BAB II KAJIAN TEORI
Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika, antara lain tentang Limit, Turunan, Turunan Fungsi Trigonometri dan Fungsi Hiperbolik, Aturan Rantai pada Turunan, Turunan Parsial, Persamaan Diferensial, Persamaan Diferensial Biasa, Persamaan Diferensial Parsial, Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas, Masalah SturmLiouville dan Fungsi Eigen, Deret Fourier, Metode Separasi Variabel, dan Keadaan Steady State. A. Limit Pemikiran tentang limit yang menyatakan bahwa bahwa selisih antara mensyaratkan bahwa
dan
berarti
dapat dibuat sekecil mungkin dengan
cukup dekat, tetapi tidak sama dengan (Purcell, 2010).
Definisi 2.1 Limit (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Diberikan kecil, terdapat
yang artinya untuk setiap sedemikian sehingga
yang nilainya sangat dengan syarat
atau dengan kata lain
Sebagai ilustrasi dari definisi limit tersebut, perhatikan contoh berikut ini.
7
Contoh 2.2 Akan dibuktikan bahwa
Analisis Pendahuluan: Akan ditentukan nilai dari , sebagai berikut
sehingga
Berdasarkan Persamaan (2.1) diperoleh nilai dari Bukti baku: Andaikan nilai dari
, dan dipilih nilai dari
8
, sehingga didapatkan
B. Turunan Konsep dasar dari turunan adalah perubahan suatu fungsi dalam sesaat. Gambar (2.1) berikut diilustrasikan tentang konsep dari turunan. Misalkan terdapat
, dan
dimana
, serta
.
Gambar (2.1) Ilustrasi Konsep Turunan Berdasarkan Gambar (2.1) diperoleh
Apabila nilai
diperkecil mendekati nol, sehingga Persamaan (2.2) menjadi
9
Jika nilai limit ini ada, maka nilai limit tersebut disebut dengan turunan (perubahan nilai suatu fungsi sesaat) dari
di
.
Definisi 2.3 Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Turunan pertama fungsi sebarang
dinotasikan dengan
yang nilainya pada
adalah
dengan syarat nilai limit dari f(x) ada. Notasi dari turunan disimbolkan dengan notasi Leibniz prima
atau notasi
atau bisa dinotasikan sebagai
atau
. Sebagai ilustrasi dari definisi turunan tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.4 Akan ditentukan turunan pertama dari Menurut Definisi (2.3), sehingga
Jadi, turunan pertama dari
adalah 3.
10
.
C. Turunan Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik Adapun aturan-aturan atau teorema pencarian turunan fungsi trigonometri adalah sebagai berikut. Teorema 2.5 Turunan Fungsi Sin (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika
, maka
.
Bukti: Berdasarkan Definisi (2.3), sehingga
Terbukti. Teorema 2.6 Turunan Fungsi Cos (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika
, maka
.
Bukti: Berdasarkan Definisi (2.3), sehingga
11
Terbukti. Aturan-aturan atau teorema pencarian turunan fungsi hiperbolik adalah sebagai berikut.
Bentuk lain dari
, sementara
.
Teorema 2.7 Turunan Fungsi Sinh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika
, maka
.
Bukti: Karena bentuk lain dari
adalah
, sehingga
12
Terbukti. Teorema 2.8 Turunan Fungsi Cosh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika
, maka
Bukti: Karena bentuk lain dari
adalah
, sehingga
Terbukti. D. Aturan Rantai pada Turunan Sebelum membahas teorema aturan rantai pada turunan, perlu diketahui sifat dasar dari suatu turunan. Dalam hal ini akan ditunjukkan hubungan antara keberadaan turunan suatu fungsi
pada titik
terhadap kekontinuan suatu fungsi
tersebut pada titik . Teorema 2.9 Kekontinuan Fungsi (Bartle, 2000) Jika
mempunyai turunan pada
maka
13
kontinu pada
.
Bukti: Diberikan interval kontinu pada
, dan berlaku dengan menunjukkan bahwa
. Untuk setiap
Karena
. Akan dibuktikan bahwa
, sedangkan
mendekati
ketika
, sedemikian sehingga
ada, maka nilai limitnya ada. Sehingga diperoleh
Karena selisih
mendekati 0 ketika . Sehingga
kontinu pada
, dapat disumpulkan bahwa .
Terbukti. Pernyataan-pernyataan berikut merupakan ringkasan dari hubungan antara kekontinuan dan turunan. (i)
Jika suatu fungsi memiliki turunan pada kontinu pada
, maka fungsi tersebut
. Sehingga, turunan mengakibatkan kekontinuan.
14
(ii)
Ada kemungkinan suatu fungsi kontinu pada memiliki turunan pada
, tetapi tidak
. Sehingga, kekontinuan tidak menjamin
adanya turunan. Sebagai ilustrasi dari teorema kekontinuan tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.10 Diberikan fungsi 1.
untuk Merupakan fungsi yang memiliki turunan pada tersebut kontinu pada
, sehingga fungsi
. Karena jika diambil
diperoleh
. 2.
untuk
.
Merupakan fungsi yang kontinu, tetapi tidak punya turunan pada Karena untuk
diperoleh, untuk
terdefinisi. Sehingga fungsi
.
untuk
. Namun untuk
dan
nilai limitnya tidak
tersebut tidak punya turunan pada
.
Aturan rantai dapat digunakan untuk mempermudah penurunan suatu fungsi komposit. Fungsi komposit merupakan suatu fungsi yang variabel bebasnya adalah suatu fungsi juga.
15
Teorema 2.11 Aturan Rantai pada Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Misalkan
dan
. Jika g terdiferensiasikan di
terdiferensiasikan di oleh
, maka fungsi komposit adalah terdiferensiasikan di
dan
, yang didefinisikan dan
yakni
atau
Bukti: Misalkan bahwa bahwa
dan
terdiferensiasikan di
, bahwa
terdiferensiasikan di
Ketika
diberikan pertambahan
terdapat pertambahan yang berkorespondensi dalam
Jadi,
16
dan
dan
yang diberikan oleh
,
Berdasarkan Teorema (2.9) yang menyatakan bahwa jika maka
kontinu di
mengingat
, sehingga
punya turunan di ,
. Hal tersebut mengakibatkan
,
merupakan fungsi atas . Oleh karena itu,
Terbukti. Pada penulisan bab III, aturan rantai digunakan dalam proses pengubahan persamaan Laplace dari koordinat kartesius ke dalam koordinat polar. Sebagai ilustrasi dari teorema mengenai aturan rantai pada turunan tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.12 Diberikan fungsi . Akan ditentukan turunan pertama dari fungsi Fungsi
dapat dinyatakan sebagai
. Karena
sebagai berikut. dengan
dan
sehingga
17
dan
Apabila menggunakan notasi Leibnitz, maka turunan
dapat ditentukan sebagai
berikut. Jika dimisalkan
, dengan
dan
, maka
. Sehingga
E. Turunan Parsial Turunan parsial merupakan turunan dari sebuah fungsi dari beberapa variabel terhadap salah satu variabel bebasnya, dengan menganggap semua variabel bebas yang lainnya konstan (Spiegel, 1992). Definisi 2.13 Turunan Parsial (Spiegel, 1992) Misalkan suatu fungsi parsial dari
terhadap
merupakan fungsi dari dua variabel dan
dan , turunan
berturut-turut dinyatakan oleh
dengan definisi:
serta
jika limit-limit itu ada.
18
dan
,
Andaikan bahwa menganggap Turunan fungsi dinyatakan oleh
adalah suatu fungsi dua variabel
konstan, maka di
, dengan
adalah fungsi satu variabel
disebut turunan parsial
terhadap
di
. dan
. Jadi
Dengan cara yang sama, turunan parsial dengan
dan
terhadap
di
dinyatakan
dan diberikan oleh
Sebagai ilustrasi dari definisi turunan parsial tersebut, perhatikan contoh berikut ini.
Contoh 2.14 Akan ditentukan
dan
dari fungsi
Menurut Definisi (2.13) sehingga diperoleh
19
dan
F. Persamaan Diferensial Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang persamaan diferensial. Definisi 2.15 Persamaan Diferensial (Ross, 1984) Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas.
20
Berdasarkan banyaknya variabel bebas, persamaan diferensial dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Berikut diberikan definisi persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Definisi 2.16 Persamaan Diferensial Biasa (Ross, 1984) Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas. Definisi 2.17 Persamaan Diferensial Parsial (Ross, 1984) Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel bebas. Persamaan diferensial biasa (PDB) dinotasikan dengan notasi Leibniz atau notasi prima dinotasikan dengan dinotasikan dengan
atau bisa juga
. Persamaan diferensial parsial (PDP) untuk turunan pertama fungsi atas variabel tak bebas
terhadap variabel bebas sampai turunan ke
,
. Untuk turunan parsial kedua, ketiga dan seterusnya berturut-turut dinotasikan sebagai
Persamaan diferensial parsial juga bisa dinotasikan dengan turunan kedua fungsi atas variabel tak bebas
. untuk
terhadap variabel bebas .
Selanjutnya diberikan definisi order dan derajat persamaan diferensial.
21
Definisi 2.18 Order Persamaan Diferensial (Ross, 1984) Order persamaan diferensial adalah order tertinggi dari semua turunan yang terdapat pada persamaan diferensial tersebut. Definisi 2.19 Derajat Persamaan Diferensial (Ross, 1984) Derajat persamaan diferensial adalah pangkat tertinggi dari order tertinggi dari semua turunan pada persamaan diferensial. Sebagai ilustrasi dari definisi order dan derajat persamaan diferensial parsial tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.20 Berikut ini contoh persamaan diferensial
(1)
, merupakan persamaan diferensial biasa berorder 2 dan berderajat 1.
(2)
,
merupakan
persamaan
diferensial
parsial
berorder 2 dan berderajat 2. Berdasarkan hubungan antara variabel tak bebas dan turunan-turunannya, persamaan diferensial order
dibagi menjadi dua yaitu persamaan diferensial
linear dan persamaan diferensial non linear. Definisi 2.21 Persamaan Diferensial Linear (Ross, 1984) Persamaan diferensial linear order bebas
dengan variabel bebas
dapat dinyatakan sebagai berikut
22
dan variabel tak
dengan
.
Persamaan diferensial dikatakan muncul dalam bentuk linear jika memenuhi syarat-syarat berikut ini: (i)
derajat dari variabel tak bebas dan turunan-turunannya adalah satu
(ii)
tidak ada perkalian antara variabel tak bebas dengan turunan-turunannya dan perkalian antara turunan dengan turunannya
(iii)
tidak ada fungsi transenden dari variabel-variabel tak bebas.
Persamaan diferensial yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut disebut persamaan diferensial non linear. Diberikan persamaan diferensial parsial linear order variabel tak bebas
dan dua variabel bebas
dan
dengan satu
yang terdefinisi pada domain
didefinisikan sebagai berikut:
dengan
,
diberikan dalam variabel
dan
fungsi dan konstanta yang
dan .
Definisi 2.22 Persamaan Diferensial Homogen (Humi, 1992) Persamaan (2.3) disebut persamaan diferensial homogen jika
23
.
Contoh 2.23 Berikut ini contoh-contoh persamaan diferensial
(1) (2) (3) (4)
Contoh 2.23 (1) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder enam, berderajat satu, linear, dan homogen. Contoh 2.23 (2) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder tiga, berderajat dua, non linear, dan non homogen Contoh 2.23 (3) merupakan persamaan diferensial parsial, berorder tiga, berderajat satu, linear, dan homogen, Contoh 2.23 (4) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder dua dan berderajat satu, non linear, dan homogen, Selanjutnya akan diberikan teorema mengenai prinsip superposisi yang berlaku untuk persamaan diferensial homogen berorder . Teorema 2.24 Prinsip Superposisi (Dennis G Zill, 2005) Jika berorde
adalah penyelesaian dari persamaan diferensial homogen dari Persamaan (2.3) pada interval I, maka kombinasi linearnya
adalah
24
dengan
untuk
adalah konstanta, juga penyelesaian dalam
interval I. Bukti: Misalkan
didefinisikan
sebagai
operator
diferensial
dan
adalah penyelesaian dari persamaan diferensial homogen, sehingga
Jika didefinisikan , maka linearitas dari
karena nilai dari
adalah
maka
Terbukti. Persamaan diferensial parsial linear order dua dengan variabel tak bebas dan variabel bebas
dan , yang terdefinisi pada domain
umum sebagai berikut
25
mempunyai bentuk
Definisi 2.25 Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial (Humi, 1992) Persamaan diferensial (2.4) disebut (i)
elliptik jika
untuk semua
(ii)
parabolik
jika
untuk
semua
(iii)
hiperbolik
jika
untuk
semua
Sebagai ilustrasi dari definisi klasifikasi persamaan diferensial parsial linear order dua tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.26 Persamaan diferensial
(1)
Laplace
merupakan persamaan diferensial elliptik,
karena (2)
Panas
(3)
Gelombang
merupakan persamaan diferensial parabolik, karena
merupakan persamaan diferensial
hiperbolik, karena
26
G. Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian Nilai Awal, Syarat Batas serta Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas yang menyertai suatu persamaan diferensial parsial. Mengingat apabila persamaan diferensial diselesaikan, maka akan
diperoleh
suatu
penyelesaian
umum.
Namun
untuk
memperoleh
penyelesaian khusus diperlukan adanya nilai awal dan syarat batas. Menurut (Humi, 1992) yang dimaksud dengan nilai awal adalah kondisi yang harus dipenuhi pada awal waktu tertentu
. Dalam hal ini persamaan
Laplace merupakan persamaan yang tidak disertai dengan nilai awal, karena persamaan Laplace tidak bergantung pada waktu. Sebagai contoh dari pengertian nilai awal tersebut, diberikan suatu persamaan panas dengan nilai awal . Nilai awal saat waktu
menyatakan bahwa suhu pada posisi
adalah
Syarat Batas adalah suatu syarat atau kondisi yang harus dipenuhi pada batas-batas domain terkait dengan ruang (Humi, 1992). Sebagai ilustrasi, diberikan suatu persamaan panas dengan syarat batas Syarat batas
dan
menunjukkan bahwa suhu pada posisi
dipertahankan sebesar nol derajat, sedangkan perubahan suhu terhadap posisi
.
saat waktu
menunjukkan bahwa
saat waktu dipertahankan nol derajat.
Selanjutnya akan diuraikan mengenai jenis-jenis syarat batas untuk persamaan diferensial parsial order dua. Diberikan domain merupakan titik-titik batas
dengan
. Bentuk umum syarat batas adalah
27
dan
dan
dengan
sebarang konstanta. Dalam (Humi, 1992) syarat batas dikatakan (i)
Dirichlet jika syarat batasnya memberikan nilai dari sebarang fungsi pada
atau dapat ditulis
dengan (ii)
fungsi dalam variabel .
Neumann jika syarat batasnya memberikan nilai turunan pada
atau dapat ditulis
dengan (iii)
dan
dan
dan
dan
fungsi dalam variabel .
Robin jika syarat batasnya memberikan relasi linear antara pada
dengan
terhadap
atau dapat ditulis
sebarang konstanta serta
dengan dan
dan
fungsi dalam variabel .
Sebagai ilustrasi mengenai jenis-jenis syarat batas tersebut, perhatikan contoh berikut ini.
Contoh 2.27 Diberikan persamaan diferensial Syarat batas (1) (2)
(3)
merupakan Syarat Batas Dirichlet. merupakan Syarat Batas Neumann.
merupakan Syarat Batas Robin.
