BAB II KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM BIDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003 A. Sejarah Terbentuknya Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 sendiri dibentuk dan dilatarbelakangi oleh suatu realitas bahwa korupsi telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Kondisi ini diperparah oleh sifat dari korupsi yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, sehingga dalam banyak kasus korupsi melibatkan jumlah aset yang merupakan bagian penting sumber daya negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan negara tersebut 19 Korupsi juga tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting. Oleh karenanya, suatu pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara 19
Konsideran United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003
23 Universitas Sumatera Utara
efektif. Pendekatan dimaksud salah satunya adalah keberadaan bantuan teknis yang dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan kemampuan negara, termasuk dengan memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif. 20 Perubahan fokus internasional terhadap isu korupsi awalnya dipicu oleh beberapa tindak korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara. Tindak korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara seringkali menimbulkan dampak buruk khususnya bagi negara berkembang. Hal ini dikarenakan tindak kejahatan korupsi yang dilakukan pemerintah melebihi kekayaan negara yang telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. 21 Diawali dengan terungkapnya beberapa kasus tindakan korupsi oleh Transparency International yang dilakukan oleh Presiden Filipina Ferdinan Marcos pada tahun 1986 yang menyalahgunakan kekuasaannya sebagai seorang presiden dengan melakukan pencurian penerimaan negara dan sebagian diinvestasikan dalam bentuk emas batangan. Terhitung mulai awal Ferdinan Marcos menjabat sebagai Presiden Filipina pada tahun 1965 hingga 1986 Ferdinan Marcos telah mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$5 miliar hingga US$10 miliar. Dikarenakan besarnya jumlah kekayaan negara yang dikorupsi oleh Ferdinan Marcos, Guinnes book of record memasukkannya sebagai salah satu pencuri kekayaan negara terbesar sepanjang sejarah. 22 Tindak korupsi yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dilakukan oleh Ferdinan Marcos, Mobutu Seseseko yang merupakan Presiden dari Zaire telah 20
Mahrus Ali, Asas,Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, UII Press,Yogyakarta, 2013, hal. 32-33 21 Budi Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer , Cetakan Pertama, Caps: Yogyakarta, Yogyakarta, 2013. 22 Beberapa Pemimpin Terkorup di Dunia, Figur, Vol XXVII/TH.2008, hal. 22
24 Universitas Sumatera Utara
mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$5 miliar. Selain itu ada Presiden Nigeria yakni Sani Abacha yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$2 miliar hingga US$5 miliar, Presiden Yugoslavia Slobodan yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$1 miliar, Presiden Haiti J.C. Duvailer yang melakukan korupsi sebesar US$300 juta hingga US$800 juta, Presiden Peru Alberto Fujimori sebesar US$600 juta, Presiden Ukraina Pavlo Lazarenko yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$114 juta hingga US$ 200 juta, dan Presiden Nikaragua Arnoldo Aleman yang melakukan korupsi kekayaan negaranya sebesar US$100 juta. 23 Adapun dampak yang ditimbulkan dari korupsi yang pertama adalah the capture state, yang mana korupsi menjadi penghambat dari proses demokrasi dan dapat menjadi penghambat tercapainya good governance karena korupsi dapat melemahkan birokrasi sebuah pemerintahan suatu negara, dampak korupsi berikutnya adalah pada sektor perekonomian. Dalam segi ekonomi negara akan merasakan secara langsung dampak buruk dari korupsi seperti perkembangan laju ekonomi negara menjadi terhambat dalam upaya memulihkan perekonomian negaranya dan jika semua negara memiliki tingkat korupsi yang tinggi maka dapat mengganggu pemulihan perekonomian global pasca krisis. Selanjutnya dampak dari tindak korupsi yang dilakukan para pejabat publik seperti pemerintah berpengaruh terhadap kesejahteraan warganya. Akibat tindak korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik dapat menggagalkan program pembangunan yang ditujukan untuk mensejahterakan rakyatnya. Besarnya dana
23
Diakses dari, http://jurnal-libre.com/pdf, diakses tanggal 5 Maret 2015
25 Universitas Sumatera Utara
yang dikeluarkan untuk sebuah program pembangunan pada kenyataannya tidak sesuai dengan wujud dari program tersebut. 24 Berdasarkan dari beberapa penjelasan diatas mengenai besarnya dampak korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik diberbagai aspek membuktikan jika korupsi merupakan permasalahan yang sangat menghambat bagi kemajuan negara. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik negara dapat menghambat proses demokrasi suatu negara, dalam segi ekonomi korupsi dapat membuat negara terjebak dalam krisis, sedangkan dalam segi kesejahteraan warga negara korupsi dapat menyengsarakan rakyat akibat dari gagalnya program pembangunan yang tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana. Dalam
kaitannya
dengan
besarnya
dampak
negatif
korupsi
dan
permasalahan korupsi, maka dari itu untuk dapat menanggapi permasalahan korupsi pada saat ini yang masuk dalam kategori isu kontemporer dipicu dari tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, pada akhirnya untuk pertama kali isu korupsi di angkat kedalam ranah internasional dengan mendapat perhatian dunia sebagai dari salah satu jenis crime pada tahun 2000.25 Masuknya korupsi kedalam ranah internasional dibuktikan dengan dikeluarkannya resolusi pada tanggal 4 desember 2000 oleh Majelis Umum PBB yang menyatakan perlunya peraturan dalam menanggulangi permasalahan korupsi dalam taraf internasional. Sehingga pada akhirnya berdasarkan usulan tersebut didirikanlah sebuah Panitia Ad Hoc untuk melakukan negosiasi instrumen against
24
http://jurnal-libre.com/pdf, Ibid. Background of United Nation Convention Against Corruption, diakses http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/index.html, diakses tanggal 5 Maret 2015 25
dari
26 Universitas Sumatera Utara
corruption di Wina markas kantor Organisasi Internasional United Nations Office on Drug and Crime (UNODC). 26 Naskah
Konvensi
United
Nations
Convention
Against Corruption
(UNCAC) 2003 telah dinegosiasikan selama tujuh sesi oleh Komite Ad Hoc yang diselenggarakan antara tanggal 21 Januari 2002 dan tanggal 1 Oktober 2003 dan pada akhirnya setelah melewati negosiasi yang cukup panjang konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 mulai diberlakukan oleh organisasi internasional UNODC pada tanggal 14 Desember 2005. Konvensi UNCAC 2003 disini sebagai perjanjian internasional yang berfungsi untuk memperkuat hukum nasional masing-masing negara dalam hal pemberantasan korupsi. Komitmen masyarakat internasional untuk menentang korupsi ditandai dengan berhasil ditandatanganinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Melawan Korupsi (konvensi United Nations Convention Againts Corruption/ UNCAC 2003) oleh 140 negara di Merida, Meksiko, pada tanggal 9 sampai dengan tanggal 11 Desember 2003. Sehingga tanggal 9 Desember ditetapkan sebagai hari Anti Korupsi Sedunia. Konvensi ini sendiri telah diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 57/169. Setelah diratifikasi sekurangnya oleh 30 negara, ia berlaku efektif 14 Desember 2005. Jumlah negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 sampai saat ini adalah 129 negara. 27
26
Background of United Nation ConventioncAgainst Corruption, Ibid. Diakses dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/23/taj01.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2015 27
27 Universitas Sumatera Utara
Memasuki abad 21 ini, salah satu visi masyarakat internasional adalah semakin kuatnya kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan praktek-praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya deklarasi untuk memberantas korupsi dalam Konvensi UNCAC 2003 yang diadakan oleh PBB. Konvensi UNCAC 2003 ini digelar karena korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di suatu negara dan memberikan implikasi pula terhadap masyarakat internasional. Selain itu, korupsi berpotensi mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat serta dapat memperlemah nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan, dan kepastian hukum. Melemahnya nilai-nilai ini, akan dapat membahayakan kelangsungan dan keberlanjutan pembangunan (jeopardizing sustainable development). Dalam praktiknya, korupsi dapat menjadi mata rantai kejahatan yang terorganisasi (crime organized), pencucian uang (money laundering), dan kejahatan ekonomi (economic crime) lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan besar yang muncul sebagai akibat dari korupsi ini dapat merusak prinsip-prinsip persaingan sehat (fair competition) dan menyuburkan persaingan tidak sehat (unfair competition) di dunia bisnis.28 Sebelum konvensi UNCAC 2003 terbentuk, ada beberapa Konvensi Anti Korupsi tingkat internasional 29 yaitu:
28
Diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/15/0801.htm, diakses pada tanggal 23 Maret 2015 29 Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Convention_against_Transnational_Organized_Crime,diakses tanggal 23 Maret 2015
28 Universitas Sumatera Utara
1. 1977: The United States Congress oleh Perusahaan-perusahaan yang ada di Amerika Serikat. Kongres ini mengangkat masalah praktek korupsi berupa kriminalisasi suap oleh pejabat asing. 2. 1980: Cold War security mempromosikan konvensi anti korupsi tingkat internasional. 3. 1996: The Inter-American Convention against Corruption yang merupakan Konvensi Anti Korupsi tingkat regional pertama kali. 4. 1997: The OECD Convention dalam memberantas Suap oleh pejabat asing (Bribery of Foreign Public Officials). 5. 1998-1999: The Council of Europe yang menghasilkan 2 kesepakatan anti korupsi yaitu : Hukum Kriminal (Criminal Law); Konvensi Hukum Sipil (Civil Law Convention) 6. 2000: The UN Convention dalam memberantas Transnational Organized Crime 7. 2003: The African Union Convention yang membahas masalah pencegahan dan pemberantasan korupsi. Konvensi UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption) 2003 adalah konvensi anti korupsi pertama tingkat global yang mengambil pendekatan komprehensif dalam menyelesaikan masalah korupsi. Konvensi UNCAC 2003 terdiri dari delapan bab dengan 71 pasal yang mengharuskan negara-negara peratifikasi mengimplementasikan isi dari konvensi tersebut. Adapun tujuan umum dari Konvensi UNCAC 2003 adalah 30:
30
http://en.wikipedia.org/wiki/Convention_Against_Transnational_Organized_Crime ,Ibid,
29 Universitas Sumatera Utara
a. Memajukan dan mengambil langkah-langkah tegas dalam pencegahan (strenghthen measures to prevent and combat corruption more efficiently and effectively). b. Memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerja sama internasional dan bantuan teknik dalam mencegah dan memerangi perbuatan korupsi, termasuk pengembalian aset (to promote, facilitate and support international cooperation and technical assistance in the prevention of and fight against corruption, including in asset recovery). c. Memajukan integritas, pertanggungjawaban, dan hubungan manajemen publik yang sesuai dengan kepemilikan umum (to promote integrity, accountability and proper management of public affairs and public property). Lingkup Konvensi UNCAC 2003, pembukaan dan batang tubuh yang terdiri atas 8 (delapan) bab dan 71 (tujuh puluh satu) pasal dengan sistematika sebagai berikut31: a. BAB I : Ketentuan umum, memuat pernyataan tujuan; penggunaan istilah-istilah;
ruang
lingkup
pemberlakuan;
dan
perlindungan
kedaulatan. b. BAB II : Tindakan-tindakan pencegahan, memuat kebijakan dan praktek pencegahan korupsi; badan atau badan-badan pencegahan korupsi; sektor publik; aturan perilaku bagi pejabat publik; pengadaan umum dan pengelolaan keuangan publik; pelaporan publik; tindakan-tindakan yang 31
Diakses dari http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, diakses tanggal 23 Maret
2015
30 Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan jasa-jasa peradilan dan penuntutan; sektor swasta; partisipasi masyarakat; dan tindakan-tindakan untuk mencegah pencucian uang. c. BAB III : Kriminalitas dan penegakan hukum, memuat penyuapan pejabat-pejabat publik nasional, penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan
pejabat-pejabat
organisasi-organisasi
internasional
publik;
penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain kekayaan oleh pejabat publik; memperdagangkan pengaruh; penyalahgunaan fungsi; memperkaya diri secara tidak sah; penyuapan di sektor swasta; penggelapan kekayaan di sektor swasta; pencucian hasil-hasil kejahatan; penyembunyian; penghalangan jalannya proses pengadilan; tanggung jawab badan-badan hukum; keikutsertaan dan percobaan; pengetahuan, maksud dan tujuan sebagai unsur kejahatan; aturan pembatasan; penuntutan dan pengadilan, dan saksi-saksi; pembekuan, penyitaan dan perampasan; perlindungan para saksi, ahli dan korban; perlindungan bagi orang-orang
