17
BAB II KAJIAN TEORITIS KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAKKANAK DAN METODE BCCT (BEYOND CENTRES AND CIRCLE TIME) A. Konsep Keterampilan Sosial Anak Taman Kanak-kanak 1. Definisi dan Teori Keterampilan Sosial Bandura (Santrock, 2007) sebagai pelopor teori belajar sosial mengemukakan bahwa teori belajar sosial (social learning theory) ialah pandangan para pakar psikologi yang menekankan perilaku, lingkungan, dan kognisi sebagai faktor kunci dalam perkembangan. Dalam teorinya Bandura yakin bahwa faktor-faktor pribadi (personal), kognitif (cognitive), perilaku (behavior) dan lingkungan (environment) mempunyai hubungan timbal balik, bukan searah dalam perkembangan sosial anak TK, dan Vigostsky meyakini pengalaman interaksi sosial sangat penting bagi perkembangan proses berpikir anak atau kognitifnya (Santrock, 2007). Dari teori tersebut di atas maka melahirkan beberapa definisi tentang keterampilan sosial, diantaranya sebagai berikut: Mussen, at al (Lismayanti, 2008) menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah istilah yang digunakan oleh para ahli psikologi untuk mengacu pada tindakan moral yang diekspresikan secara kultural, seperti berbagi, membantu seseorang yang membutuhkan, bekerjasama dengan orang lain, dan mengungkapkan simpati. Selanjutnya menurut Cartledge dan Milburn (Syaodih, 2007: 50) menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan seseorang saat memecahkan masalah sehingga dapat beradaptasi secara harmonis dengan
18
masyarakat di sekitarnya. Keterampilan sosial juga melibatkan faktor-faktor afektif, terutama dalam pengungkapan keterampilan tersebut. Sementara menurut Ahmad (Kurniati dalam Lismayanti, 2008) menyebutkan bahwa keterampilan sosial yang dimiliki anak adalah kemampuan untuk mereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap lingkungan sosial yang merupakan persyaratan bagi penyesuaian yang baik, kehidupan yang memuaskan dan dapat diterima masyarakat. Secara singkat Setiawati (2008) mengungkapkan bahwa keterampilan sosial pada anak adalah salah satu hal penting dalam membantu anak untuk bisa mempunyai teman dan berinteraksi dengan orang lain, serta
membantu perkembangan anak
dalam menjalani tugas perkembangannya. Senada dengan pernyataan sebelunya, Nasution (2010) menyebutkan bahwa keterampilan sosial anak merupakan cara anak dalam melakukan interaksi, baik dalam bertingkah laku maupun dalam hal berkomunikasi dengan orang lain. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa: • Keterampilan sosial adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain secara baik sehingga mudah diterima sesuai harapan lingkungan. • Keterampilan sosial adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menyeimbangkan kemampuan proses berpikir atau kognitif yang diekspresikan
19
secara kultural, seperti berbagi, membantu seseorang yang sedang membutuhkan, dan mengungkapkan simpati.
2. Jenis-jenis Keterampilan Sosial Beaty (Afiati dalam Lismayanti, 2008) menyebutkan bahwa keterampilan sosial atau disebut juga prosocial behavior mencakup perilaku-perilaku seperti: a. Empati yang di dalamnya anak-anak mengekspresikan rasa haru dengan memberikan perhatian kepada seseorang yang sedang tertekan karena suatu masalah dan mengungkapkan perasaan orang lain yang sedang mengalami konflik sebagai bentuk bahwa anak menyadari perasaan orang lain. b. Kemurahan hati atau kedermawanan yang di dalamnya anak-anak berbagi dan memberikan barang sesuatu miliknya kepada seseorang. c. Kerjasama yang di dalamnya anak-anak mengambil giliran atau bergantian menuruti perintah secara suka rela tanpa menimbulkan pertengkaran. d. Memberi bantuan yang di dalamnya anak-anak membantu seseorang untuk melengkapi suatu tugas dan membantu seseorang yang membutuhkan. Menurut Hurlock (1996: 118) pola-pola perilaku sosial yang ditampilkan anak-anak adalah sebagai berikut: a. Meniru, agar sama dengan kelompok, anak meniru sikap dan perilaku orang yang sangat dikaguminya.
20
b. Persaingan, keinginan untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain tampak pada usia empat tahun. Ini dimulai di rumah dan kemudian berkembang dalam bermain dengan anak di luar rumah. c. Kerjasama, pada akhir tahun ketiga bermain kooperatif dan kegiatan kelompok mulai berkembang dan meningkat baik dalam frekuensi maupun lamanya berlangsung, bersamaan dengan meningkatnya kesempatan untuk bermain dengan anak lain. d. Simpati, karena simpati membutuhkan pengertian tentang perasaan-perasaan dan emosi orang lain maka hal ini hanya kadang-kadang timbul sebelum tiga tahun, semakin banyak kontak bermain, semakin cepat simpati akan berkembang. e. Dukungan sosial, menjelang berakhirnya masa anak-anak, dukungan dari temanteman menjadi lebih penting daripada persetujuan orang-orang dewasa. Anak beranggapan bahwa perilaku nakal merupakan cara untuk memperoleh dukungan dari teman-teman sebaya. f. Membagi, dari pengalaman bersama orang lain, anak mengetahui bahwa salah satu cara memperoleh persetujuan sosial adalah dengan membagi miliknya, terutama mainan unuk anak lain. Lambat laun sifat mementingkan diri sendiri berubah menjadi sifat murah hati. g. Perilaku akrab, anak yang pada bayi memperoleh kepuasan dari hubungan yang hangat, erat, dan personal dengan orang lain berangsur-angsur memberikan kasih sayang kepada orang di luar rumah, seperti guru taman kanak-kanak atau benda-
21
benda mati seperti mainan kesukaannya atau bahkan selimut. Benda-benda ini disebut “objek kesayangan”. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pada masa usia dini (TK) kondisi sosial emosi anak-anak masih sangat rentan dan membutuhkan stimulasi yang berkesinambungan yang disesuaikan dengan tahap perkembangannya dan didukung dengan lingkungan yang kondusif, agar potensi keterampilan sosial yang sudah ada dapat dikembangkan dengan optimal. Seperti, memberikan kesempatan
kepada
anak
untuk
mengekspresikan
pengetahuan
dan
pengalamannya melalui kegiatan yang bermanfaat baik di rumah ataupun di sekolah.
