BAB II KAJIAN TEORI
2. 1 Pembelajaran Matematika dalam Pandangan Konstruktivisme Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan
kesempatan
kepada
siswa
untuk
mengkonstruksi
konsep-
konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Menurut pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada: (1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi, (2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa, (3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan (4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis. Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Bleicher & Cooper, 1998 dalam Rosnawati, 2009). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin dalam Rosnawati, 2009). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah
7
pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Selain diperolehnya pengetahuan matematika, tujuan pembelajaran matematika adalah melatih kemampuan siswa untuk berpikir. Karena siswa akan menjalani suatu proses yang akan membangun pengetahuannya dengan bantuan fasilitas dari guru serta meningkatkan kemampuan berpikir sebagai hasil belajar, mereka harus berperan aktif dalam kegiatan belajar, atau dengan kata lain keterlibatannya dalam proses belajar haruslah nampak sehingga dapat mencapai keberhasilan dalam belajar, dengan tujuan utama adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi.
2. 2 Model Pembelajaran Metakognitif Model pembelajaran metakognitif memberi kesempatan pada siswa untuk melaksanakan kegiatan metakognitif, yaitu merencanakan, mengontrol dan merefleksi kegiatan kognitif yang terjadi selama proses penyelesaian suatu masalah matematika yang diberikan. Siswa akan memiliki kebermaknaan yang mendalam terhadap apa yang dipelajari jika pada setiap pelaksanaan proses kognitif disertai dengan kegiatan merencanakan, mengontrol dan merefleksi seluruh proses kognitif yang terjadi. Model pembelajaran metakognitif memiliki unsur-unsur sebagai berikut. 2.3.1 Landasan Teori Metakognisi merupakan istilah yang diperkenalkan Flavell tahun 1976. John Flavell (dalam Sudiarta, 2006) menyatakan bahwa metakognitif berarti “berpikir tentang berpikir”. Metakognisi adalah second-order cognition yang secara harfiah berarti “berpikir tentang berpikir”. Livingston (1997) menyatakan bahwa: “Metacognition refers to higher order thinking which involves active control over the cognitive processes engaged in learning. Activities such as planning how to approach a given learning task, monitoring comprehension, and evaluating progress toward the completion of a task are metacognitive in nature”. O’Neil & Brown (Veenman, 2006) menyatakan bahwa metakognitif sebagai proses dimana seseorang berpikir tentang berpikir dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sedang Anderson & Kathwohl 8
(2001) menyatakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognitif, secara umum sama dengan kesadaran dan pengetahuan tentang kognitifdiri seseorang. Karena itu dapat dikatakan bahwa metakognitif merupakan kesadaran tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Menurut Digests (1990) metacognition is thinking about thinking, knowing "what we know" and "what we don't know”. Ridley (dalam Livingston, 1997) menyatakan bahwa kegiatan metakognitif dapat meliputi kegiatan berpikir untuk merencanakan, mengontrol dan merefleksi bagaimana memikirkan dan menyelesaikan suatu masalah. Siswa yang memiliki kemampuan metakognitif mampu menggunakan strategi metakognitif dalam menyelesaikan suatu masalah. Strategi metakognitif merupakan kegiatan merencanakan, memantau, dan merefleksi secara sadar tentang proses kognitifnya sendiri (Livingston, 1997). NCREL (1995) mengidentifikasi proses metakognitif menjadi tiga kelompok yaitu sebagai berikut. 1.
2.
3.