yang
melaporkan;
akibat-akibat
tindakan
korupsi;
kompensasi atas kerugian; badan-badan berwenang khusus; kerja sama dengan badan-badan penegak hukum; kerjasama antar badan-badan berwenang nasional; kerjasama antara badan-badan berwenang nasional dan sektor swasta; kerahasian bank; catatan kejahatan; dan yurisdiksi. d. BAB IV : Kerjasama internasional. memuat ekstradisi; transfer narapidana; bantuan hukum timbal balik; transfer proses pidana;
31 Universitas Sumatera Utara
kerjasama penegakan hukum; penyidikan bersama; dan teknik-teknik penyidikan khusus. e. BAB V : Pengembalian aset, memuat pencegahan dan deteksi transfer hasil-hasil kejahatan; tindakan-tindakan untuk pengembalian langsung atas kekayaan; mekanisme untuk pengembalian kekayaan melalui kerjasama internasional dalam perampasan; kerjasama internasional untuk tujuan perampasan; kerjasama khusus; pengembalian dan penyerahan aset; unit intelejen keuangan; dan perjanjian-perjanjian dan pengaturan-pengaturan bilateral dan multilateral. f. BAB VI : Bantuan teknis dan pertukaran informasi, memuat pelatihan dan bantuan teknis; pengumpulan, pertukaran, dan analisis informasi tentang korupsi; dan tindakan-tindakan lain; pelaksanaan konvensi melalui pembangunan ekonomi dan bantuan teknis. g. BAB VII : Mekanisme-mekanisme pelaksanaan, memuat konferensi negara-negara pihak pada konvensi; dan sekretariat. dan pemberantasan korupsi secara efektif dan efisien. h. BAB VIII : Ketentuan-ketentuan akhir, memuat pelaksanaan konvensi; penyelesaian sengketa; penandatanganan, pengesahan, penerimaan, persetujuan, dan aksesi; pemberlakuan; amandemen; penarikan diri; penyimpanan dan bahasa-bahasa. Konvensi UNCAC 2003 adalah Konvensi Anti Korupsi yang berlaku secara global, yang dirancang untuk mencegah dan memerangi korupsi secara komprehensif. Konvensi UNCAC 2003 menetapkan secara eksplisit bahwa
32 Universitas Sumatera Utara
korupsi merupakan kejahatan transnasional dan membawa implikasi yang sangat luas. Korupsi meruntuhkan sendi-sendi demokrasi, menghambat pembangunan berkelanjutan, melanggar hak asasi manusia, menggoyahkan keamanan suatu negara, dan meminimalisasi kesejahteraan bangsa-bangsa. Konvensi UNCAC 2003 menyiapkan 3 (tiga) strategi yang memiliki saling ketergantungan satu sama lain. Ketiga strategi tersebut adalah kriminalisasi (criminalisation), pengembalian hasil aset korupsi (asset recovery), dan kerjasama internasional (international cooperation).32 Penandatanganan konvensi tersebut memberikan peluang untuk pengembalian aset-aset para koruptor yang dibawa lari ke luar negeri. Selain itu, negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ini akan terikat untuk mempidanakan praktek-praktek korupsi, termasuk bermitra dalam pemberian bantuan teknis dan keuangan dalam pengembalian aset yang dikorup. Pelaksanaan dari konvensi UNCAC 2003 bisa dilihat dari berhasilnya Filipina, setelah 18 tahun, berhasil menarik uang Presiden Ferdinand Marcos US$ 624 juta (sekitar Rp 5,6 triliun) dari rekening bank Swiss. Peru berhasil menemukan kembali uang lebih dari US$ 180 juta (sekitar Rp 1,62 triliun) yang dicuri bekas Kepala Intelijen Polisi Vladimiro Montesinos yang disimpan di Swiss, Kepulauan Cayman, dan Amerika Serikat. Nigeria berhasil menemukan kembali aset US$ 505 juta (sekitar Rp 4,5 triliun) di Swiss dari Presiden Jenderal Sani Abacha. 33 Keberhasilan dari negara-negara tersebut tidak lepas dari kerjasama internasional antar negara korban dengan negara pihak peratifikasi yang lain dalam rangka pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery). Seperti halnya negara berkembang lainnya, 32
http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, Ibid, Diakses dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/09/nas10.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2015 33
33 Universitas Sumatera Utara
Indonesia juga merupakan negara dengan masalah korupsi yang sangat kompleks. Korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu fenomena yang sangat mencemaskan karena telah semakin meluas. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor penghambat
utama
pelaksanaan
pembangunan
Indonesia
dan
sangat
membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Di mata internasional, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara terkorup di dunia.34 Dalam rangka menyelesaikan masalah tindak pidana korupsi para pembuat kebijakan telah membentuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagai bentuk semangat reformasi hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi. 35 Untuk menindak lanjuti semangat reformasi hukum ini lahirlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan teknis pemberantasan tindak pidana korupsi. Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat mewadahi koordinasi antara kepolisian,
34
Diakses dari, http://www.transparency.org/survey/#cpi, Diakses tanggal 21 Maret 2015 Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. 35
34 Universitas Sumatera Utara
kejaksaan, instansi terkait, dan unsur masyarakat dalam upaya penanganan kasuskasus korupsi secara lebih efektif. 36 B. Kedudukan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Sebagai Sebuah Perjanjian Internasional Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan
antar
menggariskan
negara.
dasar
Melalui
kerjasama
perjanjian mereka,
internasional,
mengatur
tiap
berbagai
negara kegiatan,
menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada satu negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya. Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridis yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negaranegara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini. Oleh karena pembuatan perjanjian merupakan perbuatan hukum maka ia akan mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian internasional ialah bahwa
36
Ibid,
35 Universitas Sumatera Utara
ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak. Di samping itu walaupun bermacam-macam nama yang diberikan untuk perjanjian mulai dari yang paling resmi sampai pada bentuk yang sangat sederhana, semuanya sama-sama mempunyai kekuatan hukum dan mengikat pihak-pihak yang terkait. Menurut Myers: ada 39 macam istilah yang digunakan untuk
perjanjian-perjanjian
internasional. 37
Selanjutnya
sesuai
hukum
internasional, setiap negara mempunyai hak untuk membuat perjanjian internasional. Pada dasarnya bagi negara yang berbentuk federal, negara-negara bagian tidak mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian internasional karena wewenang tersebut terletak pada pemerintah federal. Namun kadangkadang berdasarkan konstitusi, negara bagian untuk hal-hal tertentu dapat membuat perjanjian internasional. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan tanggal 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan tanggal 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention On the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum
37
Myers, The Names and Scoope of Treaties, 51 American Journal of International Law , 1957, hal. 574,575
36 Universitas Sumatera Utara
internasional positif. Sampai Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak pada Konvensi tersebut. (1)Defenisi dan Ruang Lingkup Perjanjian
internasional
merupakan
salah
satu
sumber
hukum
internasional. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional terdiri dari: a) perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum maupun khusus; b) kebiasaan internasional (international custom); c) prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab; d) keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly qualified publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional. Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional (treaty) didefinisikan sebagai: Suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya . Defenisi ini kemudian dikembangkan oleh Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu: Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta
37 Universitas Sumatera Utara
menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik. Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum. Sehubungan dengan itu terdapat dua unsur pokok yang terdapat dalam defenisi perjanjian internasional tersebut: (a)Adanya subjek hukum internasional Negara adalah subjek hukum internasional, par exellence, yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional seperti yang tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina . Kesulitan mungkin timbul bila menyangkut negara-negara federal, organisasi-organisasi internasional atau gerakan-gerakan pembebasan nasional. Komisi Hukum Internasional memang mengajukan rancangan mengenai kemungkinan negara-negara bagian dari suatu negara federal membuat perjanjian dengan negara-negara lain bila konstitusi federal mengijinkannya dan dalam batas-batas yang ditentukan. Tetapi usul tersebut ditolak oleh Konferensi yang menggarisbawahi bahwa permasalahannya lebih banyak bersifat intern suatu negara dan Konferensi kelihatannya tidak mau melibatkan diri pada masalah yang cukup peka. Dalam prakteknya ada konstitusi yang melarang dan ada yang membiarkannya. Amerika Serikat, Meksiko, dan Venezuela misalnya melarang negara-negara bagian membuat perjanjian dengan negara-negara lain. Kanada
38 Universitas Sumatera Utara
yang semula mempunyai sikap yang sama berangsur-angsur melunakkan posisinya dan memberikan kemungkinan kepada Propinsi Quebec yang berbahasa Perancis untuk membuat perjanjian kerjasama kebudayaan negara-negara francophone.38 Disamping itu Konstitusi Uni Soviet 7 Oktober 1977 (Pasal 70), Konstitusi Jerman 28 Mei 1949 dan Konstitusi Swiss 29 Mei 1974 juga memberikan wewenang tertentu kepada negara-negara bagian untuk membuat persetujuan dengan negara-negara lain Sekarang organisasi-organisasi internasional juga sudah diberikan wewenang untuk membuat perjanjian internasional. Sebagai contoh perjanjian antara UNESCO dengan Perancis, 2 Juli 1954 tentang pendirian gedung dan status UNESCO di Perancis, antara PBB dengan Pemeritah Amerika Serikat, 26 Juni 1947 tentang pendirian dan status hukum gedung PBB di kota New York. Bahkan juga antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya yaitu Konvensi yang ditandatangani tanggal 19 April dan 19 Juli 1946 di Jenewa antara LBB (Liga Bangsa-Bangsa) dan PBB mengenai penyerahan inventaris dan gedung dari Organisasi yang pertama kepada PBB. Pembatasan bagi organisasi internasional untuk mebuat perjanjian jelas terdapat dalam Pasal 6 Konvensi mengenai perjanjian-perjanjian yang dibuat antara negara dan organisasi internasional atau antara organisasi-organisasi internasional yang berbunyi : kapasitas suatu organisasi internasional untuk
38
J.Y Morin, In Annuaire Canadien de Droit Internasional (ACDI), 1965, hal. 127-186
39 Universitas Sumatera Utara
membuat perjanjian-perjanjian diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dan organisasi tersebut. Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu. Ada beberapa bentuk perjanjian internasional salah satunya yaitu konvensi. Istilah konvensi biasanya dipakai untuk dokumen yang resmi dan bersifat multilateral. Juga mencakup dokumen-dokumen yang dipakai oleh aparat lembaga internasional. 39 Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional.40 Langkahlangkah yang biasa ditempuh dalam membuat perjanjian internasional adalah sebagai berikut : a. Pemberian kuasa resmi kepada orang yang melakukan negosiasi atas nama negara Dalam tahap ini ditunjuk suatu perwakilan untuk melakukan negosiasi. Pemberian kuasa resmi harus dilakukan dengan prosedur yang tepat. b. Negosiasi dan adopsi Dalam tahap ini para delegasi tetap mengadakan hubungan dengan pemerintah masing-masing. c. Otentikasi dan penandatanganan
39
sistem, ada tujuan yang pasti yang telah dicanangkan oleh para pengambil keputusan, bahwa dalam keputusan yang dibuat setelah mempertimbangkan semua alternatif kemudian memilih alternatif yang paling efektif dan efisisen untuk mencapai tujuan tersebut. Graham T. Allison (et.al), dalam Marry G. Kweit& Robert W. Kweit, Metode dan Konsep Analisa Politik, Jakarta: Bina Aksara, 1986, hal 188. Bentuk Perjanjian Internasional yaitu: Treaty, Konvensi, Protokol, Persetujuan, Arrangement, Proses Verbal, Statuta, Deklarasi, Modus Vivendi, Pertukaran Nota atau Surat, Ketentuan Penutup (Final Act), Ketentuan Umum, T. May RudY, Hukum Internasional II, Bandung: Refika Aditama, 2001, hal123-126 40 Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990, hal 75-79
40 Universitas Sumatera Utara
Apabila rancangan final perjanjian internasioanl telah disetujui, berarti instrumen ini telah
siap
untuk
penandatanganan, rancangan teks
ditandatangani. tersebut
dapat
penandatanganan biasanya merupakan hal yang
Sebelum diumumkan.
dilakukan Tahap
paling formal.
