BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. KERANGKA TEORI 1. Tata Cara Pengajuan Peninjauan Kembali. a. Pengertian Peninjauan Kembali. Peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap ialah putusan Pengadilan Negeri yang tidak diajukan upaya banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi atau putusan kasasi Mahkamah Agung. Peninjauan kembali tidak dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap apabilah putusan itu berupa putusan yang menyatakan terdakwa bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana, atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian peninjaun kembali dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan, kecuali terhadap putusan bebas
31
(vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging)1. Pasal 263 ayat (1) menjelaskan, yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Pandangan lain menyangkut pengajuan Peninjaun Kembali di luar dari Pasal 263 ayat (1) ialah Peninjauan Kembali yang dapat dilakukan oleh Jaksa. Hal ini tidak diatur dalam Pasal 263 ayat (1), ini merupakan kelemahan dari KUHAP. Hal ini yang menimbulkan perdebatan pada tahun 1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan. Pada tingkat kasasi terdakwa Muchtar Pakpahan dibebaskan dari tuduhan menghasut pemogokan buruh. Kemudian Jaksa mengajukan peninjauan kembali
terhadap
putusan kasasi, dimana upaya hukum peninjauan kembali dikabulkan oleh Mahkamah Agung dan menghukum Muchtar Pakpahan terbukti menghasut buruh untuk melakukan demonstrasi atau pemogokan di Medan2. Ketentuan dalam Pasal 263 ayat (1), menurut pendapat penulis, seharusnya dibagikan menjadi dua konsep, yang pertama, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terpidan atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Kedua, terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, jaksa penuntut umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 1
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Penerbit Ghalia Indonesia. Bogor, 2004, h, 232. 2 ibid
32
Semoga ini menjadi masukan untuk lembaga legilsatif yang sedang dalam proses RUU Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
b.
Alasan Peninjauan Kembali Pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyatakan, permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar pertama apabilah terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa keputusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan contoh kasus yang paling populer adalah Sengkon dan Karta. Kedua apabilah dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti ternyata bertentangan satu dengan yang lain. Hal ini bisa terjadi karena pertentangan antara putusan pidana dengan putusan perdata. Misalnya terdakwa dijatuhi pidana karena penggelapan dalam jabatan sebagaimana Pasal 374 KUHP.3 Ketiga apabilah putusan dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan. Contohnya dalam putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
3
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaanya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidan penjara paling lama lima tahun
33
Agung menyatakan bersalah kepada terdakwa kerena melakukan kejahatan
pembunuhan.
Kemudian
terdakwa
melalui
kuasanya
mengajukan peninjauan kembali. Mahkamah Agung menerima keberatan tersebut dengan pertimbangan, tidak seorangpun saksi yang melihat bahwa terdakwa menolak korban hingga jatuh dari kereta api yang menyebabkan korban mati, juga tak seorangpun melihat bahwa terdakwa mengambil uang dan baju korban, juga orang tua korban, polisi dan jaksa hanya menduga bahwa terdakwa telah membunuh korban yang hanya disarkan atas kesimpulan, dan hukum tidak membenarkan seorang diadili berdasarkan dugaan-dugaan kesimpulan sendiri yang tidak didasarkan dengan alat-alat bukti yang sah.4
c. Tata Cara Mengajukan Peninjauan Kembali Tata cara mengajukan peninjauan kembali ada dua. Pertama, diajukan ke Mahkamah Agung melalui Panitera yang mengadili. Pasal 26 KUHAP mengatur: -
Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasanya;
4
Ibid h.,232
34
-
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.
Kedua, dibuat dalam surat keterangan. Jadi berdasarkan Pasal 245 ayat (2), permintaan peninjauan kembali tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh penitera serta pemohon dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
d. Tenggang Waktu Peninjauan Kembali Permintan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu Pasal 264 ayat (3) KUHAP. Ketentuan ini merupakan ciri khas dari upaya hukum luar biasa dan membedakan dengan upaya hukum biasa. Dalam hal permohonan peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuat surat permintaan peninjauan kembali Pasal 264 ayat (4) KUHAP5.
e. Permintaan Pemeriksaan dalam Sidang Pengadilan Negeri Sebelum pengadilan negeri meneruskan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, Pasal 265 KUHAP menugaskan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk membuka
5
Ibid, 233
35
persidangan memeriksa permintaan peninjauan kembali. Secara tegas Pasal 265 ayat (1) mengatakan, ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1), menunjukan hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali terebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2). Dalam hal pemeriksaan sebagaimana tersebut Pada ayat (1), pemohon dan jaksa hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.6 Persoalanya apakah pemohon dapat mengajukan pendapat agar saksi-saksi dapat diperiksa dan didengar keterangnya. Dalam praktek, hal ini memang belum pernah terjadi, namun demikian, bila kita ingin mencari kebenaran yang sejati, hal seperti ini patut juga dilakukan untuk mendapatkan keadaan-keadaan baru yang diajukan oleh pemohon. Menarik dalam peninjauan kembali adalah kasus Tommy Soeharto dalam kasus korupsi tukar guling PT Goro Batara Sakti, dimana dalam kasasinya oleh Mahkamah Agung, Tommy Soeharto dipidana 18 bulan penjara. Kemudian Tommy melalui penasihat hukumnya mengajukan grasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid, pengajuan ini ditolak oleh Presiden. Grasinya ditolak, Tommy Soeharto melarikan diri sehingga tidak menjalankan hukumnya. Setalah gagal dalam upaya grasi, penasihat hukum Tommy Soeharto mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Dalam upaya hukum ini, Hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali Tommy Soeharto dengan
6
Ibid, h. 233-234
36
membebaskanya.
Putusan
Mahkamah
Agung
ini
menimbulkan
perdebatan karena ketika pemeriksaan Tommy Soeharto tidak hadir untuk mengajukan pendapatnya.7
f. Berita Acara Pemeriksaan dan Berita Acara Pendapat Pasal 265 ayat (3) KUHAP menentukan, atas permintaan tersebut dibuat acara pemeriksaan yang ditanda tangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditanda tangani oleh hakim dan panitera. Berita acara pemeriksaan yang di tandatangani oleh empat orang merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 202 atat (4) yang menentukan berita acara pemerikasaan cukup di tandatangani oleh hakim dan panitera. Hal ini dalam KUHAP tidak dijelaskan, namun hal ini sangat baik karena dengan begitu maka terhindarlah kemungkinan adanya pemeriksaan dan berita acara yang dibuat-buat oleh hakim dan panitera. Berita acara pendapat merupakan pendapat dan kesimpulan yang berisi penjelasan dan saran pengadilan negeri yang dibuat berdasar berita acara pemeriksaan8.
7 8
ibid Ibid
37
g. Pengiriman Permintaan Peninjauan Kembali Pasal yang megatur mengenai pengiriman permintaan peninjaun kembali yaitu Pasal 264 ayat (5) jo Pasal 265 ayat (4) KUHAP sebagai berikut: -
Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan9;
-
Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjaun kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya di sampaikan kepada pemohon dan jaksa10.
Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan11.
9
Bunyi Pasal 264 ayat (5) KUHAP Bunyi Pasal 265 ayat (4) KUHAP 11 Ibid. h. 235 10
38
h. Putusan Peninjauan kembali Pada prinsipnya tidak ada perbedaan mengenai fungsi dan tujuan mengenai pemeriksaan kasasi maupun pemeriksaan peninjauan kembali yang mengambil ketentuan pada Pasal 253 ayat (2) KUHAP. Dengan demikian dalam tata cara pemerikasaan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim dan pemeriksaan dilakukan berdasar berkas perkara semula berita acara pemeriksaan peninjauan kembali dan berita acara pendapat. Adapun putusan peninjauan kembali dapat berupa sebagai berikut; - Permintaan dinyatakan tidak dapat diterima Pasal 266 ayat (1), dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima karena tidak terdapat keadaan baru, tidak terdapat putusan yang saling bertentangan dan tidak terdapat kekeliruan dan kekhilafan dalam putusan. Permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima karena di ajukan oleh orang yang tidak berhak untuk itu, misalnya diajukan oleh saksi atau pemilik barang bukti. Kemudian Pasal 266 ayat (2) menentukan, dalam hal Mahkamah
Agung,
berpendapat
bahwa
permintaan
39
peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut. Apabilah Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak
permintaan
peninjauan
kembali
dengan
menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangan.12 - Putusan yang membenarkan alasan pemohon; Pasal 266 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa, apabilah Mahkamah
Agung
membenarkan
alasan
pemohon,
Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjaun kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa; o Putusan bebas; o Putusan lepas dari segala tuntutan hukum; o Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; o Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.13
12 13
ibid ibid
40
i. Putusan yang Dijatuhkan Tidak Boleh Melebihi Putusan Semula Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.14 Ketentuan ini tidak perlu ada jika jaksa penuntut umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali. Sebagaiman dimaklumi, memang ini merupakan upaya yang harus di lakukan guna menghindari Putusan Mahkamah Agung yang tidak menerapkan hukum atau menerapkan tidak sebagaimana mestinya, atau cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. Ketentuan yang membatasi jaksa agung hanya dapat mengajukan kasasi demi kepentingan hukum, diamana hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi adalah suatu hal yang sangat riskan, sebab ada kemungkinan putusan Mahkamah Agung juga mempunyai cacat hukum, sihingga wajar jika secara tegas dimungkinkan jaksa penuntut umum yang mewakili masyarakat mengajukan permintaan peninjauan kembali atas putusan kasasi Mahkamah Agung yang dirasakanya tidak adil.15
14 15
Pasal 266 ayat (3)KUHAP Ibid, h. 236
41
j. Pengambilan dan Pemberitahuan Putusan dalam Waktu Tujuh Hari Pertama salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan
tersebut
melanjutkan
dijatuhkan,
permintaan
dikirim
peninjauan
kepada kembali.
pengadilan Kedua
yang
ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga putusan Mahkamah Agung mengenai peninjaun kembali16.
k. Permintaan Peninjauan Kembali Tidak Menangguhkan Eksekusi Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelakanaan dari putusan tersebut. Apabilah suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali terebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya. Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja17. Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap inkracht van
16 17
Pasal 267 KUHAP Pasal 168 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP
42
gewisjde. Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 34/PUU-XI/2013
menyatakan, bahwa upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil, sehingga Pasal 268 ayat (3) KUHAP yaitu, Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan pro dan kontra, disatu sisi ada yang berpendapat bahwa Peninjauan Kembali lebih dari satu kali merupakan upaya melindungi hak masyarakat dalam memperoleh keadilan, namun di sisi lain ada pendapat bahwa Peninjauan Kembali lebih dari satu kali merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum. Setelah
mengkaji
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
No.