3. Tahap Perkembangan Keterampilan Sosial Bar-Tal, et al. (Martini dalam Lismayanti, 2008:18) mengemukakan enam tahap perkembangan perilaku sosial. Ke enam tahap perkembangan perilaku sosial tersebut adalah sebagai berikut: a. Tahap Compliance and Concrete Defined Reinforcement Pada tahap ini seseorang akan melakukan perilaku menolong berdasarkan permintaan dan perintah yang disertai oleh janji akan adanya reward kongkrit atau ancaman nyata akan adanya punishment. Pada tahap ini perspektif sosial anak akan bersifat egosentris, sehingga tidak menyadari bahwa orang lain dapat memiliki pikiran dan perasaan yang berbeda dengan perilaku sosial yang
22
ditampilkan anak berdasarkan pada pemahaman terhadap reward atau punishment secara kongkrit. b. Tahap Compliance Pada tahap ini individu akan melakukan perilaku menolong karena tunduk dan taat pada otoritas atau orang yang dianggap memiliki kekuasaan. Individu tidak memiliki inisiatif sendiri untuk melakukan
pertolongan, melainkan
pertolongan dilakukan karena taat pada perintah dan permintaan orang yang memiliki kekuasaan. Perilaku menolong dimotivasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan dan menghindari punishment. Pada tahap ini individu tidak lagi membutuhkan reinforcement kongkrit sebab dia menyadari adanya kekuasaan ototritas, dalam hal ini, reinforcement diartikan sebagai persetujuan. c. Tahap Internal Initiative and Concrete Reward Pada tahap ini, individu secara spotan berinisiatif untuk menolong agar memperoleh reward. Perilaku individu dimotivasi oleh keinginanya untuk mendapatkan keuntungan atau reward untuk memuaskan dirinya. Perilaku menolong dilakukan seseorang jika dia menganggap bahwa hal tersebut merupakan sesuatu kesempatan untuk memperoleh reward kongkrit. d. Tahap Normative Behavior Pada tahap ini, individu melakukan perilaku menolong karena tunduk pada norma atau untuk mematuhi tuntutan sosial, agar tidak melanggar norma yang berlaku. Individu menyadari adanya berbagai perilaku yang memiliki kesesuaian dengan norma yang dapat mendatangkan sangsi positif, dan
23
menghindari adanya pelanggaran norma yang mendatangkan sangsi negatif. Perilaku menolong pada tahap ini, dilakukan individu agar dapat dikatakan sebagai orang yang baik dimata orang lain. e. Tahap Generalized Reciprocity Pada tahap ini, perilaku menolong individu didasari oleh prinsip-prinsip umum dan pertukaran. Individu memberikan pertolongan karena dia percaya pada suatu saat jika membutuhkan pertolongan, maka dia akan mendapatkannya dari orang lain. Hal ini merupakan persetujuan sosial yang resiprositas atas dasar kontrak yang abstrak. Reward yang diharapkan oleh seseorang dalam melakukan perilaku menolong adalah non kongkrit. Prinsip-prinsip pertukaran terhadap norma resiprositas, yaitu: 1) seseorang akan menolong pada orang yang telah menolongnya, dan 2) seseorang tidak akan merugikan orang yang telah menolongnya. Norma ini sangat berfungsi untuk menstabilkan hubungan antara manusia dalam masyarakat, melindungi seseorang dari kekuasaan yang akan menodai statusnya, memotivasi dan mengtur hukum resiprositas sebagai pola pertukaran, dan melindungi seseorang dari hubungan yang eksploitatif f. Tahap Altruistik Behavior Pada tahap ini inisiatif individu untuk memberikan pertolongan sukarela dan hanya untuk menguntungkan orang lain, tanpa mengharapkan reward eksternal. Perilaku menolong dilakukan karena kemauan sendiri yang didasari oleh prinsip-prinsip moral, individu memperhatikan keselamatan, kebutuhan, dan simpatik pada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Itu semua dilakukan
24
individu tanpa mengharapkan keuntungan timbal balik dari orang lain, kecuali adanya rasa self-rewarded, yaitu adanya rasa kepuasan dan penghargaan pada diri sendiri. Dari uraian tentang tahapan perilaku sosial di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan keterampilan sosial setiap individu akan berkembang sesuai dengan tahapannya secara optimal apabila didukung dengan treatment yang diperoleh dari lingkungannya. Pola-pola interaksi yang diterima oleh individu pada masa usia dini akan sangat penting karena akan berpengaruh bagi perkembangan kepribadian dan perilaku seseorang di masa mendatang. Maka seyogianya keterampilan sosial perlu dibina sejak dini karena akan menjadi pondasi bagi perilaku anak selanjutnya.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial Sunarto dan Hartono (1995:130) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan sosial anak TK, diantarnya adalah: a. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu antara lain: kapasitas mental, emosi dan inteligensi serta kematangan harga diri. 1) Kapasitas Mental, Emosi dan Inteligensi Anak yang berkemampuan intelektual tinggi akan berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu, kemampuan intelektual tinggi, kemampuan berbahasa
25
baik dan pengendalian emosional secara seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak. 2) Kematangan Bersosialisasi membutuhkan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu mempertimbangkan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional. b. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku sosial anak antara lain; faktor keluarga, status sosial ekonomi, dan guruan
(Hafi, 2008).
