BAB II KAJIAN TEORI 1.1 Kajian Relevan Sebelumnya. Jenis penelitian ini merupakan penelitian tentang sastra lisan, yang objek kajiannya bermuara pada sastra lisan Gorontalo khususnya palebohu. Jadi jika berbicara masalah sastra lisan palebohu, tentunya sudah ada peneliti-peneliti sebelumnya yang telah melakukan penelitian sejenis. Seperti halnya penelitian yang telah dilakukan oleh Kasim, dkk pada tahun 1889/1890 dengan judul puisi sastra lisan daerah Gorontalo. objek kajian dari penelitian ini adalah tujaqi, palebohu, tinilo, mala-mala, taleningo, leningo, lumadu, bungga, bunito, lohidu, panthungi, wumbungo, tahuli, paiya lo hungo lo poli, dan Tahuda. Untuk ruang lingkup permasalahan palebohu dikaji dengan menggunakan dua teori yakni teori strukturalisme dan teori sosiologi sastra. Penelitian yang sama dilakukan dan dikaji dalam penelitian ini adalah objek penelitian. Objek penelitian ini adalah palebohu, sedang sebelumnya juga mengkaji masalah palebohu. Kedua, penelitian sebelumnya mengkaji tentang struktur palebohu yakni tentang tema, imaji, symbol, rima, bahasa (gaya bahasa), tifografi dan embajemen. sedangkan penelitian ini lebih difokuskan pada tema sastra lisan palebohu. Ketiga penelitian sebelumnya selain dikaji menggunakan teori struktural, dikaji juga dengan menggunakan teori sosiologi sastra
yakni
tentang fungsi sastra lisan palebohu pada masyarakat dan nilai palebohu itu dalam masyarakat, sedangkan pada penelitian ini mengkaji tentang nilai didaktis.
Keempat adalah hasil penelitian. Hasil penelitian yang telah ditemukan pada penelitian sebelumnya adalah: mendeskripsikan struktur yang terdiri dari tema, imaji, symbol, rima, bahasa (gaya bahasa), tifografi dan embajemen.
Dan
mendeskripsikan fungsi dan nilai sastra lisan palebohu melalui kajian sosiologi sastra sastra lisan palebohu, Sedangkan pada penelitian ini akan lebih mengarah pada tema dan nilai didaktis Sastra Lisan palebohu Pada Masyarakat Gorontalo. 2.2 Hakikat Sastra Lisan
Tuloli (2003:1) menyatakan sastra lisan adalah salah satu aspek budaya yang sangat luas dan sangat banyak, dan terdapat pada semua masyarakat, baik masyarakat modern maupun masyarakat tradisional. Dari pernyataan ini, peneliti melihat bahwa setiap masyarakat memiliki yang namanya karya sastra, dan tidak terkecuali sastra lisan. Hal yang mustahil bahwa ketika ada masyarakat namun tidak ada sastra lisan. Sastra lisan ini sangat identik dengan masyarakat sebab sastra lisan merupakan salah satu aspek budaya. Dan setiap kelompok masyarakat pasti memiliki budaya masing-masing, seperti halnya yang terjadi di Indonesia yang setiap provinsi atau daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hutomo (1991:1) menyatakan bahwa yang dinamakan sastra lisan sebenarnya adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Hal ini kemudian diperkuat oleh pendapat Rafiek (2012:53) yang menyatakan bahwa sastra lisan adalah karya yang penyebarannya dari mulut ke mulut secara turun temurun. Kemudian hal senada juga telah disampaikan oleh Kutha Ratna
(2011:104) dikatakan bahwa sastra lisan (oral literature) adalah berbagai bentuk yang dikemukakan secara lisan. Taum (2011:21) menyatakan bahwa sastra lisan adalah sekelompok teks yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan, yang secara intrinsik mengandung sarana-sarana kesusastraan dan memiliki efek estetik dalam kaitannya dengan konteks moral maupun kultur dari sekelompok masyarakat tertentu. Pada pernyataan ini, peneliti memandang adanya unsur-unsur intrinsik pada sastra lisan, yang kemudian juga memiliki nilai estitik sehingga menghadirkan nilai-nilai keindahan pada sastra lisan itu sendiri. Selanjutnya nilai estetik tadi merambat kekelompok masyarakat tertentu. 2.3 Ciri-ciri Sastra Lisan Hutomo (1991:3-4) menyatakan bahwa sastra lisan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Penyebarannya melalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan, baik dari segi waktu, maupun ruang melalui mulut. 2) Lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf 3) Menggambarkan ciri-ciri budaya sesuatu masyarakat, sebab sastra lisan itu merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial). Oleh karena itu, sastra lisan disebut juga sebagai fosil hidup 4) Tidak diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik masyarakat
5) Bercorak puitis, teratur, dan berulang-ulang, maksudnya (a) untuk menguatkan ingatan, (b) untuk menjaga keaslian sastra lisan supaya tidak cepat berubah 6) Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan/ fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra lisan itu mempunyai fungsi penting di dalam masyarkat-masyarkatnya (lihat di dalam uraian mengenai fungsi) 7) Terdiri dari berbagai Versi 8) Bahasa: umumnya menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari), mengandung dialek, bahkan kadang-kadang di ucapkan tidak lengkap. Dari uraian di atas, peneliti memandang adanya perbedaan antara ciri-ciri sastra lisan dan sastra tertulis. Hal ini bisa dilihat dari proses lahirnya sastra lisan yang muncul pada masyarakat pedesaan dibanding dengan sastra tulis yang bisa lahir dari seluruh kalangan masyarakat. Perbedaan berikut terletak pada pengarang, yang pada sastra lisan tidak diketahui siapa pengarangnya dan hanya diketahui bahwa sastra lisan itu milik dari salah satu masyarkat. Olehnya sastra lisan itu lebih bersifat anonim. Berbeda halnya dengan sastra tertulis yang setiap karya sastranya memiliki pengarang. Selain itu, sastra lisan juga hanya diterima oleh masyarakat yang tradisional dan tidak dapat diterima oleh masyarakat modrn seperti masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Kemudian pandangan lain lahir dari Rafiek (2012:53) menyatakan ciri-ciri sastra lisan sebagai berikut: 1) Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional
2) Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tak jelas siapa penciptanya 3) Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik 4) Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. Dalam penjelasan Rafiek, penulis melihat bahwa sastra lisan memiliki ciri-ciri yang khas, seperti berikut: 1) Sastra lisan lahir dari masyarakat daerah pedesaan. Hal disebabkan oleh karena daerah pedesaan adalah daerah yang memiliki sedikit peluang masuknya budaya asing 2) Sastra lisan bersifat anonym 3) Selalu menggambarkan ciri khas dari suatu daerah. Selain itu, terdapat juga ciri-ciri lain seperti: 1) Sastra lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise, dan 2) Sastra lisan sering bersifat menggurui. (Endraswara dalam Rafiek, 2012:53) 2.4 Puisi Lisan Menurut Hutomo (dalam Sudikan, 2001:2) yang dinamakan sastra lisan yaitu kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan-temurunkan secara lisan (dari mulut-ke mulut), sedangkan Tuloli (2003:4) menyatakan bahwa sastra lisan pada umumnya disebut juga sastra tradisional atau klasik.
Palebohu merupakan bentuk dari puisi lisan (pidato atau nasehat perkawinan) yang dalam bentuk persinya merupakan sebuah adat liango. (Daulima 2007:15). Oleh karena itu, puisi lisan ini dikaji berdasarkan struktur dari puisi, namun hanya lebih difokuskan pada unsur tema. Selain itu juga dikaji nilai-nilai didaktis yang terdapat di dalamnya. a. Unsur Tema pada puisi Berikut uraian jenis-jenis tema pada puisi : 1) Tema tema keTuhanan. Tema keTuhanan sering kali disebut tema religious filosofis, yaitu tema puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakwa, lebih merenungkan kekuasaan Tuhan, dan menghargai alam seisinya, (Waluyo 2003:18) 2) Tema Kemanusiaan Melalui peristiwa atau tragedi yang digambarkan penyair dalam puisi, ia berusaha meyakinkan pembaca tentang ketinggian martabat manusia. Karena itu, manusia harus dihargai, dihormati, diperhatikan hak-haknya, dan dapat diperlakukan secara adil dan manusiawi. Perbuatan yang mengorbankan martabat manusia, apapun alasannya harus ditentang atau tidak disetujui, (Waluyo 2003:19) 3) Tema Patriotisme Dengan puisi yang bertema patriotism, penyair mengajak pembaca untuk meneladani orang-orang yang telah berkorban demi bangsa dan tanah air. Mereka rela mati demi kemerdekaan, (Waluyo 2003:21)
4) Tema Cinta Tanah Air Jika tema patriotism mengungkap perjuangan membela bangsa dan tanah air, maka tema cinta tanah air berupa pujaan kepada tanah kelahiran atau negari tercinta, (Waluyo 2003:23) 5) Tema Cinta Kasih Antara Pria dan Wanita tema cinta kasih juga meliputi putus cinta atau sedih karena cinta, (Waluyo 2003:24) 6) Tema Kerakyatan atau Demokrasi Tema kerakyatan atau demokrasi mengunggkapkan bahwa rakyat memiliki kekuasaan karena sebenarnya rakyatlah yang menentukan pemerintahan suatu Negara, (Waluyo 2003:27) 7) Tema Keadilan Sosial (Protes Sosial) Tema Keadilan Sosial ditampilkan oleh puisi-puisi yang menuntut keadilan bagi kaum yang tertindas, (Waluyo 2003:28)
8) Tema Pendidikan/Budi Pekerti Tema pendidikan dan budi pekerti begitu kuat ditampilkan pada puisi-puisi angkatan balai pustaka hingga angkatan 1945. Hal ini karena puisi-puisi pada angkatan ini banyak ditulis oleh para Guru. Contoh puisi Ali Hasjmi yang berjudul “menyesal” ini berisi nasehat agar para remaja mempersiapkan masa depan dengan belajar.(Waluyo 2003:30). 9) Tema-tema Lain.
Kelompok penyair dari bandung sekitar tahun 1970-an menulis puisi mbeling, yaitu puisi yang berkesan main-main dan tidak berkesungguhan. Namun sebenarnya puisi-puisi mbeling banyak bertema protes social. Puisi-puisi Yhudistira ANM Massardi termasuk puisi-puisi mbeling ini. (Waluyo 2003:31) 10) Sense atau tema Sense atau tema atau arti yang terkandung dalam subject matter sebuah puisi. Setiap puisi mengandung subject matter/bahasa yang dikemukakan penyair kepada penikmat sekalipun dalam beberapa puisi arti tersebut agak samar, Djojosuroto dan pangkerego (2000:37) b. Tema Sastra Lisan Palebohu Menurut Kasim, dkk (1989/1990: 70-72) tema pada sastra lisan palebohu terdiri dari tiga jenis, diantaranya: a) Tema yang berhubungan dengan hidup bermasyarakat b) Tema yang berhubungan dengan tingkah laku yang disukai masyarakat c) Tema yang berhubungan dengan hidup berumah tangga c. Pendapat tentang Nilai Berikut beberapa pengertian Nilai sebagai berikut: 1) Kata nilai dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa asing yakni bahasa latin valare, kemudian diadopsi ke dalam bahasa inggris menjadi value dan bahasa prancis kuno valoir, (Mulyana dalam Jauhari 2010: 25) 2) Menurut Gordon Allport (dalam Mulyana: 2004:9) menyatakan bahwa nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.
3) Kupperman (dalam Mulyana 2004: 9) menyatakan nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif. 4) Nilai berperan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh berbagai orang, (Bertens 2002: 140) d) Pendapat Tentang Didaktis/ Pendidikan Selain pengertian nilai di atas, berikut ini uraian dari beberapa pengertian tentang didaktis/ pendidikan, antara lain: 1) Al-Syaibany (dalam Jalaludin dan Idi 2007: 19) menyatakan bahwa filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memudahkan proses pendidikan. 2) Dewey (dalam Jalaludin dan Idi 2007: 20) mengatakan filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya piker (intelektual) maupun daya perasaan (emosional). 3) Ilmu pendidikan merupakan sebuah system pengetahuan tentang pendidikan yang diperoleh melalui riset. (Mudyahardjo 2006: 9) 4) Pendidikan adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan, (Suhartono 2006: 79)
5) Tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual, (Mulyana 2004: 106) e) Pendapat Tentang Nilai Didaktis atau Pendidikan Nilai Selain uraian di atas, ada dua pendapat yang ditemukan oleh peneliti tentang nilai didaktis maupun pendidikan nilai, antara lain: 1) Pada dasarnya, Pendidikan nilai dirumuskan dari dua pengertian dasar yang terkandung dalam istilah pendidikan dan istilah nilai. Ketika dua istilah itu disatukan, arti keduanya menyatu dalam definisi pendidikan nilai. Namun karena arti pendidikan dan arti nilai dapat dimaknai berbeda, definisi pendidikan nilai pun dapat beragam, tergantung pada tekanan dan rumusan yang diberikan pada kedua istilah itu, (Mulyana 2004: 118) 2) Nilai didaktis, disebut juga nilai pendidikan, yaitu nilai-nilai yang mengandung nasihat, ajaran atau pesan positif berupa bimbingan untuk melakukan kebaikan, (Didipu (2013: 19) 2.5 Puisi lisan Gorontalo Menurut Kasim, dkk (1989/1990:50) ada lima belas puisi lisan Gorontalo, diantaranya: a) Tuja?i, ialah kata-kata pujaan yang tersusun dalam bentuk puisi. Dari batasan ini berarti bahwa tuja?i berisi pujaan.
b) Palebohu, adalah puisi lisan Gorontalo yang berhubungan dengan peradatan dalam masyarakat yang di pakai untuk perkawinan, penobatan, sebagai alat untuk member nasehat. c) Tinilo, merupakan sarana penghubung antara satu pihak dengan pihak lain dan merupakan luapan perasaan yang berisi ungkapan doa yang bersajak d) Mala-mala, di turunkan dari kata mala-mala?o, artinya “berteriak” atau “berseru” (mala?o sama dengan teriakan). Teriakan itu disampaikan dalam bahasa bersajak sebagia tanda memulai pelaksanaan suatu acara. e) Taleningo, adalah kata-kata arif yang berupa pandangan, pemikiran, yang disajikan dalam bentuk sajak. f) Leningo, ialah salah satu puisi lisan Gorontalo yang berupa kata-kata arif yang di ucapkan pada saat upacara perkawinan sebagai pengiring pelaksanaan adat perkawinan. g) Lumadu atau humaya, adalah jenis puisi yang berisi perumpamaan untuk menyatakan isi hati. h) Bungga, ialah sajak yang mengiringi kegiatan menebang atau menarik kayu dari hutan. i) Bonito, hampir sama dengan wumbungo. Hal yang membedakannya dengan wumbungo ialah saat penuturannya. j) Lohidu, adalah salah satu ragam puisi lisan Gorontalo yang berbentuk nyanyian.
k) Panthungi hampir sama dengan lohidu sebagai salah satu bentuk nyanyian. Panthungi adalah nyanyian atau dendang rakyat yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Melayu atau bahasa campuran Melayu dengan bahasa daerah Gorontalo. l) Wumbungo, adalah sejenis puisi yang berupa mantra m) Tahuli, berarti pesan, petuah. n) Pa?iya lo hungo lo poli, merupakan jenis tembang rakyat sebagai hasil kreasi atau pengembangan ragam lohidu dan panthungi. o) Tahuda, berarti petuah untuk orang banyak atau untuk umum. 2.6 Sastra Lisan Palebohu Sastra lisan Gorontalo saat ini masih di sukai oleh beberapa kalangan masyarakat Gorontalo. Beberapa kalangan masyarakat ini sebagian besar bertempat tinggal di daerah pedesaan, dan sebagian kecil berada di kota. Hal ini senada dengan yang telah disampaikan oleh Tuloli (2003: 16), Masyarakat desa, pada umumnya, mempunyai animo yang tinggi mendengar sastra lisan Gorontalo. Dalam perkembangannya, sastra lisan Gorontalo saat ini mulai mengalami pengikisan. Hal ini terlihat dari keadaan generasi penerus atau generasi muda yang hampir sebagian besar tidak mengetahuinya atau tidak mau lagi mempertahnkan sastra lisannya. Tuloli (2003: 17) menyatakan perkembangan sastra lisan Gorontalo, hampir sama nasibnya dengan sastra lisan di daerah lain. Dalam hal ini, peneliti menginterpretasi keberadaan sastra lisan disetiap daerah di Indonesia
rata-rata mengalami pengikisan. Banyak hal yang melatar belakanginya diantaranya faktor pergaulan, dan pola hidup yang mulai modern. Sastra lisan Gorontalo sangat beragam, sebagaimana telah di uraikan oleh Daulima (2007:15) sebagai berikut: a) Tuja’i berbentuk puisi (pujian atau penghargaan) b) Palebohu berbentuk puisi (pidato/nasehat perkawinan) c) Tinilo dutu berbentuk puisi pengantar pada adat antar harta (dutu) d) Tinilo pa’ita berbentuk puisi perkabungan e) Tinilo mopo tuluhu-bantha berbentuk puisi menina bobo sang anak f) Mala-mala berbentuk puisi pembukaan upacara g) Taleningo berbentuk puisi pandangan hidup h) Leningo berbentuk puisi petuah/ajaran agama i) Bungga berbentuk puisi semangat kerja j) Tanggi berbentuk puisi teka-teki k) Limadu berbentuk puisi pepatah perumpaan l) Bonito berbentuk puisi mantera m) Lohidu berbentuk puisi kerinduan n) Pantungi berbentuk puisi berbahasa melayu o) Tinti bohu berbentuk prosa berirama, bagi yang berduka p) Tanggomo berbentuk prosa berirama cerita tentang peristiwa atau kejadian yang nyata q) Tahuli berbentuk puisi pesan-pesan moral dan pendidikan
r) Pa’iya hungolo poli berbentuk puisi berbalas pantun dalam bahasa Gorontalo, bernuansa percintaan. Musik iringan petikan gambus dan tepukan marwas s) Bonggiya berbentuk puisi berbalas pantun dalam bahasa Gorontalo, bernuansa
pendidikan
dan
pembinaan
dan
pesan-pesan
pembangunan t) Tahuda berbentuk puisi kearifan (pesan para leluhur yang tak lekang oleh panas, yang tak lapuk oleh hujan). u) Piilu/wungguli berbentuk cerita penuturan v) Wulito tolobalango berbentuk prosa pada acara peminangan w) Sayiya berbentuk puisi dengan lirik lagu, pengantar kegiatan menghantar mahar. Palebohu
merupakan bentuk dari puisi lisan (pidato atau nasehat
perkawinan) yang dalam bentuk persinya merupakan sebuah adat liango. Daulima (2007:15). Pidato yang dimaksudkan bukan seperti pidato yang sering disampaikan
oleh para pemimpin atau pejabat dalam sebuah forum resmi yang berfungsi untuk menyampaikan informasi kekhalayak umum, namun lebih dikhususkan kepada kedua pengantin yang baru saja menyelesaikan akad nikah. Pelaksanaan dari palebohu ini biasanya dilakukan pada saat kedua pengantin sudah melakukan akad nikah dan telah berada di pelaminan. Biasanya, Palebohu ini hanya oleh pemangku adat yang tahu atas puisi lisan palebohu. Bahkan untuk proses kegiatan dari palebohu ini hanya dilakukan pada saat hari perkawinan.
2.7 Teori/ pendekatan struktural Piagiet (dalam Ratna, 2011:314) menyatakan bahwa struktur pada gilirannya dianggagp sebagai memiliki tiga ciri pokok, yaitu: kesatuan, transformasi, dan regulasi diri. Olehnya penulis melihat bahwa teori struktural merupakan teori yang digunakan untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik, yang di dalamnya mengandung kaitan erat dengan pencipta dari karya sastra itu sendiri. Pada dasarnya penelitian struktural berangkat dari konsep pemaknaan karya sastra berdasarkan hubungan antar unsur di dalamnya. Hal ini jelas, karena menurut teori strukturaisme sastra, karya sastra merupakan “artefak “ maka relasirelasi struktural karya sastra hanya dapat dipahami dalam keseluruhan relasi unsur-unsur artefak itu sendiri. (Taum dalam didipu, 2011:89).Dari pernyataan ini, peneliti memandang bahwa konsep struktural tidak lain untuk mengkaji suatu karya sastra yang di dalamnya mengandung unsur-unsur intrinsik yang saling berhubungan. Dengan konsep ini, maka kita bisa mengetahui secara jelas struktur dari karya sastra, atau yang tidak lain sering disebut unsur pembangunnya. Yasa (2012:13) menyatatakan bahwa strukturalisme memandang teks sebagai sebuah struktur. Struktur tersebut dibangun oleh jumlah unsur yang saling berhubungan dalam rangka mencapai keutuhan tunggal. Melihat pendapat ini, peneliti menyimpulkan bahwa sebuah karya sastra tidak akan bisa diketahui unsur dari strukturnya secara utuh tanpa melihat atau mengkajinya dengan pendekatan struktural.
Suyitno (2009:26) menyatkan bahwa perlu diketahui bahwa analisis strukturalisme bukanlah teori yang mudah untuk diterapkan begitu saja, tetapi setiap karya sastra tidak sama dominannya unsur-unsur terentu. Dalam hal ini peneliti menyimpulkan bahwa setiap pengkajian sastra lisan dengan menggunakan struktural tidak semudah yang kita bayangkan, karena biasanya ada unsur-unsur tertentu yang berbeda dengan yang lainnya, terlebih jika sastra lisan, yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Metode struktural merupakan metode penelitian kritik objektif, Pradopo (2002:21). Dalam hal ini peneliti melihat bahwa kajian struktural harus juga melihat koherensinya dengan karya sastra itu sendiri. Hill (dalam Pradopo 1995:108) menyatakan karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Jadi peneliti mengartikan bahwa untuk mengetahui struktur sebuah karya sastra, harus diuraikan terlebih dahulu unsur-unsur pembentuknya yakni unsur-unsur intrinsik. Langkah-langkah penerapan pendekatan struktural pada sastra lisan palebohu: a. Melihat secara keseluruhan naskah sastra lisan palebohu b. Memilah sastra lisan palebohu perbait c. Menerapakan unsur tema sebagai landasan pengkajian