PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI DIDALAM PERKARA PIDANA (STUDI KASUS: DJOKO SOEGIARTO TJANDRA)
Gardanusa,S.E.
Chudry Sitompul
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
ABSTRAK Nama
: Gardanusa,S.E.
Program Studi : Ilmu Hukum Judul
: Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan Kembali Didalam Perkara Pidana ( Studi kasus Djoko Soegiarto Tjandra)
Skripsi ini membahas tentang lembaga peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang dimintakan atas putusan peninjauan kembali yang juga merupakan hasil dari upaya hokum luar biasa juga. Lembaga Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan Kembali Didalam Perkara Pidana Studi Kasus Djoko Soegiarto Tjandra, dalam perkara pidana ini, terpidana Djoko Soegiarto Tjandra menempuh upaya hukum luar biasa Peninjauan kembaliatas putusan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung terhadap putusan kasasi yang putusannya lepas dari segala tuntutan hokum bagi terpidana Djoko Soegiarto Tjandra. Peninjauan kembali hanya boleh dilakukan satu kali saja, sementara itu Jaksa Penuntut Umum telah melakukan Peninjauan Kembali, bagaimana pada kondisi tersebut, terpidana mengajukan upaya hokum luar biasa tersebut untuk yang kedua kali. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dimana data yang digunakan merupakan data sekunder dari beberapa literature dan data primer dari hasil wawancara, yang kemudian diolah dengan metoda analisis data yang dilakukan secara kualitatif.
Kata Kunci: Extra-ordinary Legal Remedy, upaya hokum luar biasa, peninjauan kembali, PK, PK diatas PK,
Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
ABSTRACT Name
:
Study Program : Title
Gardanusa,S.E. Law
:
Judicial reviewon adecision of judicial review in the criminal law case (case study DjokoSoegiartoTjandra)
This study explains about judicial review as an extra ordinary remedy request on a decision of judicial review as the result of an extra ordinary remedy as well. Judicial review of a judicial review decision in the law of criminal case, case study DjokoSoegiartoTjandra, in this case, convicted DjokoSoegiartoTjandra submit apetitionforJudicial review as an extra ordinary remedy of a judicial reviewdecisionsubmited by Public Prosecutor to Supreme Court toward a dismissing all charges judgment in cassation phase. A petition for a judicial review may only be made once, in the mean time if a Public Prosecutor have already requested one, in that condition, convicted request for a judicial review for a second time. This research is a normative law research where the data use in this research is secondary data from some literatures and the primary data is from interview that analysed by qualitative data method analyses.
Keywords: Extra ordinary Remedy, judicial review, judicial review of a judicial review judgment, second time judicial review, judicial review on judicial review.
Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
1
Latar Belakang Permasalahan
Dalam sejarah peradilan di Indonesia, sejak zaman kemerdekaan tidak sedikit putusan pemidanaan yang salah, kesalahan dalam menjatuhkan putusan pidana dapat menyebabkan penderitaan terpidana yang tidak berdosa secara lahir dan batin, yang identik dengan putusan peradilan sesat (miscarriage of justice). Seperti gunung es, dibawah kasus peradilan sesat yang secara kebetulan terungkap tentu lebih banyak dan tidak diketahui secara pasti. Putusan peradilan sesat yang pertama kali muncul adalah kasus Sengkon dan Karta tahun 1977. Putusan peradilan sesat yang sangat menghebohkan muncul terakhir tahun 2008, adalah kasus salah tangkap dan peradilan sesat terhadap Imam Chambali, Devid Priyanto, dan Maman Sugianto di Jombang1. Begitu juga dengan putusan-putusan lain yang ada dalam sejarah peradilan di Indonesia, banyak masyarakat yang mengharapkan keadilan bagi diri mereka dapat ditegakkan ketika kasus mereka diputus oleh majelis hakim yang mereka anggap tidak sesuai atau setimpal dengan perbuatannya. Semenjak diberlakukannya HIR ( Herziene Inlandsch Reglement ) yang merupakan salah satu sumber hukum acara perdata bagi daerah pulau Jawa dan Madura peninggalan kolonial Hindia Belanda maupun RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) yang merupakan hukum acara perdata bagi daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura, telah diatur upaya hukum banding, kasasi dan perlawanan. Selanjutnya disadari bahwa aparatur hakim sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan dan kekurangan maka negara kita melengkapi upaya hukum dengan suatu lembaga lain lagi yang dinamakan dengan lembaga Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan yang sudah tetap tadi. Lembaga Peninjauan Kembali semata-mata ditujukan untuk memperbaiki putusan salah terhadap pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga masyarakat ataupun warga Negara tidak menjadi menderita karena kesalahan itu. Demikian juga apabila kita melihatnya dari sudut negara yang dalam hal ini 1
Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum Dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Cet. 2 , (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 2.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
2
bertindak sebagai yang mewakili korban dari tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana-terpidana tadi. Sudah barang tentu kepentingan korban juga harus diperhatikan, sehingga dalam sejarah peradilan kita yang walaupun KUHAP dalam pasal 263 ayat (1)2 secara limitatif membatasi bahwa yang berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya tapi dalam praktiknya ada juga permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh jaksa yang diterima oleh Mahkamah Agung, dan dimenangkan bagi jaksa, bahkan terhadap putusan bebas sekalipun. Kasus Dr. Muchtar Pakpahan, SH.MA sebagai contoh nyata bahwa jaksa dapat mengajukan PK, hal ini menimbulkan pemikiran kearah diberikannya hak bagi kejaksaan untuk mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang membebaskan terdakwa. Dr. Muchtar Pakpahan, SH, MA diputus bersalah di Pengadilan Negeri Medan, hal ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan karena menghasut para buruh, dalam tingkat kasasi Dr. Muchtar Pakpahan, SH, MA dibebaskan. Terhadap putusan bebas inilah jaksa penuntut umum mengajukan Peninjauan Kembali yang akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Agung dan memutus menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun bagi Dr. Muchtar Pakpahan, SH, MA. Putusan-putusan yang memenangkan PK jaksa menjadi jurisprudensi tetap dalam sistim hukum kita dan hal ini menjadi celah pintu masuk bagi kejaksaan untuk dapat leluasa mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, hal ini diperkuat lagi dengan adanya isi pasal 24 ayat (1) Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,3
yang berbunyi “Terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undangundang”.
