BAB II KAJIAN TEORI
1.1. Partisipasi Politik Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah. Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi politik sebagai : By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective. (partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadipribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.1
Dengan demikian, pengertian Huntington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu : pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatankegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponenkomponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabat pemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai
1
Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 4
pekerjaan profesional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negara biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek-aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pemberontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah. Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science menyatakan bahwa :2 The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy (partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”. Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo memaknai partisipasi politik adalah:
2
Miriam Budiarjo, Partisipasi dan partai Politik,Jakarta : YOI, 1998 Hal. 2
Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.3 Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut diatas, secara eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi core political activity yang bersifat personal dari setiap warga negara secara sukarela untuk berperan serta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan kebijakan publik. Selanjutnya secara eksplisit, Huntington dan Nelson membedakan partisipasi politik kedalam dua karakter, yaitu: a. Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela; b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh Pemerintah adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasikan;4 Kemudian Ramlan Surbakti juga memberikan pengertian yang sejalan dengan pengertian partisipasi politik diatas yakni: “Partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut serta menentukan pimpinan pemerintahan” Partisipasi politik tersebut didefenisikan sebagai keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik yang dilakukan oleh warga negara biasa.5 Berangkat dari dua gagasan menganai partisipasi politik tersebut diatas maka, dapat dikatakan bahwa partisipasi politik dapat dibedakan dalam dua hal. Pertama, partisipasi dalam warga masyarat dalam keadaan sadar dalam hal untuk memperjuangkan hak otonom masyarakat yang tanpa didorong oleh kekuataan diluar diri individu atau partisipasi politik tidak berdasarkan mobilisasi yang dilakoni baik oleh aktor maupun pemerintah. Kedua, partisipasi politik yang dimobilisasi atau digerakan oleh aktor-aktor politik, sehingganya partisipasi politik lebih bersifat semu bukan berpartisipasi dalam keadaan sadar.
3
Miriam, Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1998, Hal. 183 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, op.cit, Hal. 11 5 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta 1992. Hal 118 4
Dalam bukunya Mas‟oed dan Mac Andrews tahun 1981, dengan judul perbandingan sistem politik. Putnam membuat suatu model skematis startifikasi sosial politik. model tersebut dibangun berdasarkan data dari beberapa negara tentang proporsi warga negara yang terlibat dalam berbagai tingkat kegiatan politik. Pada puncak piramida terletak pada kelompok pembuat keputusannya itu individu-individu yang secara langsung terlibat di dalam pembuatan kebijaksanaan nasional.6 Argumentasi tersebut bisa dimasuki pada dua level pernyataan mendasar, dianatarnya keterlibatan warga masyarakat dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan publik serta keterlibatan warga masyarakat dalam memilih pemimpin baik di daerah maupun nasional. Secara teoritis dapat dipahami bahwa posisi puncak dari bangunan piramida yang mempunyai pengaruh sentral dalam segala hal, termasuk pada level partisipasi politik. Seperti yang kita temui pada pembuatan keputusan dan kebijakan pemerintah, posisi ini diperankan dan dieksekusi oleh orang-orang yang menduduki posisi puncak yang secara formal telah dimandat atau didaulat oleh rakyat pada saat pemilu. Disisi lain, posisi aktor-aktor puncak tersebut
dapat dengan leluasa dalam menggerakan atau memobilisasi dukungan politik
masyarakat pada setiap perhelatan politik. Atas hal tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah keikutsertaan warga masyarakat dalam proses politik baik dalam keadaan sadar maupun bersifat semu dalam pengambilan keputusan dan kebijakan umum maupun keterlibatannya dalam mendudukung dan memilih para pemimpinnya. 1.1.1.
Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi dengan asumsi yang
mendasari demokrasi dan partisipasi, orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka
6
Damsar Prof, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010. Hal. 10
warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. karena itu yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Keputusan politik menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan. Maka partisipasi berarti keikutsertaan warga negara biasa atau yang tidak mempunyai kewenangan dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Partisipasi politik dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai suatu kegiatan dan membedakan partisipasi aktif dan partisipasi pasif.7 Partisipasi aktif merupakan mencakupi semua kegiatan warga negara dengan mengajukan usul tentang kebijakan umum, untuk mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pemimpin pemerintahan. Pada pihak yang lain bahwa partisipasi pasif antara lain berupa kegiatan dengan mematuhi peraturan-peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan dengan demikian saja setiap keputusan pemerintah. Bermacam-macam partisipasi politik yang terjadi diberbagai negara dan berbagai waktu. Kegiatan politik konvensional adalah bentukk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern. Bentuk non-konvensional seperti petisi, kekerasan dan revolusi. Bentukbentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik., integritas kehidupan politik dan kekuasan politik dan kepuasan atau ketidak puasan warga negara.8 Dalam buku Perbandingan Sistem Politik Indonesia yang dikutip oleh Mas‟oed dan MacAndrew 1981, Almond membedakan partisipasi politik atas dua bentuk, yaitu :
7 8
Ramlan surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992 Sudjono Sastroatmojo, Perilaku Poitik, Semarang : IKIP Semarang Press, 1995. Hal 74
a. Partisipasi politik konvensional yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern. b. Partisipasi politik non konvensional yaitu suatu bentuk partispasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner. Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi politik dapat dilihat ada tabel berikut : Tabel 1 Bentuk Partisipasi Politik Konvensional 1. Pemberian suara
Non-Konvensional 1. Pengajuan petisi
2. Diskusi politik
2. Berdemonstrasi
3. Kegiatan kampanye
3. Konfrontasi
4. Membentuk
dan
bergabung
dalam kelomok kepentingan 5. Komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif
4. Mogok 5. Tindakan kekerasan politik harta benda(pengeboman, pembakaran) 6. Tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, Pembunuhan) 7. Perang grilya dan revolusi
Sumber :Almond dalam Mas’oed dan MacAndrews (1981) dikutip dari dalam buku DR. Damsar9 Pemikiran Almond tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi politik dapat dilihat dalam dua bentuk, yakni partisipasi politik yang bersifat umum, atau partisipasi politik tanpa kekerasan serta partisipasi politik yang dilakukan oleh warga masyarakat dalam bentuk koersif atau jalur konflik. Adapun pengertian partisipasi politik menurut David P. Roth dan Wilson dalam bukunya “The Comparative Study Of Politics” membuat tipologi partisipasi politik atas dasar piramida partisipasi yang menunjukan bahwa semakin tinggi intensitas dan derajat
9
Damsar Prof, Op.Cit, hal 186
keterlibatan aktifitas politik seseorang, maka semakin kecil kuantitas orang yang terlibat didalamnya.10
Piramida Partisipasi Politik
Aktivis Partisipan Pengamat Orang Opulitis
Identitas dan derajat keterlibatan yang tinggi dalam aktifitas politik dikenal sebagai aktifis. Adapun yang masuk dalam kelompok aktifis adalah pemimpin dan para fungsionaris partai atau kelompok kepentingan yang mengurus organisasi secara penuh waktu (FullTime). Termasuk didalamnya kategori ini adalah kegiatan politik yang dipandang menyimpang atau negatif seperti membunuh politik, teroris, atau pelaku pembajakan untuk meraih tujuan politik. Lapisan berikutnya setelah lapisan puncak piramida dikenal sebagai partisipasi. Kelompok ini mencakup berbagai aktifitas seperti petugas atau juru kampanye, mereka yang terlibat dalam program atau proyek sosial, sebagai pelobi politik, aktif dalam partai politik atau kelompok kepentingan. Lapisan selanjutnya adalah kelompok pengamat, mereka ikut dalam kegiatan politik yang menyita waktu, tidak menuntut prakarsa sendiri, tidak intensif dan jarang melakukannya. Sedangkan lapisan terbawah adalah kelompok yang apolitis yaitu kelompok orang yang tidak peduli terhadap sesuatu yang berhubungan dengan politik. mereka tidak memberikan sedikitpun terhadap masalah politik. Partisipasi politik pada negara yang
10
Mariam, Op.Chit, Hal, 7-9
menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga negara tetapi dalam kenyataannya dengan persentase warga negara yang berpartisipasi berbeda dari satu negara ke negara lain, dengan kata lain tidak semua warga negara ikut dalam proses politik. faktofaktor yang diperkirakan dengan mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang adalah kesadaran politik merupakan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dalam partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk studi tentang partisipasi dapat menggunakan skema-skema klarifikasi yang berbeda-beda yaitu: a. Kegiatan pemilihan dengan mencakup suara akan tetapi juga sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, dengan mencari dukungan dibagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. b. Lobbying merupakan dengan mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin politik dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan tentang persoalan yang telah menyangkut sejumlah besar. c. Kegiatan organisasi dengan merupakan menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannnya yang utama dan eksplisit adalah dengan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah orang. d. Mencari koneksi dengan merupakan tindakan perorangan yang akan ditujukan terhadap pejabat pemerintah dan dengan memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang. e. Tindakan kekerasan merupakan salah satu bentuk dari partisipasi politik dan untuk keperluan analisis ada manfaatnya untuk mendefinisikannya sebagai bentuk kategori tersendiri dengan sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dari pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang ataupun harta benda.11 Oleh sebab itu ada kemungkinan dalam menganalisa partisipasi politik dari segi organisasi kolektif yang berlainan untuk digunakan dalam menyelenggarakan partisipasi dan biasanya yang menjadi landasan yang lazim adalah : a. Kelas yang menyangkut perorangan dengan status sosial, pendapatan pekerjaan yang sama b. Kelompok merupakan perorangan yang meliputi ras, agama, bahasa, atau etnisitas yang sama c. Golongan, dengan perorangan yang akan dipersatukan oleh interaksi yang akan terus menerus atau intens dan salah satu manivestasinya adalah pengelompokan patronklien. Pembentukan pemerintah yang didasarkan pada partai politik seringkali 11
Samuel Huntington, Joan Nelson, Partisipasi Politik Di Negara Berkembang, Rhieka Cipta, Jakarta.1990, hal 18
menciptakan harapan yang tersebar luas bahwa orang dalam menjalankan kekuasaan politik bukan karena kelahiran melainkan berkat kemahiran politik ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi seseorang ataupun masyarakat dalam mengambil keputusan dalam pemilihan umum yang mempengaruhi partisipasi politik yatu : - Pendidikan, pendidikan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum seseorang termasuk didalamnya dengan peningkatan penguasaan teori dan keterampilan memutuskan terhadap persoalan yang menyangkut kegiatan mencapai tujuan. Olah karena itu pendidikan tinggi dapat memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik dapat juga dengan mengembangkan kecakapan dalam menganalisa menciptakan minat dan kemampuan dalam berpolitik. - Perbedaan jenis kelamin, perbedaan jenis kelamin dan status sosial ekonomi juga dengan mempengaruhi keaktifan seseorang dalam berpartisipasi politik, bahwa kemajuan sosial ekonomi suatu negara dapat mendorong tingginya tingkat partisipasi rakyat. Partisipasi itu juga berhubungan dengan kepentingankepentingan masyarakat, sehingga apa yang dilakukan oleh rakyat dalam partisipasi politiknya dengan menunjukan derajat kepentingan mereka. - Aktifitas kampanye, pada umumnya kampanye-kampanye politik hanya dapat mencapai pengikut setiap partai, dengan memperkuat komitmen mereka untuk memberikan suara. Dengan demikian yang menjadi persoalan dalam kaitannya dengan tingkatdan bentuk partisipasi politik masyarakat adalah terletak dalam kedudukan partisipasi tersebut12 Atas landasan tersebut, penulisan ini lebih fokus dalam melihat partisipasi politik yang didorong oleh semangat kolektif etnisitas Arab di Kota Gorontalo dalam memberikan dukungan politik pada saat pemilihan gubernur Gorontalo periode 2011-2016. Dalam artian bahwa keikutsertaan masyarakat etnis Arab sebagai bentuk dari pengejewantahan partisipasi politik ditengarai oleh kedekatan dan kesamaan kelompok etnis.