28
.
Selanjutnya akan diuraikan mengenai Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas atau disingkat MNASB. Masalah yang bersesuaian dengan persamaan diferensial parsial akan rumit jika jumlah penyelesaian independen untuk persamaan tersebut adalah tak terbatas (Humi, 1992). Sehingga formulasi lengkap dari sistem fisik dalam hal persamaan diferensial parsial membutuhkan perhatian tidak hanya untuk persamaan yang mengatur sistem tetapi juga untuk perumusan yang benar dari kondisi batas maupun kondisi awal. Masalah nilai awal dan syarat batas adalah masalah yang terdiri dari suatu persamaan diferensial yang dilengkapi dengan nilai awal dan syarat batas. Kemudian jika masalah nilai awal dan syarat batas tersebut diselesaikan maka akan diperoleh penyelesaian khusus. Sebagai ilustrasi mengenai pengertian masalah nilai awal dan syarat batas tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.28 Diberikan sebuah senar dengan panjang
yang diikat pada kedua
ujungnya. Kemudian senar tersebut dipetik. Pergerakan senar pertama kali (saat ) mempunyai fungsi posisi awal terikat pada syarat batas
untuk
, sehingga diperoleh nilai
. Setelah dipetik, pergerakan di kedua ujung senar yang dan
dipertahankan nol untuk
. Sehingga diperoleh
dan
Jadi diperoleh Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas sebagai berikut
dengan nilai awal
29
dan syarat batas
H. Masalah Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen Definisi 2.29 Masalah Sturm-Liouville (Dean G. Duffy, 2003) Diberikan persamaan diferensial linear berorde 2 berikut ini
dengan syarat batas
Dalam hal ini nilai dari atas
sedangkan
dan
merupakan fungsi bilangan real
adalah suatu parameter. Nilai dari
suatu konstanta real, sedangkan nilai dari
merupakan
dan
merupakan suatu fungsi
yang kontinu dan positif yang terletak pada interval
Persamaan (2.5)
disebut sebagai persamaan Sturm-Liouville dan bersama-sama dengan syarat batas pada Persamaan (2.6) dan (2.7), membentuk suatu Masalah SturmLiouville. Jika diperhatikan pada Persamaan (2.5), masalah tersebut mempunyai penyelesaian
untuk setiap nilai
yaitu
,
. Penyelesaian
tersebut dinamakan dengan penyelesaian trivial. Tetapi akan diperoleh penyelesaian lain yang tak nol jika mengambil nilai
30
tertentu, maka penyelesaian
tersebut dinamakan penyelesaian non trivial. Nilai
yang bersesuaian dinamakan
nilai eigen dan fungsinya disebut sebagai fungsi eigen. I. Persamaan Karakteristik Diberikan persamaan diferensial homogen berorder dua dengan variabel tak bebas
dan variabel bebas
dengan
dan
yang terdefinisi pada domain sebagai berikut
merupakan suatu konstanta. Untuk memudahkan mencari
penyelesaian Persamaan (2.8) diperlukan suatu persamaan karakteristik yang sepadan dengan persamaan tersebut. Persamaan karakteristik dapat diperoleh dengan melakukan subtitusi
dan
berturut-turut oleh
dan
.
Sehingga dalam hal ini persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.8) adalah
Persamaan karakteristik yang diperoleh berupa persamaan pangkat biasa yang dapat diselesaikan dengan melakukan pemfaktoran sehingga diperoleh akarakar karakteristik. Secara umum, akar-akar karakteristik dari suatu persamaan diferensial linear homogen orde 2 menurut (Ross, 1984) dibedakan menjadi tiga, yaitu 1. Akar-akar karakteristik riil berbeda. Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) adalah dan
dengan
, maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9)
adalah
31
2. Akar-akar karakteristik riil kembar. Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) suatu akar riil kembar yaitu
, maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9) adalah
3. Akar-akar karakteristik bilangan kompleks. Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) adalah dan
, maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9)
adalah
Sebagai ilustrasi dari definisi persamaan karakteristik dan akar-akar karakteristik tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.30 1. Akan ditentukan penyelesaian umum dari
Persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.13) adalah
dan Karena diperoleh akar-akar karakteristik riil berbeda, sehingga berdasarkan Persamaan (2.10) diperoleh penyelesaian umum Persamaan (2.13) sebagai berikut
32
2. Akan ditentukan penyelesaian umum dari
Persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.14) adalah
. Karena diperoleh akar-akar karakteristik riil kembar, sehingga berdasarkan Persamaan (2.11) diperoleh penyelesaian umum Persamaan (2.13) sebagai berikut
J. Deret Fourier Pada bagian ini akan dibahas mengenai Deret Fourier. Definisi 2.31 Fungsi Periodik (Humi, 1992) Diberikan fungsi periodik dengan periode
yang terdefinisi untuk setiap jika
. Fungsi
dikatakan
, dengan
Contoh 2.32 (1) Fungsi
adalah fungsi yang periodik dengan periode 2 . Sebab .
(2) Fungsi
adalah fungsi yang periodik dengan periode
Sebab
Kemudian diberikan definisi Deret Fourier.
33
.
Definisi 2.33 Deret Fourier (Humi, 1992) Diberikan fungsi fungsi
yang terdefinisi pada interval
. Deret Fourier
tersebut adalah
dengan
dan
Contoh 2.34 Akan ditentukan Deret Fourier dari
Berdasarkan Definisi (2.33) tentang Deret Fourier, sehingga diperoleh nilai dari
34
Jadi, Deret Fourier dari
adalah
(Mayer Humi & William B. Miller, 1992). Kemudian diberikan definisi fungsi genap dan fungsi ganjil. Definisi 2.35 Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil (Humi, 1992) Diberikan fungsi
terdefinisi pada interval
dikatakan sebagai fungsi genap jika
. Fungsi pada interval
dikatakan sebagai fungsi ganjil jika
pada interval
35
dan .
Contoh 2.36 1. Fungsi untuk setiap
merupakan fungsi ganjil, karena pada interval
2. Fungsi untuk setiap
.
merupakan fungsi genap, karena pada interval
3. Fungsi
.
bukan merupakan fungsi genap maupun fungsi ganjil
karena Kemudian dibahas mengenai Deret Fourier sinus dan Deret Fourier cosinus. Teorema 2.37 Deret Fourier Sinus (Humi, 1992) Diberikan fungsi sebagai fungsi ganjil
terdefinisi pada interval pada interval
dan dapat diperluas
Jika Deret Fourier dari
maka Deret Fourier tersebut berbentuk
dengan
36
ada,
Bukti: Diketahui fungsi sebagai fungsi ganjil
terdefinisi pada interval pada interval
sehingga Deret Fourier tersebut adalah
dengan
Dimisalkan
, sehingga diperoleh
37
dan dapat diperluas
Deret Fourier dari
ada,
Karena
merupakan fungsi ganjil dan
genap, sehingga diperoleh
dan
38
merupakan fungsi
Karena
merupakan fungsi ganjil dan
merupakan fungsi
ganjil, diperoleh
Jadi terbukti bahwa Deret Fourier untuk
adalah
dengan
Deret Fourier ini disebut Deret Fourier sinus fungsi Contoh 2.38 Diberikan fungsi
39
.
Akan ditentukan Deret Fourier sinus untuk fungsi tersebut. Berdasarkan Teorema 2.37 maka Deret Fourier sinus dari fungsi
dengan
Jadi, Deret Fourier dari
adalah
40
adalah
Teorema 2.39 Deret Fourier Cosinus (Humi, 1992) Diberikan fungsi sebagai fungsi genap
terdefinisi pada interval pada interval
dan dapat diperluas
Jika Deret Fourier dari
ada,
maka Deret Fourier tersebut berbentuk
dengan
Bukti : Diketahui fungsi fungsi genap
terdefinisi pada interval
pada interval
dan dapat diperluas sebagai
Deret Fourier dari
Fourier tersebut adalah
dengan
41
ada, sehingga Deret
Dimisalkan
karena
, sehingga diperoleh
merupakan fungsi genap, maka
42
Karena
dan
merupakan fungsi genap, sehingga diperoleh
Jadi terbukti bahwa Deret Fourier untuk
adalah
dengan
Torema 2.39 disebut juga deret Fourier cosinus. Deret Fourier ini disebut Deret Fourier cosinus fungsi
43
.
Contoh 2.40 Diberikan fungsi
Akan ditentukan Deret Fourier cosinus untuk fungsi tersebut. Berdasarkan Teorema 2.39 maka Deret Fourier cosinus dari fungsi
dengan
dan
44
adalah
Jadi Deret Fourier cosinus dari fungsi
adalah
K. Metode Separasi Variabel Metode Separasi Variabel adalah metode untuk mencari penyelesaian persamaan diferensial dengan cara mengasumsikan penyelesaian tersebut merupakan perkalian dari fungsi-fungsi variabel bebas yang ada pada persamaan diferensial tersebut. Metode separasi variabel bertujuan untuk mereduksi persamaan diferensial parsial yang diberikan menjadi bentuk persamaan diferensial biasa. Dengan demikian persamaan diferensial parsial tersebut lebih mudah untuk dicari penyelesaiannya.
45
Diberikan persamaan diferensial linear homogen dengan variabel bebas dan , serta variabel tak bebas
yang dilengkapi dengan syarat batas tertentu.
Diasumsikan penyelesaian dari persamaan diferensial tersebut adalah Langkah-langkah penyelesaian persamaan diferensial tersebut dengan metode separasi variabel yaitu sebagai berikut (Humi, 1992): 1. Persamaan
disubstitusi ke persamaan diferensial.
2. Hasil dari langkah (1) dibagi dengan
.
3. Jika hasil dari langkah (2) dapat dinyatakan sebagai jumlahan suku-suku yang hanya tergantung dari
dan suku-suku yang hanya tergantung dari ,
maka dengan konstanta pemisah
atau
akan didapat sistem dua
persamaan diferensial biasa. 4. Gunakan syarat batas yang diberikan untuk menentukan syarat batas untuk persamaan diferensial biasa dari langkah (3). 5. Selesaikan persamaan diferensial (Masalah syarat Batas) hasil dari langkah (3) dan langkah (4). 6. Diperoleh
,
yang merupakan
penyelesaian
dari
persamaan diferensial di atas. Kemudian dengan prinsip superposisi ditentukan penyelesaian umumnya. 7. Gunakan nilai awal yang diberikan, kemudian ditentukan penyelesaian Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas. Contoh 2.41 Diberikan persamaan diferensial parsial
46
dengan syarat batas
dan nilai awal
Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas (2.15) sampai (2.17) akan diselesaikan dengan menggunakan metode Separasi Variabel. Jika diasumsikan adalah penyelesaian dari MNASB di atas maka langkah-langkah penyelesaiannya sebagai berikut: 1. Persamaan
disubstitusikan ke Persamaan (2.15)
sehingga diperoleh
2. Persamaan (2.18) dibagi dengan
sehingga diperoleh
atau
3. Untuk mendapatkan dua persamaan diferensial biasa dari Persamaan (2.19), digunakan konstanta pemisah – sehingga
Dari Persamaan (2.20) diperoleh dua persamaan diferensial biasa yaitu
47
dan
4. Jika digunakan syarat batas (2.16) yaitu pada persamaan
dengan maka diperoleh
dan
Berdasarkan Persamaan (2.20) disyaratkan
, sehingga .
5. Diperoleh Masalah Sturm-Liouville sebagai berikut
Selanjutnya dicari penyelesaian non trivial dari Masalah SturmLiouville (2.22a) dan (2.22b) yang dapat ditinjau menjadi tiga kemungkinan yaitu untuk
dan
.
