BAB II KAJIAN TEORI
A. Anak Jalanan 1. Pengertian Anak Jalanan Menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi. Selain itu, Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30) memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun. Adapun waktu yang dihabiskan di jalan lebih dari 4 jam dalam satu hari. Pada dasarnya anak jalanan menghabiskan waktunya di jalan demi mencari nafkah, baik dengan kerelaan hati maupun dengan paksaan orang tuanya. Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang sebagian waktunya mereka gunakan di jalan atau tempat-tempat umum lainnya baik untuk mencari nafkah
14
maupun berkeliaran. Dalam mencari nafkah, ada beberapa anak yang rela melakukan kegiatan mencari nafkah di jalanan dengan kesadaran sendiri, namun banyak pula anak-anak yang dipaksa untuk bekerja di jalan (mengemis, mengamen, menjadi penyemir sepatu, dan lain-lain) oleh orang-orang di sekitar mereka, entah itu orang tua atau pihak keluarga lain, dengan alasan ekonomi keluarga yang rendah. Ciri-ciri anak jalanan adalah anak yang berusia 6 – 18 tahun, berada di jalanan lebih dari 4 jam dalam satu hari, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, dan mobilitasnya tinggi.
2. Karakteristik Anak Jalanan a. Berdasarkan Usia Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30) memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun. Selain itu dijelaskan oleh Departemen Sosial RI (2001: 23–24), indikator anak jalanan menurut usianya adalah anak yang berusia berkisar antara 6 sampai 18 tahun Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak jalanan adalah yang memiliki usia berkisar antara 6 sampai 18 tahun.
15
b. Berdasarkan Pengelompokan Menurut Surbakti dkk. (1997: 59), berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam 3 kelompok yaitu: Pertama, Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi – sebagai pekerja anak- di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalankan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya. Kedua, Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual. Ketiga, Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah
16
pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi,
bahkan
sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai, walau secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti. Menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP di Jakarta
dan
Surabaya
(BKSN,
2000:
2-4),
anak
jalanan
dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu: 1) Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan kriteria: a) Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya b) 8 – 10 jam berada di jalanan untuk bekerja (mengamen, mengemis, memulung) dan sisinya menggelandang/tidur c) Tidak lagi sekolah d) Rata-rata berusia di bawah 14 tahun 2) Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria: a) Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya b) 8 – 16 jam berada di jalanan c) Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua atau saudara, umumnya di daerah kumuh d) Tidak lagi sekolah e) Pekerjaan: penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir, dll. f) Rata-rata berusia di bawah 16 tahun. 3) Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria: a. Bertemu teratur setiap hari/tinggal dan tidur dengan keluarganya b. 4 – 5 jam bekerja di jalanan c. Masih bersekolah d. Pekerjaan: penjual koran, penyemir sepatu, pengamen, dll e. Usia rata-rata di bawah 14 tahun 4) Anak jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria: a) Tidak lagi berhubungan/berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya b) 8 – 24 jam berada di jalanan c) Tidur di jalanan atau rumah orang tua d) Sudah taman SD atau SMP, namun tidak bersekolah lagi e) Pekerjaan: calo, mencuci bus, menyemir, dll.
17
Menurut Departemen Sosial RI (2002: 13 -15), setiap rumah singgah boleh menentukan sendiri kategori anak jalanan yang didampingi. Kategori anak jalanan dapat disesuaikan dengan kondisi anak jalanan masing-masing kota. Secara umum kategori anak jalanan sebagai berikut: a. Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan ciri-ciri sebagai berikut: a) Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun yang lalu b) Berada di jalanan seharian untuk bekerja dan menggelandang c) Bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper toko, kolong jembatan, taman, terminal, stasiun. d) Tidak bersekolah lagi b. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, cirinya adalah a) Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, yakni pulang secara periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu. Mereka umumnya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan b) Berada di jalanan sekitar 8 – 12 jam untuk bekerja, sebagian mencapai 16 jam c) Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman, dengan orang tua atau saudara, atau di tempat kerjanya di jalan d) Tidak bersekolah lagi c. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, cirinya adalah: a) Setiap harinya bertemu dengan orang tuanya (teratur) b) Berada di jalanan sekitar 4 – 6 jam untuk bekerja c) Tinggal dan tidur bersama orang tua atau wali d) Masih bersekolah
Selain itu BKSN (2000: 61-62), memaparkan kategori dan karektiristik anak jalanan sebagai berikut: 1) Kelompok anak yang hidup di jalanan. Karakteristiknya: a) Menghabiskan seluruh waktunya di jalanan b) Hidup dalam kelompok kecil atau perorangan c) Tidur di ruang-ruang atau cekungan di perkotaan, seperti: terminal, emper toko, kolong jembatan dan pertokoan d) Hubungan dengan orang tuanya biasanya sudah putus 18
e) Bekerja sebagai: pemulung, pengamen, pengemis. penyemir sepatu, kuli angkut barang f) Berpindah-pindah tempat 2) Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan dan masih pulang ke rumah orang tua mereka setiap hari. Karekteristiknya: a) Hubungan dengan orang tua masih ada tetapi tidak harmonis b) Sebagian besar dari mereka telah putus sekolah dan sisanya rawan untuk meninggalkan bangku sekolah c) Rata-rata pulang setiap hari atau seminggu sekali ke rumah d) Bekerja sebagai: pengemis, pengamen di perempatan, kernet, asongan koran dan ojek payung 3) Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan dan pulang ke desanya antara 1 hingga 2 bulan sekali. Karekteristiknya: a) Bekerja di jalanan sebagai: pedagang asongan, menjual makanan keliling, kuli angkut barang b) Hidup berkelompok bersama orang-orang yang berasal dari satu daerah dengan cara mengontrak rumah atau tinggal di sarana-sarana umum / tempat ibadah seperti masjid c) Pulang antara 1 hingga 3 bulan sekali d) Ikut membiayai keluarga di desanya e) Putus sekolah 4) Anak remaja jalanan bermasalah (ABG). Karakteristiknya: a) Menghabiskan sebagian waktunya di jalanan b) Sebagian sudah putus sekolah c) Terlibat masalah narkotika dan obat-obatan lainnya d) Sebagian dari mereka melakukan pergaulan seks bebas, pada beberapa anak perempuan mengalami kehamilan dan mereka rawan untuk terlibat prostitusi e) Berasal dari keluarga yang tidak harmonis
Berdasarkan beberapa pengelompokkan yang dipaparkan di atas, maka karakteristik anak jalanan berdasarkan pengelompokan anak jalanan sebagai berikut: 1) Kelompok anak yang hidup di jalanan. Karakteristiknya: a) Menghabiskan seluruh waktunya di jalanan baik untuk bekerja maupun menggelandang atau tidur b) Hidup dalam kelompok kecil atau perorangan
19
c) Tidur di ruang-ruang atau cekungan di perkotaan, seperti: terminal, emper toko, kolong jembatan dan pertokoan d) Hubungan dengan orang tuanya biasanya sudah putus e) Bekerja sebagai: pemulung, pengamen, pengemis. penyemir sepatu, kuli angkut barang f) Berpindah-pindah tempat. 2) Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan dan masih pulang ke rumah orang tua mereka setiap hari. Karekteristiknya: a) Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, yakni pulang secara periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekalu, dan tidak tentu. Mereka umumnya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan b) Hubungan dengan orang tua masih ada tetapi tidak harmonis c) Sebagian besar dari mereka telah putus sekolah dan sisanya rawan untuk meninggalkan bangku sekolah d) Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman, dengan orang tua atau saudara, atau di tempat kerjanya di jalan e) Rata-rata pulang setiap hari atau seminggu sekali ke rumah f) Bekerja sebagai: pengemis, pengamen di perempatan, kernet, asongan koran dan ojek payung 3) Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan dan pulang ke desanya antara 1 hingga 2 bulan sekali. Karekteristiknya:
20
a) Bekerja di jalanan sebagai: pedagang asongan, menjual makanan keliling, kuli angkut barang b) Hidup berkelompok bersama orang-orang yang berasal dari satu daerah dengan cara mengontrak rumah atau tinggal di sarana-sarana umum / tempat ibadah seperti masjid c) Pulang antara 1 hingga 3 bulan sekali d) Ikut membiayai keluarga di desanya e) Putus sekolah 5) Kelompok anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria: a) Bertemu teratur setiap hari atau tinggal dan tidur dengan keluarganya b) 4 – 5 jam bekerja di jalanan c) Masih bersekolah d) Pekerjaan: penjual koran, penyemir sepatu, pengamen e) Usia rata-rata di bawah 14 tahun 6) Kelompok
anak
remaja
jalanan
bermasalah
(ABG).
