BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teori. 2.1.1 Pembelajaran Matematika. Menurut Uno (2008:22) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan pendapat diatas, belajar tidak akan terjadi jika tidak ada interaksi suatu individu dengan lingkungannya. Interaksi tersebut diperoleh melalui indra manusia dan selanjutnya akan diproses oleh otak sebagai suatu pengalaman baru yang bisa jadi adalah proses belajar. Oleh karena itu belajar tidak bisa di pisahkan dengan kehidupan sehari-hari atau pengalaman siswa, khususnya belajar matematika. Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika, kegiatan pengajaran diubah menjadi kegiatan pembelajaran. Pembelajaran matematika lebih utama dibandingkan dengan pengajaran matematika, karena pembelajaran matematika mengoptimalkan keberadaan dan peran siswa sebagai pembelajar. Pembelajaran matematika diharapkan berakhir dengan sebuah pemahaman siswa yang komprehensif dan holistik tentang materi yang telah disajikan. Pemahaman yang dimaksud tidak sekedar memenuhi tuntutan pembelajaran matematika secara substantif saja, namun dapat memberikan manfaat kepada siswa, yaitu:
a) Lebih memahami keterkaitan antara satu topic matematika dengan topic matematika lainnya b) Lebih menyadari akan penting dan strategisnya matematika bagi bidang lain c) Lebih memahami peranan matematika dalam kehidupan manusia d) Lebih mampu berfikir logis, kritis, dan sitematis e) Lebih kreatif dan inovatif dalam mencari solusi pemecahan sebuah masalah f) Lebih peduli pada lingkungan sekitarnya Dalam pembelajaran matematika, seorang guru tidak hanya haus menguasai materi ajar, melainkan juga harus menguasai metode dan pendekatan pembelajaran yang terintegrasi, komprehensif, dan holistic. Agar pembelajaran matematika berjalan dengan baik, maka guru haruslah menggunakan suatu model, atau pendekatan pembelajaran yang tepat. Salah satu pendekatan yang seiring sejalan dengan ide yang dikemukakan diatas adalah pendekatan pembelajaran contekstual teaching and learning atau yang biasa disingkat dengan CTL.
2.1.2 Koneksi Matematika. Koneksi berasal dari kata connection dalam bahasa inggris yang diartikan hubungan. Koneksi secara umum adalah suatu hubungan atau keterkaitan. Koneksi dalam kaitannya dengan matematika yang disebut dengan koneksi matematika dapat diartikan sebagai keterkaitan secara internal dan eksternal. Keterkaitan secara internal adalah keterkaitan antara konsep-konsep matematika
yaitu berhubungan dengan matematika itu sendiri dan keterkaitan secara eksternal, yaitu keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (Utari Sumarmo, 1994). Koneksi matematika (mathematical connection) merupakan salah satu dari lima kemampuan standar yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika yang ditetapkan dalam NCTM (2000: 29) yaitu: kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan penalaran (reasoning), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan membuat koneksi (connection), dan kemampuan representasi (representation). Koneksi matematika juga merupakan salah satu dari lima keterampilan yang dikembangkan dalam pembelajaran matematika di Amerika pada tahun 1989. Lima keterampilan itu adalah sebagai berikut: Communication
(Komunikasi
matematika),
Reasoning
(Berfikir
secara
matematika), Connection (Koneksi matematika), Problem Solving (Pemecahan masalah), Understanding (Pemahaman matematika) (Asep Jihad, 2008: 148), sehingga dapat disimpulkan bahwa koneksi matematika merupakan salah satu komponen dari kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh siswa dalam belajar matematika. Apabila para siswa dapat menghubungkan gagasan-gagasan matematis, maka pemahaman mereka akan lebih mendalam dan lebih bertahan lama. Pemahaman siswa akan lebih mendalam jika siswa dapat mengaitkan antar konsep yang telah diketahui siswa dengan konsep baru yang akan dipelajari oleh siswa. Seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang tersebut. Oleh karena itu untuk mempelajari suatu materi
matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang itu akan mempengaruhi terjadinya proses belajar materi matematika tersebut Adanya keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dengan materi pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa juga akan menambah pemahaman siswa dalam belajar matematika. Kegiatan yang mendukung dalam peningkatan kemampuan koneksi matematika siswa adalah ketika siswa mencari hubungan keterkaitan antar topik matematika, dan mencari keterkaitan antara konteks eksternal diluar matematika dengan matematika. Konteks eksternal yang diambil adalah mengenai hubungan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Konteks tersebut dipilih karena pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa dapat melihat masalah yang nyata dalam pembelajaran. Menurut NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) (2000: 64), indikator untuk kemampuan koneksi matematika yaitu: (a) Mengenali dan memanfaatkan hubungan-hubungan antara gagasan dalam matematika; (b) Memahami bagaimana gagasan-gagasan dalam matematika saling berhubungan dan mendasari satu sama lain untuk menghasilkan suatu keutuhan koheren; (c) Mengenali dan menerapkan matematika dalam kontek-konteks di luar matematika. Penjelasan untuk indikator-indikator tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mengenali dan memanfaatkan hubungan-hubungan antar gagasan dalam matemarika Dalam hal ini, koneksi dapat membantu siswa untuk memanfaatkan konsep-konsep yang telah mereka pelajari dengan konteks baru yang akan dipelajari oleh siswa dengan cara menghubungkan satu konsep dengan konsep
lainnya, sehingga siswa dapat mengingat kembali tentang konsep sebelumnya yang telah siswa pelajari, dan siswa dapat memandang gagasan-gagasan baru tersebut sebagai perluasan dari konsep matematika yang sudah dipelajari sebelumnya. Siswa mengenali gagasan dengan menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan dalam menjawab soal dan siswa memanfaatkan gagasan dengan menuliskan kembali gagasan-gagasan tersebut untuk membuat model matematika yang digunakan untuk menjawab soal. 2) Memahami
bagaimana
gagasan-gagasan
dalam
matematika
saling
berhubungan dan mendasari satu sama lain untuk menghasilkan suatu keutuhan koheren Pada tahap ini siswa mampu melihat struktur matematika yang sama dalam latar yang berbeda, sehingga ada peningkatan pemahaman tentang hubungan antar konsep dengan konsep yang lainnya. 3) Mengenali dan menerapkan matematika dalam konteks-konteks diluar matematika Untuk mengenali konteks matematika di luar matematika bukanlah hal yang mudah untuk siswa, siswa harus memiliki pemahaman yang mendalam dalam konsep matematikanya itu sendiri. Konteks eksternal yang dimaksudkan adalaha siswa mampu mengkoneksikan antara kejadian yang ada di sekitarnya (dunia nyata) kedalam model matematika. Menurut Asep Jihad (2008:169), koneksi matematika merupakan suatu kegiatan yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur b. Memahami hubungan antar topic matematika c. Menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari d. Memahami representasi ekuivalen konsep yang sama e. Mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen. f. Menggunakan koneksi antar topic matematika, dan antara topic matematika dengan topic lain. Menurut Sumarmo (2003), kemampuan koneksi matematika siswa dapat dilahat dari indikator-indikator berikut : a) mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama; b) mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi ke prosedur representasi yang ekuivalen; c) menggunakan dan menilai keterkaitan antar topic matematika dan keterkaitan diluar matematika; d) menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Keterangan dari beberapa ahli diatas mengindikasikan bahwa koneksi matematika terbagi kedalam 3 aspek kelompok koneksi, yaitu aspek koneksi antar topic matematika (K1), aspek koneksi dengan disiplin ilmu lain (K2) dan aspek koneksi dengan dunia nyata siswa/koneksi dengan kehidupan sehari-hari (K3). Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Ibarat membangun sebuah gedung bertingkat, lantai kedua dan selanjutnya tidak akan terwujud apabila