Kemungkinan 1 : Dari persamaan (2.22a) didapat adalah
, penyelesaiannya
, dengan A dan B konstanta sebarang. Jika
digunakan syarat batas (2.22b) yaitu . Jadi untuk
, maka diperoleh
Masalah Syarat Batas (2.22a) dan (2.22b)
mempunyai penyelesaian trivial.
48
Kemungkinan 2 : Persamaan
(2.22a)
mempunyai
Karena diketahui menjadi
persamaan
karakteristik
, persamaan karakteristiknya
, dan akar-akar karakteristiknya adalah
dan –
yang
bernilai real. Penyelesaian Persamaan (2.22a) adalah dengan
dan
(2.22b) yaitu
konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas , maka diperoleh
dan
Karena
, sehingga
. Penyelesaian Masalah Sturm-
Liouville (2.22a) dan (2.22b) adalah penyelesaian trivial Jadi untuk
.
Masalah Syarat Batas (2.22a) dan (2.22b)
mempunyai penyelesaian trivial. Kemungkinan 3 :
49
Persamaan
(2.22a)
mempunyai
. Karena diketahui
persamaan
karakteristik
, persamaan karakteristiknya menjadi
, dan akar-akar karakteristiknya adalah bilangan kompleks dan –
. Penyelesaian Persamaan (2.22a) adalah dengan
dan
konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas
(2.16b) yaitu
, maka diperoleh
dan
Agar mempunyai penyelesaian non trivial diambil
sehingga
diperoleh
Jadi untuk
Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) mempunyai
penyelesaian non trivial dan
dengan Nilai Eigen
konstanta sebarang,
Jadi penyelesaian Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) adalah
50
dengan Nilai Eigen
dan
konstanta sebarang,
Kemudian dicari penyelesaian untuk persamaan (2.21a). Telah diketahui bahwa
sehingga diperoleh
Persamaan (2.24) diintegralkan terhadap , sehingga diperoleh
dengan
.
51
6. Persamaan (2.23) dan (2.25) disubstitusi ke persamaan
,
sehingga diperoleh
atau
dengan Kemudian
dengan
menggunakan
prinsip
superposisi,
diperoleh
penyelesaian dari Masalah Syarat Batas tersebut yaitu
7. Berdasarkan nilai awal (2.17) yaitu
, sehingga Persamaan
(2.27) menjadi
Kalikan Persamaan (2.28) dengan fungsi yang orthogonal dengan yaitu
, sehingga diperoleh
Kemudian integralkan kedua ruas pada Persamaan (2.29) diperoleh
52
Bentuk orthogonal yang berada di ruas kanan pada Persamaan (2.30) nilainya akan sama dengan nol, kecuali jika
, sehingga Persamaan
(2.30) menjadi
Jadi, penyelesaian Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas (2.15) sampai (2.17) adalah
dengan
I.
Keadaan Steady State Keadaan steady state merupakan kondisi dimana sifat-sifat suatu sistem
tidak berubah dengan berjalannya waktu (Freedman, 2008). Jika dimisalkan terdapat suatu sistem dengan variabel tak bebas
53
dan variabel bebas
dan . Hal
ini berarti untuk setiap nilai
dari sistem tersebut, turunan parsial terhadap waktu
adalah nol.
Keadaan ini dapat diekspresikan pada sebuah lempengan logam berbentuk persegi panjang ataupun berbentuk lingkaran yang diberi sumber panas pada sisisisinya. Sebelum mencapai steady state, suhu pada lempengan logam tersebut akan merambat dan mengalami perubahan. Perubahan suhu yang terjadi disebut keadaan transien. Pada hal ini perambatan suhu merupakan jenis perambatan dua dimensi, dimana perambatan yang terjadi bergantung pada posisi
atau
. Proses perambatan ini terjadi karena pada masing-masing sisi telah diberi sumber panas sehingga pada waktu tertentu akan mencapai keadaan steady state.
54