34/PUUXI/2013 dapat disimpulkan, pertama, peninjauan kembali lebih dari satu kali telah sesuai dengan tujuan masyarakat untuk memperoleh keadilan dalam penegakan hukum, karena dalam rangka mewujudkan keadilan dan menemukan kebenaran materiil tidak dapat dibatasi oleh waktu. Kedua, Putusan Mahakamah Kontitusi bersifat final dan mengikat final and binding, meskipun menimbulkan pro dan kontra maka semua pihak wajib melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diharapkan kepada Mahkamah Agung segera menyempurnakan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang pengajuan peninjauan kembali perkara pidana dengan menyesuaikan Putusan Mahakamah Konstitusi.
43
Dalam paham negara hukum yang demikian, harus diadakan jaminan bahwa hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat (democratische rechtstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Prinsip
negara
hukum
tidak
boleh
ditegakkan
dengan
mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam konstitusi. Karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang dilakukan menurut konstitusi (constitutional democratie) yang di imbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum
yang
berkedaulatan
rakyat
atau
demokratis
(democratische rechtstaat)18.
2. Tujuan Hukum Pemikir Yunani pertama kali berbicara masalah tujuan hukum adalah Aristoteles. Aristoteles menyadari bahwa dalam pelaksanaan hukum bukan tidak mungkin untuk kasus-kasus konkret akan terjadi kesulitan akibat penerapan hukum yang kaku. Untuk mengatasi masalah
18
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, h. 70.
44
tersebut,
Aristoteles
mengusulkan
adanya
equity.
Aristoteles
mendefinisikan equity sebagai koreksi terhadap hukum terjadi kasus yang mengharuskan hakim berani mengabaikan isi Undang-Undang dan memutus kasus dengan bertindak seakan-akan pembuat Undang-Undang yang seharusnya dapat menduga bahwa kasus semacam itu mungkin terjadi19. Apa yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang baik. Akan tetapi, manakala hukum terlalu kaku, maka dilakukan pelunakan yang di sebut equity. Tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk ketetapan dan kemanfaatan untuk kebahagiaan.20 Pendapat Aristoteles mengenai kekakuan hukum menjadi solusi untuk penerapan hukum yang adil sehingga dalam hukum administrasi negara dikenal adanya Freies Ermessen21 atau discretionary power, yaitu suatu tindakan yang dilakukan tanpa landasan tertulis tetapi karena tujuanya untuk nilai yang lebih tinggi harus dilakukan, bahkan terkadang tindakan
itu
merugikan
kepentingan
beberapa
orang
guna
menyelamatkan kepentingan banyak orang22.
19
Ibid., Pendapat G. Radbruch, Einfuhrung indie Rechtswissenchaft, Stuttgart 1961 dalam buku Muhamad Erwin. Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta., Rajawali Pers., 2012., hlm 123. 21 Ada juga yang menyebutkan Freies Ermessen dengan istilah diskersi. Untuk penulisan ini, penulis akan menggunakan dengan istilah Diskersi. 22 Ibid., 20
45
Pendapat-pendapat yang dijelaskan diatas dengan mengaitkan Putusan
Mahkamah
Konstitusi
No.
34/PUU-XI/2013
Tentang
peninjauan kembali lebih dari satu kali yang membatalkan Pasal 268 ayat (3), menggambarkan bahwa lembaga legislatif saat ini tidak secara cepat mengantisipasi permasalahan hukum yang terjadi saat ini dan berkembang sangat pesat sesuai dengan perkembangan masyarakat, salah satunya di pengaruhi oleh perkembangan globalisasi ditambah lagi lambatnya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang masih belum selasai. Hal ini menggambarkan lemahnya lembaga legislatif untuk mengantisipasi sekaligus menjawab permasalahan hukum dalam hal peninjauan kembali, maka dari itu putusan Mahkamah Konstitusi yang sekaligus membatalkan Pasal 268 ayat (3) adalah putusan yang berdasarkan rasa keadilan demi menjawab permasalahan hukum saat ini. Perbincangan mengenai tujuan hukum merupakan karakteristik aliran hukum alam yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat transenden dan metafisis disamping dengan hal-hal yang membumi23. Dalam teori hukum alam dianggap sebagai nilai yang universal dan selalu hidup disetiap individu, masyarakat maupun negara. Hal ini disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi pedoman bagi hukum itu sendiri. Diatas sistem hukum positif, ada subuah sistem hukum yang lebih tinggi (Lex divina24), bersifat Ketuhanaan yang berdasarkan atas akal
23
Peter.Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana Pernada Media Group., 2008. H. 97 Lex divina yang dimaksud adalah aturan-aturan yang diturunkan oleh Yang Maha Kuasa contohnya kitab-kitab suci.
24
46
budi atau hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior dari hukum negara25. Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaiaan nilai-nilai keadilan bagi masyarakat. Para pemikir paradigma hukum alam, berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum, bahkan sering keduanya diidentikan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakan keadilan (As a tool), namun juga berfungsi sebagai cermin rasa keadilan dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara26. Pendapat lain tentang hukum dari sudut pandang ilmu sosial, menurut Lawrence Friedman, keadilan diartikan sebagaimana hukum memperlakukan masyarakat dan bagaimana hukum mendistribusikan keuntungan dan biaya27. Selanjutnya Friedman, menyatakan bahwa setiap fungsi hukum baik secara umum atau spesifik bersifat alokatif28. Menurut Lawrence Friedman, hukum merupakan suatu produk tuntutan sosial. Dikemukakan olehnya bahwa individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan tidaklah serta merta berpaling kepada pranata hukum untuk mendesakkan tuntutan mereka. Sebaliknya mereka merumuskan kepentingan mereka dalam bentuk tuntutan datang dari
25
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah. Filsafat, Teori & Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat. Ed., Cet.1,.: Rajawali Pers 2012. Jakarta.h. 90. 26 Moh. Mahmud MD, Op. Cit., hlm. 91. 27 ibid 28 ibid
47
suatu keyakinan atau keinginan mengenai suatu yang harus terjadi untuk mewujudkan kepentingan itu. Tuntutan-tuntutan semacam itulah yang menentukan isi hukum29. Banyak literatur dikemukan bahwa tujuan hukum atau cita-cita hukum tidak lain adalah keadilan. Gustav Radburch menyatakan bahwa cita-cita hukum tidak lain dari pada keadilan. Selanjutnya ia menyatakan: “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus” (Hak untuk keadilan, hak keadilan, yang ia pertama-tama, kemudian, seolah-olah dari ibunya). Menurut Ulpianus : Justitia est perpetua et constans voluntas jus suum cuique tribuendy (Keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya)30. Esensi keadilan, dengan demikian berpangkal pada moral manusia yang telah mewujudkan rasa cinta kasih dan sikap kebersamaan31. Selain itu juga pandangan mengenai tujuan hukum yang disampaikan oleh Prof. Subekti, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum & Pengadilan, mengemukakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyat-nya.
Pengabdian
tersebut
dilakukan
dengan
cara
menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Keadilan ini digambarkan
29
ibid ibid 31 Thomas Aquinas adalah orang yang pertama kali mengemukakan moral sebagai dasar aturan hukum, yang mengikuti pandangan Aristoteles tentang tujuan hukum. 30
48
sebagai suatu keseimbangan yang membawa kententraman di dalam hati orang apabila melanggar menimbulkan kegelisahan dan guncangan. Kaidah ini menurut keadaan yang sama dan setiap orang menerima bagian yang sama pula. Menurut Prof. Subekti, keadilan berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan setiap orang diberi kemampuan dan kecakapan untuk meraba dan merasakan keadaan adil itu. Segala apa yang ada didunia ini sudah semestinya menimbulkan dasar-dasar keadilan pada manusia. Dengan demikian hukum tidak hanya mencarikan keseimbangan antara berbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, tetapi untuk mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan ketertiban atau kepastian hukum. Kesimpulan tujuan hukum dari pendapat-pendapat yang sudah disampaikan di atas maka penulis meminjam pendapat ahli hukum Belanda Prof Taverne bahwa hanya pada tangan hakim, jaksa, dan polisi yang baik,
maka
hukum
yang buruk
sekalipun,
kita
dapat
mempersembahkan hukum yang baik dan adil bagi rakyat. Dalam konteks Indonesia, pendapat yang sama juga di sampaikan oleh Prof Satjipto Rahardjo bahwa keberanian, kepeloporan, komitmen moral, dan bertindak kreatif dari aparat hukum itu sangat di perlukan demi tercapainya tujuan hukum yang baik demi tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang menjadi landasan filosofis tentang putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang peninjauan
49
kembali lebih dari satu kali yaitu demi tercapainya tujuan hukum yang dapat melahirkan rasa keadilan bagi semua masyarakat Indonesia.
a. Penerapan Diskresi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.
34/PUU-XI/2013
Tentang
Peninjauan
Kembali
Berulang Kali. Istilah diskersi disebut juga dengan Freies Ermessen yang secara bahasa freies ermessen berasal dari kata frei artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan kata ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan . Menurut kamus hukum Freies Ermessen merupakan kewenangan/wewenang berupa kebebasan bertindak pejabat negara untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri Diskresi adalah sesuatu yang tak bisa dipungkiri bahwa pemberian diskresi merupakan sebuah kemestian seiring dengan citacita pemahaman tentang Negara Kesejahtreaan (waelfare state), hal ini digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 34/PUUXI/2013 Tentang peninjauan kembali lebih dari satu kali. Dengan adanya kelemahan dan keterbatasan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai peninjauan kembali dapat di lakukan lebih dari sekali. Tujuanya hanya untuk memberikan rasa keadilan kepada para pencari keadilan di Mahkamah Konstitusi.
