7
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Kesopanan Berbahasa
Kesopanan berbahasa sangat diperlukan bagi penutur dan petutur. Menurut Fraser dalam Irawan (2010:7) mendefinisikan kesopanan adalah “property associated with neither exceeded any right not failed to fullfill any obligation”. Kalimat ini memiliki arti bahwa kesopanan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan menurut pendapat seorang pendengar, seorang penutur tidak melebihi hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya. Berdasarkan ulasan Fraser mengenai definisi kesopanan tersebut bahwa kesopanan itu adalah properti atau bagian dari ujaran. Jadi bukan ujaran itu sendiri, pendengarlah yang dapat menentukan ada suatu ujaran atau tidak di dalam percakapan. Sebuah ujaran dikatakan sopan oleh seorang penutur apabila di telinga seorang pendengar atau petutur ujaran yang disampaikan terdengar sopan. Kesopanan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa sehari-hari yang tidak menimbulkan kemarahan dan rasa tersinggung pada pihak pendengar. Keadaan yang demikian akan menimbulkan suasana yang harmoni antara penutur dan mitra tutur (Omar dalam Huda, 2013:170). Dari pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa kesopanan berbahasa diartikan sebagai suatu konsep tertentu, yang terdapat di dalam perilaku sosial yang sopan atau etikat. Kesopanan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa.
8
Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Tatacara berbahasa seseorang diharapkan lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal yang terkait kesopanan berbahasa. Oleh karena itu, terdapat hal-hal yang harus diperhatikan terkait kesopanan berbahasa. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, Leech dalam Purnawan (2011:73) mengatakan sebagai berikut. 1. Sebaiknya Dikatakan pada Waktu dan Keadaan Tertentu Hal ini dimaksudkan agar komunikasi dapat berjalan sesuai dengan ketentuan dan adanya kesepakatan. 2. Ragam Bahasa yang Sewajarnya Dipakai dalam Situasi Tertentu Ragam bahasa penting untuk dikomunikasikan seiring situasi yang tepat. 3. Mengetahui Waktu Giliran Berbicara atau Menyela Pembicaraan Anatara pembicara dan lawan bicara tentu hendaknya memahami perlu pergantian saat berbicara. 4. Mengatur Kenyaringan Suara Ketika Berbicara Kenyaringan suara diatur agar tidak menimbulkan kesalahan informasi disebabkan ketidakteraturan. 5. Bersikap yang Baik Saat Gerak-Gerik Sedang Berbicara Sikap dan gerak gerik dalam berbicara penting dikuasai sehingga mudah dimengerti maksud pembicaraan yang disampaikan. 6. Harus Diam dan Mengakhiri Pembicaraan
9
Bagi lawan bicara diharapkan diam untuk mendengarkan pembicara dan pembicara mengakhiri pembicaraan apabila sudah pada waktunya. Berdasarkan hal-hal yang terkait masalah tatacara kesopanan berbahasa, setiap orang harus memiliki kemampuan akan membaca situasi dan kondisi. Dengan kata lain, setiap orang akan lebih mudah menyesuaikan apa yang akan dikatakan dengan posisi tempat terjadinya percakapan. 2.2 Prinsip Kesopanan Berbahasa Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual (sesuai konteks) tetapi seringkali juga berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal (perorangan). Interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip lain, yaitu prinsip kesopanan (poloteness principle). Prinsip kesopanan berbahasa dituangkan ke dalam enam maksim. Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual. Kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan, dan ucapan lawan tuturnya. Prinsip kesopanan berbahasa tertuang dalam enam maksim, antara lain maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim penerimaan (approbation maxsim), maksim kemurahan (generosity maxsim), maksim kerendahan hati (modesty maxsim), maksim kecocokan (agreement maxsim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxsim). Prinsip kesopanan berbahasa berhubungan dengan dua peserta percakapan yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur (Wijana, 2010:51). Ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan prinsip kesopanan ber-
