BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan hukum dilaksanakan atau ditaati. Hukum harus dilaksanakan oleh segenap komponen dalam suatu negara hukum. Negara Indonesia adalah Negara hukum, demikianlah amanat yang diberikan oleh konstitusi Negara Indonesia yaitu UUD Tahun 1945 dalam Pasal 1 Ayat (3). Dalam lingkup hukum perdata, dikenal ada dua hukum yang menjadi ruang lingkup hukum perdata yaitu hukum materiil dan hukum formilnya. Untuk melaksanakan hukum materiil perdata terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain di samping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak,
1
2
memeriksa, serta memutuskan dan pelaksanaan dari putusannya.1 Hukum Acara Perdata juga disebut hukum perdata formil, karena mengatur tentang proses penyelesaian perkara melalui pengadilan, di dalam menyelesaikan suatu perkara sebelum hakim menetapkan hukumnya terlebih dahulu ia harus menentukan peristiwanya atau kedudukan perkaranya, sebab peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh para pihak atau pihak Penggugat dan tergugat belum tentu semuanya penting bagi hukum. Sehingga peristiwaperistiwa tersebut masih harus dipisahkan yang mana relevan bagi hukum. Hal ini Ny. Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartowinoto, SH berpendapat bahwa “Salah satu tugas hukum adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum atau peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak”.2 Peristiwa yang relevan inilah yang dibutuhkan oleh hakim, ia harus memperoleh kepastian bahwa peristiwa yang menjadi dasar gugatan benarbenar terjadi dan dapat dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan pengertian tersebut di atas apa yang dilakukan oleh hakim dalam rangka memperoleh kepastian dan kebenaran peristiwa itu sendiri menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH mempunyai beberapa pengertian, yaitu : 1. Membuktikan dalam arti logis yaitu memberi kepastianyang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang hingga tidak memingkinkan adanya bukti lawan. 2. Membuktikan. dalam, arti, konvensional, di. sinipun membuktikann berarti juga memberikan kepastian, hanya saja 1 2
Sudikno Mertokusumo, 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Hal 3. Retnowulan Sutantio, Ny. dan Iskandar Oeripkartowinoto, 1986. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Alumni. Hal 41.
3
kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya. 3. Membuktikan dalam arti yuridis, pembuktian di sini hanya beklaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Deagan demikian pembuktuan dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, sebab ada kemungkinan jika pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan maka dimungkinkan adanya bukti lawan.3 Menurut uraian-uraian tersebut di atas penulis dapat menggaris bawahi ternyata soal pumbuktian merupakan suatu tindakan yang sangat penting dalara menyelesaikan suatu perkara di Pengadilan, bahkan dalam Hukum Acara Perdata untuk memenangkan suatu perkara seseorang tidak perlu adanya keyakinan, yang penting adalah adanya alat bukti yang sah. Berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siap yang menang dan siapa yang kalah. Adapun alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 284 Rgb, yaitu : 1. Atat bukti surat, 2. Alat bukti saksi. 3. Bukti persangkaan, 4. Bukti pengakuan 5. Bukti sumpah. Selain alat-alat bukti yang tersebut dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 284 Rbg, masih ada alat-alat bukti lain yaitu pemeriksaan setempat dan keterangan ahli. Di dalam praktek-praktek pengetahuan hakim juga merupakan alat bukti meskipun dalam suatu peristiwa yang disengkatakan telah diajukan
3
Sudikno Mertokusumo. Op. Cit. Hal 103-104.
4
pembuktiannya oleh para pihak yang berperkara akan tetapi pembuktian tersebut masih harus dinilai oleh hakim. Didalam menilai suatu pembuktian, hakim dapat bertindak bebas atau terikat oleh undang-undang. Berhubung dalam hal tersebut, lalu timbul teoriteori tentang bagaimana hakim harus menilai suatu pembuktian yang diajukan oleh penggugat dan tergugat kepadanya. Adapun teori yang dimaksudkan adalah : a. Teori pembuktian bebas Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian seberapa jauh dapat diserahkan kepadanya. b. Teori pembuktian negatif Menurut teori ini, harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat yang bersifat negatif, yaitu harus membatasi larangan yang diajukan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. c. Teori pembuktian positif Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim”.4 Sedangkan dalam penulisan skripsi ini yang akan penulis bahas secara lebih mendalam dari macam-macam alat bukti tersebut diatas adalah bukti surat, khususnya surat yang berbentuk akata otentik. Bahwa surat merupakan alat bukti tertulis yang memuat tulisan untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti, menurut bentuknya alat
4
Ibid, halaman 102.
5
bukti tertulis itu dibagi menjadi dua macam yaitu surat akta dan surat bukan akta. Surat akata sendiri dari surat akta otentik dan surat akta dibawah tangan. Pengertian surat menurut Sudikno Mertokusumo, SH “Surat adalah segala sesuatu memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudnya untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pemikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian, sedang pengertian akta adalah yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibaut sejak semula sebagai pembuktian, yang dimaksud akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapkan pejabat yang berwenang menurut ketentuan yang telah ditetapkan, sedangkan yang dimaksud dengan kata dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak sendiri”.5 Selain itu surat, khususnya surat akta otentik dewasa ini sangat diperlukan sebagai suatu bukti apabila di kemudian hari timbul surat perselisihan, maka dari itu penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang alat bukti akata otentik apabila akta otentik tersebut dijadikan sebagai alat bukti pada perkara perdata, karena pembuktian merupakan bagian penting dari proses pemeriksaan perkara perdata yang akan menentukan suatu putusan, oleh karena itu bagaimanakah pendapat dan penilaian hakim terhadap akta otentik yang dijadikan sebagai alat Surat sebagai alat bukti otentik menurut bentuknya dibagi menjadi dua macam yaitu surat akta dan surat bukan akta. Surat akta ialah surat yang tertanggal dan diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang
5
Ibid. Hal 109-110.
6
digunakan untuk pembuktian. Surat akta ini ada dua macam pula yaitu surat akta otentik dan surat akta dibawah tangan. Menurut ketentuan Pasal 165 HIR akta otentik yaitu “Akta yang dibuat oleh atau dihadapkan pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Merupakan bukti yang lengkap bagi kedua belah pihak dan ahli warisannya serta orang yang mendapatkan hak dari pdanya tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu dan pemberitahuan saja, tetapi yang disebutkan terakhir ini hanya sepanjang yang diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok dalam akta itu”. Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat akta otentik itu misalnya notaris, pegawai catatan sipil, hakim, panitera, juru sita, dan sebagainya.
Dalam melakukan pekerjaannya, pejabat-pejabat itu
terikat pada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang sehingga merupakan jaminan untuk mempercayai pejabat itu berserta hasil pekerjaannya. Dalam akta otentik itu pejabat tersebut menerangkan apa yang dilakukan, dilihat, dialami, sehingga terjadi di hadapannya menurut kenyataan yang sebenarnya. Karena akta otentik itu memuat keterangan pejabat yang sah menurut undang-undang, maka setiap orang mengakui dan mempercayai isi akta otentik itu sebagai benar adanya.
Kebenaran isinya itu cukup
dibuktikan oleh bentuk akta itu sendiri sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa akta otentik merupakan :
7
1. Bukti sempurna/lengkap bagi para pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak dari padanya, tetapi masih dapat dilumpuhkan. 2. Bukti bebas bagi pihak ketiga, artinya penilaiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Selain itu akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu : 1. Kekuatan pembuktian mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum dan menerangkan apa yang dituliskan dalam akta tersebut. 2. Kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. 3. Kekuatan pembuktian materiil, pembuktian para pihak bahwa peristiwa dalam akta itu benar-benar terjadi”.6 Akta otentik dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu akta ambtelijk dan akta partai. Akta amtelijk yaitu akta yang dibuat oleh pejabat yang diberu wewenang untuk itu, dengan mana pejabat menerangkan apa yang dilihat dan dilakukannya, misalnya akta protest pada wesel, akta catatan sipil, akta partai yaitu akta yang dibuat di hadapan pejabat, dengan mana pejabat menerangkan apa yang dilihat dan dilakukan dan pihak-pihak yang berkepentingan mengakui keterangan dalam akta itu dengan membubuhkan tanda tangannya, misalnya akta jual beli tanah di muka Pejabat Pembuat akta
6
Ny. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit, halaman 49.
8
Tanah (PPAT), akta perkawinan, akta pendirian suatu Perseoan Terbatas dan sebagainya. Pada akta partai selalu terdapat kekuatan bukti materiil dan merupakan alat bukti sempurna sebab dalam akta partai itu kebenaran dari isi akta tersebut ditentukan oleh pihak-pihak dan pejabat menerangkan seperti apa yang dilihat, diketahuinya dari pihak-pihak itu. Tetapi pada akta ambtelijk tidak selalu terdapat kekuatan bukti materiil artinya setiap orang dapat menyangkal kebenarannya isi akta otentik itu, asal dapat membuktikannya. Sebab apa yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat itu hanya berdasarkan pada apa yang kehendaki oleh yang berkepentingan. Selain dari akta otentik ada lagi akta dibawah tangan, dikatakan dibawah tangan karena tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu, melainkan dibuat sendiri oleh berkepentingan dengan tujuan untuk dijadikan sebagai alat bantu. Menurut ketentuan Pasal 16 Stb. 1867 Nomor 29, Pasal 288 Rbg, surat akta dibawah tangan yang diakui perbuatannya atau tanda tangannya oleh orang terhadap siapa surat itu digunakan, memberikan kekuatan bukti sempurna seperti akta otentik terhadap para pihak, ahli warisnya dan orang yang memperoleh hak padanya. Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta dibawah tangan adalah terletak dalam kekuatan mengenai penandatanganan dan tanggal pembuatan akta.
Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan tergantung diakui atau
dipungkirinya tulisan, isi atau tanda tangan yang terdapat dalam akta terhadapnya diajukan suatu akta dibawah tangan, ia diwajibkan secara tegas untuk memungkiri tulisan atau isi atau tanda tangan yang terdapat dalam akta
9
dibawah tangan tersebut atau mengakuinya. (Pasal 2 Stb, 1867 Nomor 29). Hal ini dimaksudkan untuk melindungi setiap orang terhadap suatu pemalsuan tanda tangannya, dan bagi ahli waris atau orang yang mendapat hak, untuk mereka tidak mengenal tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili. Berbeda dengan akta otentik, dimana tanda tangan yang terdapat di dalamnya bukam merupakan suatu persoalan dan apabila akta dibawah tangan dijadikan sebagai alat bukti, maka pemeriksaan terhadap kebenaran tanda tangan yang terdapat di dalamnya adalah merupakan acara pertama. Apabila tanda tangan yang terdapat dalam akta dibawah tangan di sangkal oleh pihak yang dikatakan telah menandatangani akta dibawah tangan tersebut, maka pihak yang mengajukan akta dibawah tangan yang disangkal tanda tangannya tersebut harus membuktikan kebenaran dari tanda tangan yang terdapat dalam akta dibawah tangan tersebut dengan memakai alat bukti lain. Menurut Pasal 3 Stb, 1867 Nomor 29, Pasal 290 Rbg, apabila tulisan atau tanda tangan memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan. Akta dibawah tangan pada umumnya tidak mempunyai kekuatan bukti lahiriah, karena tanda tangan dapat dimungkiri. Sedangkan kekuatan bukti formil dan materiil sama dengan akta otentik. Adapula surat yang bukan akta. Dikatakan bukan akta karena tidak ada tanda tangan. Bukan akta merupakan catatan-catatan atau surat-surat yang dibuat dengan tidak sengaja akan digunakan sebagai bukti dari suatu peristiwa. Kekuatan pembuktian surat yang bukan akta diserahkan kepada kebijaksanaan hakim yang memeriksanya, artinya terserah kepada hakim apakah menganggapnya sebagai permulaan
10
bukti tertulis, jika surat demikian dikemukakan dalam sidang pengadilan. Contoh karcis penitipan sepeda motor, telegram, catatan-catatan dan lain-lain. Akan tetapi ada bebarapa catatan atau surat yang ditetapkan oleh undangundang sebagai alat bukti yang mengikat yang harus dipercaya oleh hakim, yaitu : 1. Surat yang dengan tegas menyebutkan tentang suatu pembayaran yang telah diterima. 2. Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam suatu alas hak (titel) bagi seseorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan. 3. Catatan-catatan yang oleh seseorang berpiutang (kreditur) dbubuhkan pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya jika apa yang ditulis itu merupakan suatu pembebasan si berutang (debitur). 4. Catatan-catatan yang oleh si berpiutang dibubuhkan kepada salinan dari suatu alas hak suatu tanda pembayaran ini berada dalam tangannya si berutang”.7 Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik dan menuangkan dalam penelitihan skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TENTANG AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI PERKARA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Karanganyar)
7
R. Subekti, 1982. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta, halaman 99.
11
B. Pembatasan Masalah Berhubungan dengan banyaknya alat-alat bukti yang ada, maka penulis ingin menekankan pada alat bukti surat yang berupa akta otentik khususnya mengenai kekuatan pembuktian dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri Karanganyar.
C. Perumusan Masalah Dengan berdasarkan pada uraian-uraian tersebut diatas, maka dapat dirumuskan problematikanya sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Hakim Dalam Menilai Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik dalam proses pemeriksaan perkara perdata dalam praktek di Pengadilan Negeri Karanganyar ? 2. Bagaimanakah pertimbangan hakim (legal reasoning) dalam menilai akta otentik yang didalilkan adanya dwaling (kekeliruan), penipuan (bedrog) atau paksaan (dwang) ?
D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penilaian hakim tentang kekuatan alat bukti akta otentik dalam proses pemeriksaan perkara perdata dalam praktek di Pengadilan Negeri Karanganyar. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim (legal reasoning) dalam menilai akta otentik
yang didalilkan adanya dwaling (kekeliruan), penipuan
(bedrog) atau paksaan (dwang).
12
E. Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan dan menambah pengembangan ilmu pengetahuan yang telah penulis peroleh selama di bangku kuliah. 2. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul, khususnya masalah yang berhubungan dengan alat bukti akta otentik. 3. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana dibidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
F. Metodologi Penelitian Metodologi merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data, merealisasikan data dan menyusun data sebagai suatu kebulatan. Menurut Soerjno Sukanto, menyatakan bahwa : “Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan
oleh
mengembangkan
manusia
ilmu
untuk
pengetahuan.
memperkuat, Ilmu
membina
pengetahuan
serta
merupakan
pengetahuan yang tersusun secara sistimatis dengan menggunakan kekuasaan pemikiran, pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, akan berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pengasuh-pengasuhnya”.8 Suatu penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, atau menguji kebenaran suatu pengetahuan, walaupun pengeathuan itu sendiri adalah kumpulan dari pengalaman dan pengetahuan
8
Soerjono Soekanto, 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pres. Hal 3.
13
manusia yang dipadukan secara teratur. 1. Pendekatan Penelitian Penelitian hukum sosiologis empiris adalah metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berpikir induktif dan kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan untuk melakukan proses induksi dan pengujian kebenaran secara koresponden adalah fakta yang mutakhir.9 2. Jenis Penelitian Penulis menggunakan penelitian jenis deksriptif dengan tujuan untuk memberikan gambaran mengenai obyek penelitian secara teliti. Penelitian Deskripsi yaitu penelitian yang dilakukan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau didalam kerangka penyusun teori-teori baru. 3. Sumber Data Sumber data adalah subyek dari mana data yang diperlukan dalam suatu penelitian dapat diperoleh. Dalam penelitian ini sumber data yang dipergunakan adalah : a. Data Primer Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan.
9
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.
14
b. Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka, yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari peraturan perundangundangan, data arsip dokumen yang ada hubungannya dengan obyek penelitian. 4. Lokasi penelitian Adapun lokasi yang menjadi obyek penlitian adalah Pengadilan Negeri Karanganyar, yang masih dalam eks-Karisidenan Surakarta, sehingga
dengan
demikian
akan
mempermudah
penulis
untuk
mengumpulkan data-data yang diperlukan. 5. Teknik pengumpulan data Untuk mengumpulkan data-data dari sumber data di atas dipergunakan cara atau teknik pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Observasi Yaitu pengamatan secara langsung terhadap kasus yang menggunakan alat bukti akata otentik yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Karanganyar. b. Interview atau wawancara Yaitu suatu cara untuk memperoleh data atau pengumpulan data dari lapangan dengan cara mengadakan tanya jawab atau komunikasi dengan
responden
sebagai
informan
yang
bersangkutan
dan
15
berhubungan dengan obyek yang diteliti. c. Studi kepustakaan Yaitu merupakan teknik pengumpulan data dengan cara membaca, mempelajari dan menganalisa buku-buku, peraturan-peraturan, bahkan referensi serta tulisan-tulisan yang berhubungan dengan materi yang diteliti. 6. Metode populasi, sample dan sampling a. Metode Populasi Salah satu cara yang perlu diambil dalam melaksanakan suatu penelitian adalan menentukan populasi dari penelitian yang akan dilaksanakan, yang dimaksudkan dengan populasi di sini adalah keseluruhan subyek penelitian. Populasi dalam penlitian ini adalah kasus dan pihak-pihak yang telah diputus di Pengadilan Negeri Karanganyar yang menggunakan akta otentik sebagai alat bukti. b. Metode Sampling Sampling adalah metode tentang proses untuk mengambil sample, di dalam sampling dikenal dengan tata cara pelaksanaan sampling. Di dalam penulisan skripsi ini cara yang dilakukan dalam pengambilan sample adalah teknik non rondom sampling maksudnya tidak semua populasi dapat menjadi anggota sample. c. Metode Sample Sample adalah bagian dari populasi yang diambil sebagai responden.
16
7. Teknik Analisa Data Guna menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan terhadap data yang telah terkumpul dengan melalui teknik pengumpulan data seperti tersebut diatas, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data dengan tujuan untuk memcahkan masalah yang sedang diteliti.
Dengan demikian analisa data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kwalitatif.
G. Sistimatika Skripsi Agar mendapatkan suatu gambaran mengenai arah dan ruang lingkupnya, maka sistimatika skripsi ini secara garis besarnya sebagai berikut : BAB I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Pembatasan Masalah C. Perumusan Masalah D. Tujuan Penelitian E. Manfaat Penelitian F. Metodologi Penelitian G. Sistematika
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA A. Pembuktian 1. Pengertiannya Pembuktian 2. Tujuan Pembuktian
17
3. Hukum Pembuktian Positif 4. Macam-macam Alat bukti dan Kekuatan Pembuktiannya a. Alat Bukti Surat b. Alat Bukti Saksi c. Alat Bukti Persangkaan (dugaan) d. Alat Bukti Pengakuan e. Alat Bukti sumpah B. Akta Otentik Sebagai Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya 1. Pengertian Akta Otentik 2. Fungsi Akta Otentik 3. Bentuk-Bentuk Akta Otentik 4. Kekuatan pembuktian Akta Otentik BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penilaian Hakim Dalam Menilai Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik dalam proses pemeriksaan perkara perdata dalam praktek di Pengadilan Negeri Karanganyar. B. Pertimbangan hakim (legal reasoning) dalam menilai akta otentik
yang didalilkan adanya dwaling (kekeliruan),
penipuan (bedrog) atau paksaan (dwang). BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN