UNIVERSITAS INDONESIA
PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA
PERDATA ( STUDI KASUS PK TERHADAP PK PERKARA PERDATA )
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
R. HENDRO SANTOSO 0503231605
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN TENTANG KEGIATAN EKONOMI DEPOK JANUARI 2013
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan senantiasa berakhir dengan putusan. Bagi
setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.[1] Upaya hukum ada 2 yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa ada yang menyebutnya upaya hukum istimewa. Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa adalah : Perlawanan (verzet), banding dan kasasi.[2] Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa. Dikatakan luar biasa karena karena merupakan upaya hukum terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan memberikan kepastian hukum, serta persyaratan untuk itu juga ditentukan oleh undang-undang. Pada permasalahan peninjauan kembali diatas peninjauan kembali, aturan hukumnya jelas sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 bahwa ”terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”. Demikian pula ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 menegaskan ”Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”. Bahwa atas permasalahan peninjauan kembali diatas peninjauan kembali, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 yang menyatakan sebagai berikut :
1. Permohonan peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana bertentangan dengan Undangundang. Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan permohonan peninjauan kembali yang
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan mengacu secara analog kepada Ketentuan pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985), agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkasnya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung”. 2. Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan diantaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung”.[3]
SEMA tersebut mengisi kekosongan hukum yang ada yaitu jalan keluar bagi dua putusan peninjauan kembali yang berbeda atas obyek yang sama namun masih menyisakan ruang bagi kekosongan hukum yang akan menjadi bahasan dalam pokok permasalahan berikut. 1.2
Pokok Permasalahan Dalam hubungan dengan uraian di atas maka pokok permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana ketentuan perundang-undangan mengatur mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali di dalam perkara perdata?. 2. Bagaimana ketentuan perundang-undangan mengatur mengenai Peninjauan Kembali terhadap putusan Peninjauan Kembali di dalam perkara perdata? 3. Bagaimana praktek penerapan ketentuan mengenai Peninjauan Kembali terhadap putusan Peninjauan Kembali di dalam perkara perdata? 1.3 1.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang sulit untuk dirubah kembali. Tujuannya adalah untuk mendapat keadilan hukum. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dan untuk mengisi kekosongan hukum telah diterbitkan SEMA Nomor 9 Tahun 2010. 2. a.
Tujuan Khusus Untuk mengetahui pelaksanaan undang-undang yang mengatur tentang peninjauan
kembali. b.
Untuk mengetahui proses pelaksanaan permohonan peninjauan setelah diterbitkannya
SEMA Nomor 9 Tahun 2010.
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
c.
Untuk mengetahui kekosongan hukum yang terjadi serta jalan keluarnya.
d.
Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan oleh suatu putusan
peninjauan kembali sebagai akibat dilanggarnya undang-undang. 1.4
Definisi Operasional Dalam penulisan ini beberapa konsepsi yang digunakan sebagai pengertian hukum adalah
Kerangka konsepsionil yang merupakan Kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. sehingga memberikan kejelasan mengenai konsep-konsep yang diteliti. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.[4] Konsep yang merupakan salah satu unsur teori, dengan demikian mempunyai sifat yang lebih konkrit daripada teori. Namun demikian, konsep ini masih perlu dijabarkan lebih lanjut yaitu dengan memberikan definisi operasionalnya.[5] Konsep-konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Peninjauan Kembali, adalah upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.[6] Upaya hukum ini disebut sebagai upaya hukum luar biasa karena Undang-Undang memberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali dengan segala persyaratan yang ketat untuk itu.[7] b.
Fatwa adalah pendapat atau pertimbangan hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung
sebagai badan yang diakui konstitusi sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman.[8] c.
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) adalah suatu bentuk edaran dari pimpinan
Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang isinya merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi.[9] d.
Putusan Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) adalah putusan yang terhadapnya telah tertutup
upaya hukum biasa. Putusan ini merupakan putusan yang sudah bersifat final. Tidak dapat dicabut kembali (irrevocable judgment) oleh siapapun dan kekuasaan manapun.[10] BAB 2 PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Upaya Hukum
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
Menurut Sudikno Mertokusumo upaya hukum adalah upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan,[11] sedangkan menurut Nasir upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk melawan putusan hakim dengan tujuan untuk mencegah dan atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan hakim tersebut akibat adanya penemuan bukti-bukti atau fakta-fakta baru.[12] Sudikno Mertokusumo hanya menyatakan bahwa upaya hukum itu sebagai alat saja dan tidak menjelaskan lebih jauh mengenai apa itu upaya hukum. Upaya hukum hanya bisa diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang sedang berperkara di pengadilan dalam kedudukannya entah sebagai penggugat atau tergugat. Dalam hubungan dengan upaya hukum apabila terjadi kesalahan dalam pemberitahuan isi putusan (umumnya terkait masalah tenggang waktu) maka pihak yang akan mengajukan upaya hukum bisa meminta atau menuntut agar relaas pemberitahuan itu diperbaiki. Oleh karena itu upaya hukum lebih tepat didefinisikan sebagai berikut : Upaya hukum adalah hak yang diberikan undang-undang kepada para pihak dalam suatu perkara yang tujuannya adalah untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan putusan hakim. Dalam hal ini hukum acara perdata mengenal adanya 2 (dua) upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang dapat diajukan oleh para pihak selama masih ada tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Upaya hukum biasa bersifat menangguhkan pelaksanaan putusan untuk sementara kecuali putusan hakim itu amarnya menyatakan bahwa putusan itu dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad). Upaya hukum biasa yang dapat ditempuh oleh para pihak ada 3 (tiga) yaitu : perlawanan (verzet), banding dan kasasi, yang masing-masing merupakan pentahapan terkecuali perlawanan. 2.2. Upaya Hukum Biasa 2.2.1 Perlawanan Perlawanan adalah upaya hukum terhadap putusan verstek (Pasal 125 ayat (3) dan Pasal 129 ayat (1) HIR untuk Jawa dan Madura, dan Pasal 149 ayat (3) dan Pasal 153 ayat (1) RBg) untuk luar Jawa dan Madura). Apabila pihak tergugat atau para tergugat tidak hadir pada persidangan setelah diberitahukan secara patut maka berdasarkan ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR gugatan diputus dengan verstek. Verstek adalah pernyataan, bahwa tergugat atau para tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hukum acara harus dating (Pasal 125 ayat (1) HIR).
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
Verstek itu hanya dapat dinyatakan, jika tergugat atau para tergugat tidak datang pada hari sidang pertama,[13] tetapi tidak ada keharusan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan verstek terhadap tergugat yang tidak hadir. Penerapan verstek bersifat fakultatif dan hakim diberi kebebasan untuk menerapkan atau tidak. Berdasarkan ketentuan Pasal 126 HIR, hakim dapat mengundurkan sidang serta memerintahkan agar pihak tergugat dipanggil untuk kedua kalinya untuk menghadap pada sidang berikutnya. Sedangkan pihak yang hadir, tidak perlu dipanggil lagi karena perintah pengunduran sidang sekaligus merupakan pemberitahuan bagi pihak yang hadir.[14] Ketentuan ini adalah layak dan bijaksana. Sebab dalam suatu perkara bukan hanya kepentingan penggugat saja yang harus diperhatikan, melainkan kepentingan tergugatpun harus pula diperhatikan (audi et alteram partem).[15] Apabila tergugat atau para tergugat yang pada sidang pertama hadir dan pada sidang-sidang berikutnya tidak hadir, atau apabila tergugat atau para tergugat pada sidang pertama tidak hadir lalu hakim mengundurkan sidang berdasarkan pasal 126 HIR, dan pada sidang yang kedua ini tergugat atau para tergugat hadir dan kemudian pada sidang-sidang selanjutnya tidak hadir lagi, maka perkara akan diperiksa menurut cara biasa. Juga apabila dalam pemeriksaan tersebut ada seorang atau lebih tergugat dari sekian banyak tergugat tidak pernah hadir dalam sidang pemeriksaan perkara yang bersangkutan, terhadap tergugat atau beberapa tergugat yang tidak pernah hadir itu, tidak boleh dijatuhkan putusan verstek, melainkan harus putusan contradictoire. [16] Tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan (untuk putusan verstek yang tergugat atau para tergugatnya tidak pernah hadir dalam persidangan), berlaku ketentuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 129 HIR/153 RBg. 2.2.2
Banding Hak penggugat maupun tergugat untuk mengajukan upaya hukum banding semula diatur
dalam Pasal 188-194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan Pasal 199-205 RBg (untuk daerah luar Jawa dan Madura). Akan tetapi semenjak hadirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura maka Pasal 188-194 HIR yang mengatur acara banding dinyatakan tidak berlaku sedangkan ketentuan Pasal 199-205 RBg masih berlaku, nampak adanya dilematis pandangan.[17] Ada pandangan yang menyatakan ketentuan Pasal 199-205 RBg dinyatakan tidak berlaku sejak adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 sehingga untuk acara pemeriksaan banding di seluruh Indonesia hanya diatur dalam satu peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
1947.[18] Ada pula pandangan yang menyatakan bahwa Pasal 199-205 RBg masih berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura sedangkan untuk Jawa dan Madura berlaku sejak adanya UndangUndang Nomor 20 Tahun 1947.[19] Sedangkan tenggang waktu untuk mengajukan permohonan banding Mahkamah Agung RI telah memberikan pedoman yang berlaku untuk seluruh Pengadilan Negeri sebagai berikut :
Permohonan banding dapat diajukan di kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 14 hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan diucapkan atau setelah diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir dalam pembacaan putusan. Apabila hari ke 14 jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari Libur, maka penentuan hari ke 14 jatuh pada hari kerja berikutnya.[20]
Dalam perkara prodeo, apabila terhadap perkara gugatan secara prodeo, pihak yang berperkara secara prodeo itu mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi, maka harus diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12, 13, 14 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 dan Pasal 199 ayat (4), 277, 278, 279, 280 dan 281 RBg.[21] Terdapat perbedaan penghitungan antara ketentuan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 dengan ketentuan Pasal 199 ayat (4) RBg. Ketentuan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 menyatakan 14 hari dihitung mulai hari berikutnya hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi atas permintaan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan Ketentuan Pasal 199 ayat (4) RBg menyatakan 14 hari sejak hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi tersebut.[22] 2.2.3
Kasasi Berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung maka yang dapat dimohonkan kasasi adalah putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan, yang kemudian ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi ”Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang” Pada prinsipnya, putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara) yang dapat diajukan permintaan banding hanya terhadap perkara yang bersifat kontentiosa (contentious) yakni perkara yang bersifat sengketa atau
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
interpartes. Adapun perkara permohonan (voluntair) yang bersifat ex parte yang dituangkan dalam bentuk penetapan merupakan putusan pengadilan tingkat pertama dan terahir dan terhadapnya tidak dapat diajukan permohonan banding.[23] Tetapi dapat diajukan kasasi berdasarkan kalimat terakhir Pasal 43 ayat (1) ” Permohonan kasasi dan seterusnya … kecuali ditentukan lain oleh undang-undang”. Tenggang waktu permohonan kasasi diatur dalam Pasal 46 ayat (1) 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa tenggang waktu untuk menyampaikan permohonan kasasi adalah 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. 2.3
Upaya Hukum Luar Biasa
2.3.1
Derden verzet (Perlawanan Pihak Ketiga) Pada asasnya suatu putusan itu hanyalah mengikat para pihak yang berperkara dan tidak
mengikat pihak ketiga. Namun bukan tidak mungkin putusan itu merugikan pihak ketiga karena hak miliknya disita. Pihak ketiga yang dimaksud disini adalah pihak-pihak selain pihak yang berperkara, tidak dalam kedudukan sebagai penggugat ataupun tergugat. Apabila terjadi putusan yang demikian maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga adalah dengan mengajukan perlawanan
(derden verzet). Dalam praktek peradilan perlawanan pihak ketiga ini
dapat dilakukan terhadap sita conservatoir, sita revindicatoir dan sita eksekusi atas dasar hak milik artinya obyek sengketa adalah benar-benar milik pihak ketiga. Dengan demikian seorang penyewa, pemegang hipotik atau credit verband dan pemegang hak pakai atas tanah tidaklah dibenarkan untuk mengajukan perlawanan semacam ini. Kemudian dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa permohonan perlawanan pihak ketiga ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dari Pengadilan Negeri yang secara nyata menyita (Pasal 195 ayat (6) HIR, Pasal 206 ayat (6) RBg). Berdasarkan yurisprudensi [24] maka status derden verzet (perlawanan pihak ketiga) melekat pada upaya hukum tersebut apabila : 1)
Diajukan sebelum eksekusi putusan tersebut selesai dilaksanakan.
2)
Diajukan sebelum perkara tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dalam
hal adanya sita jaminan (conservatoir beslag). Di luar kedua hal ini maka bukan lagi derden verzet melainkan gugatan biasa. 2.3.2
Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
Peninjauan Kembali upaya hukum luar biasa yang diatur dalam : 1. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 24 ayat (1) dan 2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 67 yang berbunyi :
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; c. Apabila telah dikabulkan mengenai suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut; d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebabsebabnya; e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yangsama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Mengenai tenggang waktu, Pasal 69 mengatur sebagai berikut :
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk : a. yang disebut sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang; c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; d. yang tersebut pada huruf e sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hokum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
2.3.3
Ketentuan Hukum lain yang mengatur Peninjauan Kembali Peninjauan Kembali tidak hanya dalam lingkungan peradilan umum tetapi terdapat dalam
juga dalam lingkungan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan tersebut adalah
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang[25] 2.3.4 Peninjauan Kembali atas Putusan Peninjauan Kembali Ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Terhadap putusan peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”. Ketentuan ini dipertegas oleh Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 yang berbunyi ”Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”. Penjelasan kedua ketentuan ini hanya menyatakan “cukup jelas”. Penerapan ketentuan ini dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung tanggal 21 Oktober 2008 Nomor 261 PK/Pdt/2008 yang amarnya antara lain : Menyatakan, bahwa permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat diterima. Putusan ini keluar sebelum Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 10 Tahun 2009. Terhadap permohonan peninjauan kembali yang kedua, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 10 Tahun 2009. SEMA ini terbit untuk mengisi kekosongan hukum sesuai fungsi pengaturan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merupakan puncak peradilan bagi badan peradilan yang berada di bawahnya. Menurut Sudikno Mertokusumo, fungsi ini sangat efektif untuk memperlancar jalannya peradilan.[26] Kewenangan Mahkamah Agung untuk melaksanakan fungsi pengaturan diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009. berbunyi “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini”.
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
Selain SEMA, Mahkamah Agung juga berwenang memberikan petunjuk teknis dibidang peradilan yang diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang umumnya dikenal sebagai fatwa. 2.3.5 Praktek pelaksanaan SEMA Nomor 10 Tahun 2009 Terdapat 2 putusan Mahkamah Agung yang obyeknya sama berupa putusan pejabat TUN yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 31 Maret 2005 No. 38 PK/TUN/2003. Putusan pejabat TUN yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung ini kemudian dijadikan novum (bukti baru) sebagai alasan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata No. 508/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst. dan telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 13 Mei 2009 No. 141 PK/PDT/2008 yang amarnya mengabulkan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali. Berdasarkan alasan adanya 2 (dua) putusan Peninjauan Kembali yang bertentangan terhadap obyek yang sama maka Termohon Peninjauan Kembali dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Mei 2009 No. 141 PK/PDT/2008 mengajukan permohonan Peninjauan Kembali yang kedua berdasarkan angka 2 SEMA No. 10. Tahun 2009, dan telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 25 Mei 2011 Nomor 118 PK/Pdt/2011 yang amarnya menolak permohonan Peninjauan Kembali yang kedua, yang akan menjadi bahasan dalam penulisan ini. 2.1.1
Analisis Yuridis Putusan Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan Kembali Dalam
Perkara PT. Dharmala Intiland melawan Ahli Waris Alm. Sia Joe Sing (Boediono). Sengketa ini adalah mengenai ke pemilikan sebidang tanah bekas HGB No. 8 / Tahun 1962, terletak di Daerah Khusus Ibukota Jakarta , Wilayah Jakarta Pusat, Kecamatan Tanah Abang, Kelurahan Karet Tengsin, dan sekarang setempat dikenal dengan Jalan KH.Mas Mansyur No. 140 - 141, Kelurahan Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat antara PT. Dharmala Intiland melawan Ahli Waris Alm. Sia Joe Sing (Boediono) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 03 Agustus 2004 Nomor: 508/PDT.G/2003 amarnya antara lain mengabulkan gugatan Penggugat. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 30 Juni 2005 Nomor: 159/PDT/2005/PT.DKI amarnya antara lain mengabulkan gugatan Para Tergugat/Penggugat rekonvensi. Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Januari 2007 Nomor: 1507 K/PDT/2006 amarnya antara lain mengabulkan gugatan Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi. Putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Mei 2009
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
Nomor: 141 PK/PDT/2008 amarnya antara lain mengabulkan permohonan Tergugat I/Penggugat rekonvensi/Pembanding I/Termohon Kasasi. Permohonan permohonan Peninjauan Kembali yang kedua diajukan Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi dan diputus Mahkamah Agung tanggal 25 Mei 2011 No. 118PK/PDT/2011 yang amarnya menolak permohonan pemohon peninjauan kembali dengan pertimbangan hukum Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang menyatakan bahwa “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1(satu) kali” Pada analisa kasus di atas, pertimbangan hukum Mahkamah Agung pada permohonan peninjauan kembali yang kedua adalah Peninjauan Kembali kedua tidak diperkenankan lagi sesuai dengan Pasal 66 (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Pada kasus ini, Mahkamah Agung hanya mempertimbangkan segi normatif saja, Pada kasus ini, Mahkamah Agung hanya mempertimbangkan segi normatif saja, tetapi itu tidak berarti Mahkamah Agung tidak bisa memeriksa pokok perkara dalam permohonan Peninjauan Kembali yang kedua. Apabila nyata-nyata terdapat 2 putusan peninjauan kembali yang saling bertentangan, misalnya mengenai kepemilikan, satu putusan peninjauan kembali menyatakan bahwa tanah sengketa itu milik si A tetapi dalam putusan peninjauan kembali yang lain menyatakan bukan milik si A. Terhadap putusan yang demikian, Mahkamah Agung dapat memeriksa pokok perkara. Apabila setelah permohonan peninjauan kembali yang kedua diperiksa oleh Majelis Hakim Agung tidak terdapat hal-hal yang bertentangan maka pertimbangan hukum hanya menunjuk pada syarat formal yaitu ketentuan Pasal 66 (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali” dengan amar putusan “menolak” bukan tidak dapat diterima karena Pasal 74 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung hanya menyebut “mengabulkan atau menolak”. Mengenai amar ini ada 2 (dua) pendapat di Mahkamah Agung, selain “mengabulkan atau menolak” juga “tidak dapat diterima” apabila tidak memenuhi syarat formal.[27]
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
BAB 3 PENUTUP
5.1
Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan mengenai :
1. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya hukum peninjauan kembali Upaya hukum peninjauan kembali hanya diatur dalam RRv (Reglement op de Rechtsvordering) atau lebih dikenal dengan Rv, yang berlaku bagi penduduk golongan Eropa dan yang disamakan dengan mereka. Sedangkan untuk penduduk golongan Indonesia dan yang disamakan dengan mereka, berlaku hukum acara perdata yang terdapat dalam HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan RBg (untuk daerah luar Jawa dan Madura). Baik dalam HIR maupun RBg tidak ada ketentuan yang mengatur lembaga Request Civiele. Peninjauan kembali perkara perdata pada saat itu hanya diatur melalui beberapa Perma, terakhir melalui Perma No. 1 Tahun 1980 yang kemudian disempurnakan dengan Perma No. 1 Tahun 1982 tanggal 11 Maret 1982. Dan Perma ini pun berakhir dengan keluarnya UndangUndang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang mengatur antara lain hukum acara
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
peninjauan kembail perkara perdata. Undang-Undang ini telah mengalami dua kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009. 2. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan peninjauan kembali Pada dasarnya permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali.Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa ”terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”. Demikian pula ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 menegaskan ”Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”. Berdasarkan petunjuk Mahkamah Agung pada angka 2 SEMA No. 10 Tahun 2009 yang menyatakan”.. Terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain dan obyek perkaranya sama…”, pihak-pihak yang dirugikan oleh adanya 2 (dua) putusan peninjauan kembali yang bertentangan tersebut dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali. 3. Praktek penerapan ketentuan mengenai peninjauan kembali terhadap putusan peninjauan kembali a.
Berdasarkan petunjuk angka 2 SEMA No. 10 Tahun 2009, pemohon peninjauan kembali
dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali yang kedua atau peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali. Apakah pemohon peninjauan kembali ini dahulu berkedudukan sebagai pemohon atau termohon peninjauan kembali, SEMA tidak mengaturnya. b. Berdasarkan petunjuk angka 1 SEMA No. 10 Tahun 2009, permohonan peninjauan kembali tetap diterima dan pada akta pernyataan permohonan peninjauan kembali diberi catatan bahwa permohonan tersebut berdasarkan angka 1 SEMA, selanjutnya terhadap permohonan ini dibuat penetapan ketua pengadilan dan berkas permohonan tidak dikirim ke Mahkamah Agung. 5.2
Saran
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
Dasar penerbitan SEMA No. 10 Tahun 2009 sendiri sudah jelas yaitu Undang- Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pasal 79 beserta penjelasannya. Namun, apabila hal ini belum merupakan “pemahaman” Mahkamah Agung beserta jajaran pengadilan dibawahnya karena masih ada ketidakpahaman pada pelaksanaan di tingkat bawah. Demikian pula adanya, putusan yang saling bertentangan yang obyeknya sama, bukan hanya terjadi pada putusan-putusan pengadilan tingkat bawah dan antara putusan peninjauan kembali dengan putusan peninjauan kembali yang sudah ada pengaturannya. Tetapi juga bisa terjadi antara putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap dengan putusan peninjauan kembali yang belum ada pengaturannya, maka yang perlu dilakukan adalah : 1. Melakukan sosialisasi melalui Rakernas Mahkamah Agung atau melalui sarana pembinaan teknis yang frekuensinya lebih banyak supaya ada kesepahaman dalam pelaksanaan di lapangan dan atau, 2. Melakukan revisi terhadap pasal terkait dari Undang- Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang juga telah mengalami perubahan yang kedua, terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009. 3. Melakukan revisi terhadap angka 2 SEMA tersebut sehingga menampung permohonan peninjauan kembali yang kedua karena adanya putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (apakah itu pada pengadilan negeri atau pengadilan tinggi atau kasasi) yang saling bertentangan dengan putusan peninjauan kembali untuk mempermudah proses penyelesaian perkara.
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku : Bidara, O. dan Martin P. Bidara. Hukum Acara Perdata, Cet. 2, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987. Boediarto, M. Ali. Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung HUkum Acara Perdata Masa Setengah Abad, Cet. I, Jakarta: Swara Justitia, 2005. Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. __________________. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Edisi 1. Cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. __________________. Kekuasaan Pengadilan Tinggi Dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Dalam Tingkat Banding, Cet. 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Mahkamah Agung. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus Buku II, Edisi 2007. Mamudji, Sri et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi 8. Cet. 1. Yogyakarta: Liberty, 2009. __________________. Beberapa Azas Pembuktian Perdata dan Penerapannya Dalam Praktek, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 19 Januari 1980. Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Edisi Revisi. Cet. 2. Jakarta : Djambatan, 2002. ____________. Kompilasi Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan, Edisi 1. Cet. 1. Jakarta : PT. Alumni, 2009. ____________. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia. Teori, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya, Cet. 1. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2009. Nasir, M. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. 1. Jakarta : Djambatan, 2003. Panggabean, Henry P. Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
_________________. Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan, Yogyakarta : Liberty, 2005. _________________. Buku Ajar Klinis Hukum Dalam Sistem Hukum Dan Peradilan, Edisi 1 Cet. 1. Bandung : PT. Alumni, 2011. Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Universitas Atmajaya, 2007. Rambe, Ropaun. Hukum Acara Perdata Lengkap, Cet. 2. Jakarta : Sinar Grafika, 2003. Soedirjo. Mahkamah Agung Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan dan Kekuasaannya Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Jakarta: PT. Media Sarana Press, 1986. ______. Kasasi Dalam Perkara Perdata, Cet. 2. Jakarta: Akademika Pressindo, 1985. ______. Peninjauan Kembali Dalam Perkara Perdata Arti dan Makna, Cet. 1. Jakarta: Akademika Pressindo, 1986. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1. Cet. 8. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Soepomo, R.. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cet. 15. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2002. Soeroso, R.. Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, Cet. 5. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Soesilo, R.. RIB/HIR dengan penjelasan, Bogor: Politeia, 1985. Soetantio, Ny. Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, Cet. XI. Bandung: CV. Mandar Maju, 2009. Subekti, R.. Kekuasaan Mahkamah Agung R.I., Bandung: Alumni, 1980. Sumardjono, Maria S.W. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. Tresna, R. Komentar HIR, Cet. 17. Jakarta: Pradnya Paramita, 2001. Internet :
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
Mappong, H. A. Kadir “Tentang Peninjauan Kembali,” http://rakernas.mahkamah agung.go.id/index.php/materi-rakernas/65-tentang-peninjauan-kembali-makalah-wakil-ketuama-bidang-yudisial diunduh tanggal 28 November 2011 Mertokusumo, Sudikno “Penyempurnaan Struktural Organisasi Mahkamah Agung Sebagai Puncak Keempat Lingkungan Peradilan,” http:/sudiknoartikel. blogspot.com/ diunduh tanggal 04 Juni 2012. Peraturan Perundang-undangan : Indonesia, Pengadilan Peradilan Ulangan, UU No. 20 tahun 1947, Ps. 8. ________. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, No. 14 Tahun 1985, LN No. 73 Tahun 1985, TLN No. 3316. ________. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, No. 5 Tahun 2004, LN No. 9 Tahun 2004, TLN N0. 4359. ________. Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, No. 3 Tahun 2009, LN No. 3 Tahun 2009, TLN N0. 4958. ________. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, No. 48 Tahun 2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN N0. 5076. Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali, SEMA No. 10 Tahun 2009. Kamus : Algra, N.E. dan H.R.W. Gokkel. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae (Fockema Andrea’s Rechtsgeleard Handwoordenboek), diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanuddin St. Batuah. Jakarta: Binacipta, 1983. Termorshuizen, Marjanne dibantu oleh Caroline Supriyanto-Breur dan Hilly Djohani-Lapian, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta : Penerbit Djambatan, 2002. Lampiran-lampiran : 1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 03 Agustus 2004 508/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst. 2. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 30 Juni 2005 No. 159/PDT/2005/PT.DKI 3. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Januari 2007 No. 1507 K/Pdt/2006 4. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 13 Mei 2009 No. 141 PK/Pdt/2008 5. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 25 Mei 2011 No. 118 PK/Pdt/2011
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
No.
[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,(Yogyakarta: Liberty, 2009), hal. 234. [2] Ibid. [3] Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali, SEMA No. 10 Tahun 2009. [4] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 132. [5] Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 23. [6] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 40. [7] Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, 106. [8] M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Yakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 184. [9] Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, 142. [10] M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, 442. [11] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 234. [12] M. Nasir, Hukum Acara Perdata Indonesia,(Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 208. [13] R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), hal. 33. [14] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 389. [15] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 97-98. [16] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hal. 25-26 [17] Ibid., hal. 227. [18] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, 148. [19] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 225. [20] ___, Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, 4. [21] ___, Pedoman Pelaksanaan TugasDan Administrasi PengadilanBuku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003), hal. 130. [22] Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, 210. [23] M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, 242-243.
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013
[24] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Pengadilan, 300. [25] Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang, UU No. 37 tahun 2004, LN No. 131 tahun 2004, TLN No. 4443, Ps. 295, Ps. 296. [26] Ibid. [27] Hasil wawancara dengan Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung, Bapak Suwardi, S.H., M.H. pada rentang waktu Januari 2013.
Peninjauan Kembali..., R Hendro Santoso, FH UI, 2013