50
Diskresi adalah putusan yang diambil tidak berdasarkan dengan undang-undang melainkan diluar dari peraturan perundang-undang. Manakala undang-undang belum mengatur secara jelas tentang permasalahan hukum, maka putusan diskresi bisa di keluarkan dengan tujuan untuk menjawab permasalahan hukum. Diskresi bisa saja terjadi lembaga-lembaga eksekutif maupun yudikatif, baik Presiden, Menteri, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kepolisian, Gubernur, Bupati dan Walikota. Tindakan pemerintah harus berdasarkan wewenang bertindak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Terhadap hal ini dapat dikemukan argumen bahwa penyelenggaraan negara
sering
ditemukan dalam realita permasalahan hukum yang terjadi sebagai berikut; -
Semakin banyak, luas, dan kompleksnya masalah yang dihadapi oleh negara dalam kerangka welfare state yang menurut tindakan penyelesaian dari pemerintah;
-
Seringkali pemerintah berbuat sesuatu bukan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undang, melainkan berdasar pada yang ditentukan, digariskan atau petunjukpetunjuk dari instansi atasanya;
-
Dalam
hal
lain,
wewenang
pemerintah
melakukan
perbuatanya berdasarkan wewenang yang ditetapkan dalam peraturan, tetapi kerap kali rumusan wewenang tersebut demikian samar-samar atau demikian sangat luas;
51
-
Apabilah asas legalitas dijalankan secara kaku, pemerintah akan sulit mengantisipasi setiap perkembangan yang terjadi dalam masyrakat oleh karena setiap saat harus menunggu peraturan perundang-undanganya terlebih dahulu seperti di bawah ini; Dipihak lain, yaitu badan legislatif memiliki sejumlah kelemahan; Tidak
dapat
sepenuhnya
menangani
semua
perkembangan yang terjadi; Tindakan sepenuhnya menguasai persoalan mengalami hambatan proses (proedural) dan; Kesulitan-kesulitan dalam setiap kali mengambil keputuan. Mengacu pada pendapat Posner-Vermeule tentang hubungan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif berkenaan dengan kekuasaan diskresi. Pendapat Posner-Vermeule bahwa kekuasaan diskresi sesungguhnya dilakukan oleh pembentuk undang-undang melalui praktek delegasi dengan pertimbangan pembentuk undang-undang mengalami
sejumlah
kondisi
yang
dinamakan
institutional
disadvantages sehingga darinya tidak mungkin dituntut untuk melakukan tindakan. Hal ini berarti bahwa secara prinsip konsepsi yuridis mengenai kekuasaan diskresi sebagai delegasi dari pembentuk undang-undang memiliki pembenaran secara teoritis meskipun teori yang dirujuk adalah praktek hukum ketatanegaraan negara lain.
52
Kajian teori keadilan yang berkaitan dengan peninjauan kembali lebih dari sekali tidak terlepas juga dengan dukungan kajian filsafat hukum dan beberapa teori hukum yang akan dipakai dalam kajian teori keadilan mengenai peninjauan kembali lebih dari satu kali. Sehingga pengkajian dibawah ini penulis juga akan menambahkan pengkajian keadilan menurut pandangan filsafat hukum untuk memperkaya penulisan dan membuka pemahaman didalam skripsi ini untuk mengatahui tujuan dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUUXI/2013 Tentang peninjauan kembali lebih dari satu kali.
b. Kajian Keadilan Berkaitan Filsafat Hukum Berbicara tentang keadilan maka tidak akan terlepas dari kajian filsafat hukum yang memiliki arti dan peran besar bagi eksitensi dan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan hukum termasuk ilmu hukum pada masa-masa yang dulu dan sekarang. Hal ini adalah lumrah adanya, kerena filsafat pada umumnya merupakan mother of science yaitu induk pokok dari semua ilmu pengetahuan yang ada dan dikenal oleh manusia sampai saat ini. Pada hakikatnya filsafat hukum merupakan filsafat yang mengkaji hukum secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut sebagai hakikat hukum atau filsafat yang mengkaji hukum secara filosofis. Dilihat dari penjelasan diatas maka pemahaman tentang filsafat hukum yang berkaitan dengan peninjaun kembali dalam hal ini aturan yang berkaitan dalam peninjauan kembali lebih dari sekali adalah
53
bagian dari pengkajian filsafat hukum yang tidak terlepas pada tujuan hukum yaitu keadilan, dan moralitas. Penjelasan mengenai hal ini, ketika hukum tidak berpihak kepada keadilan, dan moralitas maka landasan yang dipakai adalah filsafat hukum untuk mencari inti-sari hukum itu sendiri. Sehingga pemahaman tentang hukum bukan sebatas apa yang dikatakan oleh undang-undang semata, sehingga hakim bukan sebagai corong undang-undang. Hal ini yang mendasari bahwa, ilmu hukum bukanlah ilmu yang bersifat pasif tetapi aktif yang sesuai dengan perkembangan zaman, maka untuk menjawabnya, pemahaman tentang filsafat hukum sangat di perlukan untuk pengkajian-pengkajian yang lebih mendalam tentang permasalahan hukum yang terjadi saat ini dan kedepanya. Salah satu syarat pengajuan peninjauan kembali adalah menemukan bukti baru (novum). Bukti baru yang nantinya menjadi faktor pendukung dalam pengajuan sekaligus menjadi bukti persidangan peninjauan kembali yang nantinya memberikan keterangan secara hukum bahwa terpidana bersalah atau tidak. Hal yang harus dilihat dalam permasalahan hukum saat ini adalah pesatnya perkembang ilmu pengetahuan dan teknologi, contoh kasus terjadi pada Antasari Azhar dengan bukti yang diajukanya belum dapat terpenuhi karena teknologi yang dapat membuka sekaligus dapat membuktikan terpidana tidak bersalah dalam kasus pembunuhan Nazarudin belum ditemukan. Maka dari itu Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang peninjauan kembali lebih dari
54
satu kali, adalah putusan yang berdasarkan pada pengkajian filsafat hukum yang menjawab permasalahan hukum demi tercapainya keadilan untuk masyarakat. Berkaitan dengan kepastian hukum dalam peninjauan kembali lebih dari satu kali sudah dijelaskan dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP bahwa; permintaann peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. Penjelasan Pasal 268 ayat (1) KUHAP memperkuat argumen bahwa melakukan peninjauan kembali berulang kali tidak menghalangi atau penundaan eksekusi yang sudah di putuskan sebelumnya oleh Pengadilan. Peninjauan kembali memang harus diajukan oleh pengacara senior atau pengacara yang memang betul-betul paham tentang novum yang diajukan benar-benar merupakan bukti baru yang memperkuat untuk peninjauan kembali. Inilah yang mendasari sehingga peninjauan kembali di ajukan dapat melahirkan kepastian hukum. Filsafat hukum merupakan sumber tempat dimana kaidah hukum dan asas hukum yang saling berkaitan dengan yang lainya dalam ilmu hukum. Selanjutnya filsafat hukum melahirkan teori hukum dari hasil pengkajian hukum setelah itu dogmatik hukum, hukum dan praktik hukum.
Komponen-komponen ini merupakan satu sistem antara
lapisan yang satu dengan yang lainya yang paling menopang dalam satu kesatuan yang disebut dengan ilmu hukum. Sehingga pengkajian filsafat hukum merupakan solusi untuk menggali lebih jauh dari tujuan
55
hukum itu sendiri yaitu keadilan dan moralitas sehingga mengahasilkan kemanfaatan dan kepastian hukum. Filsafat hukum memang tidak digunakan untuk memecahkan masalah hukum tetapi filsafat hukum dapat menjadi sarana untuk memecahkan masalah-masalah hukum yang sering mencederai nilai keadilan. Tugas filsafat hukum adalah mencari pengertian tentang hakikat hukum yang sebenarnya. Tidaklah mustahil menjadi seorang praktisi hukum ataupun ahli hukum yang baik tanpa memahami filsafat hukum dengan baik.
c. Kajian Keadilan Menurut Teori Hukum Hukum sangat erat hubunganya dengan keadilan, bahkan ada pendapat bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti sebagai hukum, karena tujuan hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan pada masyarakat. Setiap hukum yang dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga di hadapan masyarakat, hukum bersifat objektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan bersifat subjektif, maka menggambungkan antara hukum dan keadilan bukan merupakan hal yang gampang. Tetapi sesulit apapun hal ini harus dilakukan demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak dasar hukum adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan32.
32
Ibid., 91
56
Dalam tata hukum Indonesia, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, disamping menempatkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai sumber tertib hukum dan sebagai dasar negara menempatkan Pancasila berada pada urutan paling atas pada susunan atau hierarki perundang-undangan di Indonesia.33 Pancasila sebagai dasar negara merupakan unsur-unsur pokok dalam kaidah negara yang fundamental, merupakan norma hukum yang pokok, sehingga semua perundang-undangan yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis tidak boleh bertentangan dengan Pancasila yang berisi nilai- nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan,
dan
Keadilan sosial bagi seleruh rakyat Indonesia. Pancasila sebagai hukum dasar didalamnya memuat keadilan, sehingga antara hukum dan keadilan mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Pencapaian atas keadilan tidak bisa terepas dari hukum, moral, karena keadilan hakikatnya tidak bisa dipisahkan begitu saja, karena berbicara tentang hukum harus berlandaskan kepada moral dan semua hukum yang melahirkan kepastian hukum. Sehingga tujuan hukum tercapai yaitu keadilan. Terjadinya pelanggaran hukum pasti ada norma moral yang terabaikan, karena norma hukum juga merupakan norma moral, sehingga tujuan keadilan tidak tercapai. Hukum harus bermuara
33
Ibid., 92
57
pada keadilan, yaitu keadilan yang ada pada masyrakat, hukum akan siasia jika tidak tercapai rasa keadilan pada masyrakat. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit),
kemanfaatan
(zweckmassigkeit),
dan
keadilan
(gerrechtigheit).34 Selain itu hukum juga dapat memanusiakan manusia menurut Dr. Notohamidjojo. Keadilan merupakan sendi yang terakhir sebagai tujuan hukum, agar keadilan itu tercapai sesuai dengan keadilan yang ada pada masyarakat, maka hukum diciptakan harus bersendikan pada moral, artinya undang-undang dan semua norma hukum harus sesuai dengan norma-norma moral. Hukum yang berupa undang-undang maupun yang dilaksanakan pada lembaga peradilan tidak akan berarti dan tidak akan tercapai rasa keadilan jika meninggalkan prinsip-prinsip moral, baik oleh pembuat undang-undang maupun aparat penegak hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum. Menurut Hans Kelsen dalam teorinya Stufen Bouw Theory atau teori tangga, yang menggambarkan bahwa sistem perundang-undang suatu negara tersusun seperti tangga-tangga piramid. Di tangga yang paling dasar terdapat norma yang disebut norma ketetapan-ketetapan, diatas norma ketetapan ada norma peraturan, di atas norma peraturan ada norma undang-undang, diatas norma undang-undang ada norma Undang-
34
Sudikno Mertokusomo.,Op.Cit.,h.5
58
Undang Dasar, dan diatas Undang-Undang Dasar atau puncak piramid ada norma yang di sebut norma dasar yaitu moral (grundnorm).35 Berkaitan dengan teori Stufen Bouw Theory. Dalam sistem hukum Indonesia yang menjadi dasar adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kaidah dasar yaitu kaidah norma yang menjadi dasar berlakunya dan legalitas hukum positif di Indonesia. Pancasila dipahami sebagai dasar falsafah negara serta sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, pada hakikatnya merupakan nilai-nilai yang sistematis dan hierarkis. Dalam pengertian inilah Pancasila merupakan sistem filsafat, maka kelima sila yang ada tidak terpisahkan dan memiliki makna sendiri-sendiri, tetapi memiliki makna yang utuh. Pancasila tersusun secara hirarkis piramida yang bulat dan utuh, artinya semua sila yang ada dibawahnya tidak boleh bertentangan antara satu dan yang lain antara sila pertama sampai terakhir. Dasar pemikiranya adalah bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyrakatan,
serta
kenegaraan
harus
berdasarkan
nilai-nilai
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Inilah yang menjadikan Pancasila sebagai dasar kaidah norma berlakunya dan legalitas hukum positif Indonesia. Keadilan merupakan nilai lebih tinggi dalam pemahaman hukum. Keadilan bukanlah nilai tunggal yang berdiri sendiri, tetapi keadilan
35
Ibid.,6
59
dapat melahirkan kepastian dan kemanfaatan hukum. Keadilan bagaikan segitiga yang berada lebih tinggi diatas kurva segitaga, sehingga ketika keadilan bergerak maka keadilan pasti menyentu dengan kurva segitiga sebelah kanan yaitu kepastian hukum dan menyentuh kurva segitiga sebelah kiri yaitu kemanfaatan inilah yang menjadi keadilan merupakan nilai yang lebih tinggi. Sehingga didalam hirarki filsafat hukum nilai melahirkan azaz-azaz hukum, azaz-azaz hukum melahirkan prinsif, prinsif melahirkan kaidah,
dan kaidah melahirkan hukum positif.
sehingga keadilan merupakan nilai yang lebih tinggi dan merupakan citacita dalam suatu negara demokrasi yang seutuhnya.
a) Teori Keadilan bermartabat Lahirnya teori keadilan bermartabat berangkat dari dasar pemikiran yang mempunyai tujuan bahwa hukum yang dapat memberikan rasa adil yang bermartabat dan keadilan yang dapat memanusiakan manusia. Teori keadilan mermartabat menggali hukum dari lapisan-lapisam dalam memahami ilmu hukum yang berkadilan bermartabat dilihat dari susunanya ilmu hukum meliputi filsafat hukum atau philosophy of law yang berada ditempat pertama selanjutnya teori hukum atau legal theory berada pada posisi kedua, selanjutanya dogmatik hukum atau jurisprudence berada pada posisi ketiga selanjutnya hukum dan praktik hukum atau law and legal partice. Lapisan-lapisan ilmu hukum ini, dalam pandangan teori keadilan bermartabat berfungsi sebagai sumber dimana hukum di temukan, tetapi lapisan-lapaisan ini bukanlah
60
menjadi pemisah dalam ilmu hukum melainkan saling berkaitan dengan satu dan lainya. Karakter teori keadilan bermartabat antara lain adalah sistem filsafat hukum yang mengarahkan atau memberikan tuntutan serta tidak memisahkan seluruh kaidah dan asas atau substantive legal disciplines (disiplin hukum materiil). Termasuk didalam substantive legal disciplines yaitu nilai (valuea) saling terkait dengan jejaring kaidah dan asas yang didalamnya ada nilai-nilai virtues (kebijakan) yang mengikat satu sama lain. Susuan keterkaitan antara asas-asas dan nilai yang di dalam prinsip keadilan bermartabat menjadikan teori keadilan bermartabat menjadi pondasi ilmu yang kuat dalam membangun hukum yang berkadilan bermartabat karena ada jiwanya the living law (hukum yang hidup) dalam tujuan membangun negara yang baik dengan sistem hukum yang baik bersumber dari hukum Indonesia yaitu Pancasila (Volksgeist).36 Teori keadilan bermartabat dimulai dan berakhir dengan memeriksa bahan hukum dalam sistem hukum berdasarkan pancasila sebagai bahan-bahan yang menajdi obyek kajian Teori keadilan bermartabat memandang bahwa Volksgeist atau Pancasila menjadi inspirasi pencerahan yang digali dari jiwa bangsa teori keadilan bermartabat. Kajian dimulai dengan menggali keadilan sebagai tujuan negara yang sudah dikutip dari pembukaan UUD 1945. Dalam paket tujuan sebagaimana rumuan pembukaan UUD 1945 terkandung apa yang
36
Teguh Prasetyo., Keadilan Bermartabat Prespektif Teori Hukum., Penerbit Nusa Media., 2015., h.,40.
61
disebut antara lain, yaitu pemikiran lex divina. Pemikiran itu diperhadapkan sebagai tujuan yang harus dikejar oleh sistem hukum yang bersumber kepada jiwa bangsa (Volksgeist).37
b) Teori Hans Kelsen (Teori Grundnorm) Grundnorm (norma dasar) adalah kaidah-kaidah yang paling fundamental tentang kehidupan manusia dimana diatas norma dasar tersebut diabuatlah kaidah-kaidah hukum lain yang lebih konkret dan lebih khusus.38 Suatu norma dasar tidak dengan sendirinya mengikat secara hukum tanpa kehadiran suatu aturan hukum pada tataran yang lebih konkret berupa norma hukum yang valid.39 Sesuai dengan teori norma dasar (Grundnorm) dari Hans Kelsen, maka setiap hukum dalam suatu negara haruslah berasal dari suatu hukum dasar (Grundnorm) yaitu konstitusi. Karena itu, untuk mengukur konsistensinya dengan hukum dasar, berkembanglah beberapa kaidah hukum tentang logikailmu hukum, yaitu: -
Kaidah derogasi, dalam hal ini setiap aturan hukum berasal dari aturan hukum yang lebih tinggi
-
Kaidah pengakuan (recognition). Setiap kaidah hukum yang berlaku harus ada pengakuan dari yang berwenang
37
Ibid Biasanya pada suatu negara ditulis norma dasar yang berlaku dalam suatu negara dan tulis dalam konstitusi. 39 Munir Fuady., Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum., Penerbit Kencana., 2013., h.,138 38
62
menjalankan aturan tersebut, maupun pengakuan dari pihak kepada siapa aturan hukum tersebut akan diterapkan. -
Kaidah nonkontradiksi, tidak boleh ada kontradiksi antara sesuatu aturan hukum dengan aturan hukum lainya, sehingga antara satu norma hukum dengan norma hukum lainya haruslah harmonis, sinkron, dan terintegrasi (principle of intergrity).
-
Kaidah derivatif ( derivative principle), dalam hal ini aturan hukum ditingkat bawah merupakan bagian dari aturan hukum tingkat lebih tinggi yang ditarik berdasarkan prinsip dedukasi partikal.
-
Kaidah sistem (sytem principle) dalam hal ini suatu sistem hukum yang lebih rendah tingkatanya merupakan subsistem dari peraturan hukum yang lebih tinggi, sehingga semua aturan hukum yang berlaku merupakan sebuah sistem secara keseluruhan.
-
Kaidah generalis (generalized principle), dalam hal ini atuaran hukum yang lebih tinggi merupakan generalis dari aturan hukum yang lebih rendah. Demikian juga sebaliknya bahwa aturan yang lebih rendah merupakan kekhususan dari aturan yang lebih tinggi.
-
Kaidah reduksi (principle of reductionism), dimana aturan hukum yang lebih rendah merupakan reduksi dari aturan yang lebih tinggi.
63
-
Kaidah golongan ketercakupan (principle of subsumption), dalam arti bahwa aturan hukum harus masih termasuk aturan atau tercakup dalam golongan aturan yang lebih tinggi,. Jadi bukan berasal dari golongan aturan yang lain.40
Selanjutnya satu ajaran yanag sangat populer dari teori hukum dasar adalah teori tentang tindakan aturan hukum yang berjenjang (teori piramida berbalik). Dalam hal ini, teori dasar yang merupakan konstitusi dalam suatu sistem pemerintah, merupakan norma dasar yang dalam suatu segitiga terbalik tenpatnya adalah yang tertinggi (dengan wilayah jerja yang luas).41
c) Teori Gustav Radbruch (Hukum itu Normatif, Karena nilai Keadilan) Nilai keadilan adalah “meteri” yang harus menjadi isi aturan hukum. Sedangkan aturan hukum adalah “bentuk” yang harus melindungi nilai keadilan.42 Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menajadi hukum.43 Jadi, bagi Gustav Radbruch hukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, finalitas, dan kepastian. Aspek keadilan menujuk pada “kesamaan hak didepan hukum”. Aspek finalitas, menujuk pada tujuan
40
Ibid h., 143 Ibid.,h 144 42 Ibid 129 43 Ibid 130 41
64
keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menujuk pada jaminan bahwa hukum yang berisi keadilan dan norma-norma (yang memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.44 Tuntutan akan keadilan dan kepastian, menurut Gustav Radbruch, merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Sedangkan finalitas mengandung unsur raltivitas karena tujuan keadilan (sebagai isi hukum) untuk menumbuhkan nilai kebaikan bagi manusia, lebih sebagai suatu nilai etis dalam hukum. Nilai kebaikan bagi manusia dimaksud, dapat dihubunglkan dengan tiga subyek yang hendak dimajukan kebaikanya yakni individu, kolektivitas, dan kebudayaan. Subyek pertama hendak dimajukan kebaikanya adalah manusia individu. Hukum yang disusun untuk tujuan ini bersifat individualistis. Dalam sistem ini, individu dan martabatnya tidak saja dianggungkan tetapi juga diberi perlindungan khusus, seperti dalam Konstitusi Amerika.45 Dalam negara dengan sistem individual (finalitasnya adalah perkembangan individu), maka kemungkinan timbul pertentangan antara finalitas dan legalitas (kalau terdapat undang-undang yang karena alasan tertentu tidak cocok dengan perkembangan individu manusia). Menurut legalitas, undang-undang itu berlaku demi kepastian hukum, tetapi finalitas menentang keberlakuan itu.46
44
ibid Ibid 131 46 Ibid.,h., 131-132 45
65
Hal inilah yang menyebabkan Gustav Radbruch mengakui adanya hukum alam yang mengatasi hukum positif, yaitu (i). Setiap individu harus diperlakuakan menurut keadilan didepan pengadilan, (ii). Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar, (iii). Harus ada keseimbangan antara pelanggaran dan hukum.47 Berdasarkan tiga prinsip hukum alam tersebut, Gustav Radbruch sampai pada keyakinan bahwa keadilan terhadap manusia individual merupakan batu sendi bagi perwujudan keadilan dalam hukum. Dari sini pula tiga aspek hukum itu disusun dalam urutan struktural yang dimulai dari
keadilan,
kepastian
dan
diakhiri
finalitas.