d. Ratifikasi Ratifikasi adalah merupakan persetujuan Kepala Negara atau pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh kuasa penuhnya yang ditunjuk dengan sebagaimana mestinya. e. Aksesi dan addesi Aksesi dan addesi merupakan cara untuk menyatakan keterikatan negara pada perjanjian internasional yang tersedia bagi negara-negara yang tidak ikut serta dalam pembuatan perjanjian internasional. f. Mulai berlakunya perjajanjian internasional Menurut ketentuan pasal 24 ayat 1 Konvensi Wina 1969 berlakunya suatu perjanjian tergantung pada ketentuan perjanjian internasional itu sendiri atau apa yang telah disetujui oleh negara peserta. g. Registrasi dan publikasi Pasal 102 Piagam PBB 1945, menentukan bahwa semua perjanjian internasional dan persetujuan internasional yang dibuat oleh anggota PBB harus sesegera mungkin dicatatkan pada Sekretariat PBB dan kemudian akan diumumkan oleh Sekretariat. h. Aplikasi dan pelaksanaan perjanjian internasional
41 Universitas Sumatera Utara
Langkah final proses pembuatan perjanjian internasional adalah penyatuan ketentuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional negara pihak. Kemudian diikuti tindakan aplikasi, tindakan administrasi yang diperlukan dab supervisi oleh organ-organ internasional. Dalam pelaksanaannya negara-negara peserta ratifikasi akan dihadapkan pada sejumlah persiapan berupa adanya kesamaan standar internasional dari hukum nasional yang akan menjadi suatu kendala dalam implementasinya. Persiapan tersebut berupa adanya kesamaan standar internasional dari hukum nasional negara yang bersangkutan. Dengan demikian perlu adanya suatu proses harmonisasi hukum. 41
41
Harmonisasi adalah suatu proses standarisasi internasional untuk menyamakan standar hukumnasional yang berlaku di negara yang bersangkutan dengan standar internasional sebagai akibat dari ratifikai yang menuntut adanya pemberlakuan (Entry into Force), ibid, hal 130
42 Universitas Sumatera Utara
Gambar 1 Bagan Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional Dibawah Wibawa PBB.42
Sumber : Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990, hal 82
42
Mohd. Burhan Tsani, Op.Cit, hal 82
43 Universitas Sumatera Utara
(2)Tahap-tahap Pembuatan Konvensi UNCAC 2003 Proses pembuatan konvensi UNCAC 2003 (United Nations Convention Againts Corruption) dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: Perundingan (Negotiation), Penandatanganan (Signature), dan Ratifikasi (Ratification). Pelaksanaan dari tahapan-tahapan tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat sehingga akhirnya sampai pada penyelesaian akhir dari konvensi tersebut 1 Perundingan (Negotiation) Penyusunan
Konvensi
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
menentang
korupsi (konvensi UNCAC 2003) diawali sejak tahun 2000 di mana Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55, melalui Resolusi Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember 2000, memandang perlu dirumuskannya instrumen hukum nternasional antikorupsi secara global. Instrumen hukum internasional tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif. Untuk tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Ad Hoc Committee (Komite Ad Hoc) yang bertugas merundingkan draft Konvensi 43. Komite Ad Hoc yang beranggotakan mayoritas negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun untuk menyelesaikan pembahasan sebelum akhirnya menyepakati naskah akhir Konvensi untuk disampaikan dan diterima sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
43
Diakses dari, http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06..htm, diakses tanggal 23 Maret
2015
44 Universitas Sumatera Utara
2 Penandatanganan (Signature) Konvensi United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) 2003 diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 di Markas Besar PBB di New York Amerika Serikat. Proses penandatanganan konvensi tersebut diadakan pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003 di Merida Meksiko. Jumlah negara yang telah membubuhkan tanda tangan adalah 111 negara. Kemudian proses penandatanganan dilanjutkan sampai tanggal 19 September 2005 di Markas Besar PBB dan pada saat itu telah ada 140 negara yang menandatangani konvensi tersebut. Proses penandatanganan ini sesuai dengan Pasal 67 Ayat 1 konvensi UNCAC 2003. 44 3 Ratifikasi (Ratification) Kekuatan mengikat konvensi United Nations Convention Againts Corruption 2003 baru terjadi pada tanggal 15 September 2005 setelah 30 negara yang telah membubuhkan tanda tangan meratifikasi isi dari konvensi tersebut. Sampai dengan tahun 2007 ada 129 negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Adapun daftar negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi adalah sebagaimana terlampir. 45 Konvensi UNCAC 2003 adalah konvensi untuk menentang korupsi yang berhasil ditandatangani pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003. Konvensi ini sendiri telah diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 57/169. Main point dari isi konvensi tersebut adalah 44
This Convention shall be open to all States for signature from 9 to 11 December 2003 in Merida, Mexico, and thereafter at United Nations Headquarters in New York until 9 December 2005. Diakses dari.http://www.unodc.org/unodc/crime_convention_corruption.html, diakses tanggal 24 Maret 2015 45 Ibid,
45 Universitas Sumatera Utara
Kriminalisasi, Asset Recovery, Kerjasama Internasional. Dimana isi dari konvensi UNCAC 2003 bisa saling mendukung satu sama lain. Indonesia ikut menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 18 Desember 2003 dan Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang No.7 Tahun 2006 pada tanggal 18 April 2006 sebagai tindak lanjut dari kesepahaman konvensi UNCAC 2003, bagi terciptanya negara yang bebas dari korupsi. Dengan meratifikasi konvensi UNCAC
Indonesia
mempunyai
sejumlah
kewajiban
untuk
melakuakan
standarisasi internasional agar konvensi UNCAC 2003 bisa mempunyai kekuatan pemberlakuan bagi Indonesia. Selain itu Indonesia bisa memanfaatkan konvensi UNCAC 2003 untuk menyelesaikan masalah korupsi Indonesia yang sudah melintas batas negara (cross border). Konvensi UNCAC 2003 merupakan sumber hukum internasional yang merupakan hasil perjanjian yang dinaungi oleh organisasi internasional dibidang kejahatan internasional dan obat-obatan terlarang yaitu United Nations Office On Drug and Crime (UNODC) yang menjadi subyek hukum internasional dan menjadi anggota dari masyarakat internasional. 46 Konvensi UNCAC 2003 sebagai sumber hukum internasional UNODC di gunakan sebagai perjanjian internasional yang menjadi sebuah landasan dari upaya-upaya negara dalam melakukan pemberantasan korupsi ditingkat domestik maupun global. Perjanjian Internasional UNCAC 2003 ini lebih menyoroti kepada permasalahan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik suatu negara maupun pejabat asing yang melakukan korupsi di negara lain. Konvensi UNCAC 2003 46
Mochtar Kusumaatmadja,dkk. Pengantar Hukum Internasional.Cetakan Pertama, PT Alumni, Bandung, 2010
46 Universitas Sumatera Utara
melihat bahwa korupsi merupakan sebuah wabah yang sangat berbahaya bagi negara dan masyarakat khususnya didalam negara yang bersistem demokrasi karena korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik negara dapat memberikan efek buruk yang sangat besar bagi beberapa aspek seperti pelanggaran hak asasi manusia, mengacaukan program-program pembangunan dengan mengalihkan dana-dana yang bertujuan untuk pembangunan, korupsi juga dapat melemahkan pemerintahan sehingga menyebabkan kesenjangan, mengurangi bantuan luar negeri dan berpengaruh kepada beberapa aspek lainnya. 47 C. Kekuatan Mengikat Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Adapun kewajiban negara dalam meratifikasi konvensi UNCAC 2003 adalah tidak hanya terbatas pada negara yang menjadi anggota dari organisasi UNODC yang mana UNODC sebagai organisasi dibawah PBB yang menaungi Konvensi UNCAC 2003. Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 selanjutnya wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah tertera didalam pasalpasal yang termuat dalam Konvensi UNCAC 2003. Ketentuan tersebut secara jelas telah di cantumkan dalam Bab I mengenai ketentuan-ketentuan. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 dan juga merupakan anggota dari organisasi UNODC. Namun sebelum diratifikasinya konvensi UNCAC 2003, berdasarkan laporan anti corruption clearing house (ACCH) sebenarnya terdapat 25 pasal didalam konvensi UNCAC 2003 yang
47
Kofi A. Nan. Kata Pengantar UNCAC. Pdf
47 Universitas Sumatera Utara
sebelumnya telah ada didalam beberapa kebijakan Indonesia. 48 Sedangkan jika di bedah lagi secara garis besar beberapa pasal konvensi UNCAC 2003 yang menjadi landasan perubahan kebijakan Indonesia terkait korupsi tahun 2009-2013 pasca konvensi UNCAC 2003 adalah bab II dan bab III. Indonesia sebagai aktor yang telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 memiliki hak yang mana juga hak tersebut telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal didalam konvensi UNCAC 2003. Indonesia menyatakan reservation (pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat (2) konvensi UNCAC 2003 yang mengatur mengenai upaya penyelesaian sengketa, seandainya jika diperlukan, mengenai penjelasan dan pelaksanaan konvensi UNCAC 2003 melalui Mahkamah Internasional. Keputusan ini diambil sebagai sebuah pertimbangan bahwa Indonesia tidak mau mengakui jurisdiksi yang mengikat secara clematis (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Pensyaratan yang diajukan oleh Indonesia telah sesuai dengan ketentuan internasional yang berlaku.49 Persyartan yang diajukan oleh Indonesia ini merupakan hak bagi setiap negara berdaulat dalam perjanjian internasional. Selain telah menggunakan hak nya adapun kewajiban Indonesia untuk menerapkan konvensi UNCAC 2003 kedalam ranah domestik. Hal ini disebutkan dalam Legislative guide for the implementation of the United Nations Convention against Corruption Second revised edition 2012 pada bab Structure of the United Nations Convention against Corruption yang menjelaskan mengenai tujuan dari terbentuknya konvensi 48
ACCH. Bab I: Pendahuluan, diakses dari http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27925/GAP+Analysis+Indonesia+terhadap+UNCAC.pdf, pada tanggal 6 Marer 2015 49 Berdasarkan dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
48 Universitas Sumatera Utara
UNCAC 2003, kewajiban negara peserta, dan prinsip perlindungan kedaulatan yang sangat di utamakan dalam konvensi UNCAC 2003. Untuk mengadopsi perjanjian internasional kedalam regulasi suatu negara maka Indonesia sebagai negara berdaulat tentunya memiliki mekanisme yang berbeda. Dalam prosesnya untuk dapat menerapkan pasal-pasal konvensi UNCAC 2003 kedalam regulasi domestik maka Indonesia harus membuat undang-undang yang menyatakan telah diratifikasinya konvensi UNCAC 2003 di Indonesia dengan alasan yang jelas. Sebagai mana yang telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Dalam prosesnya, adopsi konvensi UNCAC 2003 kedalam regulasi korupsi Indonesia ini di awali dengan ditandatanganinya naskah perjanjian internasional UNCAC pada tanggal 18 Desember 2003 yang kemudian diratifikasi pada tanggal 19 September 2006.50 Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dalam mekanisme hukum internasional menjadi hukum nasional terdapat dua macam cara yaitu dengan undang-undang atau dengan keputusan Presiden. 51 Adapun Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undangundang jika perjanjian internasional mengenai 52 : a) Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
50
Ibid. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional 52 Ibid. 51
49 Universitas Sumatera Utara
d) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) Pembentukan kaidah hukum baru; f) Pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Perjanjian internasional yang tidak di sahkan melalui undang-undang merupakan perjanjian yang tidak berkaitan dengan ke enam permasalahan tersebut. Proses adopsi dari konvensi UNCAC 2003 ini mulai di laksanakan pada tanggal 20 Maret 2006 oleh parlemen Republik Indonesia melalui sidang pleno mengesahkan Undang-Undang. Nomor 7 tahun 2006 mengenai pengesahan ratifikasi konvensi UNCAC 2003 yang dilaksanakan pada rapat paripurna DPR RI.53 Hal ini menunjukkan bahwa dalam mekanismenya konvensi UNCAC 2003 di sahkan melalui undang-undang yang harus disetujui DPR RI. Urusan mengenai korupsi ini di serahkan pada komisi III DPR RI yang menangani masalah54 : a. Hukum, b. Ham, dan c. Keamanan. Secara lebih spesifik lagi dalam mekanisme pengadopsian hukum internasional ke dalam hukum nasional di Indonesia terdapat beberapa rapat paripurna yang harus dilakukan sampai pada akhirnya ratifikasi konvensi UNCAC 2003 di sahkan oleh Indonesia. Adapun tahapan tersebut antara lain diawali 53
Support to fight against corruption. 2013.Kerangka Acuan Seminar Sehari Sensitisasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) , STRANAS PPK dan INPRES No. 1 Tahun 2013 di Indonesia, diakses dari http://www.ti.or.id/media/documents/2013/11/06/t/o/tor_sensitisasi_uncac_jakarta.pdf, diakses tanggal 8 Maret 2015. 54 Komisi III, diakses dari http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-III, diakses tanggal 8 Maret 2015
50 Universitas Sumatera Utara
dengan
di
usulkan
rancangnya
undang-undang
yang
berisi
mengenai
penjelasan/keterangan maupun naskah akademis yang berasal dari Presiden dan kemudian disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR RI melalui surat pengantar Presiden yang selanjutnya di sampaikan dalam bentuk tertulis kepada pimpinan DPR RI dengan surat pengantar Presiden serta Menteri yang mewakili presiden dalam mengkaji Rancangan Undang-Undang (RUU). Dalam rapat paripurna selanjutnya yang mana RUU diterima oleh pimpinan DPR RI ditindak lanjuti dengan mempublikasikan kepada seluruh anggota. Publikasi RUU dilakukan oleh instansi yang membuat, dan ditindaklanjuti dengan RUU dibahas dalam tingkat dua pembicaraan DPR RI oleh Menteri yang mewakili Presiden. 55 Kemudian hasil dari adopsi regulasi pasca ratifikasi konvensi UNCAC 2003 yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 di tugaskan kepada lembaga milik negara yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang memiliki peran penting dalam penerapan konvensi UNCAC 2003. Hal tersebut dikarenakan KPK merupakan salah satu lembaga yang berhubungan langsung dengan pemberantasan korupsi. Pemilihan Indonesia memberikan tugas dan tanggung jawab kepada KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 yaitu KPK sebagai state auxiliary body yaitu lembaga khusus menangani korupsi. Selain itu latar belakang dibentuknya KPK adalah sebagai salah satu dari solusi untuk dapat menangani dan meningkatkan pemberantasan korupsi yang selama ini masih menjadi permasalahan krusial bagi Indonesia. 56
55
Pembuatan Undang-Undang, diakses dari http://www.dpr.go.id/id/tentangdpr/pembuatanundang-undang, diakses pada tanggal 20 Maret 2015 56 ACCH. Bab I: Pendahuluan, Ibid.