1.2. Pengertian Etnis Menurut Em Zul Fajri dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia bahwa etnis berkenaan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai
12
Mochatar Mas’oed dan Collin MacAndrews, Perbandingan sistem politik, Gajahmada University, Yogyakarta, 1986, hal 40-50
arti atau kedudukan karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Sedangkan menurut Ariyuno Sunoyo dalam Kamus Antropologi, bahwa: “Etnis adalah suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam suatu peta etnografi”.13 Setiap kelompok memiliki batasan-batasan yang jelas untuk memisahkan antara satu kelompok etnis dengan etnis lainnya. Menurut Koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga.14 Suku bangsa yang sering disebut etnik atau golongan etnik mempunyai tanda-tanda atau ciri-ciri karakteristiknya. Ciri-ciri tersebut terdiri dari:15 a. Memiliki wilayah sendiri b. Mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan kekuasaan yang ada c. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi d. Mempunyai seni sendiri (seni tari lengkap dengan alat-alatnya, cerita rakyat, seni ragam hias dengan pola khas tersendiri) e. Seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman f. Sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan, sikap dan tindakan g. Mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri. Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya adanya kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, ada kesamaan struktural sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan dan dianggap 13
Ariyuno Sunoyo, Kamus Antropologi, Jakarta, Antropologi Press, 1985. Koentjaranigrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982, hal. 58. 15 Payung Bangun, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UKI, 1998, hal. 63 14
biasa. Dalam kaitannya, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi munculnya strategi politik dalam membedakan “kita” dengan “mereka”.16 Dari beberapa macam argumentasi menganai etnis tersebut di atas, dapat ditarik benang merah bahwa yang mana etnis adalah sebuah komunitas masyarakat yang memiliki berbagai macam kesamaan dalam kehidupan sosio-kulturalnya, kesamaan tersebut yang membedakan mereka dengan komunitas-komunitas lainnya dalam masyarakat. Olehnya itu yang muncul dalam kehidupan sehara-hari lebih menjurus pada pengklaiman “keakukan dan kekitaan”. Orang yang berasal dari suatu kelompok etnis cenderung melihat budaya mereka sebagai yang terbaik. Kecenderungan ini disebut sebagai etnosentrisme, yaitu kecenderungan untuk memandang norma dan nilai yang dianut seseorang sebagai hal yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk menilai dan mengukur budaya lain.17 Dalam interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (1998) adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosi dalam diri individu. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap ini adalah faktor internal dan eksternal individu18. a. Faktor-faktor internal Pengamatan dalam komunikasi melibatkan proses pilihan di antara seluruh rangsangan objektif yang ada di luar diri individu. Pilihan tersebut berkaitan erat dengan motif-motif
16
17
18
Ivan, A, Hadar, “Etnisitas dan Negara Bangsa”, Kompas, 29 Mei 2000. Coleman, J. & Cressey, D. (1984). Social Problem. New York: Harper & Row Gerungan, 1991. Psikologi Sosial, Bandung: Eresco
yang ada dalam diri individu. Selektivitas pengamatan berlangsung karena individu tidak dapat mengamati semua stimulus yang ada. b. Faktor-faktor eksternal Sikap dapat dibentuk dan diubah berdasarkan dua hal, yaitu karena interaksi kelompok dan komunikasi Gerungan juga menambahkan apabila sikap sudah terbentuk dalam diri manusia, maka hal tersebut menentukan pola tingkah lakunya terhadap objek-objek sikap. Pembentukan sikap ini tidak terjadi dengan sendirinya, namun berlangsung dalam interaksi manusia, yaitu interaksi di dalam kelompok dan diluar kelompok. Pengaruh dari luar kelompok ini belum cukup untuk merubah sikap sehingga membentuk sikap baru. Dalam narasi politik Indonesia pasa reformasi 1998 terlihat secara jelas bagaimana politik etnis sebagai embrio atau dinamika tersendiri dalam perhelatan politik lokal. Seiring dengan dinamika fragmentasi masyarakat lokal kedalam berbagai macam sub sistem sosial membuat etnisitas sebagai suatu kekuatan politik dalam mendorong percaturan politik, baik Pemilu Presiden, DPR dan DPRD maupun pemilihan kepala daerah. 1.3. Pemilu/ Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik dipemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga Negara yang memenuhi syarat. Pada zaman modern ini pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal; Pertama, pemilu menempati posisi penting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua, pemilu mejadi indikator Negara demokrasi. Dhal mengatakan bahwa dua dari enam ciri lembaga-lembaga politik yang dibutuhkan oleh demokrasi skala besar adalah berkaitan dengan pemilu, yaitu para pejabat yang dipilih dan pemilu yang bebas adil dan berkala. Ketiga, pemilu penting dibicarakan juga terkait dengan implikasi-implikasi yang luas dari pemilu, pada fase tersebut Huntington menyebut pemilu sebagai alat serta tujuan dari
demokratisasi. Pernyataan tersebut berangkat dari kenyataan tumbangnya penguasa-penguasa otoriter akibat dari pemilu yang mereka sponsori sendiri karena mencoba memperbaharui legitimasi melalui pemilu.19 Pemilihan umum adalah suatu contoh partisipasi politik yaitu kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat unutk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Sangat bermaknanya pemilu bagi semua orang, maka pemilihan yang menjadi indikator demokratisnya suatu negara. Untuk menjaga kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan yang dibentuk melalui mekanisme pemilihan umum maka keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan sebagai energi demokrasi itu sendiri. Pemilihan umum dengan makna demokratisnya adalah tempat berkompetisinya partai politik yang secara umum dapat menjadi tempat pembelajaran bagi elit dan komponen bangsa lainnya. Selain itu pemilihan umum juga terkait dengan peran serta masyarakat dalam memberikan dukungan kepada kandidat dan partai politik yang ada.20 Pada dasarnya ada tiga hal dalam tujuan pemilihan umum.21 Pertama, sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang rakyat yang berdaulat, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakilnya (demokrasi perwakilan). Oleh karena itu, pemilihan umum merupakan mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang harus ditempuh oleh pemerintah biasanya yang menyangkut hal yang prinsipil beberapa negara menyelenggarakan pemilihan umum sebagai mekanisme penyeleksian kebijakan 19
Sigit. Pamungkas, Prihal Pemilu. Yokyakarta : Lab. Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2009, Hal. 3-4 Doni Hendrik, Perilaku Memilih Etnis Cina dalam Pemilu tahun 1999, Padang, 2003, hal 52 21 Phillips, W. Shively, Power and Choice : An Introduction to Political Science, New York : Random House, 1987, hal. 138-147. 20
umum. Biasanya rakyat yang memilih diminta untuk menyatakan ”setuju” atau ”tidak setuju” terhadap kebijakan yang ditawarkan pemerintah. Pemilihan umum untuk menentukan kebijakan umum yang fundamental ini disebut referendum. Kedua, pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakilwakil rakyat yang terpilih atau melalui partai-partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin. Hal ini didasarkan atas anggapan didalam masyarakat terdapat berbagai kepentingan yang tidak hanya berbeda, tetapi juga kadang-kadang saling bertentangan, dan dalam sistem demokrasi perbedaan atau pertentangan kepentingan tidak diselesaikan dengan kekerasan, melainkan melalui proses musyawarah (deliberation). Ketiga, pemilihan umum merupakan sarana memobilisasikan dan/atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik. Hal yang ketiga ini tidak hanya berlaku di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara yang menganut demokrasi liberal (negara-negara industri maju), kendati sifatnya berbeda. Selanjutnya Joko mengatakan bahwa “Pemilihan kepala daerah merupakan rekuitmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Dalam kehidupan politik di daerah, pemilihan kepala daerah merupakan salah satu kegiatan, yang nilainya equivalen dengan pemilihan anggota DPRD. Equivalensi tersebut ditunjukkan dengan kedudukan sejajar antara kepala daerah dan DPRD. Hubungan kemitraan dijalankan dengan cara melaksanakan fungsi masing-masing sehingga terbentuk mekanisme
chek and balances. Oleh sebab itu, pemilihan kepala daerah sesungguhnya bagian dari sistem politik di daerah.22 Dalam konteks struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah. Istilah jabatan publik mengandung pengertian bahwa kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat (publik), berdampak terhadap rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh sebab itu, kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan kepada rakyat. Adapun dalam pejabat politik terkandung maksud mekanisme rekuitmen kepala daerah dilakukan dengan mekanisme politik., yaitu melalui pemilihan yang melibatkan elemenelemen politik, seperti rakyat dan partai-partai politik.23 Asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama persis dengan asas dipakai dalam pemilu 2009, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asasasas pilkada langsung tertuang dalam pasal 56 Ayat (1) UU No.32/2004 dan ditegaskan kembali pada pasal 4 Ayat (3) PP No. 6/2005. selengakapnya bunyi Pasal 56 Ayat (1) berbunyi: „Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.” Dengan asas-asas tersebut, dapat dikatakan bahwa pilkada langsung di Indonesia telah menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam rekuitmen pejabat publik atau pejabat politik yang terbuka. Adapun pengertian asas-asa tersebut adalah sebagai berikut: Asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama persis dengan asas dipakai dalam pemilu 2004, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asasasas pilkada langsung tertuang dalam pasal 56 Ayat (1) UU No.32/2004 dan ditegaskan kembali pada pasal 4 Ayat (3) PP No. 6/2005. selengakapnya bunyi Pasal 56 Ayat (1)
22
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan kepala Daerah Langsung, (Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hal 203. 23 Ibid, hal 203.
berbunyi: „Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.” Dengan asas-asas tersebut, dapat dikatakan bahwa pilkada langsung di Indonesia telah menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam rekuitmen pejabat publik atau pejabat politik yang terbuka. Adapun pengertian asas-asas tersebut adalah sebagai berikut: a. Langsung : Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. b. Umum : Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan berhak mengikuti pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial. c. Bebas : Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. d. Rahasia : Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada Surat Suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan. e. Jujur :Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calon/peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. f. Adil :Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Sistem pemilihan kepala daerah langsung selalu memberikan ruang implementasi hak pilih aktif. Seluruh warga asal memenuhi syarat dapat menjadi pemilih dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Berangkat dari penjelasan di atas, maka dapat disampaikan bahwa Pemilu sebagai salah satu bagian dari kontestasi elite dalam memperebut kekuasaan yang diatur secara prosedural politik dalam memilih pemimpin atau wakil-wakil rakyat, dilain sisi pemilu adalah sebagai sarana pengendalian konfik. Dalam pemilu/ Pilkada itu sendiri kita mengenal asasasas yang terkandung didalamnya. Penjabaran dari asas tersebut meliputi keterlibatan langsung warga negara dalam memberikan pilihan politik secara umum yang diatur lewat peraturan perundang-undangan, warga masyarakat bebas dalam mengekspresikan pilihan politik dalam keadaan rahasia dan tanpa didorong oleh kemauan orang lain.