Maka
bila
perkembanagan ditentukan sebagai finalitas hukum, maka ia tetap tunduk pada pada keadilan dan kepastian hukum. Ini menghindari kesewenang-wenang.48 Bagaimana jika terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian? Kita ketahui, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan. Bagaimana jika ia tidak sesuai dengan keadilan dan finalitas. Bila pertentangan antara tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga ia benar-benar dirasakan tidak adil, maka demi keadilan tata hukum itu harus dilepaskan.49
47
ibid ibid 49 ibid 48
66
d. Kepastian hukum Nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan
yang
bertindak
sewenang-wenang,
sehingga
hukum
memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. Nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif.50 Dalam hal ini kepastian hukum berkedudukan sebagai suatu nilai yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Sehingga hukum itu dapat memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan,
tidak
menimbulkan
multitafsir,
tidak
menimbulkan
kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Untuk tercapainya nilai kepastian di dalam hukum, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
50
Lili Rasjidi., Filsafat Hukum mazhab dan refleksinya., Remaja Rosdakarya Offset.,1994 Bandung, hal 27
67
-
Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
-
Bahwa instansi-instansi negara penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
-
Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
-
Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
-
Bahwa putusan peradilan secara konkrit dapat dilaksanakan. Kelima syarat yang dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa
kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti ini yang disebut sebagai kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. Menurut Lon Fuller hukum itu dapat memenuhi nilai-nilai kepastian apabilah di dalamnya terdapat 8 (delapan) asas, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
68
-
Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu;
-
Peraturan tersebut diumumkan kepada public;
-
Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas;
-
Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
-
Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
-
Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
-
Tidak boleh sering diubah-ubah;
-
Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan seharihari.51 Asas-asas tersebut mengandung makna bahwa hukum dapat
dikatakan akan memiliki nilai kepastian jika hukum itu ada atau dibuat sebelum perbuatan yang diatur dalam hukum tersebut ada (asas legalitas). Kepastian ini juga menjadi tujuan dari hukum disamping tujuan yang lain yaitu keadilan dan kemanfaatan. Namun demikian, jika hukum diidentikkan dengan perundangundangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian undangundang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian Artikel Hukum “Keadilan Kepastian Dan Kemanfaatan (Prespektif Filsafat Hukum)., Disusun oleh oleh Abid Zamzami.SH.,MH 51
69
undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku. Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal culture) untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.
B. Hasil Penelitian 1. Kasus Posisi Kasus ini berawal dari permohonon peninjauan kembali oleh saudarah Antasari Azhar, S.H., M.H ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dilakukan:52
Bahwa saudarah Antashari Azhar menggap hak konstitusionalnya sangat di rugikan oleh berlakunya Paal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Terpidana Antashari Azhar telah mendapatkan putusan oleh pengadilan sebelumnya yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap
52
Sumber : Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013.,h.,1 , Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
70
dalam perkara pidana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel yang telah diputus pada tanggal 11 Februari 2010 dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010;
Alasan saudarah Antashari Azhar melakakukan upaya peninjauan kembali yang kedua ialah apabilah di kemudian hari ada teknologi yang dapat membuka bukti sms yang didalikan oleh Jaksa Penununtut Umum bahwa sms tersebut bukanlah berasal dari saudarah Antashari Azhar, maka secara konstitusi Terpidana tidak dapat memperbaiki nama baiknya karena di batasi oleh Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Menurut keterangan ahli Dr. Ir. Agung Agung Harsoyo, M.Sc, M.Eng, dalam rentang waktu antara Februari-Maret 2009, tidak terdapat sms yang dikirim dari keenam nomor HP milik Antasari kepada Nasrudin. Pada Februari 2009, nomor HP Antasari 0812050455 mencatat empat SMS dari nomor HP Nasruddin 0811978245, tapi tidak ada catatan adanya SMS balasan dari Antasari. Sedangkan Chip HP almarhum Nasrudin Zulkarnaen, yang berisi SMS ancaman rusak, tidak bisa dibuka.
2. Kerugian Pemohon Berdasarkan prinsip keadilan dan asas persamaan kedudukan depan hukum (equality before the law), hak Pemohon sebagai rakyat
71
dan sebagai warga negara Indonesia atas keadilan tidak terakomodir oleh Undang-Undang yang diajukan untuk diuji materiil yang menutup kemungkinan
bagi para
Pemohon
untuk
mencapai
keadilan sehingga dalam hal ini para Pemohon merasa rugikan atas Pasal 268 ayat (3) KUHAP, maka dengan adanya pemberlakuan Pasal 268 ayat (3) sangat mencedarai rasa keadilan apabilah di kemudian hari Terpidana menemukan novum yang dapat membuktikan bahwa saudarah Antashari Azhar tidak bersalah; Larangan terhadap peninjauan kembali untuk kedua kalinya setidaktidaknya mengabaikan prinsip dan nilai keadilan materiil/substansial, prinsip negara hukum yang menjamin hak asasi warga negara untuk memperjuangkan keadilan, dan bertolak belakang dengan hukum responsif dan progresif, sehingga untuk pencari keadilan tidak boleh ada pembatasan; Dalam prinsip hukum pidana letak keadilan lebih tinggi dari pada kepastian
hukum,
apabilah
harus
memilih
maka
keadilan
mengeyampingkan kepastian hukum. Dengan demikian pengajuan peninjauan kembali oleh korban atau ahli warisnya dan dapat diajukan lebih dari sekali adalah dalam rangka mencari dan memperoleh
keadilan
harus
diberi
peluang
walaupun
mengeyampingkan kepastian hukum. Di sisi lain peninjauan kembali jelas-jelas tidak menghalangi eksekusi putusan pidana, sehingga sebenarnya tidak ada relevansinya dengan kepastian hukum;
72
Pada prinsipnya keadilan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disimpulkan keadilan merupakan pilar penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi dalam Undang–Undang yang dimohonkan untuk diuji membatasi para pencari keadilan untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya sehingga hal ini bertentangan prinsip keadilan yang terkandung dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Norma-norma yang diajukan untuk diuji a. Norma materiil Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) berbunyi: “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”; b. Norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjadi penguji i. Pasal 1 ayat (3) berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”; Prinsip negara hukum adalah semua berdasar hukum, hukum untuk mencapai keadilan, sehingga semua proses hukum adalah terciptanya keadilan di masyarakat. Apabila dihadapkan pilihan Keadilan dan Kepastian Hukum maka Keadilan haruslah yang
73
dipilih dan diutamakan. Dengan demikian upaya Peninjauan Kembali dalam perkara pidana tidak dapat dibatasi hanya sekali saja dalam rangka mencari keadilan hakiki bagi nasib seseorang untuk terhindar dari hukuman sanksi pidana penjara atau hukuman mati apabila berdasar pembuktian materiel diketahui kemudian hari tidak bersalah. ii. Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (1) bahwa kekuasaan lembaga kehakiman haruslah bebas dari tekanan pihak manapun. Tujuan dari merdekanya kekuasaan kehakiman ini adalah ditegakkannya hukum dan keadilan. Hakim tidak semata-mata hanya menjadi corong Undang-Undang. Pada saat memutus suatu perkara, Hakim akan menerapkan hukum demi ketertiban masyarakat dan kepastian hukum. Bersamaan dengan itu, Hakim dituntut juga harus dapat mewujudkan keadilan. Jika hukum dalam undang-undang yang akan diterapkan tidak ditemui maka Hakim diberikan kewenangan untuk mencari atau bahkan menciptakan hukum; iii. Pasal 28A UUD 1945 secara eksplisit mengatakan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. iv. Pasal 28C ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,berhak mendapat
74
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menjadi hak warga negara dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia termasuk memperjuangkan keadilan bagi diri sendiri maupun orang lain sehingga upaya Peninjauan Kembali dalam perkara pidana tidak dapat dibatasi hanya sekali saja dalam rangka mencari keadilan hakiki bagi nasib seseorang untuk terhindar dari hukuman sanksi pidana penjara atau hukuman mati apabila berdasar pembuktian materiel diketahui kemudian hari tidak bersalah. v.
Pasal 28D ayat (1) berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; Pasal 28D ayat (1) jelas menyatakan kepastian hukum yang adil sehingga kepastian hukum tanpa keadilan maka akan mencederai perlindungan, pemberian jaminan dan pengakuan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hukum yang hanya mengejar kepastian akan menjadi sia-sia apabila tidak memberikan keadilan, hukum menjadi tidak berguna dan
tidak
memberikan
sumbangan
apa-apa
bagi
kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian Peninjauan Kembali dalam perkara pidana apabila dibatasi hanya boleh sekali saja jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.
75
4. Pasal 268 ayat (3)
bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 . Jika dilihat dari sejarahnya, mulai dari Reglement op de Srtrafvordering (Stb Nomor 40 juncto 57 Tahun 1847), setelah kemerdekaan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1969
maupun
PERMA Nomor 1 Tahun 1980, upaya hukum peinjauan kembali hanya diperuntukkan semata-mata bagi kepentingan terpidana, selain itu dalam peninjauan kembali dalam Bab XVIII Pasal 263 - 269 KUHAP dalam kepentingan terpidana seharusnya Negara tidak memberikan batasan berapa kali upaya hukum peninjauan kembali dapat diajukan; Bahwa Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun
1945
berbunyi
“setiap
orang
berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Dengan demikian dalam rangka mencari kebenaran untuk menuju keadilan maka setiap warga negara berhak mendapat kemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi demi mendapatkan keadilan;
Bahwa Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan Indonesia sebagai negara hukum, memberikan
76
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap warga negara atas hukum dan keadilan. Titik tekan dari norma-norma dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah terwujudnya kepastian hukum yang
adil,
bukan
semata-mata
kepastian
hukum
yang
mengenyampingkan rasa keadilan.
Untuk menjawab dan memberikan solusi kebenaran dan keadilan, maka upaya hukum peninjauan kembali perkara pidana sudah semestinya dapat diajukan lebih dari sekali dengan ketentuan berdasar alasan bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu pengetahuan
dan
tekhnologi
yang
benar
dan
dapat
di
pertanggungjawabkan.
Demi penegakan hukum yang adil sudah saputnya Pasal 263 ayat (3) KUHAP dinyatakan
konstitusional bersyarat sehingga
berbunyi: “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja, kecuali terhadap alasan ditemukannya bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dapat diajukan lebih dari sekali”.
Melihat pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undnag-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, ditentukan bahwa “permohonan peninjauan kembali
77
tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.” Dari ketentuan pasal tersebut dan dari penjelasan pasalnya yang juga berbunyi “cukup jelas”, maka dapat kita simpulkan bahwa upaya peninjauan kembali tidak akan menunda pelaksanaan putusan kasasi. Dengan demikian asas kepastian hukum sudah terpenuhi dengan berlakunya Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung karena pengajuan peninjauan kembai tidak menghalangi eksekusi sehingga suatu perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah dieksekusi dengan sendirinya prosesnya sudah
final. Peninjauan kembali dengan alasan keadaan baru
dalam
rangka mendapatkan keadilan haruslah dibuka seluas-
luasnya dan tidak boleh dibatasi satu kali saja.
5. Keterangan Saksi. a. Saksi Ahli Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra Norma yang dirumuskan oleh Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang hanya membolehkan peninjauan kembali hanya satu kali, dalam konteks perkara pidana, hal ini bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi bukan saja sebagai konsekuensi dari asas negara hukum. Kalau memang ditemukan adanya novum yang sungguh-sungguh meyakinkan, maka mengapakah kita
78
harus mempertahankan norma yang menyatakan bahwa peninjauan kembali hanya berlaku satu kali dalam perkara pidana. Begitu juga jika peninjauan kembali hanya satu kali, ini dikaitkan dengan norma Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tujuan peradilan pada akhirnya adalah untuk menegakkan keadilan itu sendiri. Apakah kekuasaan kehakiman yang merdeka Itu, harus dipasung oleh norma Pasal 268 ayat (3) KUHAP, sehingga pengadilan tidak
dapat
melaksanakan
fungsinya
mewujudkan
keadilan. Seseorang yang dijatuhi hukuman seumur hidup atau dijatuhi hukuman mati sebelum dieksekusi, haruskah dipasung haknya untuk memperoleh keadilan, dengan ditemukannya novum, hanya karena peninjauan kembali boleh satu kali saja. Begitu juga hak untuk meningkatkan kualitas hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945, akankah terujud jika seseorang dipenjarakan dengan ketidakadilan. Norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 jelas berisi jaminan akan adanya kepastian hukum yang adalah bagi semua orang. Pendapat saksi bahwa keadilan dan
79
kepastian hukum itu haruslah berjalan secara sama rata, tidak ada kepastian hukum tanpa keadilan, dan tidak akan pernah ada keadilan tanpa kepastian hukum. Bahwa peninjaun kembali hanya satu kali adalah suatu kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 283 ayat (3) KUHAP. Sementara keadilan, berkaitan dengan norma hukum materil, apakah suatu putusan itu adil atau tidak jika dikaitkan
dengan
alat-alat
bukti
yang
terungkap
dipersidangan. Norma hukum materil mengandung semangat keadilan, namun norma hukum acaranya yang mengandung kepastian hukum, tetapi mengabaikan asas keadilan. Bukankah norma Pasal 283 ayat (3) KUHAP yang mengandung kepastian hukum itu, harus tetap kita biarkan, sementara keadilan yang mungkin akan dapat diwujudkan dengan menyidangkan kembali perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu akan terhambat, hanya dengan alasan kepastian hukum. Saudara Antasari Azhar yang menjadi salah satu pemohon dalam perkara ini adalah manusia kongkrit yang hadir di tengah kita. Putusan pengadilan atas beliau, dilihat dari sudut kepastian hukum, sudah pasti beliau sudah dipenjarakan 18 tahun oleh 3 kali putusan pengadilan, dan 1 kali peninjauan kembali oleh
80
Mahkamah Agung. Tetapi jutaan orang di luar pengadilan mengatakan bahwa Antasari Azhar tidak dihukum dengan keadilan, melainkan dengan kezaliman. Akankah kita membiarkan Antasari Azhar mendekam 18 tahun di penjara, meskipun beliau mempunyai novum untuk dibawa kembali ke persidangan, tetapi pintu keadilan telah ditutup atas nama kepastian hukum.
Dr. Irmanputra Sidin, S.H.MH
Dalam fenomena ketatanegaraan Indonesia di zaman yang semakin informatif ini, nampaknya yang terjadi adalah pemikiran primitif yang semakin menghegemoni tata kelola kehidupan kenegaraan, khususnya menyangkut hubungan negara dengan kebebasan warga negara. Semakin hari semakin terbangun persepsi bahwa semakin penuh penjara di negara Indonesia, maka semakin sukseslah negara dalam menjalankan fungsinya. Padahal, sesungguhnya jikalau sebuah negara semakin penuh penghuni penjaranya, maka semakin gagalah negara itu dalam menjalankan fungsinya. Prinsip konstitusional ketika negara atau kekuasaan hendak mencabut kebebasan warga negara, maka harus dibatasi secara ketat. Namun jikalau warga negara hendak memperjuangkan kembali kebebasannya, maka negara
81
tidak boleh membatasinya. Inilah salah satu implementasi bahwa negara untuk rakyat, bukan rakyat untuk negara. Pada konteks ini, negara tidak boleh dibiarkan larut dengan kelelahannya atau bermalas-malasan, membuka usul perubahan atau peninjauan kembali atas sebuah produk kekuasaanya. Tidak cukup dengan alasan bahwa demi kepastian hukum, demi untuk tidak berlarutlarutnya
perkara,
atau
demi
kehati-hatian
untuk
mengambil putusan sehingga produk kekuasaan yang sudah dibuat oleh negara tidak dapat dimintakan untuk ditinjau lagi, kalaupun dapat, diusulkan ditinjau hanya untuk sekali saja. Masalah ini sesungguhnya tidaklah berhubungan dengan prinsip kepastian hukum, namun lebih kepada prinsip distortif dari stelsel pasif, yaitu negara menjadi malas, tidak mau sibuk mengurus sesuatu karena urusannya atau mungkin tumpukan perkara yang banyak, negara lelah atau mungkin otoritarian untuk diajak merenung atau mengoreksi produk kekuasannya, padahal hanya sekadar merenung akan alasan atau keadaan baru dari sebuah putusan yang sudah dibuatnya. Negara seolah bertopeng bahwa negara pasti benar dan akan terus benar karena inilah kepastian hukum. Tentunya, konstruksi inilah yang menentang prinsip konstitusionalitas yang sesungguhnya perlahan telah
82
dibangun oleh forum Mahkamah lebih satu dekade terakhir ini. Prinsip lites finiri oportet bahwa setiap perkara hukum itu harus ada akhirnya. Prinsip tersebut apabila dilekatkan pada konstitusi, maka itu prinsipnya fiksi hukum karena semua pengambilan keputusan, pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai produk kekuasaan lainnya, juga ada akhirnya. Namun nyatanya, semuanya dapat ditinjau atau dimintakan perubahannya lagi. Dalam sebuah proses hukum pidana, putusan kasasi Mahkamah Agung sudah keluar, maka prinsip kepastian hukum sudah dimiliki oleh negara. Vonis sudah berubah menjadi gewijsde, yaitu memiliki kekuatan hukum tetap oleh karenanya sudah dapat dieksekusi dan orang tersebut sudah sah dinyatakan bersalah dan sempurnalah prinsip presumption of innocence, dan di sinilah akhir dari perkara itu. Namun, tidak berarti ketika muncul permohonan peninjauan kembali lebih dari sekali atas dasar sebuah alasan, atau keadaan baru, atau alasan lain yang disepakati dalam undang-undang untuk meninjau kembali putusan tersebut, dapat merontokkan kepastian hukum. Hal tersebut tidak berhubungan karena proses peninjauan kembali tidak membuat orang yang sudah bersalah tersebut menjadi harus dianggap tak
83
bersalah lagi dan eksekusi yang bersangkutan tidak dapat dijalankan atau dilanjutkan dan orang itu harus keluar sementara dari pemasyarakatan. Pembatasan permohonan peninjauan kembali hanya sekali bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia karena seluruh kekuasaan dengan segala produk kekuasaannya hadir guna pencapaian tujuan tersebut, yang setiap saat negara harus membuka diri untuk mengoreksi segala produk kekuasaannya.
Dr. Chudry Sitompul, S.H., MH Tujuan dari pada hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil (objective truth). Berangkat dari tujuan dari hukum acara pidana tersebut maka semua ketentuan-ketentuan hukum acara pidana, tentunya adalah dalam rangka untuk mencari kebenaran materiil dan memberikan keadilan kepada tersangka atau terdakwa, maupun kepada pihak korban. Dihubungkan dengan Pasal 24 UUD 1945 yang sudah diamandemen bahwa tujuan kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Jadi, dikaitkan kedua norma tersebut maka kebenaran materiil adalah
84
dalam rangka untuk mencari kepastian hukum dan keadilan; Dalam
kaitan
tersebut,
Pasal
263
KUHAP
mensyaratkan bahwa untuk diajukan peninjauan kembali terhadap putusan telah yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, ada tiga, yaitu pertama, adanya novum yang selama di dalam persidangan tidak pernah diungkapkan; kedua, adalah karena ada beberapa putusan yang
mempunyai
kekuatan
hukum
yang
tetap,
bertentangan satu dengan yang lainnya karena alasan yang dipakai pengadilan; dan ketiga, adalah karena ada kekhilafan, atau kekeliruan yang nyata dari hakim; Dalam konteks ini, apakah yang dipersyaratkan tidak boleh diajukan permohonan peninjauan kembali lebih dari satu kali. Apakah karena ketiga syarat tersebut atau ketiga salah satu syarat, bahwa sebelum diundangkannya KUHAP, dasarnya adalah UndangUndang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 bahwa syarat untuk peninjauan kembali tidak dipersyaratkan, apakah syarat-syaratnya yang boleh diajukan, dan apakah PK itu hanya diberikan sekali atau dua kali. Namun Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
85
Dalam konteks ini, menurut ahli yang diartikan PK tidak dapat dimohonkan lebih dari satu kali, kalau syaratnya itu karena adanya konflik antara putusan yang saling bertentangan satu
dengan
yang
lain
atau
kekhilafan hakim. Sedangkan novum, bergantung kepada keadaan, yaitu apabila novum-nya baru ditemukan kemudian hari setelah ada Putusan peninjauan kembali, misalnya Putusan peninjauan kembali yang pertama diajukan karena bukan novum, yaitu karena ada kekeliruan yang nyata maka sungguh tidak adil kalau novum yang baru itu tidak dapat digunakan sebagai dokumen hukum dalam rangka untuk mencari objective truth. Dalam konteks ini, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 memperkenankan peninjauan kembali diajukan kembali apabila ada dua putusan peninjaun kembali yang bertentangan satu dengan yang lain. Menurut ahli, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tersebut sudah tidak sesuai atau tidak sejalan dengan Pasal KUHAP 268, maupun dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 ataupun Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2009 yang kesemuanya menyatakan peninjauan kembali hanya dibolehkan hanya satu kali.
