BAB II KETERKAITAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI PROVINSI ACEH DENGAN HUKUM PIDANA NASIONAL
A. Kedudukan Syariat Islam Di Provinsi Aceh dalam Sistem Hukum Nasional Dalam perspektif teori sistem hukum menyangkut tiga elemen, yaitu substansi hukum, struktur dan budaya hukum (sistem hukum/legal system), Friedman menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture). Aspek struktur (structure) oleh Friedman dirumuskan sebagai berikut : “The structure of a legal system consists of elements of this kind: the number and size of courts; their yurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and how and why), and modes of appeal from one court to another. Structure also means how the legislature is organized, how many members sit on the Federal Trade Commission, what a president can (legally) do or not do, what procedures the police department follows, and so on.” 47 Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum (substance). Penjelasan Friedman terhadap substansi hukum adalah sebagai berikut : “By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system.This is, first of all, “the law” in the popular sense of the term – the fact that
47
Lawrence M. Friedman, American Law, (New York, London : WW Norton Company, 1984), hal.
5.
Universitas Sumatera Utara
the speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars can be sent to prison, that ‘by law’ a pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar.” 48 Friedman mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang ada, norma-norma dan aturan tentang perilaku manusia, atau yang biasanya dikenal orang sebagai “hukum” itulah substansi hukum. Selanjutnya, Friedman mengartikan budaya hukum sebagai sikap dari masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, tentang keyakinan, nilai, gagasan, serta harapan masyarakat tentang hukum. Dalam tulisannya, Friedman merumuskannya sebagai berikut : “By this we mean people’s attitudes toward law and the legal system their beliefs, values, ideas, and expectations. In other words, it is that part of the general culture which concerns the legal system.” Untuk menjelaskan hubungan antara ketiga elemen sistem hukum tersebut, Friedman dengan jelas sekali membuat sebuah ilustrasi yang menggambarkan sistem hukum sebagai suatu “proses produksi” dengan menempatkan mesin sebagai “struktur”, kemudian produk yang dihasilkan sebagai “substansi hukum”, sedangkan bagaimana mesin ini digunakan merupakan representasi dari elemen “budaya hukum”. Dalam bahasanya, Friedman merumuskan ilustrasi tersebut sebagai berikut :
48
Ibid, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
“Another way to visualize the three elements of law is to imagine legal “structure” as a kind of machine. “Substance” is what the machine manufactures or does. The “legal culture” is whatever or whoever decides to turn the machine on and off, and determines how it will be used.” 49 Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, terdapat satu kesatuan sistem hukum yang jenis dan hierarkinya dituangkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis dan hirarkhi yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa peraturan daerah meliputi peraturan daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota, dan peraturan desa/peraturan setingkat. Ketentuan lain yang berkaitan dengan hirarki peraturan perundang-undangan adalah ketentuan Pasal 7 ayat (4) yang menyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan. Hal ini mengandung makna susunan norma yang ada mengikuti 49
Ibid, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
teori Hans Kelsen yang dikenal dengan Stufenbau theorie. Stufenbau theorie mengatakan bahwa norma dalam suatu negara sesungguhnya berjenjang, norma yang di bawah bersumber kepada norma yang di atas dan norma yang di atas bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada norma yang tidak bersumber lagi. 50 Susunan norma yang tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2004 juga menggambarkan adanya peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Peraturan tingkat pusat seperti undang-undang,
peraturan
pemerintah
pengganti
undang-undang,
peraturan
pemerintah, dan peraturan presiden. Peraturan perundang-undangan tingkat pusat pada dasarnya mengatur kehidupan rakyat dalam konteks nasional, yang berlaku untuk seluruh warga negara Republik Indonesia. Sedangkan peraturan
perundang-
undangan tingkat daerah, seperti peraturan daerah, substansinya mengatur kehidupan rakyat pada daerah yang bersangkutan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip adanya kesatuan sistem hukum. Walaupun sudah ada norma hukum dan mempunyai sifat memaksa, namun belum ada jaminan bahwa norma hukum tersebut ditaati oleh masyarakat. Agar norma-norma tersebut ditaati diadakan ancaman hukuman, yaitu hukuman perdata, hukuman administrasi, dan/atau hukuman pidana untuk norma-norma hukum yang bersangkutan.
50
Hans Kelsen dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Kanisius, 1997), hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
Pelaku (subyek) dan tingkah laku yang dirumuskan (norma) serta ancaman hukuman (sanksi) disebut sebagai hukum materiil. Sedangkan untuk dapat melaksanakan ancaman hukuman, diadakan ketentuan yang mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan ketentuan tentang acara penyelesaian pelanggaran hukum materiil yang disebut sebagai hukum formil. 51 Norma hukum formil bukan mengatur tingkah laku yang terlarang/diharuskan, melainkan mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan acaranya. Sejak awal pembentukan Negara Republik Indonesia ini, para pendiri bangsa (founding fathers) telah sepakat memancangkan dasar dan falsafah negara adalah Pancasila dan UUD 1945, di mana sila pertama Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Mahaesa, dan salah satu pasal dari UUD 1945 itu menjamin kemerdekaan seluruh penganut agama untuk dapat menjalankan ajaran agamanya. Indonesia dalam bentuk ini dinyatakan sebagai negara dalam dimensi duniawi, namun tetap memberikan tempat bagi setiap warganya untuk melaksanakan
ajaran agama. 52 Dengan demikian
pluralitas warga dari berbagai aspeknya harus tunduk dan patuh terhadap Hukum
51
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta : Alumni Ahaem – Petehaem, 1989), hal. 10-11. 52 Bagi pengamat semisal Boland (1982), ia mencermati bahwa Indonesia adalah sebagai negara yang unik, Indonesia ditempatkan sebagai suatu negara yang bukan sekuler, dan bukan pula negara teokrasi, tetapi menciptakan konfergensi, di mana Indonesia dinyatakan sebagai Negara Demokrasi Pancasila., Bagi Fachry Ali dan Bahtiar Efendi memandang bahwa ini adalah bentuk kekalahan kelompok Islamis yang mereka nilai sebagai kurang mampu meyakinkan pihak Nasionalis., Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik ORBA, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hal. 156-157.
Universitas Sumatera Utara
Nasional yang berlaku secara
universal bagi seluruh komponen bangsa dimana pun
mereka berada dengan tanpa kecuali. Berdasarkan UUD 1945, negara Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik. Sesuai ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945,
yang dalam
penyelenggaraan pemerintahan dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan kebijakan desentralisasi dilaksanakan bersamaan dengan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Sementara itu dalam pengaturan hubungan antara Pemerintah dengan daerah diatur dalam pasal 18 A ayat (1) dan (2) sebagai berikut : 1. Hubungan wewenang antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Universitas Sumatera Utara
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Konsekuensi dari kandungan pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut : 1. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Presiden selaku kepala pemerintahan dapat melaksanakan dengan : a. melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat pusat melalui asas dekonsentrasi; b. menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah otonom melalui asas desentralisasi; c. menugaskan sebagian kewenangan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa meialui asas tugas pembantuan; dan d. melaksanakan sendiri. 2. Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, dibentuk pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD serta dibantu oleh perangkat daerah. Anggota DPRD dipilih melalui proses pemilihan umum, dan kepala daerah dipilih melalui proses pemilihan kepala daerah (Pilkada). Kedua lembaga tersebut diberi mandat untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
Universitas Sumatera Utara
3. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah memiliki hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dengan pemerintah pusat. 4. Dalam melaksanakan hubungan tersebut Pemerintah melaksanakan fungsi pembinaan yang salah satu wujudnya dengan menetapkan norma, standar, kriteria dan prosedur; fasilitasi; supervisi; serta monitoring dan evaluasi agar otonomi daerah senantiasa dilaksanakan oleh pemerintahan daerah sesuai dengan tujuannya. Sebaliknya pemerintah daerah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah serta melaksanakan otonomi daerah berdasarkan standar, norma, kriteria,
dan prosedur yang ditetapkan
oleh Pemerintah. Berdasarkan hal ini maka pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan sub-ordinasi Pemerintah. 5. Kesimpulannya, walaupun Pemerintah memberikan otonomi seluas-luasnya kepada
daerah,
pemerintahan
daerah
tetap
merupakan
sub-ordinasi
Pemerintah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai amanat konstitusi Republik Indonesia. Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, atau bersifat istimewa. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
Universitas Sumatera Utara
terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiiiki ketahanan yang tinggi. Berlakunya syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara kaffah merupakan dambaan masyarakat Aceh sejak lama dan telah diperjuangkan selama puluhan tahun ke Pemerintah Pusat di Jakarta, namun hal ini secara formil baru terlaksana dan diakui oleh Negara sejak disahkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 4 Oktober 1999. 53 Selanjutnya Disahkan pula UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini mengamanatkan pelaksanaan syariat islam di bumi Aceh secara kaffah. Oleh karena itu keberadaan kedua undangundang ini juga merupakan momen penting dalam rangka menjadikan hukum islam sebagai hukum positif yang hidup dalam masyarakat Aceh secara menyeluruh. 54 Penataan otonomi khusus di Aceh merupakan salah satu upaya meretas hadirnya sebuah keadilan dan pencapaian tujuan otonomi daerah dalam
kerangka
NKRI, yaitu mencapai kesejahteraan secara demokratis di Nanggroe Aceh Darussalam. Pelaksanaan syariat Islam merupakan keistimewaan bagi Aceh yang telah diatur melalui UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, dalam Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Daerah mengembangkan dan mengatur 53
Ibrahim, Armia, Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, (Banda Aceh : Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, 2009) hal.45.
Universitas Sumatera Utara
penyelenggaraan kehidupan beragama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, yang melahirkan Qanun sebagai produk hukum daerah yang sama dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia yang dapat melahirkan Peraturan Daerah. Ini merupakan bagian dari Keistimewaan Aceh dan juga sebagai pengakuan bangsa Indonesia yang diberikan kepada daerah Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Keistimewaan yang dimiliki Aceh meliputi Penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Penyelenggaraan kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam dilakukan secara menyeluruh secara kaffah. Artinya seluruh dimensi kehidupan masyarakat mendapat pengaturan dari hukum syariat Islam. Maka hukum yang di berlakukan di Aceh adalah hukum yang bersumber pada ajaran agama Islam yaitu ajaran syariat Islam yang selanjutnya di implementasikan dalam Qanun. Penyelenggaraan pelaksanaan syariat Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum dapat terlaksana dengan baik. Terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh berkelanjutan dan
54
Syahrizal Abbas, Kontekstualitas Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh : Arraniry Press, 2003), hal. X.
Universitas Sumatera Utara
bermartabat dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 55 Berdasarkan kesepakatai damai antar pihak GAM dengan Pemerintahan
Republik Indonesia
maka lahirlah UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan, penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Kerukunan antar umat beragama bagi non muslim yang tinggal Aceh tetap dihormati dan dilindungi sesuai Pasal 29 ayat (2) UUD 19945 bahwa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata menjamin jelas bermakna imperative. Artinya Negara berkewajiban melakukan upaya-upaya agar tiap penduduk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Keaktifan Negara disini adalah memberikan jaminan bagaimana penduduk dapat memeluk dan menjalankan agamanya. 56 Negara dan pemerintahan daerah sangat berperan untuk terlaksananya syariat Islam di Aceh. Berdasarkan konstitusi UUD 1945 yang mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Salah satu keistimewaan Aceh adalah pelaksanaan syariat Islam yang merupakan pandangan hidup masyarakat Aceh dikenal sebagai komunitas yang taat dan fanatis terhadap
55
Konsideran Menimbang Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hartono Mardjono,”Menegakkan Syariat Islam Dalam Konteks Keindonesiaan”, (Bandung : Mizan. 1997), hal. 29. 56
Universitas Sumatera Utara
syariat Islam dan telah menjadikan norma agama sebagai standar untuk mengukur apakah suatu perbuatan sesuai atau tidak sesuai dengan syariat.
B. Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh . Syahrizal Abbas mengungkapkan dalam membuat sebuah qanun syariat Islam yang bersifat responsif maka dibutuhkan beberapa langkah nyata yaitu Materi qanun yang dirumuskan bukan hanya memiliki akses terhadap teks eksplisit alquran dan assunnah, namun perlu diselami secara lebih mendalam hakikat keberadaan teks tersebut bagi manusia. Pemahaman terhadap hakikat keberadaan teks akan menemukan ruh syariah (nilai filosofis); a. Penemuan ruh syariah bukan hanya membutuhkan kajian filsafat hukum islam, tetapi juga membutuhkan kajian sosiologis dimana pemahaman pemahaman terhadap kondisi masyarakat ketika teks lahir akan sangat berarti; b. Pendekatan tematis bukan hanya bertumpu pada ayat atau hadis yang berbicara tentang tema yang sama, tetapi perlu juga dilihat pemahaman tema tersebut; c. Semangat sosiologis yang dibangun alquran dalam hukumnya perlu mendapat perenungan. Karena banyak praktek dan tradisi telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan dapat memberikan keadilan bagi masyarakat; d. Kerangka di atas akan bekerja bila tingkat pendidikan masyarakat dan sosialisasi qanun dapat ditingkatkan kearah yang lebih baik sehingga keberadaan qanun syariat islam benar-benar dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. 57
57
Abbas dalam buku Aceh Madani Dalam Wacana, Format Ideal Implementasi Syariat Islam di Aceh, editor: Saifuddin Bantasyam dan Muhammad Siddiq, (Banda Aceh : Aceh Justice Resource Centre, 2009), hal. 64.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 125 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2006 merinci ruang lingkup qanun syariah yang terdiri dari : 1. Bidang ibadah; 2. Bidang akhwal al-syakhshiyah (Hukum Keluarga); 3. Bidang muamalah (Hukum Perdata); 4. Bidang jinayah (Hukum Pidana); 5. Bidang qadla’ (Peradilan); 6. Bidang tarbiyah (Pendidikan); 7. Bidang dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Sampai saat in telah diatur beberapa Qanun tentang penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh. Berikut inventarisasi Qanun Provinsi Aceh dalam rangka penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh , yaitu : 1. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam; 2. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 10 Tahun 2002
tentang Peradilan Syariat Islam; 3. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam; 4. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya;
Universitas Sumatera Utara
5. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian); 6. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum); 7. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat; 8. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun 9. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal; 10. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat; 11. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak. Pada tanggal 14 September 2009 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan 5 (lima) Rancangan Qanun Aceh : 1. Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat. 2. Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat. 3. Qanun Aceh tentang Penanaman Modal. 4. Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe, dan 5. Qanun Aceh tentang Perlindungan Perempuan. Namun sampai saat ini qanun jinayat dan hukum acara jinayat masih belum disahkan oleh Pemerintah Provinsi Aceh, karena itu ketentuan qanun jinayat dan
Universitas Sumatera Utara
hukum acara jinayat belum diterapkan. Kelima Qanun tesebut disahkan satu bulan sebelum para pembuat kebijakan yang baru menempati kantornya, DPRA periode sebelumnya di akhir masa jabatannya mengesahkan dengan suara bulat dua (2) qanun baru yang bertujuan untuk menggantikan dan memperluas kerangka hukum pidana Syariah di Aceh yang telah ada. 58 Sebelumnya pada bulan April 2009, Partai Aceh, partai politik yang didirikan oleh para mantan pejuang GAM, mendominasi DPRA dalam pemilihan legislatif pertama Aceh paska perang. Salah satu Perda, Qanun Hukum Jinayat, membuat kode prosedural yang sepenuhnya baru bagi penegakan hukum Syariah oleh polisi (termasuk WH), jaksa, dan pengadilan di Aceh. 59 Perda lainnya, Qanun Jinayat, memperkuat dan memperluas badan hukum pidana Syariah di Aceh. Perda ini mengulangi laranganlarangan pidana Syariah yang telah ada, dan pada saat bersamaan meningkatkan hukumannya, 60 serta sejumlah tindak pidana baru, termasuk ikhtilat (pergaulan atau percampuran), 61 zinah (perselingkuhan, yang didefinisikan sebagai hubungan seksual oleh dua orang yang tidak menikah satu sama lain), pelecehan seksual, pemerkosaan,
58
Seluruhnya merupakan perwakilan partai politik nasional yang dipilih dalam masa konflik pada tahun 2004. 59 Rancangan Qanun Hukum Jinayat (2009). Sebagaimana dicatat oleh Human Rights Watch. Saat ini, semua aparat penegak hukum di Aceh harus tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 60 Sebagai contoh, berdasarkan Qanun No. 11/2003, judi dapat dikenakan hukuman maksimal 12 kali cambuk. Berdasarkan Rancangan Qanun Jinayat, judi dapat dihukum cambuk hingga 60 kali. Qanun No. 12/2003, Pasal 23(1); Rancangan Qanun Jinayat (2009), Pasal 17. 61 Didefinisikan sebagai berpelukan, berpegangan tangan, atau berciuman, oleh orang-orang yang tidak saling menikah (muhrim). Pelanggaran ini dapat dihukum hingga 60 kali cambuk, 60 bulan penjara, atau denda hingga sebesar 600 gram emas. Rancangan Qanun Jinayat, Pasal 1(17)-(18), 22.