10
bahasa ke dalam enam maksim, antara lain maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxsim), maksim penerimaan (approbation maxsim), maksim rendah hati (modesty maxsim), maksim kecocokan (agreement maxsim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxsim) adalah bentuk ujaran imposif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran imposif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran yang diungkapkan oleh seseorang seperti yang dirincikan oleh Wijana (2010:52) berikut ini. 2.2.1 Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) Maksim kebijaksanaan diungkapkan dengan tuturan imposif atau direktif dan komisif. Tarigan dalam Nadar (2009:47—48) mengemukakan tuturan imposif dan komisif merupakan klasifikasi tindak ilokusi yang meliputi asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Tindak ilokusi imposif dimaksudkan untuk menimbulkan efek melalui tindakan sang penyimak, misalnya memesan, memerintahkan, memohon, meminta, menyarankan, menyuruh, menganjurkan, menasihatkan. Tuturan komisif, melibatkan pembicara pada beberapa tindakan yang akan datang, misalnya menjanjikan, bersumpah, menawarkan, dan memanjatkan doa. Maksim ini menggariskan bahwa setiap penutur meminimalkan kerugian pada lawan tutur atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan contoh tuturan sebagai berikut.
11
Tuan rumah
: kalau tidak keberatan, sudilah Anda datang ke rumah saya.
Dani
: iya saya akan datang, terima kasih. Di dalam tuturan pada contoh di atas, tampak jelas bahwa tuan rumah
sungguh memaksimalkan keuntungan bagi tamu dengan menawarkan untuk datang ke rumah. Demikian sebaliknya, tamu ingin memaksimalkan keuntungan bagi tuan rumah dengan cara menyanggupi untuk datang dan mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah. 2.2.2 Maksim Penerimaan (Approbation Maxim) Maksim ini diutarakan dengan tuturan komisif dan impositif. Tuturan komisif adalah bentuk tuturan yang melibatkan pembicara pada beberapa tindakan yang akan datang, misalnya menjanjikan, bersumpah, menawarkan, dan memanjatkan doa (Tarigan dalam Nadar, 2009:49). Tuturan impositif adalah tuturan yang digunakan untuk menimbulkan efek melalui tindakan sang penyimak, misalnya memesan, memerintahkan, memohon, meminta, menyarankan, menyuruh, menganjurkan, dan menasehatkan. Maksim penerimaan menjelaskan bahwa orang akan dapat dianggap sopan apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penerimaan kepada pihak lain. Oleh karena itu, diharapkan agar para peserta petuturan tidak saling mengejek, mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain. Maksim ini mewajibkan setiap penutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri (Chaer, 2010:57). Di bawah ini akan dijelaskan pada contoh berikut. Riko
: Saya akan mengundangmu ke rumah untuk makan malam”.
Ana
: Terima Kasih.
12
Tuturan di atas disampaikan oleh Riko kepada temannya yakni kepada Ana. Pada contoh di atas, permintaan agar Ana untuk datang ke rumah Riko ditanggapi dengan sangat baik oleh Ana. 2.2.3 Maksim Kemurahan ( Generosity Maxim) Maksim ini diutarakan dengan tuturan ekspresif dan tuturan asertif. Tuturan ekspresif adalah tuturan yang memiliki fungsi untuk mengekspresikan, mengungkapkan, atau memberitahukan sikap psikologis sang pembicara menuju suatu pernyataan yang diperkirakan oleh ilokusi, misalnya mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, memuji, dan menyatakan belasungkawa. Tuturan asertif adalah tuturan yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan, mengeluh, menyarankan, melaporkan, dan lain-lain. Cara mengindahkan maksim ini, penutur harus sopan tidak hanya pada waktu menyuruh dan menawarkan sesuatu tetapi dalam mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapatnya (Tarigan dalam Nadar, 2009:51). Dalam maksim ini, setiap penutur memaksimalkan rasa hormat kepada lawan tutur dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada lawan tutur (Chaer, 2010:57). Di bawah ini akan dijelaskan percakapan pada contoh berikut. Ali
: Sepatumu bagus sekali!
Maya : Wah, ini sepatu bekas, belinya juga di pasar loak. Di dalam tuturan contoh di atas, tampak jelas bahwa Ali memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dengan mengungkapkan perasaan dan pendapatnya terhadap Maya dengan cara memuji sepatu Maya. Dengan demikian kedua penutur dan mitra tutur saling berusaha lebih mementingkan rasa hormat kepada
13
orang lain. 2.2.4 Maksim Kerendahan Hati ( Modesty Maxim) Maksim ini diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif . Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim kerendahan hati menuntut setiap penutur memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri (Nadar, 2009:53). Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan contoh tuturan sebagai berikut. Agus : Kau sangat pandai Evi
: Ah tidak, biasa-biasa saja. itu hanya kebetulan. Pada tuturan di atas tampak jelas bagaimana Evi memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dengan merendahkan dirinya sendiri, demi kesopanan terhadap lawan tutur.
2.2.5 Maksim Kecocokan (Agreement Maxim) Di dalam maksim ini Nadar (2009:54) mengungkapkan adanya tuturan ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan contoh tuturan sebagai berikut. (1)
(2)
A
: Ruangan ini sangat panas sekali ya.
B
: ya betul suhunya 50 derajat.
A
: Ruangan ini dingin sekali ya.
B
: Masak ! suhunya hanya 50 derajat kok.
14
B memaksimalkan ketidak cocokannya dengan pernyataan A. Hal ini bukan berarti bahwa orang harus setuju dengan sebuah pernyataan yang dikatakan oleh mitra tuturnya. Bila tidak setuju mitra tutur dapat membuat pernyataan yang mengandung ketidak setujuan atau ketidakcocokan dengan lawan tutur. 2.2.6 Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim) Maksim kesimpatian ini Nadar (2009:55) mengungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian mengharuskan setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan maka penutur wajib memberikan ucapan selamat. Apabila lawan tutur mendapatkan kesulitan atau musibah penutur layak turut berduka atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda kesimpatian. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan contoh tuturan sebagai berikut. Ani
: Saya lulus UMPTN.
Budi
: Selamat, iya! Berdasarkan tuturan yang disampaikan di atas, dapat dilihat dengan jelas
bahwa Ani mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan karena lolos dari UMPTN dan Budi memberikan ucapan selamat kepada Ani. 2.3 Skala Kesopanan Kesopanan berbahasa seseorang, dapat diukur dengan beberapa jenis skala kesopanan. Chaer (2010:63) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan skala kesopanan adalah peringkat kesopanan, mulai yang dari tidak santun sampai
15
dengan yang paling santun. Robin dalam Chaer (2010:66—67) menyebutkan bahwa terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesopanan yang sampai saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesopanan. Rahardi dalam Leech (2005:66) menyatakan bahwa skala kesopanan dibagi menjadi lima adalah seperti berikut. 1. Skala Kerugian dan Keuntungan Menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santun. Sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. 2. Skala Pilihan Menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santun tuturan itu. Sebaliknya apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun. 3. Skala Ketidak Langsungan Menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah
16
tuturan itu. 4. Skala Keotoritasan Menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesopanan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu. 5. Skala Jarak Sosial Menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santun tuturan itu. Sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Jadi, yang dimaksud dengan skala kesopanan adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang tidak santun sampai dengan yang paling santun sehingga seseorang akan dapat mengukur seberapa santun bahasa yang telah diucapkan baik oleh penutur maupun petutur.