86
Dengan
demikian
Mahkamah
Agung
mempunyai
terobosan bahwa apabila dalam kenyataannya ada dua putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain, baik dalam sesama perkara pidana, atau perkara perdata dengan pidana, atau sebaliknya, termasuk juga dengan TUN. Berdasarkan hal tersebut, ahli berpendapat peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari satu kali karena sudah ada terobosan Mahkamah Agung yang diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 Jadi kesimpulannya, demi mencapai kebenaran materiil dan menegakkan keadilan, menurut ahli di dalam perkara pidana apabila novum itu ditemukan kemudian hari atau setelah ada Putusan peninjauan kembali maka maka tersebut dapat diberikan.
Prof. Em. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M Permintaan peninjauan kembali bukanlah bertujuan menemukan kepastian hukum melainkan merupakan sarana hukum untuk memperoleh keadilan. Pembentuk Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana bukan tanpa alasan menempatkan peninjauan kebali sebagai upaya hukum luar biasa di bawah titel (BAB XVIII) UPAYA
HUKUM
LUAR
BIASA
dan
sidang
pemeriksaan PK sejatinya bukan peradilan keempat.
87
Ahli menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali bukan kewajiban, melainkan hak terpidana sepanjang hayatnya menjalani pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan sekalipun terpidana berada pada masa akhir menjalani pidananya. Sifat Luar biasa peninjauan kembali tersirat pada tiga alasan permintaan peninjauan kembali sebagaimana tercantum dalam Pasal 263 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ketiga
alasan peninjauan kembali memuat
alasan-alasan faktual semata-mata yang intinya jika ditemukan fakta adanya novum, atau terdapat fakta terdapat putusan yang saling bertentangan, atau terdapat fakta ada kekeliruan nyata dari majelis hakim. Ketiga alasan faktual tersebut bukan alasan untuk mencapai tujuan kepastian hukum melainkan untuk mencapai tujuan keadilan, karena dengan tujuan kepastian hukum telah dipenuhi seketika jatuhnya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ipso iure kepastian hukum. Ahli permintaan
mengemukakan peninjauan
bahwa kembali
Ketiga
Alasan
sebagaimana
dicantumkan dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) Hukum Acara Pidana Indonesia dapat ditinjau dari aspek filosofis,
88
aspek yuridis dan aspek sosiologis. Tiga alasan untuk mengajukan peninjauan kembali, pertama, ketiga alasan peninjauan kembali dalam Pasal 263 ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c, menunjukkan bahwa ketiga alasan dimaksud tidak seharusnya dipandang atau ditafsirkan dari optik legalistik semata-mata yang bersumber pada ajaran positivisme hukum melainkan harus dipahami dari aspek sociological jurisprudence (Pound) dan pragmatic legal realism (Ehrlich) sehingga keberadaan ketentuan Pasal 263 UU 8/1981 mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang dilandaskan pada Pancasila. Pandangan Ahli bahwa inti pengajuan peninjauan kembali dalam perkara Nomor 34/PUUXI/2013 dan Nomor 21/PUU-XI/2013 adalah bukan upaya hukum untuk
menemukan
kepastian
hukum
melainkan
merupakan upaya hukum untuk menemukan keadilan. Upaya hukum untuk menemukan kebenaran materiel dengan tujuan memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan penempatan status hukum terdakwa menjadi terpidana. Pernyataan Ahli di atas diperkuat dengan bunyi perintah Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
yang menegaskan bahwa, permintaan
89
peninjauan
kembali
tidak
menangguhkan
atau
menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat 1 UU 8/1981 jelas di dalamnya terkandung makna kepastian hukum. Dalam perkara ini, upaya hukum untuk menemukan keadilan justru belum selesai dan berhenti pada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena keadilan bersifat abadi dan tidak lekang oleh waktu dan tempat. Sangat berbeda secara mendasar dengan kepastian hukum yang dapat dibatasi oleh waktu dan tempat tertentu. Upaya
pembentuk UU 8/1981,
menempatkan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa, adalah tepat dan relevan dengan tujuan menemukan keadilan akan tetapi menjadi tidak tepat jika dimaknai untuk mencapai kepastian hukum. Bahkan ahli tegaskan bahwa, terdapat “contradictio in terminis” antara tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut,sehingga ipso iure ketentuan Pasal 268 ayat (3) tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ketentuan Pasal 263 sebagai Upaya Hukum Luar Biasa. Bertolak pada perbedaan makna peninjauan kembali sebagai upaya menemukan keadilan bukan kepastian hukum, dapat disimpulkan bahwa, ketentuan Pasal 268 ayat (3) Hukum Acara Pidana Indonesia, pasca Undang-Undang Dasar
90
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan, bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28 A, Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28I UUD 1945.
Dr. Jamin Ginting, S.H., MH Pasal 263 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan istilah novum dengan keadaan baru sebagai suatu alasan untuk mengajukan peninjauan kembali. Pengertian keadaan baru
atau novum sebagai dasar pengajuan peninjauan
kembali tidak dinyatakan secara tegas dalam KUHAP, namun hanya memberikan batasan-batasan bilamana terdapat satu atau keadaan baru. Dalam ini, ahli mengklasifikasikan empat jenis novum, yaitu:
Novum yang mengarah pada syarat putusan bebas atau disebut sebagai vrijspraak. Novum tersebut berhubungan dengan unsur-unsur tindak pidana yang terbukti dan dinyatakan telah terpenuhi dalam persidangan sebelumnya. Hal ini berdasarkan pendapat Mangasa Sidabutar yang mengatakan penunjukkan novum yang relevan ini harus benarbenar terarah pada tidak terbukti semua unsur, sebagian unsur tindak pidana yang didakwakan,
91
yang tentunya akan membawa konsekuensi hukum berupa putusan bebas. Terkait dengan putusan bebas yang diatur dalam Pasal 191ayat (1) KUHAP menentukan bahwa putusan bebas merupakan hasil yang didapat dari pemeriksaan sidang, di mana kesalahan
terdakwa
atau
perbuatan
yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara.
Novum yang mengarah pada syarat putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau disebut sebagai onslag. Novum yang merupakan keadaan istimewa yang mengakibatkan terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana karena benar terbukti, tetapi bukan merupakan tindak pidana, ada alasan pemaaf, pembenar, ataupun keadaan darurat.
Novum yang mengarah pada putusan tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima. Putusan
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima adalah suatu pernyataan dari hakim yang menyatakan bahwa tuntutan penuntut umum ditolak dengan dasar tidak cukupnya alasan untuk melanjutkan pemeriksaan. Perbedaannya dengan putusan yang bebas lainnya ialah bahwa tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima, penolakan dengan
ketetapan dilakukan
pada awal
suatu
persidangan,
92
sedangkan putusan bebas lainnya dilakukan pada akhir persidangan.
Novum yang mengarah pada putusan dengan ketentuan pidana yang lebih ringan. Tidak setiap novum menyebabkan penerapan hukum yang lebih ringan sudah cukup untuk memperoleh peninjauan kembali. Harus ada dasar hukumnya dalam Undang-Undang untuk mengurangi pidana yang menyebabkan
maksimum
pemidanaan
yang
diancam dalam Undang-Undang dikurangi. Bahwa dengan banyaknya jenis novum tersebut, seyogianya upaya keadilan untuk mengajukan novum juga dapat diberikan kepada pihak tertentu yang berusaha mendapatkan keadilan. Jika, novum ditemukan setelah mengajukan peninjauan kembali pertama dan diputus oleh Mahkamah Agung, apakah kita akan menghilangkan atau menghapuskan semua novum-novum yang telah ahli jelaskan tersebut. Sepanjang novum demi keadilan dan terbatas pada novum yang memberikan dampak bagi keadilan bagi terpidana, maka sudah sepantasnya novum diajukan
lebih
dari satu kali demi keadilan
semata-mata. Sebagamana pendapat Socrates bahwa, “Lebih baik melepaskan seribu orang penjahat daripada menghukum seorang yang tidak bersalah.”.
93
2. Tabel 1.1 Pendapat Mahkamah Konstitus No Pokok permohonan 1 Ne bis in indem
Alasan Pemohon Bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP perna dimohonkan pengujian konstistusianlanya dan telah di putus Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Desember 2010.
2
1. Terkait dengan keadilan yang merupakan hak konstitusional bagi sesorang yang dijatuhi pidana. Selain itu kemungkinan di temukanyakeadaan baru (novum) dapat ditemukan kapan saja, tidak dapat ditentukan secara pasti kapan waktunya maka adilkah peninjaun kembali di batasi hanya satu kali sebagaimana di tentukan daalam pasal 268 ayat (3) KUHAP.
Hak Terpidana
Pendapat Mahkamah Konstitusi Berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda maka terhadap pasal yang telah diajukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah dapat diuji kembali apabila terdapat dasar pengujian yang berbeda. Berdasarkan Pasal 28C ayat (1) khususnya mengenai hak untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan keadaan baru dalam rangka mengajukan peninjauan kembali atas perkara yang telah diputus oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pendapat Mahkamah permohonan para Pemohon tidak ne bis in idem. 1. Bahwa upaya hukum luar biasa peninjaun kembali secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Menurut Mahkamah, upaya hukum peninjaun kembali berbeda dengan banding atau kasasi sebagai upaya hukum biasa. Upaya hukum biasa harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum karena tanpa kepastian hukum, menentukan limitasi waktu dalam pengajuan upaya hukum biasa, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentu akan melahirkan ketidakadilan dan proses hukum yang tidak selesai. . Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya peninjauan kemabali dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat peninjauan kembali sebelumnya belum ditemukan. Adapun penilaian mengenai sesuatu itu novum atau bukan novum, merupakan kewenangan Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan mengadili pada tingkat peninjauan kembali. Oleh karena itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau substansial dan syarat yang 94
sangat mendasar adalah terkait dengan kebenaran dan keadilan dalam proses peradilan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP b. Pembatasan yang dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut tidak dapat diterapkan untuk membatasi pengajuan peninjauan kembali hanya satu kali karena pengajuan peninjaun kembali dalam perkara pidana sangat terkait dengan HAM yang paling mendasar yaitu menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagi pula, pengajuan peinjauan kembali tidak terkait dengan jaminan pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan tidak terkait pula dengan pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;
2. Bahwa Pasal 28J ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis c. Menimbang bahwa benar dalam 3. Hal itu berkait dengan kepastian hukum, ilmu hukum terdapat asas litis sedangkan untuk keadilan dalam perkara finiri oportet yakni setiap perkara pidana asas tersebut tidak secara rigid harus ada akhirnya. dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan [vide Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945] serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Mengabulkan permohonan para Pemohon atas Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
95
Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
C.
Analisis Faktanya bahwa pemberlakuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Analisis hukumnya bahwa mencari keadilan tidak boleh ada batasan, walaupun menyampingkan kepastian hukum. Alasan satu-satunya terkait dengan terpidana yaitu menyangkut peristiwa menemukan novum yang manakala ditemukan ketika proses peradilan berlangsung putusan hakim diyakini akan lain. Oleh karena itu terkait dengan keadilan yang merupakan hak konstitusional atas perlindungan Hak Asasi Manusia bagi seseorang yang dijatuhi pidana. Bahwa novum dapat ditemukan kapan saja, tidak dapat ditentukan secara pasti kapan waktunya maka adilkah peninjauan kembali dibatasi hanya satu kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Pembatasan terhadap peninjauan kembali hanya satu kali sesunguhnya melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia dan mendapatkan keadilan dalam proses hukum yaitu Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2). Hal inilah yang memperkuat
96
arguman bahwa setiap hukum dalam suatu negara haruslah berasal dari suatu hukum dasar (Grundnorm) yaitu konstitusi.53 Sehingga dalam suatu aturan dapat melahirkan yakni keadilan, finalitas, dan kepastian. Aspek keadilan menujuk pada “kesamaan hak didepan hukum”. Aspek finalitas, menujuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Apek ini menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menujuk pada jaminan bahwa hukum yang berisi keadilan dan norma-norma (yang memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.
1. Analisis Peninjauan Kembali berkaitkan dengan Teori Keadilan Bermartabat. Hukum yang dapat memberikan rasa adil yang bermartabat demi mencapai keadilan yang dapat memanusiakan manusia merupakan tujuan hukum. Dalam peninjauan kembali dalam Pasal 268 ayat (3) pembatasan terhadap upaya peninjauan kembali hanya bisa di lakukan satu kali sangat tidak relevan dengan tujuan hukum dalam teori keadilan bermartabat yang menggali hukum dari jiwa bangsa yaitu Pancasila demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembatasan
terhadap
upaya
peninjauan
kembali
yang
menyinggung tetantang penundaan eksekusi, dan tidak ada kepastian hukum apabila melakukan peninjauan kembali lebih dari sekali, argument yang disebutkan dia atas merupakan alasan hukum yang
53
Ibid.,138
97
tidak mendasar dan tidak berpihak terhadap keadilan yaitu tujuan hukum. Hal ini berlandaskan bahwa keadilan pasti akan melahirkan kepastian hukum sedang kepastian hukum belum tentu dapat melahirkan keadilan, karena dalam proses pemeriksaan pidana yang harus di perhatikan adalah pembuktian materiilnya. Maka dari itu analisis terhadap pembatasan peninjauan kembali berkaitan dengan teori keadilan bermartabat yang berdasarkan tentang Volksgeist sangat mencederai hukum yang hidup dan menjadi jiwa bangsa untuk mendapatkan keadilan
2. Analisis Peninjauan Kembali berkaitkan dengan Teori Hans Kelsen (Grundnorm) Sesuai dengan teori norma dasar (Grundnorm), maka setiap hukum dalam suatu negara haruslah berasal dari suatu hukum dasar yaitu konstitusi. Karena untuk mengukur konsistensinya dengan hukum dasar. Selain itu teori ini di kenal dengan istilah teori piramida berbalik. Maka dari itu konstitusi merupakan norma yang berada di segitiga yang diatas. Berkaitan dengan fakta isu hukum Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Pasal 268 ayat (3) secara hirarki berada di bawah konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Hal ini mendasari bahwa aturan hukum di bawah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tidak boleh bertentangan, baik itu UU, Perpu, dan peraturan lainya. Maka dari pengaturan dalam
98
pembatasan terhadap peninjaun kembali bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28 A, Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28I UUD 1945.
3. Analisis Peninjauan Kembali berkaitkan dengan Teori Gustav Radbruch. (Hukum itu Normatif karena Nilai Keadilan) Hukum memiliki tiga aspek yaitu keadilan, finalitas dan kepastian Aspek keadilan menujuk pada “kesamaan hak didepan hukum”. Aspek finalitas, menujuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menujuk pada jaminan bahwa hukum yang berisi keadilan dan norma-norma (yang memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Sehingga dengan mengacu pada Pasal 268 ayat (3) pembatasan terhadap peninjauan kembali, maka sangat jelas apabilah Pasal 268 ayat (3) tidak dirubah maka hal ini tidak mempedulikan tentang nilai keadilan dan hanya memfokuskan pada kepastian hukum semata. Syarat mengajukan peninjauan kembali yang di ketahui bersamasama apabila di kemudian hari terpidana menemukan novum yang nantinya membuktikan bahwa terpidana tidak bersalah maka tidak bisa dilakukan karena dibatasi oleh Pasal 268 ayat (3). Oleh karena itu, berkaitan dari argument diatas bahwa mendapatkan keadilan di depan pengadilan tidak boleh di batasi, karena tujuan hukum adalah keadilan bagi setiap warga negara. pertanyaanya bagaimana jika
99
terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian? telah kita ketahui, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan. Bagaimana jika ia tidak sesuai dengan keadilan dan finalitas. Bila pertentangan antara tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga ia benar-benar dirasakan tidak adil, maka demi keadilan tata hukum itu harus dilepaskan.
4. Peninjauan Kembali Satu Kali a. Kepastian hukum Berkaitan dengan kepastian hukum dalam peninjauan kembali yang di atur dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP bahwa permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. Selain itu diperkuat juga pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, ditentukan bahwa “permohonan peninjauan kembali
tidak
menangguhkan
atau
menghentikan
pelaksanaan putusan pengadilan” dari ketuan diatas maka dapat diketahui bahwa upaya peninjaun kembali tidak akan menunda pelaksanaan putusan yang sudah diputuskan
100
sebelumnya apabilah peninjaun dilakukan lebih dari satu kali.
b. Kemanfaatan Bahwa larangan terhadap pengajuan peninjauan kembali lebih dari sekali sangat mencederai prinsip dan nilai keadilan materiil/subtansial dan juga prinsip negara hukum yang menjamin hak asasi warga negara untuk meperjuangkan keadilan sehingga membuka peluang untuk para pencari keadilan didepan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu untuk memberikan kemanfaatan dan solusi dan keadilan, maka upaya hukum peninjauan kembali sudah sepatutnya dapat diajukan lebih dari sekali dengan ketentuan berdasarkan (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu pengetahuan atau teknologi yang dapat dipertanggung jawabkan untuk membuktikan bahwa novum tersebut merupakan bukti kuat sebagai syarat untuk peninjauan kembali lebih dari sekali.
c. Keadilan Bahwa Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan Indonesia sebagai negara
hukum,
memberikan
pengakuan,
jaminan,
101
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap warga negara atas hukum dan keadilan. Titik tekan dari norma-norma dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah terwujudnya kepastian hukum yang adil, bukan semata-mata kepastian hukum yang mengenyampingkan rasa keadilan.
5. Kajian dalam Putusan Peninjaun Kembali Lebih Dari Satu Kali. a. Filosofis Berdasarkan prinsip keadilan dan asas persamaan di depan hukum (equality before the law), hak sebagai warga negara Indonesia atas keadilan adalah hak dasar yang harus dilindungi oleh negara. Larangan terhadap peninjauan kembali untuk kedua kalinya setidak-tidaknya mengabaikan prinsip dan nilai keadilan, prinsip negara hukum yang menjamin hak asasi warga negara untuk memperjuangkan keadilan, dan bertolak belakang dengan hukum responsif dan progresif, sehingga untuk pencari keadilan tidak boleh ada pembatasan. Pengaturan peninjaun kembali dalam Pasal
268
ayat
(3)
KUHAP seharusnya perbaiki untuk
pengaturan pengajuan peninjauan kembali yang kedua kali apabilah menemukan novum. Maka dari itu adanya aturan yang melarang dilakukannya peninjauan kembali untuk kedua kalinya
102
setelah ditemukannya novum sesungguhnya menciderai rasa keadilan
(sense
of justice) pencari keadilan (yustitiabelen).
Kepastian hukum haruslah diletakkan dalam kerangka penegakan keadilan, apabilah keduanya tidak sejalan, maka yang diutamakan adalah keadilanlah yang menjadi tujuan besar, sebab hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan substansial (materiil) di dalam masyarakat, bukan alat untuk mencari kemenangan secara formal semata.
b. Yuridis Peninjauan kembali dalam Pasal 268 ayat (3) yang hanya memberikan ruang peninjauan kembali satu kali secara kajian yuridis bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi, seperti pengaturan dalam pasal Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Dengan demikian dalam rangka mencari kebenaran untuk menuju keadilan maka setiap warga negara berhak mendapat kemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
103
Tahun 1945, menyatakan Indonesia sebagai negara hukum, memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap warga negara atas hukum dan keadilan. Titik tekan dari norma-norma dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah terwujudnya kepastian hukum yang adil, bukan semata-mata kepastian hukum yang mengenyampingkan rasa keadilan. Dalam Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undnag-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009, ditentukan bahwa “permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.” Dari ketentuan pasal tersebut dan dari penjelasan, maka dapat kita simpulkan bahwa upaya peninjauan kembali tidak akan menunda pelaksanaan putusan kasasi.
c. Sosiologis Setiap
orang
berhak
atas
pengakuan,
jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Inilah yang menjadi tolak ukur atas peninjauan kembali lebih dari sekali. Dalam kasus-kasus saat ini sangatlah berpariasi yang dipengaruhi dengan perkembangan
104
teknologi di tengah-tengah masyarakat dan para penegak hukum sendiripun tidak bisa memecahkan masalah tanpa bantuan dari teknologi, maka dari itu jangan sampai ada batasan dalam peninjauan kembali yang dapat merugikan masyrakat Indonesia. Dengan demikian penijauan kembali dalam Pasal 268 ayat (3) haruslah dirubah Pasal 263 ayat (3), sehingga dinyatakan konstitusional
bersyarat
dengan
“Permintaan Peninjauan Kembali
bunyi
sebagai
berikut:
atas suatu putusan hanya
dapat dilakukan satu kali saja, kecuali terhadap alasan ditemukannya bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dapat diajukan lebih dari sekali”. Alasan mendasar dalam perubahan batasan dalam peninjaun kembali selain alasan menyangkut tentang keadilan yang menjadi tujuan hukum alasan yang lain juga ialah hukum bukanlah ilmu yang pasif tapi aktif dan akan berkembang dengan perkembangan manusia yang di pengaruhi oleh perkembangan global, sehingga hingga aturan yang akan dibuat bisalah menjawab permasalahan hukum yang saat ini dan akan datang.
105