Karakteristiknya: a) Menghabiskan sebagian waktunya di jalanan b) Sebagian sudah putus sekolah c) Terlibat masalah narkotika dan obat-obatan lainnya d) Sebagian dari mereka melakukan pergaulan seks bebas, pada beberapa anak perempuan mengalami kehamilan dan mereka rawan untuk terlibat prostitusi
21
e) Berasal dari keluarga yang tidak harmonis
c. Berdasarkan Ciri-ciri Fisik dan Psikis Anak jalanan memiliki ciri-ciri khusus baik secara fisik dan psikis. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 23–24), karakteristik anak jalanan pada ciri-ciri fisik dan psikis, yakni 1) Ciri Fisik: warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, pakaian tidak terururs, dan 2) Ciri Psikis meliputi mobilitas tinggi, acuh tak acuh, penuh curiga, sangat sensitif, berwatak keras, serta kreatif. Sedang menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi. Dari beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak jalanan berdasarkan ciri-ciri fisik dan psikis mereka adalah: 1) Ciri-ciri fisik a) Penampilan dan warna kulit kusam b) Rambut kemerah-merahan c) Kebanyakan berbadan kurus d) Pakaian tidak terurus 2) Ciri-ciri psikis a) Mobilitas tinggi
22
b) Acuh tak acuh c) Penuh curiga d) Sangat sensitif e) Berwatak keras f) Kreatif
d. Berdasarkan Intensitas Hubungan dengan Keluarga Aktivitas utama anak jalanan adalah berada di jalanan baik untuk mencari nafkah maupun melakukan aktivitas lain. Hal ini membuat intensitas hubungan anak jalanan dengan keluarga mereka kurang intensif. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 23), indikator anak jalanan menurut intensitas hubungan dengan keluarga, yaitu: 1) Masih berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari 2) Frekuensi dengan keluarga sangat kurang 3) Sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga Selain itu, menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP (BKSN, 2000: 2-4), intensitas hubungan anak jalanan dengan keluarga mereka dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tua, berhubungan tidak teratur dengan orang tua, dan bertemu teratur setiap hari atau tinggal dan tidur bersama orang tua mereka. Menurut Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (2000: 61-62), beberapa macam intensitas anak jalanan
23
dengan keluarga mereka adalah: hubungan orang tua sudah putus, masih ada hubungan dengan orang tua tetapi tidak harmonis, maupun pulang antara 1 sampai 3 bulan sekali. Dari beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak jalanan berdasarkan intensitas anak jalanan berhubungan dengan keluarga ada tiga macam, yaitu: 1) Masih berhubungan teratur dengan orang tua atau keluarga 2) Masih berhubungan dengan orang tua atau keluarga tetapi tidak teratur dengan frekuensi sangat kurang 3) Sudah tidak berhubungan lagi dengan orang tua maupun keluarga.
e. Berdasarkan Tempat Tinggal Anak jalanan yang ditemui memiliki berbagai macam tempat tinggal. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 24), indikator anak jalanan menurut tempat tinggalnya adalah: 1) Tinggal bersama orang tua 2) Tinggal berkelompok bersama teman-temannya 3) Tidak mempunyai tempat tinggal Sedangkan menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP (BKSN, 2002: 13-15), beberapa macam tempat tinggal anak jalanan adalah: menggelandang atau tidur di jalanan, mengontrak kamar sendiri atau bersama teman, maupun ikut bersama orang tua atau keluarga yang biasanya tinggal di daerah kumuh. Menurut BKSN
24
(2000: 61-62), beberapa tempat tinggal anak jalanan adalah: 1) bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper toko, kolong jembatan, taman, terminal, maupun stasiun; 2) bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman; dan 3) tinggal dan tidur bersama orang tua atau wali. Dari berbagai sumber di atas, dapat disimpulkan beberapa tempat tinggal anak jalanan adalah: 1) Tidak mempunyai tempat tinggal sehingga menggelandang dan tinggal di jalanan serta tidur di sembarang tempat 2) Mengontrak sendiri atau bersama dengan teman 3) Tinggal bersama orang tua atau wali.
f. Berdasarkan Aktivitas Dari definisi anak jalanan, dapat diidentifikasi bahwa anak jalanan menghabiskan sebagian besar waktu mereka di jalanan. Berbagai macam aktivitas banyak dilakukan di jalanan. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 24), indikator anak jalanan menurut aktivitas yang dilakukan oleh anak jalanan adalah antara lain memiliki aktivitas: menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran atau majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, menjadi penghubung atau penjual jasa.
25
Menurut Departemen Sosial RI (2002: 13-15), aktivitas yang dilakukan anak jalanan di jalanan di antaranya adalah bekerja baik itu mengamen, mengemis, memulung, menjual koran, mengasong, mencuci bus, menyemir sepatu, menjadi calo, dan menggelandang. Selain itu Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (2000: 61-62) menyebutkan bahwa beberapa aktivitas yang dilakukan oleh anak jalanan adalah bekerja sebagai pengamen, pemulung, pengemis, penjual koran, pengasong, pencuci bus, penyemis, maupun calo; dan menggelandang. Dari berbagai sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam aktivitas anak yang dilakukan di jalanan di antaranya adalah untuk bekerja maupun sekedar menggelandang. Aktivitas bekerja anak jalanan di antaranya adalah menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran atau majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, dan menjadi penghubung atau penjual jasa.
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Munculnya Anak Jalanan Departemen Sosial (2001: 25-26) menyebutkan bahwa penyebab keberadaan anak jalanan ada 3 macam, yakni faktor pada tingkat mikro (immediate causes), faktor pada tingkat messo (underlying causes), dan faktor pada tingkat makro (basic causes).
26
a. Tingkat Mikro (Immediate Causes) Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. Departemen Sosial (2001: 25-26) menjelaskan pula bahwa pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan keluarga yang berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni: 1) Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman. 2) Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial. Hal ini dipengaruhi pula oleh meningkatnya masalah keluarga yang disebabkan oleh kemiskinan pengangguran, perceraian, kawin muda, maupun kekerasan dalam keluarga. 3) Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak mampu lagi
membantu
terhadap
keluarga-keluarga
inti,
hal
ini
diakibatkan oleh pergeseran nilai, kondisi ekonomi, dan kebijakan pembangunan pemerintah.
27
4) Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang tua sudah tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan anak-anak, telah menyebabkan anak-anak mencari kebebasan. Selain itu, Odi Shalahudin (2004:71) menyebutkan pula faktor-faktor yang disebabkan oleh keluarga yakni sebagai berikut: 1) Keluarga miskin Hampir seluruh anak jalanan berasal dari keluarga miskin. Sebagian besar dari mereka berasal dari perkampunganperkampungan urban yang tidak jarang menduduki lahan-lahan milik negara dengan membangun rumah-rumah petak yang sempit yang sewaktu-waktu dapat digusur. Anak jalanan yang berasal dari luar kota, sebagian besar berasal dari desa-desa miskin. Kemiskinan merupakan faktor dominan yang medorong anak-anak menjadi anak jalanan. Anak dari keluarga miskin, karena kondisi kemiskinan kerap kali kurang terlindungi sehingga menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan. 2) Perceraian dan kehilangan orang tua Perceraian dan kehilangan orang tua menjadi salah satu faktor risiko yang mendorong anak-anak pergi ke jalanan. Perceraian atau perpisahan orang tua yang kemudian menikah lagi atau memiliki teman hidup baru tanpa ikatan pernikahan sering
28
kali membuat anak menjadi frustasi. Rasa frustasi ini akan semakin bertambah ketika anak dititipkan ke salah satu anggota keluarga orang tua mereka atau tatkala anak yang biasanya lebih memilih tinggal bersama ibunya merasa tidak mendapatkan perhatian, justru menghadapi perlakuan buruk ayah tiri atau pacar ibunya. 3) Kekerasan keluarga Kekerasan keluarga merupakan faktor risiko yang paling banyak dihadapi oleh anak-anak sehingga mereka memutuskan untuk keluar dari rumah dan hidup di jalanan. Berbagai faktor risiko lainnya yang berkaitan dengan hubungan antara anak dengan keluarga, tidak lepas dari persoalan kekerasan. Seperti kasus
eksploitasi
ekonomi
terhadap
anak
yang
dipaksa
menyerahkan sejumlah uang tertentu setiap harinya, akan menghadapi risiko menjadi korban kekerasan apabila tidak memenuhi target tersebut. Kekerasan dalam keluarga tidak hanya bersifat fisik saja, melainkan juga bersifat mental dan seksual. 4) Keterbatasan ruang dalam rumah Keterbatasan ruang dalam rumah bisa menimbulkan risiko anak-anak turun ke jalan. Biasanya ini dialami oleh anak-anak yang berada di beberapa perkampungan urban yang menduduki lahan milik negara. Banyak dijumpai adanya rumah-rumah petak yang
didirikan
secara
29
tidak
permanen
dan
sering
kali
menggunakan barang-barang bekas seadanya dengan ruang yang sangat sempit, kadang hanya berukuran 3 X 4 meter saja. Dengan bentuk dan bangunan yang tidak layak disebut rumah itu, kenyataannya dihuni oleh banyak orang. Misalkan saja sebuah keluarga, termasuk hubungan suami istri berlangsung dalam ruangan yang terbatas itu, tentunya hal itu akan berpengaruh buruk terhadap anak-anak, biasanya yang berumur lebih dari 5 tahun memilih atau dibiarkan oleh orang tuanya untuk tidur di luar rumah, seperti di tempat ibadah (mushola atau masjid) yang ada di kampung tersebut, pos ronda, atau ruang-ruang publik yang berdekatan dengan kampung mereka. 5) Eksploitasi ekonomi Anak-anak yang turun ke jalan karena didorong oleh orang tua atau keluarganya sendiri atau biasanya bersifat eksploratif. Anak ditempatkan sebagai sosok yang terlibat dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Eksploitasi ekonomi oleh orang tua mulai marak terjadi ketika pada masa krisis, dimana anak-anak yang masih aktif bersekolah didorong oleh orang tuanya mencari uang dan ditargetkan memberikan sejumlah uang yang ditentukan oleh orang tua mereka.
30
6) Keluarga homeless Seorang anak menjadi anak jalanan bisa pula disebabkan karena terlahirkan dari sebuah keluarga yang hidup di jalanan tanpa memiliki tempat tinggal tetap. Dijelaskan pula mengenai faktor-faktor yang menyebabkan keluarga dan anaknya terpisah (BKSN, 2000: 111), yaitu: 1) Faktor pendorong: a) Keadaan ekonomi keluarga yang semakin dipersulit oleh besarnya kebutuhan yang ditanggung kepala keluarga sehingga banyak dijumpai kepala keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, karena itu banyak anak-anak yang disuruh ataupun dengan sukarela membantu mengatasi kondisi ekonomi tersebut dengan mencari uang di jalanan. b) Ketidakserasian dalam keluarga, sehingga anak tidak betah tinggal di rumah atau anak lari dari keluarga. c) Adanya kekerasan atau perlakuan salah dari orang tua terhadap anaknya sehingga anak lari dari rumah. d) Kesulitan hidup di kampung, anak melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan mengikuti orang dewasa. 2) Faktor penarik: a) Kehidupan jalanan uang menjanjikan, dimana anak mudah mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan bebas.
31
b) Diajak oleh teman. c) Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian. b. Tingkat Messo (Underlying Causes) Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat messo ini yaitu faktor yang ada di masyarakat. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 25-26), pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi meliputi: 1) Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu peningkatan pendapatan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang menyebabkan drop out dari sekolah. 2) Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi menjadi kebiasaan dan anak-anak mengikuti kebiasaan itu. 3) Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal. Selain itu, Odi Shalahudin (2004:71) juga memaparkan faktor lingkungan munculnya anak jalanan yang bisa dikategorikan dalam faktor pada tingkat messo yakni sebagai berikut. a. Ikut-ikutan teman Ikut-ikutan teman berdasarkan pengalaman pendampingan dari studi yang ada menjadi salah satu faktor risiko yang membuat anak turun ke jalanan. Teman di sini bisa berarti teman-teman di lingkungan sekitar tempat tinggal anak atau teman-teman di
32
sekolahnya yang telah lebih dahulu melakukan aktivitas atau kegiatan di jalanan. Keterpengaruhan akan sangat cepat apabila sebagian besar teman-temannya sudah berada di jalanan. Awalnya mereka mungkin hanya menonton saja ketika diajak untuk mengikuti temannya. Secara perlahan, anak mulai ditawari atau terdorong untuk ikut terlibat dalam kegiatan di jalanan ketika mengetahui
teman-temannnya
bisa
menghasilkan
uang.
Keterpengaruhan dari teman akan semakin tinggi apabila pihak keluarga dan komunitas sekitar tidak memiliki kepedulian terhadap keberadaan anak-anak di jalanan. Sehingga ketika anak mereka turun ke jalanan, tidak ada upaya untuk mencegahnya. b. Bermasalah dengan tetangga atau komunitas Anak yang turun ke jalan karena memiliki masalah dengan tetangga atau komunitasnya, biasanya berawal dari tindakan anak yang melakukan tindakan kriminal seperti melakukan pencurian. c. Ketidakpedulian atau toleransi lingkungan terhadap keberadaan anak jalanan Ketidakpedulian komunitas di sekitar tempat tinggal anak atau adanya toleransi dari mereka terhadap keberadaan anak-anak di jalanan menjadi situasi yang sangat mendukung bertambahnya anak-anak untuk turut ke jalan. Biasanya ini terjadi pada komunitas-komunitas masyarakat miskin yang sebagian besar warganya bekerja di jalanan terutama sebagai pengemis.
33
c. Tingkat Makro (Basic Causes) Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat makro yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro. Departemen Sosial RI (2001: 25-26) menjelaskan bahwa pada tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah: 1) Ekonomi, adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama di jalanan dan meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang mendorong urbanisasi. Migrasi dari desa ke kota mencari kerja, yang diakibatkan kesenjangan pembangunan desakota, kemudahan transportasi dan ajakan kerabat, membuat banyak keluarga dari desa pindah ke kota dan sebagian dari mereka terlantar, hal ini mengakibatkan anak-anak mereka terlempar ke jalanan. 2) Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka dengan alasan “demi pembangunan”, mereka semakin tidak berdaya dengan kebijakan ekonomi makro pemerintah yang lebih memguntungkan segelintir orang. 3) Pendidikan, adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang diskriminatif, dan ketentuan-ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar. Meningkatnya angka anak putus sekolah karena alasan ekonomi, telah mendorong sebagian
34
anak untuk menjadi pencari kerja dan jalanan mereka jadikan salah satu tempat untuk mendapatkan uang. 4) Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang anak jalanan antara sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dam pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai trouble maker atau pembuat masalah (security approach / pendekatan keamanan). 5) Adanya kesenjangan sistem jaring pengamanan sosial sehingga jaring pengamanan sosial tidak ada ketika keluarga dan anak menghadapi kesulitan. 6) Pembangunan telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan, taman, dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa pada daerah-daerah kumuh perkotaan, dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai ajang bermain dan bekerja. Selain itu, dari paparan Odi Shalahudin (2004:71) tentang faktor-faktor yang menyebabkan anak turun ke jalan, beberapa yang merupakan foktor pada tingkat makro yaitu: 1) Dampak program Niat baik tidaklah selalu menghasilkan hal baik. Programprogram anak jalanan yang dilangsungkan oleh berbagai pihak tentunya tidak dimaksudkan untuk mempertahankan anak-anak jalanan melainkan dimaksud sebagai upaya untuk memberikan perlindungan, kesempatan mendapatkan hak-haknya dan yang
35
terpenting adalah untuk mengeluarkan anak-anak jalanan dari dunia jalanan yang dinilai sangat tidak layak untuk diarungi oleh mereka. Salah satu faktor yang dapat dikatakan sebagai faktor penarik bagi anak untuk pergi ke jalanan adalah adanya program untuk anak jalanan. Hal ini sangat mengejutkan dan kiranya dapat menjadi bahan evaluasi dan refleksi yang hasilnya dapat digunakan untuk mendesain
program
secara
lebih
berhati-hati
di
dalam
memproyeksikan dampak terhadap anak-anak. 2) Korban bencana Bencana alam seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi dan sebagainya ataupun bencana yang terjadi karena disebabkan oleh suatu akibat dari kebijakan pembangunan seperti penggusuran perkampungan miskin ataupun bencana yang ditimbulkan dari adanya konflik bersenjata antar kelompok masyarakat, negara dengan kelompok masyarakat, atau antar negara yang kesemuanya menyebabkan komunitas tersebut harus pindah dari tempat tinggal asalnya dan menjadi pengungsi. Situasi di dalam pengungsian yang terbatas
dengan
fasilitas
dan
persediaan
bahan
pangan
menyebabkan anak-anak melakukan kegiatan di jalanan seperti menjadi pengemis. 3) Korban penculikan Korban penculikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak berada di jalanan. Kasus penculikan yang
36
menimpa anak-anak untuk dijadikan sebagai anak jalanan hampir terjadi setiap tahun. Tampaknya kasus ini luput dari perhatian mengingat jumlah kasusnya memang tidak besar. Dari banyak uraian yang berasal dari berbagai sumber di atas dapat diketahui bahwa terdapat banyak faktor yang menyebabkan anak-anak pada akhirnya bisa turun ke jalan dan menjadikan jalanan sebagai pusat aktivitas mereka baik faktor pada tingkat mikro, messo, maupun makro. Permasalahan yang mereka hadapi begitu kompleks, baik dari segi keluarga, lingkungan sekitar, masyarakat, hingga kebijakan-kebijakan makro.
4. Perlindungan dan Pemberdayaan Anak Jalanan Perlindungan terhadap anak dan kesejahteraan anak di Indonesia telah tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 pasal 4 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara
kemanusiaan,
serta
wajar
sesuai
mendapat
dengan
perlindungan
harkat dari
dan
martabat
kekerasan
dan
diskriminasi. Pada pasal 11 dijelaskan pula bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, 37
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri (Redaksi Sinar Grafika, 2003: 6-7). Hal ini pula yang seharusnya didapatkan juga oleh anak jalanan. Mereka memiliki hak yang sama dalam hal perlindungan anak. Dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 dijelaskan pula pada pasal 21 bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. Undang-Undang inilah yang menjadi dasar pemerintah untuk melindungi dan memberdayakan anak-anak bangsa, tidak terkecuali anak jalanan yang notabene kurang memperoleh hak mereka sebagai seorang anak. Menurut informasi yang dilansir dari website Kementerian Sosial RI (2010), menyikapi fenomena anak jalanan di Indonesia, Menteri Sosial, Salim Segaff Al Jufrie, disela-sela peluncuran dua program unggulan Kementerian Sosial mengungkapkan bahwa perlindungan anak jalanan menjadi kewajiban mendesak. Hal ini dikarenakan, anak jalanan merupakan korban penelantaran, eksploitasi dan diskriminasi. Anak jalanan mengalami pelanggaran hak asasi manusia. Upaya penyelamatan tersebut dilakukan melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Sementara itu, dirjen Yanrehsos, Makmur Sunusi, Ph.D mengatakan, program
PKSA
terus
disosialisasikan
38
sebagai
upaya
pemerintah
menyelamatkan anak bangsa. Anak harus terhindar dari situasi buruk di jalanan, eksploitasi ekonomi, kekerasan, penelantaran dan perlakuan diskriminatif. Hak anak untuk tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi, sudah selayaknya dipenuhi. Sasaran program tersebut, anakanak yang memiliki kehidupan tidak layak dan mengalami masalah sosial. Yang dimaksud masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial, penyimpangan perilaku, korban bencana, serta korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Dalam pedoman pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial (2010: 10) disebutkan bahwa Program PKSA Kementerian Sosial RI adalah upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan anak meliputi subsidi kebutuhan dasar, aksesibilitas pelayanan sosial, penguatan orang tua/keluarga dan lembaga kesejahteraan sosial. Selain itu, dalam pedoman pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial RI (2010: 10), dijelaskan pula bahwa PKSA dibagi menjadi 6 kelompok (kluster) program, yaitu: a. Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita (PKS-AB) b. Program Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar (PKS-Antar) c. Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan (PKS- Anjal) d. Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum (PKS- ABH) e. Program Kesejahteraan Sosial Anak dengan Kecacatan (PKS-ADK)
39
f. Program Kesejahteraan Sosial Anak Dengan Perlindungan Khusus (PKS-AMPK) Hal ini menunjukkan bahwa anak jalanan merupakan salah satu sasaran pemerintah dalam Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) ini. Disebutkan pula dalam pedoman PKSA Kementerian Sosial RI (2010: 34) bahwa, lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak jalanan, seperti Rumah Singgah, Rumah Perlindungan Anak dan lembaga sejenis lainnya. Dalam pelaksanaan program kesejehteraan sosial anak jalanan ini, pemerintah memiliki beberapa komponen program. Beberapa komponen program yang dijelaskan dalam buku panduan pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial RI (2011: 59 -70) ini antara lain adalah: a. Bantuan sosial/ subsidi hak dasar anak yang meliputi 1) Peningkatan nutrisi atau gizi keluarga melalui pemahaman pola makan sehat, pengenalan keanekaragaman makanan sehat, perencanaan menu makan sehat keluarga, dan pemberian makanan tambahan. 2) Pembuatan akte kelahiran 3) Akses pelayanan kesehatan dasar melalui pemahaman pola hidup sehat dan pemberian SKTM atau Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Gakin. b. Peningkatan Aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, meliputi:
40
1) Layanan perantaraan dan/atau penghantaran (bridding course) melalui pengembangan jaringan kerja, pemberian life skills, pelaksanaan bridding course (pendidikan formal dan non formal), rujukan ke pendidikan formal, non formal, maupun informal, penyediaan peralatan dan perlengkapan sekolah, monitoring dan evaluasi perkembangan peserta didik. 2) Layanan remidial yakni pelaksanaan remidial (pendidikan formal yang sesuai dengan standar pelayanan minimal pendidikan nasional). c. Pengembangan potensi diri dan kretivitas anak, meliputi: 1) Meningkatkan kapasitas potensi diri dan kreativitas anak melalui berbagai kegiatan yang dapat memberikan prospek bagi masa depan anak, seperti pelatihan keterampilan, pengembangan jaringan kerja (networking) untuk pelatihan kerja dan penyaluran karya kreatif anak setelah mendapatkan pelatihan keterampilan. 2) Menjalin kemitraan dengan dunia usaha dalam pelaksanaan CSR perusahaan dan sekaligus membuka akses pasar bagi karya kreatif anak, serta membuka peluang produksi anak sekaligus menambah tabungan anak untuk persiapan kemandirian pada saat usia dewasa kelak. d. Peningkatan tanggung jawab orang tua/keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan anak yang terdiri dari: 1) Bimbingan tentang pengasuhan anak
41
2) Aksesibilitas terhadap sumber pelayanan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan jaringan sosial yang dapat digunakan pengasuhan anak. 3) Pelatihan dan pemberdayaan ekonomi keluarga. e. Penguatan Sistem Kelembagaan dan Dukungan Komunitas, meliputi: 1) Penguatan kemampuan komunitas dalam mencegah dan merespon anak yang ditelantarkan. 2) Koordinasi dengan pihak terkait yakni baik dengan lembaga pemerintah lain, lembaga swasta, LSM, PKBM, maupun penegak hukum. Selain itu, dalam pemberdayaan dan pembinaan terhadap anak jalanan, pemerintah bekerja sama dengan UNDP yang kemudian berkembang menjadi proyek INS/97/001 (BKSN, 2000: 9-11), di antaranya melalui model rumah singgah, mobil sahabat anak, model boarding house atau pemondokan.
B. Orientasi Masa Depan 1. Definisi Orientasi Masa Depan Orientasi masa depan dapat didefinisikan sebagai fenomena luas yang berhubungan dengan bagaimana seseorang berpikir dan bertingkah laku menuju masa depan yang digambarkan dalam proses motivation, planing, dam evaluation (Nurmi, 1991: 13). Menurut G. Trosmmsdorff dan Nurmi (Desmita, 2008: 199), orientasi masa depan merupakan fenomena kognitif motivasional yang 42
kompleks, yakni antisipasi dan evaluasi tentang diri di masa depan dalam interaksinya dengan lingkungan. Orientasi masa depan berkaitan erat dengan harapan, tujuan, standar, rencana, dan strategi pencapaian tujuan di masa yang akan datang. Dari beberapa penjelasan tersebut dapat didefinisikan bahwa orientasi masa depan merupakan fenomena kognitif motivasional yang luas dan berhubungan dengan bagaimana seseorang berfikir maupun bertingkah laku menuju masa depan yang terdiri dari antisipasi dan evaluasi tentang diri di masa depan dalam interaksinya dengan lingkungan dimana berkaitan erat dengan harapan, tujuan, standar, rencana, dan strategi pencapaian tujuan di masa depan yang melalui tahap motivations, planning, dan evaluations. Pembentukan orientasi masa depan ini merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa remaja, dimana keberhasilan pencapaian suatu tugas perkembangan pada seorang individu akan sangat memengaruhi keberhasilan pencapaian tugas perkembangan berikutnya. Orientasi masa depan mengandung aspek-aspek motivasional, afektif, dan aspek kognitif. Aspek motivasional dan afektif dari motivasi masa depan berkaitan dengan pemuasan kebutuhan-kebutuhan subjektif, termasuk kecenderungan untuk mendekatkan atau menjauhkan diri serta dapat dinyatakan dalam sikap yang lebih optimis atau pesimis, lebih positif atau negatif, serta berhubungan pula dengan sistem nilai dan tujuan yang dimiliki individu dan tergambar dalam skemata yang dibentuk mengenai
43
diri dan lingkungannya. Sementara itu, aspek kognitif dari orientasi masa depan tergambar dalam struktur antisipasi yang dimiliki oleh individu. Dalam mengantisipasi masa depan individu dapat menghasilkan gambaran yang lebih sederhana atau lebih kompleks, lebih luas atau lebih sempit, tepat, koheren atau realistik, serta besarnya kontrol yang dimiliki individu atas masa depannya (Desmita, 2008: 202). Dengan turut sertanya aspek kognitif, maka berarti perkembangan orientasi masa depan sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitif. Masa remaja merupakan masa berkembang pesatnya orientasi masa depan. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif Piaget, masa remaja telah mencapai tahap pemikiran operasional formal. Pemikiran operasional formal, telah memberi remaja kemampuan untuk mengantisipasi masa depannya, atau kemampuan membuat skema kognitif untuk merumuskan rencana bagi masa depannya. Dengan pemikiran operasional formal, membuat remaja mampu berfikir secara abstrak dan hipotesis, serta merumuskan proposisi secara logis, sehingga pada gilirannya remaja mampu membuat perencanaan dan melakukan evaluasi terhadap rencanarencana di masa depan (Desmita, 2008: 202-203).
2. Macam-macam Orientasi Masa Depan Menurut Nurmi (Desmita, 2008: 203), pada umumnya orientasi masa depan remaja berkisar pada tugas-tugas perkembangan yang dihadapi pada masa remaja dan dewasa awal, yang meliputi berbagai lapangan
44
kehidupan, terutama pendidikan, pekerjaan, dan perkawinan. Nurmi juga menjelaskan bahwa dari ketiga lapangan kehidupan tersebut, yang lebih banyak diperhatikan oleh remaja adalah wilayah pendidikan. Besarnya perhatian remaja terhadap bidang pendidikan ini tentu berkaitan erat dengan persiapan memasuki dunia kerja pada masa dewasa awal. Orientasi tentang jenis pekerjaan di masa depan merupakan faktor penting yang memengaruhi minat dan kebutuhan remaja untuk yang akan menjalani pendidikan. Selain itu Newman & Newman (Nurmi, 1991: 8) menjelaskan bahwa selama masa remaja akhir, umumnya tugas perkembangan remaja terpusat pada persiapan bekerja, menikah, dan menikmati gaya hidup. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada terdapat tiga ranah orientasi masa depan bagi remaja, yakni bidang pendidikan, pekerjaan, dan perkawinan.
3. Proses Pembentukan Orientasi Masa Depan Chaplin (Desmita, 2008: 199-203), menjelaskan bahwa sebagai suatu fenomena kognitif-motivational yang kompleks, orientasi masa depan berkaitan dengan skemata kognitif, yaitu suatu organisasi perseptual dari pengalaman masa lalu beserta kaitannnya dengan pengalaman masa kini dan di masa yang akan datang. Skemata kognitif memberikan suatu gambaran bagi individu (remaja) tentang hal-hal yang dapat diantisipasi di masa yang akan datang, baik tentang dirinya sendiri maupun tentang lingkungannya, atau bagaimana individu mampu menghadapi perubahan
45
konteks dari berbagai aktivitas di masa depan. Neisser menyebut skema kognitif sebagai mediator bagi masa lalu dalam memengaruhi masa depan. Skema
kognitif
berisikan
anticipated
life
span
development
(perkembangan sepanjang rentang hidup yang diantisipasi), contextual knowledge (pengetahuan kontekstual), skills (keterampilan), self-concept (konsep diri), dan atributional style (gaya atribusi). Dari skemata yang dihasilkan, individu berusaha mengantisipasi peristiwa-peristiwa di masa depan dan memberikan makna pribadi terhadap semua peristiwa tersebut, serta membentuk harapan-harapan baru yang hendak diwujudkan dalam kehidupan di masa yang akan datang. Selain itu, Nurmi (1991: 8) mengemukakan bahwa dalam membangun orientasi masa depan perlu mempertimbangkan tiga hal, yaitu: “(1) Konteks sosial dan institusional. Harapan dan pengetahuan dasar akan masa depan menjadi dasar pada pembentukan orientasi masa depan yang meliputi minat-minat dan rencana, dan hubungannya dengan causal attributiondan affects; (2) Minatminat, perencanaan-perencanaan, dan keyakinan pada masa depan dipelajari pada interaksi sosial dengan yang lain. Orang tua, seperti halnya teman sebaya berpengaruh pada bagaimana para remaja berfikir mengenai rencananya di masa depan; (3) Orientasi masa depan mungkin dipengaruhi oleh faktor psikologis yang lain seperti halnya perkembangan kognitif dan sosial.”
Menurut Nurmi (Desmita, 2008: 200), skema kognitif berinteraksi dengan tiga tahapan proses pembentukak orientasi masa depan, yaitu: motivation (motivasi), planning (perencanaan), dan evaluation (evaluasi).
46
Secara skematis, keterkaitan antara skema kognitif dengan ketiga tahap pembentukan orientasi masa depan itu adalah sebagai berikut.
Anticipated life span development S C H E M A T A
Motivational
Contextual Knowledge
Goals Planning
Skills
Plans
Self-concept Evaluation Atributional style
Attributions emotional
Gambar 1. Skema Interaksi antara Skemata Kognitif dengan Ketiga Tahap Perkembangan Orientasi Masa Depan
Tahap-tahap proses pembentukan orientasi masa depan dijelaskan sebagai berikut: a. Tahap Motivational Menurut Desmita (2008: 200) Tahap motivational merupakan tahap awal pembentukan orientasi masa depan remaja. Tahap ini mencakup motif, minat dan tujuan yang berkaitan dengan orientasi masa depan. Pada mulanya remaja menetapkan tujuan berdasarkan perbandingan antara motif umum dan penilaian, serta pengetahuan yang telah mereka miliki tentang perkembangan sepanjang rentang kehidupan yang dapat mereka antisipasi. Ketika keadaan masa depan beserta faktor pendukungnya telah menjadi sesuatu yang diharapkan dapat terwujud, maka pengetahuan yang menunjang terwujudnya 47
harapan tersebut menjadi dasar penting bagi perkembangan motivasi dalam orientasi masa depan. Menurut Nurmi (1989: 1), motivasi (motivation) merujuk pada minat-minat yang dimiliki oleh individu pada masa depannya. Selain itu unsur nilai (value) yang dimiliki oleh seseorang juga termasuk pada bagian motivation kemudian membentuk tujuan-tujuan pribadi (personal goals) yang ingin dicapai individu di masa mendatang. Dijelaskan
pula
oleh
Desmita
(2008:
201)
bahwa
perkembangan motivasi diri dari orientasi masa depan merupakan suatu proses yang kompleks, yang melibatkan beberapa subtahap yaitu: 1) Munculnya pengetahuan baru yang relevan dengan motif umum atau penilaian imdividu yang menimbulkan minat yang lebih spesifik, 2) Individu mulai mengeksplorasi pengetahuannya yang berkaitan dengan minat baru tersebut, 3) Menentukan tujuan spesifik, 4) Memutuskan kesiapannnya untuk membuat komitmen yang berisikan tujuan tersenut. b. Tahap Planning Perencanaan merupakan tahap kedua proses pembentukan orientasi masa depan individu, yaitu bagaimana remaja membuat perencanaan tentang perwujudan minat dan tujuan mereka. Menurut
48
Nuttin (Nurmi, 1991: 2), perencanaan (planning) merupakan proses bagaimana individu merancang realisasi dari tujuan pribadi mereka dalam konteks masa depan. Mesipun individu memiliki pengetahuan prosedural,
seperti
yang
diterangkan
pada
skemata,
namun
perencanaan dan strategi untuk mewujudkan rencana tersebut tetaplah dibutuhkan. Menurut Hacker (Nurmi, 1991: 6), terdapat tiga tahapan pada planning, yaitu: (1) Penetapan sub tujuan; (2) Penyusunan rencanarencana maupun strategi; dan (3) Perealisasian rencana yang telah disusun. Dijelaskan lebih lanjut oleh Nurmi (Desmita, 2008: 201) Perencanaan dicirikan sebagai suatu proses yang terdiri dari tiga subtahap, yaitu: 1) Penentuan sub tujuan Pada subtahab ini individu membentuk suatu representasi dari tujuan-tujuannya dan konteks masa depan dimana tujuan tersebut diharapkan dapat terwujud. Kedua hal ini didasari oleh pengetahuan individu tentang konteks dari aktivitas di masa depan, dan sekaligus menjadi dasar bagi kedua subtahap berikutnya. 2) Penyusunan rencana Pada subtahap ini individu membuat rencana dan menetapkan strategi untuk mencapai tujuan dalam konteks yang dipilih.
49
Dalam penyusunan suatu rencana, individu dituntut untuk menentukan
cara-cara
yang
dapat
mengarahkannya
pada
pencapaian tujuan dan menentukan cara mana yang paling efisien. Pengetahuan tentang konteks yang diharapkan dari suatu aktivitas di masa depan menjadi dasar dari perencanaan ini. Kemudian, berbagai cara bertindak yang ditetapkan harus dievaluasi, sehingga tujuan-tujuan dan rencana-rencana yang telah disusun dapat diwujudkan. 3) Melaksanakan rencana dan strategi yang telah disusun Dalam subtahap ini, individu dituntut untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan rencana tersebut. Pengawasan dapat dilakukan dengan membadingkan tujuan yang telah ditetapkan dengan konteks yang sesungguhnya di masa depan. Artinya, selama melaksanakan rencana, individu harus melakukan pengawasan secara sistematis, apakah tujuan yang telah ditetapkan
dapat
didekati
melalui
sistem
yang
sedang
dilaksanakan atau tidak. Jika tidak, maka harus diadakan perubahan terhadap rencana-rencana yang ada. Untuk menilai sebuah perencanaan yang dibuat oleh individu, dapat dilihat dari tiga variebel yang tercakup di dalamnya, yaitu knowledge, plans, dan realization.
50
c. Tahap Evaluating Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses pembentukan masa depan. Menurut Nurmi (1991: 7), Evaluasi (evaluation) adalah proses
dimana
seseorang
memikirkan
kembali
kemungkinan
tercapainya tujuan-tujuan pribadi yang telah dikembangkan. Evaluasi ini adalah suatu proses yang melibatkan pengamatan dan melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang ditampilkan, serta memberikan penguat bagi diri sendiri. Jadi, meskipun tujuan dan perencanaan orientasi masa depan belum diwujudkan, tetapi pada tahap ini individu telah harus melakukan evaluasi terhadap kemungkinan-kemungkinan terwujudnya tujuan dan rencana tersebut. Selain itu dijelaskan lebih lanjut oleh Desmita (2008: 202) bahwa dalam mewujudkan tujuan dan rencana dari orientasi masa depan ini, proses evaluasi melibatkan causal attribution yang didasari oleh evaluasi kognitif individu mengenai kesempatan yang dimiliki dalam mengendalikan masa depannnya, dan affects yang berkaitan dengan kondisi-kondisi yang muncul sewaktu-waktu dan tanpa disadari. Dalam proses evaluasi ini, konsep diri memainkan peranan yang penting, terutama dalam mengevaluasi kesempatan yang ada untuk mewujudkan tujuan dan rencana sesuai dngan kemampuan yang dimiliki individu. Dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan orientasi masa depan remaja terdiri dari tiga tahap, yakni motivasi, perencanaan dan evaluasi yang pada semua tahap tersebut banyak
51
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang memiliki peran penting dalam perkembangan remaja, baik itu faktor dari individu itu sendiri maupun faktor dari lingkungan sekitar remaja.
4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Orientasi Masa Depan Remaja Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pembentukan orientasi masa depan pada remaja. Untuk mempermudah dalam memahaminya, maka penulis mengkategorikan faktor-faktor tersebut menjadi dua macam, yaitu faktor individu remaja itu sendiri dan faktor lingkungan. a. Faktor Individu Desmita (2008, 199 – 203) menjelaskan bahwa sebagai suatu fenomena kognitif motivational yang kompleks, orientasi masa depan berkaitan dengan skemata kognitif, yaitu suatu organisasi perseptual dari pengalaman masa lalu beserta kaitannnya dengan pengalaman masa kini dan di masa yang akan datang. Skemata kognitif memberikan suatu gambaran bagi individu (remaja) tentang hal-hal yang dapat diantisipasi di masa yang akan datang, baik tentang dirinya sendiri maupun tentang lingkungannya, atau bagaimana individu mampu menghadapi perubahan konteks dari berbagai aktivitas di masa depan. Neisser menyebut skema kognitif sebagai mediator bagi masa lalu dalam memengaruhi masa depan. Skema kognitif berisikan perkembangan
sepanjang
rentang
52
hidup
yang
diantisipasi,
pengetahuan kontekstual, keterampilan, konsep diri, dan gaya atribusi. Dari skemata yang dihasilkan, individu berusaha mengantisipasi peristiwa-peristiwa di masa depan dan memberikan makna pribadi terhadap semua peristiwa tersebut, serta membentuk harapan-harapan baru yang hendak diwujudkan dalam kehidupan di masa yang akan datang. Dari penjelasan tersebut dan dari skema yang telah digambarkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa faktor individu yang memengaruhi pembentukan orientasi masa depan, yakni perkembangan sepanjang rentang hidup yang diantisipasi, pengetahuan kontekstual, keterampilan, konsep diri, dan gaya atribusi. b. Faktor Lingkungan Selain itu, Desmita (2008: 204) menjelaskan pula bahwa penelitian Trommsdoff pada tahun 1983 telah menunjukan betapa dukungan dan interaksi sosial yang terbina dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat penting bagi pembentukan orientasi remaja, terutama dalam menumbuhkan sikap optimis dalam memandang masa depannya. Remaja yang mendapat kasih sayang dan dukungan dari orang tuanya, akan mengembangkan rasa percaya dan sikap yang positif terhadap masa depan, percaya akan keberhasilan yang dicapainya, serta lebih termotivasi untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan di masa depan. Sebaliknya, remaja yang kurang
53
mendapat dukungan dari orang tua, akan tumbuh menjadi individu yang kurang optimis, kurang memiliki harapan tentang masa depan, kurang percaya atas kemampuannya merencanakan masa depan, dan pemikirannyapun menjadi kurang sistematis dan kurang terarah. Gottlieb (Desmita, 2008: 204), berpendapat bahwa dukungan orang tua terhadap pembentukan orientasi masa depan remaja dapat dilakukan dengan pemberian informasi atau nasehat verbal dan nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang mempunyai manfaat emosional bagi remaja. Sementara itu sesuai dengan pendapat Winnubs, dkk (Desmita, 2008: 204), dukungan dapat diwujudkan dalam empat bentuk, yaitu: pertama dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian orang tua terhadap remaja; kedua, dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan penghargaan positif terhadap remaja, dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan, dan membangkitkan harga diri remaja; ketiga, dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung secara materi atau pemberian fasilitas dan pelayanan pada remaja, (seperti: pemberian dana, pemenuhan buku-buku sarana pendidikan lainnya, serta kesediaan orang tua meluangkan waktu untuk berdialog atau senantiasa siap memberikan pertolongan ketika dibutuhkan oleh remaja); dan keempat, dukungan informatif, mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran atau umpan balik mengenai bagaimana remaja seharusnya bertindak,
54
mengenali dan menyelesaikan masalah secara lebih mudah, sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa selain foktor individu terdapat faktor lingkungan yang memengaruhi pembentukan orientasi masa depan. Kedua faktor ini akan sangat berpengaruh pada pembentukan orientasi masa depan remaja. Menurut penjelasan dari referensi buku Psikologi Perkembangan yang ditulis oleh Desmita tersebut dapat diidentifikasi ada beberapa faktor lingkungan khususnya keluarga dalam memengaruhi perkembangan orientasi masa depan, yaitu berupa dukungan baik itu dukungan informasi, dukungan emosional, dukungan penghargaan, maupun dukungan instrumental, dan interaksi sosial yang terbina dalam keluarga.
5. Remaja a. Definisi Remaja Menurut Mohammad Ali (2008: 9), masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 21 tahun bagi pria. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan jenjang usia remaja bagi perempuan dan laki-laki. Pendapat lain tentang pembagian rentang pada usia remaja dikatakan oleh Hurlock (1997: 200) adalah antara usia 13 sampai 21 tahun dengan pembagian remaja awal usia 13/14 tahun – 17 tahun dan remaja akhir usia 17 tahun sampai 21 tahun. Artinya dalam pembagian rentang usia
55
remaja Hurlock membagi kedalam usia remaja awal yang berkisar antara umur 13/14 – 17 tahun dan remaja akhir usia 17-21 tahun. Hal serupa dikatakan oleh Thornburg dalam Agoes Dariyo (2004: 14), bahwa penggolongan remaja terbagi menjadi tiga tahap yaitu: remaja awal (13-14 tahun), remaja tengah (15-17 tahun), remaja akhir (18-21 tahun). Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence berasal dari bahasa Latin adolescer yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Menurut Hurlock (1991: 254) istilah adolescence mengandung arti yang sangat luas yaitu mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia individu menjadi terintegerasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar. Tahap remaja adalah tahap peralihan dari tahap kanak-kanak menuju dewasa, peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang serta memberi pengaruh yang cukup besar terhadap berbagai aspek kehidupan pada masa yang akan datang (Hurlock,
56
1994: 258). Hal ini menunjukkan bahwa usia remaja merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditunjukkan oleh terjadinya perubahan-perubahan baik perubahan pada aspek psikologis, aspek fisik ataupun aspek kognitif.
b. Perkembangan Remaja Menurut Desmita (2008: 190-232) pada masa remaja ini seseorang memgalami banyak perkembangan yakni: a. Perkembangan Fisik Perubahan-perubahan fisik merupakan gejala primer dalam pertumbuhan masa remaja, yang berdampak pada perubahanperubahan psikologis. Dimensi perubahan fisik yang terjadi selama masa remaja diantaranya adalah: perubahan dalam tinggi dan berat badan, yakni tinggi dan berat badan mereka rata-rata akan meningkat dibandingkan ketika masih masa anak-anak; perubahan dalam proporsi tubuh; perubahan pubertas, yakni dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi dengan pesat pada awal masa remaja; dan perubahan ciri-ciri seks sekunder. b. Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif berupa perkembangan pengambilan keputusan dimana terjadi peningkatan pengambilan keputusan baik tentang masa depan maupun dalam pergaulan; perkembangan orientasi masa depan, yakni mulai memberikan perhatian yang
57
besar terhadap lapangan kehidupan yang akan di jalaninya sebagai manusia dewasa di masa mendatang; perkembangan kognisi sosial yang berupa kemampuan untuk berfikir kritis mengenai isu-isu dalam hubungan interpersonal, yang berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk memahami orang lain dan menentukan bagaimana melakukan interaksi dengan mereka. Remaja juga mengalami perkembangan penalaran moral yakni sebagai pedoman menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflikkonflik peran yang selalu terjadi pada masa transisi. Perkembangan kognitif yang lain adalah perkembangan pemahaman tentang agama. c. Perkembangan psikososial Beberapa aspek perkembangan psikososial yang penting selama masa remaja adalah: perkembangan individuasi dan identitas,
perkembangan
hubungan
dengan
orang
tua,
perkembangan hubungan dengan teman sebaya, perkembangan seksualitas,
perkembangan
proaktivitas,
dan
perkembangan
resiliensi. Dari beberapa karakteristik dan perubahan yang dialami oleh remaja dimaksudkan agar remaja mempersiapkan diri dalam memasuki alam kehidupan masa dewasa. Agar perkembangan seseorang itu sesuai dengan tuntutan baik dari diri maupun lingkungan
58
masyarakat maka oleh Huvighurst dalam Mohammad Ali (2008: 165) merumuskan beberapa tugas perkembangan yang harus dipelajari, dijalani dan dikuasai oleh setiap remaja dalam kehidupannya antara lain : 1) Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita 2) Mencapai peran social pria dan wanita 3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif 4) Mencari kemandirian emosional dari orang tua dan orangorang dewasa lainnya 5) Mencapai jaminan kebebasan ekonomis 6) Memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan 7) Persiapan untuk memasuki kehidupan berkeluarga 8) Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep yang penting untuk kompetensi kewarganegaraan 9) Mencapai dan mengharapkan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab.
c. Anak Jalanan Sebagai Remaja Telah dijelaskan di awal, bahwa pengertian dari anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya (Departemen Sosial RI, 2005: 5). Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi. Dari pengertian tersebut dapat diidentifikasi bahwa yang disebut anak jalanan, dari ciri-ciri rentang usia adalah anak yang berusia antara 5 sampai 18 tahun. Dari rentang
59
usia ini, penulis membagi kategori anak jalanan menurut usianya menjadi 2, yakni anak jalanan yang berusia anak-anak (yakni yang berusia 5 sampai 11 tahun) dan anak jalanan yang berusia remaja (yakni yang berusia 12 sampai dengan 18 tahun). Sehingga anak jalanan yang berusia 12 sampai dengan 18 tahun dapat dikategorikan sebagai remaja dengan karakteristik-karakteristiknya dan tugas perkembangan pada masa remaja pula. Anak jalanan kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar, mereka lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan untuk bekerja maupun menggelandang. Hal ini menyebabkan anak jalanan tidak mendapatkan hak mereka sebagai seorang anak. Kenyataan ini akan sangat memengaruhi perkembangan anak jalanan termasuk dalam pencapaian tugas perkembangan yang akan berpengaruh pada masa depan anak jalanan pula.
C. Penelitian Terdahulu Sebelumnya telah ada beberapa penelitian tentang anak jalanan. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Hilman Ginanjar pada tahun 2010 dengan judul Anak Jalanan Menurut Perspektif Hukum (Studi Kasus Anak Jalanan di Pertigaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Dalam penelitian ini ditemukan sebuah kesamaan esensi dan tujuan hukum yuridis dan normatif dalam menyikapi persoalan perlindungan terhadap anak. Dalam hukum Islam dipahami bahwa peran yang dilakukan instansi Dinas
60
Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta selama ini selaras dengan ajaran dalam Islam. Hal ini dikaitkan dengan tujuan Islam yang menggunakan teori-teori ilmuwan sebagai bahan analisis. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Sri Tjahjorini Sugiharto pada tahun 2010 dengan judul Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Anak Jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa latar belakang keluarga merupakan faktor penentu utama terhadap perilaku anak jalanan. Selain itu perilaku anak jalanan dipengaruhi secara nyata oleh latar belakang lingkungan tidak melalui ciri fisik, melainkan melalui ciri psikologik dan ciri sosiologik. Perilaku anak jalanan meskipun kurang tampak dipengaruhi secara langsung oleh ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik, dibanding oleh latar belakang keluarga dan latar belakang lingkungan,
namun
ciri-ciri
tersebut
tetap
berperan
penting dalam
pembentukan perilaku anak jalanan. Penelitian lain tentang anak jalanan adalah penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Semarang pada tahun 2008 dengan judul Study Karakteristik Anak Jalanan dalam Upaya Penyusunan Program Penanggulangannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan tidak bersekolah, menjadi pengamen, berusia rata-rata 13 tahun, memiliki orang tua berpendidikan rendah dengan penghasilan kurang. Faktor pendorong utama menjadi anak jalanan adalah kemiskinan. Secara umum anak jalanan menginginkan pelayanan dari lembaga sosial dan mereka tidak ingin kembali ke jalan. Upaya untuk
61
meningkatkan kesejahteraan keluarga anak jalanan dilakukan melalui model kebijakan antisipatif. Sebagai langkah pengendalian agar anak tidak kembali lagi ke jalan dapat ditempuh model kebijakan rehabilitatif. Upaya lain yang dibutuhkan adalah peningkatan jumlah lembaga dan peningkatan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak jalanan serta kampanye sosial. Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Tuti Hayati pada tahun 2009 dengan judul Aliensi Diri pada Anak Jalanan di Rumah Singgah Ahmad Dahlan Yogyakarta. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa anak jalanan subjek penelitian memiliki aliensi diri yang cukup tinggi dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam kehidupan mereka seperti faktor kehidupan sosial maupun faktor kehidupan pribadi. Beberapa penelitian tersebut menjadi referensi bagi penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai anak jalanan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian ini baik dari segi karakteristik anak jalanan maupun metode dalam pelaksanaan penelitian. Hal ini sangat membantu penulis dalam persiapan maupun pelaksanaan penelitian. Penelitian-penelitian tersebut memberikan beberapa gambaran mengenai karakteristik anak jalanan, aktivitas anak jalanan, program pemberdayaan anak jalanan yang sesuai, maupun tentang kajian hukum bagi anak jalanan. Dari hasil kajian terhadap beberapa penelitian tersebut penulis dapat mengambil pertimbangan mengenai metode pendekatan dan pelaksanaan penelitian.
62
D. Kerangka Berfikir Anak jalanan usia remaja adalah remaja-remaja yang banyak menghabiskan sebagian besar waktu mereka di jalanan atau di tempat-tempat umum untuk bekerja atau melakukan aktivitas-aktivitas sehari-hari dengan ciri-ciri melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi. Keseharian anak-anak jalanan usia remaja yang banyak menghabiskan waktu mereka di jalanan dengan keterbatasan fasilitas dan perhatian dari lingkungan sekitar ini sangat memengaruhi perkembangan dan pandangan hidup mereka, termasuk dalam proses pembentukan orientasi masa depan. Anak jalanan usia remaja ini layaknya remaja-remaja lain yang mengalami banyak perkembangan dan perubahan pada usia remaja. Baik itu perubahan fisik, kognitif, psikososial, mapun moral. Dalam hal perkembangan kognitif, pada usia remaja mulai muncul orientasi masa depan. Orientasi masa depan merupakan salah satu dari beberapa tugas perkembangan pada usia remaja. Orientasi masa depan merupakan fenomena kognitif motivasional yang luas dan berhubungan dengan cara seseorang berfikir maupun bertingkah laku menuju masa depan yang terdiri dari antisipasi dan evaluasi tentang diri di masa depan dalam interaksinya dengan lingkungan dimana berkaitan erat dengan harapan, tujuan, standar, rencana, dan strategi pencapaian tujuan di masa depan yang melalui tahap motivations, planning, dan evaluations. Pembentukan orientasi masa depan ini merupakan salah satu tugas
63
perkembangan pada masa remaja. Keberhasilan pencapaian suatu tugas perkembangan pada seorang individu akan sangat memengaruhi keberhasilan pencapaian tugas perkembangan berikutnya. Dalam
proses
perkembangan
remaja,
beberapa
faktor
yang
memengaruhi pembentukan orientasi masa depan pada remaja, yaitu dibagi menjadi dua bagian, faktor individu remaja itu sendiri dan faktor lingkungan. Yang termasuk dalam faktor individu diantaranya adalah perkembangan sepanjang rentang hidup yang diantisipasi, pengetahuan kontekstual, keterampilan, konsep diri, dan gaya atribusi. Sedangkan yang termasuk dalam faktor lingkungan adalah berupa dukungan baik itu dukungan informasi, dukungan emosional, dukungan penghargaan, maupun dukungan instrumental, dan interaksi sosial yang terbina dalam keluarga. Femonema yang dapat dilihat di masyarakat bahwa anak jalanan dengan kondisi lingkungan yang keras di jalanan menyebabkan mereka kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar baik orang tua, keluarga, maupun orang-orang terdekat mereka. Mereka kurang mendapatkan dukungan baik informasi maupun moral. Hal ini akan sangat memengaruhi perkembangan anak jalanan termasuk dalam hal perkembangan masa depan anak jalanan. Karenanya penulis bermaksud mengidentifikasi perkembangan orientasi masa depan anak jalanan di tengah kondisi lingkungan anak jalanan yang kurang memberikan dukungan kepada mereka.
64
E. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan kajian teori yang telah dipaparkan serta kenyataan di lapangan bahwa banyak fenomena-fenomena anak jalanan yang berusia remaja yang sangat memengaruhi perkembangan anak jalanan baik secara psikologis maupun kognitif, maka muncul pertanyaan penelitian: 1. Apa orientasi anak jalanan dalam bidang pendidikan dan mengapa memiliki orientasi tersebut? 2. Jenis pekerjaan apa yang diinginkan oleh anak jalanan? 3. Apa latar belakang anak jalanan memiliki orientasi pekerjaan tersebut? 4. Apa tujuan anak jalanan memiliki orientasi pekerjaan tersebut? 5. Bagaimana rencana tentang pernikahan yang dimiliki oleh anak jalanan? 6. Bagaimana kriteria calon pasangan yang diinginkan oleh anak jalanan? 7. Bagaimana kriteria keluarga yang diinginkan oleh anak jalanan? 8. Apa bidang yang diminati atau hobi berkaitan dengan orientasi masa depan anak jalanan? 9. Apa motif dan tujuan memiliki orientasi tersebut? 10. Bagaimana rencana yang dibuat anak jalanan untuk mewujudkan orientasi yang dimiliki? 11. Bagaimana ketercapaian rencana yang telah dijalani oleh anak jalanan? 12. Aktivitas-aktivitas apa yang digeluti dalam menunjang ketercapaian orientasi masa depan? 13. Bagaimana pandangan tentang kemungkinan pencapaian orientasi masa depan?
65
14. Pengalaman apa yang melatarbelakangi memiliki orientasi tersebut? 15. Keterampilan apa yang dimiliki anak jalanan berkaitan dengan orientasi masa depan mereka? 16. Bagaimana konsep diri anak jalanan? 17. Bagaimana sikap anak jalanan dalam menghadapi kegagalan? 18. Bagaimana dukungan dari lingkungan sekitar (emosional maupun instrumental)? 19. Bagaimana interaksi sosial dengan lingkungan (keluarga, teman, pengelola rumah singgah, masyarakat)? 20. Bagaimana dukungan informasi yang didapatkan oleh anak jalanan?
66