2
Indonesia (a), Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN RI No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, Ps. 263 ayat (11).
.
3
Indonesia (b), Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN RI No. 157 Tahun 2009 , TLN No. 5076, Ps. 24 ayat (1).
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
3
Hal ini juga yang dirasakan oleh seorang terpidana Joko S Tjandra, yang bermula dari kesulitan yang dirasakan oleh pemilik Bank Bali, Rudy Ramli ketika hendak menagih tagihan piutangnya di Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional dan Bank Tiara di tahun 1997 senilai 3 Triliun rupiah sampai akhirnya ketiga bank tersebut masuk dalam perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pihak BPPN dengan alasan terlambat diajukan juga menolak untuk membayarkan tagihan tersebut bank Bali tersebut. Akhirnya Rudy Ramli meminta jasa PT. Era Giat Prima dengan Djoko S Tjandra sebagai Direktur dan Setya Novanto sebagai Direktur Utamanya untuk dapat membantu menyelesaikan masalah tagihan di BPPN tersebut. Cairnya tagihan tersebut di BPPN awalnya tidak menimbulkan masalah sampai akhirnya seorang pakar hukum perbankan Pradjoto mengungkap adanya kasus korupsi yang dilakukan oleh PT. Era Giat Prima tersebut. Hasilnya, Djoko Soegiarto Tjandra, Syahril Sabirin, Pande Lubis, Setya Novanto, Tanri Abeng, Rudy Ramli, Erman Munzir, Firman Soetjahja, Hendri Kurniawan dan Rusli Suryadi dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung. Namun hanya Djoko Soegiarto Tjandra, Pande Lubis dan Syahril Sabirin saja yang diadili dan hasilnya adalah Pande Lubis divonis hukuman empat tahun penjara. Syahril Sabirin di jatuhi hukuman tiga tahun penjara yang kemudian mengajukan banding, kasasi serta peninjauan kembali. Djoko Soegiarto Tjandra di tuntut sebelas bulan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan vonisnya adalah lepas, Jaksa mengajukan kasasi namun di Pengadilan tingkat kasasi hasilnya juga menguatkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yaitu lepas. Dengan berbekal adanya putusan kasasi yang saling bertentangan antara putusan kasasi Syahril Sabirin dan putusan kasasi Djoko Soegiarto Tjandra akhirnya Jaksa mengajukan permohonan Peninjauan Kembali yang akhirnya menghasilkan kemenangan bagi pihak jaksa, karena Mahkamah Agung yang memeriksa perkara permohonan peninjauan kembali memutus bahwa Djoko Soegiarto Tjandra bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun dan denda lima belas juta rupiah serta barang bukti berupa uang hasil korupsi tadi disita untuk negara. Sehari setelah putusan Peninjauan Kembali itu Djoko Soegiarto Tjandra dinyatakan buron. Dalam pelariannya tersebut akhirnya Djoko
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
4
Soegiarto Tjandra melalui kuasa hukumnya mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan perkaranya yang sudah ditingkat peninjauan kembali tersebut, dalam hal ini Undang-undang tidak mengatur secara tegas mengenai pengajuan permohonan peninjauan kembali oleh kuasa hukum bukan oleh terpidana, untuk itu Mahkamah Agung mengatur tentang permohonan peninjauan kembali yang dilakukan oleh kuasa hukum harus didampingi oleh terpidananya sendiri melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2011. Maka berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “ PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI DIDALAM PERKARA PIDANA (STUDI KASUS : DJOKO SOEGIARTO TJANDRA)”
Pokok Permasalahan Dengan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengatur mengenai Peninjauan Kembali didalam perkara pidana? 2. Apakah Terpidana berhak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan perkara Peninjauan Kembali? 3. Bagaimana Penerapan Hukum Acara dalam perkara Peninjauan Kembali yang diajukan terpidana Joko Soegiarto Tjandra atas putusan peninjauan kembali Nomor: 100 PK/Pid.Sus/2009 ?
Tujuan Penelitian
Bertolak dari pokok permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu tujuan secara umum dan secara khusus, yaitu:
Tujuan Umum
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
5
Tujuan secara umum adalah untuk menambah bahan bacaan dan bahan pustaka di bidang Hukum Acara Pidana utamanya mengenai Peninjauan Kembali.
Tujuan Khusus
Selain tujuan secara umum yang telah disebutkan diatas, tujuan dari penelitian dikhususkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Menjelaskan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai penijauan kembali dalam perkara pidana. 2. Mengetahui Apakah Terpidana berhak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan perkara peninjauan kembali. 3. Menjelaskan tentang Hukum Acara dalam perkara Peninjauan Kembali yang diajukan terpidana Joko Soegiato Tjandra atas putusan peninjauan kembali dalam sistim peradilan di Indonesia Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah Penelitian Hukum, sebab didasarkan pada metode sistimatika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu
atau
beberapa
gejala
hukum
tertentu
dengan
cara
menganalisanya. Metode penelitan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Metode Penelitian Kepustakaan, yaitu penelitian dengan cara meneliti data sekunder atau bahan pustaka, yaitu data yang telah ada dalam keadaan siap pakai, bentuk dan isinya telah disusun dan isinya telah disusun penulis terdahulu dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.4 Kemudian apabila perlu maka akan disertai dengan penelitian lapangan, dengan cara meneliti data primer atau data yang secara langsung diperoleh dari masyarakat. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah Penelitian Hukum Normatif, walaupun terdapat unsur penelitian lapangan (empiris) dalam penelitian ini, metode analisis
4
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1994), hlm. 37.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
6
data dilakukan dengan pendekatan kualitatif, sebab data yang dominan dipergunakan adalah data sekunder atau data kepustakaan denga data lapangan sebagai pelengkap. Bahan hukum primer yang penulis pergunakan terdiri dari peraturan perundangundangan yang berlaku seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 16 Tahun tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis yang menjadi peraturan pelaksanaanya, kemudian peraturan dari zaman Belanda yang masih berlaku seperti Herziene Inlands Reglements (HIR) atau Reglement Indonesia Yang Diperbaharui. Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan terdiri dari buku-buku tentang peninjauan kembali, tesis pasca sarjana, laporan penelitian, dan artikel/jurnal hukum yang ditulis oleh ahli hukum. Sedangkan bahan hukum tertier yang dipergunakan oleh penulis adalah kamus, ensiklopedia, abstrak serta bibliografi. Terkait dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini, alat pengumpul data yang dipergunakan oleh penulis adalah studi dokumen dan studi lapangan. Studi dokumen dilakukan dengan riset ke perpustakaan, pusat dokumentasi, dan pencarian lewat dunia maya/internet. Studi lapangan yang dilakukan oleh penulis adalah wawancara yang dilakukan dengan narasumber. Adapun pendekatan yang dilakukan oleh penulis adalah dengan menggunakan Pendekatan Kualitatif, yaitu dengan mendalami makna dibalik realitas atau tindakan maupun data yang diperoleh dan yang diteliti atau dipelajari adalah obyek penelitian yang utuh.
Tahap-tahap Proses Peradilan Pidana dan Putusan Pengadilan
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
7
Menurut Mardjono Reksodiputro5, Pelaksanaan hukum acara pidana di Indonesia didasarkan atas ketentuan yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication), tahap sidang pengadilan atau tahap ajudikasi (Adjudication) dan tahap setelah persidangan atau purna ajudikasi (Post Adjudication) yang selanjutnya tahapan-tahapan itu akan dijelaskan dibawah ini;
1.Tahap Pra-Ajudikasi
Merupakan tindakan aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan sebelum perkara diajukan ke pemeriksaan pengadilan, yang terdiri dari; Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan.
2.Tahap Ajudikasi
Di dalam tahap ini prosesnya adalah pemeriksaan di pengadilan yaitu berupa proses penuntutan sampai dengan putusan, termasuk juga proses pra peradilan yang merupakan suatu lembaga yang digunakan untuk men-chalange tindakan-tindakan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya dalam hal penangkapan dan atau penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan juga untuk permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi oleh tersangka atau pihak lain .
3. Tahap Purna-Ajudikasi
Tahap yang terakhir adalah tahap Pasca Ajudikasi dimana yang merupakan tahap setelah putusan pidana dijatuhkan oleh hakim, termasuk upaya hukum biasa 5
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana, Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Pada FH UI, 1993, hlm. 6.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
8
dan upaya hukum luar biasa serta pengawasan dan pengamat yang dilakukan oleh hakim. Pengertian dan tujuan dibentuknya Peninjauan Kembali
Bentuk upaya hukum luar biasa lainnya selain dari Kasasi Demi Kepentingan Hukum adalah Peninjauan Kembali yang diatur dalam Bab XVIII, bagian kedua, Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Dalam KUHAP tidak dijelaskan apa maksud dari peninjauan kembali tetapi dijelaskan dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyatakan, permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar : a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Berdasarkan pasal 24 ayat (1) Undang undang nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
9
Dalam sistim tata cara peradilan di Indonesia, suatu perkara yang berakhir dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat dibuka lagi demi adanya kepastian hukum.
Suatu proses tidak boleh berlangsung tidak
berhingga, baik proses itu mengenai perkara pidana maupun perkara perdata. Hal ini jika dikaitkan dengan istilah ne bis in idem, maka konsekuensinya adalah tidak terbukanya jalan untuk mengulangi prosesnya. Hal ini dimaksudkan demi tegaknya kepastian hukum dan putusan hakim. Peninjauan Kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi. Putusan pengadilan yang dimohon banding atau kasasi belum merupakan putusan yang berkuatan hukum tetap, dan dapat diajukan terhadap semua putusan baik oleh pihak terdakwa maupun oleh jaksa penuntut umum. Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berkaitan dengan Peninjauan Kembali sebagai Upaya Hukum Luar Biasa amat sangat jelas. Pasal 263 ayat (1) KUHAP merumuskan: “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”. Dalam penjelasan resmi pasal ini dikatakan: “pasal ini memuat alasan secara limitatif untuk dapat dipergunakan meminta Peninjauan Kembali suatu putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Rumusan norma seperti Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut di atas adalah bersifat tertutup, sehingga tidak dapat ditafsirkan lain lagi. Hal ini sesuai dengan adagium interpretatio cecat in claris, yang berarti jika teks/kata-kata atau redaksi undang-undang telah terang dan jelas, maka tidak diperkenankan untuk ditafsirkan. 6 Adapun yang menjadi tujuan dari peninjauan kembali ini adalah antara lain sebagi langkah koreksi atas putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta yang utama adalah untuk memulihkan rasa keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dirampas oleh negara. 6
Chazawi, Op., Cit. hlm.25.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
10
Azas Peninjauan Kembali
Landasan filosofis dan sejarah yang menjiwai dan melatar belakangi lembaga Peninjauan Kembali perkara pidana diwujudkan dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP. Norma pasal ini merupakan landasan, yang sekaligus menjadi asas umum dibentuknya lembaga peninjauan kembali perkara pidana.7 Azas peninjauan kembali tercermin dalam pasal 263 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Sejalan dengan itu, Pasal 266 ayat (3) KUHAP menegaskan bahwa: “pidana yang dijatuhkan dalam putusan Peninjauan Kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula”. Yang diperbolehkan adalah menjatuhkan putusan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP, berupa: “putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum, atau putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan”. Jadi, asas-asas pengajuan permohonan peninjauan kembali adalah 8: 1. Peninjauan Kembali hanya untuk putusan pemidanaan 2. Peninjauan Kembali hanya untuk putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap 3.Permintaan Peninjauan Kembali hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.
7
Chazawi, Op. cit., hlm. 24.
8
Indonesia (a) , Op.cit., Ps. 263 ayat (1).
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
11
Syarat Peninjauan Kembali
Syarat Formil Pasal 263 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, bukan saja menjadi asas dari Peninjauan Kembali, tapi juga merupakan syarat Formiil dari pengajuan permintaan peninjauan kembali, yaitu : 1. Peninjauan Kembali hanya untuk putusan pemidanaan; 2. Peninjauan Kembali hanya untuk putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde); 3. Permintaan Peninjauan Kembali hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Syarat Materil Syarat materiil yang harus dipenuhi untuk dapat diterimanya dan dibenarkannya pengajuan permintaan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia tercermin dalam pasal pasal 263 ayat (2) Undang-undang nomor: 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi: Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar; a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat , bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. b. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
12
yang dinyatakan terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
13
Analisa tentang pertimbangan hakim secara formil:
1. Alasan-alasan pemohon Peninjauan Kembali dapat diterima dengan alasan bahwa berdasarkan Pasal 263 ayat (1) Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP),
diperoleh
pengertian
bahwa
terhadap
putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Dari ketiga unsur pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut semuanya terpenuhi, sehingga pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali sudah tepat untuk menerima permohonan peninjauan kembali seperti yang tertulis dalam akta peninjauan kembali nomor 06/Akta Pid/PK/2009/PN Jkt.Sel tertanggal 22 Juni 2009 untuk dapat diperiksa substantsinya oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia.
2. Bahwa yang mengajukan PK terhadap putusan Kasasi no. 1688K/Pid/2000 tanggal
28
Juni
2001
adalah
JPU
dan
dengan
Putusan
No.
12PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009, Majelis Hakim PK telah mengabulkan PK Jaksa/Penuntut Umum tersebut. Teori sistim hukum yang dikemukakan oleh Lawrance M. Friedman9, menyatakan bahwa sebagai sistem hukum dari system kemasyarakatan, maka hukum harus terdiri dari tiga komponen, yaitu :
9
Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction second edition, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, penerjemah Wishnu Basuki.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
14
1. Legal Substance (substansi hukum) Merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam system hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. 2. Legal structure (struktur hukum) Merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia yang merupakan struktur darisistem hukum antara lain; institusi atau penegak hukum seperti advokat, polisi, jaksa dan hakim. 3. Legal culture (budaya hukum) Merupakan suasana pikiran sistem dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau disalahgunakan oleh masyarakat. Apabila di umpamakan sistim hukum itu adalah sebagai suatu sistim bekerjanya sebuah mesin dalam memproduksi produk, maka sebuah mesin dapat digambarkan sebagai Strukturnya, produk yang dihasilkan dari mesin tersebut adalah Substansinya, sedangkan yang mengoperasikan mesinnya tersebut adalah Legal Culturenya.10 Ketiga komponen inilah yang membuat suatu sistim hukum dapat berhasil dan berjalan dengan baik. Aplikasinya dalam kasus ini adalah, di Indonesia aturan-aturan hukum atau norma-norma hukum nya atau Legal Substance nya kurang baik, hal ini ditandakan dengan adanya frasa “pihak-pihak yang bersangkutan” dalam aturan terhadap pemohon lembaga peninjauan kembali yang diatur dalam pasal 24 ayat (1) undangundang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan frasa yang tercantum dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan pemohon peninjauan kembali adalah “terpidana atau ahli warisnya” . hal ini menimbulkan
10
Ibid.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
15
multi tafsir, yang nota bene kedua pasal itu mengatur tentang hal yang sama, yaitu siapa yang berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali. Secara Legal Structure juga terlihat adanya perbedaan pandangan dan penafsiran antara aparat penegak hukum, baik itu jaksa maupun hakim dan tentu saja pengacara. Frasa “pihak –pihak yang bersangkutan” digunakan dalam UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengikuti bahasa atau redaksi didalam PERMA yang banyak menyebutkan kata-kata “yang bersangkutan”, bukan hanya bagi pemohon peninjauan kembali, kata-kata “yang bersangkutan” juga digunakan untuk menunjukkan posisi pengadilan negeri tertentu, benda-benda milik seseorang seperti frasa “surat yang bersangkutan” dan lain-lain. Sedangkan frasa pemohon PK dalam KUHAP memberikan pengertian yang sangat jelas yaitu Terpidana atau Ahli Warisnya, tidak disebutkan adanya pihak lain yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali tersebut. Dalam pasal 76 Undangundang nomor 14 Tahun 1985 yang dirubah melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan keduanya melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa dalam pemeriksaan permohonan Peninjauan Kembali putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam KUHAP, hal ini menandakan bahwa dalam pembentukan pengaturan pasalpasal dalam Undang-undang yang disahkan oleh Presiden dan DPR-RI terdapat ketidak serasian. Seharusnya dalam perubahan kedua Undang-undang nomor 3 Tahun 2009 pasal 76 juga ikut dirubah sejalan dengan Undang-undang nomor 48 Tahun 2009, atau Pasal 24 ayat (1) dari Undang-undang Kekuasaan Kahakiman yang dirubah menyesuaikan dengan KUHAP, padahal pembentuk Undang-undang yaitu Presiden dan DPR-RI masih dalam periode yang sama yang artinya personilnya juga tidak berbeda, tetapi produk hukumnya yang mengatur tentang hal yang sama yaitu dalam hal ini Peninjauan Kembali adalah berbeda. Legal Culture atau budaya hukum di Indonesia juga masih belum dapat dikatakan hukum sudah membudaya, karena tingkat kesadaran hukum dan tingkat ketaatan hukum belum terlihat baik. Masih banyak celah-celah dari peraturan perundang-undangan yang dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
16
.Terlihat jelas bahwa kesadaran terpidana menghindari putusan Peninjauan Kembali nomor 12PK/Pid/2009 dengan cara melarikan diri keluar negeri, lalu dalam pelariannya terpidana Djoko Soegiarto Tjandra mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan Peninjauan Kembali yang dihindarinya tadi, untuk itu Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Pengadilan Militer yang isinya menegasakan bahwa permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung hanya dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau ahli warisnya. Permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung, dan permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana atau ahli warisnya sebelum berlakunya surat edaran tersebut berkas perkaranya masih dapat dilanjutkan ke Mahkamah Agung. Dengan dikeluarkannya SEMA tersebut maka untuk selanjutnya diharapkan dalam praktik pengajuan permohonan peninjauan kembali bagi terpidana-terpidana lain yang dalam kasus-kasus tertentu seperti kasus korupsi dan yang lainnya dimana terpidananya tidak menjalankan pidananya bahkan mungkin berada di luar negeri untuk menghindari pelaksanaan pidananya sudah tidak dapat lagi menempuh upaya hukum luar biasa peninjauan kembali tanpa harus kembali atau berada di Indonesia untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali tersebut.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
17
3. Bahwa untuk memenuhi asas keseimbangan dan keadilan bagi Terpidana, dipandang adil oleh Majelis Hakim PK Mahkamah Agung RI untuk menerima permohonan PK oleh Terpidana Djoko Soegiarto Tjandra untuk dipertimbangkan substansinya, walaupun PK ke 2 ini tidak sejalan dengan SEMA No. 10 Tahun 2009.
Pengajuan Peninjauan Kembali hanya boleh dilakukan satu kali saja, hal ini sesuai dengan pasal 268 ayat (3) KUHAP dan pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah dirubah dengan undang-undang nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan undang-undang nomor 3 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Apabila Jaksa Penuntut Umum sudah mengajukan Peninjauan Kembali satu kali, maka hal itu akan menuntup kesempatan bagi terpidana atau ahli warisnya untuk menggunakan hak nya untuk mengajukan peninjauan kembali atas perkaranya, hak terpidana ataupun ahli warisnya ini dilindungi oleh Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Sehubungan dengan kasus permohonan PK diatas putusan PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Djoko Soegiarto Tjandra ini, posisi Mahkamah Agung menjadi dilematis, disatu sisi Mahkamah Agung tidak boleh menerima permohonan peninjauan kembali terpidana karena adanya pasal-pasal peraturan perundangundangan yang mengatur bahwa peninjauan kembali hanya boleh dilakukan satu kali saja, hal ini juga sejalan dengan aturan internal Mahkamah Agung sendiri yang tertuang dalam SEMA No. 10 Tahun 2009 yang pada pokoknya mengatur tentang permohonan PK lebih dari satu kali agar Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan untuk tidak dapat menerima permohonan tersebut, tapi apabila dalam satu obyek perkara terdapat putusan Peinjauan Kembali yang saling bertentangan maka permohonan itu dapat diterima dan diteruskan ke Mahkamah Agung, hal itu akan mengeliminasi hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali, sedangkan apabila diterima permohonan peninjauan kembali dari terpidana atas putusan peninjauan kembali yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, maka Mahkamah Agung akan melanggar pasal 24 ayat (2) Undang-undang
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
18
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Penerapan hukum mengenai permohonan peninjauan kembali diatas putusan Peninjauan Kembali didalam perkara pidana atas nama Djoko Soegiarto Tjandra
ini
tercermin
dari
putusan
peninjauan
kembali
nomor
100PK/Pid.Sus/2009, dimana permohonan peninjauan kembali oleh terpidana terhadap putusan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum diterima oleh Mahkamah Agung yang pada akhirnya putusannya adalah menolak permohonan peninjauan kembali tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Terpidana adalah dalam posisi yang berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya dalam putusan Peninjauan Kembali nomor 100PK/Pid.Sus/2009 menyatakan bahwa untuk memenuhi asas keseimbangan dan keadilan bagi Terpidana, dipandang adil oleh Majelis Hakim PK Mahkamah Agung RI untuk menerima permohonan PK oleh Terpidana Djoko Soegiarto Tjandra untuk dipertimbangkan substansinya, walaupun PK ke 2 ini tidak sejalan dengan SEMA No. 10 Tahun 2009.
Pada akhkirnya Mahkamah Agung menerima permohonan Peninjauan Kembali terpidana Djoko Soegiarto Tjandra untuk dapat diperiksa, hal ini karena Mahkamah Agung memandang perlu berdasarkan asas keseimbangan dan asas keadilan bagi terpidana. Keseimbangan karena Jaksa Penuntut Umum dan Terpidana
sama-sama
dapat
menggunakan
hak-nya
untuk
mengajukan
permohonan peninjauan kembali, dan Adil bagi keduanya. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, Gustrav Radbruch mengemukakan pendapatnya bahwa tujuan hukum pada umumnya terdiri dari tiga nilai dasar, yaitu Keadilan, Kemanfaatan Hukum, dan Kepastian Hukum itu sendiri. Ketiga nilai dasar itu dalam prakteknya akan saling berbenturan dan tidak dapat dicapai ketiganya, benturan dapat terjadi antara keadilan dengan kemanfaatan hukum, atau antara keadilan dengan kepastian hukum maupun antara kemanfaatan hukum dengan
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
19
kepastian hukum. Dalam mewujudkan tujuan hukum Gustav Radburch menyatakan perlu digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum diatas. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radburch harus dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut11 : 1. Keadilan Hukum 2. Kemanfaatan Hukum 3. Kepastian hukum
Aplikasi nya dalam kasus ini adalah, hak untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur secara limitatif dan jelas didalam pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah Terpidana atau Ahli Warisnya, walaupun dalam pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pemohon peninjauan kembali adalah “pihak-pihak yang bersangkutan” terdapat ketidak jelasan siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang bersangkutan tersebut. Dalam kasus ini pihak-pihak yang bersangkutan dianggap sebagai korban yang diwakili oleh Negara yaitu Jaksa, namun ketidak jelasan kedua peraturan perundang-undangan tersebut dapat diselesaikan dengan pasal 76 Undang-undang nomor 18 Tahun 1985 yang telah dirubah dengan undang-undang nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan undang-undang nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa dalam permeriksaan permohonan peninjauan kembali putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jadi, hak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali adalah milik Terpidana atau Ahli Warisnya, dalam hal ini adalah terpidana Djoko Soegiarto Tjandra. Tetapi karena pada permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa telah diterima oleh Mahkamah Agung walaupun hal itu bertentangan dengan 11
Gustav Radburch, Rechtphilosophie 2, Bearb.von Arthur Kaufmann, 1983, hllm. 465, http://books.google.co.id/books?id=hZA9XFtmEYkC&pg=PA465&dq=Gerechtigkeit,+Rechtssicherh eit,+Zweckm%C3%A4%C3%9Figkeit&hl=id&sa=X&ei=gKfHUf_uJIzOrQf0rIHYBQ&ved=0CDkQ6AEw Ag#v=onepage&q=Gerechtigkeit%2C%20Rechtssicherheit%2C%20Zweckm%C3%A4%C3%9Figkeit &f=false. Diunduh tanggal 24 Juni 2013.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
20
KUHAP tetapi dianggap dapat diterima oleh Mahkamah Agung karena adanya yurisprudensi yang menerima permohonan peninjauan kembali oleh jaksa dalam kasus Dr. Mochtar Pakpahan ditahun 1995, membuat posisi Mahkamah Agung dalam dilematis antara menerima permohonan peninjauan kembali oleh terpidana yang berarti Mahkamah Agung harus menerobos pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja dan pasal 24 ayat (2) undang-undang nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali, atau menolak permohonan peninjauan kembali yang dilakukan oleh terpidana, yang berarti Mahkamah Agung mengeliminasi atau menghilangkan hak terpidana atau ahli warisnya sesuai pasal 263 ayat (1) KUHAP yang merupakan asas dan sekaligus syarat formil dari peninjauan kembali. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Peninjauan Kembali Mahkamah Agung mengambil sikap untuk menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh terpidana Djoko Soegiarto Tjandra dengan berdasarkan asas keseimbangan dan keadilan. Dengan adanya benturan tujuan hukum berdasarkan teori Gustav Radbruch ini yaitu dimana tujuan hukum demi kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan rasa keadilan, maka Majelis Hakim Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang memeriksa kasus ini akhirnya menerima permohonan Peninjauan Kembali terpidana Djoko Soegiarto Tjandra.
Kesimpulan
Sebagai penutup dari seluruh uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
tentang
lembaga
Peninjauan Kembali dalam perkara pidana diatur tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
21
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 76 Undangundang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 serta perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009. Pengaturan Peninjauan Kembali diluar Undang-undang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 01 Tahun 2012 tanggal 28 Juni 2012 tentang “Pengajuan Permohonan Pengajuan Kembali dalam Perkara Pidana”.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 08 Tahun 2011
tanggal 29 Desember 2011 tentang “Perkara Yang Tidak Memenuhi Syarat Kasasi dan Peninjauan Kembali”. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 14 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang “Dokumen Elektronik Sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali”, dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang “Pengajuan Permohonan Kembali”.
2. Terpidana Djoko Soegiarto Tjandra berhak mengajukan permohonan peninjauan
kembali
atas
putusan
peninjauan
kembali
nomor
12PK/Pid.Sus/2009. Hal ini didasarkan pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan secara tegas dan limitatif bahwa yang berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah Terpidana atau Ahli warisnya, meskipun dalam pasal 24 ayat (1) undang-undang nomor 38 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pemohon adalah “pihak-pihak yang bersangkutan” tetapi apabila dilihat dalam pasal 76 undang-undang nomor 14 tahun 1985 yang telah dirubah dengan undang-undang nomor 5 Tahun 2005 dan perubahan kedua dengan undang-udang nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang mengatur hukum acara peninjauan kembali dalam perkara pidana digunakan aturan-aturan dalam KUHAP, jadi pemohon peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Maka berdasarkan penjelasan diatas, dalam hal ini Terpidana Djoko Soegiarto Tjandra berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali tersebut. Walaupun
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
22
dalam peraturan perundang-undangan pasal 268 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa permohoan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja dan pasal 24 ayat (2) undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Hal ini adalah untuk memberikan rasa keadilan dan memenuhi asas keseimbangan antara pemohon peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan oleh terpidana Djoko Soegiarto Tjandra sendiri yang apabila ditolak permohonan peninjauan kembalinya maka berarti Mahkamah Agung mengeliminir atau menghilangkan hak terpidana untuk mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali atas kasus yang dihadapinya.