1) Keluarga a) Lingkungan rumah Jika lingkungan rumah secara keseluruhan memupuk sikap sosial yang baik, kemungkinan besar anak akan menjadi pribadi sosial dan sebaliknya. b) Hubungan antara ayah dan ibu, anak dan saudaranya mempunyai pengaruh yang sangat kuat. c) Posisi Anak dalam Keluarga Anak yang lebih tua atau yang jarak umurnya dengan saudaranya terlalu jauh, atau satu-satunya anak yang jenis kelaminnya lain dari saudara-saudaranya, cenderung lebih banyak menyendiri ketika bersama anak-anak lain. Anak yang jenis kelaminnya sama dengan saudara-saudaranya menemukan kesulitan dalam bergaul
26
dengan teman yang jenis kelaminnya berlainan tetapi mudah membina pergaulan dengan anak yang jenis kelaminnya sama. d) Ukuran Keluarga Sebagai contoh, anak tunggal sering mendapatkan perhatian yang lebih dari semestinya. Akibatnya mereka mengharapkan perlakuan yang sama dari orang luar dan jengkel jika mereka tidak mendapatkannya. e)
Perilaku Sosial dan Sikap Anak Mencerminkan Perlakuan yang Diterima Di
rumah Anak yang merasa ditolak oleh orang tua, atau saudara kandungnya mungkin menganut sikap kesyahidan (attitude of martyrdom) di luar rumah dan membawa sikap ini sampai dewasa. Anak semacam itu mungkin akan suka menyendiri dan menjadi introvert. Sebaliknya penerimaan dan sikap orang tua yang penuh cinta kasih mendorong anak bersikap ekstrovert. 2) Status Sosial Ekonomi Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya. 3) Pendidikan Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang demokratis mungkin melakukan penyesuaian sosial yang paling baik. Mereka aktif secara sosial dan mudah bergaul. Sebaliknya, mereka yang dimanjakan cenderung menjadi tidak
27
aktif dan menyendiri. Anak-anak yang dididik dengan cara otoriter cenderung menjadi pendiam dan tidak suka melawan, dan keingintahuan serta kreativitas mereka terhambat oleh tekanan orang tua.
5. Hambatan dalam Keterampilan Sosial Anak Nasution (2010) mengungkapkan beberapa indikasi untuk melihat hambatan dalam perkembangan keterampilan sosial yang dimiliki oleh anak, yaitu: a. Anak mudah merajuk dan merengek b. Anak lebih banyak diam dan tidak mau ikut serta dalam kegiatan bersama temannya. c. Anak sering membuat orang lain atau temannya marah d. Sukar bergaul dan tidak disukai oleh orang lain atau temannya e. Bertengkar dan suka mengganggu temannya atau orang lain f. Tidak mau menuruti kata yang disampaikan g. Berusaha menarik perhatian orang lain h. Banyak menyerah dan sering mengikuti orang lain atau temannya i. Lebih suka bermain dengan orang yang lebih tua. Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada masa usia dini khususnya anak usia 4-6 tahun adalah bagian dari anak usia dini dimana pada usia ini anakanak memiliki keinginan kuat untuk bersosialisasi dan dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Karena anak belum bisa mengungkapkannya secara lisan apa yang mereka sampaikan, maka mereka menunjukkannaya dengan caranya
28
sendiri melalui perilaku-perilaku yang dapat menarik perhatian orang lain. Beberapa indikasi yang ditunjukkan dengan berbagai perilaku di atas merupakan bagian dari cara anak untuk mengungkapkan atau mengekspresikan apa yang sedang dirasakannya agar orang disekitarnya memahaminya.
B. Konsep BCCT (Beyond Centres and Circle Time) 1. Definisi dan Teori BCCT (Beyond Centres ang Circle Time) a. Definisi BCCT (Beyond Centres ang Circle Time) Metode BCCT (Beyond Centres and Circle Time) adalah suatu konsep belajar yang difokuskan agar guru sebagai guru menghadirkan dunia nyata di dalam kelas dan mendorong anak didik membuat hubungan antara pengetahuan, pengalaman, dan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari (Hidayatullah: 2009). Sehingga otak anak dirangsang untuk terus berpikir secara aktif dalam menggali pengalamannya sendiri bukan sekedar mencontoh dan menghapal saja. Menurut Piaget (Hidayatullah, 2009), “anak-anak seharusnya mampu melakukan percobaan dan penelitian sendiri, guru tentu saja dapat menuntun anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang tepat tetapi yang terpenting agar anak dapat memahami sesuatu, ia harus membangun pengertian itu sendiri, ia harus menemukan sendiri”.
Metode BCCT di Indonesia dipopulerkan dengan istilah SELING (Sentra & Lingkaran) yaitu suatu metode atau pendekatan dalam penyelenggaraan TK yang
29
dikembangkan berdasarkan hasil kajian teoritik dan empirik dan metode ini dirancang dalam bentuk sentra-sentra, sehingga kita sering menyebutnya dengan metode sentra (Tim Petutor TK Jawa Timur, 2010).
Selanjutnya (Tim Petutor Jawa Timur, 2010) menyebutkan bahwa metode BCCT adalah suatu metode pengajaran yang menempatkan anak pada posisi yang proporsional, karena dunia anak adalah dunia bermain maka selayaknyalah konsep guruan untuk anak usia dini dirancang dalam bentuk bermain, karena intinya bermain adalah belajar, dan belajar adalah bermain.
Parkhust (Kartini, 2000), mengungkapkan bahwa metode BCCT
adalah
kegiatan pengajaran yang disesuaikan dengan sifat dan keadaan individu yang mempunyai tempat dan irama perkembangan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Setiap anak akan maju dan berkembang sesuai dengan kapasitas kemampuannya masing-masing. Walaupun demikian kegiatan pengajaran harus memberikan kemungkinan kepada murid untuk berinteraksi, bersosialisasi dan bekerja sama dengan murid lain dalam mengerjakan tugas tertentu secara mandiri.
Senada dengan pendapat yang diungkapkan Parkhust (Kartini, 2000) bahwa kegiatan pembelajaran sentra tidak hanya mementingkan aspek individu, tapi juga aspek sosial, untuk itu bentuk pengajaran ini merupakan keterpaduan antara bentuk klasikal dan bentuk individual.
30
Dipaparkan secara sistematis lagi bahwa metode BCCT adalah pengelolaan kelas yang terpusat pada satu kegiatan dan ditangani oleh satu orang guru secara khusus (TKPN, 2009).
Pengertian dalam metode BCCT dalam penelitian ini adalah suatu metode atau pendekatan dalam penyelenggaraan guruan anak usia dini yang dirancang secara khusus sesuai dengan kemampuan individu agar terjalin hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan sehari-hari.
b. Filosofi dan Landasan BCCT Menurut Parkhust (Kartini, 2000) landasan filosofi BCCT ini adalah konstrukivisme, yakni filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak sekedar menghapal, bahwa pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi faktafakta yang terpisah namun mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Maslow (Fardiana, 2008) memaparkan dalam teorinya tentang kebutuhan manusia yang pada intinya membantu anak terpenuhi kebutuhan fisik, non fisik dan membangun konsep diri positif. Dan diharapkan dapat diaplikasikan melalui guruan yang holistic dengan layanan peningkatan gizi dan kesehatan, dan menciptakan atmosfir lingkungan yang aman, nyaman, menghargai, memahami keunikan individu dan membolehkan anak berkreasi. Selanjutnya Erikson dengan teori psikososialnya (Fardiana, 2008) yang pada intinya mennguraikan bahwa proses belajar itu dapat membangun konsep diri anak,
31
memotivasi anak untuk bereksperimen, eksplorasi dan membangun motivasi intrinsik. Dan diaplikasikan dengan cara; mengembangkan hubungan positif setiap anak, membangun jadwal konsisten, menginformasikan rencana dan hal-hal yang akan dilakukan, menata lingkungan dan alat main yang memungkinkan anak mengunakan dan menyimpan kembali alat main, menyediakan alat & bahan main yang mendukung dan menantang kemampuan anak, membantu anak mengekspresikan perasaannya saat main pembangunan, mendukung anak dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, memotivasi anak untuk membangun kemampuan start dan finish, menyediakan kesempatan untuk memilih mainan, menyediakan bahan yang memungkinkan anak untuk mengembangkan daya kreativitasnya, membolehkan anak secara bebas melakukan eksplorasi terhadap lingkungan, mengizinkan anak untuk kotor selama bermain. Vigotsky tentang perkembangan sosial (Fardiana, 2008) menyebutkan bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh interaksi sosial dan budaya. Interaksi sosial anak dengan orang dewasa yang lebih terampil serta teman sebaya adalah penting dalam meningkatkan perkembangan kognitif, juga dapat ditingkatkan lewat pijakan (Scaffolding) yang tepat. Dan diaplikasikan dengan; menciptakan lingkungan kelas sebagai kumpulan masyarakat yang mendukung interaksi sosial, menjadi modeling, motivator dan fasilitator bagi anak, membangun hubungan dengan semua anak dalam kelompok atau dengan anak secara perseorangan, guru atau orang dewasa harus memiliki kemampuan yang diperlukan untuk memberi pijakan tepat bagi anak,
32
observasi dan dokumentasi apa yang anak lakukan dan katakan merupakan cara yang sangat penting dalam memahami perkembangan setiap anak sebagai dasar untuk memberikan pijakan Secara sistematisnya metode BCCT ini menekankan pada suasana belajar sebagai berikut (Tim Petutor TK, 2010):
1) Belajar tidak sekedar menghapal. Anak harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka 2) Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru 3) Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. 4) Anak perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. 5) Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit. 6) Penting bagi anak tahu untuk apa ia belajar, dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu. 7) Tugas guru memfasilitasi agar informasi yang baru menjadi bermakna, memberi kesempatan kepada anak untuk menemukan dan menerpakan ide mereka sendiri, dan menyadarkan anak untuk menerapkan cara mereka sendiri.
33
8) Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara anak menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi
belajar lebih dipentingkan daripada
hasilnya. Pada kesimpulannya pembelajaran yang baik untuk anak usia dini harus disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan anak. Saat ini guruan masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Guru masih menjadi center (pengetahuan, informasi dll) dan metode ceramah yang hanya mendengarkan penjelasan dari guru selalu menjadi pilihan utama strategi belajar. Dan hal tersebut dapat menjadi suatu penghambat bagi anak untuk aktif. Maka dari itu sebagai guru, harus mengembalikan ruang kelas menjadi arena bermain, bernyanyi, bergerak bebas, dan menjadikan ruang kelas sebagai ajang kreaktif bagi anak.
