city planning ini, antara lain 151 bertujuan untuk meningkatkan penggunaan tanah sebagai tapak bangunan (building lots). Tegasnya, Pasal 12 dari UU tersebut menyatakan bahwa konsolidasi tanah dilaksanakan “in order to develop and improve facilities for public use and to increase the utility of sites….”. Selanjutnya, Pasal 13 dan 16 menyatakan bahwa konsolidasi tanah harus dilaksanakan sebagai sebuah proyek perencanaan kota. Badan pelaksana konsolidasi tanah pada tahap ini meliputi para pemilik tanah secara individual atau kelompok, koperasi, dan badan publik lokal. Ketiga, tahap yang ditandai oleh The Great Kanto Earthquake, September 1923. Agar Land Readjustment dapat dilakukan secara masif sebagai upaya untuk merehabilitasi kota, terutama Tokyo dan Yokohama, yang rusak karena gempa bumi yang amat hebat pada waktu itu, maka ditetapkanlah Special Planning Act 1923. Konsolidasi tanah yang khusus dilakukan untuk merehabilitasi kota itu dilaksanakan oleh Imperial Capital Rehabilitation Agency. Selain badan tersebut, undang-undang di atas menyebutkan bahwa yang dapat menjadi badan pelaksana konsolidasi tanah lainnya adalah badan-badan administrasi (administrative agencies), badan-badan publik lokal (local public bodies), koperasi konsolidasi tanah (land readjustment cooperative). Akan tetapi, pada tahap ini tidak ada pelaksanaan konsolidasi tanah yang dilakukan oleh koperasi. Special Planning Act 1923 terbukti efektif sebagai
151
Ibid, hal. 18, menyatakan bahwa City Planning Act memuat definition of city planning areas, a zoning system, an acquisition system for structures and the land readjustment system.
Universitas Sumatera Utara
landasan pelaksanaan konsolidasi tanah dalam skala besar, karena sejak tahun 19231930, lebih kurang telah 2.000 Ha areal yang direhabilitasi dan dibangun. Keempat, tahap restorasi Pasca Perang Dunia II. Pada masa ini konsolidasi tanah diarahkan untuk memperbaiki kota-kota yang rusak karena bom pada waktu terjadi Perang Dunia II, yang sekaligus merupakan realisasi dari perencanaan kota secara khusus pada waktu itu. Badan Pelaksana konsolidasi tanah adalah badan-badan administratif (seperti War Damage Rehabilitation Agency) dan koperasi konsolidasi tanah. Ketentuan hukum yang menjadi landasan konsolidasi tanah pada tahap ini pada dasarnya sama dengan sebelumnya yakni Undang-Undang Perencanaan Kota (City Planning Act) sebagai ketentuan dasar perencanaan kota di Jepang. Kelima, tahap pemberlakuan Undang-Undang Land Readjustment, yaitu UU No. 119 Tahun 1954 (Land Readjustment Act 1954), yang diundangkan pada tanggal 29 Mei 1954 dan terakhir diamandemen pada tanggal 31 Maret 1999. Undang-undang ini menentukan bahwa sasaran dari LR adalah “the development and improvement of public facilities and promotion of site utility”. Undang-undang yang terdiri dari 7 bab dan 148 pasal ini secara komprehensif mengatur pelaksanaan Land Readjustment di Jepang. Di dalam Bab 2 UU konsolidasi tanah ini misalnya, diatur badan-badan pelaksana konsolidasi tanah yang terdiri atas: badan pelaksana individual (individual implementing body); asosiasi konsolidasi tanah (land readjustment association); pemerintah provinsi dan kota (prefectural and municipal governments) Menteri Konstruksi, Gubernur, dan Walikota (Minister of Construction, Governor and Mayors);
serta
korporasi
publik
perumahan
lokal
(local
housing
public
Universitas Sumatera Utara
corporation). 152 Selain, mengatur tahapan pelaksanaan secara rinci, Undang-Undang konsolidasi tanah ini juga mengatur pengawasan dan peraturan-peraturan berkaitan dengan sanksi terhadap penyimpangan pelaksanaan. Pengaturan yang demikian komprehensif itu menjadi faktor yang berarti mendukung keberhasilan pelaksanaan konsolidasi tanah di Jepang. Momentum ketiga dan keempat dari pengaturan konsolidasi tanah di Jepang kiranya pilihan untuk memilih Land Readjustment sebagai solusi penataan kembali wilayah perkotaan dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan yang tepat. Hans Kuppers dan Yosuo Nishiyama mengatakan bahwa pada tahun 1945 Pemerintah mengumumkan “the General Framework for Reconstruction in WarDamaged Areas”, yang menyatakan: ‘rehabilitation would take place both by purchase of lands by bonds issuance as well as by land readjustment. Ironically, fear that land prices would fall and cause the value of land bonds to decline eventually would make land readjustment the major rehabilitation method utilized”. 153 Artinya, ketika pilihan rehabilitasi kerusakan yang tersedia adalah ‘penerbitan bonds’ atau ‘pelaksanaan Land Readjustment’ maka pilihan masyarakat lebih terarah pada pelaksanaan Land Readjustment, sebab ada kecemasan bahwa harga tanah akan jatuh dan menyebabkan nilai land bonds turun. Dengan demikian, kondisi yang memungkinkan Land Readjustment menjadi pilihan kebijakan penataan kembali 152
UU tentang KT di Jepang ini tidak memuat ketentuan spesifik mengenai pelaksanaan KT oleh koperasi. Menurut Oloan Sitorus, hal itu karena pengertian asosiasi KT pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai “koperasi”. Lihat Hiedo Matsuda, Op.Cit, hal. 3 dan Tetsuzo Iwasaki, Loc.Cit, yang menyamakan pengertian asosiasi KT dengan koperasi KT. 153 Hans Kuppers dan Yasuo Nishiyama, Selected European Land Readjustment Experiences, dalam Luciano Minerbi, dkk. Land Readjustment: The Japanese System, Op.Cit, hal. 36-37.
Universitas Sumatera Utara
wilayah kota di Jepang adalah kesadaran masyarakat dan penyelenggara pemerintahan terhadap fungsi dan manfaat Land Readjustment. Kesadaran ini pula kiranya kemudian membuat tingginya komitmen penyelenggara untuk mengatur Land Readjustment dalam suatu undang-undang khusus, yakni UU No. 119 Tahun 1954 (Land Readjustment Act 1954), yang diundangkan pada tanggal 29 Mei 1954 dan terakhir diamandemen pada tanggal 31 Maret 1999. Land Readjustment juga merupakan instrumen kunci pada waktu pemulihan Kota Kobe, Jepang, yang dilanda gempa bumi pada 17 Januari 1995, dengan korban: 6.400 orang meninggal dunia, 15.000 terluka, 400.000 meninggalkan rumah dan 240.000 membutuhkan rumah. 154 Tepatnya beberapa program dan instrumen kunci dalam memulihkan Kota Kobe itu adalah: (a) Proyek Land Readjustment, yang mencakup modifikasi batas properti bagi proyek-proyek perluasan jalan di masa mendatang, ruang terbuka, fasilitas publik lainnya; (b) Proyek Pembangunan Kembali Perkotaan (urban redevelopment projects), yang meliputi proses Land Readjustment dan proyek rekonstruksi subsequent, seperti perluasan jalan, bangunan ruang terbuka, fasilitas publik dan pembangunan terpadu komersial dan residensial, biasanya dikerjakan di bawah skema pembelian total (total purchase scheme); (c) Proyekproyek bagi areal perumahan, yang menerapkan pembangunan tapak bangunan perumahan secara terserak atau pembangunan lingkungan baru yang tidak hanya
154
Laurie A. Jhonson, “Kobe and Northridge Reconstruction A Look at Outcomes of Varying Public and Private Housing Reconstruction Financing Models”, Dipresentasikan pada “EuroConference on Global Change and Catastrophe Risk Management: Eartquake Risks in Europe”, International Institute for Applied System Analysis (HASA), Luxemburg, Austria, 8 Juli 2000, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
mencakup bangunan perumahan yang baru, tetapi tujuan-tujuan pembangunan perluasan kota; kedua varitas itu dapat melalui LR dan komponen-komponen pembangunan perkotaan. Masing-masing distrik mendapat penekanan model pembangunan yang bervariasi sesuai dengan permasalahan kerusakan yang timbul. 155 Berdasarkan uraian tersebut di atas, Jepang telah berhasil melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana termasuk rekonstruksi pertanahan dengan menggunakan pendekatan konsolidasi tanah. Berbeda halnya dengan rekonstruksi pertanahan pasca bencana gempa dan tsunami di Provinsi Aceh. Pemerintah tidak menjadikan kegiatan konsolidasi tanah sebagai prioritas dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Dalam rekonstruksi pertanahan pasca bencana tsunami di Provinsi Aceh konsolidasi tanah hanya dilakukan di Gampong Lambung Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh.
D.
Ketersediaan
Aturan
Hukum
Rekonstruksi
Pertanahan
Pasca
Tsunami di Provinsi Aceh Indonesia merupakan negara yang merdeka dan berdaulat, dan mempunyai hukum nasionalnya sendiri. Dimaksudkan dengan hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang berdasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional 156 negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 157 atau hukum yang 155
Ibid, hal. 6. Lihat juga Oloan Sitorus, et.al, “Konsolidasi Tanah sebagai Restorasi Kerusakan Wilayah Akibat Tsunami Aceh” dalam Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM – STPN, Nomor 2 Tahun 2, Maret 2010, hal. 4 - 7. 156 Secara etimologis antara kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme” inti maknanya adalah sama. Namun dalam penggunaan atau penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (UUD dan sebagainya), atau UUD suatu negara.
Universitas Sumatera Utara
dibangun di atas kreativitas atau aktivitas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu, maka hukum nasional sebenarnya tidak lain adalah sistem yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Dengan kata lain, hukum nasional merupakan sistem hukum 158 yang timbul sebagai hasil usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batasbatas nasional negara Indonesia. 159 Membicarakan hukum tentu tidak terlepas dari suatu asas dan sistem, yaitu asas dan sistem hukum yang berlaku dalam tatanan kehidupan bernegara. Demikian pula keterkaitan dengan sistem lain sebagai bagian dari sistem hukum nasional secara keseluruhan. 160 Selanjutnya untuk mengetahui asas-asas hukum dalam hubungannya dengan sistem hukum Indonesia, diuraikan berikut ini. Kata asas berasal dari bahasa Arab yaitu jamak dari usus, artinya asl al-bina (dasar bangunan). Dikatakan pula al-hajaru al-asasiyyu (batu pondasi). Kalau
Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, ini berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dnegan konstitusionalisme, yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Lihat Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 137. 157 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 64. 158 Kata sistem memiliki makna suatu kesatuan yang bersifat kompleks, terdiri dari bagianbagian yang berhubungan dan bekerja secara aktif untuk mencapai tujuan. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan III, (Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1991), hal. 48. 159 Kodiran, “Aspek-aspek Kebudayaan Bangsa dalam Hukum Nasional”, dalam Artijo Alkostar (ed), Identitas Hukum Nasional, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997), hal. 87; Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hal. 240. 160 Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hal. 124.
Universitas Sumatera Utara
dihubungkan dengan sistem berpikir, asas dimaksudkan sebagai landasan berpikir yang sangat mendasar. Dan bila dikaitkan dengan negara, maka asas diartikan sebagai qawanin al-bilad al-asasiyyah (undang-undang dasar negara). 161 Asas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, mempunyai arti: 162 pertama, dasar, alas, fundamen; kedua, kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat; ketiga, cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau negara. Menurut Bagir Manan, asas hukum sangat penting, sebab tanpa asas hukum tidak ada sistem hukum. Lebih lanjut ia menyebutkan: 163 “Asas hukum merupakan subsistem terpenting dari suatu sistem hukum. Asas dan prinsip hukum berada pada tingkat yang lebih di atas daripada sistem kaidah. Bukan hanya karena sifatnya yang lebih universal, melainkan di dalam asas hukum tercermin tata nilai dan pesan kultural yang semestinya diwujudkan oleh kaidah hukum”. Sejalan dengan pendapat Bagir Manan, Satjipto Rahardjo mengatakan: 164 “Asas hukum dapat disebut landasan atau alasan bagi terbentuknya suatu peraturan hukum atau merupakan suatu ratio legis dari suatu peraturan hukum yang memuat nilai-nilai, jiwa, cita-cita sosial atau pandangan etis yang ingin diwujudkan”. Asas-asas yang berkaitan dengan kajian penelitian di sini ada 3 (tiga), yaitu: 1) Asas keadilan, 2) Asas kemanfaatan, dan 3) Asas kepastian hukum. Ad.1. Asas keadilan Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dan harus diperhatikan dalam pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan. Kata adil selalu dikaitkan 161
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1928), hal.
10. 162
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hal. 60; lihat juga Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 91-92. 163 Bagir Manan, “Peranan Pengadilan Agama dalam Pembinaan Hukum Nasional”, dalam Eddi Rudiana Arief, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 152. 164 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hal. 85-86.
Universitas Sumatera Utara
dengan hukum. Sebab hukum adalah neraca untuk menentukan sikap dan standar kebenaran. Dalam istilah lain disebut suprem atau tertinggi, artinya hukum itu harus diletakkan di atas segala-galanya. Hukum menurut Apeldoorn bertujuan mengatur pergaulan hidup secara damai, ia akan mencapai tujuannya bila menuju peraturan yang
adil. 165
Pendapat
tersebut
sejalan
dengan
Satjipto
Rahardjo,
yang
menyebutkan: 166 “Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungannya antar manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian, setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samarsamar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Kalau tidak dapat membicarakan hukum hanya sampai kepada wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal. Kita juga perlu melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakatnya”. Hal yang sama juga dikemukakan Daniel Webster seperti ditulis oleh Roscoe Pound, bahwa “keadilan adalah kepentingan manusia yang paling luhur di bumi ini”. 167 Sekalipun para pakar hukum menyebutkan bahwa tidak mungkin keadilan sesungguhnya diwujudkan, karena keadilan itu selalu berpihak pada subjektivitas dan abstrak. Maka untuk tegaknya keadilan, ia dilakukan secara bersama-sama dengan asas kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan adalah asas, proses dan sasaran hukum yang signifikan, yang harus ada dalam sebuah aturan, serta bisa diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan.
165
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, (Jakarta: Pradnya, 1996), hal. 11. 166 Satjipto Rahardjo, 1980, Op.Cit, hal. 159. 167 Roscoe Pound, Tugas Hukum, terjemahan Muhammad Rajab, (Jakarta: Bharatara, 1965), hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
Achmad Ali juga mengatakan keadilan merupakan konsep abstrak dan bersifat subjektif, sesuai nilai yang dianut oleh masing-masing individu dan masyarakat. 168 Menurut Friedman, dalam satu pengertian, norma-norma hukum tidak dapat benarbenar ‘netral’. Bahkan tidak mudah mengatakan seperti apa itu ‘norma netral’. Sudah pasti, di setiap sistem, norma-normanya cocok dengan struktur sistem bersangkutan. Bahkan dengan berasumsi terdapat hal-hal seperti eternal rule of justice (aturan keadilan yang abadi) atau eternal morality (moralitas abadi), maka tidak ada sistem hukum yang dapat disusun hanya dari pranata-pranata ini. Apa sebenarnya orang maksudkan ketika mereka mengatakan bahwa norma-norma adalah ‘netral’ atau ‘adil’, tak lebih dan tak kurang adalah netral atau adil dalam suatu konsepsi nilai, atau diukur dengan satu standar tertentu saja. Dengan penjelasannya itu, menurut Achmad Ali, Friedman ingin mengatakan bahwa apa yang adil dan tidak adil, sangat tergantung pada konsep nilai tertentu atau standar tertentu yang sifatnya subjektif, baik subjektif perorangan maupun subjektif kelompok, suku, umat atau bangsa. 169 Ad.2. Asas kemanfaatan Asas kemanfaatan ini dalam filsafat hukum dikenal dengan utilitarianisme. Aliran ini dicetuskan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). 170 Ide dasar utilitarianisme sangat sederhana yaitu: yang benar untuk dilakukan adalah yang menghasilkan
168
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan: Termasuk Interpretasi UndangUndang, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 223. 169 Ibid, hal. 232-233. 170 Achmad Ali, Loc.Cit, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
kebaikan terbesar. 171 Penganut aliran ini menganggap bahwa tujuan hukum sematamata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat, yang terkenal dengan mottonya, bahwa tujuan hukum adalah untuk the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang terbesar, untuk terbanyak orang). Menurutnya, adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Tegasnya menurut teori ini, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan mengeliminir hal-hal yang bisa menimbulkan kesengsaraan. John Stuart Mill memberikan definisi singkat prinsip utilitarian, yaitu: “Kemanfaatan atau prinsip kebahagiaan terbesar menyatakan bahwa tindakan tertentu benar jika cenderung memperbesar kebahagiaan; keliru jika cenderung menghasilkan berkurangnya kebahagiaan. Yang dimaksudkan dengan kebahagiaan adalah kesenangan dan tidak adanya rasa sakit…”. 172 Ad.3. Asas kepastian hukum Asas kepastian hukum menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu. 173 Asas kepastian hukum juga sangat erat kaitannya dengan asas legalitas. Artinya, untuk menertibkan sesuatu, harus jelas aturannya dan diketahui oleh masyarakat. Bila di dalam hukum itu ada larangan, maka yang dilarang itu sudah jelas. Demikian pula kalau ada sanksi atas larangan tersebut sudah dicantumkan secara tegas. 171
Karen Lebacqz, Teori-teori Keadilan: Analisis Kritis terhadap Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda, Penerjemah: Yudi Santoso, Cetakan Kelima, (Bandung: Nusa Media, tt), hal. 14. 172 John Stuart Mill, Utilitarianism, (New York: Bobbs-Merrill, 1957), hal. 10. 173 Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hal. 155.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga asas tersebut di atas, menurut Gustav Radbruch (1878-1949) identik dengan tiga tujuan hukum dalam tinjauan ranah filsafat hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. 174 Kepastian hukum di sini memiliki empat makna: pertama, bahwa hukum itu positif, artinya ia adalah perundang-undangan; kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti ada kemauan baik, kesopanan dan lainnya; ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas, sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan, dan keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah. Menurut aliran ini tujuan hukum hanya semata-mata untuk mewujudkan legal certainty (kepastian hukum). Namun kepastian hukum itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan asas keadilan dan asas kemanfaatan. Kembali kepada konteks sistem hukum yang merupakan seperangkat unsur yang terdiri dari atas sub-sub sistem yang memiliki fungsi dan bekerja dalam rangka mencapai tujuan sistem. Menurut Friedman, setiap sistem hukum mengandung komponen struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Sehingga untuk melihat bekerjanya hukum sebagai suatu sistem dapat dianalisis melalui ketiga komponen tersebut. Berikut penjelasan ketiga komponen sistem hukum tersebut: Pertama, struktur (structure). Friedman, mendefinisikan struktur sebagai berikut: 175
174
Achmad Ali, Op.Cit, hal. 288. Lawrence M. Friedman, Legal System A Sosial Science Perspective, (New York: Russel Soge Foundation, 1987), hal. 14. 175
Universitas Sumatera Utara
“The structure of a system is its skeletal framework, it is the permanent shape the institutional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process flowing within bounds”. “Struktur adalah kerangka atau sistem bekerjanya, di mana bagian yang tetap bertahan, di mana bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhannya”. Membicarakan
tentang
struktur
sistem
hukum
Indonesia,
termasuk
di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dalam konteks penelitian ini, struktur yang dimaksud di sini adalah struktur pelaksana rekonstruksi pertanahan melalui kegiatan RALAS pasca tsunami di Provinsi Aceh (yang akan dibahas pada Bab III). Kedua, substansi (substance). Menurut Friedman, substansi diartikan: 176 “The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave”. “Substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu”. Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, peraturan perundang-undangan yang dibuat. Jadi substansi merupakan keseluruhan aturan hukum (termasuk asas hukum dan norma hukum), baik yang tertulis (written law) maupun yang tidak tertulis (unwritten law), termasuk putusan pengadilan. Berdasarkan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Aceh, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan tersebut, antara lain:
176
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1.
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
3.
UndangUndang 51/Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya;
4.
UndangUndang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Pencabutan Hak-hak Atas dan Bendabenda yang ada di atasnya;
5.
UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
6.
UndangUndang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
7.
Undang Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
8.
UndangUndang Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh
Universitas Sumatera Utara
Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Menjadi UndangUndang; 9.
UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;
10.
UndangUndang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Menjadi Undang-Undang;
11.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara;
12.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara;
13.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Pemberian Ganti Kerugian; 14.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
15.
Keputusan Presiden
Nomor
34
Tahun
2003
tentang
Kebijakan
Nasional
di Bidang Pertanahan; 16.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan Perencanaan serta Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara;
17.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
18.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah Berbasis Masyarakat pada Lokasi Terkena Bencana Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang Menjadi Objek Kegiatan Pemulihan Hak Atas Tanah dan Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh;
Universitas Sumatera Utara
19.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 57-VII-2005 tentang Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
20.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 267-X-2005 tentang Perpanjangan Pelaksanaan Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematik Recontruction of Aceh Land Administration System (RALAS) Tahun Anggaran 2005;
21.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 28-IX-2006 tentang Struktur Organisasi
dan
Penunjukan
Tenaga
Pengelola/Pelaksana
Kegiatan
Recontruction of Aceh Land Administration System (RALAS) Tahun Anggaran 2006; 22.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12-III-2008 tentang Pembentukan Struktur
Pengelolaan
dan
Penunjukan
Pengelola/Pelaksana
Kegiatan
Recontruction of Aceh Land Administration System (RALAS) Tahun Anggaran 2008; 23.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13-III-2008 tentang Pembentukan Panitia/Tim Ajudikasi dalam Rangka Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh (RALAS) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008;
Universitas Sumatera Utara
24.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal, (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10);
25.
Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 20). Berdasarkan hasil penelitian, peraturan perundang-undangan khususnya yang
diterbitkan pasca bencana belum memadai dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan di Provinsi Aceh baik dari segi legalitas maupun hierarkhi perundangundangan. Dari segi hierarkhi perundang-undangan substansi teknis pelaksanaan hanya diatur melalui Surat Keputusan Kepala BPN yaitu SK Kepala BPN No. 114II/2005 bukan dengan peraturan setingkat Peraturan Pemerintah atau setidak-tidaknya setingkat Peraturan Kepala BPN. Dari segi efektivitas dan legalitas UU No. 48 Tahun 2007, peraturan ini baru diterbitkan pada tahun 2007 yaitu pada saat rekonstruksi telah berjalan, seharusnya telah diterbitkan pada tahun 2005 yaitu saat rekonstruksi mulai dilaksanakan. Akibat kondisi hukum tersebut di atas maka rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh mengalami kendala dan hambatan dalam pelaksanaannya.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, Budaya hukum (legal culture). Pengertian budaya hukum dijelaskan oleh Friedman berikut ini: 177 “Besides structure and substance, then, there is a third and vital element of the legal system. It is the element of demand. What creates a demand? One factor, for what of a better term, we call ‘the legal culture’. By this we mean ideas, attitudes, beliefs, expectations, and opinion about law”. “Selain struktur dan substansi, maka terdapat unsur yang ketiga dan vital dari sistem hukum. Unsur itu adalah ‘tuntutan’ atau ‘kebutuhan’. Apa yang menciptakan suatu tuntutan atau kebutuhan? Satu faktor, yaitu yang baik diistilahkan sebagai ‘kultur hukum’. Istilah kultur hukum ini diartikan sebagai ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan, harapan-harapan dan opiniopini tentang hukum”. Budaya hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran serta harapannya. 178 Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Jadi, dengan kata lain, budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, dan bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya. 179 Budaya hukum atau yang lebih konkret adalah kesadaran 180 hukum dari suatu bangsa (masyarakat) sangat sulit diubah karena budaya hukum dan kesadaran hukum 177
Lawrence M. Friedman, 1987, Op.Cit, hal. 7. Ibid, hal. 20. 179 Abdul Gani Isa, Formalisasi Syariat Islam di Aceh: Pendekatan Adat, Budaya dan Hukum, Cetakan Pertama, (Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2013), hal. 75. 180 Kesadaran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan 1) Keinsafan; keadaan mengerti; 2) hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 859. Pengertian kesadaran, di dalam Webster’s Seventh New Collegiate Dictionary Springfield tercantum tidak kurang dari lima arti, yaitu: 1. awareness esp of something within oneself; also the state or fact of being conscious of an external object, state or fact. 2. the state of being characterized by sensation, emotion, volition, and thought: mind. 3. the totality of conscious states of an individual. 178
Universitas Sumatera Utara
bangsa (masyarakat) tersebut menyentuh secara langsung terhadap struktur dasar bidang hukum dalam suatu masyarakat. Jika budaya hukum tidak berhasil diubah ke arah yang lebih baik, maka penegakan hukum pun sulit dijalankan, atau hasil dari penegakan hukumnya akan jauh seperti yang diharapkan. 181 Paham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada pikiran-pikiran yang menganggap, bahwa kesadaran dalam diri warga-warga masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi sahnya hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul di dalam proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau tidak ditaatinya) hukum positif tertulis tersebut. Merupakan suatu keadaan yang dicita-citakan atau dikehendaki, bahwa ada keserasian proporsional antar pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum positif tertulis. Ide tentang kesadaran warga-warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis diketemukan di dalam ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewusstsein yang intinya adalah, bahwa tak ada hukum yang mengikat warga-
4. 5.
the normal state of conscious life. the upper level of mental life as contrasted with unconscious process. (A. Merriam Webster, Webster’s Seventh New Collegiate Dictionary Springfield, (Mass: G & G, Merriam Company Publishers, 1967), p. 177. 181 Munir Fuady, Teori-teori dalam Sosiologi Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 130. Tanda dalam kurung merupakan penambahan dari penulis.
Universitas Sumatera Utara
warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya. 182 Tentang masalah ini Krabbe menyatakan, bahwa selain daripada kekuasaan dewa-dewa dan wewenang publik, maka ada wewenang lain yaitu kesadaran manusia. Kesadaran tersebut telah begitu menjiwai dan mendarah daging, sehingga mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada wewenang biasa yang didasarkan pada prestise. Kenyataan tersebut semakin berkembang, terutama dalam kehidupan spiritual manusia dewasa ini. 183 Hal yang sama pernah pula dikemukakan oleh Fuller, sebagai berikut: 184 “To embark on tbe enterprise of subjecting human conduct to the governance of rules involues of necessity a commitment to the view that man is, or can become, a responsible agent, capable of understanding and following rules, and answerable for bis defaults. Every departure from the principles of the law's inner morality is an affront to man's dignity as a responsible agent. To judge his actions by unpublished or retrospective laws, or to order him to do an act that is impossible, is to convey to him indifference to his powers of self determination”. Permasalahan tadi juga pernah dikemukakan oleh Selznick, yang menyatakan bahwa: 185 “... a conception of law as the manifestation of awesome authority encourages feelings of deference and is compatible with much arbitrary rule. In a community that aspires to a high order of legality obedience to law is not submissive compliance. The obligation to obey the law is closely tied to the defensiblity of the rules them selves and of the official decisions that enforce them”. Pendapat-pendapat tersebut di atas mengarahkan persoalan pada masalah bagaimana para warga masyarakat untuk siapa hukum dibuat, merasakan dan menerima hukum tersebut. Masalah yang sama juga terungkapkan oleh ajaran-ajaran 182
G.E. Lagemeijer, Inleiding tot de Studie Van de Wijsbegeerte des Rechts, (Zwolle: TjeenkWilkink, 1970), p. 149, 150 dalam Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Op.Cit, hal. 310. 183 H. Krabbe, 1917, p. 53 dalam Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Op.Cit. 184 L. Lon. Fuller, The Morality of Law, (New Haven: Yale University Press, 1970), hal. 162. 185 Ph. Selznick, 1969, hal. 17 dalam Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Op.Cit, hal. 311.
Universitas Sumatera Utara
yang berpendapat pokok, bahwa sahnya hukum ditentukan oleh kesadaran dari kelompok sosial. Apa yang penting adalah kesungguhan daripada tekanan-tekanan sosial yang ada di belakang peraturan-peraturan, hal mana menyebabkan timbulnya faktor ketaatan terhadapnya. 186 Bahkan kemudian dinyatakan, bahwa pembentukan hukum harus didasarkan pada tata kelakuan (“mores”) yang ada dan agar pembentukan hukum mempunyai kekuatan, maka proses tersebut harus konsisten dengan tata kelakuan tersebut. 187 Podgorecki pernah pula membahas masalah ini dengan mengkhususkan fokusnya terhadap pembentukan hukum dan masyarakat. Apabila pembentuk hukum menerbitkan peraturan-peraturan yang tidak cocok dengan kesadaran atau perasaan masyarakat, maka diharapkan akan timbul reaksireaksi yang negatif dari masyarakat. Semakin besar pertentangan antara peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit untuk menerapkannya. Sudah tentu bahwa pembentukan hukum dapat memperlakukannya dengan paksaan, dengan akibat meningkatnya biaya-biaya sosial. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan tadi sesuai dengan kesadaran masyarakat, maka masalah-masalah di dalam penerapannya hampir-hampir tidak ada. 188 Tentang hal itu Podgorecki melanjutkan, sebagai berikut: 189 “A legislation which attempts to sue law to introduce new values into a society will encounter resistance indicative of the struggle between new statute laws and old legal feelings. In such situations, a calculation of the 186
H.L.A. Hart, The Concept of Law, (Oxford: Oxford University Press, 1961), p. 84. H.V. Ball, et.al., “Law and Social Change: Sumner Reconsidered”, American Journal of Sociology, 1961 – 2, Volume 67, p. 538. 188 A. Podgorecki, Public Opinion on Law. C.M. Campgell et.al (eds). Knowledge and Opinion about Law, (London: Martin Roberston, 1973), p. 65-66. 189 Ibid, p. 66. 187
Universitas Sumatera Utara
eventual social profits and losses is quite essential. The legislation will consider as profits all the planned consequences of the efficient application of the new law, and as losses all bindrances and obstacles ...which may result from the continued acceptance of former legal feelings”. Sehingga sebenarnya, ada suatu kecenderungan yang sangat kuat, agar terjadi suatu keserasian atau kesesuaian yang proporsional antara hukum yang diterapkan dengan kesadaran hukum dari masyarakat yang bersangkutan. Kiranya perlu disinggung pula apa yang pernah diungkapkan oleh Skolnick di dalam ruang lingkup yang lebih khusus dan lebih tegas, sebagai berikut: 190 “The rules themselves must be rational, not whimsically constructed, and carried out with procedural regularity and fairness. Most important of all, rule is from below, not above. Authorities are servants of the people, not a “vanguard” a elites instructing the masses. The overriding value is consent of the governed. From it derives the principle of the accountability of autbority accountability primarily to courts of law and ultimately to a democratically constituted legislature based upon universal suffrage”. Masalah-masalah
tersebut
di
atas,
kesemuanya
bersumber
pada
ketidaksesuaian antara pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran para warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya (atau tidak ditaatinya) hukum positif tertulis. Kesadaran hukum masyarakat adat Aceh sudah cukup baik dalam menerima pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 dan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
190
J.H. Skolnick, Justice without Trial, (New York: John. Wiley & Son Inc, 1975), p. 21.
Universitas Sumatera Utara
Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Menjadi Undang-Undang. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000, dalam Pasal 2 diatur tata urutan peraturan perundang-undangan, yang susunannya adalah: 1. 2.
Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. 4.
Undang-Undang; Peraturan
Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; 5. 6. 7.
Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; dan Peraturan Daerah. Menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ditegaskan bahwa jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan adalah: 1. 2.
Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. 4. 5. 6. 7.
Undang-Undang/Perpu; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Agar suatu sistem hukum tidak menimbulkan suatu kontradiktif dalam
dirinya, maka harus menciptakan asas-asas yang mencegah timbulnya kontradiktif itu, misalnya asas (a) lex superior derogate lex inferior (peraturan perundang-
Universitas Sumatera Utara
undangan yang lebih tinggi menguasai peraturan yang lebih rendah); (b) lex specialis derogate lex generalis (peraturan khusus menyimpang dari peraturan umum). 191 Keadaan yang normal, sistem norma hukum diberlakukan berdasarkan undang-undang dasar dan perangkat peraturan perundang-undangan yang secara resmi diadakan untuk mengatur berbagai aspek yang berkenaan dengan penyelenggaraan kegiatan bernegara pada umumnya. Akan tetapi kadang-kadang, kurang terbayangkan bahwa akan ada keadaan lain yang bersifat tidak normal, di mana sistem hukum yang biasa itu tidak dapat diharapkan efektif untuk mewujudkan tujuan hukum itu sendiri. Dalam praktik, di samping kondisi negara dalam keadaan biasa (ordinary condition) atau keadaan normal (normal condition), kadang-kadang timbul atau terjadi keadaan yang tidak normal. Keadaan yang menimpa suatu negara yang bersifat tidak biasa atau tidak normal itu memerlukan pengaturan yang bersifat tersendiri sehingga fungsi-fungsi negara dapat terus bekerja secara efektif dalam keadaan yang tidak normal itu. Dalam keadaan yang demikian itu, bagaimanapun juga, sistem norma hukum yang diperuntukkan bagi keadaan yang normal tidak dapat diharapkan efektif untuk dipakai guna mencapai tujuan hukum yang menjamin keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukumnya. Oleh karena itu, sejak semula keadaan tidak normal itu sudah seharusnya diantisipasi dan dirumuskan pokok-pokok garis besar pengaturannya dalam undang-undang dasar. Bahkan, karena pentingnya hal ini, juga diperlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang yang tersendiri sehingga hal-hal dasar mengenai bekerjanya fungsi-fungsi kekuasaan 191
Abdul Gani Isa, Op.Cit, hal. 88.
Universitas Sumatera Utara
negara dalam keadaan tidak normal itu dapat ditetapkan bersama oleh para wakil rakyat di DPR bersama-sama dengan presiden sebagai pihak eksekutif. Dengan demikian, tujuan bernegara yang harus dipenuhi dengan berfungsinya organ-organ negara yang dibentuk dapat terus diupayakan perwujudannya dengan tetap menjamin penghormatan dan pemenuhan atas hak-hak dasar yang dijamin dalam undangundang dasar sebagai dokumen hukum tertinggi. Penyelenggaraan kekuasaan negara yang sah tidak boleh terhenti hanya karena adanya keadaan revolusioner yang berubah. Seperti diketahui, dalam pembukaan UUD 1945, telah ditegaskan bahwa tujuan disusunnya negara Indonesia merdeka adalah untuk: (i) membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii) memajukan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan
bangsa;
(iv)
ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia
berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Selama organisasi negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 itu ada, upaya mencapai atau mewujudkan keempat tujuan tersebut tidak boleh berhenti dalam keadaan apapun. Kekuasaan negara itu baru dapat dikatakan berakhir dan penyelenggaraannya dihentikan jika organisasi negara itu sendiri dengan sengaja dibubarkan atau dinyatakan bubar sehingga berakhirlah ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara yang bersangkutan, bubarnya pemerintahan, dan berakhirnya status warga negara dari negara yang bersangkutan, serta berakhir pula ketentuan mengenai batas wilayah negara yang bersangkutan. Di luar tindakan pembubaran atau keadaan di mana suatu negara dibubarkan seperti yang demikian itu, seberapa pun tidak
Universitas Sumatera Utara
normalnya keadaan yang terjadi, fungsi-fungsi minimal organisasi negara yang bersangkutan tetap harus bekerja sesuai dengan maksud dibentuknya, meskipun harus dilakukan dengan menggunakan hukum-hukum yang tidak normal. Keadaan yang tidak normal itu cukup luas dimensinya mulai dari keadaan perang yang menimbulkan kekacauan pemerintahan dan bahaya besar yang mengancam jiwa, raga, dan harta benda rakyat banyak sampai kepada keadaan yang tampak selintas normal-normal saja. Namun untuk melakukan hal-hal tertentu yang bersifat mendesak, tugas-tugas pemerintahan tertentu di daerah tertentu dan dalam bidang-bidang tertentu, terpaksa harus melanggar aturan hukum yang berlaku. Keadaan yang terakhir ini tidak menimbulkan ancaman bahaya sama sekali. Akan tetapi, jika dilakukan akan timbul pelanggaran hukum. Meskipun peraturan yang harus dilanggar itu dapat saja diubah sebagaimana mestinya, tidak cukup tersedia waktu untuk melakukan perubahan dimaksud, sementara pelaksanaan tindakan yang bersangkutan sudah mendesak untuk harus segera dikerjakan sebaik-baiknya. Keadaan yang demikian itu termasuk juga kategori keadaan tidak biasa yang memerlukan tindakan yang juga tidak biasa. Misalnya, keadaan demikian dianggap dapat memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), yaitu suatu peraturan yang dari segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena keadaan kegentingan yang memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian yang luas, keadaan negara yang memungkinkan dilakukannya penetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang itu adalah juga keadaan yang tidak normal atau tidak biasa dalam dimensi yang berbeda dengan keadaan darurat perang atau darurat militer ataupun keadaan darurat karena bencana alam (seperti gempa bumi dan tsunami di Aceh). Dalam keadaan-keadaan yang tidak biasa atau tidak normal itu, berlaku norma-norma yang juga bersifat khusus yang perlu diatur tersendiri sebagaimana mestinya. Baik syarat-syaratnya, tata cara pemberlakuannya, syarat dan tata cara mengakhirinya, serta hal-hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan dalam keadaan darurat, perlu diatur dengan jelas agar tidak memberi kesempatan timbulnya penyalahgunaan yang bertentangan dengan undangundang dasar. Pengertian-pengertian dan hal-hal penting mengenai keadaan darurat yang merupakan keadaan tidak biasa atau tidak normal itu perlu dipahami secara tepat, baik oleh para penyelenggara negara maupun oleh para warga negara yang tercerahkan sehingga keadaan seburuk apa pun yang timbul dalam negara, dapat diatasi dengan tanpa merusak sendiri-sendiri prinsip demokrasi dan cita negara hukum. Lebih-lebih, dalam perjalanan sejarah sejak kemerdekaan sampai sekarang, negara Republik Indonesia tidak pernah lepas dari aneka peristiwa dan kejadiankejadian yang bersifat luar biasa, baik di bidang politik, di bidang ekonomi maupun di bidang sosial. Sebab-sebab timbulnya keadaan luar biasa itu juga beraneka ragam, baik karena gejolak politik, ekonomi, dan sosial maupun karena faktor bencana alam. Gejolak politik datang silih berganti dari kurun waktu yang satu ke kurun waktu yang
Universitas Sumatera Utara
lain. Gejolak sosial, kerusuhan berdarah di berbagai daerah juga sangat sering terjadi di mana-mana. Demikian pula bencana alam terus-menerus dari waktu ke waktu, baik yang datang dari laut, udara maupun perut bumi. Berbagai perangkat hukum positif yang tersedia tidak sejak semula mengantisipasi berbagai kemungkinan keadaan yang bersifat tidak biasa semacam itu, niscaya hal itu akan memperlemah kemampuan organisasi negara dan pemerintahan untuk bertindak sebagaimana mestinya untuk kepentingan rakyat dan negara. Jika keadaan darurat yang tidak biasa itu benar-benar terjadi, dapat timbul dua kemungkinan respons organ negara dan pemerintahan untuk mengatasinya, yaitu organ negara dan pemerintahan itu mengalami “syndrome disfunctie” 192 atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, atau penguasa negara berubah menjadi tiran atau “dictator by accident” 193 yang memanfaatkan keadaan darurat yang tidak biasa itu untuk kepentingannya sendiri atau untuk memperkokoh kekuasaannya sendiri. 194 Berdasarkan keadaan darurat (gempa dan tsunami) di Provinsi Aceh, maka Pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 114-II/2005, termasuk Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
192
Syndrome disfunctie adalah suatu gejala tidak dapat berfungsinya organ negara atau pemerintahan sebagaimana seharusnya. Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 4. 193 Dictator by accident adalah suatu keadaan yang membuat seorang penguasa menjadi penguasa yang diktator (tiran/otoriter) yang memanfaatkan keadaan darurat yang tidak biasa itu untuk kepentingannya sendiri atau untuk memperkokoh kekuasaannya sendiri. Ibid. 194 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 1-4.
Universitas Sumatera Utara
Nomor : 2 Tahun 2007 yang selanjutnya ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2007.
1.
Pengaturan Rekonstruksi Pertanahan dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 114-II/2005 Penyelenggaraan pendaftaran tanah berbasis masyarakat berdasarkan petunjuk
pelaksanaan yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 114II/2005, tanggal 21 Juni 2005, merupakan persyaratan dan prosedur dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah yang hanya berlaku untuk wilayah bencana tsunami di Provinsi Aceh. Apabila dikaji kedudukan dan kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam mengeluarkan kebijakan adalah sudah tepat dan sesuai dengan tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor: 26 Tahun 1988 yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 (Pasal 6 jo Pasal 2 dan 3). 195 Lahirnya Keputusan Kepala BPN Nomor 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerah-daerah Pasca Tsunami (selanjutnya disebut Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005), dikarenakan belum adanya peraturan perundang-
195
Pasal 6 Perpres No. 63 Tahun 2013 menyebutkan: Kepala mempunyai tugas memimpin BPN RI dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pasal 2 Perpres No. 63 Tahun 2013 menyebutkan: BPN RI mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
undangan yang mengatur tentang rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh pada tahun 2005. Berdasarkan kajian, Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 tersebut merupakan produk peraturan perundangan-undangan dalam rangka kebijakan operasional pelaksanaan pendaftaran tanah di wilayah bencana tsunami di Provinsi Aceh. Idealnya keputusan tersebut bukan dalam bentuk Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional, tetapi dalam bentuk yang lebih tinggi atau setidaktidaknya dalam tingkatan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Akan tetapi karena dibuat dan diterapkan dalam kondisi darurat, maka produk yang dihasilakan oleh RALAS tetap mempunyai kekuatan hukum. BPN sebagai lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan pertanahan menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki dalam mengatasi masalah tersebut sangat terbatas. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pendekatan di atas, BPN memerlukan dukungan dari banyak pihak, baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
lembaga
donor,
dan
khususnya
kelompok
masyarakat
yang
desa/kelurahannya menjadi objek pendaftaran tanah. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memberikan dukungan dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah melalui kegiatan RALAS antara lain: GTZ, UNORC, UpLink, KKTGA, World Vision, Yayasan LBH Aceh-Indonesia, ECOSOB, IDLO, McElhanney, AIPRD-LOGICA, SULOH, Australia Indonesia Patnership, Oxfam. Sedangkan lembaga donor yang memberikan dukungan dalam
Universitas Sumatera Utara
rangka pelaksanaan pendaftaran tanah melalui kegiatan RALAS antara lain: JICA, UNDP, JICS, The Uuropean Commission, dll. Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 disusun untuk memudahkan berbagai pihak dalam menjalankan peran masing-masing dalam proses pendaftaran tanah ini. Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 tersebut merupakan pegangan seluruh pihak, baik masyarakat, LSM, BPN, maupun pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan pendaftaran tanah. Bagi masyarakat, Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 merupakan panduan dalam proses membangun kesepakatan warga, khususnya dalam menentukan batas-batas bidang tanah, kepemilikan dan pewarisan/perwalian (jika diperlukan), mengajukan pendaftaran tanah ke kantor pertanahan hingga pada akhirnya menerima sertipikat secara gratis. Bagi LSM, Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 merupakan panduan dalam memfasilitasi proses-proses membangun kesepakatan warga dan melakukan monitoring terhadap berjalannya proses pendaftaran tanah. Sedangkan bagi BPN, Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 merupakan pegangan dalam menjalankan seluruh tahapan dalam proses pendaftaran tanah di lokasi tsunami. Demikian juga bagi pihak lain (donor atau program lain misalnya) Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 merupakan suatu rujukan dalam melakukan koordinasi di lapangan sehingga program masing-masing dapat lebih bersinergi. Dengan adanya rujukan yang sama telah terjadi sinergi antar berbagai pihak dalam mengatasi masalah pertanahan di Provinsi Aceh. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (mantan Project Manager Ralas Tahun 2006) mengatakan;
bahwa
Universitas Sumatera Utara
dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh adapun dasar hukum yang dipergunakan adalah SK Kepala BPN No. 114-II/2005. 196 Berdasarkan wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (mantan Project Manager Ralas tahun 2008), mengatakan; 197 Beberapa substansi pendaftaran tanah dalam SK Kepala BPN No. 114-II/2005 terdapat perbedaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Pengaturan yang berbeda dalam SK Kepala BPN tersebut dalam rangka memperlancar pelaksanaan pendaftaran tanah di lokasi tsunami yang kondisinya tidak normal. a.
Manual Kesepakatan Warga Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 meletakkan manual kesepakatan
warga pada BAB III. Masyarakat yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami di Provinsi Aceh, baik yang selamat dari bencana, ahli warisnya, anak-anak yatim, janda-janda, dan lain-lain berhak memperoleh perlindungan hukum hak-hak atas tanah yang mereka miliki/kuasai sebelum terjadinya bencana tersebut. Untuk itu, Pemerintah dalam hal ini melalui BPN, menyelenggarakan program pendaftaran tanah secara sistematik terhadap seluruh bidang tanah yang ada di seluruh gampong lokasi bencana tanpa dipungut biaya (gratis). Pelaksanaan RALAS ini tidak terlepas dari peran aktif masyarakat yang selamat dari bencana termasuk ahli waris, anak yatim melalui walinya, janda untuk membantu atau bersama-sama mengidentifikasi batas-batas bidang tanah dan kepemilikan tanah baik tanah yang dimilikinya maupun
196
Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (mantan Project Manager Ralas tahun 2006) hari Senin tanggal 25 Nopember 2013 Pukul 11.00 WIB 197 Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (mantan Project Manager Ralas tahun 2008) hari Selasa tanggal 26 Nopember 2013 Pukul 11.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
bidang tanah tetangga/warga lainnya. Kesepakatan warga atas batas bidang tanah dibuat dalam bentuk peta (peta disediakan oleh BPN) dan juga memberikan tanda batas bidang berupa patok batas (patok disediakan oleh BPN). Program ini ditujukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum pemilikan hak atas tanah kepada masyarakat di seluruh gampong yang menjadi lokasi bencana gempa bumi dan tsunami sebagaimana sebelum terjadinya bencana. Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan gampong demi gampong. Artinya, pendaftaran tanah dilakukan pada seluruh bidang tanah di lokasi tersebut. Pendaftaran tanah di suatu gampong akan diselesaikan dalam waktu 60 hari, terhitung sejak Panitia/Tim Ajudikasi turun ke lapangan setelah sebelumnya menerima pengajuan pendaftaran tanah dari Keuchik yang gampongnya memperoleh giliran pendaftaran tanah. Pemilik hak atas tanah, ahli waris atau wali, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pelayanan pendaftaran tanah, termasuk hak perempuan atas tanah dan kelompok rentan lainnya. Peran BPN adalah memberikan pengakuan hak (legal approval) terhadap bidang-bidang tanah yang sudah memiliki kejelasan subjek dan objeknya. Oleh karena itu, pendaftaran tanah ini mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat dalam mengidentifikasi batas bidang tanah dan kepemilikannya. Tahapan kegiatan pendaftaran tanah dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu: tahap penentuan lokasi prioritas yang dilakukan oleh BPN bersama-sama dengan BRR; tahap kesepakatan warga; dan tahap pendaftaran tanah oleh BPN. Ketiga tahap tersebutlah yang dijabarkan dalam Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005.
Universitas Sumatera Utara
Program RALAS ditujukan untuk pemilik tanah atau ahli warisnya yang menguasai/memiliki bidang tanah yang terletak di gampong yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami. Program ini dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 dengan target seluruhnya 600.000 bidang tanah. Semua gampong di lokasi bencana dan sekitarnya akan mendapatkan giliran untuk pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik. Namun demikian, prioritas lokasi diutamakan kepada gampong yang telah mencapai kesepakatan warga. Berdasarkan penelitian kegiatan pendaftaran tanah di lokasi bencana gempa bumi dan tsunami hanya dilaksanakan sampai tahun 2008. Setiap tahun BPN bersama-sama dengan BRR menetapkan lokasi gampong yang mendapat giliran, dengan terlebih dahulu mempertimbangkan berbagai masukan dari pihak-pihak terkait. Hasil penetapan lokasi ini diumumkan secara terbuka di berbagai media yang memungkinkan masyarakat dapat mengetahuinya secara cepat misalnya melalui: brosur, surat kabar, radio, televisi, website, dan pemberitahuan langsung kepada Keuchik. Melalui pengumuman ini masyarakat di gampong yang dimaksud dapat segera memanfaatkan peluang tersebut. Dari sejumlah gampong yang sedang memperoleh giliran tersebut, pelaksanaan pendaftaran tanah di lapangan akan mendahulukan gampong yang lebih dahulu menyelesaikan atau mencapai kesepakatan warga.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak H.M. Ansari Yahya, Keucik Kampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, menyatakan: 198 “Penetapan lokasi pendaftaran tanah pasca bencana di Gampong Baru, dilakukan oleh BPN. Tim Ajudikasi memberitahukan langsung kepada saya selaku Keuchik, kemudian saya menyampaikannya pemberitahuan tersebut kepada warga untuk bersiap dan membantu kelancaran pendaftaran tanah tersebut”. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (Mantan Project Manager Ralas tahun 2008), mengatakan; 199 Kegiatan Ralas dilaksanakan sampai tahun 2008, sedangkan tahun 2009 hanya melakukan penyelesaian sisa kegiatan tahun sebelumnya dan kegiatan evaluasi serta penyiapan laporan, termasuk laporan akhir kegiatan Ralas dalam rankga berakhirnya masa kerja BRR. a.
Langkah-langkah Untuk Membangun Kesepakatan Warga Kesepakatan warga yang dimaksud dalam Keputusan Kepala BPN Nomor:
114-II/2005 adalah kesepakatan seluruh warga, khususnya pemilik tanah atau ahli waris/wali, tentang: a.
batas-batas bidang tanah yang ada di gampong, dengan melaksanakan pemasangan patok-patok tanda batas untuk setiap bidang tanah;
b.
pemilikan atas bidang-bidang tanah tersebut termasuk kesepakatan waris dan atau wali;
c.
penandaan seluruh bidang tanah dalam suatu peta skala besar yang disediakan oleh BPN; dan
d.
daftar nama penguasaan/pemilikan bidang tanah. 198
Hasil wawancara dengan Bapak H.M. Ansari Yahya, Keucik Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, hari Minggu, 8 Juni 2014, pukul 17.00 WIB. 199 Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (Mantan Project Manager Ralas Tahun 2008), hari Selasa, tanggal 26 November 2013, Pukul 14.000 Wib.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Anwar Hasim, mantan Keuchik Gampong Rima Jeuneu Kecamatan Pekan Bada Kabupaten Aceh Besar, menyatakan: 200 “Bahwa masyarakat pemilik tanah atau ahli warisnya di Gampong Rima Jeuneu pada program pendaftaran tanah, diminta oleh Tim Ajudikasi untuk mengisi daftar nama penguasaan/pemilikan bidang tanah dan memasang patok/tanda batas bidang tanah di lapangan. Terhadap pemilik tanah atau ahli warisnya yang tidak berada di lokasi pendaftaran tanah atau telah meninggal dunia, maka identifikasi bidang tanah dan pemasangan tanda batas dilaksanakan oleh perangkat gampong atau warga gampong yang ditunjuk berdasarkan suatu berita acara kesepakatan warga gampong”. Langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka kegiatan membangun kesepakatan warga meliputi: a) melakukan identifikasi penduduk gampong atau pemilik tanah yang selamat dari bencana, baik yang berada di lokasi maupun yang berada di pengungsian.; b) melakukan identifikasi batas-batas bidang tanah baik di atas peta maupun di lapangan termasuk penandaan/pematokan titik batas; c) membuat lembaran inventarisasi bidang tanah (land inventory) yang meliputi daftar penguasa fisik/pemilik tanah, alamat pemilik dan bidang; d) menyelenggarakan
musyawarah
gampong
dalam
rangka
membangun
kesepakatan warga; e) membuat Berita Acara kesepakatan warga sebagai bukti telah dicapai kata sepakat antara seluruh warga. Proses membangun kesepakatan warga tersebut di atas, setiap gampong memperoleh fasilitasi dari Fasilitator LSM untuk membantu masyarakat dalam 200
Hasil wawancara dengan Bapak Anwar Hasim, mantan Keuchik Gampong Rima Jeuneu Kecamatan Pekan Bada Kabupaten Aceh Besar, tanggal 15 Juni 2014, pukul 09.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
membangun kesepakatan tersebut. Kecuali, untuk gampong di mana terdapat program lain maka fasilitasi diberikan oleh fasilitator program yang bersangkutan. Bimbingan, pengarahan, atau penjelasan dari fasilitator disampaikan terutama kepada aparat gampong, tetua adat, tokoh masyarakat gampong (contoh: seperti tuhapeut, tuhalapan, imam meunasah, dan kepala gampong) atau organisasi masyarakat desa seperti Pokmasdartibnah. Untuk selanjutnya aparat atau para tokoh tersebut menyampaikan kembali kepada warga masyarakat gampongnya. Apabila masih terdapat ketidakjelasan atau keragu-raguan atas informasi/ penjelasan fasilitator, maka ditanya ketidakjelasan tersebut kepada petugas Panitia/Tim Ajudikasi atau Kantor Pertanahan setempat. Dalam musyawarah ini harus dibuat kesepakatan waktu dengan seluruh pemilik tanah/kuasanya/ahli waris/wali, untuk menentukan kapan pemasangan patok tanda batas bidang tanah secara keseluruhan akan dilakukan, yang dilanjutkan dengan kapan dan di mana pengisian Formulir Pernyataan Penguasaan Fisik dan Pemasangan Tanda Batas Bidang Tanah, dan penandaan setiap bidang tanah dalam peta citra satelit (sebelum bencana) serta pengisian Daftar Nama Penguasaan/Pemilikan Bidang Tanah tersebut dilakukan. Gagasan-gagasan yang disampaikan terkait dengan perubahan batas bidang tanah (misalnya pelebaran lorong atau penataan kampung), maka setiap pemilik tanah yang terkena perubahan tersebut menyatakan kesediaannya dan persetujuannya (dengan menandatanganinya) kesepakatan tersebut yang dimuat dalam berita acara penataan batas.
Universitas Sumatera Utara
Seluruh pemilik tanah harus dijelaskan bahwa selama proses pendaftaran tanah berlangsung tidak diperkenankan adanya peralihan hak atas tanah terutama melalui jual beli. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh, menyatakan: 201 “Bahwa warga masyarakat yang kurang jelas atau ragu-ragu atas informasi/penjelasan dari fasilitator berkaitan dengan pendaftaran tanah, maka petugas Panitia/Tim Ajudikasi atau Kantor Pertanahan setempat bersedia memberikan informasi dengan jelas. Informasi disampaikan juga kepada pemilik tanah bahwa selama proses pendaftaran tanah berlangsung tidak diperkenankan adanya peralihan hak atas tanah melalui jual beli”. Berdasarkan wawancara dengan Bapak H.M. Ansari Yahya, Keuchik Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, menyatakan: 202 “Pasca tsunami, perangkat gampong, masyarakat dan dibantu oleh beberapa LSM melakukan identifikasi warga yang selamat dari bencana, yang tinggal di pengungsian (barak/shelter), ataupun yang berpindah tempat tinggal setelah kejadian bencana dan menginventarisasi pemilik tanah di gampong Baru, termasuk anak di bawah umur dan janda yang akan menjadi calon pemegang hak atas tanah. Pemilik tanah yang tidak berada di lokasi pendaftaran tanah atau meninggal dunia, maka identifikasi bidang tanah dan pemasangan tanda batas dapat dilaksanakan oleh Perangkat gampong atau warga gampong yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa tertulis atau suatu berita acara kesepakatan warga desa setempat; untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah, Keucik atas nama warga masyarakat gampongnya mengajukan permohonan pendaftaran tanah kepada Ketua Panitia Ajudikasi atau Kepala Kantor Pertanahan”. 2) Pemasangan Patok Tanda Batas Pemilik tanah/ahli waris/wali atau kuasa diwajibkan memasang patok tanda batas di sepanjang garis batas bidang yang masing-masing batas tersebut telah disepakati oleh para tetangga yang bersebelahan (pemilik tanah yang berbatasan).
201
Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh, di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013, pukul 11.00 WIB. 202 Hasil wawancara dengan Bapak H.M. Ansari Yahya, Keuchik Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, hari Minggu, 8 Juni 2014, pukul 17.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Terhadap tetangga batas tidak dapat hadir dalam penunjukan dan pemasangan tanda batas, maka kuasa tertulis atau aparat gampong setempat dapat memberikan penunjukan dan kesaksiannya mengenai titik batas sesuai kesepakatan warga lainnya. Pemasangan patok tanda batas bidang tanah dilakukan pada seluruh bidang tanah yang ada di gampong, sepanjang kondisi di lapangan memungkinkan dipasangnya patok tersebut. Pemasangan patok ini dilakukan juga pada bidang tanah yang dimiliki secara bersama (kolektif) dan bidang tanah yang pemiliknya berada di luar lokasi gampong (absentee). Patok dipasang pada setiap sudut batas tanah dan apabila dianggap perlu dipasang pada titik-titik tertentu sepanjang garis batas bidang tanah tersebut. Pemasangan patok pada suatu bidang tanah dilakukan dengan sepengetahuan pemilik bidang tanah yang bersebelahan (tetangga), dan kepala dusun serta Keucik. Jika pemilik bidang tanah yang berbatasan tidak dapat hadir secara lengkap maka Keuchik dan Tuha peut atau kepala dusun setempat harus memastikan kebenaran letak patok batas pada bidang tanah tersebut sesuai dengan pengetahuannya. 203 Bentuk patok sedapat mungkin spesifikasinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Patok batas disediakan oleh BPN sesuai dengan alokasi anggaran yang tersedia. Untuk gampong yang memerlukan patok dapat mengajukan permohonan kepada Kantor Pertanahan setempat atau Kantor Panitia/Tim Ajudikasi. Bantuan dana untuk pemasangannya dapat diperoleh
203
Hasil Wawancara dengan Salamuddin, Keuchik Gampong Pulot, Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar, hari Minggu, 8 Juni 2014, pukul 13.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
sepanjang masyarakat atau Keuchik dapat mempertanggung jawabkan kegiatan pemasangan
patok
ini
dengan
melampirkan
kwitansi
dan
laporan
pertanggungjawaban keuangan. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006), menyatakan: 204 “BPN menyediakan patok batas kepada pemilik tanah dengan tidak dipungut biaya. Gampong yang memerlukan patok dapat mengajukan permohonan kepada Kantor Pertanahan setempat atau Kantor Panitia/Tim Ajudikasi”. 3) Pengisian Formulir Pernyataan Setiap pemilik tanah/ahli waris/wali diwajibkan mengisi formulir Surat Pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan Penguasaan Fisik untuk setiap bidang tanah yang dimilikinya, dengan diketahui oleh pemilik bidang tanah yang berbatasan sebagai saksi, dan disahkan oleh Keuchik. Formulir disediakan oleh BPN. Jika seseorang memiliki dua bidang tanah maka yang bersangkutan mengisi dua formulir, dan seterusnya. Jika pemilik bidang tanah sudah tidak ada lagi, maka formulir diisi oleh ahli waris yang sah yang sebelumnya sudah mendapat persetujuan pewarisan dari Keuchik atau Imam Meunasah di gampong setempat. Apabila diantara para ahli waris terjadi ketidaksepakatan pembagian harta waris, maka para ahli waris wajib menyelesaikan sengketa tersebut dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat/musyawarah keluarga yang diketahui oleh Keuchik. Bukti Surat Pernyataan Ahli Waris dan Kesepakatan Pembagian Warisan dituangkan ke dalam Formulir. Tetapi, jika usaha penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana
204
Hasil Wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006), hari Senin, 25 Nopember 2013, pukul 11.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
dimaksud di atas tidak membawa hasil, maka penyelesaian sengketa waris diajukan kepada Mahkamah Syari’ah setempat dan kemudian putusan Mahkamah Syari’ah menjadi dasar penetapan ahli waris yang sah menurut hukum. Jika ahli waris masih belum dewasa, maka pengisian formulir dilakukan oleh walinya yang sebelumnya sudah mendapat persetujuan perwalian/pengampuan dari Keuchik dan Imam Meunasah. Penetapan wali yang sah menurut hukum dilakukan oleh Mahkamah Syari’ah. Untuk kepentingan penetapan perwalian, Mahkamah Syari’ah mengadakan persidangan di luar kantor (di gampong, dengan waktu yang disepakati bersama). Untuk kepentingan ini, masyarakat tidak dipungut biaya apapun. Kepada Keuchik bersama fasilitator harus secara aktif mendata berapa orang yang memerlukan penetapan perwalian dari Mahkamah Syari’ah. Formulir yang sudah diisi tersebut disimpan oleh pemilik tanah dengan baik, dan sedapat mungkin dicopy terlebih dahulu, untuk diserahkan pada saat Panitia Ajudikasi datang ke lokasi untuk melakukan pengukuran dan pemetaan. Berdasarkan wawancara dengan Bapak H.M. Ansari Yahya, Keuchik Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, menyatakan: 205 “Pemilik tanah/ahli waris/wali yang berada di Gampong Baru mengisi formulir yang telah disediakan oleh Tim Ajudikasi yaitu Surat Pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan Penguasaan Fisik, dengan diketahui oleh pemilik bidang tanah yang berbatasan sebagai saksi, dan disahkan oleh Keucik, di mana pelaksanaannya dilakukan di tenda Tim Ajudikasi”. 4) Penandaan Bidang-bidang Tanah pada Peta
205
Hasil wawancara dengan Bapak H.M. Ansari Yahya, Keuchik Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, hari Minggu, 8 Juni 2014, pukul 17.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Setiap bidang tanah yang sudah dipasangi patok tanda batas, maka bidang tersebut digambarkan dalam peta kerja, dan nama-nama pemilik bidang tanah tersebut dicatat dalam daftar penguasaan fisik bidang tanah. Peta kerja identifikasi bidang tanah telah disediakan oleh BPN. Pemilik tanah/ahli waris/wali diminta untuk menandatangani daftar pemilik bidang tanah ketika yang bersangkutan sudah menyepakati letak bidang tanah dalam peta dan data bidang tanah yang ada dalam daftar tersebut. Keuchik membuat berita acara tentang kesepakatan warga. Berita acara tersebut memuat jumlah bidang tanah secara keseluruhan, jumlah bidang tanah yang sudah memiliki kejelasan subjek dan objeknya dan jumlah bidang tanah yang dianggap masih bermasalah. Waktu yang tersedia bagi masyarakat dalam membangun kesepakatan warga adalah 30 hari, terhitung setelah BPN mengumumkan nama-nama gampong yang memperoleh giliran. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006), menyatakan: 206 “Setiap bidang tanah yang sudah dipasangi patok tanda batas, maka bidang tersebut digambarkan dalam peta kerja, dan nama-nama pemilik bidang tanah tersebut dicatat dalam daftar penguasaan fisik bidang tanah. Pemilik tanah menandatangani daftar pemilik bidang tanah ketika yang bersangkutan sudah menyepakati letak bidang tanah dalam peta dan data bidang tanah yang ada dalam daftar”. 5) Terhadap Kesepakatan Warga Yang Sudah Terbangun Masyarakat melalui Keuchik segera mengajukan kepada Kantor Pertanahan atau Tim Ajudikasi di Kantor Pertanahan setempat bahwa gampongnya siap untuk 206
Hasil Wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006), hari Senin, 25 Nopember 2013, pukul 11.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan pendaftaran tanah. Pengajuan dilakukan secara tertulis, melalui telepon/faks atau meminta bantuan LSM atau fasilitator yang ada di gampong untuk menyampaikannya kepada Kantor Pertanahan/Panitia Ajudikasi setempat. Pengajuan juga dapat disampaikan kepada Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh di Banda Aceh. Senada dengan hal tersebut di atas, berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006), menyatakan: 207 “Setelah tercapainya kesepakatan warga, Keuchik mewakili gampongnya mengajukan kepada Kantor Pertanahan atau Tim Ajudikasi setempat bahwa gampongnya telah siap untuk dilakukan pendaftaran tanah. Pengajuan tersebut dapat dilakukan secara tertulis, melalui telepon/faks atau meminta bantuan LSM atau fasilitator yang ada di gampong-nya”. b. Manual Teknis Pendaftaran Tanah BPN memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah dan merekonstruksi sistem administrasi pertanahan melalui kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik berbasis masyarakat (community driven adjudication). Oleh karena kondisi di daerah bencana tsunami berbeda dengan kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana dilakukan dalam sistem pendaftaran tanah sebelumnya (pendaftaran tanah dalam PP No. 24 Tahun 1997), maka kegiatan pendaftaran tanah dimaksud memerlukan penyesuaian teknis tertentu terutama menyangkut keterlibatan masyarakat dalam proses penyepakatan atas batasbatas bidang tanah dan kepemilikan secara partisipatif.
Dalam hal ini terjadi
pergeseran peran BPN dalam proses pendaftaran tanah dari yang semula melaksanakan seluruh tahapan kegiatan secara penuh, menjadi lembaga yang
207
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
memberikan legalitas (legal approval) atas penerbitan surat tanda bukti hak atas tanah. Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 yang mengatur tentang manual teknis pendaftaran tanah tersebut dibuat sebagai pedoman bagi petugas BPN, terutama staf-staf yang melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik di lapangan. Dengan adanya manual teknis tersebut pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik ini dapat diselenggarakan secara efektif dan efisien. Proses pendaftaran tanah secara sistematik dengan pola ajudikasi dan rekonstruksi terbagi ke dalam 2 bagian kegiatan utama yang menjadi satu kesatuan kegiatan, yaitu: 1. Fisik Kadaster (Pembukuan Tanah) Sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) UUPA huruf a, kegiatan fisik kadaster meliputi; pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah. 2. Legal Kadaster (Pembukuan Hak) Sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) huruf b, kegiatan legal kadaster dilaksanakan melalui kegiatan pendaftaran hak atas tanah. Kegiatan-kegiatan fisik kadaster (pembukuan tanah) dilaksanakan oleh Panitia Ajudikasi sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diembannya, sedangkan kegiatan legal kadaster (pembukuan hak) dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat. Berdasarkan hasil fisik kadaster (pembukuan tanah), Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan kegiatan penetapan hak terlebih dahulu sebelum bidang tanah tersebut dibukukan dalam buku tanah. Penetapan hak untuk tanah
Universitas Sumatera Utara
negara melalui surat keputusan pemberian hak atas tanah, sedangkan untuk tanah milik adat melalui pendaftaran konversi/penegasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Masalah pertanahan yang timbul akibat gempa dan tsunami meliputi 3 (tiga) pokok pilar yang semuanya berkaitan satu sama lain, meliputi: 1.
Subyek (orang), terdiri dari: a.
Subyeknya sudah meninggal atau ahli warisnya sudah tidak ada lagi.
b.
Subyeknya belum meninggal, yang terdiri atas: 1)
subyek yang tinggal di lokasi/daerah tersebut;
2)
subyek
yang
tinggal di
luar lokasi/daerah
bencana; 3)
subyek yang belum cukup umur (di bawah 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk wanita, kecuali sudah menikah).
2.
Obyek (tanah) a.
tanahnya musnah;
b.
tanahnya ada, tetapi tanda-tanda batasnya sudah rusak atau hilang.
3.
Alas hak (bukti penguasaan/pemilikan bidang tanah) rusak atau hilang.
Universitas Sumatera Utara
Hasil kajian menemukan, ada beberapa kebijakan pemulihan aspek yuridis bidang pertanahan yang dilakukan oleh BPN berdasarkan variasi permasalahan, sebagai berikut:
Tabel II.3. Kebijakan Pemulihan Aspek Yuridis Bidang Tanah Berdasarkan Variasi Permasalahan yang Dihadapi No.
Obyek
Subyek
Sertipik at
1.
Ada
Diketah ui
Ada
Dokume n Kantor Ada -
2.
Ada
Diketah ui
Tidak Ada
Tidak Ada
-
3.
Ada
Tidak Diketah ui
Ada
Ada
-
-
5.
Ada
Tidak Ada (tanah musna h)
Sertipik at tetap berlaku sebagai tanda bukti hak
-
4.
Kebijakan
Tidak Diketah ui
Tidak Ada
Diketah ui
Ada
Tidak Ada
-
Ada
-
-
-
Apabila sistem pendaftaran tanah secara digital sudah terbentuk sertipikat diganti baru Penunj ukan batas, pengukuran ulang, pengumuman dan penerbitan sertipikat Pember itahuan kepada ahli waris untuk melapor dan menyerahkan surat keterangan waris Pencata tan peralihan hak Pengu muman Penataa n kembali, konsolidasi atau relokasi Hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus Buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi Pemilik nya memperoleh tanah pengganti atau ganti
Universitas Sumatera Utara
No.
Obyek
Subyek
Sertipik at
Dokume n Kantor
6.
Tidak Ada (tanah musna h)
Diketah ui
Tidak Ada
Ada
7.
Tidak Ada (tanah musna h)
Tidak Diketah ui
Ada
Ada
8.
Tidak Ada (tanah musna h) Ada
Tidak Diketah ui
Tidak Ada
Tidak Ada
Diketah ui Diketah ui
Tidak Ada Ada
Ada
9. 10.
Ada
Kebijakan
kerugian dari Pemerintah/ BRR (Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 48 Tahun 2007) Hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus Buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi Pemilik nya memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian dari Pemerintah/ BRR (Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 48 Tahun 2007)
-
Hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus Buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 3 dan 4 UU No. 48 Tahun 2007) Hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus (Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2007)
-
Tidak Ada
-
Ada
Tidak Diketah ui
Tidak Ada
Ada
-
-
12.
Ada
Tidak Diketah ui
Ada
Tidak Ada
-
-
13.
Tidak
Diketah
Tidak
Ada
Sertipik at hak atas tanah dinyatakan batal
-
11.
Diterbit kan sertipikat yang baru
-
Kantor menerbitkan Pertanahan/Tim Ajudikasi sertipikat baru atas nama pemilik yang lama Subyek yang beragama Islam menjadi harta agama dan dikelola oleh Baitul Mal Subyek yang bukan beragama Islam dikelola oleh Balai Harta Peninggalan (Pasal 8, 9, 10 dan 11 UU No. 48 Tahun 2007) Subyek yang beragama Islam menjadi harta agama dan dikelola oleh Baitul Mal Subyek yang bukan beragama Islam dikelola oleh Balai Harta Peninggalan (Pasal 8, 9, 10 dan 11 UU No. 48 Tahun 2007) Hak
Universitas Sumatera Utara
No.
Obyek
Subyek
Sertipik at
Ada (tanah musna h)
ui
Ada
Dokume n Kantor
Kebijakan
-
-
14.
Tidak Ada (tanah musna h)
Diketah ui
Tidak Ada
Tidak Ada
15.
Tidak Ada (tanah musna h)
Tidak Diketah ui
Tidak Ada
Ada
16.
Tidak Ada (tanah musna h)
Tidak Diketah ui
Ada
Tidak Ada
-
-
atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus Buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi Pemilik nya memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian dari Pemerintah/ BRR (Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 48 Tahun 2007) Hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus Pemilik nya memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian dari Pemerintah/ BRR (Pasal 3 dan 5 UU No. 48 Tahun 2007)
-
Hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus Buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 3 dan 4 UU No. 48 Tahun 2007) Hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus Buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 3 dan 4 UU No. 48 Tahun 2007)
Variasi permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan pemulihan aspek yuridis bidang tanah sebagaimana pada tabel tersebut di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut: Objek (fisik tanah) yang masih ada, subjeknya (pemilik tanah/ahli waris) diketahui, sedangkan sertipikat dan dokumen pada Kantor Pertanahan masih ada, maka kebijakan yang diambil adalah: Sertipikat tetap berlaku sebagai tanda bukti hak
Universitas Sumatera Utara
dan apabila sistem pendaftaran tanah secara digital sudah terbentuk sertipikat diganti baru. Objek ada, subjek diketahui, sedangkan sertipikat dan dokumen pada Kantor Pertanahan tidak ada lagi, maka kebijakan yang diambil adalah Penunjukan batas, pengukuran ulang, pengumuman dan penerbitan sertipikat hak atas tanah. Objek ada, subjek tidak diketahui, sertipikat dan dokumen pada Kantor Pertanahan masih ada, maka kebijakan yang diambil adalah pemberitahuan kepada ahli waris untuk melapor dan menyerahkan surat keterangan waris serta pencatatan peralihan hak. Objek ada, subjek tidak diketahui, sertipikat dan dokumen pada Kantor Pertanahan tidak ada, maka kebijakan yang diambil adalah melakukan pengumuman dan penataan kembali, konsolidasi atau relokasi. Objek tidak ada (tanah musnah), subjek diketahui, sertipikat dan dokumen pada Kantor Pertanahan ada, maka kebijakan yang diambil adalah hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus; buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi dan pemiliknya memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian dari Pemerintah/BRR. Sesuai Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 48 Tahun 2007. Objek tidak ada, subjek diketahui, sertipikat tidak ada dan dokumen pada Kantor Pertanahan masih ada, maka kebijakan yang diambil adalah hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus; buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi dan pemiliknya memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian dari Pemerintah/BRR. Sesuai Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 48 Tahun 2007. Objek tidak ada, subjek tidak diketahui, sertipikat dan dokumen pada Kantor Pertanahan masih ada, maka kebijakan yang diambil adalah hak atas tanah dan yang
Universitas Sumatera Utara
membebaninya menjadi hapus sedangkan buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini sesuai Pasal 3 dan 4 UU No. 48 Tahun 2007. Objek tidak ada, subjek tidak diketahui, sertipikat dan dokumen pada Kantor Pertanahan tidak ada lagi, maka kebijakan yang diambil adalah hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus, hal ini sesuai dengan Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2007. Objek ada, subjek diketahui, sertipikat tidak ada dan dokumen pada Kantor Pertanahan masih ada, maka kebijakan yang diambil adalah diterbitkan sertipikat hak atas tanah yang baru. Objek ada, subjek diketahui, sertipikat masih ada dan dokumen pada Kantor Pertanahan tidak ada lagi, maka kebijakan yang diambil adalah sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan dinyatakan batal dan Kantor Pertanahan/Tim Ajudikasi menerbitkan sertipikat baru atas nama pemilik yang lama. Objek ada, subjek tidak diketahui, sertipikat tidak ada dan dokumen pada Kantor Pertanahan masih ada, maka kebijakan yang diambil adalah apabila subyek beragama Islam maka tanah tersebut menjadi harta agama dan dikelola oleh Baitul Mal sedangkan apabila subyeknya bukan beragama Islam, maka tanahnya dikelola oleh Balai Harta Peninggalan. Hal ini sesuai dengan Pasal 8, 9, 10 dan 11 UU No. 48 Tahun 2007. Objek ada, subjek tidak diketahui, sertipikat masih ada dan dokumen pada Kantor Pertanahan tidak ada lagi, maka kebijakan yang diambil adalah apabila subyeknya beragama Islam, maka tanah tersebut menjadi harta agama dan dikelola oleh Baitul Mal sedangkan apabila subyeknya bukan beragama Islam, tanahnya dikelola oleh
Universitas Sumatera Utara
Balai Harta Peninggalan. Hal ini sesuai dengan Pasal 8, 9, 10 dan 11 UU No. 48 Tahun 2007. Objek tidak ada (tanah musnah), subjek diketahui, sertipikat tidak ada lagi dan dokumen pada Kantor Pertanahan masih ada, maka kebijakan yang diambil adalah hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus; buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi dan pemiliknya memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian dari Pemerintah/BRR. Hal ini sesuai dengan Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 48 Tahun 2007. Objek tidak ada, subjek diketahui, sertipikat dan dokumen pada Kantor Pertanahan tidak ada lagi, maka kebijakan yang diambil adalah hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus dan pemiliknya memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian dari Pemerintah/BRR. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 dan 5 UU No. 48 Tahun 2007. Objek tidak ada, subjek tidak diketahui, sertipikat tidak ada lagi dan dokumen pada Kantor Pertanahan masih ada, maka kebijakan yang diambil adalah hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus dan buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 dan 4 UU No. 48 Tahun 2007. Objek tidak ada, subjek tidak diketahui, sertipikat masih ada dan dokumen pada Kantor Pertanahan tidak ada lagi, maka kebijakan yang diambil adalah hak atas tanah dan yang membebaninya menjadi hapus dan buku tanah, tanda bukti hak, dokumen terkait dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 dan 4 UU No. 48 Tahun 2007.
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik berbasis masyarakat dilaksanakan melalui 14 (empat belas) kegiatan sebagai berikut: 208 1. kegiatan penyiapan infrastruktur pendaftaran; 2. kegiatan delineasi batas dan rekonstruksi bidang; 3. kegiatan identifikasi batas bidang tanah dan kepemilikan tanah; 4. kegiatan musyawarah desa; 5. kegiatan pengukuran rekonstruksi bidang tanah dan verifikasi data yuridis; 6. kegiatan pengecekan letak batas dan kepemilikan bidang tanah; 7. kegiatan pengukuran penataan batas; 8. kegiatan sidang panitia; 9. kegiatan pengumuman data yuridis dan data fisik; 10. kegiatan penyerahan hasil ajudikasi; 11. kegiatan pengesahan peta pendaftaran; 12. kegiatan pembukuan hak; 13. kegiatan penerbitan sertipikat; dan 14. kegiatan penyerahan sertipikat. Penjelasan mekanisme pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik berbasis masyarakat dalam 14 (empat belas) kegiatan tersebut di atas, secara rinci akan dibahas pada BAB III dan BAB IV. 2. Pengaturan Rekonstruksi Pertanahan dalam UU No. 48 Tahun 2007 Peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
tentang
rekonstruksi
pertanahan pasca tsunami (Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005) tidak cukup untuk dijadikan dasar hukum oleh pemerintah dalam melakukan tindakan pemerintahan serta upaya menanggulangi berbagai langkah perbaikan dari sisi fisik maupun psikis untuk mengatasi kondisi yang tidak normal pada daerah yang terkena bencana di Provinsi Aceh. Permasalahan pertanahan sebagai dampak gempa bumi dan tsunami, diperlukan penanganan khusus dan mendesak untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul terutama di bidang pertanahan, dengan menetapkan Peraturan
208
Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 mengatakan: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. Menurut pendapat Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum (Mantan Panitia Rancangan PERPU No. 2 Tahun 2007): 209 “Bahwa rancangan PERPU No. 2 Tahun 2007 telah digodok/disiapkan sejak tahun 2005, yang diharapkan pada tahun 2005 sudah ada, sehingga pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh mempunyai dasar hukum yang kuat terhadap substansi dalam PERPU, namun disayangkan undang-undang itu baru keluar tahun 2007, sebulan kemudian baru keluar UU No. 48 Tahun 2007”. Sejalan dengan Pasal 2 UUD 1945 tersebut, menurut Herman Sihombing, 210 merupakan hukum tata negara dalam keadaan bahaya, yakni sebuah rangkaian pranata dan wewenang secara luar biasa dan istimewa untuk dalam waktu sesingkatsingkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa. Dalam keadaan normal sistem norma hukum diberlakukan berdasarkan konstitusi dan produk hukum lain yang resmi. Dalam keadaan abnormal sistem hukum tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik. Maka pengaturan keadaan darurat mempunyai arti penting sebagai dasar hukum bagi pemerintah mengambil tindakan
209
Hasil wawancara dengan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum (mantan panitia rancangan PERPU No. 2 Tahun 2007), hari Selasa, 10 Juni 2014, pukul 10.00 WIB. 210 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, (Jakarta: PT. Djambatan).
Universitas Sumatera Utara
guna mengatasi keadaan abnormal tersebut. Pada keadaan abnormal (darurat) pranata hukum yang diciptakan untuk keadaan normal tidak dapat bekerja. Secara umum, hukum negara dalam keadaan darurat diberlakukan dalam keadaan yang sangat genting. Hukum tata negara darurat menurut doktrin ada dua yakni hukum tata negara darurat objektif dan subjektif. Hukum tata negara darurat subjektif adalah hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang atau bahkan ketentuan undang-undang dasar. Sedangkan hukum tata negara darurat objektif adalah Hukum Tata Negara yang berlaku ketika negara berada dalam keadaan darurat, bahaya, atau genting. Menurut Jimly As-Shiddiqie, negara berada dalam keadaan darurat sehingga diberlakukan hukum darurat jika terjadi beberapa keadaan di bawah ini: 211 1. keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar negeri; 2. keadaan bahaya karena tentara nasional sedang berperang di luar negeri; 3. keadaan bahaya karena peperangan yang terjadi di dalam negeri atau ancaman pemberontakan bersenjata oleh kelompok separatis di dalam negeri; 4. keadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan ketegangan sosial yang menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan konstitusional tidak dapat berfungsi sebagai mestinya; 5. keadaan bahaya karena terjadinya bencana alam (natural disaster) atau kecelakaan yang dahsyat yang menimbulkan kepanikan, ketegangan dan mengakibatkan mesin pemerintahan konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; 6. keadaan bahaya karena tertib hukum dan administrasi yang terganggu atau menyebabkan mekanisme administrasi negara tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; 7. keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara seperti yang dalam UUD India disebut “financial emergency” 212 dan kondisi administrasi negara yang 211
Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hal. 68-70. Lihat juga Hukum Negara dalam Keadaan Darurat http://yamicloud.blogspot.com/2013/04/hukum-negara-dalam-keadaan(Staatsnoodrecht), darurat.html/diakses pada tanggal 22 Januari 2014, pukul 7.34 WIB. 212 Article 360 Konstitusi India.
Universitas Sumatera Utara
8.
tidak mendukung atau di mana ketersediaan keuangan negara yang tidak memungkinkan dilaksanakannya tugas-tugas pemerintahan oleh lembagalembaga penyelenggara negara sebagaimana mestinya sementara kebutuhan untuk bertindak sudah sangat genting dan mendesak untuk dilakukan 213; dan keadaan lain di mana fungsi-fungsi kekuasaan konstitusional yang sah tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Berdasarkan point no. 5 tersebutlah lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara (kemudian ditetapkan pada tanggal 28 Desember 2007 menjadi Undang-Undang No. 48 Tahun 2007). Undang-Undang tersebut menjadi payung hukum dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pada wilayah bencana di Aceh. Beberapa ketentuan yang perlu dimuat untuk mengatasi penyelesaian di bidang hukum antara lain untuk mengatasi akibat hukum bagi tanah musnah karena gempa dan tsunami yang tidak dapat lagi difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan oleh pemiliknya, di mana Pemerintah melaksanakan program penggantian tanah. Konsekuensi penggantian tersebut adalah bahwa semua buku tanah, sertipikat hak atas tanah, dan dokumen yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan atas buktibukti kepemilikan lainnya tidak berlaku. Selanjutnya untuk tanah yang musnah akan dilakukan penataan kembali dengan memperhatikan tata ruang. Di samping itu banyak nasabah bank yang mempunyai simpanan atau hutangnya di bank telah 213
G.S. Pande, Constitutional Law of India, 9th Edition, (Allahabad Law Agency, 2003), hal.
659.
Universitas Sumatera Utara
meninggal atau hilang akibat bencana tersebut harus diumumkan oleh bank untuk dapat diketahui ahli warisnya agar bank dapat menyelesaikan aktiva dan pasiva nasabah tersebut secara baik dan adil. UU No. 48 Tahun 2007 mempunyai tujuan untuk mempercepat pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh. 214 Fokus kajian rekonstruksi pertanahan dalam UU No. 48 Tahun 2007, meliputi: 1) tanah yang terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami; 2) kepemilikan dan pengelolaan tanah; 3) dokumen; dan 4) biaya, bea dan pajak. Ad.1) Tanah yang terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami Pengaturan mengenai tanah yang terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami dalam UU No. 48 Tahun 2007 meliputi; tanah musnah, 215 tanah yang masih ada dan telah terdaftar 216 serta tanah yang masih ada tetapi belum terdaftar. 217 Berdasarkan Pasal 4 UU No. 48 Tahun 2007, hak atas tanah musnah termasuk hak yang membebani tanah musnah menjadi hapus dan buku tanah, tanda bukti hak dan dokumen yang berkaitan dengan tanah atau bukti kepemilikan lain atas tanah musnah dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai tanda bukti yang sah. 214
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. 215 Tanah Musnah adalah tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam dan tidak dapat diidentifikasi lagi sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Lihat Pasal 1 angka 2 UU 48 Tahun 2007. 216 Tanah yang masih ada dan telah terdaftar adalah tanah yang telah dilakukan pendaftaran sesuai dengan PP No. 10 Tahun 1961 atau PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 217 Tanah yang masih ada tetapi belum terdaftar adalah tanah yang belum dilakukan pendaftaran sesuai dengan PP No. 10 Tahun 1961 atau PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Universitas Sumatera Utara
Pemilik tanah musnah baik yang telah terdaftar maupun yang belum terdaftar sesuai Pasal 5, memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian melalui pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang telah ditetapkan dari pemerintah daerah atau Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006) menyatakan bahwa penggantian tanah musnah korban tsunami diberikan dalam bentuk relokasi melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. 218 Pengaturan tanah musnah dalam UU No. 48 Tahun 2007 tersebut merupakan terobosan baru dalam hukum tanah Indonesia, karena adanya perhatian Pemerintah terhadap korban bencana alam tsunami di Provinsi Aceh sedangkan dalam UUPA tidak mengenal adanya tanah pengganti bagi pemilik tanah musnah dan dalam UUPA hanya menyebutkan tanah musnah menyebabkan putusnya hubungan hukum atau hapusnya hak seseorang atas tanahnya sebagaimana diatur dalam Pasal 27, 34 dan Pasal 40 tentang hapusnya hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2007, menyebutkan penetapan dan pengumuman tanah musnah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan asas transparansi, akuntabilitas dan keadilan. Pasal tersebut juga mengharuskan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan pengumuman tanah musnah ditetapkan
218
Hasil Wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006) di Banda Aceh, hari Senin, 25 Nopember 2013, pukul 11.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
dengan Peraturan Kepala BPN. Berdasarkan hasil penelitian sampai berakhirnya penelitian ini belum diterbitkan Peraturan Kepala BPN dimaksud. Tanah yang masih ada baik terdaftar maupun tidak terdaftar, yang dapat diidentifikasi maupun tidak, dilakukan pengukuran kembali dan penetapan batas berdasarkan penunjukkan batas oleh pemegang hak atas tanah atau ahli waris bersama masyarakat, pejabat kelurahan, gampong, atau desa setempat dan Kepala Kantor Pertanahan untuk kemudian dibuatkan sertipikat hak atas tanah. 219 Pasal 6 UU No. 48 Tahun 2007, merupakan dasar hukum partisipasi masyarakat
dalam
rekonstruksi
pertanahan
pasca
tsunami.