51 Universitas Sumatera Utara
Namun, dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana korupsi, KPK tetap melakukan kerjasama dengan institusi dalam negeri. KPK Sebagai lembaga khusus berperan penting sebagai bagian dari keberhasilan adopsi regulasi korupsi ini khususnya korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik, maka dari itu KPK memiliki tanggung jawab serta kewajiban untuk melaksanakan pelaksanaan konvensi UNCAC 2003 di Indonesia. 57 Didalam sistem operasi konsep hukum internasional, court/institution merupakan prosedur terakhir yang dapat menjelaskan mengenai adopsi regulasi konvensi UNCAC 2003 yang dipengaruhi dari faktor-faktor domestik. Dalam komponen ini menjelaskan mengenai upaya-upaya yang dilakukan oleh negara-negara peserta konvensi UNCAC 2003 dalam menyelesaikan tindak kejahatan korupsi pada tingkat internasional sebagai bentuk penerapan konvensi UNCAC 2003. Upayaupaya tersebut berdasarkan konsep hukum internasional Charllote Ku dan Paul F.Dheil dapat berbentuk forum dan aturan berfungsi untuk mengontrol yang nantinya akan diadili oleh lembaga pengadilan internasional yang dibentuk secara permanen. Konvensi UNCAC 2003 hingga saat ini hanya menggunakan International
Court
Of
Justice
atau
Mahkamah
Internasional
dalam
menyelesaikan sengketa dua atau lebih negara peserta mengenai penerapan konvensi yang tidak tercapai kesepakatan dalam perundingan yang telah ditentukan. Hal tersebut diatur dalam pasal 66 ayat dua mengenai penyelesaian sengketa.58
57
ACCH. Bab I: Pendahuluan, Ibid United Nation Convention Against Corrupion (UNCAC) Treaties, pdf.
58
52 Universitas Sumatera Utara
Namun dalam hal ini Indonesia tidak menginginkan adanya intervensi dari International Court Justice (ICJ) terhadap permasalahan korupsi jika suatu saat terjadi. Ketidak-inginan Indonesia merupakan hak bagi negara yang mana negara dapat membatasi dampak dari ICJ dengan membuat persyaratan. 59
D. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 1) Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi yang Diatur dalam Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Akibat korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin dalam pembukaan (preambule) konvensi UNCAC 2003. Konvensi yang yang telah di ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya menyatakan bahwa: “ Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law;”
("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;") Perbuatan-perbuatan yang dilarang atau dikriminalisasi dalam substansi konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 secara 59
Sam Blay.2003.Public International Law: An Australian Perspective Second Edition.
Oxford
53 Universitas Sumatera Utara
garis besar terdiri dari empat hal yaitu; (a) tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (bribery of national public officials); (b) tindak pidana korupsi terhadap memperdagangkan pengaruh (trading in ifluence); (c) tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment); dan (d) tindak pidana korupsi penyuapan di sektor swasta (bribery in the private sector). Pertama, tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (bribery of national public officials) diatur dalam ketentuan Pasal 15 yang berbunyi: Each state party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally: (a) the promise, offering or giving, to a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties; (b) the solicitation or acceptance by a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties. Jadi, yang dikriminalisasi adalah dengan sengaja melakukan tindakan berupa janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat publik itu sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak melaksanakan tugas resminya; dan permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak semestinya oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak melaksanakan tugas resminya. Terhadap penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-pejabat dari organisasi-organisasi internasional publik
54 Universitas Sumatera Utara
diatur
dalam
ketentuan
Pasal
16.
Sedangkan
mengenai
penggelapan,
penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik diatur dalam ketentuan Pasal 17 konvensi UNCAC 2003. Kedua, tindak pidana korupsi berupa memperdagangkan pengaruh (trading in influence). Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 18, yang pada pokoknya melarang perbuatan yang dilakukan dengan sengaja berupa; (a) janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari lembaga pemerintah atau lembaga publik Negara Pihak untuk kepentingan penghasut asli perbuatan itu atau untuk orang lain; dan (b) permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak semestinya oleh pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, untuk dirinya atau orang lain agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semsetinya dari lembaga pemerintag atau lembaga publik Negara Pihak. Termasuk
dalam
kategori
memperdagangkan
pengaruh
adalah
penyalahgunaan fungsi. Pasal 19 konvensi UNCAC 2003 mengatakan bahwa, dikatakan sebagai penyalahgunaan fungsi atau jabatan, dalam arti, melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu perbuatan, yang melanggar hukum, oleh pejabat publik dalam pelaksanaan tugasnya, dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya untuk dirinya atau untuk orang lain atau badan lain (the abuse of
55 Universitas Sumatera Utara
functions or position, that is, the performance of or failure to perform an act, in violation of laws, by a public official in the discharge of his or her functions, for the purpose of obtaining an undue advantage for himself for herself or for another person or entity). Ketiga, tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment). Ketentuan Pasal 20 konvensi UNCAC 2003 menyatakan, bahwa: Subject to its contitution and the fundamental principlesof its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income. Perbuatan memperkaya diri, dalam arti, penambahan besar kekayaan pejabat publik itu yang tidak dapat secara wajar dijelaskannya dalam kaitan dengan penghasilannya yang sah yang dilakukan dengan sengaja merupakan perbuatan yang dilarang. Keempat, tindak pidana penyuapan di sektor swasta (bribery in the private sector). Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam substansi Pasal 21 dan Pasal 22 konvensi UNCAC 2003 yang berisi larangan penyuapan di sektor swasta dan larangan penggelapan kekayaan di sektor swasta. Pasal 21 menyatakan, bahwa Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakantindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan: (a) janji, penawaran atau pemberian, secara langsung atau tidak langsung, manfaat-manfaat yang tidak semestinya kepada orang yang memimpin
56 Universitas Sumatera Utara
atau bekerja, dalam jabatan apapun, untuk badan sektor swasta, untuk dirinya atau untuk orang lain, agar ia, dengan melanggar tugasnya, bertindak atau tidak bertindak, dan (b) permintaan atau penerimaan, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semsetinya oleh orang yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apapun, dibadan sektor swasta, untuk dirinya atau untuk orang lain, agar ia, dengan melanggar tugasnya bertindak atau tidak bertindak. Pasal 22 menyatakan, bahwa: Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally in the course of economic, financial or commercial activities, embezzlement by a person who directs or works, in any capacity, in a private sector entity of an property, private funds or securities or any other thing of value entrusted to him or her by virtue of hir or her position. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 di atas, Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja, dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan, penggelapan oleh orang yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apapun, di badan sektor swasta, terhadap kekayaan, dana atau sekuritas swasta atau barang lain yang berharga yang dipercayakan kepadanya karena jabatannya. 2) Negara-Negara yang Telah Meratifikasi Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Penandatanganan suatu perjanjian belum menciptakan ikatan hukum bagi para pihaknya. Bagi perjanjian yang demikian penandatanganan perjanjian
57 Universitas Sumatera Utara
tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Pengesahan demikian dinamakan ratifikasi. Ratifikasi suatu perjanjian adalah suatu prosedur yang secara progresif dimulai pada pertengahan abad ke- XIX. Sebelumnya utusan yang diberi kekuasaan penuh oleh raja dapat menandatangani perjanjian dan langsung mengikat negara secara definitif. Menurut Grotius tanda tangan saja sudah cukup. Kemudian dengan mundurnya monarki absolut dan berkembangnya prinsipprinsip demokrasi maka dirasa perlu untuk memeriksa lagi perjanjian yang telah dibuat dan yang telah ditandatangani oleh utusan-utusan raja tersebut. Selanjutnya tandatangan itu saja tidak cukup untuk mengikat negara. Sesudah itu harus ada ratifikasi dan barulah sesudah ratifikasi itu negara dapat diikat secara definitif oleh suatu perjanjian. Penandatanganan konvensi UNCAC 2003 pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003 dan diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 57/169. Penandatanganan konvensi ini dilakukan oleh 140 negara dan 129 negara telah meratifikasi isi dari konvensi tersebut. Indonesia merupakan negara pihak ke-57 yang menandatangani konvensi UNCAC 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 dan meratifikasi melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 pada tanggal 18 April 2006. Sesuai dengan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tindakan pengesahan tersebut dilaksanakan melalui proses pembuatan undang-undang oleh DPR RI dengan telah memberlakukan konvensi tersebut sebagai hukum nasional
58 Universitas Sumatera Utara
Indonesia yang menimbulkan kewajiban hukum bagi setiap lembaga atau individu di Indonesia. 60 Gambar 2. Negara-negara yang telah menandatangani Konvensi UNCAC 2003 dan status ratifikasinya sampai dengan 12 November 2014 61
United Nations Convention Against Corruption Signature and Ratification Status as of 12
November 2014 Signatories: 140 Parties: 174
:
Sumber : http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html
60
Diakses dari, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20 INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUP SI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 12 Mei 2015 61 Diakses dari, http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html, diakses tanggal 7 April 2015
59 Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Daftar negara yang telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi UNCAC 2003, beserta tanggal nya 62 Country
Signature
Ratification, Acceptance (A), Approval (AA), Accession (a), Succession (d)
Afghanistan
20 Feb 2004
25 Aug 2008
Albania
18 Dec 2003
25 May 2006
Algeria
9 Dec 2003
25 Aug 2004
Angola
10 Dec 2003
29 Aug 2006
Antigua and Barbuda
21 Jun 2006 a
Argentina
10 Dec 2003
28 Aug 2006
Armenia
19 May 2005
8 Mar 2007
Australia
9 Dec 2003
7 Dec 2005
Austria
10 Dec 2003
11 Jan 2006
Azerbaijan
27 Feb 2004
1 Nov 2005
Bahamas Bahrain
10 Jan 2008 a 8 Feb 2005
Bangladesh
5 Oct 2010 27 Feb 2007 a
Barbados
10 Dec 2003
Belarus
28 Apr 2004
17 Feb 2005
Belgium
10 Dec 2003
25 Sep 2008
Benin
10 Dec 2003
14 Oct 2004
Botswana
27 Jun 2011 a
Bhutan
15 Sep 2005
Bolivia
9 Dec 2003
5 Dec 2005
Bosnia and Herzegovina
16 Sep 2005
26 Oct 2006
Brazil
9 Dec 2003
15 Jun 2005
Brunei Darussalam
11 Dec 2003
2 Dec 2008
Bulgaria
10 Dec 2003
20 Sep 2006
62
Diakses dari, http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html, Ibid.
