BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang digunakan pada bab selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi yang diuraikan berupa definisi-definisi dan teorema. Adapaun materi-materi yang digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey LotkaVoltera, fungsi respon, titik ekuilibrium, linearisasi sistem persamaan nonlinear, nilai eigen, vektor eigen, analisis kestabilan dan orbit periodik. A. Persamaan Differensial Definisi 2.1 (Ross, 1989:1) Persamaan differensial adalah suatu persamaan yang menyertakan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas. Berdasarkan banyaknya variabel bebas yang disertakan dalam persamaan, persamaan differensial diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu persamaan differensial biasa dan persamaan differensial parsial. Definisi 2.2 (Ross, 1989:2) Persamaan differensial biasa adalah suatu persamaan differensial yang menyertakan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.
8
Contoh 2.1 Contoh dari persamaan differensial biasa. 𝑑2𝑦 𝑑𝑦 2 + 𝑥𝑦 ( ) − 3𝑦 = 0 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 𝑑3𝑦 𝑑2𝑦 + 3 2 + 5𝑦 = sin 𝑡 𝑑𝑡 3 𝑑𝑡
2.1
2.2
Persamaan (2.1) merupakan persamaan differensial orde dua dan persamaan (2.2) merupakan persamaan differensial orde tiga. Variabel y pada Persamaan (2.1) merupakan variabel tak bebas sedangkan variabel x merupakan variabel bebas tunggal sedangkan pada persamaan (2.2) variabel y merupakan variabel tak bebas dan variabel t merupakan variabel bebas. Definisi 2.3 (Ross, 1989:2) Persamaan differensial parsial adalah persamaan differensial yang menyertakan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel bebas. Contoh 2.2 Contoh dari persamaan differensial parsial, 𝜕𝑣 𝜕𝑣 + =𝑣 𝜕𝑥 𝜕𝑦
2.3
𝜕 2𝑣 𝜕 2𝑣 𝜕 2𝑣 + + =0 𝜕𝑥 2 𝜕𝑦 2 𝜕𝑧 2
2.4
9
Persamaan 2.3 merupakan persamaan differensial orde satu dan persamaan 2.4 merupakan persamaan differensial orde dua. Pada persamaan (2.3) dan (2.4) variabel v merupakan variabel tak bebas sedangkan variabel x dan y pada persamaan (2.3) variabel x,y dan z pada persamaan (2.4) merupakan variabel bebas. B. Sistem Persamaan Differensial Kumpulan dari beberapa persamaan differensial disebut sistem persamaan differensial. Diberikan suatu sistem persamaan differensial sebagai berikut: 𝑥̇ 1 = 𝑓1 (𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 , … , 𝑥𝑛 ), 𝑥̇ 2 = 𝑓2 (𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 , … , 𝑥𝑛 ), 𝑥̇ 3 = 𝑓3 (𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 , … , 𝑥𝑛 ),
2.5
⋮ 𝑥̇ 𝑛 = 𝑓𝑛 (𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 , … , 𝑥𝑛 ) Sistem (2.5) dapat ditulis menjadi 𝑥̇ = 𝑓(𝑥)
2.6
dengan, vektor 𝑥 = (𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 , … , 𝑥𝑛 )𝑇 ∈ 𝐸,
𝐸 ⊆ ℝ𝑛 .
𝑓: 𝐸 → ℝ𝑛 dengan
𝑓 =
(𝑓1 , 𝑓2 , 𝑓3 , … , 𝑓𝑛 )𝑇 dan 𝑓 ∈ 𝐶 ′ (𝐸). Sistem persamaan differensial pada dasarnya terbagi menjadi sistem persamaan differensial linear dan sistem persamaan differensial nonlinear.
1. Sistem persamaan differensial linear
10
Secara umum bentuk sistem persamaan differensial orde satu dengan variabel tak bebas 𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 , … , 𝑥𝑛 serta variabel bebas t dapat dinyatakan sebagai berikut, 𝑥̇ 1 = 𝑎11 (𝑡)𝑥1 + 𝑎12 (𝑡)𝑥2 + ⋯ + 𝑎1𝑛 (𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹1 (𝑡) 𝑥̇ 2 = 𝑎21 (𝑡)𝑥1 + 𝑎22 (𝑡)𝑥2 + ⋯ + 𝑎2𝑛 (𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹2 (𝑡) 𝑥̇ 3 = 𝑎31 (𝑡)𝑥1 + 𝑎32 (𝑡)𝑥2 + ⋯ + 𝑎3𝑛 (𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹3 (𝑡) ⋮ 𝑥̇ 𝑛 = 𝑎𝑛1 (𝑡)𝑥1 + 𝑎𝑛2 (𝑡)𝑥2 + ⋯ + 𝑎𝑛𝑛 (𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹𝑛 (𝑡)
2.7
Jika 𝐹𝑖 (𝑡) dengan 𝑖 = 1,2,3,4 … 𝑛 bernilai nol maka sistem (2.7) merupakan sistem persamaan differensial linear homogen, sedangkan jika 𝐹𝑖 (𝑡) ≠ 0 maka sistem (2.7) merupakan sistem persamaan differensial linear nonhomogen (Ross, 1989:285). Sitem (2.7) dapat ditulis dalam bentuk 𝑥̇ = 𝐴𝑥 + 𝐹(𝑡) 𝑥1 𝑎11 𝑥2 𝑎21 dengan 𝑥 = [ ⋮ ], 𝐴 = [ ⋮ 𝑥𝑛 𝑎𝑛1
𝑎12 𝑎22 ⋮ 𝑎𝑛2
2.8
… 𝑎1𝑛 𝐹1 (𝑡) … 𝑎2𝑛 𝐹1 (𝑡) ⋱ ⋮ ] dan 𝐹(𝑡) = [ ⋮ ]. … 𝑎𝑛𝑛 𝐹𝑛 (𝑡)
Jika 𝐹(𝑡) = 0, maka didapatkan sistem persamaan linear homogen 𝑥̇ = 𝐴𝑥
2.9
dengan vektor 𝑥 = (𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 , … , 𝑥𝑛 )𝑇 dan A adalah matriks ukuran 𝑛 × 𝑛 yang entri-entrinya adalah bilangan real. Contoh 2.3 Contoh dari sistem persamaan diferensial linear homogeny, 𝑑𝑥 = 9𝑥 + 2𝑦 − 3𝑧 𝑑𝑡
11
𝑑𝑦 = 5𝑥 − 4𝑦 + 𝑧 𝑑𝑡
2.10
𝑑𝑧 = 7𝑥 − 3𝑦 + 2𝑧 𝑑𝑡 2. Sistem persamaan differensial nonlinear Sistem persamaan differensial dikatakan nonlinear jika ada persamaan penyusunnya yang merupakan persamaan differensial nonlinear. Persamaan diferensial dikatakan nonlinear jika persamaan diferensial tersebut memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut ini (Ross, 1984: 6): a.
Memuat variabel tak bebas dan/atau turunan-turunannya berpangkat selain 𝑑𝑥
satu. Contoh: 𝑑𝑡 = 𝑡 2 − 5𝑥 b.
Terdapat perkalian pada variabel tak bebas dan/atau turunan-turunannya. 𝑑𝑥
Contoh : 𝑑𝑡 = 𝑥𝑡 2 + 8𝑡 − 3𝑥 c.
Terdapat fungsi yang memuat vaiabel tak bebas dan tidak dapat diperoleh melalui behingga operasi penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian (fungsi transedental dari variabel tak bebas) dan turunanturunannya. Contoh:
𝑑𝑥 𝑑𝑡
= 𝑥 + sin 𝑡
Contoh 2.4 Contoh sistem persamaan differensial nonlinear, 𝑑𝑥 = 5𝑥 − 𝑥𝑦 𝑑𝑡 𝑑𝑦 = −3𝑦 + 2𝑥𝑦 𝑑𝑡
12
2.11
C. Model Matematika Predator-Prey Lotka-Voltera dan Fungsi Respon Persamaan Lotka-Volterra, juga dikenal sebagai sistem persamaan predator-prey karena persamaan ini menyatakan interaksi antara satu jenis predator dan satu jenis prey. Bentuk persamaan ini berupa sepasang persamaan differensial orde pertama dan non-linear. Persamaan ini adalah persamaan yang masih sederhana dengan asumsi dasar dari persamaan Lotka-Voltera yaitu populasi mengalami
pertumbuhan dan peluruhan secara exponensial. Berikut sistem
persamaan Lotka-Voltera (Verhulst,1990:180 ): 𝑑𝑥 = 𝑥(𝑟 − 𝛼𝑦) 𝑑𝑡
2.12
𝑑𝑦 = 𝑦(𝛽𝑥 − 𝑠) 𝑑𝑡
2.13
Dalam dinamika populasi, fungsi respon mengacu pada peningkatan populasi pemangsa atau pengurangan populasi mangsa saat terjadi interaksi. Fungsi respon predator adalah tingkat predasi (daya makan) predator terhadap jumlah makanan/mangsa (Holling, 1959:293-230). Sehingga fungsi respon berkaitan erat dengan peningkatan populasi predator atau pengurangan populasi prey saat saling berinteraksi. Pada tahun 1913, Michaelis dan Menten memperkenalkan sebuah fungsi respon dan pada tahun 1959, Holling menggunakan fungsi respon ini sebagai salah satu fungsi respon predator. Holling memperkenalkan 3 fungsi respon, yaitu fungsi respon tipe I, fungsi respon tipe II dan fungsi respon tipe III (Ruan,S dan Xiao,D, 2001).
13
Fungsi respon tipe I terjadi pada predator dengan karakteristik pasif, dimana ketika populasi mangsa meningkat maka daya konsumsi predator pun meningkat. Contoh predator fungsi respon tipe I adalah laba-laba dengan serangga sebagai mangsa. Misal fungsi respon dinotasikan dengan 𝑝(𝑥) maka persamaan fungsi respon tipe I adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001) 𝑝(𝑥) = 𝑚𝑥. Fungsi respon tipe II terjadi pada predator dengan karakteristik aktif dalam mencari mangsa dan predator memerlukan waktu untuk mencerna mangsa. Contoh predator fungsi respon tipe II adalah serigala dengan karibu sebagai prey. Persamaan fungsi respon tipe II adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001) 𝑝(𝑥) =
𝑚𝑥 . 𝑎+𝑥
Fungsi respon tipe III terjadi pada predator yang cenderung akan mencari populasi prey lain ketika populasi prey yang dimakan mulai berkurang. Contoh predator fungsi respon tipe III adalah rusa tikus (mice deer) dengan kepompong kupu-kupu sebagai prey. Persamaan fungsi respon tipe III adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
𝑝(𝑥) =
𝑚𝑥 2 . 𝑎2 + 𝑥 2
Ketiga fungsi respon tersebut merupakan fungsi monoton naik. Berikut grafik dari ketiga fungsi respon tersebut (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
14
type 3
type 1
𝑝(𝑥)
type 2
𝑥
Gambar 2.1 Grafik Tiga Fungsi Respon Holling Selain ketiga fungsi respon monoton yang telah dikemukakan oleh Holling, menurut S. Ruan dan D. Xiao (2001), Monod dan Haldane menambahkan satu fungsi respon hasil penelitiannya. Fungsi respon ini didasari oleh adanya Interaksi antara predator dan prey yang tidak monoton, yaitu saat jumlah populasi mangsa meningkat, daya predasi pemangsa berkurang karena adanya sifat bertahan dari mangsa. Contoh interaksi seperti ini adalah singa dan banteng, ketika jumlah banteng sedikit maka tingkat konsumsi singa cenderung meningkat, namun ketika jumlah banteng meningkat sehingga pertahanan hidup kelompok banteng pun meningkat maka tingkat predasi singa menurun. Contoh lainnya adalah proses pada penjernihan air. Salah satu cara menjernihkan air adalah dengan memasukkan tawas ke dalam air tersebut membunuh sejumlah bakteri dalam air. Ketika bakteri dalam jumlah tertentu tawas dengan jumlah tertentu, dapat dengan mudah membunuh (memangsa) bakteri tersebut. Namun, ketika bakteri semakin banyak tawas akan semakin sulit membunuh bakteri, dan saat bakteri mencapai jumlah tertentu daya predasi tawas
15
terhadap bakteri cenderung semakin menurun. Persamaan fungsi respon tipe Monod-Haldane adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001) 𝑝(𝑥) =
𝑚𝑥 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐
Menurut Shigui Ruan dan Dongmei Xiao, Sokol dan Howell (1980) juga meneliti tentang predator-prey yang bersifat tak monoton. Dalam penelitiannya, Sokol dan Howell menyatakan fungsi Monod-Haldane dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu (Ruan,S dan Xiao,D, 2001) 𝑝(𝑥) =
𝑚𝑥 𝑎 + 𝑥2
Sokol dan Howell menyatakan bahwa model fungsi respon mereka secara signifikan lebih baik dan lebih sederhana karena hanya melibatkan dua parameter. Berikut grafik fungsi respon tak monoton (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
Gambar 2.2 Grafik Fungsi Respon Tak Monoton. D. Titik Ekuilibrium Titik ekuilibrium atau titik kritis merupakan solusi dari sistem 𝑥̇ = 𝑓(𝑥) yang tidak mengalami perubahan terhadap waktu. Definisi tentang titik ekuilibrium akan dijelaskan pada Definisi (2.5) berikut ini,
16
Definisi 2.5 (Perko, 2001: 102) Titik 𝑥̅ ∈ ℝ𝑛 disebut titik ekuilibrium atau titik kritis dari sistem 𝑥̇ = 𝑓(𝑥) jika 𝑓(𝑥̅ ) = 0. Contoh 2.5 Akan dicari titik ekuilibrium dari sistem berikut ini, 𝑥̇ 1 = 2𝑥1 − 2𝑥1 𝑥2 𝑥̇ 2 = 2𝑥2 − 𝑥12 + 𝑥22
2.15
Penyelesaian: Misalkan 𝑥̅ = (𝑥̅ 1 , 𝑥̅ 2 )𝑇 adalah titik ekuilibrium dari Sistem (2.15) maka 2𝑥1 − 2𝑥1 𝑥2 = 0
2.16
2𝑥2 − 𝑥12 + 𝑥22 = 0
2.17
Dari persaaan (2.16) didapatkan 2𝑥1 (1 − 𝑥2 ) = 0 ⇔ 𝑥̅ 1 = 0 atau 𝑥̅2 = 1 Substitusi 𝑥̅ 1 = 0 ke persamaan (2.17) sehingga didapatkan 𝑥2 (2 + 𝑥2 ) = 0 ⇔ 𝑥̅ 2 = 0 atau 𝑥̅2 = −2 Substitusi 𝑥̅2 = 1 ke persamaan (2.17) sehingga didapatkan 2 − 𝑥12 + 1 = 0 ⇔ 𝑥12 = 3 ⇔ 𝑥̅ 1 = −√3 atau 𝑥̅1 = √3
17
Jadi sistem (2.15) memiliki 4 titik ekuilibrium yaitu (0,0)𝑇 , (0, −2)𝑇 , 𝑇
𝑇
(−√3, 1) dan (√3, 1) . E. Nilai Eigen dan Vector Eigen Definisi 2.6 (Anton, 1991: 277) Jika A adalah matriks 𝑛 × 𝑛, maka vektor tak nol x didalam ℝ𝑛 dinamakan vektor eigen dari A jika Ax adalah kelipatan skalar dari x, yakni 𝐴𝑥 = 𝜆𝑥
(2.18)
untuk suatu skalar 𝜆. Skalar 𝜆 dinamakan nilai eigen dari A dan x dikatakan vektor eigen yang bersesuaian dengan 𝜆. Selanjutnya untuk mencari nilai-nilai eigen dari matriks A, Persamaan (2.18) dapat ditulis menjadi 𝐴𝑥 = 𝜆𝑥 ⟺ 𝐴𝑥 = 𝜆𝐼𝑥 ⟺ 𝐴𝑥 − 𝜆𝐼𝑥 = 0 ⟺ (𝐴 − 𝜆𝐼)𝑥 = 0
(2.19)
dengan I adalah matriks identitas. Menurut Howard Anton (1991: 278) supaya 𝜆 menjadi nilai eigen maka harus ada pemecahan tak nol dari Persamaan (2.19). Persamaan (2.19) akan mempunyai pemecahan tak nol jika dan hanya jika 𝑑𝑒𝑡(𝐴 − 𝜆𝐼) = 0.
(2.20)
Persamaan (2.20) disebut persamaan karakteristik dari A, sedangkan skalar 𝜆 yang memenuhi persamaan (2.20) adalah nilai eigen dari A.
18
Contoh 2.6 Akan dicari nilai eigen dan vektor eigen dari matriks A berukuran 2 × 2 berikut, 𝐴=[
−2 −2 ] 2 3
akan dicari nilai-nilai eigen dan vektor eigen dari matriks A. a. Nilai eigen dari matriks A −2 −2 1 0 𝐴 − 𝜆𝐼 = [ ]−𝜆[ ] 2 3 0 1 =[ =[
−2 −2 𝜆 0 ]−[ ] 2 3 0 𝜆
−2 − 𝜆 2
−2 ] 3−𝜆
Sehingga diperoleh persamaan karakteristik dari 𝐴 yaitu, 𝑑𝑒𝑡(𝐴 − 𝜆𝐼) = 0 −2 − 𝜆 ⇔| 2
−2 |=0 3−𝜆
⇔ (−2 − 𝜆)(3 − 𝜆) − (−2)2 = 0 ⇔ 𝜆2 − 𝜆 − 2 = 0 ⇔ (𝜆 + 1)(𝜆 − 2) = 0 ⇔ 𝜆 = −1 ∨ 𝜆 = 2 Jadi nilai-nilai eigen dari matriks A yaitu 𝜆 = −1 dan 𝜆 = 2. b. Vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai-nilai eigen matriks A. Untuk 𝜆 = −1 −2 − 𝜆 [ 2 −1 [ 2
−2 𝑥1 ][ ] = 0 3 − 𝜆 𝑥2 −2 𝑥1 ][ ] = 0 4 𝑥2
19
{
−𝑥1 − 2𝑥2 = 0 2𝑥1 + 4𝑥2 = 0
Persamaan −𝑥1 − 2𝑥2 = 0 ekuivalen dengan 𝑥1 = −2𝑥2 , misalkan 𝑥2 = 𝑡 maka 𝑥1 = −2𝑡. Sehingga 𝑥1 −2 𝑥 = [𝑥 ] = [ ] 𝑡 2 1 −2 jadi vektor eigen yang bersesuaian dengan 𝜆 = −1 adalah [ ]. 1 Untuk 𝜆 = 2 −2 𝑥1 ][ ] = 0 3 − 𝜆 𝑥2
−2 − 𝜆 [ 2 −4 [ 2 {
−2 𝑥1 ][ ] = 0 1 𝑥2
−4𝑥1 − 2𝑥2 = 0 2𝑥1 + 𝑥2 =0
Persamaan 2𝑥1 + 𝑥2 = 0 ekuivalen dengan 𝑥2 = −2𝑥1 , misalkan 𝑥1 = 𝑡 maka 𝑥2 = −2𝑡. Sehingga 𝑥1 1 𝑥 = [𝑥 ] = [ ] 𝑡 2 −2 jadi vektor eigen yang bersesuaian dengan 𝜆 = 2 adalah [
1 ]. −2
F. Linearisasi Sistem Persamaan Nonlinear Linearisasi merupakan proses mengubah suatu sistem persamaan diferensial nonlinear menjadi sistem persamaan diferensial linear. Menurut Perko (2001, 102), jika diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear 𝑥̇ = 𝑓(𝑥)
20
2.21
dengan 𝑥 ∈ 𝐸 ⊆ ℝ𝑛 , 𝑓: 𝐸 → ℝ𝑛 , f merupakan fungsi nonlinear dan kontinu maka sistem linear linear 𝑦̇ = 𝐴𝑦 dengan matriks 𝐴 = 𝐷𝑓(𝑥̅ ) disebut sebagai linearisasi dari 𝑥̇ = 𝑓(𝑥) di 𝑥̅ . Sebelum ditunjukkan proses linearisasi dari sistem persamaan differensial nonlinear, akan dibahas terlebih dahulu matriks Jacobian yang dijelaskan dalam Teorema 2.1. Teorema 2.1 (Perko, 2001: 67) 𝜕𝑓
Jika 𝑓: ℝ𝑛 → ℝ𝑛 terdiferensial di 𝑥0 maka turunan parsial 𝜕𝑥 𝑖 , 𝑖, 𝑗 = 1, 2, 3, … , 𝑛, 𝑗
di 𝑥0 ada untuk semua 𝑥 ∈ ℝ𝑛 dan 𝑛
𝐷𝑓(𝑥0 )𝑥 = ∑ 𝑗=1
𝜕𝑓 (𝑥 )𝑥 . 𝜕𝑥𝑗 0 𝑗
Bukti: 𝜕𝑓1 𝜕𝑓1 𝜕𝑓1 (𝑥0 )𝑥1 (𝑥0 )𝑥2 (𝑥 )𝑥 𝜕𝑥1 𝜕𝑥2 𝜕𝑥𝑛 0 𝑛 𝑛 𝜕𝑓2 𝜕𝑓2 𝜕𝑓2 𝜕𝑓 (𝑥 )𝑥 (𝑥 )𝑥 (𝑥 )𝑥 0 1 0 2 (𝑥0 )𝑥𝑗 = 𝜕𝑥1 ∑ + 𝜕𝑥2 + ⋯ + 𝜕𝑥𝑛 0 𝑛 𝜕𝑥𝑗 𝑗=1 ⋮ ⋮ ⋮ 𝜕𝑓𝑛 𝜕𝑓𝑛 𝜕𝑓𝑛 (𝑥 )𝑥 (𝑥 )𝑥 (𝑥 )𝑥 [𝜕𝑥1 0 1 ] [𝜕𝑥2 0 2 ] [𝜕𝑥𝑛 0 𝑛 ] 𝜕𝑓1 (𝑥 ) 𝜕𝑥1 0 𝜕𝑓2 (𝑥 ) = 𝜕𝑥1 0 ⋮ 𝜕𝑓𝑛 (𝑥 ) [𝜕𝑥1 0
𝜕𝑓1 (𝑥 ) 𝜕𝑥2 0 𝜕𝑓2 (𝑥 ) 𝜕𝑥2 0 ⋮ 𝜕𝑓𝑛 (𝑥 ) 𝜕𝑥2 0
… … ⋱ …
𝜕𝑓1 (𝑥 ) 𝜕𝑥𝑛 0 𝑥1 𝜕𝑓2 𝑥 (𝑥 ) 2 𝜕𝑥𝑛 0 [ ⋮ ] ⋮ 𝑥𝑛 𝜕𝑓𝑛 (𝑥 ) 𝜕𝑥𝑛 0 ]
= 𝐷𝑓(𝑥0 )𝑥 Matriks 𝐷𝑓(𝑥0 ) disebut matriks Jacobian dari fungsi 𝑓: ℝ𝑛 → ℝ𝑛 yang terdiferensial di 𝑥0 ∈ ℝ𝑛 . 𝐷𝑓(𝑥0 ) dapat dinotasikan dengan 𝐽𝑓(𝑥0 ).
21
Selanjutnya akan ditunjukkan proses linearisasi dari sistem persamaan diferensial nonlinear (2.21) ke dalam sistem persamaan diferensial linear namun sebelumnya akan diberikan teorema mengenai deret Taylor, berikut teorema Deret Taylor: Teorema 2.2 (Purcell, 1987:57) Andaikan 𝑓 sebuah fungsi yang memiliki turunan dari semua tingkatan dalam suatu selang (𝑎 − 𝑟, 𝑎 + 𝑟). Syarat yang perlu dan cukup agar deret 𝑓(𝑎) + 𝑓 ′ (𝑎)(𝑥 − 𝑎) +
𝑓 ′′ (𝑎) 𝑓 𝑛 (𝑎) (𝑥 − 𝑎)2 + ⋯ + (𝑥 − 𝑎)𝑛 + 𝑅𝑛 (𝑥) 2! 𝑛!
menggambarkan fungsi 𝑓 pada selang itu, ialah 𝑙𝑖𝑚 𝑅𝑛 (𝑥) = 0
𝑛→∞
dengan 𝑅𝑛 (𝑥) suku sisa dalam Rumus Taylor, yaitu 𝑅𝑛 (𝑥) =
𝑓 𝑛+1 (𝑐) (𝑥 − 𝑎)𝑛+1 (𝑛 + 1)!
dengan 𝑐 suatu bilanga dalam selang (𝑎 − 𝑟, 𝑎 + 𝑟). Diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear seperti pada sistem (2.21) dan misalkan Deret
𝑥̅ = (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅ 𝑛 )𝑇 adalah titik ekuilibrium dari sistem (2.21). Taylor
dari
(𝑓1 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ), 𝑓2 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ), … , 𝑓𝑛 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ) )𝑇 ekuilibrium 𝑥̅ adalah sebagai berikut,
22
𝑓(𝑥) =
fungsi disekitar
titik
𝑓1 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )𝑇 = 𝑓1 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 +
𝜕𝑓1 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 ) + ⋯ 𝜕𝑥1
𝜕𝑓1 1 𝜕 2 𝑓1 𝑇 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 ) (𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 ) + [ 2 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 )2 + 𝜕𝑥𝑛 1 2 2! 𝜕𝑥1 +
𝜕 2 𝑓1 𝜕 2 𝑓1 𝑇 (𝑥 2 (𝑥̅ ) ) (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 )2 , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅ − 𝑥̅ + ⋯ + 𝑛 2 2 𝜕𝑥𝑛2 1 2 𝜕𝑥22 1 2 𝜕 2 𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅ 𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 )(𝑥2 − 𝑥̅2 ) + ⋯ + 𝜕𝑥1 𝜕𝑥2 1 2 +
𝜕 2 𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥𝑛−1 − 𝑥̅ 𝑛−1 )(𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 )] + ⋯ 𝜕𝑥𝑛−1 𝜕𝑥𝑛 1 2
+
1 𝜕 𝑛 𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 )𝑛 [ 𝑛! 𝜕𝑥1𝑛 1 2 +
+
𝜕 𝑛 𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥2 − 𝑥̅2 )𝑛 + ⋯ 𝜕𝑥2𝑛 1 2
𝜕 𝑛 𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 )𝑛 ] + 𝑅𝑓1 𝜕𝑥𝑛𝑛 1 2 ⋮
𝑓𝑛 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )𝑇 = 𝑓𝑛 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 +
+
𝜕𝑓𝑛 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 ) 𝜕𝑥1 1 2
𝜕𝑓𝑛 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥2 − 𝑥̅2 ) + ⋯ 𝜕𝑥2 1 2
𝜕𝑓𝑛 1 𝜕 2 𝑓𝑛 𝑇 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 ) (𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 ) + [ 2 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , , … , 𝑥̅ 𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 )2 + 𝜕𝑥𝑛 1 2 2! 𝜕𝑥1 +
𝜕 2 𝑓𝑛 (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥2 − 𝑥̅2 )2 + ⋯ 𝜕𝑥22 1 2
23
+
𝜕 2 𝑓𝑛 𝜕 2 𝑓𝑛 𝑇 (𝑥 2 (𝑥̅ ) ) (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 )(𝑥2 − 𝑥̅2 ) , 𝑥̅ , … , 𝑥̅ − 𝑥̅ + 𝑛 𝑛 𝑛 𝜕𝑥𝑛2 1 2 𝜕𝑥1 𝜕𝑥2 1 2 +⋯+
+
𝜕 2 𝑓𝑛 (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥𝑛−1 − 𝑥̅𝑛−1 )(𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 )] + ⋯ 𝜕𝑥𝑛−1 𝜕𝑥𝑛 1 2
1 𝜕 𝑛 𝑓𝑛 (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅ 𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 )𝑛 [ 𝑛! 𝜕𝑥1𝑛 1 2 +
𝜕 𝑛 𝑓𝑛 (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥2 − 𝑥̅2 )𝑛 + ⋯ 𝜕𝑥2𝑛 1 2
𝜕 𝑛 𝑓𝑛 + 𝑛 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 )𝑛 ] + 𝑅𝑓𝑛 𝜕𝑥𝑛 fungsi
𝑓(𝑥) =
(𝑓1 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ), 𝑓2 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ), … , 𝑓𝑛 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ) )𝑇
dan
karena
𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ada disekitar 𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 sehingga nilai dari
(𝑥1 − 𝑥̅1 ), (𝑥2 −
Karena
dicari
bentuk
linier
terdekat
dari
𝑥̅2 ), … , (𝑥𝑛 − 𝑥̅ 𝑛 ) sangat kecil maka penurunan pada deret Taylor hanya hingga turunan
pertama
dan
deret