Partisipasi
warga/masyarakat diawali dengan dilakukannya kesepakatan warga. Kesepakatan warga di sini adalah kesepakatan seluruh warga, khususnya pemilik tanah (termasuk ahli waris/wali) tentang: 1) batas-batas bidang tanah yang ada di desa/kelurahan, dengan melaksanakan pemasangan patok-patok tanda batas untuk setiap bidang tanah; 2) pemilikan atas bidang-bidang tanah tersebut termasuk kesepakatan waris dan atau wali; 3) penandaan seluruh bidang tanah dalam suatu peta skala besar yang disediakan oleh BPN melalui Tim Ajudikasi setempat; dan 4) daftar nama penguasaan/pemilikan bidang tanah. Pasal 7 ayat (1 dan 2) UU No. 48 Tahun 2007, menyebutkan tanah yang sudah terdaftar tetapi tanda bukti haknya rusak, hilang, atau musnah, diterbitkan tanda bukti hak pengganti dengan sistem penomoran identitas bidang. Dengan penerbitan tanda bukti hak pengganti maka tanda bukti hak atas tanah yang lama dinyatakan tidak 219
Pasal 6 UU No. 48 Tahun 2007.
Universitas Sumatera Utara
berlaku lagi. Selanjutnya ayat (3 dan 4) menyebutkan tanah yang belum terdaftar dapat dilakukan pengakuan hak atau penegasan hak oleh Kepala kantor Pertanahan serta pemberian hak atas tanah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada ayat (5) menyebutkan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan dengan sistem penomoran identitas bidang. Berdasarkan Pasal 7 tersebut, penanganan terhadap tanah yang masih ada pasca tsunami dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu; penggantian sertipikat karena rusak atau hilang dan pendaftaran tanah pertama kali baik melalui pengakuan atau penegasan hak terhadap bekas tanah hak milik adat maupun melalui pemberian hak atas tanah (tanah negara). Proses penggantian sertipikat karena bukti haknya rusak, hilang atau musnah tidak disebutkan secara rinci dalam UU No. 48 Tahun 2007, sedangkan dalam Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 114-II.2005 hanya mengatur penerbitan sertipikat melalui kegiatan pendaftaran tanah pertama kali. Pengaturan tentang penggantian sertipikat rusak, hilang atau musnah dapat dilihat dalam PP No. 24 Tahun 1997. Pasal 57 sampai dengan Pasal 60 PP No. 24 Tahun 1997 220 yang memberi ketentuan tentang penerbitan sertipikat pengganti
220
Pasal 57 PP No. 24 Tahun 1997, menyebutkan: (1) atas permohonan pemegang hak diterbitkan sertipikat baru sebagai pengganti sertipikat yang rusak, hilang, masih menggunakan blanko sertipikat yang tidak digunakan lagi, atau yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi; (2) permohonan sertipikat pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan atau pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 41, atau akta
Universitas Sumatera Utara
bahwa dengan penerbitan tanda bukti hak pengganti baru maka tanda bukti hak atas tanah yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi. Mengenai penerbitan sertipikat pengganti terdapat ketentuannya lebih lanjut dalam Pasal 137 sampai dengan Pasal 139 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (1), atau surat sebagaimana dimaksud Pasal 53, atau kuasanya; (3) dalam hal pemegang hak atau penerima hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah meninggal dunia, permohonan sertipikat pengganti dapat diajukan oleh ahli warisnya dengan menyerahkan surat tanda bukti sebagai ahli waris; (4) penggantian sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat pada buku tanah yang bersangkutan. Pasal 58 PP No. 24 Tahun 1997, menyebutkan: Dalam hal penggantian sertipikat karena rusak atau pembaharuan blanko sertipikat, sertipikat yang lama ditahan dan dimusnahkan. Pasal 59 PP No. 24 Tahun 1997, menyebutkan: (1) permohonan penggantian sertipikat yang hilang harus disertai pernyataan di bawah sumpah dari yang bersangkutan dihadapan Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk mengenai hilangnya sertipikat hak yang bersangkutan; (2) penerbitan sertipikat pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan pengumuman 1 (satu) kali dalam salah satu surat kabar harian setempat atas biaya pemohon; (3) jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dihitung sejak hari pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada yang mengajukan keberatan mengenai akan diterbitkannya sertipikat pengganti tersebut atau ada yang mengajukan keberatan akan tetapi menurut pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan keberatan tersebut tidak beralasan, diterbitkan sertipikat baru; (4) jika keberatan yang diajukan dianggap beralasan oleh Kepala Kantor Pertanahan, maka ia menolak menerbitkan sertipikat pengganti. (5) mengenai dilakukannya pengumuman dan penerbitan serta penolakan penerbitan sertipikat baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dibuatkan berita acara oleh Kepala Kantor Pertanahan; (6) sertipikat pengganti diserahkan kepada pihak yang memohon diterbitkannya sertipikat tersebut atau orang lain yang diberi kuasa untuk menerimanya; (7) untuk daerah-daerah tertentu Menteri dapat menentukan cara dan tempat pengumuman yang lain daripada yang ditentukan pada ayat (2). Pasal 60 PP No. 24 Tahun 1997, menyebutkan: (1) penggantian sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam lelang eksekusi didasarkan atas surat keterangan dari Kepala Kantor Lelang yang bersangkutan yang memuat alasan tidak dapat diserahkannya sertipikat tersebut kepada pemenang lelang; (2) Kepala Kantor Pertanahan mengumumkan telah ditertibkannya sertipikat pengganti untuk hak atas tanah atau milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak berlakunya lagi sertipikat yang lama dalam salah satu surat kabar harian setempat atas biaya pemohon.
Universitas Sumatera Utara
1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Peraturan MNA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997). 221 Untuk penerbitan sertipikat pengganti tidak dilakukan pengukuran maupun pemeriksaan tanah dan nomor hak tidak diubah. 222 Sedangkan UU No. 48 Tahun 2007, penerbitan sertipikat pengganti tetap dilakukan pengukuran maupun pemeriksaan tanah dan nomor hak dilakukan dengan sistem penomoran
221
Pasal 137 menyebutkan: (1) permohonan penerbitan sertipikat pengganti karena rusak atau karena masih menggunakan blangko sertipikat lama dapat diajukan oleh yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikat atau sisa sertipikat yang bersangkutan; (2) sertipikat dianggap rusak apabila ada bagian yang tidak terbaca atau ada halaman yang sobek atau terlepas, akan tetapi masih tersisa bagian sertipikat yang cukup untuk mengidentifikasi adanya sertipikat tersebut; (3) penerbitan sertipikat karena masih menggunakan blangko lama meliputi juga penggantian sertipikat hak atas tanah dalam rangka pembaharuan atau perubahan hak yang menggunakan sertipikat lama dengan mencoret ciri-ciri hak lama dan menggantinya dengan ciri-ciri hak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3). Pasal 138 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, menyebutkan: (1) penerbitan sertipikat pengganti karena hilang didasarkan atas pernyataan dari pemegang hak mengenai hilangnya sertipikat tersebut yang dituangkan dalam Surat Pernyataan seperti contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran 25; (2) pernyataan tersebut dibuat di bawah sumpah di depan Kepala Kantor Pertanahan letak tanah yang bersangkutan atau Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atau pejabat lain yang ditunjuk Kepala Kantor Pertanahan; (3) dalam hal pemegang atau para pemegang hak tersebut berdomisili di luar Kabupaten/Kotamadya letak tanah, maka pembuatan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat dilakukan di Kantor Pertanahan di domisili yang bersangkutan atau di depan pejabat Kedutaan Republik Indonesia di negara domisili yang bersangkutan; (4) dengan mengingat besarnya biaya pengumuman dalam surat kabar harian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 PP No. 24 Tahun 1997 dibandingkan dengan harga tanah yang sertipikatnya hilang serta kemampuan pemohon, Kepala Kantor Pertanahan dapat menentukan bahwa pengumuman akan diterbitkannya sertipikat tersebut ditempatkan di papan pengumuman Kantor Pertanahan dan di jalan masuk tanah yang sertipikatnya hilang dengan papan pengumuman yang cukup jelas untuk dibaca orang yang berada di luar bidang tanah tersebut; (5) sebagai tindak lanjut pengumuman akan diterbitkannya sertipikat pengganti, maka dibuat Berita Acara Pengumuman dan Penerbitan/Penolakan Penerbitan Sertipikat Pengganti dengan menggunakan daftar isian 304A. Pasal 139 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, menyebutkan: Untuk penerbitan sertipikat pengganti tidak dilakukan pengukuran maupun pemeriksaan tanah dan nomor hak tidak diubah. 222 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Edisi Revisi, Cetakan 10, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 502.
Universitas Sumatera Utara
identitas bidang. Berdasarkan kajian pengukuran ulang sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 48 Tahun 2007 dalam rangka memastikan keberadaan fisik tanah yang pada saat bencana tsunami banyak tanah-tanah yang tidak jelas/rusak bahkan tidak ditemukan lagi batas-batasnya. Permohonan hanya dapat diajukan oleh pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan atau oleh pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dibuat dalam hal dilakukan pemindahan hak atau peralihan karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi dalam rangka likuidasi. 223 Dalam hal pemegang hak atau penerima hak yang dimaksudkan di atas sudah meninggal dunia, permohonan sertipikat pengganti dapat diajukan oleh ahli warisnya, dengan menyerahkan surat tanda bukti sebagai ahli waris. Penggantian sertipikat yang rusak atau pembaharuan blankonya dapat segera dilaksanakan dengan penyerahan sertipikat yang diganti. Tetapi penggantian sertipikat yang hilang harus melalui tata cara untuk mencegah penyalahgunaan kemungkinan penerbitan sertipikat penggantinya. Permohonannya harus disertai pernyataan sumpah oleh pemohon di hadapan Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuknya, mengenai hilangnya sertipikat yang bersangkutan. Diikuti dengan pengumuman satu kali dalam salah satu surat kabar harian setempat atas biaya pemohon, untuk memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan. Di daerah-daerah tertentu menteri dapat menentukan cara 223
Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 503.
Universitas Sumatera Utara
pengumuman yang lain, apabila biaya yang diperlukan tidak sebanding dengan harga tanah yang bersangkutan. 224 Penggantian sertipikat dicatat pada buku tanah yang bersangkutan. Oleh Kepala Kantor Pertanahan diadakan pengumuman mengenai telah diterbitkannya sertipikat pengganti tersebut dan tidak berlakunya lagi sertipikat yang lama dalam salah satu surat kabar harian setempat atas biaya pemohon. Sertipikat pengganti diserahkan kepada pihak yang memohon penggantian atau pihak lain yang diberi kuasa olehnya untuk menerimanya. Berdasarkan kajian Tim Ajudikasi RALAS hanya melakukan pendaftaran tanah pertama kali dan tidak melakukan pendaftaran tanah atau pembuatan sertipikat pengganti karena bukti haknya rusak, hilang atau musnah. Tim Ajudikasi Ralas dalam melakukan pendaftaran tanah pasca tsunami mempedomani kepada Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 114-II.2005 dimana dalam surat keputusan tersebut tidak mengatur tentang pensertipikatan pengganti. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (mantan Project Manager RALAS Tahun 2006), yang menyatakan bahwa Tim Ajudikasi Ralas hanya melakukan pendaftaran tanah pertama kali terhadap bidang-bidang tanah di lokasi tsunami. 225
224
Pasal 59 PP No. 24 Tahun 1997. Hasil Wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006) di Banda Aceh, hari Senin, 25 Nopember 2013, pukul 11.00 WIB. 225
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (mantan Project Manager RALAS Tahun 2008): 226 “Setelah terbitnya UU No. 48 Tahun 2007, penanganan sertipikat pengganti dilaksanakan secara khusus yaitu oleh Kantor Pertanahan dan bukan oleh Tim Ajudikasi. Mengingat dalam Surat Keputusan Kepala BPN No. 114-II.2005 tidak mengatur tentang penggantian sertipikat hilang maka dalam pelaksanaannya berpedoman kepada PP No. 24 Tahun 1997”. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (mantan Project Manager RALAS Tahun 2006): 227 “Pembuatan sertipikat pengganti terhadap bidang-bidang tanah di lokasi tsunami tidak dapat sepenuhnya mempedomani PP No. 24 Tahun 1997, seperti halnya pengambilan sumpah, oleh karena berkaitan dengan sumpah tidak dilakukan, namun tetap dilakukan pengumuman di media cetak (koran) dan biaya pengumuman tidak dibebankan kepada pemilik tanah atau ahli warisnya”. Berdasarkan analisis tidak dilakukan sumpah terhadap sertipikat pengganti karena bukti haknya hilang, rusah atau musnah sebagaimana dimaksud dalam PP No. 24 Tahun 1997, merupakan suatu kebijakan dalam rangka mempermudah prosedur dan percepatan pengembalian hak-hak atas tanah korban tsunami dan juga karena penggantian sertipikat tersebut dilakukan secara massal. Tanah yang masih ada pasca tsunami yang belum terdaftar yang berasal dari bekas tanah hak milik adat, 228 dapat dilakukan pengakuan atau penegasan hak oleh
226
Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2008) di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013 Pukul 14.00 WIB. 227 Hasil Wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006) di Banda Aceh, hari Senin, 25 Nopember 2013, pukul 11.00 WIB. 228 Tanah hak milik adat dalam UUPA disebut dengan Hak Ulayat. Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 185, 186. Menurut Badruzzaman Ismail, Hak Tanah Glee/Ulayat dari aspek alamiah dasar merupakan hak dari persekutuan atas tanah yang didiami (wilayah kekuasaan/beschikkingsgebied), sedangkan pelaksanaannya dilakukan masyarakat itu atau oleh kepala masyarakat atas nama persekutuan. Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh dalam Membangun Kesejahteraan (Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian), (Banda Aceh: CV. Boebon Jaya, 2013), hal. 287.