fondasi dan lantai sebelumnya yang menjadi prasyarat benar-benar dikuasai, agar dapat memahami konsep-konsep selanjutnya Kemampuan siswa dalam mengkoneksikan keterkaitan antar topic matematika dan dalam mengkoneksikan antara dunia nyata dan matematika dinilai sangat penting, karena keterkaitan itu dapat membantu siswa memahami topik-topik yang ada dalam matematika. Siswa dapat menuangkan masalah dalam kehidupan sehari-hari ke model matematika, hal ini dapat membantu siswa mengetahui kegunaan dari matematika. Maka dari itu, efek yang dapat ditimbulkan dari peningkatan kemampuan koneksi matematika adalah siswa dapat mengetahui koneksi antar ide-ide matematika dan siswa dapat mengetahui kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dua hal tersebut dapat memotivasi siswa untuk terus belajar matematika. Berdasarkan kajian teori diatas, secara umum terdapat tiga aspek kemampuan koneksi matematika, yaitu: 1) Menuliskan konsep matematika yang mendasari jawaban. Pada aspek ini siswa diharap mampu menuliskan konsep yang mendasari jawaban guna memahami keterkaitan antar konsep matematika yang akan digunakan. Sehingga akan terlihat koneksi antar topic dalam matematika itu sendiri. (K1) 2) Menuliskan masalah kehidupan sehari-hari atau yang berhubungan dengan soal cerita dalam bentuk model matematika. Pada aspek ini siswa diharap mampu mengkoneksikan antara masalah pada kehidupan sehari-hari dan matematika. (K3)
3) Menuliskan konsep matematika berkaitan dengan disiplin ilmu yang lain. Pada aspek ini, siswa diharap mampu menuliskan
hubungan antara konsep
matematika yang digunakan untuk menjawab soal yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang lain, seperti fisika, kimia, ekonomi, dll. (K2) Dari ketiga aspek diatas, pengukuran koneksi matematika siswa bisa dilakukan dengan indicator-indikator yaitu: Menuliskan masalah kehidupan sehari-hari atau soal cerita,dalam bentuk model matematika, menuliskan konsep matematika yang mendasari jawaban, dan menuliskan hubungan konsep matematika dengan disiplin ilmu lain.
2.1.3 Pembelajaran Konvensional. Pembelajaran konvensional merupakan proses pembelajaran yang banyak dilakukan. Pembelajaran ini berpusat pada guru atau teacher sentered dan metode caramah menjadi pilihan utama guru dalam menyampaikan materi. pembelajaran konvensional dilakukan dengan komunikasi satu arah. Cirri lain dari pembelajaran ini peserta didik sekaligus mengerjakan dua kegiatan yaitu mendengarkan dan mencatat”. Jadi pembelajaran konvensianal diawali dengan pemberian informasi atau ceramah dalam penjelasan satu konsep pelajaran yang diikuti dengan pemberian contoh-contoh soal. Pembelajaran konvensional ini juga memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai hal yang belum dimengerti dan menyalin kedalam buku catatan. Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan pemberian sola-soal latihan yang dikerjakan dalam buku latihan. Soal-soal latihan yang tidak dipahami siswa dibahas secara klasikal dengan menyeluruh satu atau dua orang siswa untuk
menjawab di papan tulis.setelah selesai satu pokok bahasan dberikan tes hasil belajar kapada siswa mengenai materi yang terdapat didalam pokok bahasan tersebut. Berdasarkan uraian tentang pembelajaran konvensional dapat dibuat karakteristik pembelajaran dengan pendekatan konvensional dengan pendekatan pembelajaran CTL, untuk melihar perbedaan antara keduanya dapat dilukiskan dalam tabel berikut: Tabel 2.1 Perbandingan karakteristik pembelajaran matematika dengan pendekatan CTL dengan pembelajaran matematika dengan konvensional Pembelajaran Dengan Pendekatan CTL 1. Pembelajaran diawali dengan
Pembelajaran Konvensional 1. Pembelajaran dimulai dari
masalah realistik sehingga siswa
hal yang abstrak (definisi,
termotivasi dan terbantu belajar
teorema, aksioma)
matematika. 2. Memecahkan masalah dengan berbekal pengetahuan informal menuju formal (menemukan konsep melalui bimbingan guru). 3. Proses belajar berlangsung secara interaktif. 4. Matematika dipandang sebagai suatu
2. Memecahkan masalah dengan berbekal pengetahuan secara formal. 3. Proses pembelajaran berlangsung satu arah yaitu guru ke siswa 4. Matematika dianggap sebagai barang yang sudah
aktivitas dan belajar matematika
jadi, sehingga penalaran
merupakan bekerja dengan
siswa tidak berkembang.
matematika (doing mathematic)
Dari diatas menunjukkan bahwa penekanan pembelajaran matematika melalui pendekatan CTL berpusat pada siswa (student centered). Sedangkan pembelajaran konvensional berpusat pada guru (Teacher centered). Sedangkan menurut Depdiknas (dalam http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/ model-pembelajaran-contextual-teaching-learning-ctl/)
perbedaan
antara
pembelajaran CTL dengan pembelajaran konvensional yakni dapat dilihat pada tabel : Tabel 2.2 Perbandingan pembelajaran matematika dengan pendekatan CTL dengan pembelajaran matematika dengan konvensional Pembelajaran Dengan Pendekatan
Pembelajaran Konvensional
CTL 1. Pemilihan kebutuhan informasi siswa 2. Cenderung mengintergrasikan beberapa bidang 3. Selalu mengaitkan informasi
1. Pemilihan informasi ditentukan oleh guru 2. Cenderung terfokus pada satu bidang tertentu 3. Memberikan tumpukan
dengan pengetahuan awal
informasi kepada siswa sampai
yang telah dimiliki siswa
pada saatnya diperlukan
4. Menerapkan penilaian
4. Penilaian hasil belajar hanya
autentik melalui penerapan
melalui kegiatan akademik
praktis dalam pemecahan
berupa ujian.
masalah.
2.1.4 Pembelajaran Kontekstual Teaching and Learning. 2.1.4.1 Landasan Filosofi CTL. Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Bahwa pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta. Menurut pandangan konstruktivistik bahwa perolehan pengalaman seseorang itu dari proses asimilasi dan akomodasi sehingga pengalaman yang lebih khusus ialah pengetahuan tertanam dalam benak sesuai dengan schemata yang dimiliki seseorang. Skemata itu tersusun dengan upaya dari individu siswa yang telah bergantung kepada skemata yang telah dimiliki seseorang (Ernest dalam Supinah, 2008: 8).
2.4.1.2
Definisi CTL.
Pendekatan kontekstual adalah pendekatan dengan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan (Nurhadi,2002:1). Pendekatan ini mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. Maka pembelajaran matematika kontekstual adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Menurut Diknas (dalam http://re-alitha.blogspot.com/2012/04/normal-0false-false-false-en-us-x-none.html) Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Berdasarkan berbagai pendapat diatas Strategi pembelajaran kontekstual atau Contextual teaching and Learning (CTL) dapat diartikan sebagai suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
2.4.1.3 Komponen CTL. 1) Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful conections), adalah membuat hubungan antara subyek dengan pengalaman yang bermakna dan makna ini akan memberi alasan apa yang dipelajari. 2) Melakukan pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work), adalah dapat melakukan pekerjaan atau tugas yang sesuai. 3) Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning), adalah membangun minat individual siswa untuk bekerja sendiri ataupun kelompok dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna dengan mengaitkan antara materi ajar dan konteks kehidupan sehari-hari.
4) Bekerja sama (collaborating), adalah proses pembelajran yang melibatkan siswa dalam kelompok, membantu siswa untuk mengerti bagaimana berkomunikasi atau berinteraksi dengan yang lain dan dampak yang ditimbulkannya. 5) Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan kreatifitanya dalam pengumpulan, analisis dan sintesis data, memahami suatu isu atau fakta dan pemecahan masalah 6) Memelihara atau membina pribadi (nurturing the individual), adalah menjaga atau mempertahankan kemajuan individu. Hal ini menyangkut pembelajaran yang dapat memotivasi, mendukung, menyemangati, dan memunculkan gairah belajar siswa. Guru harus memberi stimuli yang baik terhadap motivasi belajar siswa dalam lingkungan sekolah. Guru diharap mampu memberi pengaruh baik terhadap lingkungan belajar siswa. Antara guru dan orang tua mempunyai peran yang sama dalam mempengaruhi kemampuan siswa. Pencapaian perkembangan siswa tergantung pada lingkungan sekolah juga pada kepedulian perhatian yang diterima siswa terhadap pembelajaran (termasuk orang tua). Hubungan ini penting untuk member makna pada pengalaman siswa nantinya didalam kelompok dan dunia kerja (Johnson, 2002:127-128) 7) Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards), adalah menyiapkan siswa mandiri, produktif dan cepat merespon atau mengikuti perkembangan teknologi dan jaman. Dengan demikian dibutuhkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai wujud jaminan untuk menjadi orang yang
bertanggung jawab, pengambil keputusan yang bijaksana dan karyawan yang memuaskan 8) Penilaian yang sesungguhnya (authentic assesment), ditujukan pada motivasi siswa untuk menjadi unggul di era teknologi, penilaian sesungguhnya ini berpusat pada tujuan, melibatkan keterampilan tangan, penerapan, dan kerja sama serta pemikiran tingkat tinggi yang berulang-ulang. Penilaian itu bertujuan agar para siswa dapat menunjukkan penguasaan dan keahlian yang sesungguhnya dan kedalaman berpikir dari pengertian, pemahaman, akal budi, kebijaksanaan dan kesepakatan . (Supinah 2008:9-10)
2.4.1.4 Implementasi CTL. Untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran kontekstual, guru dalam pembelajarannya mengaitkan antara materi yang akan diajarkannya dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama CTL yakni sebagai berikut. 1) Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika ia diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru. (construstivism) 2) Membentuk grup belajar yang saling tergantung (independent learning groups) yaitu agar hasil pembelajran yang diperoleh dari kerjasama dengan orang lain, maka pembelajaran hendaknya selalu dilaksanakan dalam
kelompok kelompok belajar atau proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kelompok. 3) Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry), yaitu agar siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui penemuannya sendiri (bukan hasil dari mengingat sejumlah fakta). Langkah-langkah kegiatan inquiry adalah: (a) merumuskan masalah, (b) mengamati atau melakukan observasi, (c) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain, (d) mengomunikasikan atau menyajikan hasilnya pada pihak lain (pembaca, teman sekelas, guru, audiens yang lain) (Masnur Muslich, 2007: 45). 4) Mengembangkan sifat ingin tahu
siswa melalui pengajuan pertanyaan
(questioning). Bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan memahami kemampuan berpikir siswa, sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan menunjukkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang baru yang didatangkan di kelas. 5) Pemodelan (modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru. Guru memberi model tentang bagaimana cara belajar, namun demikian guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa atau dapat juga mendatangkan dari luar.
6) Refleksi (reflection), refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang dilakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima (Nurhadi,2002:18). Realisasinya dalam pembelajaran antara lain sebagai berikut. a. Pernyataan langsung, tentang apa-apa yang diperoleh hari itu. b. Catatan atau jurnal di buku siswa. c. Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu. d. Diskusi. 7) Penilaian sesungguhnya (authentic assesment), assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran mengenai perkembangan belajar siswa (Nurhadi,2002:19). Penilaian yang dilakukan bukan hanya karena bisa menjawab serangkaian pertanyaan di atas kertas, tapi juga
kemampuannya
dalam
mengaplikasikannya,
inilah
yang
disebut authenthic. Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa antara lain: proyek kegiatan dan laporannya, presentasi atau penampilan siswa, demonstrasi, dan tes tulis.
2.4.1.5 Strategi penerapan CTL. Center
for
Occupational
Research
and
Development
(CORD)
mengemukakan bahwa terdapat 5 strategi bagi guru dalam rangka penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual, yang disingkat REACT, yaitu sebagai berikut. 1) Relating, balajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata.
2) Experiencing, belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention). 3) Applying, belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan didalam konteks pemanfaatannya. 4) Cooperating, belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, pemakaian bersama, dan sebagainya. 5) Transferring, belajar melalui pemanfaatan pengetahuan didalam situasi atau konteks baru. (M. Asikin, 2002:19) 2.4.1.6 Pendekatan pengajaran yang menggunakan atau berasosiasi dengan CTL. 1) Pembelajaran berdasar masalah (problem-based learning (PBL)), yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belejar melalui berpikir kritis dan keterampilan pemecahan maslah dalam rangka memperoleh pengetahuan dan konsep esensi dari materi pelajaran. 2) Pembelajaan kooperatif (cooperative learning), yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan kelompok pembelajaran kecil dimana siswa bekerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran. 3) Pembelajaran berdasar proyek (project-based learning). Yaitu suatu pendekatan yang memperkenankan siswa untuk bekerja mandiri dalam mengkontruksi
atau
membangun
pembelajarannya
(pengetahuan
keterampilan baru), dan mencapai hasil puncak yang nyata.
dan
4) Pembelajaran pelayanan (service learning), yaitu pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui proyek atau tugas terstruktur dan kegiatan lainnya. 5) Pembelajaran berdasar kerja (work-based learning), yaitu suat pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa menggunaka konteks tempat kerja untuk mempelajari materi ajar dan menggunakannya kembali di tempat kerja. (Supinah, 2008: 11-12).
2.4.1.7 Langkah-langkah CTL. Menurut
Depdiknas
(dalam
http://www.m-edukasi.web.id/2011/12/
pengertian-pembelajaran-kontekstual-ctl.html) CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut: a. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topic. c. Kembangkan sigat ingin tahu siswa dengan bertanya. d. Ciptakan masyarakat belajar e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran. f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan. g. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
2.2 Kerangka Berpikir. Pembelajaran matematika di sekolah dilaksanakan agar siswa mempunyai kempuaan-kemampuan matematis, diantaranya kemampuan koneksi matematik. Pembelajaran di sekolah lebih banyak menggunkan pembelajaran konvensional yang membuat siswa kurang aktif dalam pembelajaran. Untuk mata pelajaran matematika harus di akui bahwa menempatkan siswa sebagai subjek pasif dalam pembelajaran hanya akan membuat siswa bosan dan pada akhirnya meraka tidak akan termotivasi dalam belajar, yang berakibat hasil belajar matematika rendah. Siswa seharusnya diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk bisa menggali sendiri pengetahuan matematikanya. Pendekatan pembelajaran CTL memiliki 7 asas pokok yakni, konstruktifis, inquiry, questioning, learning community, modeling, reflection, dan authentik assement. Pada setiap kesempatan guru harusnya menerapkan metode inquiry dalam pembelajarannya, sehingga pengetahuan matematika siswa didapatkan tidak hanya dalam bentuk yang sudah jadi, tetapi melalui proses penemuan. Dengan demikian siswa akan lebih tertantang dalam mempelajari matematika. Selain itu kegiatan untuk mengkoneksikan matematika dengan kehidupan sehari juga sangat penting, kegiatan tersebut menuntut pemahaman siswa tentang pemodelan (modeling) matematika atas hal-hal yang terjadi di kehidupan sehari-hari dan menyelesaikannya, yang selanjutnya akan membuat siswa paham dan sadar akan pentingnya matematika dalam kehidupan sehari hari. Jika pembelajaran dilaksanakan berdasarkan atas asas-asas pembelajaran CTL tersebut, maka dapat diduga kemampuan matematik siswa akan lebih
optimal, khususnya kemampuan koneksi matematik. Selain itu telah banyak panelitian yang relevan yang membahas tentang penerapan pendekatan CTL yang dihubungkan peningkatan dengan hasil belajar siswa. 2.3 Hipotesis Penelitian. Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian serta kerangka berpikir di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: “Rata-rata Skor Kemampuan Koneksi Matematik Siswa yang Belajar Dengan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Lebih Tinggi Dibandingkan Dengan Rata-rata Skor Kemampuan Koneksi Matematik Siswa yang Belajar Dengan Pembelajaran Konvensional”.