60 Universitas Sumatera Utara
Burkina Faso
10 Dec 2003
10 Oct 2006
Burundi
10 Mar 2006 a
Cambodia
5 Sep 2007 a
Cameroon
10 Dec 2003
6 Feb 2006
Canada
21 May 2004
2 Oct 2007
Cabo Verde
9 Dec 2003
23 Apr 2008
Central African Republic
11 Feb 2004
6 Oct 2006
Chile
11 Dec 2003
13 Sep 2006
10 Dec 2003
13 Jan 2006
Colombia
10 Dec 2003
27 Oct 2006
Comoros
10 Dec 2003
11 Oct 2012
China
1
Congo
13 Jul 2006 a
Cook Islands
17 Oct 2011
Costa Rica
10 Dec 2003
21 Mar 2007
Côte d'Ivoire
10 Dec 2003
25 Oct 2012
Croatia
10 Dec 2003
24 Apr 2005
Cuba
9 Dec 2005
9 Feb 2007
Cyprus
9 Dec 2003
23 Feb 2009
Czech Republic
22 Apr 2005
29 Nov 2013
Democratic Republic of the
23 Sep 2010 a
Congo Denmark
2
Djibouti
10 Dec 2003
26 Dec 2006
17 Jun 2004
20 Apr 2005
Dominica
28 May 2010 a
Dominican Republic
10 Dec 2003
26 Oct 2006
Ecuador
10 Dec 2003
15 Sep 2005
Egypt
9 Dec 2003
25 Feb 2005
El Salvador
10 Dec 2003
1 Jul 2004
Estonia Ethiopia
12 Apr 2010 a 10 Dec 2003
26 Nov 2007
61 Universitas Sumatera Utara
European Union
15 Sep 2005
Fiji
12 Nov 2008 AA 14 May 2008 a
Finland
9 Dec 2003
20 Jun 2006 A
France
9 Dec 2003
11 Jul 2005
Gabon
10 Dec 2003
1 Oct 2007
Georgia
4 Nov 2008 a
Germany
9 Dec 2003
12 Nov 2014
Ghana
9 Dec 2004
27 Jun 2007
Greece
10 Dec 2003
17 Sep 2008
Guatemala
9 Dec 2003
3 Nov 2006
Guinea
15 Jul 2005
29 May 2013
Guinea-Bissau
10 Sep 2007 a
Guyana
16 Apr 2008 a
Haiti
10 Dec 2003
14 Sep 2009
Honduras
17 May 2004
23 May 2005
Hungary
10 Dec 2003
19 Apr 2005
Iceland
1 Mar 2011 a
India
9 Dec 2005
9 May 2011
Indonesia
18 Dec 2003
19 Sep 2006
Iran (Islamic Republic of)
9 Dec 2003
20 Apr 2009
Iraq
17 Mar 2008 a
Ireland
9 Dec 2003
09 Nov 2011
Israel
29 Nov 2005
4 Feb 2009
Italy
9 Dec 2003
5 Oct 2009
Jamaica
16 Sep 2005
5 Mar 2008
Japan
9 Dec 2003
Jordan
9 Dec 2003
Kazakhstan Kenya
24 Feb 2005 18 Jun 2008 a
9 Dec 2003
Kiribati
9 Dec 2003 27 Sep 2013 a
62 Universitas Sumatera Utara
Kuwait
9 Dec 2003
16 Feb 2007
Kyrgyzstan
10 Dec 2003
16 Sep 2005
Lao People's Democratic
10 Dec 2003
25 Sep 2009
19 May 2005
4 Jan 2006
Republic Latvia Lebanon
22 Apr 2009 a
Lesotho
16 Sep 2005
Liberia
16 Sep 2005 16 Sep 2005 a
Libya
23 Dec 2003
7 Jun 2005
Liechtenstein
10 Dec 2003
8 Jul 2010
Lithuania
10 Dec 2003
21 Dec 2006
Luxembourg
10 Dec 2003
6 Nov 2007
Madagascar
10 Dec 2003
22 Sep 2004
Malawi
21 Sep 2004
4 Dec 2007
Malaysia
9 Dec 2003
24 Sep 2008
Maldives
22 Mar 2007 a
Mali
9 Dec 2003
18 Apr 2008
Malta
12 May 2005
11 Apr 2008
Marshall Islands
17 Nov 2011
Mauritania
25 Oct 2006 a
Mauritius
9 Dec 2003
15 Dec 2004
Mexico
9 Dec 2003
20 Jul 2004
Micronesia (Federated States
21 Mar 2012 a
of) Moldova
28 Sep 2004
1 Oct 2007
Mongolia
29 Apr 2005
11 Jan 2006
Montenegro
3
23 Oct 2006 d
Morocco
9 Dec 2003
9 May 2007
Mozambique
25 May 2004
9 Apr 2008
Myanmar
2 Dec 2005
20 Dec 2012
63 Universitas Sumatera Utara
Namibia
9 Dec 2003
Nauru
12 Jul 2012 a
Nepal Netherlands
3 Aug 2004
4
10 Dec 2003
31 Mar 2011
10 Dec 2003
31 Oct 2006 A
New Zealand
10 Dec 2003
Nicaragua
10 Dec 2003
Niger
15 Feb 2006 11 Aug 2008 a
Nigeria
9 Dec 2003
14 Dec 2004
Norway
9 Dec 2003
29 Jun 2006
Oman Pakistan
9 Jan 2014 9 Dec 2003
Palau
31 Aug 2007 24 Mar 2009 a
Panama
10 Dec 2003
23 Sep 2005
Papua New Guinea
22 Dec 2004
16 Jul 2007
Paraguay
9 Dec 2003
1 Jun 2005
Peru
10 Dec 2003
16 Nov 2004
Philippines
9 Dec 2003
8 Nov 2006
Poland
10 Dec 2003
15 Sep 2006
Portugal
11 Dec 2003
28 Sep 2007
Qatar
1 Dec 2005
30 Jan 2007
Republic of Korea
10 Dec 2003
27 Mar 2008
Romania
9 Dec 2003
2 Nov 2004
Russian Federation
9 Dec 2003
9 May 2006
Rwanda
30 Nov 2004
4 Oct 2006
Saint Lucia
25 Nov 2011
Sao Tome and Principe
8 Dec 2005
12 Apr 2006
Saudi Arabia
9 Jan 2004
29 April 2013
Senegal
9 Dec 2003
16 Nov 2005
Serbia
11 Dec 2003
20 Dec 2005
Seychelles
27 Feb 2004
16 Mar 2006
64 Universitas Sumatera Utara
Sierra Leone
9 Dec 2003
30 Sep 2004
Singapore
11 Nov 2005
06 Nov 2009
Slovakia
9 Dec 2003
1 Jun 2006
Slovenia
1 Apr 2008 a
Solomon Islands
6 Jan 2012 a
South Africa
9 Dec 2003
South Sudan
22 Nov 2004 23 Jan 2015
Spain
16 Sep 2005
19 Jun 2006
Sri Lanka
15 Mar 2004
31 Mar 2004
State of Palestine
2 Apr 2014 a
Sudan
14 Jan 2005
5 Sep 2014
Swaziland
15 Sep 2005
24 Sep 2012
Sweden
9 Dec 2003
25 Sep 2007
Switzerland
10 Dec 2003
24 Sep 2009
Syrian Arab Republic
9 Dec 2003
Tajikistan
25 Sep 2006 a
Thailand
9 Dec 2003
1 Mar 2011
The Former Yugoslav Republic
18 Aug 2005
13 Apr 2007
Timor-Leste
10 Dec 2003
27 Mar 2009
Togo
10 Dec 2003
6 Jul 2005
Trinidad and Tobago
11 Dec 2003
31 May 2006
Tunisia
30 Mar 2004
23 Sep 2008
Turkey
10 Dec 2003
9 Nov 2006
of Macedonia
Turkmenistan
28 Mar 2005 a
Uganda
9 Dec 2003
9 Sep 2004
Ukraine
11 Dec 2003
02 Dec 2009
United Arab Emirates
10 Aug 2005
22 Feb 2006
9 Dec 2003
9 Feb 2006
United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland
5
65 Universitas Sumatera Utara
United Republic of Tanzania
9 Dec 2003
25 May 2005
United States of America
9 Dec 2003
30 Oct 2006
Uruguay
9 Dec 2003
10 Jan 2007
Uzbekistan
29 Jul 2008 a
Vanuatu
12 Jul 2011 a
Venezuela (Bolivarian Republic
10 Dec 2003
2 Feb 2009
Viet Nam
10 Dec 2003
19 Aug 2009
Yemen
11 Dec 2003
7 Nov 2005
Zambia
11 Dec 2003
7 Dec 2007
Zimbabwe
20 Feb 2004
8 Mar 2007
of)
Sumber : http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html E. Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama internasional yang telah dan akan dilakukan antara lain berupa pertukaran informasi, ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Masyarakat internasional termasuk Indonesia bersama-sama berkomitmen untuk tidak memberikan perlindungan (deny safe havens) bagi para koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia telah berketetapan untuk memajukan kerjasama internasional dalam kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (United Nations Convention Against Corruption-UNCAC 2003) dan Konvensi PBB Tentang Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (United Nations Convention on Transnational Organised Crime), inisiatif dalam lingkup ASEAN Security
66 Universitas Sumatera Utara
Community, dan inisiatif-inisiatif lainnya yang dapat memajukan kepentingan Indonesia secara berkesinambungan. Dalam melaksanakan kerjasama internasional di bidang pemberantasan korupsi disadari bahwa kerjasama tersebut hendaknya didasarkan pada prinsipprinsip saling menghormati, persamaan derajat, dan hubungan baik antar bangsa serta hukum internasional yang berlaku, dengan memperhatikan kebutuhan nasional dan menghormati ketentuan-ketentuan nasional yang berlaku. Kerjasama internasional tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan Piagam PBB khususnya dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam PBB. Konvensi PBB Menentang Korupsi (konvensi UNCAC 2003) yang dirundingkan selama kurun waktu 2002-2003 telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 dan Indonesia sebagai salah satu anggota masyarakat internasional telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 18 Desember 2003. Sebagai kelanjutan konvensi ini, PBB telah menetapkan tanggal 9 Desember 2004 sebagai hari internasional pertama anti korupsi. Sebagai konsekuensi bagi negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah kedaulatan yang dimiliki melakukan langkah-langkah konkrit pemberantasaan korupsi. Sebagai perwujudan komitmen tersebut Pemerintah Indonesia memutuskan untuk merancang, mengembangkan, dan melaksanakan sebuah Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004.
67 Universitas Sumatera Utara
Rencana Aksi Nasional ini dimaksudkan sebagai acuan dalam menyusun program pemberantasan korupsi dan mensinergikan berbagai upaya nasional dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 khususnya Indonesia, wajib bekerja sama dalam masalah-masalah kejahatan sesuai dengan ketentuan pasal 44 sampai pasal 50 Konvensi ini. Sepanjang perlu dan sesuai dengan sistem hukum nasional masing-masing, Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk saling membantu penyidikan dan proses dalam masalah-masalah perdata dan admistratif yang berkaitan dengan korupsi. Dalam masalah-masalah kerja sama internasional, dalam hal kriminalitas ganda dianggap sebagai persyaratan, maka hal itu dianggap sebagai telah dipenuhi tanpa memperhatikan apakah undang-undang Negara Pihak yang diminta menempatkan kejahatan itu ke dalam kategori kejahatan yang sama atau menyebut kejahatan itu dengan istilah yang sama seperti di negara pihak yang meminta, jika perbuatan yang mendasari kejahatan yang menjadi alasan permintaan bantuan adalah kejahatan menurut undang-undang kedua Negara Pihak (Pasal 43 konvensi UNCAC 2003). Kerjasama Internasional (International Cooperation) dalam memerangi kejahatan korupsi yang semakin canggih, terorganisir, dan bersifat transnasional, kerjasama antar negara menjadi pilihan utama. Ada tiga prinsip kerjasama yang harus diperhatikan. Yakni adanya kepentingan politik yang sama, saling
68 Universitas Sumatera Utara
menguntungkan dan non intervensi. Ada lima bentuk kerjasama yang bisa dilakukan yang diatur dalam konvensi UNCAC 2003 yaitu : 63 1. Ekstradisi (Konvensi UNCAC 2003 Art. 44) Tabel
2.
Perjanjian-Perjanjian
Ekstradisi
Indonesia
dengan
Beberapa Negara64
No
Negara Pihak
Nama Perjanjian
Tahun
Ratifikasi
Penandat anganan
Indonesia Malaysia
1
Treaty between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of Malaysia Relating
1974
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974
1976
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1976
1976
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978
to Extradition
2.
Indonesia - Filipina
3.
Indonesia Thailand
Extradition Treaty between The Republic of Indonesia and The Republic of The Philippines Treaty between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The Kingdom of Thailand Relating to Extradition
63
Diakses dari,http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=48142&Itemid=67, diakses tanggal 18 April 2015 64 Diakses dari, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20 INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUP SI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 13 Mei 2015
69 Universitas Sumatera Utara
4.
Indonesia Australia
Extradition Treaty between Australia and The
1992
Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1994
1997
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001
2000
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007
2007
Dalam proses ratifikasi
Republic of Indonesia Agreement between The Government of The 5.
Indonesia Hongkong
Republic of Indonesia and The Government of Hongkong for Surrender of Fugitive Offenders
6.
Indonesia - Korea Selatan
7.
Indonesia Singapura
Treaty on Extradition between The Republic of Indonesia and The Republic of Korea Treaty on Extradition between The Republic of Indonesia and Singapore
Sumber: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=7042&title=PERJANJIAN% 20INTERNASIONAL%20PENGEMBALIAN%20ASET%20HASIL%20KORU PSI%20DI%20INDONESIA
Konvensi UNCAC 2003 menyebutkan bahwa ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal dalam hal ini menyangkut masalah tindak pidana korupsi yang ditahan oleh suatu pemerintah bisa diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya. Konsensus dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing, karena suatu prinsip
70 Universitas Sumatera Utara
sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan keinginan untuk mengadili kriminal dari negara lain telah membentuk suatu jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi; kebanyakan negara di dunia telah menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya. Perjanjian ekstradisi ini pula ditekankan dalam konvensi UNCAC 2003. a) Pasal ini berlaku bagi kejahatan-kejahatan menurut konvensi UNCAC 2003 ini jika orang yang diminta untuk diekstradisikan berada di wilayah negara pihak yang diminta, dengan ketentuan bahwa kejahatan yang menjadi dasar permintaan ekstradisi itu dapat dihukum menurut hukum nasional negara pihak yang meminta dan negara pihak yang diminta. 65 b) Menyimpang dari ketentuan ayat 1, negara pihak yang hukumnya membolehkan, dapat mengabulkan ekstradisi untuk kejahatan yang diatur dalam Konvensi ini yang menurut hukum nasionalnya tidak dapat dihukum. c) Jika permintaan ekstradisi meliputi beberapa kejahatan yang terpisah, dan sekurang-kurangnya satu dari kejahatan itu dapat diekstradisi menurut pasal ini dan kejahatan lainnya tidak dapat diekstradisi dengan karena
alasan jangka
waktu
penghukumannya
tetapi
65
Diakses dari, https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&u rl=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadData byId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANGUNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCI CA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5rQ, diakses tanggal 12 Mei 2015
71 Universitas Sumatera Utara
mempunyai kaitan dengan kejahatan menurut konvensi ini, maka negara pihak yang diminta dapat menerapkan pasal ini juga bagi kejahatan-kejahatan itu. d) Kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini harus dianggap termasuk dalam kejahatan yang dapat diekstradisi di dalam perjanjian ekstradisi antara negara-negara pihak. Negara-negara pihak akan memasukkan kejahatan tersebut sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi di dalam perjanjian ekstradisi yang akan dibuat di antara mereka. Negara yang hukumnya membolehkannya, dalam hal negara itu menggunakan konvensi ini sebagai dasar untuk ekstradisi, tidak boleh memperlakukan kejahatan menurut konvensi ini sebagai kejahatan politik. e) Jika negara yang mempersyaratkan ekstradisi pada adanya perjanjian menerima permintaan ekstradisi dari negara lain yang tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan negara pihak itu, maka negara pihak itu dapat mempertimbangkan Konvensi ini sebagai dasar hukum ekstradisi bagi kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini. f) Negara pihak yang mempersyaratkan ekstradisi pada adanya perjanjian wajib: a. Pada saat penyimpanan instrumen pengesahan, penerimaan atau persetujuan atau aksesi konvensi ini, memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa apakah akan
72 Universitas Sumatera Utara
menggunakan konvensi ini sebagai dasar hukum bagi kerja sama ekstradisi dengan Negara Pihak lain pada konvensi ini; dan b. Jika negara pihak itu tidak menggunakan konvensi ini sebagai dasar hukum bagi kerja sama ekstradisi, mengupayakan, sepanjang perlu, untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dengan Negara Pihak lain pada konvensi ini untuk melaksanakan pasal ini. g) Negara-negara pihak yang tidak mempersyaratkan ekstradisi pada adanya perjanjian wajib mengakui kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi di antara negara-negara pihak itu. h) Ekstradisi tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan dalam hukum nasional negara pihak yang diminta atau dalam perjanjian ekstradisi yang berlaku, termasuk antara lain, persyaratan yang terkait dengan syarat hukuman minimum untuk ekstradisi dan alasan-alasan bagi negara pihak yang diminta untuk menolak ekstradisi. i) Negara pihak wajib, berdasarkan hukum nasionalnya, berupaya untuk mempercepat prosedur ekstradisi dan menyederhanakan persyaratan pembuktian yang berkaitan dengan itu menyangkut kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini. j) Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya dan perjanjian ekstradisinya, negara pihak yang diminta, setelah meyakini keadaankeadaan yang ada menghendaki demikian atau sifatnya mendesak dan atas permintaan negara pihak yang meminta, dapat mengambil orang
73 Universitas Sumatera Utara
yang dimintakan ekstradisi dan yang berada dalam wilayahnya untuk ditahan atau mengambil tindakan-tindakan yang perlu lainnya untuk menjamin kehadirannya pada proses ekstradisi. k) Negara pihak yang di dalam wilayahnya ditemukan tersangka pelaku, jika negara pihak itu tidak mengekstradisi orang itu untuk kejahatan yang terkena penerapan pasal ini karena alasan bahwa orang itu adalah warga negaranya, wajib, atas permintaan negara pihak yang memohon ekstradisi, untuk menyerahka kasus itu tanpa penundaan yang tidak perlu kepada pejabat berwenangnya untuk dilakukan penuntutan. Pejabat yang berwenang itu
wajib mengambil putusan dan
melaksanakan proses dengan cara yang sama seperti untuk kasus lain yang berat menurut hukum nasional negara pihak itu. Negara-negara pihak yang bersangkutan wajib saling bekerja sama, khususnya menyangkut aspek prosedur dan pembuktian, untuk menjamin efisiensi penuntutan tersebut. l) Jika suatu negara pihak dibolehkan oleh hukum nasionalnya untuk mengekstradisi atau menyerahkan warga negaranya dengan syarat bahwa orang itu akan dikembalikan ke negara pihak itu untuk menjalani hukuman yang dijatuhkan sebagai akibat pengadilan atau proses hukum yang menjadi dasar permintaan ekstradisi atau pemindahan orang itu dan negara pihak itu serta negara pihak yang memohon ekstradisi menyetujui opsi ini dan syarat-syarat lain yang dianggap layak, maka ekstradisi atau penyerahan bersyarat itu sudah
74 Universitas Sumatera Utara
cukup untuk melepaskan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 11. m) Jika ekstradisi, yang diminta dalam rangka melaksanakan suatu hukuman, ditolak karena orang yang diminta adalah warga negara, negara pihak yang diminta, maka negara pihak yang diminta, jika hukum nasionalnya membolehkannya dan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan dalam hukum tersebut, atas permohonan negara pihak yang meminta, wajib mempertimbangkan untuk melaksanakan hukuman yang dijatuhkan berdasarkan hukum nasional negara pihak yang meminta atau sisa hukuman tersebut. n) Setiap orang yang sedang menjalani proses hukum yang berkaitan dengan kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini, wajib dijamin untuk diperlakukan dengan adil pada semua tahap proses, termasuk menikmati semua hak dan jaminan yang diberikan oleh hukum nasional negara pihak tempat orang itu berada. o) Ketentuan konvensi ini tidak boleh ditafsirkan sebagai memberikan kewajiban untuk melakukan ekstradisi jika negara pihak yang diminta memiliki alasan-alasan yang kuat untuk meyakini bahwa permintaan itu telah diajukan untuk tujuan penuntutan atau penghukuman seseorang berdasarkan kelamin, ras, agama, kebangsaan, asal etnis atau aliran politik orang itu atau bahwa pengabulan permintaan itu akan membahayakan kedudukan orang itu karena satu dari alasanalasan tersebut.
75 Universitas Sumatera Utara
p) Negara pihak tidak boleh menolak permintaan ekstradisi semata-mata karena alasan bahwa kejahatan itu dianggap melibatkan juga masalah perpajakan. q) Sebelum menolak ekstradisi, negara pihak yang diminta wajib, sepanjang perlu, berkonsultasi dengan negara pihak yang meminta untuk memberikan kesempatan yang cukup kepadanya untuk menyampaikan pendapatnya dan memberikan informasi yang terkait dengan persangkaannya. r) Negara-negara pihak wajib mengupayakan untuk mengadakan perjanjian
atau
pengaturan
bilateral
dan
multilateral
untuk
melaksanakan atau meningkatkan efektivitas ekstradisi. 2. Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) (Konvensi UNCAC 2003 Art. 46) MLA ini sangat dianjurkan dalam konvensi United Nations Convention Against Cooruption (UNCAC) 2003. Negara penandatangan dianjurkan untuk memiliki kerja sama intemasional; antara lain, dalam bentuk MLA guna memberantas korupsi. Sedangkan dalam MLA ruang lingkup kerja samanya meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, di pengadilan hingga pelaksanaan putusan pengadilan. MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Objek MLA, antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan
76 Universitas Sumatera Utara
permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA. Indonesia telah memiliki instrumen nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana, sebagai dasar pelaksanaan kerjasama MLA dengan negara lain. Kerjasama MLA meliputi bantuan untuk mengidentifikasi dan mencari orang; mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya; mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan; menyampaikan surat; melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan; perampasan hasil tindak pidana; memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana; melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; dan/atau bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006. Adapun ketentuan di dalam Undang-Undang tersebut mengecualikan wewenang untuk mengadakan: ekstradisi atau penyerahan orang; penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang; pengalihan narapidana; atau pengalihan perkara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 menyatakan bahwa status MLA, termasuk MLA yang berhubungan
77 Universitas Sumatera Utara
dengan tindak pidana korupsi, dapat dikabulkan tanpa suatu treaty berdasarkan asas resiprositas dan hubungan bilateral yang baik dengan negara peminta bantuan (requesting state). Dalam prakteknya, Indonesia telah melakukan sejumlah kerjasama MLA dengan sejumlah negara tanpa dilandasi perjanjian bilateral mengenai MLA. Kerjasama dapat dilakukan berdasarkan legislasi nasional negara yang bersangkutan. Sejumlah negara juga memiliki regulasi yang mengatur MLA dan/atau ekstradisi dengan negara-negara yang tidak menjadi Pihak dalam perjanjian multilateral. Di bawah skema tersebut, legislasi Negara Diminta biasanya
memformulasikan
prosedur
untuk
mengirimkan,
menerima,
mempertimbangkan dan melaksanakan permintaan. Prosedur ini biasanya sama dengan skema yang diatur di dalam perjanjian multilateral, walaupun biasanya terdapat beberapa persyaratan tambahan. Sebuah negara dapat mengatakan bahwa sebuah negara asing berhak untuk menerima bantuan, atau mereka dapat mempertimbangkan setiap permintaan yang datang berdasarkan case-by-case basis. Terdapat sejumlah pendapat pro dan kontra terhadap kerjasama yang berdasarkan legislasi nasional. Skema tersebut memang lebih cepat dan murah serta lebih mudah diterapkan dibandingkan treaty. Namun di satu sisi, tidak seperti treaty, legislasi domestik tidak menciptakan kewajiban yang mengikat di bawah hukum internasional. Sebuah negara yang memberlakukan legislasi tersebut tidak memiliki kewajiban internasional untuk membantu negara asing. Negara asing pun tidak berkewajiban memberikan bantuan terhadap negara lain yang memberlakukan legislasi tersebut. Dalam banyak kasus, Negara Diminta akan bekerjasama berdasarkan suatu treaty hanya jika Negara Peminta
78 Universitas Sumatera Utara
menyediakan semacam undertaking of reciprocity.66 Adapun Indonesia memiliki perjanjian bantuan timbal-balik dengan negara-negara sebagai berikut: 67 1. Australia, 27 Oktober 1995, diratifikasi dengan UU No. 1 Tahun 1999; 2. China, 24 Juli 2000, diratifikasi dengan UU No. 8 Tahun 2006; 3. Korea Selatan, 30 Maret 2002 (masih dalam proses ratifikasi); 4. Hong Kong SAR, 3 April 2008 (masih dalam proses ratifikasi); 5. India, 25 Januari 2011 (masih dalam proses ratifikasi). Tabel 3. Perjanjian-Perjanjian MLA Indonesia dengan Beberapa Negara68 N o
Negara Pihak
1.
Indonesia Australia
2.
Indonesia RRC
Nama Perjanjian
Tahun Penandatangan an
Ratifikasi
1995
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999
2000
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006
Treaty Between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters Treaty Between the Republic of Indonesia and The People's Republic of China on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
66
ADB/OECD Anti-Corruption Initiative, Framework for Practice on MLA and Extradition: Mutual Legal Assistance, Extradition and Recovery of Proceeds of Corruption in Asia and the Pacific. 2010. 67 Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Pointers Upaya Pemerintah RI dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana di Luar Negeri, 2010. 68 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJI AN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20 KORUPSI%20DI%20INDONESIA, Ibid.
79 Universitas Sumatera Utara
3
Indonesia Korea Selatan
4.
Indonesia Brunei, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam
Indonesia Hongkong
5.
Treaty Between the Republic of Indonesia and Republic of Korea on Mutual Assistance in Criminal Matters Treaty on Mutual Legas Assistance in Criminal
2002
Belum diratifikasi
2004
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008
2006
Belum diratifikasi
Matters (ASEAN MLA TREATY) Agreement Concerning Mutual Legal Assistance in Criminal Matters between Hongkong and Indonesia
Sumber: http://download.portalgaruda.org/articles.php?article=260946&val=7042&title=P ERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20A SET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA
Dalam lingkup ASEAN, mekanisme yang dapat dilakukan untuk pengembalian harta yang mungkin dilarikan ke yurisdiksi Singapura adalah melalui ASEAN Like-Minded Countries Mutual Legal Assistance Treaty yang telah ditandatangani dan berlaku di negara-negara Asia Tenggara, sebagai berikut Negara Penandatangan dan tanggal berlaku: 69 1) Brunei Darussalam 29 November 2004 berlaku 15 Februari 2006; 2) Indonesia 29 November 2004 berlaku 4 Juni 2008; 69
Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pointers Upaya Pemerintah RI dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana di Luar Negeri. 2010.,Ibid.
80 Universitas Sumatera Utara
3) Laos 29 November 2004 berlaku 20 Juni 2007; 4) Malaysia 29 November 2004 berlaku 1 Juni 2005; 5) Singapura 20 November 2004 berlaku 28 April 2005; 6) Vietnam 29 November 2004 berlaku 25 Oktober 2005. Indonesia sendiri telah meratifikasi perjanjian tersebut melalui UndangUndang Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters. Di antara negara-negara ASEAN tinggal Kamboja, Filipina dan Thailand yang sudah menandatangani namun belum meratifikasinya. Perjanjian tersebut mewajibkan para Pihak untuk memberlakukan upaya-upaya MLA seluas apapun antara satu sama lain, dan terkait pada legislasi nasional Negara Diminta. Perjanjian ini mencakup berbagai jenis MLA yang biasa dapat ditemukan di dalam perjanjian-perjanjian bilateral, misalnya hal-hal terkait pengambilan bukti, pencarian dan penyitaan aset. Dalam hal belum ada perjanjian, maka MLA atas dasar hubungan baik berdasarkan asas resiprositas. Target Pemerintah Indonesia dalam pembentukan perjanjian dan melakukan kerjasama MLA adalah negara-negara yang diduga menjadi tempat pelaku tempat pidana korupsi menempatkan aset hasil tindak pidana korupsi dan negara-negara yang menjadi pusat keuangan dunia, yakni Singapura, Swiss, RRT, Hong Kong, Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Uni Emirat Arab. Untuk negara-negara non target, undang-undang MLA Indonesia memungkinkan kerjasama tanpa adanya perjanjian tetapi cukup dengan pernyataan akan bekerja sama secara resiprositas, maka bantuan akan dapat diberikan. Selain itu, negara-negara juga dapat meminta bantuan Indonesia
81 Universitas Sumatera Utara
melalui kerangka kerja sama MLA di bawah konvensi UNCAC 2003 dan United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC). The United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) juga relevan untuk kasus korupsi, namun cakupannya lebih terbatas dibandingkan konvensi UNCAC 2003. Indonesia sendiri sudah meratifikasi konvensi UNTOC melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Covention Against Transnational Crime. Terkait kerjasama internasional, konvensi UNTOC memiliki landasan hukum untuk ekstradisi dan MLA terkait pelanggaran-pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur di dalam konvensi. Sebagaimana konvensi UNCAC 2003, konvensi UNTOC memiliki beberapa sifat yang sama, contohnya sifatnya yang bertindak sebagai perjanjian di antara para pihak atau dengan menggunakan perjanjian bilateral yang sudah ada. Memang konvensi UNTOC mengatur mengenai kriminalisasi korupsi sebagai kejahatan transnasional dan confiscation of proceeds of crime, namun pengaturan khusus mengenai asset recovery hanya terdapat di dalam konvensi UNCAC 2003.70 Terkait permintaan MLA dari Pemerintah Republik Indonesia, tentunya harus melalui mekanisme tertentu yang sudah diatur di dalam undang-undang. Penyampaian permintaan MLA diajukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI kepada negara asing secara langsung (apabila telah ditentukan melalui perjanjian bilateral) atau melalui saluran diplomatik, berdasarkan permohonan dari Kapolri atau Jaksa Agung RI atau Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
70
ADB/OECD Anti-Corruption Initiative, ibid.
82 Universitas Sumatera Utara
(khusus tindak pidana korupsi). Hal ini tercantum di dalam Pasal 9 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2006. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham; sebelumnya dinamakan Departemen Kehakiman) merupakan central authority untuk kerjasama internasional dalam persoalan-persoalan kriminal. Fungsi utamanya adalah untuk memproses incoming and outgoing requests. Berdasarkan Pasal 46 ayat (13) konvensi UNCAC 2003, setiap Negara Pihak wajb menunjuk badan berwenang pusat yang memiliki tanggung jawab dan kekuasaan untuk menerima permintaan-permintaan bantuan hukum timbal-balik. Outgoing requests untuk ekstradisi dan MLA dibuat oleh Kemkumham berdasarkan permintaan Kejaksaan Agung atau Kapolri. Dalam kasus-kasus korupsi, MLA juga dapat dimintakan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Permintaan ekstradisi dan MLA dibuat oleh Direktorat Hukum Internasional dari Kemkumham dan di-review melalui pertemuan-pertemuan terkoordinasi antara badan-badan yang relevan seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kemkumham dan Kementerian Luar Negeri. Permintaan MLA sebagaimana pula dengan ekstradisi tetap dikirimkan melalui saluran diplomatik (diplomatic channel). Kemkumham juga memproses permintaan (incoming requests) untuk ekstradisi dan MLA. Permintaan ekstradisi dapat dikirimkan ke Kemkumham melalui saluran diplomatik, sementara permintaan MLA dapat dikirimkan langsung. Dalam menerima suatu permintaan, Kemkumham memverifikasi bahwa permintaannya sesuai dengan legislasi maupun treaty (jika ada) yang relevan.
83 Universitas Sumatera Utara
Setelah itu, Kemkumham akan meneruskan permintaan tersebut untuk dieksekusi oleh
Kejaksaan
Agung
dan
Kapolri.
Direktorat
Hukum
Internasional
Kemkumham memonitor permintaan dengan berkomunikasi dengan Kepolisian atau Kejaksaan Agung. Semua permintaan yang datang dijaga kerahasiaannya. Terkait pengembalian aset hasil tindak pidana di luar negeri, Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 menyatakan bahwa Menkumham dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan negara asing untuk mendapatkan penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil harta kekayaan yang dirampas: 1. di negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan berdasarkan putusan perampasan atas permintaan Menteri; atau 2. di Indonesia, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan di Indonesia berdasarkan putusan perampasan atas permintaan negara asing Perbedaan sistem hukum sering menyulitkan Pemerintah Indonesia untuk memenuhi syarat-syarat formal yang diminta oleh negara/yurisdiksi yang bersangkutan. Kelambanan proses hukum terhadap kejahatan di Indonesia sebagai akibat kompleksitas persoalan pembuktian serta relatif lemahnya koordinasi internal antar instansi penegak hukum terkait di Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Jaksa Agung dapat mengajukan permohonan kepada Menteri untuk
84 Universitas Sumatera Utara
mengajukan permintaan Bantuan kepada Negara Diminta untuk menindaklanjuti putusan pengadilan yang bersangkutan di Negara Diminta tersebut. 71 Dalam praktek Indonesia, amar Putusan Pengadilan tidak menyebutkan aset pelaku di luar negeri yang perlu dirampas, sehingga kondisi ini mempersulit upaya perampasan terhadap barang sitaan, pidana denda, atau pembayaran uang pengganti. Contoh kasus adalah upaya perampasan aset kasus korupsi ECW Neloe (Bank Mandiri) senilai kurang lebih USD$ 5,5 juta. MLA untuk kasus ini pertama kali diajukan kepada Pemerintah Swiss tahun 2008 untuk kepentingan pelaksanaan eksekusi aset atas putusan perkara korupsi yang telah in kracht. Namun, MLA tersebut tidak dapat ditindak lanjuti mengingat putusan korupsi di Indonesia tidak mengkaitkan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan aset di Swiss dan amar putusan tidak mencantumkan adanya perampasan aset di Swiss. Untuk itu, perlu dilakukan penyidikan baru dengan sangkaan tindak pidana pencucian uang. Keterbatasan kemampuan teknologi juga menjadi penghalang, padahal salah satu sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan para pelakunya untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dibidang perbankan karena transaksinya bersifat rahasia, cepat, mudah dan tidak memerlukan uang kartal. Persoalan lain yang dihadapi adalah terkait Central Authority sebagai salah satu otoritas penting dalam rangka upaya pengembalian harta hasil korupsi yaitu dalam menentukan lembaga yang dipandang tepat untuk melakukan
71
Diakses dari, http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Volume%202,%20Meigustus%202011_46_56.PDF, diakses tanggal 6 Mei 2015.
85 Universitas Sumatera Utara
permohonan atau pengembalian hasil korupsi kepada Negara Diminta atau sebaliknya. Indonesia menetapkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai central authority untuk pelaksanaan meminta atau memfasilitasi sebagai Negara Diminta bagi negara lain. Berbeda dengan beberapa negara yang central of authority-nya berada pada Department of Justice yang membawahi secara langsung proses penyidikan ataupun penuntutan, Kemkumham lebih berperan sebagai lembaga yang memiliki otoritas administrasi dan tidak memiliki kewenangan langsung untuk melakukan penyelidikan, penyidikan ataupun penuntutan. 72 Selain itu, Kemkumham hanya memiliki hubungan yang terbatas dengan aparat penegak hukum di luar negeri. Sebagai contoh, Kemkumham tidak menyelenggarakan pertemuanpertemuan secara reguler dengan counterpart asing terkait mekanisme kerjasama. Mereka juga kurang berkoordinasi dengan negara lain dalam menyediakan MLA atau ekstradisi dalam kasus-kasus korupsi. Situs internet Kemkumham juga hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia dan tidak memberikan informasi apapun terkait kerjasama internasional. Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib saling memberikan sebesar mungkin bantuan hukum timbal-balik bagi penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan berkaitan dengan kejahatan menurut Konvensi ini. 73
72
Yenti Garnasih. Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi, (Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia, 2010), hal. 629. 73 BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQF jAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2Fdownloa dDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-
86 Universitas Sumatera Utara
Bantuan
hukum
timbal-balik
wajib
diberikan
sebesar-besarnya
berdasarkan undang-undang, traktat, perjanjian dan pengaturan Negara Pihak yang diminta bagi penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan yang memungkinan pertanggungjawaban badan hukum sesuai dengan ketentuan pasal 26 Konvensi ini di Negara Pihak yang meminta. Bantuan hukum timbal-balik yang akan diberikan sesuai dengan pasal ini dapat diminta untuk tujuan-tujuan berikut: a) Mengambil bukti atau pernyataan dari orang; b) Menyampaikan dokumen pengadilan; c) Melakukan penyelidikan dan penyitaan serta pembekuan; d) Memeriksa barang dan tempat; e) Memberikan informasi, barang bukti dan penilaian ahli; f) Memberikan dokumen asli atau salinan resminya dan catatan yang relevan, termasuk catatan pemerintah, bank, keuangan, perusahaan atau usaha; g) Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, sarana atau hal lain untuk tujuan pembuktian; h) Memfasilitasi kehadiran orang secara sukarela di Negara Pihak yang meminta; i) Bantuan lain yang tidak bertentangan dengan hukum nasional Negara Pihak yang diminta;
UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTSIH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjC OpLg, , ibid.
87 Universitas Sumatera Utara
j) Mengidentifikasi, membekukan dan melacak hasil kejahatan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab V Konvensi ini; k) Mengembalikan aset, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab V Konvensi ini. Tanpa mengurangi hukum nasional, pejabat berwenang suatu negara pihak dapat, tanpa permintaan lebih dahulu, menyampaikan informasi yang berkaitan dengan masalah-masalah pidana kepada pejabat berwenang di Negara Pihak lain yang meyakini bahwa informasi itu dapat membantu untuk melakukan atau menuntaskan penyelidikan dan proses pidana atau dapat menghasilkan permintaan yang dirumuskan oleh negara pihak lain itu sesuai dengan Konvensi ini. Penyampaian informasi berdasarkan ketentuan ayat 4 tidak boleh mengurangi penyelidikan dan proses pidana di negara dari pejabat berwenang yang memberikan informasi. Pejabat berwenang yang menerima informasi wajib mematuhi permintaan agar informasi itu dirahasiakan, meski untuk sementara waktu, atau digunakan dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Namun demikian, hal ini tidak menghalangi Negara Pihak yang menerima untuk di dalam proses hukumnya mengungkapkan informasi yang membebaskan kepada seorang terdakwa. Dalam hal demikian, negara pihak yang menerima wajib, sebelum informasi diungkapkan, memberitahu kepada negara pihak yang menyampaikan dan, jika diminta, berkonsultasi dengan Negara Pihak yang menyampaikan. Jika dalam keadaan luar biasa pemberitahuan di muka itu tidak memungkinkan, negara
88 Universitas Sumatera Utara
pihak yang menerima wajib dengan segera menginformasikan kepada negara pihak yang menyampaikan mengenai pengungkapan itu. Ketentuan pasal ini tidak mempengaruhi kewajiban dalam traktat bilateral atau multilateral yang mengatur atau akan mengatur, seluruhnya atau sebagiannya, mengenai bantuan hukum timbal balik. Ketentuan ayat 9 sampai ayat 29 berlaku bagi permintaan yang diajukan berdasarkan pasal ini jika negara-negara pihak yang bersangkutan tidak terikat oleh traktat mengenai bantuan hukum timbal balik. Jika negara-negara pihak terikat oleh traktat sedemikian, ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dalam traktat itu berlaku kecuali negara pihak setuju untuk menerapkan ketentuan ayat 9 sampai ayat 29 sebagai penggantinya Negara-negara pihak sangat didorong untuk menerapkan ketentuan ayat-ayat tersebut jika mereka memfasilitasi kerjasama. Negara pihak tidak boleh menolak untuk memberikan bantuan hukum timbal-balik berdasarkan pasal ini dengan alasan kerahasiaan bank. Dalam menanggapi permintaan bantuan menurut pasal ini jika tidak ada kriminalitas ganda, negara pihak yang diminta wajib mempertimbangkan tujuan Konvensi ini sebagaimana dimaksud dalam pasal. Negara pihak dapat menolak memberikan bantuan menurut pasal ini dengan alasan tidak ada kriminalitas ganda. Namun demikian, negara pihak yang diminta wajib, sepanjang sesuai dengan konsep dasar sistem hukumnya, memberikan bantuan yang tidak melibatkan tindakan yang bersifat paksaan. Bantuan tersebut dapat ditolak jika permintaan melibatkan masalah-masalah yang bersifat de minimis atau masalahmasalah yang pemberian kerjasama atau bantuannya diatur menurut ketentuan lain
89 Universitas Sumatera Utara
dalam Konvensi ini. Negara pihak dapat mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memungkinkan pemberian bantuan menurut pasal ini dengan lingkup yang lebih luas jika tidak ada kriminalitas ganda. Seseorang yang sedang ditahan atau sedang menjalani hukuman di wilayah suatu negara pihak tetapi dibutuhkan kehadirannya di negara pihak lain untuk tujuan identifikasi, kesaksian atau memberikan bantuan untuk memperoleh bukti bagi penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan menurut konvensi ini dapat dipindahkan jika syarat-syarat berikut dipenuhi: a) Orang tersebut secara sukarela memberikan persetujuannya; b) Pejabat berwenang kedua negara pihak setuju, dengan syarat-syarat yang dianggap layak oleh negara-negara pihak itu. Untuk tujuan ayat 10: a) Negara pihak yang meminta pemindahan memiliki kewenangan dan kewajiban untuk menahan orang yang dipindahkan, kecuali diminta lain atau diberi kewenangan lain oleh negara
pihak
yang
memindahkan; b) Negara pihak yang meminta pemindahan wajib dengan segera melaksanakan kewajiban mengembalikan orang itu ke dalam tahanan negara pihak yang memindahkan sebagaimana disepakati sebelumnya, atau sebagaimana disepakati lain, oleh pejabat berwenang kedua negara pihak;
90 Universitas Sumatera Utara