Universitas Sumatera Utara
Kantor Pertanahan untuk diterbitkan tanda bukti hak. Tanah yang belum terdaftar yang berasal dari tanah negara dapat diberikan hak atas tanah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendaftaran tanah tersebut, dilaksanakan dengan sistem penomoran identitas bidang. 229 Pendaftaran tanah yang belum terdaftar pasca tsunami (pendaftaran tanah pertama kali) diatur secara terinci dalam Surat Keputusan Kepala BPN No. 114II.2005 sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya dan dilaksanakan oleh Tim Ajudikasi RALAS. Ad.2) Kepemilikan dan pengelolaan tanah Tanah merupakan salah satu harta yang paling utama bagi seluruh umat manusia untuk menjalani kehidupannya termasuk di Provinsi Aceh. Namun berdasarkan keistimewaan dan kekhususan yang diberikan oleh undang-undang khusus kepada Provinsi Aceh (UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh), maka tanah-tanah yang masih ada yang ahli warisnya sudah tidak ada lagi dan beragama Islam, maka tanahnya berada di bawah pengelolaan Baitul Mal. 230 Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2007 menyebutkan tentang peralihan hak. Sebagai suatu hak yang bersifat kebendaan, hak atas tanah dapat beralih dan diperalihkan. Suatu hak atas tanah akan beralih jika kepemilikannya berpindah kepada orang lain 229
Ibid, Pasal 7 UU No. 48 Tahun 2007. Baitul Mal adalah Lembaga Agama Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berwenang menjaga, memelihara, mengembangkan, dan mengelola harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali pengawas berdasarkan Syariat Islam. Ibid, Pasal 1 angka 6 UU No. 48 Tahun 2007. Bandingkan juga dengan Pasal 2 Peraturan Gubernur Aceh Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Harta Agama yang Tidak Diketahui Pemilik dan Ahli Warisnya serta Perwalian (selanjutnya disebut Pergub Aceh No. 11 Tahun 2010). 230
Universitas Sumatera Utara
tanpa melalui suatu perbuatan hukum, tetapi beralih akibat terjadinya suatu peristiwa hukum tertentu, misalnya karena terjadi kematian atau meninggalnya seseorang maka harta peninggalannya beralih kepada ahli warisnya. Suatu hak atas tanah dapat diperalihkan jika melalui suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah tersebut. Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena jual beli, hibah, tukar-menukar atau perbuatan lain yang bersifat mengalihkan hak atas tanah. 231 Menurut Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan apa yang dimaksud beralih dan diperalihkan, tetapi hanya diatur tentang peralihan suatu hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Secara teoritis berdasarkan ketentuan dalam hukum kebendaan suatu hak atas kebendaan dikatakan “beralih” yaitu suatu proses berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia. Proses seperti ini disebut dengan pewarisan. Peralihan hak atas tanah tersebut terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya seorang pemegang hak atas tanah, maka secara otomatis hak atas tanah tersebut beralih kepada ahli warisnya.
231
J. Andy Hartanto, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertipikat, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009), hal. 41-42.
Universitas Sumatera Utara
Jadi, ahli waris di sini memperoleh peralihan hak atas tanah karena suatu peristiwa hukum tertentu, bukan karena perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah selaku subyek hukum. Suatu hak atas tanah dialihkan atau diperalihkan apabila hak atas tanah tersebut dipindahkan atau dipindahtangankan dari/oleh pemegang hak selaku subyek hukum/hak kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak atas tanah yang dialihkan. Jadi peralihan hak atas tanah terjadi karena memang disengaja dan merupakan hak kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak atas tanah yang dialihkan. Jadi peralihan hak atas tanah terjadi karena memang disengaja melalui suatu perbuatan hukum antara pemegang hak lama dengan pihak kedua yang akan menjadi penerima hak dan sekaligus nantinya adalah sebagai pemegang hak baru. Dilihat dari sudut pandang konsep kepemilikan, maka bagi pihak yang secara hukum memiliki hak atas tanah, baik yang telah didaftarkan maupun belum didaftarkan dapat mengalihkan hak atas tanah yang dimilikinya. Mengalihkan hak atas tanah, maksudnya memindahkan hak atas tanah yang dimiliki kepada pihak lain, dengan pemindahan dimaksud, maka haknya akan berpindah. Hak (right) yang dimaksud, adalah hubungan hukum yang melekat sebagai pihak yang berwenang atau berkuasa untuk melakukan tindakan hukum. Di dalam terminologi hukum kata-kata
Universitas Sumatera Utara
“right” diartikan hak yang legal, atau dasar untuk melakukan sesuatu tindakan secara hukum. 232 Secara yuridis, peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui beberapa proses, antara lain: 233 1. jual beli; 2. hibah; 3. tukar menukar; 4. pemisahan dan pembagian biasa; 5. pemisahan dan pembagian harta warisan; 6. penyerahan hibah wasiat; 7. hipotik; 8. credit verband. Perkembangannya, peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena adanya Hak Tanggungan dan wakaf. Menurut Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 Pasal 1 menentukan, bahwa: “Pemindahan hak, ialah jual beli termasuk pelelangan di muka umum, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk mengalihkan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain”. Terkait dengan pemindahan atau peralihan hak atas tanah, dilihat dari karakteristik hak dan proses peralihan haknya, memiliki unsur hukum yang berbeda, terutama yang terkait dengan syarat formil dan materiil, prosedur, maupun mekanisme yang sangat ditentukan oleh sifat atau keadaan subyek dan obyek hak. Namun demikian syarat utama adalah harus adanya alat bukti hak atas tanah, yakni bukti kepemilikan secara tertulis (formil) yang berupa “sertipikat” (untuk tanah yang 232
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Dinar Grafika, 2000), hal. 487. 233 Soetomo, Pedoman Jual Beli Tanah Peralihan Hak & Sertipikat, (Malang: Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya, 1981), hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
telah didaftarkan), maupun “bukti pendukung” (untuk tanah yang belum didaftarkan atau belum bersertipikat). Bukti yang dimaksud dapat berupa: akta jual beli, hibah, fatwa waris, surat keputusan pemberian hak atas tanah dan bangunan, dan lain-lain. Hal tersebut untuk memberikan kepastian dan kekuatan hukum atas kepemilikan tanah, sehingga peralihan hak atas tanah tersebut memenuhi syarat legalitas menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peralihan hak atas tanah menurut yuridis dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Langkah tersebut terkait erat dengan prosedur peralihan hak atas tanah, karena prosedur menentukan legalitas dari peralihan hak. Dengan demikian legalitas peralihan hak atas tanah sangat ditentukan oleh syarat formil maupun materiil, prosedur dan kewenangan bagi pihak-pihak terkait, baik kewenangan mengalihkan maupun kewenangan pejabat untuk bertindak. Prosedur hukum beralihnya suatu hak atas tanah dapat ditelusuri baik sebelum maupun setelah berlakunya UUPA. Menurut ketentuan tersebut terlihat jelas bahwa peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Dengan demikian ada unsur absolut yang harus dipenuhi dalam mengalihkan hak atas tanah, yakni adanya akta peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT. 234 Berbeda halnya peralihan hak atas tanah di wilayah yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami, PPAT atau Notaris dilarang membuat akta peralihan 234
J. Andy Hartanto, Op.Cit, hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
penguasaan, pemilikan, atau pembebanan sebelum diketahui secara jelas data yuridis dan data fisiknya. 235 PPAT dan/atau Notaris yang tetap membuat akta peralihan penguasaan, pemilikan, atau pembebanan terhadap tanah di wilayah yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami di hadapannya, maka akta yang dibuat tersebut batal demi hukum. PPAT atau Notaris yang melanggar larangan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 236 yang berlaku yaitu untuk notaris berlaku UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dan bagi PPAT berlaku PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Selain sanksi administratif yang diterima oleh PPAT atau Notaris yang membuat akta peralihan penguasaan, pemilikan, atau pembebanan terhadap tanah di wilayah yang terkena gempa bumi dan tsunami sebelum diketahui secara jelas data yuridis dan data fisiknya, dapat juga dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima tahun) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 237 Senada dengan ketentuan Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2007 di atas, BPN juga mengeluarkan keputusan yang melarang pengalihan (penjualan) tanah sebagai suatu upaya untuk melindungi para korban tsunami yang rentan dari tekanan-tekanan untuk
235
Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2007. Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2007. 237 Pasal 33 UU No. 48 Tahun 2007. 236
Universitas Sumatera Utara
dengan segera mengalihkan tanah mereka pada saat bergumul dengan kesedihan, rasa kehilangan, cedera dan penyakit. 238
Ad.3) Dokumen Dokumen pertanahan dapat berupa dokumen tertulis atau dokumen elektronik. Dokumen pertanahan dalam bentuk elektronik berlaku sebagai alat bukti yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan dokumen tertulis. Apabila dokumen pertanahan dalam bentuk elektronik akan diterbitkan sebagai produk hukum tertulis maka dapat dilakukan pencetakan dokumen elektronik. Data dokumen pertanahan dalam bentuk elektronik yang telah diterbitkan sebagai produk hukum tertulis, tetap disimpan di dalam database pertanahan. Pasal 14 UU No. 48 Tahun 2007 dan Pasal 35 PP No. 24 Tahun 1997 di atas, tidak ada menjelaskan bagaimana langkah-langkah perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap dokumen pertanahan yang rusak, musnah atau hilang. Berdasarkan penelusuran di lapangan, terdapat beberapa langkah-langkah yang dilakukan oleh BPN terhadap dokumen pertanahan yang rusak, musnah atau hilang, yaitu: Penanganan Dokumen Pertanahan yang berasal dari Kantah yang terkena tsunami. Mobilisasi dari Aceh ke Jakarta, stabilisasi/ penyimpanan dengan cold storage, pengeringan/vacuum freeze dry chamber, demobilisasi Jakarta ke Aceh, dan penataan dokumen berjumlah: ± 15 ton.
238
Laporan Bersama BRR dan Mitra Internasional. Aceh dan Nias Satu Tahun Setelah Tsunami: Upaya Pemulihan dan Langkah ke Depan, Desember 2005.
Universitas Sumatera Utara
Buku tanah sebagian besar dapat diselamatkan dan telah dilakukan penyelamatan, kegiatan ini merupakan kerjasama BPN, Arsip Nasional dan JICA, melalui teknologi tinggi yang penanganannya dilakukan di Jakarta. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, bahwa dokumen pertanahan tersebut sudah dikembalikan ke Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Kakanwil BPN Provinsi Aceh dalam masa pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. 239 Berdasarkan Pasal 192 Peraturan MNA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa semua daftar umum dan dokumen-dokumen yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran merupakan dokumen Negara. Dokumendokumen pertanahan tersebut harus dijaga dengan baik, karena merupakan arsip hidup yang selalu dipergunakan oleh BPN terutama dalam kegiatan pendaftaran selanjtunya. Berdasarkan
kajian
dalam
rangka
penyelamatan
dokumen-dokumen
pertanahan terutama yang berada pada Kantor Pertanahan dan untuk menghindari kerusakan atau hilangnya dokumen akibat peristiwa bencana alam seperti peristiwa tsunami di Provinsi Aceh maka dokumen-dokumen pertanahan baik dalam bentuk tertulis maupun elektronik harus disimpan dalam tempat yang aman seperti dalam suatu “Bank Data Pertanahan”, sehingga apabila terjadi kejadian seperti tsunami di Aceh, maka dokumen tersebut masih tetap ada di “Bank Data Pertanahan”.
239
Hasil wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, hari Selasa, 25 Maret 2014, pukul
10.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Ad.4) Biaya, Bea, dan Pajak 240 Mengingat situasi dan kondisi yang ada di wilayah bencana tidak memungkinkan maka masyarakat yang terkena bencana tsunami tidak diwajibkan membayar biaya, bea dan pajak sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Permohonan penerbitan tanda bukti hak pengganti, konversi hak atas tanah, pengakuan hak atas tanah, atau penetapan hak atas tanah dan pendaftarannya bagi masyarakat di wilayah pasca bencana gempa bumi dan tsunami tidak dikenakan biaya, bea, dan pajak sampai dengan tahun 2009. 241 Dalam rangka memberikan kemudahan penyediaan hak atas tanah dan bangunan yang diperuntukkan bagi korban bencana alam nasional yang melanda Aceh, Pemerintah “menggratiskan” penerbitan tanda bukti hak pengganti, konversi hak atas tanah, pengakuan hak atas tanah, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), 242 dengan mengeluarkan
240
Biaya adalah uang yang dikeluarkan untuk mengadakan (mendirikan, melakukan dsb) sesuatu; ongkos; belanja; pengeluaran. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 129. Bea adalah 1) pajak; cukai; 2) biaya; ongkos, Ibid, hal. 103. Pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dsb. Ibid, hal. 715. 241 Ibid, Pasal 15 UU No. 48 Tahun 2007. 242 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang disingkat dengan BPHTB, diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu dengan UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Dalam UU No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 (disebut dengan UU BPHTB), memberikan pengertian mengenai BPHTB, yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Jadi BPHTB adalah sama dengan Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Yang dimaksud dengan Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, UU BPHTB menyebutkan bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Sejak 1 Januari 2011, BPHTB masuk dalam pajak daerah. Pengalihan wewenang pemungutan atau devolusi BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
sebagai
dasar
hukumnya
yaitu
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
104/PMK.01/2005 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Konteks Pasal 61 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 19 ayat (4) UUPA, biaya pendaftaran tanah diberikan “gratis”, hanya kepada dua hal, yaitu: 1.
jika pemohon dapat membuktikan tidak mampu membayar biaya tersebut;
2.
untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris.
amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dengan demikian per tanggal 1 Januari 2011 Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) sudah tidak lagi melayani pengelolaan pelayanan BPHTB, sehingga wajib pajak yang akan melaporkan pembayaran BPHTB sehubungan dengan proses transaksi properti yang dilakukannya akan langsung ditangani oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. http://eddiwahyudi.com/2010/12/31/mulai-1januari-2011-bphtb-telah-resmi-menjadi-pajak-daerah/diakses pada tanggal 12 Juni 2014, pukul 9.03 WIB.
Universitas Sumatera Utara