Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
9 Pages
ISSN 2302-0180 pp. 10- 18
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TNI YANG MELANGGAR SYARIAT ISLAM DI ACEH Jummaidi Saputra1, M. Saleh Sjafei2, M Gaussyah2 1)
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 2) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Abstract: The implementation of Sharia Law in Aceh applies Islamic personality principl, Based on the rule, every Moslem in Aceh violating the law must obey Qanun of Sharia Law. However, practically, there are soldiers violating the law is not tried by the law as the violator only responsible for the crime processed by the Indonesian Criminal Code. The responsibility of Islamic criminal law committed by the soldiers through the Indonesian criminal code has resulted in injustice dan arbitrary in enforcing law. This research aims to know the criminal responsibility of the soldiers violating Islamic criminal law and the obstacles facors in the implementation of the Islamic law for the soldiers violating the law. Legal empirical method is applied in this research. The approach is by applying juridicxal empirical approach by getting data from primary data through interview. The data gathered then anlysed qualitatively. The research shows that firstly, the criminal responsibility of Indonesian soldiers violating criminal Islamic law in Aceh is a criminal responsibility applying generally that only the Indonesian Criminal Code. Thus, the soldiers violate Criminal Islamic Law in Aceh is not whipped. Secondly, the obctacle faced in implementing the law for the soldiers violating Islamic criminal law that is the regulation factors and law apparatus factor. The statutory factor is hirarchiely based on the statute according to the Act Number 12, 2011 regading the Enactment of Law hence the Act Number 31, 1997 regarding Martial Court is superior than Qanun ruling Islamic Criminal law therefore Qanun can be iqnored from the act that is superior than it. The law enforcer factor mentioned above is not brave to enforce the law in enforcing Islamic criminal law for the soldiers violating Islamic cruiminal law and there are obstcales in caught process and execution process of whipping. It is recommended that the Local Government should shortly revise or complete the Act Number 11, 2006 regarding Aceh Governance especially regarding the violation of Islamic criminal law committed by the Indonesian soldiers in Aceh. In terms of keeping the implementation of Islamic law there should be a law to provide the authority for the military investigator, military executor, and military judge to implement sharia law for the Indonesian soldiers violating the law. Keywords: Criminal Responsibility, Violating Islamic Law
Abstrak: Syariat Islam di Aceh menganut asas personalitas keislaman, berdasarkan ketentuan tersebut maka semua orang yang beragama Islam berada di Aceh yang melanggar harus tunduk pada Qanun Syariat Islam. Akan tetapi, dalam praktiknya anggota TNI yang melanggar Syariat Islam tidak tunduk kepada Qanun Syariat Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh dan faktor penghambat penerapan Qanun jinayah bagi anggota TNI yang melanggar syariat Islam di Aceh. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum empiris, dan pendekatan penelitian yuridis empiris, dengan sumber data dari data primer. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu tekhnik analisis kualitatif. Hasil penelitian menjelaskan bahwa, pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh berupa pertanggungjawaban pidana yang berlaku secara umum yaitu KUHP. Faktor penghambat penerapan Qanun jinayah bagi anggota TNI melanggar syariat Islam di Aceh yaitu faktor Peraturan Perundang-Undangan dan faktor aparat penegak hukum. Disarankan kepada Pemerintah daerah harus segera merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tentang pelanggaran Syariat Islam yang dilakukan anggota TNI di Aceh. Agar terjaganya pelaksanaan Syariat Islam, harus ada suatu aturan hukum untuk memberi kewenangan kepada penyidik militer, oditur militer dan Pengadilan Militer untuk menerapkan Syariat Islam bagi anggota TNI yang melanggar. Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Melanggar Syariat Islam
10 -
Volume 2, No. 2, November 2013
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala ekplisit mengatur hukum mana yang diterapkan
PENDAHULUAN
Kekhususan dan keistimewaan dalam otonomi
daerah
seluas-luasnya
di
Aceh
terhadap anggota TNI beragama Islam yang melanggar Syariat Islam di Aceh.
diperkuat setelah lahirnya Undang-Undang
Pengaturan terhadap anggota TNI yang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
melakukan tindak pidana di Aceh terdapat
Aceh.
mempertegas
dalam Pasal 203 ayat (1) Undang-Undang
penerapan Syariat Islam di Aceh, dapat dilihat
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
dalam Pasal 126 Undang-Undang Nomor 11
Aceh yang menyebutkan: “tindak pidana yang
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu :
dilakukan
“(1). Setiap pemeluk agama Islam di Aceh
Indonesia diadili sesuai dengan peraturan
wajib menaati dan mengamalkan Syariat Islam.
perundang-undangan”.