Pengaturan tentang Hukum Acara Peninjauan Kembali dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia walaupun telah jelas tertulis didalam aturannya tapi tetap saja menimbulkan multi tafsir, sehingga timbul kekacauan di dalam penerapan hukum acaranya. Hal ini menunjukan bahwa sistim hukum didalam Negara Indonesia belum baik. Terlihat dari bagaimana para aparat penegak hukum mengartikan dan memaknai dari bunyi pasal-pasal dalam peraturan perundang-udangan yang ada di Negara ini. Dalam kasus ini ditunjukkan bagaimana jaksa menafsirkan pasal 24 ayat (1) undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam frasa “pihak-pihak yang bersangkutan” bagi pemohon peninjauan kembali dalam perkara pidana. Pihak-pihak yang bersangkutan diartikan lain dari bunyi dan arti pemohon peninjuaan kembali di pasal 263 ayat (1) KUHAP yang secara jelas dan limitatif pemohon peninjuaan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Padahal akan terasa sangat jelas apabila kedua pasal terdapat perbedaan pandangan bagi penggunaanya, maka didalam pasal 76 undang-undang nomor 14 Tahun 1985 yang telah dirubah dengan undang-undang nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan undang-undang nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung telah secara tegas pulan menyatakan bahwa hukum acara bagi peninjauan kembali dalam perkara pidana
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
23
yang digunakan adalah aturan-aturan dalam KUHAP. Jadi, pengaturan tetang hukum acara peninjauan kembali telah jelas diatur dalam peraturan perundangundangan, tetapi penafsirannya yang berbeda-beda bagi penggunanya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Chazawi, Adami. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum Dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Edisi Satu ,Cetakan Kedua, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2011). Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000). Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Edisi Ketiga (Jakarta: Storia Grafika, 2002). Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). M. Friedman, Lawrence. Hukum Amerika Sebuah Pengantar [American Law An Introduction second edition], Diterjemahkan oleh Wishnu Basuki. Jakarta: PT. Tatanusa, 2001. Marpaung, Leden. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Edisi , Cetakan ( Jakarta, Sinar Grafika, 2004 ). Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Pertama, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004). Muhammad, Rusli. Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007).
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
24
Panggabean, Henry P. Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari-hari, Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dalam Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung, (Jakarta: Sinar Harapan, 2001). Pangaribuan, Luhut M.P. Hukum Acara Pidana: Surat – Surat Resmi di Pengadilan Oleh Advokat: Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali, Cetakan Kelima, (Jakarta: Djambatan, 2008). Prakoso, Djoko. Kedudukan Justiable di Dalam KUHAP, Cetakan Pertama, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985). Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Ketiga, (Bandung: Refika Aditama, 2003). Reksodiputro, Mardjono, Sistem Peradilan Pindana, Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Pada FH UI, 1993. Salman, Otje dan Susanto, Anthon F., Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Cetakan Kelima, (Bandung: Refika Aditama, 2009). Satrio. J. Cessie Tagihan Atas Nama, (Jakarta: Yayasan DNC, 2012). Soedirjo. Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana: Arti dan Makna. (Jakarta: Akademika Pressindo, 1996). Soeparman, Parman. Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum: Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). Utrecht, E. Rangkaian Seri Kuliah: Hukum Pidana Jilid I, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1958).
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
25
Soekarno. Dalih verkapte Onstlag van Rechtvervolging, (Bandung: Pengayoman, 1978). Wiriadinata, Wahyu. Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, Cetakan Pertama, (Bandung: Java Publishing, 2008). Internet “Kronologi skandal bank bali"
, diunduh tanggal 16 April 2013. “Gustav Radburch, Rechtphilosophie 2, Bearb.von Arthur Kaufmann, 1983, hlm. 465”, , diunduh tanggal 24 Juni 2013.
Peraturan
Indonesia, Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Nomor 8 Tahun 1981. LN RI No. 76 Tahun 1981. TLN No. 3209.
Indonesia, Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU Nomor 16 Tahun 2004. LN RI No. 67 Tahun 2004. TLN No. 4401
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 48 Tahun 2009. LN RI No. 8 Tahun 2004. TLN No. 5076.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013
26
Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung , UU Nomor 5 Tahun 2009. LN RI No. 8 Tahun 2004. TLN No. 5076.
Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 30 Tahun 2002. LN RI No. 137 Tahun 2002. TLN No. 4250.
Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, UU Nomor 26 Tahun 2000. LN RI No. 208 Tahun 2000. TLN No. 4026.
Indonesia, Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU Nomor 22 Tahun 2009. LN RI No. 96 Tahun 2009. TLN No. 5025.
Indonesia, Putusan Peninjauan Kembali atas nama terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra, Putusan No. 100 PK/Pid.Sus/2009
Indonesia, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang sidang-sidang dengan hakim tunggal, SEMA No. 4 Tahun 1984.
Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Sengkon dan Karta, Putusan MA No. 6 PKK/Kr/1980 Tanggal 31 Januari 1981.
Indonesia, Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Pembuatan Surat Dakwaan, SEJA No. SE-004/J.A/11/1993.
UNIVERSITAS INDONESIA Peninjauan kembali..., Gardanusa, FH UI, 2013