Taylor
dari
(𝑓1 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ), 𝑓2 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ), … , 𝑓𝑛 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ) )𝑇
fungsi
𝑓(𝑥) =
disekitar
ekuilibrium 𝑥̅ berubah menjadi 𝑓1 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )𝑇 = 𝑓1 (𝑥̅1 , 𝑥̅ 2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 +
𝜕𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 ) 𝜕𝑥1 1 2
+
𝜕𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥2 − 𝑥̅ 2 ) + ⋯ 𝜕𝑥2 1 2
+
𝜕𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 ) + 𝑅𝑓1 𝜕𝑥𝑛 1 2
𝑓2 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )𝑇 = 𝑓2 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅ 𝑛 )𝑇 +
+
𝜕𝑓2 (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 ) 𝜕𝑥1 1 2
𝜕𝑓2 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥2 − 𝑥̅2 ) + ⋯ 𝜕𝑥2 1 2
24
titik
+
𝜕𝑓2 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 ) + 𝑅𝑓2 𝜕𝑥𝑛 ⋮
𝑓𝑛 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )𝑇 = 𝑓𝑛 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 +
+
+
𝜕𝑓𝑛 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 ) 𝜕𝑥1
𝜕𝑓𝑛 (𝑥̅1 , 𝑥̅ 2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥2 − 𝑥̅2 ) + ⋯ 𝜕𝑥2
𝜕𝑓𝑛 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 ) + 𝑅𝑓𝑛 𝜕𝑥𝑛 1 2
dengan 𝑅𝑓1 , 𝑅𝑓2 , … , 𝑅𝑓𝑛 disebut bagian nonlinear atau sisa yang nilainya mendekati nol sehingga nilai dari 𝑅𝑓1 , 𝑅𝑓2 , … , 𝑅𝑓𝑛 dapat diabaikan dan karena (𝑥̅1 , 𝑥̅ 2 , , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 adalah
titik
ekuilibrium
sistem
(2.21)
maka
𝑓1 (𝑥̅1 , 𝑥̅ 2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 =
𝑓2 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 = ⋯ = 𝑓𝑛 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 = 0 . Sehingga diperoleh 𝑥̇ 1 =
𝜕𝑓1 𝜕𝑓1 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 ) + (𝑥̅ , 𝑥̅ , , … , 𝑥̅ 𝑛 )𝑇 (𝑥2 − 𝑥̅ 2 ) + ⋯ 𝜕𝑥1 𝜕𝑥2 1 2 +
𝑥̇ 2 =
𝜕𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 ) 𝜕𝑥𝑛 1 2
𝜕𝑓2 𝜕𝑓2 (𝑥̅1 , 𝑥̅ 2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 ) + (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥2 − 𝑥̅2 ) + ⋯ 𝜕𝑥1 𝜕𝑥2 1 2 +
𝜕𝑓2 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 ) 𝜕𝑥𝑛 1 2 ⋮
𝑥̇ 𝑛 =
𝜕𝑓𝑛 𝜕𝑓𝑛 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥1 − 𝑥̅1 ) + (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅ 𝑛 )𝑇 (𝑥2 − 𝑥̅ 2 ) + ⋯ 𝜕𝑥1 𝜕𝑥2 1 2 +
𝜕𝑓𝑛 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 ). 𝜕𝑥𝑛 1 2
Sistem (2.22) dapat ditulis ke dalam bentuk matriks berikut:
25
2.22
𝑥̇ 1 𝑥̇ [ 2] = ⋮ 𝑥̇ 𝑛 𝜕𝑓1 𝜕𝑥1 𝜕𝑓2 𝜕𝑥1 𝜕𝑓𝑛
[𝜕𝑥1
(𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛
)𝑇
⋮ (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇
𝜕𝑓1 𝜕𝑥2 𝜕𝑓2 𝜕𝑥2 𝜕𝑓𝑛 𝜕𝑥2
(𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇
…
)𝑇
…
⋮ (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇
⋱ …
(𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛
𝜕𝑓1 𝜕𝑥𝑛 𝜕𝑓2 𝜕𝑥𝑛
(𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛
)𝑇
⋮ 𝜕𝑓𝑛 𝜕𝑥𝑛
(𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 ]
𝑥1 − 𝑥̅1 𝑥 − 𝑥̅2 [ 2 ] ⋮ 𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛
Misalkan 𝑦1 = 𝑥1 − 𝑥̅1, 𝑦2 = 𝑥2 − 𝑥̅2 , … , 𝑦𝑛 = 𝑥𝑛 − 𝑥̅𝑛 , dan didapatkan 𝑦̇ 1 𝑦̇ [ 2] = ⋮ 𝑦̇𝑛 𝜕𝑓1 𝜕𝑥1 𝜕𝑓2 𝜕𝑥1
(𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛
)𝑇
⋮ 𝜕𝑓𝑛 𝑇 [𝜕𝑥1 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )
𝜕𝑓1 𝜕𝑥2 𝜕𝑓2
(𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇
…
)𝑇
…
⋮ 𝜕𝑓𝑛 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 𝜕𝑥
⋱ …
𝜕𝑥2
(𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛
2
𝜕𝑓1 𝜕𝑥𝑛 𝜕𝑓2 𝜕𝑥𝑛
(𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 (𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛
)𝑇
⋮ 𝜕𝑓𝑛 𝜕𝑥𝑛
(𝑥̅1 , 𝑥̅2 , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 ]
𝑦1 𝑦2 [⋮] 𝑦𝑛
2.23
dari Sistem (2.23) didapatkan matriks Jacobian 𝐽(𝑓(𝑥̅ )) 𝜕𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 𝜕𝑥1 1 2 𝜕𝑓2 (𝑥̅ )𝑇 = 𝜕𝑥1 1 , 𝑥̅ 2 , … , 𝑥̅𝑛 ⋮ 𝜕𝑓𝑛 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 [𝜕𝑥1 1 2
𝜕𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅ 𝑛 )𝑇 𝜕𝑥2 1 2 𝜕𝑓2 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅ 𝑛 )𝑇 𝜕𝑥2 1 2 ⋮ 𝜕𝑓𝑛 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅ 𝑛 )𝑇 𝜕𝑥2 1 2
𝜕𝑓1 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 𝜕𝑥𝑛 1 2 𝜕𝑓2 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 … 𝜕𝑥𝑛 1 2 ⋱ ⋮ 𝜕𝑓𝑛 (𝑥̅ , 𝑥̅ , … , 𝑥̅𝑛 )𝑇 … 𝜕𝑥𝑛 1 2 ] …
dan sistem hasil linearisasi dari sistem (2.21) adalah 𝑦̇ = 𝐽(𝑓(𝑥̅ ))𝑦.