Undang-Undang
ini
(2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau
oleh
Prajurit
Tentara
Nasional
Undang-undang merupakan salah satu
berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan
jenis
Syariat Islam”.
Sehingga frasa peraturan perundang-undangan
dari
peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat
dalam Pasal 203 ayat (1) UUPA tidak jelas
disimpulkan bahwa landasan hukum penerapan
undang-undang apa yang dapat diterapkan
Syariat Islam di Aceh sangat kuat, sehingga
terhadap anggota TNI beragama Islam yang
Aceh dapat menjalankan Syariat Islam secara
melakukan tindak pidana di Aceh, apakah
kaffah. Seperti yang diungkapkan Pagar dalam
diterapkan KUHP atau Qanun.
makalahnya: “Penekanan utama pemberlakuan Syari`at
Islam
di
NAD
adalah
dengan
Hasil penelitian awal yang dilakukan di Pengadilan Militer I-01 Banda Aceh:
memperhatikan asas personalitas keislaman.
1. Pada tahun 2010, Yang dikatagorikan ke
Pemaknaan memberlakukan asas personalitas
dalam Qanun Khalwat sebanyak 5 orang
keislaman di sini adalah, Syari`at Islam itu
2. Pada tahun 2011yang dikatagorikan ke
hanya diberlakukan bagi masyarakat dengan
dalam Qanun Khalwat sebanyak 7 orang dan
memperhatikan Agama pelaku tindak pidana itu
yang dikatagorikan ke dalam Qanun Maisir
sendiri harus benar-benar beragama Islam, lebih
sebanyak 1 orang
konkrit untuk hal ini bisa dilihat dari Kartu
3. Pada tahun 2012 yang dikatagorikan ke
Tanda Penduduk (KTP), pengamalannya, dan
dalam Qanun Khalwat sebanyak 10 orang
pengakuannya”.
dan yang dikatagorikan ke dalam Qanun
Penjelasan di atas, pemberlakuan Syariat Islam tidak membeda-bedakan diterapkannya
Maisir sebayak 1 orang Berdasarkan
penjelasan
di
atas
Syariat Islam tidak terlepas bagi anggota TNI
keseluruhan pelaku pelanggar Syariat Islam dari
beragama Islam yang melanggar Syariat Islam
kalangan TNI tersebut di pidana dengan KUHP.
di Aceh. UUPA memang tidak secara tegas atau
Beranjak dari beberapa gambaran di atas dapat
11 -
Volume 2, No. 2, November 2013
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala dikatakan ada permasalahan dalam penerapan
menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah,
Syariat Islam di Aceh.
karena Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada
KAJIAN KEPUSTAKAAN
manusia. Hukuman ditetapkan demikian untuk
Teori Pemidanaan
memperbaiki individu menjaga masyarakat dan
Tujuan pemidanaan semula hanyalah dimaksudkan
untuk
sekedar
tertib sosial.
menjatuhkan
pidana terhadap pelanggar hukum. Dalam
Asas Personalitas Keislaman
perkembangannya, pemidanaan selalu terkait
Asas personalitas keislaman merupakan
dengan tujuan yang ingin dicapai dengan
suatu asas dimana seseorang yang dapat tunduk
pemidanaan
dan
tersebut.
Sebagaimana
halnya
menundukkan
dengan aliran-aliran dalam hukum pidana,
Peradilan
pemikiran-pemikiran
pemeluk
agama
pemidanaan berkembang dari waktu ke waktu
1993:37).