c) Negara pihak yang meminta pemindahan tidak boleh mewajibkan negara pihak yang memindahkan untuk melakukan proses ekstradisi bagi pengembalian orang itu; d) Orang yang dipindahkan akan menerima pengurangan hukuman yang dijalani di negara yang memindahkannya untuk waktu yang dijalaninya selama ia ditahan di negara Pihak yang meminta pemindahan; e) Jika tidak disetujui oleh negara pihak yang memindahkan orang menurut ketentuan ayat 10 dan ayat 11, maka orang itu, apa pun kewarganegaraannya, tidak boleh dituntut, ditahan, dihukum atau dikenakan pembatasan apapun terhadap kebebasan pribadinya dalam wilayah negara yang meminta pemindahan berkenaan dengan perbuatan, kelalaian atau penghukuman sebelum keberangkatannya dari wilayah negara yang memindahkannya. Negara pihak wajib menunjuk badan pusat yang bertanggungjawab dan berwenang menerima permintaan bantuan hukum timbal-balik dan entah melaksanakannya entah meneruskannya kepada badan berwenang untuk dilaksanakan. Dalam hal negara pihak mempunyai daerah atau wilayah khusus dengan sistem bantuan hukum timbal-balik yang berbeda, negara pihak dapat menunjuk badan pusat tersendiri yang memiliki fungsi yang sama untuk daerah atau wilayah itu. Badan pusat wajib mengusahakan pelaksanaan dan penyampaian secara cepat dan benar setiap permintaan yang diterima. Dalam hal badan pusat meneruskan permintaan itu kepada pejabat yang berwenang untuk dilaksanakan,
91 Universitas Sumatera Utara
badan pusat itu wajib mendorong agar permintaan itu dilaksanakan secara cepat dan benar oleh badan berwenang. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib diberitahu mengenai badan pusat yang ditunjuk untuk tujuan ini pada saat Negara Pihak menyerahkan instrumen pengesahan, penerimaan atau persetujuan atas atau aksesi pada Konvensi ini. Permintaan bantuan hukum timbal balik dan komunikasi yang berkaitan dengan hal itu wajib disampaikan kepada badan pusat yang ditunjuk oleh negara pihak. Kewajiban ini tidak mengurangi hak negara pihak untuk meminta agar permintaan dan komunikasi itu ditujukan kepadanya melalui saluran diplomatik dan, untuk situasi yang mendesak, yang disetujui oleh negara-negara pihak, melalui Organisasi Polisi Kriminal Internasional, jika mungkin. Permintaan harus diajukan secara tertulis atau, jika memungkinkan, dengan cara yang dapat menghasilkan catatan tertulis, dalam bahasa yang dapat diterima oleh negara pihak yang diminta, dengan syarat-syarat yang membolehkan negara pihak itu untuk memeriksa otensititas. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib diberitahu mengenai bahasa atau bahasa-bahasa yang dapat diterima oleh setiap negara pihak pada saat menyerahkan instrumen pengesahan, penerimaan atau persetujuan atas atau aksesi pada Konvensi ini. Untuk situasi yang mendesak dan jika disetujui oleh negara-negara pihak, permintaan dapat diajukan secara lisan tetapi harus selanjutnya dikonfirmasikan secara tertulis. Permintaan bantuan hukum timbal-balik harus memuat : a) Identitas pejabat yang mengajukan permintaan;
92 Universitas Sumatera Utara
b) Masalah pokok dan sifat penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan yang berkaitan dengan permintaan tersebut serta nama dan fungsi dari pejabat yang melakukan penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan; c) Ringkasan fakta yang relevan, kecuali yang berkaitan dengan permintaan untuk tujuan penyampaian dokumen-dokumen pengadilan; d) Uraian tentang bantuan yang diminta dan rincian tentang prosedur tertentu yang oleh Negara Pihak yang meminta dikehendaki untuk diikuti; e) Sepanjang memungkinkan, identitas, lokasi, dan kewarganegaraan orang yang bersangkutan; dan f) Tujuan dari permintaan alat bukti, informasi atau tindakan.74 Negara pihak yang diminta dapat meminta informasi tambahan jika dirasa perlu untuk melaksanakan permintaan itu sesuai dengan hukum nasionalnya atau jika hal itu dapat memudahkan pelaksanaannya. Permintaan wajib dilaksanakan sesuai dengan hukum nasional negara pihak yang diminta dan, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional negara pihak yang diminta dan jika memungkinkan, sesuai dengan prosedur yang disebut dalam permintaan itu.
74
BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQF jAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2Fdownloa dDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANGUNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTSIH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjC OpLg, , ibid.
93 Universitas Sumatera Utara
Sepanjang memungkinkan dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasional, jika seseorang berada di wilayah suatu negara pihak dan harus didengar sebagai saksi atau ahli oleh pejabat pengadilan negara pihak lain, maka negara pihak yang pertama dapat, atas permintaan pihak lainnya, mengizinkan sidang dilakukan dengan video conference jika tidak mungkin atau tidak dikehendaki bahwa orang yang bersangkutan hadir langsung di wilayah Negara Pihak yang meminta. Negara-negara pihak dapat menyepakati bahwa sidang itu dilaksanakan oleh pejabat pengadilan negara pihak yang meminta dan dihadiri oleh pejabat pengadilan negara pihak yang diminta. Negara
pihak
yang
meminta
tidak
boleh
menyampaikan
atau
menggunakan informasi atau bukti yang diberikan oleh negara pihak yang diminta bagi penyelidikan, penuntutan atau proses pengadilan yang lain daripada yang dinyatakan dalam permintaan tanpa persetujuan lebih dahulu negara pihak yang diminta. Ketentuan ayat ini tidak menghalangi negara pihak yang meminta untuk mengungkapkan kepada terdakwa di dalam proses hukumnya informasi atau bukti yang bersifat membebaskan. Dalam hal terakhir ini, negara pihak yang meminta wajib memberitahukan kepada negara pihak yang diminta sebelum pengungkapan dilakukan dan, jika diminta, berkonsultasi dengan negara pihak yang diminta Jika dalam keadaan tertentu pemberitahuan lebih dulu itu tidak mungkin dilakukan, Negara Pihak yang meminta wajib dengan segera memberitahukan pengungkapan itu kepada negara pihak yang diminta. Negara pihak yang meminta dapat mempersyaratkan negara pihak yang diminta agar menjaga kerahasiaan fakta dan isi permintaan, kecuali sepanjang
94 Universitas Sumatera Utara
yang diperlukan untuk melaksanakan permintaan itu. Jika negara pihak yang diminta tidak dapat memenuhi persyaratan kerahasiaan, negara pihak itu wajib dengan segera memberitahukan hal itu kepada negara pihak yang meminta. Bantuan hukum timbal-balik dapat ditolak : a) Jika permintaan itu diajukan tidak sesuai dengan ketentuan pasal ini; b) Jika negara pihak yang diminta berpendapat bahwa pelaksanaan permintaan itu akan merugikan kedaulatan, keamanan, ketertiban umum atau kepentingan mendasar lainnya; c) Jika pejabat negara pihak yang diminta dilarang oleh hukum nasionalnya untuk melakukan tindakan yang diminta dalam kaitannya dengan kejahatan yang sama, seandainya bagi kejahatan itu dilakukan penyidikan,
penuntutan
atau
proses
pengadilan
berdasarkan
yurisdiksinya sendiri; d) Jika hal itu akan bertentangan dengan sistem hukum Negara Pihak yang diminta dalam kaitannya dengan bantuan hukum timbal-balik bagi permintaan yang akan dikabulkan; e) Negara Pihak tidak boleh menolak permintaan bantuan hukum timbal balik semata-mata karena alasan bahwa kejahatan itu dianggap melibatkan juga masalah-masalah perpajakan.
75
75
BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQF jAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2Fdownloa dDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANGUNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTSIH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjC OpLg, , ibid.
95 Universitas Sumatera Utara
Alasan-alasan harus diberikan untuk penolakan bantuan hukum timbal balik. Negara Pihak yang diminta wajib sesegera mungkin melaksanakan permintaan bantuan hukum timbal balik dan wajib sedapat mungkin memenuhi tenggat waktu yang disarankan oleh Negara Pihak yang meminta dan alasanalasan untuk itu wajib diberikan, lebih disukai jika dicantumkan di dalam permintaan itu. Negara Pihak yang meminta dapat meminta informasi tentang status dan perkembangan tindakan yang diambil oleh Negara Pihak yang diminta untuk memenuhi permintaannya. Negara Pihak yang diminta wajib menanggapi permintaan yang wajar dari Negara Pihak yang meminta mengenai status dan perkembangan penanganan permintaan itu. Negara Pihak yang meminta wajib dengan segera menginformasikan kepada Negara Pihak yang diminta jika bantuan yang diminta tidak lagi diperlukan Bantuan hukum timbal-balik dapat ditunda oleh Negara Pihak yang diminta dengan alasan bahwa hal itu mencampuri penyidikan, penuntutan atau proses yang sedang berjalan. Sebelum menolak suatu permintaan menurut berdasarkan ketentuan ayat 21 atau menunda pelaksanaannya berdasarkan ketentuan ayat 25, Negara Pihak yang diminta wajib berkonsultasi dengan Negara Pihak yang meminta untuk mempertimbangkan apakah bantuan dapat diberikan sesuai dengan ketentuanketentuan dan syarat-syarat yang dianggapnya perlu. Jika Negara Pihak yang meminta menerima bantuan sesuai dengan syarat-syarat itu, ia wajib mematuhi syarat-syarat tersebut.
96 Universitas Sumatera Utara
Tanpa mengurangi penerapan ketentuan ayat 12, seorang saksi, ahli atau orang lain yang, atas permintaan Negara Pihak yang meminta, setuju untuk memberikan bukti dalam suatu proses hukum atau untuk membantu suatu penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan di dalam wilayah Negara Pihak yang meminta tidak boleh dituntut, ditahan, dihukum atau dikenakan pembatasan lain atas kebebasan pribadinya di wilayah itu berkenaan dengan perbuatan, kelalaian atau penghukuman sebelum keberangkatannya dari wilayah Negara Pihak yang diminta. Jaminan keamanan itu berakhir ketika saksi, ahli atau orang lain itu, setelah jangka waktu limabelas hari berturut-turut atau jangka waktu lain yang disepakati Negara-Negara Pihak sejak tanggal ketika kepadanya secara resmi diberitahukan bahwa kehadirannya tidak lagi diperlukan oleh pejabat pengadilan, diberikan kesempatan pergi, akan tetapi ia tetap tinggal secara sukarela di wilayah Negara Pihak yang meminta, atau, setelah meninggalkan negara itu, kembali lagi atas kemauannya sendiri. Biaya-biaya yang biasa untuk memenuhi permintaan wajib dibayar oleh Negara Pihak yang meminta, kecuali disepakati lain oleh Negara-Negara Pihak yang bersangkutan. Jika diperlukan atau akan diperlukan pengeluaranpengeluaran yang besar atau luar biasa untuk memenuhi permintaan itu, NegaraNegara Pihak wajib berkonsultasi untuk menentukan syarat-syarat bagi pemenuhan permintaan, serta bagaimana biaya-biaya itu akan ditanggung Negara Pihak yang diminta:
97 Universitas Sumatera Utara
a) Wajib memberikan kepada Negara Pihak yang meminta, salinan dari catatan, dokumen atau informasi kepemerintahan yang dimilikinya yang menurut hukum nasionalnya terbuka untuk masyarakat umum. b) Dapat, atas kebijakannya sendiri, memberikan kepada Negara Pihak yang meminta, seluruh, sebagian atau berdasarkan syarat yang dianggapnya perlu, salinan dari catatan, dokumen atau informasi kepemerintahan yang dimilikinya yang menurut hukum nasionalnya tidak terbuka untuk masyarakat umum. 76 Negara Pihak wajib mempertimbangkan, sepanjang perlu, kemungkinan untuk mengadakan perjanjian atau pengaturan bilateral atau multilateral untuk melaksanakan maksud, menindaklanjuti atau meningkatkan ketentuan pasal ini. 3. Perjanjian Pemindahan Orang Yang sudah Dihukum (Transfer of Sentenced Persons) (Konvensi UNCAC 2003 Art. 45) Merupakan perjanjian Transfer of Sentenced Person yang meliputi pemindahan orang yang sudah menjalani sebagian hukuman ke negara asalnya untuk menjalani sisa masa hukuman yang belum dijalaninya di negaranya. Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), dapat mempertimbangkan untuk mengadakan perjanjian atau pengaturan bilateral atau multilateral mengenai pemindahan ke wilayahnya orang yang dihukum dengan
76
BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQF jAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2Fdownloa dDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANGUNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTSIH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjC OpLg, , ibid.
98 Universitas Sumatera Utara
pidana penjara atau dengan bentuk lain perampasan kebebasan karena kejahatan menurut Konvensi ini agar orang itu dapat menyelesaikan hukumannya di sana. 77 4. Perjanjian Pemindahan Pemeriksaan Kriminal (Transfer of Criminal Proceding) (Konvensi UNCAC 2003 Art. 47) Perjanjian Transfer of Criminal Proceding meliputi pemindahan pemeriksaan orang yang menjadi tersangka tindakan kriminal yang sedang menjalani pemeriksaan oleh suatu negara untuk dipindahkan ke negara asalnya. 5. Investigasi Bersama (Joint investigation ) (Konvensi UNCAC 2003 Art. 49) Investigasi bersama merupakan suatu bentuk kesepakatan antara dua negara atau lebih dalam hal pengusutan suatu tindakan kriminal.
77
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQ FjAG&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2Fdownl oadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANGUNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCI CA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5rQ, ibid.
99 Universitas Sumatera Utara