RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali I. PEMOHON Abd. Rahman C. DG Tompo Kuasa Hukum DR. Saharuddin Daming. SH.MH., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 30 Agustus 2016 II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: -
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
-
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
-
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
1
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) Pemohon adalah perseorangan warga Indonesia yang merasa dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009. Kerugian konstitusional yang dimaksud adalah Pemohon terhalang untuk mengajukan PK lebih dari sekali meskipun pada suatu saat terdapat keadaan baru (novum). V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Norma materiil yaitu: Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985: Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009: Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum. 2. Pasal 24 ayat (1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 3. Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 4. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2
5. Pasal 28G ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 6. Pasal 28H ayat (4): Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. 7. Pasal 28I ayat (2): Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 8. Pasal 28I ayat (2): Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 9. Pasal 28I ayat (4): Perlindungan, pemajuan, dan penegakan hak asasi manusia, adalah tanggungjawab Negara, terutama Pemerintah. 10. Pasal 28I ayat (5): Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Meskipun ketentuan tentang PK yang hanya boleh diajukan sekali, telah dibatalkan oleh putusan MK No 34/PUU-XI/2013 tertanggal 16 Maret 2014, namun pembatalan tersebut hanya mencakup perkara pidana. Sedangkan untuk bidang perkara perdata sebagaimana menjadi gugatan Pemohon, tidak terjangkau sama sekali oleh putusan MK dimaksud; 3
2. Terdapat ketidakkonsistenan antara Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 (dimana mengatur pembatasan PK hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali), dengan Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tertanggal 16 Maret 2014 (yang telah membatalkan ketentuan pembatasan PK
hanya
dapat
dilakukan
1
(satu)
kali
dalam
perkara
pidana).
Ketidakkonsistenan tersebut telah melanggar prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil. 3. Permohonan PK pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk mengadukan keputusan hakim yang bertentangan dengan hukum, sebagaimana upaya hukum pada umumnya, tetapi permohonan PK, diajukan dengan penuh kesantunan, karena telah terjadi suatu kekeliruan atau kekhilafan nyata dalam putusan yang sebelumnya telah diambil. Latar belakang adanya PK sebenarnya justru ditujukan untuk memperkuat legitimasi pihak yang memutusnya sendiri. 4. Suatu sengketa bisa saja tersebar di dalam beberapa putusan terpisah. Pembatasan PK justru dapat menghalangi usaha menyelesaikan sengketa secara tuntas. 5. Pengujian perkara Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan perkara Nomor 64/PUUVIII/2010 tidak mendasarkan batu uji pada Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, di mana materi pokoknya berupa pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Permohonan yang diajukan ini mendalilkan pada batu uji Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak nebis in idem. VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan keberatan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) dan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik 4
Indonesia Nomor 5076) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sejauh mengenai permohonan PK dapat diajukan lebih dari satu kali dalam perkara pidana. 3. Menyatakan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) dan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali pada pengajuan permohonan PK
lebih satu kali dalam perkara pidana,
perdata maupun perkara lainnya. 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. Atau, apabila MK berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya.
5