Universitas Sumatera Utara
dan perilaku homoseksual. 62 Perda tersebut juga mengizinkan hukuman yang sangat berat, termasuk cambuk hingga 60 kali atas dasar “pergaulan,” cambuk hingga 100 kali karena terlibat dalam perilaku homoseksual, cambuk hingga 100 kali untuk perselingkuhan oleh orang yang belum menikah, dan rajam hingga mati untuk perselingkuhan oleh orang yang telah menikah. 63 Kantor Gubernur Irwandi dan juru bicara DPRA yang baru, Hasbi Abdullah, menolak penerapan Qanun Jinayat tanpa adanya revisi ketentuan tentang rajam terlebih dahulu. 64 Beberapa Qanun tentang penerapan hukum pidana Islam sampai saat ini masih tersebar dalam beberapa Qanun. Berikut qanun qanun yang mengatur pidana Islam di Aceh : 1.
Qanun Nomor 11 Tahun 2002, tentang Pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah, dan syi`ar Islam,
2. Qanun Nomor 12 Tahun 2003, tentang Minuman khamar dan sejenisnya, 3. Qanun Nomor 13 Tahun 2003, tentang Maisir (perjudian), 4. Qanun Nomor 14 Tahun 2003, tentang Khalwat (Mesum), 5. Qanun Nomor 7 Tahun 2004, tentang Pengelolaan zakat.
62
Ibid., Pasal 1(20), 24; Pasal 1(21), 27; Pasal 1(24), 29; Pasal 1(22)-(23), 33. Pemerkosaan dalam lingkup perkawinan tidak termasuk dalam definisi pemerkosaan. 63 Human Rights Watch, Indonesia: New Aceh Law Imposes Torture [Indonesia : Hukum Aceh Baru Memberlakukan Penyiksaan], Press Release, 11 Oktober 2009, http://www.hrw.org/en/news/2009/10/11/indonesia-new-aceh-law-imposes-torture (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010). 64 Hamid Zein, Kepala Biro Hukum kantor Gubernur Aceh, menyatakan, “Selama badan eksekutif dan legislatif tidak menangani perbedaan dalam penerapan [hukuman mati] rajam, Pemerintah Aceh tidak akan menandatangani Perda tersebut.” “Aceh government rejects Shariah by law [Pemerintah Aceh Menolak Perda Syariah],” Fridae.com, 22 September 2009, http://www.fridae.com/newsfeatures/2009/09/22/8985.aceh-government-rejects-Shariah-bylaw (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010).
Universitas Sumatera Utara
Keseluruhan hukum pidana Islam yang dimuat pada kelima macam qanun tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua macam, yaitu : a. Hudud 65 (Hukum pidana yang sudah jelas bentuk dan ukurannya) Mengingat hudud ini telah jelas hukumannya, baik bentuk maupun ukurannya maka maka hakim tidak punya kebebasan lagi untuk menemukan hukum lain, dalam kesempatan ini hakim hanya memiliki kesempatan berijtihad untuk menetapkan “apakah tindak pidana itu benar telah dilakukan, atau pun tidak,” bila ini telah jelas dilakukan maka hakim tinggal mengambil hukuman yang telah tersedia untuk itu. Sejalan dengan ketentuan hudud seperti dikemukakan di atas, ternyata Daerah NAD baru menetapkan satu kasus hudud saja, yaitu tentang “mengkonsumsi khamar” (minuman keras) dan sejenisnya, dengan sanksi hukuman cambuk sebanyak 40 kali. 66 Hal ini bukanlah atas dasar hasil pemikiran Pemerintah NAD dalam menetapkan hukumannya berupa hukum cambuk sebanyak empat puluh kali, tetapi berupa ketentuan Tuhan yang harus diikuti, karena penentuan hukuman seperti ini telah tegas tercantum di dalam nas syari`at. Dengan demikian Pemerintah NAD tinggal mengambil, menetapkan, dan melaksanakannya saja.
65
Hukum Pidana (Hudud) adalah Hukuman yang sudah ditentukan Allah SWT baik bentuk maupun jumlahnya, dan ini harus dilaksanakan karena berupa hak Allah SWT., Abdul Aziz Amir, AlTa`zir fi al-Syari`at al-Islamiyah, (Kairo : Dar al-Fikri al-`Arabi, 1976 M), hal. 13. 66 Qanun No. 12 Tahun 2003., Pasal 5, berbunyi : Setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya., Pasal 26, berbunyi : Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan `uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk. Dalam penjelasan pasal-pasal dinyatakan tentang yang dimaksud dengan khamar dan sejenisnya adalah minuman yang mempunyai sifat atau kebiasaan memabukkan atas dasar kesamaan illat (sebab), yaitu memabukkan, seperti : bir brendi, wiski, tuak, dan sebagainya. Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, Himpunan Undang Undang, Keputusan Presiden, Keputusan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syariat Islam, (Banda Aceh : Dinas Syariat Islam, 2005), hal.255, dan 260.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik RA. Bahwa seseorang yang telah meminum khamar dibawa ke depan Rasul SAW, maka Rasul SAW mencambuknya dengan dua buah cambuk sebanyak empat puluh kali. Hal seperti ini diikuti oleh Abu Bakar … 67 Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Muslim, dari Ali tentang kisah
Al-
Walid ibn `Uqbah, bahwa Usman ibn `Affan telah menyuruh Ali untuk menerapkan hukum cambuk terhadap Walid ibn `Uqbah karena dia meminum khamar, untuk hal ini Ali meminta Abdullah ibn Ja`far untuk melakukan penyambukan, lalu dia melakukannya, maka pada saat sudah genap empat puluh kali cambukan dia pun berkata, sudah cukup, dan menambah ucapannya lagi; Rasul melakukan cambukan pada orang meminum khamar sebanyak empat puluh kali, dan Abu Bakar juga melaksanakan demikian, … 68 b. Ta`zir 69 (Hukuman yang diberi kebebasan bagi hakim untuk menentukannya) Mengingat adanya kebebasan hakim untuk menentukan hukuman dalam kasus ta`zir ini maka kesempatan hakim berijtihad untuk menentukan apa hukuman yang akan ditetapkan bagi pelakunya, dan bagaimana cara pelaksanaannya sangat besar.
67
Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Juz.IV, (Bandung : Dahlan, t.t.,)
hal.
28. 68
Ibid., hal. 30. Ta`zir adalah Hukuman pendidikan yang diberikan bagi orang yang melakukan tindak pidana, namun Tuhan (syari`at) tidak menentukan bentuk dan jumlah hukumannya., Abdul Qadir Audah, AlTasyri` al-Jinai al-Islami, Juz. 1, Kairo : Maktabah Daru al-Turas, t.t., hal. 685. 69
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, kejelian hakim untuk menentukan hukum yang akurat dalam hal ini sangat diperlukan. Sejalan dengan hal ini, DPRD NAD telah mencoba mengkonkritkan hukum ta`zir, dapat dilihat bahwa hukum ta`zir tersebut telah dijabarkan ke dalam lima bentuk, sebagai berikut : 1). Hukum Cambuk; Contoh, Hukuman cambuk maksimal 12 kali, minimal 6 kali bagi pelaku judi (maisir) 2). Hukum Denda; Contoh, Hukuman denda maksimal membayar Rp 35.000.000,- minimal
Rp
15.000.000,- bagi orang yang a). Menyelenggarakan dan atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perjudian (maisir), b). Menjadi pelindung perbuatan perjudian, c). Memberi izin usaha penyelenggaraan perjudian. 3). Hukum Penjara; Contoh, Hukuman kurungan maksimal 6 bulan, minimal 2 bulan bagi yang memberikan fasilitas dan atau melindungi orang melakukan perbuatan khalwat . 4). Hukuman Administratif; Contoh, Dicabut izin usahanya bagi perusahaan pengangkutan yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk shalat fardhu.
Universitas Sumatera Utara
5). Hukuman Kumulasi dari hal tersebut di atas; Contoh, Menggabung hukuman cambuk dengan hukuman denda 6). Hukuman Berpilih dari hal tersebut di atas; Contoh, Memilih hukuman denda dengan meninggalkan hukuman cambuk.
C. Kebijakan Hukum Pidana di Provinsi Aceh Terdapat dua jenis hukum pidana yang diterapkan di Propinsi Aceh yakni hukum pidana Indonesia secara umum di satu sisi, dan hukum pidana NAD yang diatur lewat qanun-qanun sebagai implikasi dari kesempatan penerapan syari`at Islam di sisi yang lain. Dengan mengkaji latarbelakang serta sumber kedua hukum ini dapat diklasifikasikan bahwa di sana ada dua macam hukum yang berbeda, dan tidak saling melingkupi, karenanya dengan menaati salah satunya kita tidak dapat dinyatakan telah melaksanakan keduanya, dan dengan melaksanakan keduanya
di sana ada
kemuskilan karena akan mengamalkan dua hal yang berbeda oleh seorang subjek hukum pada satu kesempatan. Dengan mempertajam pandangan ini akan lebih mengkontraskan kehadiran dualisme hukum seperti dikemukakan
di Provinsi Aceh
sekarang ini. Di satu sisi terpahami adanya dualisme hukum pidana di Provinsi Aceh, yaitu Hukum Pidana Indonesia sebagai sesuatu yang bersifat umum seperti
yang tertuang
di dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) karena Provinsi Aceh adalah bagian integral dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, Qonun (Perda)
Universitas Sumatera Utara
yang berdasarkan syari`at Islam dan dibuat oleh masyarakat Provinsi Aceh sendiri sebagai sesuatu ketentuan yang lebih khusus karena Provinsi Aceh telah diberi otonomi yang seluas-luasnya untuk menerapkan syari`at Islam berdasar UU No.18 Tahun 2001. Penempatan kedua
ini sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan tentu
akan mempertajam pemaknaan terhadap dualisme hukum pidana di Provinsi Aceh tersebut, bahkan dapat mengarah kepada kaburnya asas kepastian hukum, dan keadilan hukum. Jelas bahwa dualisme hukum seperti dipersepsikan ini akan menimbulkan kajian tersendiri dalam rangka mencari titik temu kebersamaan seluruh komponen bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menepis berbagai kekhawatiran dampak negatif yang muncul akibat penerapan syari`at Islam bagi Provinsi Aceh tersebut, terutama adanya dualisme hukum pidana yang dapat berakibat terhadap rontoknya asas kepastian hukum, dan asas equality before
the
law, dan yang lainnya maka disajikan uraian berikut ini. Sejak awal perbincangan UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh Darussalam telah disadari betul tentang akan munculnya kajian dualisme hukum di Provinsi Aceh ini. Untuk tidak terjerembabnya Provinsi Aceh dalam ketidakpastian yang ditimbulkan akibat dari dualisme hukum seperti dikemukakan maka para pemerakarsa hukum kita telah mengantisipasi dengan berbagai hal, sebagai berikut : 1. Penegasan hal-hal yang masih tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat a. Bidang pertahanan negara Dalam Penjelasan Umum UU No.18 Tahun 2004 dinyatakan;
Universitas Sumatera Utara
“Kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertahanan negara merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur Propinsi NAD.” 70 Mengingat pertahanan negara Republik Indonesia adalah menjadi kewenangan Pemerintah pusat, maka masyarakat Provinsi Aceh tidak boleh melahirkan qanun yang berkenaan dengan hal ini, apalagi qanun yang sifatnya berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat, pengabaian terhadap hal ini dipahami sebagai melampaui kewenangan, dan tidak dapat dilaksanakan, bahkan tidak dapat diberlakukan. Selanjutnya mengenai pengaturan tata ruang pertahanan di wilayah Provinsi Aceh yang tidak bersifat rahasia maka masyarakat Provinsi Aceh memiliki sedikit hak untuk berbicara dengan Pemerintah, karenanya masyarakat Provinsi Aceh bisa merencanakan sesuatu untuk hal ini. Dengan demikian menyangkut bidang pertahanan ini didominasi oleh Pemerintah Pusat. b. Bidang keuangan Bidang keuangan Provinsi Aceh diatur secara berimbang dalam ketentuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah, juga diatur di dalam Pasal 4-7 UU No. 18 Tahun 2001. Di samping mengacu pada ketentuan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat juga dipertegas dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, namun hal ini belum dapat 70
Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, Himpunan … hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
diselesaikan secara tuntas dalam koridor asas keadilan dan keseimbangan yang transparan. 2. Qanun dapat mengenyampingkan peraturan yang berlaku umum. Qanun (Perda) yang digali dan lahir dari masyarakat Provinsi Aceh sebagai peraturan lokal yang bersifat khusus untuk masyarakat Provinsi Aceh yang dipahami sebagian besar memiliki perbedaan dengan ketentuan yang berlaku secara umum di Nusantara mendapat tempat istimewa untuk diberlakukan bagi umat Islam di Provinsi Aceh. Untuk persoalan masyarakat Aceh yang telah diatur oleh qanun maka qanunlah yang akan diberlakukan. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Umum Undang Undang No. 18 Tahun 2001 tersebut, dalam salah satu alineanya dinyatakan; “Qanun Propinsi NAD adalah Peraturan Daerah Propinsi NAD yang
dapat
mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis, dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap Qonun.” 71 Dengan penjelasan ini maka dipahami bahwa
qanun
sebagai
suatu
tatanan
Peraturan
Daerah
akan
dapat
mengenyampingkan KUHP yang bersifat umum. Terkait dengan hal ini, Jimly Asshiddiqie mengatakan, kita tetap mempedomani prinsip hukum lex superiore derogat lex infiriore (secara hirarkis peraturan perundang undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh
71
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi) sepanjang kaitannya dengan bagian-bagian hukum dalam sistem Negara yang masih tersentralisasi, karena adanya koridor hukum yang tegas yang berlaku secara Nasional, misalnya bidang pertahanan keamanan, dan aspek tertentu dari keuangan seperti dikemukakan. Selain dari hal tersebut, maka Daerah ditentukan sebagai ujung tombak Pembangunan Nasional, dan Daerah diberi keleluasaan untuk mengatur dirinya sendiri dalam porsi yang lebih besar, termasuk dalam melahirkan Perda/Qonun sesuai dengan kekhasan dan keistimewaan daerah tersebut, karenanya sangat tepat memberlakukan
prinsip hukum lex specialis
derogat lex generalis (peraturan khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum),
Daerah dapat saja memberlakukan Perda
yang dibuatnya sendiri sepanjang dalam koridor kewenangan yang diberikan, meskipun dengan mengesampingkan hukum yang bersifat umum dengan status hierarkinya yang lebih tuinggi. Dengan demikian, Provinsi Aceh misalnya boleh saja memberlakukan hukum cambuk dalam rangka mengamalkan qanun, meskipun mengabaikan hukum penjara dalam rangka mengenyampingkan KUH Pidana. Hal ini bukan dalam rangka mengadakan perlawanan hukum tetapi mengamalkan pesan otonomi daerah yang diamanatkan oleh UU No. 18 Tahun 2001. 72
72
Tulisan Jimly Asshiddiqie, judul : Hukum Islam di Antara Agenda Reformasi Hukum Nasional, dalam Departemen Agama RI., Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, (Jakarta : Al
Universitas Sumatera Utara
3. Hukum Islam hanya diberlakukan bagi masyarakat muslim saja Dengan memperhatikan kandungan keseluruhan qanun yang ada di Provinsi Aceh itu maka qanun-qanun tersebut ada dua macam, yaitu qanun syari`at, dan qanun non syari`at (yang berkenaan dengan aspek keduniaan semata). Khusus menyangkut qanun syari`at hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang untuk qanun yang non syari`at akan berlaku secara umum untuk masyarakat Provinsi Aceh secara keseluruhan. Polarisasi ini tetap dalam kerangka mempertahankan asas kebebasan menjalankan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing oleh masyarakat Provinsi Aceh. Memperhatikan uraian di atas terlihat bahwa pemberlakuan hukum pidana Islam yang ada di Provinsi Aceh itu menganut asas personalitas keislaman. Artinya, qanun-qanun syari`at seperti dikemukakan di atas hanya berlaku bagi umat Islam saja, sedang non muslim secara umum (Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, bahkan penganut aliran Kepercayaan) tidak termasuk di dalamnya, apalagi dipaksa untuk melaksanakannya, jelas tidak mungkin sama sekali. Dengan demikian, bagi penduduk non muslim di Provinsi Aceh tidak ada kesulitan untuk tetap tingal di Provinsi Aceh, karena mereka tetap tunduk kepada KUH Pidana sebagai ketentuan hukum yang berlaku secara Nasional, di samping tetap menaati qanun yang bersifat non sayari`at. Kesimpulan seperti ini secara jelas dapat dipahami dari :
Hikmah & Ditbinbapera Islam Depag RI., 2001), hal. 9-12.
Universitas Sumatera Utara
a). Pasal 25, ayat (3) Undang Undang No.18 Tahun 2001 mengatakan; “Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.” 73 b). Perda No.5 Tahun 2000, pada pasal 2 ayat (2) berbunyi; “Keberadaan agama lain di luar agama Islam tetap diakui di daerah ini, dan pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya masing-masing.” 74 Sejalan dengan ini, Al Yasa` Abubakar mengatakan bahwa penekanan utama pemberlakuan syari`at Islam di Provinsi Aceh adalah dengan memperhatikan asas personalitas keislaman. Pemaknaan memberlakukan asas personalitas keislaman di sini adalah, syari`at Islam itu hanya diberlakukan bagi masyarakat dengan memperhatikan agama pelaku tindak pidana itu sendiri harus benar-benar beragama Islam, lebih konkrit untuk hal ini bisa dilihat dari Kartu Tanda Penduduk (KTP) nya, pengamalannya, dan pengakuannya. 75 Ketegasan ini membuat pengetahuan tentang apa agama pelaku tindak pidana itu di Provinsi Aceh menjadi sangat penting dalam hal penentuan penundukan hukum mereka. Muslim Ibrahim mengatakan bahwa hukum Islam yang diterapkan di Provinsi Aceh adalah murni berdasarkan syari`at Islam, karenanya hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang non muslim tidak termasuk di dalamnya, soal urusan agama mereka biarlah mereka yang mengaturnya sendiri. Dengan demikian qanun sebagai
73
Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, Himpunan … hal. 26. Ibid., hal. 58. 75 Puteri Hikmawati, Relevansi Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Hukum Pidana Nasional, Banda Aceh, hal. 77. 74
Universitas Sumatera Utara
bagian dari hukum Islam yang berlaku di Provinsi Aceh hanya diberlakukan bagi umat Islam semata. 76 Sekedar mengapresaiasi hal ini, terlihat bagi kita bahwa pemberlakuan hukum Islam di Provinsi Aceh yang ada sekarang ini jelas masih berada dalam koridor trilogi kerukunan umat beragama, yaitu kerukunan antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan Pemerintah, juga sejalan dengan pedoman dasar dalam beragama bagi bangsa Indonesia yang diatur pada pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan menjalankan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing. Di samping mengacu kepada asas personalitas keislaman seperti telah dikemukakan, juga berpedoman kepada UU No.18 Tahun 2001, Qanun No. 5 Tahun 2000, dan pernyataan para pakar, hal ini juga telah dipahami benar oleh non muslim. Misalnya Frietz R.Tambunan (Pakar Kristen yang kini menjabat Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masayarakat (LP3M), Kepala Pusat Penelitian Humaniora, dan Kepaka Pusat Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Katolik St. Thomas Medan.) mengatakan; Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh Al Yasa` Abubakar memang sudah menegaskan bahwa penerapan syari`at Islam hanya berlaku bagi umat Islam, sehingga mereka yang non muslim tidak perlu merasa takut berlebihan mendengar syariat Islam. Beliau juga menjamin bahwa syari`at Islam mengatur dan menjamin hak-hak non muslim di Provinsi Aceh, jika hal ini memang secara nyata bisa berjalan dengan baik di Provinsi Aceh, pastilah persepsi yang salah
76
Ibid, hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
di berbagai pihak tentang pelaksanaan syari`at Islam sebagai sauatu alternatif sistem tata kenegaraan yang efektif untuk mencapai kesejahteraan umum, akan terkoreksi. 77 Berkaitan dengan hal di atas Al Yasa` Abubakar berpendapat dengan penentuan penetapan hukum yang dihubungkan dengan kajian asas personalitas keislaman dan territorial tersebut, dikatakan; Seandainya ada masyarakat non muslim Provinsi Aceh yang secara suka rela tunduk dan patuh terhadap qanun di satu sisi, namun dengan tetap berpegang kepada keyakinan agamanya pada sisi yang lain, hal seperti ini pernah terjadi pada masa kolonialis Belanda berkuasa di Indonesia, di mana bangsa Indonesia diberi kebebasan untuk menundukkan diri kepada hukum Barat (misalnya BW) yang mereka berlakukan. Al Yasa` Abubakar dalam tulisannya memiliki kecenderungan bahwa : a. Jika hal itu merupakan bagian dari ajaran agama mereka, maka mereka tidak layak untuk tunduk dan patuh terhadap qanun, tetapi cukup dengan apa yang sudah diatur di dalam agama mereka itu saja. b. Jika hal itu tidak diatur di dalam agama mereka, dan apa yang ada di dalam qanun itu adalah sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama mereka, karenanya bila dengan mengamalkan hal itu bukan dalam rangka melanggar agamanya, maka jadilah hal ini sebagai masalah yang seyogianya mendapat kajian dan diskusi terlebih dahulu untuk dapat dinyatakan boleh
77
Tulisan Frietz R. Tambunan Pr. dalam, Dinas Syari`at Islam Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Syari`at di Wilayah Syari`at Pernik-Pernik Islam di Nangroe Aceh Darussalam, Fairus M. Nur Ibr. (Ed.), (Banda Aceh : Yayasan Ulul Arham, 2002), hal. .287-288.
Universitas Sumatera Utara
atau tidak. 78 Khusus untuk kemungkinan yang kedua ini belum terjawab dengan tuntas. Dalam bentuk realitas, peristiwa seperti dikemukakan di atas telah terjadi di Provinsi Aceh dan telah disikapi dengan tegas, dengan kesimpulan bahwa bagi mereka yang nota bene non muslim itu tidak dapat diberlakukan hukum Islam seperti apa yang ada di dalam qanun. Kasus ini terjadi terhadap 6 (enam) orang supir truk yang melakukan tindak pidana judi di Banda Aceh, 2 (dua) orang dari mereka muslim, sedang 4 (empat) orang lainnya non muslim. Setelah mereka tertangkap oleh pihak kepolisian, 4 (empat) orang dari mereka yang non muslim itu memohon kepada aparat penegak hukum supaya mereka disidangkan di Mahkamah Syari`ah dengan memberlakukan hukum Islam, permohonan mereka ini direspon oleh pihak kepolisian dan kejaksaan dengan cara mengarahkan penyelesaian perkara mereka ke Mahkamah Syari`ah, namun begitu sidang pertama dibuka untuk perkara mereka hakim majelis Mahkamah Syari`ah
Banda Aceh mengatakan bahwa penyelesaian perkara 2 (dua)
orang yang muslim dari mereka benar menjadi wewenang Mahkamah Syari`ah Banda Aceh,
dan sidang penyelesaian perkara mereka dapat dilanjutkan, sedang untuk
4 (empat) orang non muslim lainnya dinyatakan tidak menjadi wewenang Mahkamah Syari`ah Banda Aceh, tetapi Pengadilan Negeri Banda Aceh, karenanya mereka berempat harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh, dengan
78
Al Yasa` Abubakar, Syari`at Islam di Propinsi nangroe Aceh Darussalam Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh : Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, 2005), hal. 145-148.
Universitas Sumatera Utara
demikian perkara mereka harus dilimpahkan ke sana. 79 Ini memperlihatkan kepada kita bahwa meskipun mereka yang Islam dan non muslim secara bersama-sama melakukan satu tindak pidana yang diatur oleh qanun (hukum Islam), namun untuk mereka yang non muslim tetap tidak dapat diberlakukan hukum Islam, seperti halnya bagi muslim pelaku tindak pidana lainnya, demikian juga halnya, mereka yang berkeinginan untuk memperoleh keadilan lewat qanun (syari`at Islam), jika mereka ternyata non muslim maka sama sekali tidak dapat dikabulkan. Ketegasan ini sekaligus dipahami bagian dari penerapan asas persoanalitas keislaman, dan territorial tersebut. Demikian tegasnya aturan hukum secara normatif ini ditampilkan secara tertulis, dan dipraktekkan, namun berbeda dengan keinginan masyarakat secara umum. Secara teoritis, dan praktis dinyatakan bahwa hukum Islam hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang masyarakat pada umumnya menginginkan lain, yaitu memberlakukan hukum Islam itu bukan hanya untuk umat Islam tetapi termasuk bagi masyarakat Aceh secara umum, baik muslim maupun non muslim. Keinginan ini tentu mengenyampingkan asas keislaman, dan mengedepankan asas territorial semata.
79
Sidang Mahkamah Syari`ah Banda Aceh ini digelar pada tanggal 08 Pebruari 2006.
Universitas Sumatera Utara