2. Karakteristik BCCT Adapun karakteristik BCCT (Hidayatullah, 2009) adalah sebagai berikut: a. Anak distimulus untuk menjadi anak yang aktif, kreatif, dan berani b. Anak dibiasakan memecahkan masalah c. Anak menentukan sesuatu yang berguna bagi dirinya d. Anak mengeluarkan ide-ide yang dimilikinya e. Anak menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah dialami, serta f. Anak dapat mengembangkan kemampuannya secara optimal
34
g. Guru bertanggungjawab dalam mengatur kegiatan di sentra masing-masing h. Guru dapat lebih fokus dalam mengamati perkembangan anak di setiap sentra i. Sarana yang mendukung pengembangan kemampuan j. Proses pembelajaran lebih optimal
3. Prosedur Metode BCCT Prosedur penerapan metode BCCT dalam meningkatkan keterampilan sosial anak terdiri dari tiga tahapan yakni pertama, langkah-langkah pelaksanaan; kedua, proses pembelajaran pembelajaran; dan yang ketiga, evaluasi pembelajaran. Penulis akan memaparkan dengan terperinci ketiga prosedur sebagai berikut:
a. Langkah-langkah Pelaksanaan 1) Persiapan a) Penyiapan guru dan pengelola melalui pelatihan dan pemagangan. Pelatihan dapat memberikan pembekalan konsep sedangkan magang memberikan pengalaman praktik. b) Penyiapan tempat dan alat permainan edukatif (APE) sesuai dengan jenis sentra yang akan di buka dan tingkatan usia anak. c) Penyiapan administrasi kelompok dan pencatatan perkembangan anak. d) Pengenalan metode pembelajaran kepada orang tua. Kegiatan ini penting agar orang tua mengenal metode ini sehingga tidak protes ketika kegiatan anaknya hanya bermain. Mintalah orang tua untuk mencoba bermain disetiap sentra main yang disiapkan untuk anak agar merasakan sendiri nuansanya. Kegiatan
35
ini hendaknya dilakukan setiap awal tahun ajaran baru sebelum anak mulai belajar. 2) Pelaksanaan a) Bukalah sentra secara bertahap, sesuai dengan kesiapan guru dan sarana pendukung lainnya. b) Gilirlah setiap kelompok anak untuk bermain di sentra sesuai dengan jadwal. Setiap kelompok dalam satu hari hanya bermain di satu sentra saja. c) Berikan variasi dan kesempatan bermain yang cukup kepada setiap anak agar tidak bosan dan tidak berebut. d) Seiring dengan kesiapan guru dan sarana pendukung, tambahlah sentra baru apabila belum lengkap. e) Lengkapilah setiap sentra dengan berbagai jenis APE baik yang buatan pabrik maupun yang dikembangkan sendiri dengan memanfaatkan bahan limbah dan lingkungan alam sekitar.
b. Proses Pembelajaran 1) Penataan Lingkungan Main a) Sebelum anak datang, guru menyiapkan bahan dan alat main yang akan digunakan sesuai rencana dan jadwal kegiatan yang telah disusun untuk kelompok anak yang dibinanya.
36
b) Guru menata alat dana bahan main yang akan digunakan sesuai dengan kelompok yang dibimbingnya. c) Penataan alat main harus mencerminkan rencana pembelajaran yang sudah dibuat. Artinya tujuan yang ingin dicapai anak selama bermain dengan alat main tersebut.
2) Penyambutan Anak Sambil menyiapkan tempat dan alat main, agar ada seorang guru yang bertugas menyambut kedatangan anak. Anak-anak langsung diarahkan untuk bermain bebas dulu dengan teman-teman lainnya sambil menunggu kegiatan dimulai. Sebaiknya para oarang tua sudah tidak bergabung dengan anak.
3) Bermain Pembukaan (Pengalaman Gerakan Kasar) Guru menyiapkan seluruh anak dalam lingkaran lalu menyebutkan kegiatan pembuka yang akan dilakukan. Kegiatan pembuka bisa berupa permainan tradisional, gerak dan musik, atau sebagainya. Satu guru yang memimpin, guru lain menjdi peserta bersama anak (mencontohkan). Kegiatan ini berlangsung sekitar 15 menit.
37
4) Transisi 10 menit a) Setelah selesai pemainan pembukaan, anak-anak diberi waktu untuk pendinginan dengan cara bernyanyi dalam lingkaran, atau main tebaktebakaan. Tujuannya agar anak kembali tenang. Setelah anak tenang, anak secara bergiliran dipersilahkan minum atau ke kamar kecil. Gunakan kesempatan ini untuk mendidik (pembiasaan) kebersihan diri anak. Kegiatannya bisa berupa cuci tangan, muka, kaki maupun BAK (buang air kecil). b) Sambil menunggu anak minum/ke kamar kecil masing-masing guru siap di tempat bermain yang sudah siapkan untuk kelompoknya
5) Kegiatan Inti di Masing-masing Kelompok a) Pijakan Pengalaman Sebelum Bermain (15 menit) 1) Guru dan anak duduk melingkar. Guru memberi salam dan menanyakan kabar anak-anak. 2) Guru meminta anak-anak untuk mmeperhatikan siapa saja yang tidak hadir hari ini (mengabsen) 3) Berdoa bersama, mintalah anak secara bergilir menjadi pemimpin doa. 4) Guru menyampaikan tema hari ini dan dikaitkan dengan kehidupan anak. 5) Guru membacakan buku yanng terkait dengan tema, setelah membaca, guru menanyakan kembali isi cerita 6) Guru mengaitkan isi cerita dengan kegiatan main yang akan dilakukan anak.
38
7) Guru mengenalkan semua tempat dan alat main yang sudah disiapkan. 8) Dalam memberi pijakan, guru harus mengaitkan kemampuan apa yang diharapakan muncul pada anak, sesuai dengan rencana belajar yang sudah disusun 9) Guru menyampaikan bagaimana aturan main (digali dari anak), memilih teman main, memilih mainan, cara menggunakkan alat, kapan memulai dan mengakhiri main, serta merapikan kembali alat yang sudah dimainkan. 10) Guru mengatur teman main dengan memberi kesempatan kepada anak untuk memilih teman mainnya. Apabila ada anak yang hanya memilih anak tertentu sebagai teman mainnya, maka guru agar menawarkan untuk menukar teman mainnya. 11) Setelah anak siap untuk main, guru mempersilahkan anak untuk mulai bermain. Agar tidak berebut serta lebih tertib, dapat menggilir kesempatan setiap anak untuk mulai bermain, misalnya berdasarkan warna baju, usia anak, huruf depan nama anak, atau cara lain agar lebih teratur. b) Pijakan Pengalaman Selama Anak Main (60 menit) 1) Guru berkeliling diantara anak-anak yang sedang bermain. 2) Memberi contoh cara main pada anak yang belum bisa menggunakkan alat. 3) Memberi dukungan berupa pernyataan positif tentang pekerjaan yang dilakukan anak.
39
4) Memancing dengan pertanyaan terbuka untuk memperluas cara main anak. Pertanyaan terbuka artinya pertanyaan yang tidak cukup dijawab ya atau tidak, tetapi banyak kemungkinana jawaban dari anak. 5) Memberikan bantuan kepada anak yang membutuhkan 6) Mendorong anak untuk mencoba dengan cara lain, sehingga anak memiliki pengalaman main yang kaya. 7) Mencatat yang dilakukan anak (jenis main, tahap perkembangan, tahapan sosial). 8) Mengumpulkan hasil kerja anak. Jangan lupa mencatat nama dan tanggal di lembar kerja anak. 9) Bila waktu tinggal 5 menit, guru memberitahukan kepada anak untuk bersiap-siap menyelesaikan kegiatan. c) Pijakan Pengalaman Setelah Main (30 menit) 1) Bila waktu main habis, guru memberitahukan saatnya membereskan alat dan bahan yang sudah digunakan dengan melibatkan anak. 2) Bila anak belum terbiasa untuk membereskan, guru bisa membuat permainan yang menarik agar anak ikut membereskan. 3) Saat membereskan, guru menyiapkan tempat yang berbeda untuk setiap jenis alat, sehingga anak dapat mengelompokkan alat main sesuai dengan tempatnya. 4) Bila anak sudap rapi, mereka diminta duduk melingkar bersama guru.
40
5) Setelah semua anak duduk dalam lingkaran, guru menanyakan pada setiap anak kegiatan main yang tadi dilakukannya. Kegiatan menanyakan kembali (recalling) melatih daya ingat anak dan melatih anak mengemukakan gagasan dan pengalaman mainnya (memperluas perbendaharaan kata anak).
6) Makan Bekal Bersama a) Usahakan setiap pertemuan ada kegiatan makan bersama. Jenis makanan berupa kue atau makanan lainnya yang dibawa oleh masing-masing anak. b) Sekali dalam 1 minggu diupayakan ada makanan yang disediakan untuk perbaikan gizi. c) Sebelum makan bersama, guru mengecek apakah ada anak yang tidak membawa makanan. Jika ada tanyakan siapa yang mau memberi makan pada temannya (konsep berbagi). d) Guru memberitahukan jenis makanan yang baik dan kurang baik. e) Jadikan waktu makan bekal bersama sebagai pembiasaan tata cara makan yang baik (adab makan). f) Libatkan anak untuk membereskan bekas makanan dan membuang bungkus makanan ke tempat sampah.
7) Kegiatan Penutup (15 Menit) a) Setelah semua anak berkumpul membentuk lingkaran, guru dapat mengajak anak bernyanyi atau membaca puisi. Guru menyampaikan rencana kegiatan
41
minggu depan, menganjurkan anak untuk bermain yang sama di rumah masingmasing. b) Guru meminta anak yang sudah besar secara bergiliran untuk memimpin doa penutup. c) Untuk menghindari berebut saat pulang. Digunakan urutan berdasarkan warna baju, usia, atau cara lain untuk keluar dan bersalaman terlebih dahulu.
c. Evaluasi 1) Evaluasi Program Bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan program TK. Evaluasi program mengukur sejauh mana indikator keberhasilan penyelenggaraan TK yang bersangkutan. Evaluasi program mencakup penilaian terhadap: a) Kinerja guru dan pengelola. b) Program pembelajaran. c) Administrasi kelompok Evaluasi program dilakukan oleh petugas Dinas Guruan Kecamatan (pengawas) bersama unsur terkait. Evaluasi Program dapat dilakukan setidaknya setiap akhir tahun kegiatan belajar anak.
42
2) Evaluasi Kemajuan Perkembangan Anak Pencatatan kegiatan belajar anak dilakukan setiap pertemuan dengan cara mencatat perkembangan kemampuan anak dalam hal motorik kasar, motorik halus, berbahasa, sosial dan aspek-aspek lainnya. Pencatatan kegiatan main anak dilakukan oleh guru. Selain mencatat kemajuan belajar anak, guru juga dapat menggunakan lembaran ceklis perkembangan anak. Dilihat dari perkembangan dari hasil karya anak, karena itu semua hasil karya anak dijadikan sebagai bahan evaluasi dan laporan perkembangan belajar kepada orang tua masing-masing. Tabel 2.1 Format Evaluasi Perkembangan Anak Semester /Minggu : 2/minggu 1 Kelompok Tema
: TK A : Pakaian
Jenis Bermain
Sentra Hari/tanggal
: Bermain peran : Selasa, 8 Maret 2011
Nama Anak Dzaki Angel Feryl Zahra Bhintang
Kognitif Mengurutkan proses pembuatan pakaian Membedakan perbedaan dua buah benda Menghitung dengan benda Fisik Motorik Menjiplak pola yang telah dicontohkan. Menjahit sederhana (jahitan selusur) pola baju
43
Dapat melipat pakaian Bahasa Menyebutkan warna baju Seni Melipat pakaian Masek Memakai pakaian Senang bermain dengan teman Berdoa sebleum dan sesudah kegiatan
d. Sentra-sentra BCCT Idealnya, setiap sekolah memiliki ke-7 sentra. Tetapi, berapa pun yang bisa sekolah selenggarakan, itu sudah lebih baik daripada menggunakan sistem klasikal (direct teaching) atau belajar dengan cara menggurui. Dibawah ini contoh-contoh sentra yang bisa di selenggarakan dalam pendekatan BCCT. Meskipun pada pelaksanaanya diserahkan kepada kemampuan guru dan sekolah di setiap TK itu sendiri. 1)
Sentra Imajinasi/Bermain Peran Tempat bermain sambil belajar, dimana anak dapat mengembangkan daya
imajinasi dan mengekspresikan perasaan saat ini, kemarin, dan yang akan datang. Penekanan sentra ini terletak pada alur cerita sehingga anak terbiasa untuk berpikir secara sistematis. Tujuan : a)
Mengembangkan kemampuan imajinasi, akhlaq, sosialisasi dan berbahasa
b) Anak mengetahui cara menggunakan peralatan Rumah Tangga
44
c)
Mengenal kegiatan dalam profesi tertentu
d) Mengenal peran dan fungsi anggota keluarga Contoh Kegiatan : a)
Bermain drama pekerjaan/kegiatan rumah tangga
b) Bermain dramatisasi kehidupan keluarga c)
Bermain drama macam-macam profesi
d) Kegiatan ibadah dalam keluarga
2)
Sentra Persiapan Tempat bermain sambil belajar untuk mengembangkan pengalaman keaksaraan.
Di sentra ini anak difasilitasi dengan permainan yang dapat mendukung pengalaman baca, tulis, hitung dengan cara yang menyenangkan dan anak dapat memilih kegiatan yang diminati Tujuan : a)
Menumbuhkan kecintaan anak terhadap ilmu dan Tuhan
b) Mengembangkan kognitif, motorik dan emosi c)
Menumbuhkan minat baca dan tulis
Contoh Kegiatan : a)
Permainan matematika / berhitung
b) Persiapan membaca dan menulis c)
Puzzle, menyusun pola, meniru pola
d) Menjahit, meronce, bermain papan pasak
45
e)
Bermain kartu bilangan, angka, gambar, huruf, kata
f)
Menjiplak, mengelompokkan, bermain jam
g) Menggambar, membaca cerita h) Diskusi sains
3)
Sentra Seni Kreasi Tempat bermain sambil belajar yang menitik beratkan pada kemampuan anak
dalam berkreasi. Kegiatan di sentra ini dilaksanakan dalam bentuk proyek, dimana anak diajak untuk menciptakan kreasi tertentu yang akan menghasilkan sebuah karya. Tujuan : a)
Melatih rasa estetika (keindahan)
b) Melatih motorik halus c)
Anak dapat berpikir secara kreatif
Contoh Kegiatan : a)
Melukis / menggambar
b) Melipat, meronce, menganyam, menjahit c)
Merobek, menggunting, merekat
d) Menyanyi, main musik dan menari
4)
Sentra rancang bangun Tempat bermain sambil belajar untuk mempresentasikan ide ke dalam bentuk
nyata (bangunan). Di sentra ini anak dapat memainkan balok dengan perbandingan 1
46
anak ± 100 balok plus asesoris. Penekanan sentra ini pada start and finish, dimana anak mengambil balok sesuai kebutuhan dan mengembalikan dengan mengklasifikasi berdasarkan bentuk balok Tujuan : a)
Mengembangkan daya pikir, daya cipta dan kreativitas
b) Mengenal konsep ruang, bentuk dan ukuran c)
Mengembangkan kemampuan matematika dan logika
d) Koordinasi mata dan tangan e)
Sosialisasi, kerjasama, disiplin dan tanggung jawab
Contoh Kegiatan : a)
Sosialisasi aturan sentra
b) Menyusun balok, lego, kardus bekas, gelas plastik bekas atau puzzle busa c)
5)
Bermain sosiodrama dan microplay
Sentra Kebun
Tujuan : a)
Memperkenalkan cara menanam tanaman dan mempraktekkannya
b) Memperkenalkan dan mempraktekkan bagaimana cara memelihara tanaman c)
Memperkenalkan proses pertumbuhan tumbuhan secara langsung dan nyata
d) Membangkitkan rasa tanggung jawab anak e)
Membangkitkan rasa kagum anak terhadap ciptaan-Nya
47
Contoh Kegiatan : a)
Mengamati bibit tanaman
b) Menyemai bibit tanaman, merawat dan mengamati pertumbuhannya c)
Memperkenalkan bagian-bagian tanaman
d) Kunjungan ke perkebunan/sawah e)
6)
Menyiram tumbuhan
Sentra Cooking
Tujuan : a)
Melatih motorik halus
b) Mengembangkan dasar-dasar kemampuan membaca dan menulis, matematika, proses kimia dan fisika c)
Mengenal bentuk dan warna
Contoh Kegiatan : a)
Membedakan bahan makanan yang bagus dan yang tidak dengan cara melihat, memegang dan mencium
b) Mencuci bahan, mengupas, menimbang, memeras, memecah, mematahkan, memotong, mencicipi c)
Memasak
48
7) Sentra Ibadah Tempat bermain sambil belajar untuk mengembangkan kecerdasan jamak dimana kegiatan main lebih menitikberatkan pada kegiatan keagamaan. Di sentra ini anak di fasilitasi dengan kegiatan bermain yang memfokuskan pada pembiasaan beribadah dan mengenal huruf hijaiyyah dengan cara bermain sambil belajar. Tujuan : a)
Membangkitkan rasa kecintaan anak terhadap Penciptanya
b) Memperkenalkan cara mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita c)
Memperkenalkan kewajiban-kewajiban sebagai umat beragama
d) Memperkenalkan budi pekerti kepada sesama makhluk Tuhan. Contoh Kegiatan : a)
Memperkenalkan cara beribadah
b) Memperkenalkan dan membiasakan mengucapkan kalimat thoyyibah c)
Memperkenalkan doa-doa dan artinya serta tujuan kita berdoa
d) Lagu-lagu keagamaan e)
Berbagi cerita tentang kebaikan
f)
Menonton VCD tentang keagamaan
C. HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN Beberapa hasil penelitian yang relevan dalam meningkatkan keterampilan sosial anak melalui penerapan metode BCCT dengan pendekatan kontruktivisme adalah sebagai berikut:
49
Hasil penelitian yang dilakukan Kartini (2009) pada sekolah Taman Kanakkanak di wilayah Bandung Tengah menyebutkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan
konstruktivisme
dapat
menantang
anak
untuk
meningkatkan sosiobilitas dan kreativitas sehingga mendorong anak bermain sambil belajar sesuai dengan prinsip pokok guruan di TK. Melalui
pendekatan
konstruktivisme anak dapat bermain sambil mempelajari berbagai hal tentang bahasa, intelektual, motorik, disiplin, emosi dan sosial. Selain itu juga dengan pendekatan konstruktivisme mendorong munculnya inovasi dan kreativitas guru dalam menciptakan dan mengembangkan iklim guruan yang kondusif di TK. Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan Nuraliah (2008) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dapat meningkatkan pemahaman anak dilihat dari peningkatan hasil belajar matematika sehingga dapat dilakukan guru dalam upaya meningkatkan motivasi belajar di Sekolah Dasar. Pendekatan ini dapat meningkatkan motivasi anak di dalam kelas dimana siswa dilibatkan langsung untuk berperan aktif. Anak mendapatkan pengalaman
belajar
yang
lebih
bermakna
dan
membosankan. Melalui pendekatan konstruktivisme
menyenangkan
tidak
lagi
perkembangan anak dalam
ranah kognitif, afektif, psikomotor mendapat pengaruh yang utuh. Dengan demikian pendekatan konstruktivisme tepat digunakan karena sesuai dengan perkembangan anak yang memerlukan pengalaman langsung dalam memahami setiap pembelajaran. Adapun hasil penelitian yang dilakukan Riswandi (2008) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dapat memberikan
50
pengalaman belajar secara langsung dan beragam kepada anak Sekolah Dasar. Anak secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran yang didukung dengan menggunakan alat yang dapat mempermudah siswa untuk memahami materi pembelajaran. Pembelajaran
dengan
pendekatan
konstruktivisme
anak
dipandang sebagai
pembelajar yang aktif, yang membangun pemahamannya sendiri. Pendekatan konstruktivisme membantu anak dalam menemukan konsep sendiri dan mampu memecahkan masalah secara ilmiah dan sistematis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini efektif dan efisien untuk digunakan dalam proses pembelajaran karena memiliki dampak baik terhadap peningkatan hasil belajar dan aktivitas anak pada saat pembelajaran. Irmansyah et al. (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa secara umum respon siswa terhadap pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning = CTL) yang diterapkan tergolong kategori baik. Demikian juga aspek minat dan motivasi belajar siswa untuk masing-masing item tergolong sangat tinggi, dengan skor rata-rata item 4,45 atau 89% dari skor maksimal 5. Secara umum siswa yang diberi perlakuan model pembelajaran konstruktivis dengan pendekatan CTL memiliki motivasi dan minat yang tinggi dalam belajar matematika. Dengan melihat aktivitas, kesungguhan, dan keceriaan siswa dalam proses belajar mengajar serta berdasarkan hasil wawancara dengan siswa maka dapat disimpulkan bahwa respon/pandangan siswa terhadap model belajar konstruktivis sangat positif dan dapat memberikan kemudahan dalam pembelajaran konsep-konsep matematika khususnya tentang
51
konsep pecahan. Dengan memperoleh kesempatan yang cukup untuk mengemukakan gagasannya, siswa dapat bertukar pikiran sesama teman sejawatnya, menjadi lebih kreatif, maka minat dan motivasi belajar lebih tinggi, sehingga proses belajar dirasakan lebih bermakna bagi mereka. Indikasi ini menunjukkan bahwa model belajar konstruktivis memiliki keunggulan komparatif terhadap model belajar konvensional. Adapun yang menjadi motivasi serta alasan penulis untuk melakukan penelitian ini
berharap agar pihak yang terkait dalam penyelenggaraan guruan
khususnya untuk anak usia dini bisa memberikan proses pengajaran yang lebih bermakna sesuai dengan perkembangan anak khususnya dalam meningkatkan keterampilan sosial anak melalui penerapan metode BCCT. Meskipun telah cukup sumber dan hasil penelitian mengenai pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme terhadap perkembangan anak, akan tetapi sumber dan hasil penelitian pendekatan konstruktivisme dengan metode BCCT terhadap peningkatan keterampilan sosial anak masih sangat sedikit. Latar belakang ini memberikan
motivasi
bagi
penulis
untuk
melakukan
penelitian
tentang
meningkatakan keterampilan sosial anak taman kanak-kanak melalui penerapan metode BCCT.