BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG SELF-EFFICACY DAN PRESTASI BELAJAR SISWA
A.
Teori Self-Efficacy Self-efficacy didasarkan pada kerangka teori besar yaitu teori social
cognitive. Teori social cognitive ini berfokus pada cara-cara dimana seseorang belajar dari hasil pengamatan. Perspektif ini mencerminkan perpaduan antara konsep behavior dan kognitif. Variabel lingkungan dan kognitif serta perilaku yang secara terus menerus berinteraksi satu sama lain. Bandura (1997:5-6) memandang bahwa manusia beroperasi dalam sebuah struktur yang disebut dengan reciprocal determinism (lihat gambar 2.1). P
B
E Gambar 2.1 Model Reciprocal Determinism
Reciprocal determinism merupakan konsep penting dalam teori social cognitive dan merupakan landasan pemahaman perilaku dari Bandura. Bandura (Hall dan Lindzey, 1985:537) mengungkapkan bahwa teori social cognitive memperlakukan reciprocal determinism sebagai suatu prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psikososial pada berbagai tingkat kompleksitas, mulai dari perkembangan intrapersonal, sampai kepada perilaku interpersonal, untuk memfungsikan interaksi antara organisasi dengan sistem sosial.
14
15
Gambar 2.1 menunjukkan sebuah hubungan timbal balik dimana dalam hubungan tersebut terjadi interaksi antar perilaku. B mewakili perilaku, P mewakili faktor internal personal dalam bentuk kognitif, afektif, dan kondisi biologis, E mewakili lingkungan eksternal (Bandura, 1997:6). Panah-panah yang ada dalam gambar tersebut menunjukkan hubungan yang berkesinambungan, sehingga dapat diartikan semua komponen yang ada saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dengan melihat model reciprocal determinism dalam gambar 2.1. semua aspek yang ada digambarkan saling berhubungan dan tidak memiliki pusat yang mengawali pergerakan hubungan triadic tersebut. Meskipun demikian, Bandura (Hall dan Lindzey, 1985:539) mengatakan bahwa terdapat pusat atau center yang merupakan tempat awal dari ketiga komponen tersebut sebagai awal pergerakan hubungan timbal balik yaitu sistem diri. Sistem diri mengacu pada struktur kognitif yang menyediakan referensi mekanisme dan satu set subfungsi untuk mengevaluasi persepsi dalam mengatur perilaku. Adapun fungsi dari sistem diri itu sendiri dapat kita lihat pada gambar 2.2. Gambar tersebut menunjukkan satu fungsi dari sistem diri untuk mengatur perilaku secara terus-menerus yang terlibat dalam self-observations (pengamatan diri), judgmental process (proses menilai) dan self-response (reaksi terhadap perilaku sendiri). Rangkaian aspek tersebut menggambarkan bahwa perilaku dapat dinilai menurut standar personal dengan cara membandingkan dengan perilaku orang lain. Dalam pengamatan dan penilaian tersebut, seseorang dapat mengevaluasi apakah perilaku seseorang tersebut mencerminkan hal positif atau
16
negatif dan apakah seseorang tersebut berhak mendapatkan hadiah atau hukuman. Pengembangan standar perilaku dapat dilakukan dengan cara mengamati model seperti orang tua dan guru, dapat melalui interpretasi umpan balik yang diberikan oleh figur yang memiliki otoritas, dari evaluasi dan penilaian terhadap diri sendiri, serta konsekuensi yang seseorang terapkan terhadap dirinya sendiri dan juga dikembangkan dari pengalaman sendiri.
SELF-OBSERVATION Performance Dimension • Quality • Rate • Quantity • Originality • Authenticity • Consequentialness • Deviancy • ethicalness
SELF-RESPONSE
JUDGMENTAL PROCESS Personal Standards • Modeling sources • Reinforcement sources
Self-Evaluative Reactions • Positive • Negative
Referential performances • Standard Norms • Social Comparison • Personal Comparison • Collective Comparison
Tangible Self-Applied Consequences • Rewarding • Punishing No Self-Response
Valuation of Activity • Regarded highly • Neutral • Devalued Performance Attribution • Personal Locus • External Locus
Gambar 2.2 Proses Self-Regulation dari Perilaku
Komponen kunci dari sistem diri adalah self-efficacy (Hall dan Lindzey, 1985:539). Bandura (1997:3) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seseorang terhadap suatu kemampuan yang dimilikinya untuk mengorganisasikan dan
melaksanakan
serangkaian
tindakan
yang
harus
dilakukan
untuk
menghasilkan tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui mengapa self-efficacy merupakan komponen kunci dari sistem diri. Hal
17
tersebut dikarenakan serangkaian evaluasi yang telah dilakukan oleh diri tidak akan melahirkan suatu tindakan tanpa disertai oleh self-efficacy yang tinggi. Dengan keyakinan yang tinggi, sesuatu yang diharapkan akan berhasil dicapai. Dengan demikian, seseorang akan berusaha dengan keras untuk mencapai keberhasilan tersebut. Seseorang akan merancang berbagai tindakan untuk mewujudkan harapannya setelah mengalami rangkaian evaluasi seperti yang digambarkan pada gambar 2.2. Sedangkan seseorang yang memiliki self-efficacy yang rendah, meskipun seseorang tersebut telah melakukan evaluasi terhadap dirinya dan tanpa disertai dengan keyakinan akan berhasil, seseorang tersebut tidak akan berusaha keras untuk mewujudkan harapannya dan memilih untuk berhenti sehingga tidak akan melakukan tindakan apapun untuk memperjuangkan harapannya tersebut. 1.
