6
BAB II KAJIAN TEORI
2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah, sedangkan Pirwadarminta (1976) kawin adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di samping itu menurut Hornby (1957) marriage is the onion of two persons as husband and wife. Pernikahan adalah bersatunanya dua orang sebagai suami isteri. Menurut Undang Undang Perkawinan, no. 1 tahun 1974, perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seseorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Hidup bersama tidak secara resmi atau tidak diikat oleh perkawinan sering dikenal dengan samen leven atau kumpul kebo. Secara formal samen leven dapat menimbulkan masalah karena individu tidak dapat menerima hubungan suami isteri. Melihat keadaan itu, perkawinan untuk membentuk keluarga yang baik harus memiliki ikatan lahir dan batin. Seperti yang dikemukakan oleh Klein
7
dan
White
(1996)
bahwa
keluarga
mengandung
hubungan
kejasmanian berdasarkan hukum umum. (Walgito, 2000). 2.1.2. Tujuan Pernikahan Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu
yang bersangkutan, demikian pula dalam hal
perkawinan. Karena perkawinan merupakan suatu aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya individu memiliki tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan individu tidak sama. (Walgito, 2000) Berbicara mengenai tujuan memang merupakan hal yang tidak mudah, karena masing-masing individu akan mempunyai tujuan yang mungkin berbeda satu ama lain. Demikian pula halnya dalam pekawinan seperti telah dipaparkan dimuka. Namun demikian perlu ditekankan bahwa suami isteri untuk membentuk keluarga yang bahagia perlu mempersatukan tujuan yang akan dicapai dalam perkawinan itu. (Walgito, 2000) Tujuan pekawinan itu membentuk keluarga yang bahagia, tetapi juga bersifat kekal. Ini berarti dalam perkawinan perlu diiafi sekali kawin untuk seterusnya, berlangsung untuk seumur hidup. Pasangan suami isteri akan berpisah bila salah satu pasangannya suami isteri tersebut meninggal dunia. (Walgito, 2000)
8
Berdasarkan
uraian
tersebut,
maka
tujuan
perkawinan
merupakan hal yang sangat penting untuk ditanamkan pada masingmasing pihak, yaitu suami isteri. Maka tanpa adanya pengertian yang mendalam mengenai tujuan tersebut, suami istri akan mendapat kesulitan bagi kehidupan berkeluarga. Suatu hal lagi perlu ditekankan bahwa tujuan itu adalah milik bersama, dan akan dicapai secara bersama-sama, suami isteri harus menuju ke arah tujuan tersebut. 2.2. Perceraian Menurut Dagun (2002) penyebab perceraian adalah persoalan ekonomi, perbedaan usia yang besar, keinginan memperoleh anak putra (putri) dan persoalan prinsip hidup yang berbeda, berupa perbedaan penekanan dan cara mendidik anak juga pengaruh dukungan sosial dari pihak luar seperti tetangga, sanak saudara, sahabat, dan situasi masyarakat yang terkondisikan. Semua faktor ini menimbulkan suasana keruh dan meruntuhkan kehidupan rumah tangga. Menurut (Hastings, 1972) Dalam pernikahan adanya ikatan batin yang tidak nampak secara langsung merupakan ikatan spikologis. Antara suami isteri harus ada ikatan batin, harus saling cinta mencintai satu sama lain, tidak adanya paksaan dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan, tidak adanya rasa cinta kasih satu dengan lain, maka dalam perkawinan tersebut tidak adanya ikatan batin, Kedua ikatan yaitu ikatan lahir dan batin ditutuntut dalam perkawinan. Bila tidak ada salah satu, maka ini akan menumbulkan persoalan dalam kehidupan pasangan tersebut. Kawin paksa, pada umumnya
9
tidak dapat bertahan sehingga perceraian biasanya merupakan hal yang sering terjadi. (Walgito, 2000) Penelitian Gantira (2010) dengan judul Konsep Diri Remaja Dari Keluarga broken home di lakukan di kota Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana gambaran dengan jelas mengenai konsep diri yang dimiliki seorang remaja dari keluarga broken homeyang berada di kota Bandung. Subjek penelitian ini remaja akhir 18-21 tahun yang berasal dari hubungan orang tua yang tidak harmonis (tidak bercerai) atau broken home karena orang tua bercerai. Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut adalah baik remaja yang berasal dari keluarga broken home struktural ataupun broken home karena bercerai memiliki konsep diri negatif dilihat dari konsep diri yang tidak teratur, harapan diri yang tidak realistis, dan penilaian tentang diri yang rendah. Perceraian orang tua dianggap salah satu penyebab kegagalan masa depan anak. Anak dapat kehilangan orientasi masa depan karena kehilangan rasa kasih sayang orang tua. Masa setelah perceraian terjadi merupakan masa kritis buat anak. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam batin anak-anak. Pada masa ini anak harus beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Padahal setiap anak menginginkan keutuhan keluarga. Selain itu perceraian membawa akibat mendalam. Menurut penelitian Hetherington (Dagun,
2002) peristiwa
itu
menimbulkan ketidakstabilan emosi, mengalami rasa cemas, tertekan dan sering marah-marah, yang dapat dialami oleh orang tua dan anak.
10
Dampak perceraian menurut penulis adalah kurangnya kasih sayang orang tua terhadap anak karena kedua orang anak terlalu sibuk dengan urusannya sehingga anak menjadi tidak nyaman. Rasa kasih sayang dalam sebuah keluarga sangat diperlukan karena akan membuat anak menjadi nyaman dan merasa terawasi apalagi orang tua yang sedang mengalami perceraian. Dampak negatif lain akibat perceraian yang bisa muncul pada anak di antaranya adalah marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi pembangkang, tidak sabaran, impulsif, anak akan merasa bersalah (guilty feeling) dan
menganggap
dirinyalah
menjadi
penyebab
perceraian
orangtuanya. Kemudian, setelah dewasa, anak cenderung tidak berani untuk berkomitmen pada suatu hubungan antar pribadi secara heteroseksual yang makin mendalam. 2.3 Remaja 2.3.1. Pengertian Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Bangsa primitif memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode-periode lain dalam rentang kehidupan anak dianggap sudah dewasa apabila mampu mengadakan reproduksi. Istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat
ini
mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental,
11
emosional, social dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget (dalam Hurlock, 1996) dengan menyatakan secara spikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orangorang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Sarwono (2002) menyatakan bahwa remaja menurut WHO adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda tanda seksual dan perkembangan psikologi serta pola indentifikasi dari kanak kanak menjadi dewasa. Terjadi pula peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi kearah keadaan yang relatif lebih mandiri. Monks (2002) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan perkembangan fisik, seperti pertumbuhan organ-organ tubuh, perkembangan fisik seperti munculnya ciri-ciri kelamin primer dan sekunder, serta perkembangan sosial yang ditandai dengan makin berkurangnya ketergantungan dengan orang lain.
12
2.3.2. Ciri-ciri Remaja Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami oleh setiap individu, sebagai masa transisi dari masa kanakkanak menuju masa dewasa. Masa ini memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode perkembangan yang lain. Ciri yang menonjol pada masa ini adalah individu mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang amat pesat, baik fisik, emosional dan sosial. (Hurlock, 1999) Ada empat karakteristik masa remaja: adanya perubahan karakteristik paling menonjol pada peralihan individu ke usia remaja adalah adanya perubahan pada berbagai segi kehidupan. Perubahan yang berlangsung pada periode remaja yaitu: a. Perubahan biologis, mulainya puberitas yang diawali peningkatan tajam produksi hormon seksual. b. Perubahan kognitif dengan tampilnya kecakapan kognitif dan kapasitas berfikir konkret ke pemikiran abstrak c. Perubahan emosional dengan berkembangnya gambaran diri self image, keakraban intimacy, membangun relasi dengan orang dewasa dan kelompok sebaya. Adanya perubahan pada tubuh laki-laki maupun perempuan. Perubahan sosial berupa peralihan peran remaja ke peran baru di masyarakat
13
seperti mulai membentuk ikatan berteman dengan sebaya serta mulai tertarik pada lawan jenis (Sumadjono, 2011). 2.4. Persepsi 2.4.1. Pengertian Persepsi Persepsi berasal dari Bahasa Inggris yaitu Perception Echols dan Shadily (dalam Juriana, 2000) yang berarti bahwa tanggapan dengan memahami sesuatu. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan yang diperolwh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkannya. Maka persepsi memberikan makna pada stimulus inderawi dan tidak hanya melibatkan sensasi, atensi, motivasi, dan memori (Rahmat, 1998). Sedangkan Wilson (dalam Rahmat,1998) mendefinisikan persepsi sebagai interprestasi yang tinggi terhadap lingkungan manusia dan mengolah proses informasi tersebut. Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rahmat, 2005). Sedangkan Walgito (2001), mengemukakan persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu.
14
2.4.2. Teori Persepsi Hubungan Teori persepsi hubungan adalah usaha ketika individuindividu mengamati perilaku untuk menentukan apakah hal ini disebabkan secara internal atau eksternal (Kelley, 1972). Faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain harapan pengalaman masa lalu, dan keadaan psikologis yang mana menciptakan kumpulan perseptual. Selain hal tersebut masih ada beberapa hal yang mempengaruhi persepsi, yaitu: Yang paling berpengaruh terhadap persepsi adalah perhatian, karena perhatian adalah proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran, pada saat stimulus lainya melemah. Dalam stimulus mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain intensitas dan pengulangan. Diri orang yang membentuk persepsi itu sendiri. Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya, hal tersebut dipengaruhi oleh karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap kepentingan,
minat,
kebutuhan,
pengalaman,
harapan
dan
kepribadian. Stimulus yang berupa obyek maupun peristiwa tertentu. Stimulus yang dimaksud mungkin berupa orang, benda atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya.
15
Faktor situasi pembentukan persepsi itu terjadi baik tempat, waktu, suasana dan lain-lain.