2.4 Kesopanan Berbahasa pada Novel Hujan Karya Tere Liye di Sekolah Menengah Atas Pembelajaran adalah sebagai pengaturan peristiwa secara seksama dengan maksud agar terjadi belajar dan membuatnya berhasil, (Eveline, 2010:12). Dengan demikian pembelajaran merupakan seperangkat peristiwa-peristiwa eksternal yang
17
dirancang untuk mendukung beberapa proses yang sifatnya internal, untuk menghasilkan belajar harus dirancang sedemikian rupa untuk mengaktifkan, mendukung dan mempertahankan proses internal yang terdapat dalam setiap peristiwa belajar. Berkaitan dengan pembelajaran kesopanan berbahasa di sekolah menengah atas, bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah mempersiapkan peserta didik untuk melakukan interaksi yang bermakna dan meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya sastra manusia Indonesia. Pembelajaran bahasa dan sastra dilakukan dalam konteks keterampilan berbahasa yang menggunakan materi sastra, sehingga model pembelajaran mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis dapat diterapkan dalam pembelajaran sastra. Pembelajaran sastra menjadi bagian pembelajaran bahasa Indonesia secara keseluruhan. Sastra yang berupa novel merupakan alternatif yang digunakan untuk mengajarkan bahasa Indonesia kepada peserta didik. Sebuah alternatif yang mengantarkan informasi berupa materi atau bahan ajar. Bahan ajar itu sendiri merupakan seperangkat informasi yang harus diserap peserta didik melalui pembelajaran yang menyenangkan. Oleh karena itu penggunaan bahan ajar berupa novel akan membantu guru dalam proses belajar agar berjalan dengan baik dan efektif. 2.4.1 Pemilihan Bahan Pembelajaran Standar isi kurikulum berada dalam ruang lingkup bahan pembelajaran. Oleh karena itu, pemilihan bahan pembelajaran tentu saja harus sejalan dengan
18
ukuran-ukuran (kriteria) yang digunakan bagi guru bidang studi yang bersangkutan, khususnya di bidang studi bahasa Indonesia. Menurut Harjanto (2011:222-224) mengemukakan bahwa ada beberapa kriteria pemilihan bahan pembelajaran yaitu: kriteria tujuan instruksional, bahan pembelajaran terjabar, relevan dengan kebutuhan siswa, kesesuaian dengan kondisi masyarakat, dan bahan pembelajaran mengandung segi-segi etik. 1. Kriteria Tujuan Instruksional Suatu bahan pembelajaran yang terpilih dimaksudkan untuk mencapai tujuan instruksional khusus atau tujuan-tujuan tingkah laku. Bahan pembelajaran tersebut supaya sejalan dengan tujuan-tujuan yang telah dirumuskan. 2. Bahan Pembelajaran Terjabar Perincian bahan pembelajaran berdasarkan pada tuntutan setiap TIK telah dirumuskan secara spesifik, dapat diamati dan terukur. Berarti terdapat keterkaitan yang erat antara spesifikasi tujuan dan spesifikasi bahan pembelajaran. 3. Relevan dengan Kebutuhan Siswa Kebutuhan siswa yang pokok adalah bahwa mereka ingin berkembang berdasarkan yang dimilikinya. Setiap bahan pembelajaran yang akan disajikan hendaknya sesuai dengan usaha untuk mengembangkan pribadi siswa secara bulat dan utuh. Beberapa aspek di antaranya adalah pengetahuan sikap, nilai dan keterampilan. 4. Kesesuaian dengan Kondisi Masyarakat Siswa dipersiapkan untuk menjadi warga masyarakat yang berguna dan mampu hidup mandiri. Oleh karena itu, bahan pembelajaran yang dipilih hendaknya turut membantu mereka memberikan pengalaman edukatif yang bermakna
19
bagi perkembangan mereka menjadi manusia yang mudah menyesuaikan diri. 5. Bahan Pembelajaran Mengandung Segi-Segi Etik Bahan pembelajaran yang akan dipilih hendaknya mempertimbangkan segi perkembangan moral siswa kelak. Pengetahuan dan keterampilan yang bakal mereka peroleh dari bahan pembelajaran yang telah mereka terima diarahkan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia yang etik sesuai dengan sistem nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakatnya.