BAB II KAJIAN TEORI A. Hak Pilih sebagai Hak Asasi Manusia 1. Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia. Hak ini dimilikinya bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia (Jack Donnely dalam Rhona K.M Smith, dkk, 2008: 11). Meskipun manusia terlahir dalam kondisi dan keadaan yang berbeda-beda, berbeda jenis kelamin, ras, agama, suku, budaya dan keanekaragaman lainnya, tetap saja memiliki hak-hak tersebut dimana hak tersebut bersifat universal dan tidak dapat dicaput oleh siapa pun dan kapanpun. Hal senada dikemukakan oleh Miriam Budiardjo (2008: 211), bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki setiap manusia yang melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia. Hak ini merupakan hak yang paling mendasar (fundamental) agar manusia dapat berkembang sesuai dengan martabatnya. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bagian menimbang pada huruf b menyebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,
23
24
dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Lebih lanjut, Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendeskripsikan pengertian hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia merupakan hak yang secara kodrati melekat dalam diri manusia karena keberadaannya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, meskipun manusia dilahirkan dalam keadaan dan kondisi yang beraneka ragam. Oleh karena itu, hak tersebut tidak boleh dicabut oleh kapanpun dan siapa pun. Hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (Dede Rosyada, 2005: 201). Hal ini dimaksudkan untuk mencapai saling menghormati antar hak asasi masing-masing orang. Di dalam menerima suatu hak asasi, dalam hak itu disertai pembebanan yaitu kewajiban asasi untuk melindungi dan menghormati hak asasi orang lain.
25
Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) yang diproklamasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948 membagi hak asasi manusia (HAM) ke dalam beberapa jenis, yaitu hak personal (personal rights), hak legal (perlindungan jaminan hukum), hak subsistensi (jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan) serta hak ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOB) (Dede Rosyada dkk, 2005: 215-216): a. Hak personal (personal rights), hak legal dan hak sipil dan politik (civil and political rights), terdapat dalam Pasal 3-21 memuat : (a) Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi; (b) Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan; (c) Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan; (d) Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi; (e) Hak untuk pengampunan hukum secara efektif; (f) Hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang; (g) Hak bergerak; (h) Hak memperoleh suaka; (i) Hak atas suatu kebangsaan; (j) Hak untuk menikah dan membentuk keluarga; (k) Hak untuk mempunyai hak milik; (l) Hak bebas berfikir, berkesadaran dan beragama; (m)Hak bebas berpikir, berkesadaran dan beragama; (n) Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat; (o) Hak untuk berhimpun dan berserikat dst. b. Hak ekonomi, sosial dan budaya diantaranya : (a) (b) (c) (d) (e) (f)
Hak atas jaminan sosial; Hak untuk bekerja; Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama; Hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh; Hak atas istirahat dan waktu senggang; Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan;
26
(g) Hak atas pendidikan; (h) Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan berkebudayaan dari masyarakat. Pelaksanaan hak asasi manusia harus didasarkan atas prinsipprinsip yang telah disepakati oleh masyarakat internasional. Hal ini untuk menekan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam hukum hak asasi manusia internasional adalah (Rhona K.M. Smith, dkk, 2008: 39-41): a. Prinsip kesetaraan, yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki
kesetaraan
dalam
hak
asasi
manusia.
Kesetaraan
mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan dengan sama, dan pada situasi yang berbeda diperlakukan berbeda pula; b. Prinsip diskriminasi, merupakan salah satu bagian penting prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif. Diskriminasi adalah kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama/setara; c. Kewajiban positif untuk melindungi hak-hak tertentu. Suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasankebebasan serta memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan. Penerapan
prinsip-prinsip
di
atas
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan, dimaksudkan untuk menekan terjadinya diskriminasi terutama bagi golongan masyarakat kecil yang kurang diperhatikan oleh
27
pemerintah. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari pelanggaran hak asasi manusia negara harus menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia di atas. Dalam rangka menekan perilaku diskrimintatif, salah satu alternatif yang dapat diterapkan adalah kerangka politik kewarganegaraan (Muhammad A.S Hikam, 1999: 11), yaitu struktur dan format politik harus berlandaskan pada hak-hak dasar warga negara, khususnya hak berbicara, berkumpul
dan
berorganisasi.
Politik
kewarganegaraan
juga
memperjuangkan hak-hak dasar lainnya, termasuk hak ekonomi, sosial dan hak budaya yang menitikberatkan pada kemandirian serta partisipasi warga negara, sehingga segala bentuk diskriminasi tidak mendapat tempat. 2. Hak Politik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, harus menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disingkat DUHAM. DUHAM ini berisi pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dijadikan sebagai acuan dalam penegakan dan penghormatan hak asasi manusia baik bagi anggota PBB sendiri maupun masyarakat yang berada di wilayah yurisdiksinya. Dalam perkembangannya, tanggal 16 Desember 1966, melalui resolusi 2200A (XXI) MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan
28
tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik beserta Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976 (Penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik)). Indonesia sebagai negara hukum yang berusaha menjunjung penegakan dan penghormatan hak asasi manusia, telah meratifikasi Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Hal ini disertai konsekuensi bahwa Pemerintah Indonesia memiliki tanggungjawab untuk memenuhi pelaksanaan hak sipil dan politik setiap warganegara. Hak-hak politik yang diatur dalam Pasal 21 DUHAM diantaranya (Adnan Buyung Nasution dan Patra M. Zen, 2006: 112): a. Berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; b. Berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negaranya; c. Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah, dimana kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang
29
dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan setara, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara. Hak-hak politik yang diatur dalam Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik adalah hak dan kesempatan tanpa pembedaan dan pembatasan yang tidak wajar untuk: a. Ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas; b. Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dengan hak pilih yang universal dan sederajat, dan dilakukan dengan pemungutan suara yang rahasia yang menjamin kebebasan para pemilih menyatakan keinginannya; c. Mendapatkan akses, berdasarkan persyaratan yang sama secara umum, pada dinas pemerintahan di negaranya. Salah satu hak politik yang dijamin dalam kovenan internasional tersebut adalah hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memuat ketentuan tentang hak pilih, yaitu hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat. Bagir Manan (dalam Dede Rosyada, 2005: 214) mengusulkan beberapa hak yang termasuk dalam hak politik, yaitu hak kebebasan berserikat dan berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan hak menyampaikan pendapat di muka umum.
30
Pelaksanaan hak-hak politik tersebut dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan. Dalam negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, rakyat dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi negara (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983: 328). Dalam perkembangannya, negara semakin berkembang dan semakin kompleks, akibatnya kedaulatan rakyat tidak dapat dilaksanakan secara murni. Kompleksitas keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan dengan sistem perwakilan, atau bisasa dikenal dengan istilah demokrasi perwakilan. Agar wakil-wakil rakyat benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu melalui pemilihan umum (Jimly Asshiddiqie, 2006: 169-170). Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan kedaulatan di tangan rakyat berdasarkan perwakilan rakyat, maka di Indonesia diselenggarakan pemilihan umum secara berkala setiap lima (5) tahun sekali. Hal ini juga merupakan perwujudan pemenuhan hak untuk memilih maupun dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat sebagai wakil suara rakyat. Pemilu mempunyai kaitan erat dengan negara demokrasi dan negara hukum. Pemilu merupakan salah satu pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara. diantara ciri negara hukum yang berkaitan dengan pemilu adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia, persamaan di depan hukum dan pemerintahan serta adanya pemilihan umum yang bebas. Dengan adanya pemilu, hak asasi rakyat yang berkaitan dengan bidang
31
politik dapat disalurkan, hak untuk sama depan hukum dan pemerintahan juga mendapat saluran, dan dengan adanya pemilu yang bebas maka maksud pemilu sebagai sarana penyaluran hak demokratis atau hak politik rakyat, dapat mencapai tujuannya (Moh. Mahfud MD, 1999: 219-222). 3. Hak Pilih dalam Pemilihan Umum Hak warganegara untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum disebut sebagai hak pilih, yang terdiri tari hak pilih aktif (hak memilih) dan hak pilih pasif (hak dipilih) (C.S.T. Kansil, 1986: 2-5). a. Hak memilih (hak pilih aktif) Hak memilih adalah hak warganegara untuk memilih wakilnya di dalam suatu pemilihan umum. Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan
umum
merupakan
serangkaian
kegiatan
membuat
keputusan, yaitu apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum (Ramlah Surbakti, 2007: 145). Kedaulatan politik sebuah bangsa akan tampak dengan sendirinya di tangan rakyat pemilih melalui pemilihan umum (Gusdur dalam Khoirudin, 2004: 9). b. Hak dipilih (hak pilih pasif) Hak dipilih adalah hak warganegara untuk dipilih menjadi anggota sesuatu Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dalam suatu pemilihan umum. Kegiatan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yaitu memilih atau tidak
32
memilih. Kegiatan untuk menentukan kandidat tertentu, dapat dibedakan menjadi lima pembahasan, yaitu (Cholisin, 2007: 154): a. Berdasarkan pendekatan struktural, kegiatan memilih dilihat sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan dan program yang ditonjolkan partai; b. Berdasarkan pendekatan sosiologis, kegiatan memilih ditempatkan dalam kaitannya dengan konteks sosial. Maknanya, pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar belakang demografi dan sosial ekonomi, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama; c. Pendekatan ekologis memandang pemilihan umum hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa dan kecamatan; d. Pendekatan psikologi sosial menjelaskan perilaku memilih dalam pemilihan umum dengan konsep identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu; e. Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan.
33
B. Pemilihan Umum (Pemilu) 1. Pengertian Pemilihan Umum (Pemilu) Pengertian pemilihan umum yang selanjutnya disingkat pemilu menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu adalah sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga negara. Melalui pemilu, seleksi kepemimpinan dan perwakilan dapat dilakukan secara lebih fair karena keterlibatan warga negara (Muhammad A.S Hikam, 1999: 16-17). Ramlan Surbakti (1992: 181) mendefinisikan pemilihan umum sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Pemilihan umum
tidak
lain
merupakan
cara
yang
diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis. Oleh karena itu, negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokratis, pemilihan umum merupakan ciri penting yang harus dilaksanakan secara berkala dalam waktu-waktu tertentu (Jimly Asshiddiqie, 2006: 170). Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan dua kali, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
34
Pemilu legislatif adalah pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sedangkan untuk memilih anggota DPD pesertanya adalah perseorangan. Sedangkan Pemilu Presiden adalah Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden dalam satu pasangan. 2. Tujuan dan Fungsi Pemilihan Umum Tujuan penyelenggaraan pemilihan umum menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1983: 330) adalah: a. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib; b. Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat; c. Dalam rangka melaksanakan hak asasi warga negara. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I juga mengajukan beberapa tujuan penyelenggaraan pemilihan umum, yaitu (2006: 175): a. Untuk
memungkinkan
terjadinya
peralihan
kepemimpinan
pemerintahan secara tertib dan damai; b. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan; c. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat;
35
d. Untuk melaksanakan prinsip hak asasi warga negaranya. Menurut Ramlan Surbakti sebagaimana dikutip oleh Khairul Fahmi (2011: 276-277), tujuan pelaksanaan pemilu adalah sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum; sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil terpilih atau partai yang memenangkan kursi, sehingga integrasi atau kesatuan masyarakat tetap terjamin; dan sebagai sarana mobilisasi, menggerakkan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik. Berdasarkan tujuan dari dua pendapat di atas, setidaknya penyelenggaraan pemilihan umum bertujuan untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat dan melaksanakan prinsip hak asasi warga negaranya. Menurut Muhammad A.S Hikam (1999: 16-17) setidaknya ada empat fungsi pemilu yang terpenting, yaitu legitimasi politik, terciptanya perwakilan politik, sirkulasi elite politik, dan pendidikan politik. Melalui pemilu, legitimasi pemerintah dikukuhkan karena ia adalah pilihan warga negaranya. Selain itu, pemilu juga sebagai alat kontrol warga negara kepada penguasa apakah pemimpin yang terakhir itu masih dipercaya atau tidak. Berdasarkan hal tersebut, maka pemilu merupakan sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar memahami hak dan kewajibannya.
36
3. Asas-asas Pemilihan Umum Pasal 22E ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berisi ketentuan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secarang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka asas pemilihan umum adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil atau biasa disingkat asas luber jurdil. Asas tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Langsung, artinya setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung. Rakyat pemilih mempunyai hak untuk memilih secara langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan (C.S.T Kansil, 1986: 26); b. Umum, artinya setiap warga negara Indonesia yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih mempunyai
hak untuk
memberikan suaranya; c. Bebas, artinya setiap pemilih bebas memilih pemimpin sesuai hati nuraninya. Setiap pemilih berhak memilih dalam menggunakan hak pilihnya dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan atau paksanaan dari siapapun/dengan apapun (C.S.T Kansil, 1986: 26); d. Rahasia, artinya pilihan pemimpin yang dipilih oleh setiap warga negara
berhak
perundangan;
dirahasiakan,
dan
dijamin
oleh
peraturan
37
e. Jujur, artinya setiap warga negara berhak memilih bakal calon pemimpin secara jujur sesuai pilihan hati nuraninya tanpa pengaruh dari pihak lain; f. Adil, artinya setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam menggunakan hak pilihnya. 4. Makna Pemilihan Umum Pemilihan
umum
dapat
diberikan
makna
atau
penafsiran
bermacam-macam sesuai dengan perspektif yang digunakan. Berikut ini disajikan makna pemilu berdasarkan perspektif tujuan, perspektif perkembangan negara dan perspektif demokrasi liberal (Cholisin, 2007: 128-129): a. Berdasarkan perspektif tujuan, pemilu diberikan makna sebagai pemindahan konflik dari masyarakat kepada perwakilan politik agar integrasi masyarakat tetap terjamin. Melalui perwakilan politik, diharapkan konflik yang terjadi terbatas atau diisolasi hanya pada kalangan elit, tidak meluas pada konflik horizontal dan mudah melakuan manajemennya; b. Berdasarkan perspektif perkembangan suatu negara, di negara berkembang
pemilu
dapat
diberikan
makna
sebagai
alat
membenarkan rezim yang berkuasa, sehingga untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah tidak segan-segan memobilisasi para pemilih;
38
c. Berdasarkan perspektif demokrasi liberal, pemilu merupakan upaya meyakinkan dan melibatkan individu dalam proses politik yang dikarenakan semakin berkurang gairah keterlibatan anggota masyarakat dalam pemilu. 5. Sistem Pemilihan Umum Secara sederhana, sistem pemilu dibagi menjadi dua, yaitu sistem proporsional dan sistem nonproporsional, atau sistem distrik, sebagai berikut (Miriam Budiardjo, 2008: 461-462): a. Single–member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, yang sering disebut sistem distrik). b. Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional. Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Satu distrik menjadi bagian dari suatu wilayah, satu distrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal, walaupun selisih suara dengan partai lain hanya kecil saja. Suara yang tadinya mendukung kontestan lain dianggap hilang dan tidak dapat membantu partainya untuk menambah jumlah suara partainya di distrik lain (Miriam Budiardjo, 2008: 462-463). Di Indonesia, sistem pluralitas/mayoritas lebih dikenal sebagai sistem distrik, karena transfer
39
perolehan suara ke dalam perolehan kursi lebih didasarkan pada distrik atau daerah pemilihan (Kacung Marijan, 2010: 85). Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil. Satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional tanpa menghiraukan distribusi suara itu (Miriam Budiardjo, 2008: 462-463). Di Indonesia, pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Sedangkan pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak (Pasal 5 Undangundang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD).
40
Berikut ini disajikan perbandingan (kelebihan dan kelemahan) sistem distrik dan proporsional: Tabel 3. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Distrik dan Proporsional Keunggulan dan Kelemahan Sistem Distrik Keunggulan Kelemahan Partai-partai Terjadi terdorong untuk kesenjangan antara berintegrasi dan persentase suara bekerja sama. yang diperoleh dengan jumlah kursi di parlemen. Fragmentasi dan Persentase kursi kecenderungan lebih kecil dari mendirikan persentase suara partai baru dapat sehingga terjadi dibendung. underrepresentation dari partai kecil.
Keunggulan dan Kelemahan Sistem Proporsional Keunggulan Kelemahan Perolehan suara Kurang setiap partai mendorong sesuai dengan partai-partai perolehan kursi di untuk parlemen. berintegrasi satu sama lain. Setiap suara Wakil rakyat dihitung dan tidak kurang erat ada yang hilang. hubungannya dengan konstituennya, tetapi lebih erat dengan partainya. Kurang Banyak partai mengakomodasikan yang bersaing. kepentingan berbagai kelompok. Wakil rakyat lebih memperhatikan kepentingan daerah pemilihannya.
Wakil yang terpilih erat dengan konstituennya. Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas di parlemen. Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerja sama mempermudah tercapainya stabilitas politik. Sumber: Maurice Duverger dalam Miriam Budiardjo, 2008 hal 470-471
41
6. Pemilihan Umum 2014 Pemilu 2014 akan dilaksanakan dua kali, yaitu Pemilu Legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 untuk memilih para calon anggota dewan legislatif dan Pemilu Presiden yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 untuk memilik calon presiden dan calon wakil presiden. Berdasarkan amanat UUD 1945, pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Adapun tahapan penyelenggaraan pemilu adalah sebagai berikut: a. Perencanaan
program
dan
anggaran,
serta
penyusunan
peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu; b. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; c. Pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu; d. Penetapan peserta pemilu; e. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; f. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; g. Masa kampanye pemilu; h. Masa tenang; i. Pemungutan dan penghitungan suara; j. Penetapan hasil pemilu; k. Pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
42
Peserta Pemilu Legislatif 2014 ini terdiri atas partai politik dan perorangan. Partai politik adalah peserta pemilu untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten. Peserta pemilu perseorangan untuk memilih calon anggota DPD. Partai politik yang lolos menjadi anggota Pemilu Legislatif 2014 adalah 15 partai politik, dengan 3 partai politik merupakan partai lokal Aceh, yang terdiri: a. Partai Nasional Demokrasi b. Partai Kebangkitan Bangsa c. Partai Keadilan Sejahtera d. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan e. Partai Golongan Karya f. Partai Gerakan Indonesia Raya g. Partai Demokrat h. Partai Amanat Nasional i. Partai Persatuan Pembangunan j. Partai Hati Nurani Rakyat k. Partai Bulan Bintang l. PKPI m. Tiga partai lokal Aceh. C. Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 22E ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan tentang penyelenggara
43
pemilihan umum. Menurut ketentuan Pasal 22E ayat (6) tersebut, pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. KPU merupakan lembaga negara yang bertugas menyelenggarakan Pemilu Legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan dan melaksanakan pemilihan umum bebas dan pengaruh pihak mana pun (Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu). Penyelenggara Pemilu berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu meliputi: a. Komisi Pemilihan Umum Provinsi, selanjutnya disingkat KPU Provinsi, adalah penyelenggara Pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu di provinsi; b. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, selanjutnya disingkat KPU Kabupaten/Kota,
adalah
penyelenggara
melaksanakan Pemilu di kabupaten/kota;
Pemilu
yang
bertugas
44
c. Panitia Pemilihan Kecamatan, selanjutnya disingkat PPK, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan Pemilu di kecamatan atau nama lain; d. Panitia Pemungutan Suara, selanjutnya disingkat PPS, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan Pemilu di desa atau nama lain/kelurahan; e. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, selanjutnya disingkat KPPS, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara; f. Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disingkat Bawaslu, adalah lembaga
penyelenggara
Pemilu
yang
bertugas
mengawasi
penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; g. Badan Pengawas Pemilu Provinsi, selanjutnya disingkat Bawaslu Provinsi, adalah badan yang dibentuk oleh Bawaslu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di provinsi; h. Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, selanjutnya disingkat Panwaslu Kabupaten/Kota, adalah Panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di Kabupaten/Kota; i. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disebut Panwaslu Kecamatan,
adalah
panitia
yang
dibentuk
oleh
Panwaslu
45
Kabupaten/Kota yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di kecamatan atau nama lain; j. Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di desa atau nama lain/kelurahan. Penyelenggara Pemilu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada asas-asas sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu sebagai berikut: mandiri; jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. 1. Tugas dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum Makna politik berdasarkan pendekatan instititusional, bahwa negara dipelajari atas institusi-institusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya (Cholisin, 2007: 3). Tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam penyelenggaraan pemilihan umum (Pasal 8 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu): a. merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal; b. menyusun dan menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN; c. menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilu setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah; d. mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan Pemilu; e. menerima daftar pemilih dari KPU Provinsi; f. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan
46
g. h.
i. j. k.
l. m. n. o.
p. q. r.
data Pemilu dan/atau pemilihan gubernur, bupati, dan walikota terakhir dan menetapkannya sebagai daftar pemilih; menetapkan peserta Pemilu atau pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang telah memenuhi persyaratan; menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU Provinsi untuk Pemilu Anggota DPR dan hasil rekapitulasi penghitungan suara di setiap KPU Provinsi untuk Pemilu Anggota DPD dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara; membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat penghitungan suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu dan Bawaslu; menerbitkan keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya; menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap partai politik peserta Pemilu anggota DPR, dan DPRD (hanya untuk Pemilu Legislatif) mengumumkan calon anggota DPR dan DPD terpilih atau pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dan membuat berita acaranya; menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan; menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran Pemilu; mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota KPU Provinsi, anggota PPLN, anggota KPPSLN, Sekretaris Jenderal KPU, dan pegawai Sekretariat Jenderal KPU yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan; melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat; menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye; melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu; dan melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa penyelenggara
pemilihan umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat
47
nasional, tetap dan mandiri untuk menjamin terlaksananya kedaulatan rakyat. KPU harus mengupayakan terlaksananya hak pilih (hak untuk memilih) bagi setiap warga negara, termasuk mereka yang membutuhkan fasilitas khusus dalam pelaksanaannya. Adanya demokratisasi di daerah, memunculkan kelembagaan daerah sebagai pelaksana desentralisasi dan otonomi daerah. KPU tingkat provinsi maupun kabupaten/kota merupakan salah satu lembaga yang ada di daerah. Penekanan desentralisasi politik lebih memberikan perhatian pada bagaimana lembaga di tingkat lokal mampu membangun sebuah proses politik yang lebih baik, sehingga kehidupan politik di tingkat lokal bisa berlangsung lebih demokratis (Kacung Marijan, 2010: 155). 2. Dinamika Komisi Pemilihan Umum Keberadaan KPU tidak lepas dari dinamika pelaksanaan pemilu di Indonesia. Pelaksanaan pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955 diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang dibentuk melalui
Keputusan
Presiden
Nomor
188
Tahun
1955
tentang
Pengangkatan Panitia Pemilihan Indonesia yang bertugas mempersiapkan dan
menyelenggarakan pemilihan anggota Konstituante dan anggota
DPR. Keanggotaan PPI sekurang-kurangnya 5 (lima) orang dan sebanyakbanyaknya 9 (sembilan) orang, dengan masa kerja 4 (empat) tahun. Pemilu kedua pada masa Orde Baru yang diawali dengan pemilu kedua pada 5 Juli 1971 sampai pemilu tahun 1992 diselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang dibentuk melalui Keputusan
48
Presiden Nomor 3 Tahun 1970. Pemilu ini dilaksanakan untuk memilih anggota DPR. Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pada Masa Reformasi yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini merupakan KPU pertama yang menyelenggaraka pemilu yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999. KPU ini beranggotakan 48 orang dari unsur partai politik dan 5 orang wakil pemerintah. Hal ini tentu mengakibatkan pemilu yang tidak fair dan untuk tetap mempertahankan rezim yang sedang berkuasa. KPU yang menyelenggarakan pemilu 2004 dibentuk dengan Keppres Nomor 10 Tahun 2001. Anggota KPU terdiri atas 11 anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM. KPU yang ada saat ini merupakan KPU ketiga setelah KPU pertama bentukan tahun 1999 yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 101/P/2007. KPU ketiga ini terdiri atas 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat. D. Penyandang Disabilitas 1. Pengertian Penyandang Disabilitas Istilah
penyandang
disabilitas
untuk
menggantikan
istilah
penyandang cacat yang dirasa memiliki arti negatif dan terkesan diskriminatif. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menggunakan istilah penyandang cacat untuk menyebut penyandang disabilitas, yang berarti setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
49
dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental. Sementara itu, Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Disabilitas menggunakan istilah yang lebih halus, yaitu penyandang disabilitas yang definisinya adalah
setiap orang yang
mengalami gangguan, kelainan, kerusakan, dan/atau kehilangan fungsi organ fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu tertentu atau permanen dan menghadapi hambatan lingkungan fisik dan sosial, yang meliputi gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan bicara, gangguan motorik dan mobilitas, cerebral palsy, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif, autis, epilepsi, tourette’s syndrome, gangguan sosialitas, emosional, dan perilaku, dan retardasi mental. Penyandang disabilitas terdiri dari tiga (3) kelompok, yaitu (Muladi, 2009: 253-254) a. Penyandang disabilitas fisik, meliputi: 1) Penyandang disabilitas tubuh (tuna daksa); 2) Penyandang disabilitas netra (tuna netra); 3) Penyandang disabilitas tuna wicara/rungu; 4) Penyandang disabilitas bekas penderita penyakit kronis (tuna daksa dan lara kronis).
50
b. Penyandang disabilitas mental, meliputi: 1) Penyandang disabilitas mental (tuna grahita); 2) Penyandang disabilitas ekspsikotik (tuna laras); c. Penyandang disabilitas fisik dan mental atau disabilitas ganda. Kelompok penyandang disabilitas ini, tentu memiliki kesulitan yang berbeda dalam aktivitasnya sesuai dengan disabilitas yang disandangnya. Oleh karena itu, penyandang disabilitas membutuhkan perhatian dan fasilitas khusus dalam mendukung geraknya secara mandiri. 2. Hak dan Kewajiban Penyandang Disabilitas Hak adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi (kepentingan) yang dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya (Sudikno Mertokusumo, 2005: 43). Setiap penyandang disabilitas mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala bidang kehidupan dan penghidupan. Bidang kehidupan dan penghidupan yang dimaksud adalah aspek agama, kesehatan, pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan keamanan, olah raga, rekreasi, dan informasi (Muladi, 2009: 254). Oleh karena itu, hak-hak penyandang disabilitas harus dipenuhi agar dapat melaksanakan aktivitas tanpa adanya hambatan sebagaimana manusia seutuhnya tanpa kekurangan apapun. Hak-hak penyandang disabiltas menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Right of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas)
51
yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada 11 November 2011 yaitu setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan. Hak-hak penyandang disabilitas berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat adalah: a. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; b. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; c. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; d. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; e. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan f. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampu-an, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Hak-hak penyandang disabilitas menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas meliputi hak dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial, seni, budaya, olah raga, politik, hukum, penanggulangan bencana, tempat tinggal, dan aksesibilitas.
52
Hak-hak penyandang disabilitas akan dapat dicapai jika Perda DIY Nomor 4 Tahun 2012 tersebut dilaksanakan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 2, yaitu: a. penghormatan atas martabat yang melekat, otoritas individual termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan kemandirian orangorang; b. nondiskriminasi; c. partisipasi dan keterlibatan penuh dan efektif dalam masyarakat; d. penghormatan atas perbedaan dan penerimaan orang-orang penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan rasa kemanusiaan; e. kesetaraan kesempatan; f. aksesibilitas; g. kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; dan h. penghormatan atas kapasitas yang berkembang dari penyandang disabilitas anak dan penghormatan atas hak penyandang disabilitas anak untuk melindungi identitas mereka. Kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seseorang. Kewajiban merupakan pembatasan dan berupa pembebanan (Sudikno Mertokusumo, 2005: 42). Kewajiban penyandang disabilitas menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat adalah sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana
manusia
yang
tanpa
pelaksanaannya disesuaikan dengan
kekurangan,
namun
jenis dan derajat
dalam
kecacatan,
pendidikan, dan kemampuannya. 3. Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Pengertian aksesibilitas menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Hal tersebut diperjelas dalam Pasal 10
53
ayat (2) yang memuat ketentuan tentang tujuan penyediaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat agar dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat. Lebih lanjut dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 10 ayat (1) menjelaskan bahwa penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat diupayakan berdasarkan kebutuhan penyandang cacat sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta standar yang ditentukan. Standardisasi yang berkenaan dengan aksesibilitas ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Penyediaan aksesibilitas dapat berupa fisik dan non fisik, antara lain sarana dan prasarana umum serta informasi yang diperlukan bagi penyandang cacat untuk memperoleh kesamaan kesempatan. Pemerintah maupun masyarakat harus berupaya memberikan penyediaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas agar mereka dapat melaksanakan aktivitasnya sesuai dengan tingkat kecacatan yang disandangnya. Hal ini juga sebagai upaya untuk mewujudkan persamaan hak, kewajiban, peran serta kedudukan.
54
E. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini diantaranya: 1. Penelitian oleh Utami Dewi Staff Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul “Pelayanan Publik bagi Difabel di Kota Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta telah berupaya memberikan pelayanan publik yang ramah difabel melalui program-program yang mampu memberikan aksesibilitas bagi difabel. Namun, program-program penyediaan pelayanan yang ramah difabel tersebut belum optimal karena program kurang berjalan atau disalahgunakan dengan kegiatan lain. Relevansi penelitian ini terhadap penelitian penulis adalah bahwa penelitian tersebut sama-sama meneliti tentang penyandang disabilitas, sedangkan perbedaannya adalah pada objek yang diteliti. Penelitian tersebut meneliti tentang pelayanan publik bagi difabel dalam segala bidang. Penelitian ini meneliti tentang aksesibilitas Pemilu Legislatif bagi penyandang disabilitas. 2. Penelitian Utami Rahajeng mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta Jurusan Ilmu Administrasi Negara tahun 2013 yang berjudul “Peran Pemerintah Kota Yogyakarta dalam Pemenuhan Hak Pendidikan Kaum Difabel”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta dalam pemenuhan hak pendidikan bagi kaum difabel yang mendominasi adalah peran sebagai fasilitator, karena programprogram yang dijalankan lebih mengarah pada penyediaan dan pemberian fasilitas. Relevansi penelitian ini terhadap penelitian penulis
55
adalah sama-sama meneliti tentang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, sedangkan perbedaannya adalah pada objek yang diteliti. Penelitian tersebut meneliti tentang hak pendidikan, sedang penelitian penulis meneliti tentang hak pilih (hak untuk memilih). F. Kerangka Berpikir WNI
Hak Pilih
Pemilu
KPU
Akses pemilu penyandang disabilitas kurang
Hak pilih hilang Bagan 1. Kerangka Berpikir
Setiap warga negara mempunyai hak pilih, yaitu hak untuk memilih maupun dipilih yang diimplementasikan melalui pemilihan umum. Pemilihan umum di Indonesia diagendakan setiap lima (5) tahun sekali sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama Pasal 7. Dalam pelaksanaannya, tidak semua orang mampu melaksanakan haknya karena memiliki keterbatasan dalam dirinya, salah satunya adalah penyandang disabilitas. Pada Pemilihan Umum Legislatif tahun 2004 dan 2009, banyak penyandang disabilitas yang kehilangan hak pilihnya. Hal
56
ini dikarenakan di beberapa Tempat Pemungutan Suaran (TPS) yang terdapat pemilih penyandang disabilitasnya tidak menyediakan alat bantu atau fasilitas khusus untuk penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya. Fasilitas yang ada di TPS tidak memberi kemudahan bagi penyandang disabilitas untuk menggunakan hak pilihnya secara mandiri. Akhirnya, penyandang disabilitas harus dibantu oleh petugas dimana hal ini tidak menjamin asas rahasia, karena pencoblosan disaksikan oleh pemilih-pemilih yang lain, bahkan penyandang disabilitas ada yang lebih memilih tidak menggunakan hak pilihnya karena memang kondisinya tidak memungkinkan untuk datang ke TPS. Permasalahan tersebut tentu membutuhkan perhatian yang khusus baik dari pihak maupun masyarakat. Penyandang disabilitas tetap memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan peran yang sama. Oleh karena itu, Komisi Pemilihan
Umum
(KPU)
sebagai
lembaga
independen
yang
menyelenggarakan pemilihan umum tentu memiliki kewajiban untuk menyediakan sarana prasarana untuk memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya yang juga merupakan bagian dari pelaksanaan pelayanan umum.