Pengertian Self-Efficacy Premis dasar dari teori self-efficacy adalah kepercayaan seseorang
dalam kemampuannya untuk mencapai hasil yang diinginkan dari tindakan yang dilakukan, hal tersebut merupakan penentu perilaku bagi seseorang ketika memilih apakah seseorang tersebut akan terlibat dan gigih dalam menghadapi rintangan dan tantangan atau sebaliknya (Maddux, 2000:2). Untuk lebih memahami pengertian self-efficacy, Bandura (1997:3) mendefinisikan bahwa self-efficacy adalah “ refers to beliefs in one’s capabilities to organize and execute the courses of action required to produce given attainment” yang artinya self-efficacy mengacu pada keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk
18
mengorganisasikan dan melaksanakan serangkaian tindakan yang harus dilakukan untuk menghasilkan tujuan yang telah ditetapkan. Selaras dengan definisi Bandura, Wagner III dan Hollenbeck (2010:93) mendefinisikan selfefficacy “refer to judgements that people make about their ability to execute courses of action required to deal with prospective situations” yang artinya self-efficacy mengacu pada penilaian seseorang bahwa mereka mampu untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk menghadapi situasi yang akan terjadi. Lebih tegas lagi Maddux (2000:4-5) menjelaskan bahwa self-efficacy bukan merupakan keterampilan melainkan lebih kepada kepercayaan seseorang akan keahlian yang dapat dilakukannya dalam situasi tertentu. Self-efficacy tidak hanya sebagai prediksi tentang perilaku seperti ungkapan “saya akan” tetapi lebih kepada ungkapan “saya dapat melakukan.” Selanjutnya self-efficacy didefinisikan dan diukur bukan sebagai sifat melainkan
sebagai
keyakinan
tentang
kemampuan
untuk
mengkoordinasikan keterampilan dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam domain dan keadaan tertentu. Dari ketiga definisi ahli di atas, maka jelas yang dimaksud dengan self-efficacy merupakan keyakinan yang dimiliki oleh seseorang akan suatu kemampuan yang dimilikinya dalam mengorganisasikan serangkaian tindakan yang akan digunakan dalam mencapai tujuannya.
19
2.
Sumber-sumber Self-Efficacy Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, self-efficacy dibangun
dalam hubungan triadic antara sifat-sifat pribadi, pola prilaku dan faktor lingkungan. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan secara otomatis ditetapkan, bisa jadi ada proses yang panjang dan rumit untuk mencapai hubungan ini (Setiadi, 2010:30). Proses pembangunan self-efficacy membutuhkan
berbagai
jenis
informasi.
Bandura
(1997:79-113)
mengungkapkan ada empat sumber utama informasi yang memberikan kontribusi penting bagi pembangunan self-efficacy yaitu enactive mastery experience, vicarious experience, verbal persuation, physiological and affective states. Bandura mengingatkan bahwa sumber-sumber self-efficacy tidak secara otomatis membentuk self-efficacy, sumber-sumber tersebut harus diproses melalui pemikiran kognitif dan pemikiran reflektif (Setiadi, 2010:30). Berikut ini adalah sumber-sumber atau informasi yang membentuk self-efficacy seseorang. a.
Enactive mastery experience Salah satu hal yang paling penting yang terkait dengan sifat
manusia adalah bahwa seseorang dapat belajar dari diri mereka sendiri. Fenomena ini disebut oleh Bandura adalah enactive mastery experience yang memungkinkan seseorang belajar dari diri mereka sendiri dalam hal kemampuan yang dimiliki oleh mereka. Dalam kehidupan, manusia memainkan peran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam memainkan peranannya,
20
manusia
menghadapi
dua
peristiwa
yang
kontradiktif
yaitu
keberhasilan dan kegagalan (Setiadi, 2010:30). Keberhasilan terkait dengan aspek-aspek positif atau tujuan yang tercapai dengan lancar, sedangkan kegagalan terkait dengan aspek-aspek negatif yang mengecewakan dan bahkan menyebabkan frustrasi. Dalam teori selfefficacy, Bandura (1997) menyebutkan peristiwa kegagalan dan keberhasilan tersebut disebut dengan mastery experience, Bandura memandang
enactive
mastery
experience
sebagai
penentu
keberhasilan seseorang karena hal itu dianggap sebagai salah satu sumber informasi
yang sangat berpengaruh
dan mendukung
perkembangan self-efficacy. Meskipun demikian, mastery experience bukan merupakan input yang secara otomatis meningkatkan keyakinan keberhasilan seseorang, akan tetapi harus diproses dan dibangun kembali. Bandura (1997:80) menegaskan bahwa untuk membangun
personal efficacy adalah dengan melalui mastery
experience yang penguasaannya melibatkan kognitif, perilaku dan self-regulatory untuk membuat dan melaksanakan tindakan yang efektif. Menurut Bandura (Setiadi, 2010:31) dalam hubungan antara pengalaman (mastery experience) dengan tindakan, seseorang akan membuat perubahan dalam self-efficacy beliefs yang dimilikinya. Hal tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor berikut: (1) anggapan seseorang pada kemampuan, (2) tingkatan tugas yang dirasakan sulit,
21
(3) upaya yang dilakukan untuk mencapai kemampuan, (4) jumlah bantuan yang diterima oleh seseorang, (5) keadaan dan kondisi seseorang dalam melakukan tindakan-tindakan mereka, (6) waktu ketika seseorang berhasil dan gagal, (7) metode seseorang dalam memanipulasi dan mengatur enactive mastery experience melalui proses kognitif.
Hal ini dapat diasumsikan bahwa jika seseorang
dapat mengambil banyak informasi tentang kemampuan mereka, maka mereka akan mampu mempertahankan bahkan meningkatkan selfefficacy mereka. b.
Vicarious experience Vicarious experience merupakan sumber informasi dimana
seseorang belajar menerima dari luar dirinya atau orang lain yang memungkinkan mereka untuk mengamati dan meniru perilaku serta mengadopsi ke dalam pola perilaku mereka sendiri. Dalam vicarious experience, pemodelan menjadi bagian paling penting dalam perkembangan self-efficacy. Bandura berpendapat bahwa pemodelan merupakan sarana efektif untuk meningkatkan self-efficacy beliefs seseorang dan diperlukan untuk menilai kinerja seseorang itu sendiri atau membandingkan dengan kinerja yang lain (Setiadi, 2010:32). Pemodelan ini menjadi prasyarat bagi seseorang untuk melakukan kinerja yang baik, karena seseorang tersebut tidak hidup dalam isolasi sosial tetapi hidup dalam interaksi sosial.
22
c.
Verbal persuation Dalam kehidupan adalah wajar bahwa manusia mengharapkan
dan mencari pengakuan sosial ketika bekerja keras dan mencapaian sesuatu. Verbal persuation biasanya diberikan untuk perilaku tertentu, hal ini merupakan pengakuan sosial, biasanya seseorang menerima hal itu
ketika
mereka
telah
melakukan
kompetensi.
Bandura
mengungkapkan bahwa verbal persuation akan mendorong seseorang untuk melakukan upaya lebih banyak dan mempertahankan itu dalam rangka mencapai keberhasilan (Setiadi, 2010:33). Dalam pengembangan self-efficacy, Bandura berpendapat bahwa verbal persuation sering dijadikan sebagai umpan balik evaluasi terhadap kinerja yang dilakukan (Setiadi, 2010:33). Evaluasi di sini tidak selalu bermanfaat karena umpan balik seperti ini akan dapat mendorong atau menghambat pengembangan self-effcacy. Umpan balik positif akan meningkatkan keyakinan seseorang, namun kebanyakan orang menginginkan umpan balik yang realistis yang berarti harus ada kekonsistenan antara kinerja seseorang dan umpan balik yang diberikan. Seperti pendapat Bandura bahwa verbal persuation akan diterima apabila dalam kadar yang cukup (Setiadi, 2010:33). d.
Physiological and affective states Keadaan fisik dan psikis merupakan sumber informasi penting
yang membawa perubahan terhadap self-efficacy beliefs seseorang.
23
Seseorang membutuhkan energi yang banyak untuk melakukan kegiatan mekanik dan menimbulkan kelelahan fisik. Umumnya seseorang dapat mengalami lelah dan stres setelah melakukan kegiatan fisik atau emosional yang berat. Meskipun keadaaan fisiologi berpengaruh terhadap perkembangan self-efficacy seseorang, namun hal ini tidak menimbulkan efek secara langsung. Tidak seperti fenomena fisik, kondisi afektif atau emosional sulit untuk diamati dan ditafsirkan. Satu kesatuan afektif atau emosional yang memberikan kontribusi penting bagi self-efficacy adalah suasana hati (Setiadi, 2010:34). Dapat digambarkan bahwa ketika seseorang berada dalam suasana hati yang baik maka mereka akan tampil dengan baik. Sebaliknya, ketika mereka berada dalam suasana hati lemah, mereka akan menghadapi kesulitan dalam melakukan tugas-tugas tertentu. Keempat sumber self-efficacy di atas dapat menjadi faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang dalam meraih tujuan yang dikehendakinya. Self-efficacy dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau di turunkan melalui salah satu atau kombinasi dari empat sumber tersebut (Selvianti dan Aryani, 2009:280).
24
3.
Dimensi Self-Efficacy Bandura (1997:41-43) menjelaskan bahwa self-efficacy bervariasi
pada beberapa dimensi yang memiliki pengaruh penting. Self-efficacy ini berbeda dalam level, generality dan strength. a.
Level atau magnitude Level atau magnitude berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas
yang dirasakan seseorang. Self-efficacy seseorang dapat berbeda tergantung pada tuntutan tugas yang memiliki derajat kesulitan. Misalnya dari tuntutan yang sederhana, sedang, lalu meluas kepada tuntutan yang lebih berat pada satu bidang tertentu. Tingkat kemampuan seseorang diukur dari tingkatan tuntutan tugas yang menunjukkan derajat perbedaan tantangan atau hambatan untuk mencapai kesuksesan. Sifat tantangan pada self-efficacy yang dimiliki seseorang dengan yang lainnya akan bervariasi tergantung pada ruang lingkup kegiatan. Tantangan dapat dinilai sesuai tingkat kepandaian, daya juang, ketepatan, produktivitas, ancaman dan kedisiplinan diri. Jika tidak ada hambatan dalam mengatasi masalah, maka seseorang mudah untuk mengerjakan kegiatan dan setiap orang akan memiliki tingkat self-efficacy yang sama tinggi. Self-efficacy bukan merupakan sifat yang tanpa memiliki kaitan dengan situasi dan kondisi yang ada, justru situasi dan kondisilah yang “menentukan” Self-efficacy.
25
b.
Generality Seseorang dapat menilai dirinya sendiri apakah kemampuannya
berada di berbagai bidang atau hanya dalam fungsi bidang tertentu. Generality dapat bervariasi pada sejumlah dimensi yang berbeda, termasuk derajat kesamaan kegiatan, kemampuan yang diekspresikan (perilaku, kognitif, emosi), kualitas dari situasi yang ditampilkan, karakteristik seseorang berkaitan dengan kepada siapa perilaku tersebut ditunjukkan. Penilaian yang terkait domain kegiatan dan situasi kondisi dapat mengungkapkan pola dan tingkat kepercayaan seseorang dalam self-efficacy mereka. Dalam self-efficacy, beberapa hal penting datang dari orang lain, terlebih lagi Bandura (1997:43) mengatakan bahwa self-beliefs yang paling mendasar adalah struktur kehidupan di sekeliling mereka. c.
Strength Self-efficacy yang lemah mudah hilang disebabkan oleh
pengalaman yang tidak ditegaskan, sedangkan orang yang memiliki keyakinan kuat akan kemampuannya mereka akan tetap berusaha meskipun mereka dihadapkan pada hambatan dan kesulitan. Kekuatan self-efficacy yang dirasakan belum tentu berhubungan linear dengan pilihan perilaku, tetapi semakin kuat self-efficacy seseorang, maka akan semakin besar ketekunan dan semakin tinggi kemungkinan bahwa apa yang diupayakan akan berhasil dilakukan.
26
4.
Proses dan Pengaruh Self-Efficacy Terhadap Tingkah Laku Proses self-efficacy dimulai sebelum individu memilih pilihan mereka
dan memulai usaha mereka (Luthans, 2002:311). Terlebih dahulu mereka menimbang, mengevaluasi dan mengintegrasikan informasi tentang kemampuan mereka. Pada intinya dalam hal ini berhubungan dengan bagaimana mereka melihat atau percaya bahwa mereka dapat menggunakan kemampuan dan sumber daya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Bandura (1997:3) mengungkapkan bahwa keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimilikinya menimbulkan dampak yang beragam. Keyakinan tersebut akan mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan, besarnya usaha, ketahanan dalam menghadapi rintangan dan kegagalan, pola pikir, stres dan depresi yang dialami. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Perencanaan tindakan yang akan dilakukan Setelah proses evaluasi yang dilakukan oleh seseorang
menghasilkan suatu keyakinan untuk dapat mencapai tujuannya, maka selanjutnya seseorang tersebut akan membuat perencanaan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuannya tersebut. Seseorang yang memiliki self-efficacy yang tinggi tidak akan merasa ragu untuk membuat perencanaan dan serangkaian tindakan-tindakan yang akan menguntungkan dalam mencapai tujuan yang dikehendakinya.
27
b.
Besarnya usaha Besarnya usaha seseorang untuk mencapai tujuan yang
dikehendakinya
sangat
dipengaruhi
oleh
self-efficacy
yang
dimilikinya. Dengan self-efficacy yang tinggi seseorang akan menampilkan usaha yang maksimal dan akan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuannya. Sedangkan orang yang memiliki self-efficacy yang rendah akan menampilkan sedikit usaha dalam mencapai tujuannya. c.
Daya tahan dalam menghadapi rintangan dan kesulitan Dalam usaha mencapai tujuan terkadang banyak rintangan dan
kesulitan yang harus dihadapi terebih lagi tujuan tersebut sangat ideal sehingga memerlukan usaha yang cukup hebat dalam mencapainya. Seseorang dengan self-efficacy yang tinggi, akan dapat bertahan dan terus berjuang untuk mencapai tujuan karena seseorang tersebut memiliki
keyakinan
untuk
mampu
mewujudkan
harapannya.
Sedangkan seseorang dengan self-efficacy yang rendah maka akan sulit
bertahan
dan
bahkan
cenderung
berhenti
untuk
terus
mengusahakan apa yang menjadi tujuannya. d.
Resiliensi terhadap kegagalan Dalam melihat kegagalan, seseorang dengan self-efficacy yang
tinggi tidak akan menjadi putus asa, lebih dari itu justru akan memaknai hal tersebut sebagai cambuk untuk dapat lebih giat dalam berusaha dan menjadikan kegagalan sebagai sebuah langkah awal
28
dalam mencapai keberhasilan sehingga akan berusaha memperbaiki usaha-usaha
yang
dikeluarkan
sebelumnya
untuk
mencapai
keberhasilan. Berbeda dengan seseorang yang memiliki self-efficacy rendah yang cenderung berputus asa dan cenderung berhenti berusaha karena memiliki keyakinan bahwa tidak akan pernah dapat mencapai keberhasilan. e.
Pola pikir Ketika seseorang memiliki tujuan, langkah pertama yang harus
dimiliki adalah pemikiran positif terhadap kemampuan yang dimiliki. Pemikiran positif tersebut akan membuat seseorang berani untuk bertindak. Tinggi rendahnya self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi pola pikir seseorang tersebut dalam usaha mencapai tujuan. f.
Stres dan depresi Tidak sedikit dalam meraih apa yang diharapkan terkadang
dalam perjalanannya menemui kesulitan yang luar biasa sehingga dapat menyebabkan tekanan yang menjadikan seseorang mengalami stres maupun depresi. Stres dan depresi dapat disebabkan oleh kecemasan yang berlebihan. Kecemasan yang berlebihan akan membuat usaha-usaha yang dilakukan menjadi berantakan. Penelitian yang dilakukan oleh Musfirah, Rahmahana dan Kumolohadi (2003) tentang
self-efficacy
dengan
kecemasan
dalam
menggunakan
komputer yang menunjukkan bahwa semakin tinggi self-efficacy yang
29
dimiliki seseorang semakin rendah kecemasan dalam menggunakan komputer begitu pula sebaliknya. g.
Tingkat prestasi yang direalisasikan Seseorang akan menentukan target, dengan terlebih dahulu
melihat kemampuan yang dimilikinya. Dengan self-efficacy yang tinggi seseorang akan menetapkan target yang tinggi sedangkan seseorang yang memiliki self-efficacy yang rendah maka seseorang tersebut akan menetapkan target yang dapat direalisasikannya dan tidak akan menetapkan target yang tidak dapat direalisasikannya. 5.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-efficacy Remaja Masa remaja merupakan masa yang penting dalam tahap transisi
seseorang (Bandura, 1997). Masa ini disebut juga masa yang penuh tantangan, disebut demikian karena tidak sedikit remaja yang mengalami masalah dan kekacauan. Pada masa remaja, seseorang dihadapkan pada berbagai aturan orang dewasa yang harus diterapkan dalam setiap segi kehidupan. Oleh sebab itu, remaja harus mulai berpikir serius tentang apa yang harus mereka lalukan untuk hidup mereka. salah satunya adalah remaja harus mulai belajar menguasai keterampilan dan belajar bagaimana cara hidup orang dewasa. Pada sebagian remaja, bukan merupakan hal yang mudah untuk menjalani tuntutan tersebut, sehingga pada masa ini remaja harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka mampu melewati dan menjalankan tuntutan yang ada. Keyakinan tersebut disebut dengan selfefficacy. Remaja yang memiliki self-efficacy yang positif ialah remaja yang
30
yakin bahwa dirinya mampu menjalankan tugas perkembangan sebagai seorang remaja dan cenderung mampu melewati masa remaja ini dengan baik. Sebaliknya remaja yang memiliki self-efficacy yang negatif akan cenderung mengalami kebingungan dan bermasalah pada masa remaja ini. Pembentukan self-efficacy pada remaja tidak terlepas dari pengaruh yang menyertainya. Pengaruh tersebut diantaranya adalah pengaruh dari keluarga, teman sebaya dan lingkungan sekolah. 1.
Keluarga Dalam hal ini orang tua dan anggota keluarga memiliki peranan
penting dalam pembentukan self-efficacy remaja. Pola asuh orang tua dan interaksi yang baik dengan anggota keluarga merupakan faktor pendukung untuk membentuk self-efficacy yang positif pada remaja. Selain kedua faktor tersebut, keluargapun dapat dijadikan sumber modeling bagi remaja. Ketika dalam sebuah keluarga banyak terdapat anggota keluarga yang berhasil, secara tidak langsung seorang remaja akan memiliki keyakinan bahwa kelak dirinya akan berhasil seperti keluarganya. namun jika kebanyakan dalam anggota keluarga tidak ada yang berhasil, maka remaja yang ada dalam keluarga tersebut akan cenderung tidak memiliki harapan dan tidak memiliki keyakinan bahwa ia mampu untuk berhasil. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa keluargalah yang menjadi tempat awal seorang remaja dapat mengembangkan self-efficacy dalam menghadapi kehidupannya.
31
2.
Teman sebaya Self-efficacy
seseorang
remaja
berkembang
melalui
keikutsertaan mereka dalam komunitas yang luas (Bandura, 1997). Dalam komunitas tersebut, seorang remaja akan mulai memaknai arti dari teman sebaya. Teman sebaya memegang peranan penting terhadap perkembangan self-effiaccy remaja. Hal tersebut dilakukan dengan melihat tingkatan usia. Dimana anak yang lebih dewasalah menjadi model mereka dalam meningkatkan kemampuan berpikir dan bertingkah laku (Bandura, 1997). Banyak pembelajaran nilai sosial terjadi antara teman sebaya. Biasanya remaja lebih cenderung sensitif terhadap perbandingan dengan teman sebayanya dalam hal pencapaian prestasi dan keterarahan. remaja akan cenderung memilih teman yang memiliki kesukaan dan paham yang sama. Pemilihan teman sebaya yang selektif akan meningkatkan
self-efficacy
dalam
melakukan
hal-hal
yang
menguntungkan. Pengaruh sosial berkembang dalam berinteraksi dengan teman sebaya terbagi menjadi menjadi dua arah yaitu yang pertama adalah remaja mengambil contoh atau model yang dijadikan sumber acuan dalam melakukan suatu hal dan diri remaja sendiri yang menentukan sikap teman sebaya dan hal apa saja yang dilakukan. Karena teman sebaya sebagai perantara utama dalam perkembangan self-efficacy, maka pilihan teman sebaya akan mempengaruhi perkembangan self-efficacy remaja.
32
3.
Sekolah sebagai sarana meningkatkan self-efficacy Selama periode perkembangan kehidupan remaja, sekolah
berfungsi sebagai pengatur utama dalam mengembangkan dan menerapkan
kemampuan
kognitif
(Bandura,
1997).
Sekolah
merupakan tempat remaja mengembangkan kompetensi kognitif dan memperoleh pengetahuan serta
keterampilan pemecahan masalah
untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat. Di sini pengetahuan dan keterampilan berpikir secara terus-menerus diuji, dievaluasi, dan dibandingkan. Saat remaja menguasai kemampuan kognitif, mereka pun mulai mengembangkan kemampuan intelektualnya (Bandura, 1997). Schunk (Bandura, 1997) mengungkapkan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penilaian remaja terhadap kemampuan intelektual yang dimilikinya yaitu keterampilan teman sebaya, perbandingan tindakan mereka dengan tindakan orang lain dan penilaian guru terhadap kegagalan dan keberhasilan mereka. selanjutnya Bandura dan Schunk (Bandura, 1997) mengingatkan bahwa keyakinan akan kemampuan yang kuat, akan meningkatkan motivasi, prestasi belajar dan menambah rasa suka terhadap mata pelajaran. Dalam pengembangan self-efficacy siswa di sekolah, penilaian diri siswa yang kurang pandai, akan semakin menurun ketika dalam kelas tersebut seluruh siswa mempelajari materi yang sama dan guru sering melakukan evaluasi perbandingan. Ketika perbandingan sosial
33
itu standar, para siswa akan menilai diri mereka berdasarkan kemampuan mereka yang diakui oleh orang lain. siswa lebih senang menilai perkembangan mereka dengan standar mereka
sendiri
dibandingkan dengan standar orang lain. mereka berhak menyeleksi siapa saja yang pantas dijadikan perbandingan yang kemudian akan mereka ikuti. Pemaparan di atas, berkaitan dengan metode pembelajaran di kelas. Terdapat dua metode pembelajaran yang dapat di terapkan sekolah, yaitu metode pembelajaran yang kooperatif dan kompetitif. Metode pembelajaran kooperatif dapat mendorong siswa untuk menghasilkan pencapaian prestasi yang lebih baik dan para siswapun akan merasa bahwa mereka mampu, lebih mudah mengerti dan lebih mudah merasa puas. Lain halnya dengan metode pembelajaran kompetitif dimana siswa yang pandai akan merasa lebih hebat dan mengejek siswa yang gagal. Tetapi dampak negatif ini akan dapat dihindari jika masing-masing siswa memiliki hal-hal yang berbeda untuk ditunjukan dan tentu saja harus ada usaha kerjasama yang disusun dengan baik. Meskipun demikian, siswa pun harus belajar menghadapi situasi yang tidak menyenangkan seperti adanya perbedaan pengetahuan dan kemampuan. Oleh sebab itu seharusnya pendidikan dilakukan tidak hanya untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk digunakan saat ini saja, tetapi harus lebih dari itu yaitu harus mampu memberikan siswa keyakinan bahwa mereka
34
mampu melakukan apa yang harus dilakukan di masa yang akan datang. Bandura (1997) mengungkapakan bahwa siswa yang memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu berprestasi secara akademik dan mampu mengatur proses belajarnya, maka siswa tersebut akan cenderung prososial dan jarang ditolak oleh teman sebayanya. Berbeda dengan siswa yang terlalu di bebani dengan rasa ketidakpercayaan kepada kemampuan yang dimilikinya ia akan cenderung tidak berhubungan baik dengan teman sebayanya bahkan dapat menyebabkan tingkah laku agresif. 6.
Cara Meningkatkan Self-Efficacy Santrock (1999) mejelaskan bahwa terdapat empat langkah dalam
meningkatkan self-efficacy. a.
Memilih suatu tujuan yang di harapkan untuk berhasil.
b.
Memisahkan pengalaman masa lalu dengan rencana yang sedang dijalani saat ini.
c.
Tetap mempertahankan prestasi yang telah dicapai saat ini dan sebelumnya.
d.
Membuat daftar atau urutan kegiatan dari yang paling mudah hingga kegiatan yang paling sulit.
35
B.
Teori Belajar dan Prestasi Belajar 1.
Pengertian Belajar Dalam kehidupan sehari-hari tentunya tidak asing dengan kata belajar.
Kata belajar sering kita kaitkan dengan pendidikan formal atau seting sekolah dimana ada guru sebagai pendidik dan murid sebagai peserta didiknya yang disertai dengan proses belajar mengajar di dalamnya. Padahal tidak selamanya proses belajar mengajar hanya dilakukan dalam seting sekolah akan tetapi dapat dilakukan juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Winkel (2009) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu aktifitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan, keterampilan dan nilai serta sikap. Syah (2008:68) mendefinisikan belajar sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Slameto (2010:2) menyatakan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan aktifitas mental atau proses kognitif yang dihasilkan dari pengalaman yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan untuk menghasilkan perubahan perilaku. Thursan Hakim (Sunarto, 2009)
36
mengatakan bahwa perubahan tersebut dapat diartikan adanya peningkatan dalam beberapa hal seperti misalnya perubahan dalam penambahan pengetahuan, peningkatan prestasi, keterampilan, daya pikir, dan lain sebagainya. Selaras dengan ungkapan Thursan Hakim bahwa perubahan tingkah laku ditandai dengan adanya peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan seseorang dalam berbagai bidang, namun jika tidak ada peningkatan secara kualitas maupun kuantitas maka dapat dikatakan bahwa seseorang itu mengalami kegagalan dalam proses belajarnya (Sunarto, 2009). 2.
Pengertian Prestasi Belajar Prestasi belajar terdiri dari dua suku kata yaitu prestasi dan belajar.
Prestasi diartikan sebagai bukti usaha yang dapat dicapai, sedangkan belajar diartikan sebagai suatu proses mental yang mengarah kepada penguasaan pengetahuan, kecakapan/skill, kebiasaan atau sikap, yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif (Winkel, 1983). Prestasi terbagi menjadi tiga bagian yaitu prestasi akademis, prestasi belajar dan prestasi kerja (Sudibyo AP, 2005). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:787) prestasi belajar diartikan sebagai penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Prestasi belajar juga diartikan sebagai hasil yang diperoleh atau di capai siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar yang diberikan oleh
37
guru (Kertamuda, 2008:28). Sedangkan menurut Arikunto (2010a:4) prestasi belajar adalah hasil dari kegiatan belajar mengajar. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh oleh siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran yang diberikan oleh guru berupa angka atau nilai. 3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Belajar merupakan suatu proses untuk menghasilkan suatu prestasi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi belajar yang sekaligus mempengaruhi prestasi belajar yang dicapai seseorang. Faktor-faktor tersebut digolongkan ke dalam dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu (Slameto, 2010:54). a.
Faktor Internal Faktor internal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar adalah
faktor jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor kelelahan (Slameto, 2010:54). 1)
Faktor jasmaniah Faktor jasmaniah di sini ialah kesehatan. Kesehatan
seseorang berpengaruh terhadap proses belajarnya dan dapat berpengaruh juga pada pencapaian prestasi belajarnya. Agar seseorang dapat belajar dan meraih prestasi belajar dengan baik maka seseorang tersebut harus mengusahakan agar kesehatan
38
badannya tetap terjaga agar dapat berusaha dengan maksimal dalam meraih prestasi. 2)
Faktor psikologis Faktor psikologis dapat mempengaruhi kuantitas dan
kualitas belajar dan prestasi seseorang. Banyak faktor yang merupakan aspek psikis berpengaruh terhadap proses belajar dan prestasi belajar. Faktor-faktor tersebut adalah inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kesiapan (Slameto, 2010:55). 3)
Faktor kelelahan Kelelahan yang dialami seseorang dibedakan menjadi dua,
yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani (Slameto, 2010:59). Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh, kelelahan ini terjadi karena terjadinya kekacauan substansi sisa pembakaran di dalam tubuh sehingga darah kurang lancar pada bagian-bagian tubuh tertentu. Sedangkan kelelahan rohani dapat terjadi karena terus-menerus memikirkan permasalahan yang dianggap berat. Kelelahan rohani terlihat dengan adanya kelesuan, kelelahan ini terasa pada bagian kepala dengan pusing-pusing sehingga sulit untuk berkonsentrasi seolah kehabisan daya untuk bekerja.
39
b.
Faktor eksternal Faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dan prestasi belajar
dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat (Slameto, 2010:60). 1)
Faktor keluarga Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan
utama. Sebelum seorang anak mendapatkan pendidikan di sekolah, seorang anak mendapatkan pendidikan yang pertama dari keluarganya. Keluarga menjadi faktor terpenting dalam membentuk dan peningkatan prestasi anak. Hal yang dapat mempengaruhi belajar maupun prestasi belajar anak adalah cara orang tua dalam mendidik anak, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, perhatian orang tua dan latar belakang kebudayaan. 2)
Faktor sekolah Sekolah merupakan sarana belajar anak setelah lingkungan
keluarga. Lingkungan skolah memiliki pengaruh yang kuat dalam proses belajar maupun pencapaian hasil belajar (prestasi belajar). Terdapat beberapa hal dalam lingkungan sekolah yang mempengaruhi belajar dan prestasi siswa yaitu metode mengajar yang digunakan oleh guru, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran diatas ukuran, keadaan gedung,
40
metode belajar siswa dan tugas rumah (Slameto, 2010). Semua faktor tersebut dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. 3)
Faktor masyarakat Masyarakat
merupakan
faktor
ekstern
yang
juga
mempengaruhi belajar dan prestasi belajar siswa. hal-hal yang dapat mengganggu proses belajar dan pencapaian prestasi belajar siswa di lingkungan masyarakat diantaranya adalah kegiatan dalam masyarakat, mass media, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat. Semua hal tersebut dapat menjadi faktor-faktor penguat atau bahkan menjadi faktor penghambat siswa dalam belajar dan pencapaian prestasinya. 4.
Pengukuran Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan hasil dari kegiatan dalam bidang
pendidikan. Untuk mencapai prestasi belajar, terlebih dahulu siswa harus mengikuti rangkaian kegiatan belajar mengajar (KMB) dan selanjutnya guru akan mengukur prestasi belajar siswa dengan cara memberikan tes prestasi belajar kepada siswa. Tes prestasi belajar adalah suatu tes yang disusun secara terencana untuk mengungkap performansi maksimal subjek dalam menguasai bahan atau materi yang telah diajarkan (Azwar, 2009:9). Tes prestasi belajar merupakan alat yang digunakan dalam pengukuran prestasi belajar siswa. Dalam bidang pendidikan pengukuran identik dengan kata evaluasi dan sering disebut dengan evaluasi belajar atau evaluasi pendidikan.
41
Pengertian evaluasi pendidikan selalu dikaitkan dengan prestasi belajar siswa, selanjutnya Ralph Tyler mendefinisikan evaluasi sebagai sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai evaluasi belajar atau evaluasi pendidikan sering dikaitkan dengan prestasi siswa (Arikunto, 2010a:3). Dalam pembelajaran di sekolah, guru adalah pihak yang bertanggung jawab atas hasil pembelajaran yang diberikan kepada siswanya. Dengan demikian terlebih dahulu guru harus dibekali ilmu atau tata cara mengevaluasi hasil belajar siswa untuk mendukung tugasnya, yakni mengevaluasi hasil belajar siswa (Arikunto, 2010a). Dalam penilaian dan mengevaluasi mengenai prestasi belajar, terdapat beberapa tujuan dan fungsi (Arikunto, 2010a:10-11) yaitu: a.
Penilaian berfungsi selektif Penilaian selektif ini berfungsi untuk mengadakan seleksi atau
penilaian terhadap siswanya dengan tujuan: 1)
memilih siswa yang dapat diterima di sekolah tertentu,
2)
memilih siswa yang dapat naik kelas atau tingkat berikutnya,
3)
memilih siswa yang seharusnya mendapat beasiswa, dan
4)
memilih siswa yang sudah berhak meninggalkan sekolah.
42
b.
Penilaian berfungsi diagnostik Penilaian
ini
dilakukan
untuk
mendiagnosis
kesukaran-
kesukaran, mendeteksi kelemahan-kelemahan siswa untuk dapat diperbaiki segera. c.
Penilaian berfungsi sebagai penempatan Penilaian ini dilakukan oleh guru dengan cara menilai
kemampuan masing-masing siswa kemudian siswa yang memiliki kemampuan sama akan menempati kelompok dengan siswa yang memiliki kemampuan sama. d.
Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan Penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana suatu
program berhasil diterapkan kepada siswa. Hasil penilaian guru dapat berupa huruf ataupun angka. Penilaian tersebut berbeda-beda ada yang menggunakan huruf seperti A, B, C dan D atau dengan menggunakan angka dengan rentang 0 – 10 dan 0 – 100 (Suyabrata, 2008:296).
C.
Hubungan Antara Self-Efficacy dengan Prestasi Belajar Secara luas, kemampuan siswa dalam bidang akademik dipengaruhi oleh
kemampuan kognitif. Siswa yang memiliki kemampuan kognif yang tinggi cenderung lebih berhasil daripada siswa yang memiliki kemampuan kognitif yang rendah. Meskipun kemampuan kognitif sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam meraih prestasi, namun tidak selamanya kemampuan kognitif atau
43
intelektual dapat diterjemahkan sebagai faktor utama dalam menentukan keberhasilan siswa dalam meraih prestasi mengingat bahwa hubungan IQ dengan prestasi belajar berada pada kisaran moderat (Zimmerman dan Cleary, 2006). Banyak orang yang memiliki kemampuan kognitif yang tinggi namun ia tidak memiliki prestasi yang baik, begitupun banyak orang yang memiliki kemampuan kognitif yang biasa-biasa saja namun dapat memiliki prestasi yang tinggi. Banyak faktor lain selain kemampuan kognitif yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, diantaranya faktor yang berkaitan dengan keberanian dan keyakinan diri akan kemampuan yang dimiliki individu. Hal ini menjadikan self-efficacy dapat dijadikan suatu pertimbangan dalam menentukan seberapa baik prestasi belajar yang dapat dicapai oleh individu. Dalam dunia pendidikan, prestasi belajar yang tinggi merupakan tujuan semua pihak. Untuk mencapai prestasi belajar yang baik diperlukan berbagai usaha yang harus dilakukan. Seseorang akan berani untuk melakukan berbagai macam tindakan, ketika seseorang tersebut merasa yakin bahwa sesuatu yang ditujunya akan berhasil diraih begitupun sebaliknya. Keyakinan tersebut yang mendorong seseorang untuk terus bertahan dalam usahanya mencapai tujuan. Self-efficacy merupakan suatu pemicu bagi seseorang dalam melakukan tindakan untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya. Self-efficacy dalam bidang akademik berkaitan dengan keyakinan siswa akan kemampuannya dalam melakukan tugas-tugas, mengatur kegiatan belajar, hidup dengan harapan akademis mereka sendiri dan orang lain. Sehingga dapat disimpulksan bahwa semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki oleh seorang siswa, maka siswa tersebut
44
akan mengeluarkan usaha yang cukup besar agar mereka dapat meraih prestasi yang tinggi.
D.
Penelitian Terdahulu yang Relevan dengan Self-Efficacy dalam Belajar dan Prestasi Belajar Penelitian tentang self-efficacy dan prestasi belajar ini bukan merupakan
penelitian yang baru, karena telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang hampir sama dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan. Prestasi belajar yang tinggi tidak terlepas dari faktor-faktor yang mendukungnya. Faktor internal dan eksternal dari siswa sangat berkontribusi dalam menentukan tinggi rendahnya prestasi yang dicapainya. prestasi belajar juga berkaitan dengan self-efficacy. Kaitan tersebut telah dibuktikan oleh Partino (1999) dalam studi meta analisisnya yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara efikasi diri (self-efficacy) dengan unjuk kerja. Unjuk kerja dapat diartikan sebagai performance dan merupakan konstruk yang tidak dapat secara langsung diamati. Performance dapat dibatasi sebagai unjuk kerja seseorang dalam menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan tertentu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Partino (1999) unjuk kerja yang dimaksud memliki bentuk seperti prestasi akademik, pengambilan keputusan karir dan pengusaan keterampilan. Penelitian yang dilakukan oleh Wasito (2004) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan kausal positif antara self-efficacy dengan prestasi akademik dengan koefisien korelasi sebesar 0,472. Hubungan kausal ini bertindak langsung
45
maupun tidak langsung, namun dari hasil penelitian yang dilakukan hubungan kausal langsung lebih kuat daripada hubungan kausal tidak langsung sehingga penelitian tersebut menyimpulkan bahwa prestasi akademik dipengaruhi langsung oleh self-efficacy. Penelitian yang dilakukan oleh Susilowati (2009) terhadap siswa-siswi kelas XII SMA Negeri 8 Surakarta yang berjumlah 123 siswa menyatakan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara efikasi diri (self-efficacy) dengan prestasi belajar siswa. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2007) yang berjudul “hubungan antara self-efficacy, penyesuaian diri dengan prestasi akademik mahasiswa” menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara self-efficacy dan prestasi akademik mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi self-efficacy maka semakin tinggi pula prestasi akademik mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi berusaha atau mencoba lebih keras dalam menghadapi tantangan dan sebaliknya orang yang memiliki self-efficacy yang rendah akan mengurangi usaha mereka untuk bekerja dalam situasi yang sulit. Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Litasari (2003) yang menyatakan bahwa semakin tinggi selfefficacy pada matematika semakin tinggi pula minat mengikuti bimbingan belajar. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada karakteristik sampel, kekhasan permasalahan yang ada, lokasi dan metode penelitian yang digunakan.
46
E.
Kerangka Berpikir Mencapai prestasi belajar yang tinggi merupakan harapan semua siswa. pencapaian prestasi tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor yang mendukungnya. Bandura (Santrock, 2009:216) mengungkapkan bahwa selfefficacy merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan apakah siswa berprestasi atau tidak. Self-efficacy merupakan keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan memberikan hasil positif. Self-efficacy ini dibangun dalam hubungan triadik antara sifat-sifat pribadi, pola perilaku dan faktor lingkungan. Hubungan tersebut tidak terjadi secara otomatis, bisa jadi melalui proses yang panjang (Setiadi, 2010). Ketiga komponen tersebut digambarkan saling berhubungan dan tidak terputus. Hal ini mengindikasikan ketiga komponen tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam pembangungan self-efficacy, seseorang akan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya pengalaman dan lingkungan. Pengalaman dan lingkungan ini dapat dijadikan sebagai sumber terbentuknya self-efficacy. Bandura (Setiadi, 2010) mengungkapkan bahwa terdapat empat sumber utama yang memberikan kontribusi penting pada pembangunan self-efficacy seseorang (siswa) yaitu enactive mastery experience (Pengalaman kegagalan dan keberhasilan), vicarious experience (pengalaman orang lain atau figur modeling), verbal persuation (pengakuan orang lain) dan physiological and affective states (kadaan fisik dan emosional). Bandura (Setiadi, 2010) mengingatkan bahwa sumber-sumber tersebut tidak dapat secara otomatis
47
membentuk self-efficacy, sumber-sumber self-efficacy tersebut harus diproses terlebih dahulu melalui pemikiran kognitif yang melibatkan sistem diri. Adapun fungsi dari sistem diri ini adalah untuk mengatur perilaku secara terus menerus yang terlibat dalam pengamatan diri, proses menilai dan reaksi terhadap perilaku sendiri. Pada umumnya, jika siswa memiliki sumber self-efficacy yang positif dan dapat diterima oleh sistem diri dan sitem kognitif, maka akan melahirkan self-efficacy yang tinggi sehingga akan melahirkan usaha yang maksimal sehingga siswa dapat mencapai prestasi yang tinggi. Sedangkan subjek yang memiliki sumber self-efficacy yang negatif, maka akan melahirkan self-efficacy yang rendah sehingga akan melahirkan usaha yang minimal dan siswa hanya mencapai prestasi yang rendah. Selanjutnya, karena pembangunan self-efficacy seseorang (siswa) ini dibangun dalam hubungan triadik, maka prestasi belajar atau tujuan-tujuan yang telah dicapai seseorang (siswa) secara tidak langsung akan mempengaruhi lingkungan dan dijadikan pengalaman oleh seseorang (siswa) tersebut yang nantinya akan dijadikan sebagai informasi atau sumber self-efficacy dalam mencapai tujuan yang sama.
48
Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini, dapat diilustrasikan dengan gambar berikut ini.
Pengalaman dan Lingkungan
Sistem Diri Struktur Kognitif SE Tinggi
Usaha Maksimal
Prestasi Belajar Tinggi
SE Rendah
Usaha Minimal
Prestasi Belajar Rendah
Self-Efficacy
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Hubungan antara Self-Efficacy dengan Prestasi Belajar Siswa