2.24
Jika tidak ada bagian real dari nilai eigen-nilai eigen matriks 𝐽(𝑓(𝑥̅ )) yang bernilai nol, maka sifat kestabilan Sistem (2.21) dapat dilihat dari Sistem (2.24) dan titik 𝑥̅
26
disebut sebagai titik ekuilibrium hiperbolik. Definisi resmi mengenai titik ekuilibrium hiperbolik dapat dilihat pada Definisis 2.7 berikut. Definisi 2.7 (Perko, 2001: 102) Titik ekuilibrium 𝑥̅ ∈ ℝ𝑛 disebut titik ekuilibrium hiperbolik dari Sistem (2.21) jika bagian real nilai eigen dari matriks 𝐷𝑓(𝑥̅ ) tidak ada yang bernilai nol. Contoh 2.7 Akan dicari matriks Jacobian dari sistem (2.15) serta akan dilakukan identifikasi untuk masing-masing titik ekuilibrium. Pencarian titik ekuilibrium telah dilakukan pada Contoh 2.5 dan didapatkan titik ekuilibrium untuk sistem (2.15) adalah 𝑇
𝑇
(0,0)𝑇 , (0, −2)𝑇 , (−√3, 1) dan (√3, 1) . Matriks Jacobian dari Sistem (2.25) adalah 𝜕(2𝑥1 − 2𝑥1 𝑥2 ) 𝜕(2𝑥1 − 2𝑥1 𝑥2 ) 𝜕𝑥1 𝜕𝑥2 2 − 2𝑥2 𝐽(𝑓(𝑥̅ )) = =[ 2 2) −2𝑥1 𝜕(2𝑥2 − 𝑥1 + 𝑥2 𝜕(2𝑥2 − 𝑥12 + 𝑥22 ) [ ] 𝜕𝑥1 𝜕𝑥2
2𝑥1 ] 2 + 2𝑥2
Untuk 𝑥̅1 = (0,0)𝑇 2 0 𝐽(𝑓(0,0)𝑇 ) = [ ] 0 2 Didapatkan nilai eigen dari 𝐽(𝑓(0,0)𝑇 ) yaitu 2−𝜆 | 0
0 |=0 2−𝜆
⇔ (2 − 𝜆)(2 − 𝜆) = 0 ⇔ 𝜆1 = 2 ∨ 𝜆2 = 2 Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium 𝑥̅1 = (0,0)𝑇 adalah titik ekuilibrium hiperbolik.
27
Untuk 𝑥̅2 = (0, −2)𝑇 6 𝐽(𝑓(0, −2)𝑇 ) = [ 0
0 ] −2
Didapatkan nilai eigen dari 𝐽(𝑓(0, −2)𝑇 ) yaitu 6−𝜆 | 0
0 |=0 −2 − 𝜆
⇔ (6 − 𝜆)(−2 − 𝜆) = 0 ⇔ 𝜆1 = 6 ∨ 𝜆2 = −2 Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium 𝑥̅2 = (0, −2)𝑇 adalah titik ekuilibrium hiperbolik. Untuk 𝑥̅2 = (−√3, 1)
𝑇
𝑇 −2√3] 𝐽 (𝑓(−√3, 1) ) = [ 0 2√3 4 𝑇
Didapatkan nilai eigen dari 𝐽 (𝑓(−√3, 1) ) yaitu |0 − 𝜆 2√3
−2√3| = 0 4−𝜆
⇔ −𝜆(4 − 𝜆) − (−2√3)(2√3) = 0 ⇔ 𝜆2 − 4𝜆 + 12 = 0 ⇔ (𝜆 − 2 − √8𝑖)(𝜆 − 2 + √8𝑖) = 0 ⇔ 𝜆1 = 2 + √8𝑖 ∨ 𝜆2 = −2 + √8𝑖 Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium 𝑥̅3 = (−√3, 1) adalah titik ekuilibrium hiperbolik. Untuk 𝑥̅2 = (√3, 1)
𝑇
28
𝑇
𝑇 2√3] 𝐽 (𝑓(√3, 1) ) = [ 0 −2√3 4 𝑇
Didapatkan nilai eigen dari 𝐽 (𝑓(√3, 1) ) yaitu | 0 − 𝜆 2√3 | = 0 −2√3 4 − 𝜆 ⇔ −𝜆(4 − 𝜆) − (−2√3)(2√3) = 0 ⇔ 𝜆2 − 4𝜆 + 12 = 0 ⇔ (𝜆 − 2 − √8𝑖)(𝜆 − 2 + √8𝑖) = 0 ⇔ 𝜆1 = 2 + √8𝑖 ∨ 𝜆2 = −2 + √8𝑖 𝑇
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium 𝑥̅4 = (√3, 1) adalah titik ekuilibrium hiperbolik. G. Analisis Kestabilan Kestabilan titik ekuilibrium dari sebuah sistem persamaan differenssial secara umum dibagi menjadi tiga jenis yaitu stabil, stabil asimtotik dan tidak stabil. Kestabilan titik ekuilibrium ini akan dijelaskan dalam definisi-definisi dan teorema berikut. Definisi 2.8 (Olsder, 2004:57) Diberikan sistem persamaan differensial 𝑥̇ (𝑡) = 𝑓(𝑥(𝑡)) dengan 𝑥 ∈ ℝ𝑛 , penyelesaan dengan keadaan awal 𝑥(0) = 𝑥0 dinotasikan oleh 𝑥(𝑡, 𝑥0 ).
Suatu titik ekuilibrium 𝑥 dikatakan stabil bila untuk setiap 𝜀 > 0 ada 𝛿 > 0 dan 𝑡𝛿 sedemikian hingga bila ‖𝑥𝑡𝛿 − 𝑥‖ < 𝛿 maka ‖𝑥(𝑡, 𝑥𝑡𝛿 ) − 𝑥‖ < 𝜀 untuk semua 𝑡 > 𝑡𝛿 .
29
Suatu titik ekuilibrium 𝑥 dikatakan stabil asimtotik bila titik 𝑥 stabil dan ada 𝛿1 > 0 sedemikian hingga 𝑙𝑖𝑚 ‖𝑥(𝑡, 𝑥0 ) − 𝑥̅ ‖ = 0 untuk semua 𝑡→∞
𝑥0 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 ‖𝑥0 − 𝑥̅ ‖ < 𝛿1 .
Suatu titik ekuilibrium dikatakan takstabil bila tidak memenuhi definisi stabil.
Ilustrasi pada ℝ2 dari Definisi 2.9 disajikan pada Gambar 2.3 berikut ini,
Gambar 2.3 Ilustrasi Kestabilan Secara intuisi, stabil untuk nilai awal yang cukup dekat dengan titik ekuilibrium maka untuk nilai t yang cukup tinggi, penyelesaian sistem sangat dekat dengan titik ekuilibrium dalam suatu persekitaran. Sedangkan stabil asimtotik berarti penyelesaian konvergen ke titik ekuilibrium (asalkan titik awal adalah cukup dekat ke titik ekuilibrium). Takstabil artinya selalu ada penyelesaian yang dimulai dari manapun dekatnya dengan titik ekuilibrium tapi akhirnya menjauh dari titik ekuilibrium. Analisis kestabilan berdasarkan definisi masih terlalu sulit dilakukan, oleh karena itu terdapat cara analisis kestabilan berdasarkan nilai eigen dari sistem persamaan differensial. Teorema berikut memberikan syarat kestabilan dari persamaan differensial 𝑥̇ = 𝐴𝑥, dimana matriks 𝐴 mempunyai peranan penting
30
khususnya nilai eigen (𝜆) dari matriks 𝐴 yaitu bagian real dari 𝜆 yang dinotasikan oleh 𝑅𝑒𝜆. Untuk suatu sistem persamaan differensial linear 𝑥̇ = 𝐴𝑥 dengan 𝐴 adalah matriks berukuran 𝑛 × 𝑛 dan titik ekuilibrium yang diambil sebagai titik asal adalah 𝑥 = 0 (meskipun mungkin ada titik ekuilibrium yang lainnya saat determinan matriks 𝐴 sama dengan nol). Untuk selanjutnya dikatakan bahwa persamaan differensial 𝑥̇ = 𝐴𝑥 atau bahkan matriks 𝐴 itu sendiri adalah stabil asimtotik, stabil atau takstabil bila titik asal 𝑥 = 0 sebagai titik ekuilibrium adalah stabil asimtotik, stabil atau takstabil (Olsder,2004:58). Teorema 2.3 (Olsder, 2004:58) Diberikan persamaan differensial 𝑥̇ = 𝐴𝑥 dengan matriks A berukuran 𝑛 × 𝑛 dan mempunyai nilai karakteristik yang berbeda 𝜆1 ,· · · , 𝜆𝑘 (𝑘 ≤ 𝑛).
Titik asal 𝑥 = 0 adalah stabil asimtotik bila dan hanya bila 𝑅𝑒𝜆𝑖 < 0 untuk semua 𝑖 = 1,· · · , 𝑘.
Titik asal 𝑥 = 0 adalah stabil bila dan hanya bila 𝑅𝑒𝜆𝑖 ≤ 0 untuk semua 𝑖 = 1,· · · , 𝑘 dan untuk semua 𝜆𝑖 dengan 𝑅𝑒𝜆𝑖 = 0 multisiplisitas aljabar sama dengan mutiplisitas geometrinya.
Titik asal 𝑥 = 0 adalah takstabil bila dan hanya bila 𝑅𝑒𝜆𝑖 > 0 untuk beberapa 𝑖 = 1,· · · , 𝑘 atau ada 𝜆𝑖 dengan 𝑅𝑒𝜆𝑖 = 0 dan multisiplisitas aljabar lebih besar dari mutiplisitas geometrinya.
Analisis kestabilan juga dapat dilakukan dengan melihat potret fase sistem. Potret fase dari persamaan differensial menurut Hale dan Kocak (1991) merupakan
31
kumpulan dari semua orbit, sedangkan orbit merupakan proyeksi dari grafik solusi pada bidang-𝑥𝑦 dengan kata lain potret fase juga merupakan proyeksi dari grafik solusi pada bidang-𝑥𝑦. Pada potret fase juga diberi panah berarah. Potret fase dari sebuah sistem hampir seluruhnya berdasarkan nilai eigen (𝜆). Desinisi dari bentukbentuk potret fase dapat dilihat pada Definisi 2.9. Definisi 2.9 (Verhulst, 1990:28) Diberikan sebuah sistem persamaan linear dimensi dua 𝑥̇ = 𝐴𝑥 dengan nilai eigen 𝜆1 dan 𝜆2 . 1. Sistem dikatakan Node pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai real dan bertanda sama. Stabil Node jika 𝜆1 , 𝜆2 < 0 dan tidak stabil Node jika 𝜆1 , 𝜆2 > 0. 2. Sistem dikatakan Saddle pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai real dan berbeda tanda. Saddle bersifat tidak stabil. 3. Sistem dikatakan Focus pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai kompleks, 𝜆1 , 𝜆2 = 𝜇 ± 𝑤𝑖 dengan 𝜇 ≠ 0. Stabil Focus jika 𝜇 < 0 dan tidak stabil Focus jika 𝜇 > 0. 4. Sistem dikatakan Center pada titik ekuilibrium jika kedua nilai eigen bernilai imajiner murni. Jika sistem linear dikatakan focus maka sistem stabil namun jika sistem hasil linearisasi bernilai Center maka kestabilan sistem asli tidak dapat ditentukan. Contoh potret fase untuk setiap kasus dapat dilihat pada Gambar 2.4a, 2.4b, 2.4c, 2.4d, 2.4e dan 2.4f.
32
Gambar 2.4a Stabil Node
Gambar 2.4b Tidak Stabil Node
Gambar 2.4c Saddle
33
Gambar 2.4d Stabil Focus
Gambar 2.4e Tidak Stabil Focus
Gambar 2.4f Center
34
H. Orbit Periodik Pada model matematika Predator-prey, untuk mengetahui apakah mangsa dan pemangsa akan selalu ada dalam sistem maka digunakan orbit periodik. Jika sistem memiliki orbit periodik maka mangsa dan pemangsa akan selalu ada secara bersama-sama. Definisi orbit periodik secara formal dapat dilihat pada Definisi 2.10.
Definisi 2.10 (Hale, 1991:179) Suatu solusi 𝜑(𝑡, 𝑥 0 ) dari sistem 𝑥̇ = 𝑓(𝑥) disebut sebagai solusi priodik jika 𝜑(𝑡 + 𝑝, 𝑥 0 ) = 𝜑(𝑡, 𝑥 0 ) untuk semua 𝑡 ∈ ℝ dan 𝑝 > 0. Orbit 𝛾(𝑥 0 ) = {𝜑(𝑡, 𝑥 0 ), 𝑡 ∈ ℝ} dari sebuah solusi priodik disebut orbit priodik (orbit tertutup). Keberadaan orbit periodik dapat ditunjukkan dengan menggunakan kriteria Dulac. Teorema 2.4 Kriteria Dulac (Hale, 1991:373) Misal 𝐵(𝑥1 , 𝑥2 ) adalah fungsi bernilai real 𝐶 1 pada daerah 𝐷 ⊆ 𝑅 2. Jika 𝜕(𝐵𝑓1 ) 𝜕𝑥1
+
𝜕(𝐵𝑓2 ) 𝜕𝑥2
tidak bernilai nol dan tidak terjadi perubahan tanda di 𝐷 maka
𝑥̇ = 𝑓(𝑥) tidak memiliki orbit periodik. I. Lumpur Lapindo dan Bacillus subtilis Sekitar November 2006, lumpur Sidoarjo mulai dibuang melalui Kali Porong melalui outlet sekitar 20 km dari hulu sungai, dengan harapan debit air Sungai Porong dapat mengalirkan buangan lumpur Sidoarjo ke laut dalam di Selat Madura (BAPEL –BPLS dalam Gita Anggraeni, Suntoyo, Muhammad Zikra, 2014). Kali
35
Porong (Sungai Porong) merupakan salah satu cabang dari sungai Brantas yang berhulu di Mojokerto. Lumpur panas dibuang melalui Sungai Porong dengan menggunakan pompa dimana debit lumpur yang dibuang antara 0.5 m3/s - 4,5 m3/s atau sekitar 1.8 juta L/Jam – 16.2 juta L/Jam. Hal ini berakibat pada penurunan kualitas air Sungai Porong. Menurut Kep.Menkes. No. 907/2002, air layak dikonsumsi jika kadar logam berat di air tidak lebih dari 0,003 ppm untuk Cd (Kadmium), 1 ppm untuk Cu (Tembaga), 0,05 ppm untuk Pb (Timbal) dan 0,05 ppm untuk Cr (Kromium). Namun air Lumpur Sidoarjo mengandung logam berat antara lain Pb 0,05 ppm, Cr 0,65 dan Cu 0.0144 ppm dan air Sungai Porong mengandung Cd 0.0271 ppm (Faisal Aziz P dkk, 2013:1) sehingga air Sungai Porong tidak layak konsumsi. Pada tahun 2013, Faisal Aziz P,dkk telah melakukan penelitian guna mengurangi kandungan logam berat pada air Sungai Porong dengan menggunakan bakteri Bacillus Subtilis. Menurut penelitian tersebut, kemampuan B. subtilis untuk menurunkan COD (Chemical Oxygen Demand) adalah sebesar 211,7 – 752 mg/L dari semula 6.438,1 mg/L atau sebesar 88,41 % - 96,73 %. COD merupakan kadar limbah anorganik yang diukur dari banyaknya oksigen yang diperlukan untuk memecah limbah anorganik. Jika nilai COD sungai porong pada awalnya adalah 20,2 mg/L, maka dengan teknologi B. subtilis COD menurun menjadi 0,66 – 2,34 mg/L. Sedangkan kemampuan untuk dapat mengikat logam berat seperti Cd, Pb dan Cu masing – masing sebesar 87%, 77% dan 54%. Berikut tabel kemampuan reduksi B. subtilis (Faisal Aziz P dkk, 2013:9):
36
Tabel 2.1 Reduksi Logam Berat oleh B.subtilis
Penggunaan mikrobia dalam penurunan kadar logam berat pada air telah banyak digunakan. Secara umum mikrobia mengurangi bahaya pencemaran logam berat dengan cara: detoksifikasi (biopresipitasi), biohidrometalurgi, bioleaching dan biokumulasi. Detoksifikasi atau biopresipitasi pada prinsipnya mengubah ion logam berat yang bersifat tonsik menjadi senyawa bersifat tidak tonsik. Biohidrometalurgi pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu senyawa yang tidak dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam air. Bioleaching merupakan aktivitas mikrobia untuk melarutkan logam berat dari senyawa yang mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Bioakumulasi merupakan cara yang paling umum digunakan oleh mikrobia untuk menangani logam berat. Pada prinsipnya bioakumulasi merupakan pengikatan ion-ion logam dalam struktur sel mikrobia (David Ariono, 1996). Salah satu mikrobia yang dapat digunakan dalam pengurangan kadar logam berat pada air adalah bakteri Bacillus subtilis. Bakteri Bacillus subtilis memiliki potensi untuk menjernihkan sumber air. Kemampuan bakteri tersebut dalam menghasilkan asam poliglutamat (PGA) dapat berperan sebagai flokulan, dimana zat ini dapat mengikat polutan dalam air. Bakteri B. subtilis memiliki laju pertumbuhan dan waktu generasi secara berturut - turut sebagai berikut 1,15/jam
37
dan
33,43
menit. Waktu generasi adalah waktu yang diperlukan oleh
mikroorganisme untuk meningkatkan jumlah sel menjadi dua kali lipat jumlah semula (Doddi Yudhabuntara, 2013). Berikut mekanisme bakteri Bacillus subtilis dalam menjernihkan air (Faisal Aziz P dkk, 2013:8):
1. B.subtilis sebagai bioflokulan Mekanisme penjernihan air menggunakan B.subtilis didasarkan bahwa mikroorganisme ini mampu memproduksi bioflokulan sehingga mampu mengikat zat polutan. Proses penjernihan air kotor karena zat polutan ialah sebagai berikut. Air kotor+Mikroorganisme+O2 mikroorganisme + Flok + Air bersih +CO2 Prinsip teknik ini adalah menginteraksikan mikroorganisme dengan air kotor yang mengandung polutan-polutan. Mikroorganisme mengikat polutan dan akan membentuk gumpalan partikel yang ukurannya dapat memungkinkan untuk dipisahkan dengan sedimentasi atau filtrasi (flok). Di dalam air kotor oksigen yang ada hanya sedikit karena polutan akan mengubah kondisi COD dan BOD tetapi bakteri tetap mampu berkembang dan berperan. Flok-flok bakterien menyebabkan air kotor tersebut mengendap di dasar, sehingga akan terpisah antara polutan, air dan mikroorganisme. 2. B.subtilis sebagai penghasil asam Poliglutamat (PGA) Proses penjernihan air dapat dilakukan dengan memanfaarkan asam poliglutamat (PGA), dimana PGA tersebut juga dihasilkan oleh B.subtilis, proses penjernihan digambarkan dalam skema berikut ini
38
Asam poliglutamat (PGA) + Air mengandung polusi Flok +Air bersih Prinsip teknik ini adalah asam poliglutamat dicampur dengan air yang mengandung polusi dan akan menghasilkan flok yang mengendap di dasar, sehingga akan terpisah antara polutan dan air. Hal ini diakibatkan PGA mengandung anion yang mengikat polutan yang mengandung kation sehingga akan mengakibatkan endapan di dasar. 3. B.subtilis untuk mengikat dan menyerap logam berat Proses penjernihan air yang mengandung logam berat dapat dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme, yang terdiri dari dua tahap yaitu aktif uptake dan pasif uptake. Mikroorganisme
dikontakkan
Air yang tercemar logam berat
Proses pasif uptake Pertukaran ion
Proses aktif uptake Menyerap logam berat
Pengurangan logam berat
Gambar 2.5 Proses Penjernihan Air Prinsip teknik ini ialah mengontakkan mikroorganisme dengan air yang tercemar polutan dan terjadi dua proses yaitu proses aktif uptake dan proses pasif uptake. Proses pasif uptake terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel dengan dua cara yang berbeda, pertama pertukaran ion di mana ion monovalent dan divalent seperti Na+, Ca2+ dan Mg+ pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat Cd2+ dan Ni2+ dan yang kedua adalah formasi kompleks antara ion-ion
39
logam berat dengan functional groups seperti carbonyl, amino, thiol, hydroxyl, phosphate dan hydroxyl-carbonyl yang berada pada dinding sel. Sedangkan pada proses aktif uptake, mikroorganisme memakan logam berat untuk pertumbuhan mikroorganisme. Logam berat dapat diendapkan dan ekskresi pada tingkat ke dua. Pada tahap tertentu mikroorganisme ini dapat mati, sehingga dari kedua proses tersebut menyebabkan terjadi pengurangan polutan ion logam berat.
40