Jika
(Agustinus Purnomo Hadi, 1999:35).
personalitas
tentang
tujuan
Secara umum tujuan pemidanaan dapat dilihat
dari
teori-teori
pemidanaan
yang
Agama
diri yang
Islam
pada
mengaku (Yahya
dikaitkan
keislaman
kekuasaan dirinya Harahap,
dengan
yang
ada
azas dalam
Undang-Undang Pemerintahan Aceh maka berlakunya Mahkamah Syar’iyah
di Aceh
digolongkan secara tradisional menjadi 2 (dua),
hanya untuk orang yang beragama Islam di
yaitu teori absolut atau teori pembalasan dan
Aceh.
teori relatif atau teori tujuan. Namun, dengan
Berdasarkan Penjelasan di atas maka
perkembangannya kedua teori hukum tersebut
Mahkamah Syar’iyah di Aceh mempunyai
kemudian lahir teori gabungan atau intergrative
kewenangan dalam mengadili perkara pidana
yang menggabungkan keduanya (Muladi dan
atau Jinayah sehingga apa bila orang yang
Barda Nawawi Arief, 2005:10).
beragama
Menurut Juhaya S. Praja ada dua teori dalam pemidanaan dalam Islam, yaitu zawabir dan
jawajir.
Pada
teori
zawabir
Islam
yang
berada
di
Aceh
melakukan pelanggara Syariat Islam di Aceh akan diadili di Makamah Syariah.
pidana
ditujukan untuk pembalasan sedangkan dalam
Asas Teritorial
teori zawajir pidana ditujukan untuk tujuan
Titik berat dari asas teritorial adalah pada
pencegahan (umum dan khusus). kedua teori ini
tempat atau teritorial terjadinya tindak pidana.
dapat
Asas
disetarakan
dengan
retributif
dan
utilitariyan (Muhammad Din, 2009:82).
teritorial
ini
selain
di
samping
memperhatikan objek pelaku tindak pidana itu
Berdasarkan hukum pidana Islam maksud
di satu sisi juga diperhatikan tempat di mana
dari pemidanaan adalah untuk memelihara dan
tindak pidana itu dilakukan, maka penentuan
menciptakan
daerah Aceh sebagai teritori yang dipedomani
kemaslahatan
manusia
dan
Volume 2, No. 2, November 2013
- 12
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala untuk dapat dinyatakan berlakunya Qanun
berlaku secara umum di Nusantara mendapat
merupakan kemutlakan. Artinya, hanya tindak
tempat istimewa untuk diberlakukan bagi umat
pidana yang dilakukan di Aceh sajalah yang
Islam di Aceh. Untuk persoalan masyarakat
menjadi
itu,
Aceh yang telah diatur oleh Qanun maka
asalkan tempatnya di Aceh meskipun orangnya
Qanunlah yang akan diberlakukan. Hal ini
bukan
menjadi
sejalan dengan Penjelasan Umum Undang
persoalan lagi, yang penting mereka sedang
Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut, dalam
berada di Aceh. Dengan mencermati hal ini
salah satu alineanya dinyatakan; “Qanun
terlihat bahwa asas territorial ini diberlakukan
Propinsi
di Aceh.
Propinsi NAD yang dapat mengenyampingkan
perbincangan
masyarakat
Qanun-Qanun
Aceh
tidak
peraturan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis Asas lex specialis derogat legi generalis
NAD
adalah
Peraturan
perundang-undangan
Daerah
yang
lain
dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex
generalis,
dan
Mahkamah
Agung
adalah undang-undang yang bersifat khusus
berwenang melakukan uji materil terhadap
menyampingkan undang-undang yang bersifat
Qanun”. Dengan penjelasan ini maka dipahami
umum. Menurut Subekti, asas lex specialis
bahwa Qanun sebagai suatu tatanan Peraturan
derogat legi generalis yakni undang-undang
Daerah akan dapat mengenyampingkan KUHP
yang khusus menyampingkan yang umum.
yang bersifat umum.
Berlandaskan asas lex specialis derogat legi generalis penerapan Syariat Islam merupakan
Konsep Equality before The Law
lahir dari sebuah aturan khusus yang hanya
Albert Van Dicey adalah salah seorang
diberlakukan bagi Provinsi Aceh, sehingga
pemikir Inggris termasyur, mengemukakan tiga
dapat menyampingkan Undang-Undang yang
unsur utama Pemerintah yang kekuasaannya di
berlaku umum seperti KUHP. Penerapan
bawah hukum (the rule of law) yaitu : pertama
Syariat Islam berlandaskan undang-undang
Supremecy of Law, kedua Equality Before the
seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Law, ketiga Contitution Based on Individual
tentang Pemerintahan Aceh. dalam pelaksanaan
Rights.
Syariat Islam di Aceh dalam hal pidana atau
Rumusan A.V Dicey tersebut, jelas
jinayah terdapat aturan pelaksana yang tertuang
mengisyaratkan pengakuan adanya kedaulatan
dalam Qanun.
hukum atau supremesi dari hukum untuk
Menurut Pagar, Qanun (Perda) yang
mencegah adanya kekuasaan-kekuasaan yang
digali dan lahir dari masyarakat Aceh sebagai
bersifat pribadi, baik berasal dari satu orang
peraturan lokal yang bersifat khusus untuk
atau segolongan manusia. Dengan demikian,
masyarakat Aceh yang dipahami sebagian besar
maka tujuan dari rule of law pada hakekatnya
memiliki perbedaan dengan ketentuan yang
ialah
13 -
Volume 2, No. 2, November 2013
melindungi
individu
terhadap
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Pemerintahan
yang
sewenang-wenang dan
Aceh wajib menaati dan mengamalkan Syariat
memungkinkan kepadanya untuk menikmati
Islam”. Berdasarkan penjelasan Pasal tersebut
hak-hak sipil dan politiknya sebagai manusia
di Aceh setiap orang yang beragama Islam
(Nukthoh Arfawie, 2005:18).
wajib menaati Syariat Islam di Aceh. Dalam
Indonesia Merupakan Negara Hukum itu
Undang-Undang
Pemerintahan
Aceh
juga
jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3)
menjelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah di
UUD Negara Republik Indonesia 1945. Sebagai
Aceh juga dapat mengadili perkara jinayah.
Negara hukum, untuk menjalankan suatu
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
Negara dan perlindungan hak asasi harus
bahwa
berdasarkan hukum (Teguh Prasetyo, 2010:1).
masyarakat yang melakukan tindak pidana yang
pertanggungjawaban
pidana
bagi
dikatagorikan pelanggaran Syariat Islam pada Qanun.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan Permasalahan yang diteliti
Berdasarkan
hasil
penelitian
di
maka penelitian ini merupakan penelitian
Pengadilan Militer I-0I Banda Aceh bahwa
hukum empiris. Pendekatan yang digunakan
anggota TNI yang melakukan Tindak Pidana
dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
yang dikatagorikan pelanggaran Syariat Islam
empiris atau yuridis sosiologis.
dihukum dengan aturan dalam KUHP.
Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian
ini
digolongkan
menjadi
Secara
umum
anggota
TNI
yang
dua,
melakukan tindak pidana di adili dengan
pertama data primer yaitu penelitian lapangan
Peradilan Militer, sebagaimana yang dijelaskan
dan data sekunder yaitu penelitian kepustakaan.
dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31
Data primer diperoleh secara langsung
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
dari sumbernya dalam hal ini diperoleh melalui
Ketentuan di atas menentukan bahwa
wawancara. Data sekunder yaitu data yang
prajurit TNI yang melakukan tindak pidana
mendukung atau menunjang kelengkapan data
menjadi kewenangan Pengadilan militer. Baik
primer,
yang
melakukan tindak pidana umum maupun tindak
merupakan bahan pustaka, peraturan, ketentuan
pidana militer. Berbeda dengan di Aceh yang
hukum.
telah
dengan
mempelajari
Selanjutnya,
penulisan
data
tesis
ini
menggunakan tekhnik analisis kualitatif.
mempunyai
memilki
Mahkamah
Syar’iyah yang berwenang memeriksa dan mengadili setiap orang yang beragama Islam
HASIL PEMBAHASAN
dan berada di Aceh.
Pertanggungjawaban Pidana Anggota TNI Yang Melanggar Syariat Islam di Aceh Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang
Pemerintahan Aceh dengan tegas menjelaskan
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
bahwa Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
Aceh yaitu: “Setiap pemeluk agama Islam di
menganut asas personalitas keislaman dan asas
Penjelasan
Umum
Undang-Undang
Volume 2, No. 2, November 2013
- 14
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala teritorial. Dengan dianutnya asas personalitas
Bakar memandang bahwa hukuman cambuk
keislaman dan teritorial dalam Undang-Undang
layak direkomendasikan masuk dalam RUUP,
Pemerintahan Aceh dengan sendirinya maka
Paling
semua orang yang beragama Islam dan berada
disamakan
dengan
di Aceh maka tunduk pada Syariat Islam yang
Pandangan
ini
diatur dalam Qanun. Berdasarkan penjelasan
cambuk dianggap relatif sesuai dengan budaya
tersebut maka dengan sendirinya anggota TNI
dan rasa keadilan masyarakat, dalam arti lebih
yang beragama Islam yang bertugas di Aceh
menjerakan dan lebih menakutkan.
tunduk kepada Qanun.
tidak
sebagai
hukuman
penjara
didasari
atau
bahwa
alternatif denda. hukuman
Menyikapi permasalahan tersebut maka
Pasal 203 ayat (1) Undang-Undang
dilakukan hal-hal yang dapat memberikan rasa
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
keadilan di dalam masyarakat. Maka dalam
Aceh, menyebutkan; “Tindak pidana yang
beberapa perkara perjudian (maisir) dan asusila
dilakukan oleh prajurit TNI di Aceh diadili
(khalwat) yang dilakukan oleh anggota TNI
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
beragama Islam yang bertugas di Aceh, yang
Berdasarkan penjelasan Pasal 203 ayat (1)
sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap
UUPA tersebut bahwa anggota TNI yang
Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir,
bertugas di Aceh yang melakukan tindak pidana
dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang
termasuk
tergolong
Khalwat, dalam pelaksanaanya telah terjalin
pelanggaran Syariat Islam maka diadili sesuai
kerjasama dan saling pengertian yang baik
dengan peraturan perundang-undangan yang
antara penegak hukum Syariah dan penegak
berlaku
hukum militer.
tindak
secara
pidana
nasional.
yang
Maka
menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku
Berbeda dalam hal hukum adat, anggota
secara nasional adalah Undang-Undang Nomor
TNI yang melakukan tindak pidana atau
31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
pelanggaran dapat tunduk pada hukum adat.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa
Anggota TNI yang melakukan perbuatan seperti
anggota TNI yang melakukan tindak pidana di
perjudian dan khalwat dapat dikenakan hukum
Aceh tidak dapat dihukum dengan Qanun
adat. Jadi selain dikenakan perundangan-
Syariat Islam. Dengan tidak bisa diterapkannya
undangan anggota TNI yang melakukan hal
Qanun Syariat Islam tersebut terhadap anggota
tersebut dapat dikenakan hukum adat yang
TNI tersebut maka hal tersebut dapat merusak
berlaku di daerah tersebut. Karena pada
rasa keadilan dalam masyarakat dan akan
praktiknya hal tersebut sering anggota TNI
merusak penerapan Syariat Islam di Aceh
yang tertangkap oleh warga dan diselesaikan
dengan tebang pilih dalam menerapkan Syariat
melalui hukum adat tersebut barulah di
Islam.
serahkan kepada aparat yang berwenang.
Demi rasa keadilan dalam Al Yasa’ Abu 15 -
Volume 2, No. 2, November 2013
Padahal, hukum yang berlaku di Aceh adalah
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala hukum adat yang di adopsi dari hukum Islam
Pasal 7 Undang-Undang
Pembentukan
yang sejak lama telah dilaksanakan sejak zaman
Peraturan Perundang-undangan 2011 mengatur
kerajaan di Aceh.
Teori Aquo pada bagian jenis dan hierarki
Berdasarkan Undang-Undang Peradilan
peraturan
perundang-undangan
Militer maka Peradilan Militer lah yang
berikut
mempunyai kewenangan absolut mengadili
Perundang-undangan terdiri atas:
anggota TNI yang melakukan kejahatan dengan
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
diterapkannya KUHPM bila melakukan tindak
:
Jenis
dan
sebagai
hierarki
Peraturan
Indonesia Tahun 1945;
pidana militer dan KUHP bila melakukan
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
tindak pidana umum (termasuk pelanggaran
c. Undang-Undang/Peraturan
Syariat Islam). Seharusnya Pengadilan Militer
Pengganti Undang-Undang;
dapat menerapkan Qanun Syariat Islam dalam
d. Peraturan Pemerintah;
mengadili dan memutus perkara anggota TNI
e. Peraturan Presiden;
yang
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
melanggar
Syariat
Islam
di
Aceh
menggantikan KUHP. Karena Qanun Syariat Islam di Aceh yang di amanatkan dalam UUPA menjadi lex specialis dari KUHP.
Pemerintah
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, merupakan undangundang yang mengatur tentang kewenangan
Faktor Yang Menjadi Penghambat Penerapan Qanun Jinayah Bagi Anggota TNI Yang Melanggar Syariat Islam di Aceh Terdapat beberapa hal yang menjadi
mengadili anggota TNI yang melakukan tindak
faktor penghambat penerapan Qanun jinayah
tidak bisa menundukkan diri kepada Qanun
bagi anggota TNI yang melanggar Syariat Islam
Syariat Islam.
di Aceh.
pidana termasuk pelanggaran Syariat Islam. Berdasarkan Undang-Undang ini anggota TNI
Anggota TNI yang melanggar Syariat Islam tidak dapat tunduk kepada Qanun Syariat, karena Qanun merupakan peraturan perundang-
Faktor Peraturan Perundang-Undangan Secara Peraturan Perundang-undangan
undangan setingkat Peraturan Daerah yang
yaitu dilihat faktor penghambat penerapan
tidak boleh bertentangan dengan undang-
Qanun
yang
undang khususnya Undang-Undang Peradilan
di Aceh dari sisi
Militer. Sehingga atas dasar itulah anggota TNI
jinayah
bagi
anggota
melanggar Syariat Islam
TNI
hukumnya atau perundang-undangan. yang menjadi
penghambat
anggota
TNI
tidak bisa tunduk secara yuridis.
yang
Bila di amati secara mendalam bahwa
melanggar Syariat Islam. berbicara masalah
penerapan Syariat Islam di Aceh terhadap
Peraturan perundang-undangan maka tidak
semua orang yang beragama Islam adalah
terlepas dari hirarkhi perundang-undangan.
Undang-Undang
Pemerintahan
Aceh
Volume 2, No. 2, November 2013
atau - 16
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala seperti yang telah dijelaskan bahwa Undang-
dalam hal pelanggaran hukum pidana umum
Undang Pemerintahan Aceh menganut asas
yang diatur dengan undang-undang”.
personalitas keislaman. Jadi penerapan Syariat
Penjelasan
Ketetapan
reformasi
RI
ini
Islam bukan diamanatkan oleh Qanun tapi
merupakan
Undang-Undang, Qanun Merupakan aturan
kekuasaan Peradilan Militer, Ketetapan MPR
pelaksana dari Undang-Undang Pemerintahan
RI tersebut menyebutkan bahwa TNI yang
Aceh. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah juga
melakukan suatu tindak pidana umum tunduk
ada diatur dalam Undang-Undang tersebut.
kepada kekuasaan Peradilan Umum. Khusus di
Maka jika dilihat dari uraian ini menunjukkan
Aceh kewenangan Peradilan Umum di ambil
tidak ada pertentangan aturan dalam penerapan
alih
Syariat Islam. jika ditinjau dari sisi asas lex
beberapa
specialis derogate legi generalis atau aturan
dikatagorikan pelanggaran Syariat Islam.
oleh
awal
MPR
Mahkamah tindak
perubahan
Syar’iyah
pidana
terhadap
umum
yang
yang khusus dapat menyampingkan aturan yang
Berdasarkan ketetapan MPR tersebut
bersifat umum, maka Undang-Undang Nomor
anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di
11
dapat
Aceh sebenarnya dapat ditundukkan kepada
menyampingkan Undang-Undang Nomor 31
Mahkamah Syar’iyah dengan diterapkan Qanun
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang
Syariat Islam. Sehingga ini akan memperkuat
bersifat umum.
pelaksanaan Syariat Islam.
tentang
Pemerintahan
Aceh
Peluang anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh untuk tunduk pada Qanun
Faktor Aparat Penegak Hukum
Syariat Islam terbuka jika dikaji dari Pasal 3 ayat
(4)
Ketetapan
MPR
RI
Nomor
Menurut Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, otonomi khusus
VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional
yang
Indonesia
pelaksanaan Syari’at Islam adalah kewenangan
Dan
Peran
Kepolisian
Negara
Republik Indonesia. menyebutkan: Bunyi Pasal 3 ayat (4) Ketetapan MPR RI
diberikan
kepada
Aceh,
termasuk
Provinsi dan dilaksanakan melalui Qanun Provinsi
(Aceh).
Tugas
dan
kewenangan
Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara
penyidikan atas pelanggaran Qanun Provinsi
Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian
menurut Undang-Undang Pemerintahan Aceh
Negara Republik Indonesia, dimasukkan ke
Nomor 11 Tahun 2006 dibebankan kepada
dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang
PPNS Provinsi dan Penyidik Polisi, bukan
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentanra
hanya kepada PPNS. Dengan demikian Polisi
Nasional Indonesia, menyebutkan: “(2) Prajurit
WH baru berwenang melakukan penyidikan
tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer
kalau telah memenuhi syarat dan sudah
dalam hal pelanggaran hukum pidana militer
diangkat
dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum
peraturan yang berlaku secara nasional.
17 -
Volume 2, No. 2, November 2013
sebagai
PPNS,
sesuai
dengan
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
PP
Praktiknya Wilayatul Hisbah dan satpol
Melanggar Syariat Islam di Aceh yaitu
belum
faktor peraturan perundang-undangan dan
berani
menindak
tegas
dan
menegakkan Syariat Islam terhadap anggota
Faktor aparat penegak hukum.
TNI yang melanggar Syariat Islam, sehingga penegakan Syariat Islam terhambat.
Saran
Berdasarkan penjelasan di atas seakan-
1. Pemerintah daerah harus segera merevisi
akan anggota TNI kebal terhadap hukum.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Padahal semua orang sama di depan hukum
tentang
tidak ada perbedaan baik masyarakat biasa,
pelanggaran Syariat Islam yang dilakukan
anggota TNI, dan kalangan pejabat semua sama.
anggota TNI di Aceh.
Pemerintahan
Aceh,
tentang
Jadi siapapun yang melakukan tindak pidana di
2. Agar tetap terjaganya pelaksanaan Syariat
Aceh maka harus tunduk pada Qanun jinayah.
Islam, harus adanya aturan hukum untuk
aparat penegak hukum Syariat Islam harus tegas
memberi kewenangan kepada penyidik
karena tidak ada perbedaan.
militer, oditur militer dan Pengadilan Militer untuk menerapkan Syariat Islam
KESIMPULAN DAN SARAN
bagi anggota TNI yang melanggarnya.
Kesimpulan 1. Pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh berupa pertanggungjawaban pidana yang berlaku
secara
umum,
yaitu
hanya
diterapkan hukum pidana yang terdapat dalam KUHP. jadi anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh tidak dipidana dicambuk. 2. Faktor yang menjadi penghambat penerapan Qanun jinayah bagi
DAFTAR KEPUSTAKAAN Muhammad, D., 2009. Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh untuk Indonesia. Bandung: UNPAD PRESS. Muladi dan Barda N. A., 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: PT. Alumni. Nukthoh, A., 2005. Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Teguh, P., 2010. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusamedia Yahya, H., 1993. Kedudukan Kewenangan don Acara Peradilan Agama. Jakarta: Pustaka Kartini.
anggota TNI Yang
Volume 2, No. 2, November 2013
- 18