Mengembangkan rencana tindakan dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan berikut. a. Pengetahuan awal apakah yang akan menolong saya mengerjakan tugas-tugas? b. Dengan cara apakah saya mengarahkan pikiran saya? c. Pertama kali saya harus melakukan apa? d. Mengapa saya membaca bagian ini? e. Berapa lama saya menyelesaikan tugas ini? Memantau rencana tindakan, meliputi pertanyaan-pertanyaan berikut. a. Bagaimana saya melakukan tindakan? b. Apakah saya berada pada jalur yang benar? c. Bagaimana seharusnya saya melakukan? d. Informasi apakah yang penting untuk diingat? e. Haruskah saya melakukan dengan cara berbeda? f. Haruskah saya menyesuaikan langkah-langkah tindakan dengan tingkat kesukaran? g. Jika tidak memahami, apakah yang perlu dilakukan? Mengevaluasi/merefleksi rencana tindakan, meliputi pertanyaanpertanyaan berikut. a. Seberapa baik saya telah melakukan tindakan? b. Apakah cara berpikir saya menghasilkan lebih banyak atau kurang sesuai dengan harapan saya? c. Apakah saya telah melakukan secara berbeda? d. Bagaimana saya menerapkan cara berpikir ini terhadap masalah yang lain? e. Apakah saya perlu kembali mengerjakan tugas ini untuk mengisi kekosongan pemahaman saya? 9
Menurut Sudiarta (2008), perencanaan diri mempunyai indikator-indikator tentang tujuan belajar yang akan dicapai, waktu yang akan digunakan untuk menyelesaikan tugas belajar, pengetahuan awal yang relevan, dan strategi-strategi kognitif yang akan digunakan. Pemantauan diri mempunyai indikator-indikator tentang pemantauan ketercapaian tujuan belajar, pemantauan waktu yang digunakan, pemantauan relevansi materi pengetahuan awal dengan materi pengetahuan baru, dan pemantauan strategi-strategi kognitif yang sedang digunakan. Evaluasi diri mempunyai indikator-indikator tentang evaluasi ketercapaian tujuan belajar, evaluasi waktu yang digunakan, evaluasi relevansi pengetahuan awal dengan materi pelajaran baru, dan evaluasi strategi-strategi kognitif yang telah digunakan. Kegiatan-kegiatan metakognitif berpotensi untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi berpikir tingkat tinggi. Ini disebabkan karena setiap kegiatan metakognitif selalu disertai dengan kegiatan berpikir tingkat tinggi yaitu berpikir untuk merencanakan, memonitoring dan merefleksi seluruh aktivitas kognitif yang terjadi sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tingkat tinggi dalam pemecahan masalah, karena setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan: “apa yang saya kerjakan?”, “mengapa saya mengerjakan ini?’, “hal apa yang bisa membantu saya mengerjakan hal ini?”. Siswa selalu berpikir ulang terhadap apa yang telah dilakukannya dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, kegiatan metakognitif dapat merangsang intelegensi, sehingga memegang peranan penting terhadap kesuksesan siswa dalam belajar.. Melalui kegiatan ini, belajar dan berpikir yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan masalah matematika menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu kegiatan metakognitif menyebabkan siswa untuk berpikir bagaimana dan kapan menyelesaikan suatu masalah, meyakinkan bahwa kegiatan yang telah dilakukan dalam menyelesaikan masalah telah benar. Kegiatan metakognitif memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencapai pemahaman yang mendalam terhadap konsep-konsep
yang dipelajari
karena
meliputi kegiatan merencanakan,
memonitoring, dan merefleksi bagaimana menyelesaikan suatu masalah. Hal ini
10
menyebabkan siswa memiliki kebermaknaan yang dalam terhadap apa yang dipelajari. Kedudukan guru dalam meningkatkan kemampuan metakognitif siswa sangatlah penting. Guru dapat bertindak sebagai fasilitator yang memberikan arahan dan bimbingan melalui pertanyaan-pertanyaan yang mengiring, sehingga siswa menyadari akan kemampuan kognitif yang dimilikinya. Proses ini dapat dikembangkan melalui pembelajaran metakognitif.
2.3.2 Sintak Model Pembelajaran Model pembelajaran metakognitif menerapkan dua fase dalam kegiatan inti pembelajaran, yang meliputi fase pengembangan kemampuan kognitif dan dilanjutkan dengan fase pengembangan kemampuan metakognitif. Sintak dari model pembelajaran metakognitif dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.1 Sintak Model Pembelajaran Metakognitif Fase Pembukaan Pengembangan Kemampuan Kognitif Pengembangan Kemampuan Metakognitif
Penutup
Kegiatan Pembelajaran Guru menggali pengetahuan awal siswa yang terkait dengan materi yang akan didiskusikan. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk meyelesaikan masalah tipe kognitif. Sebelum dilaksanakan pengembangan kemampuan tipe metakognitif, terlebih dahulu siswa diberikan masalah matematika tipe metakognitif, kemudian dilanjutkan dengan fase berikut. (1) Perencanaan Guru membimbing siswa dalam merencanakan dan melaksanakan kembali prosedur penyelesaian, strategi kognitif yang digunakan, dan pengetahuan awal yang relevan dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. (2) Pemantauan Guru membimbing siswa dalam memantau prosedur penyelesaian, pengetahuan awal yang relevan dan strategi kognitif yang digunakan. (3) Refleksi Guru membimbing siswa merefleksi kembali proses pemahaman konsep yang telah dilakukan dalam kegiatan menyelesaikan masalah matematika tipe metakognitif. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil yang telah diperoleh siswa dengan pernyataan yang diberikan sehingga dalam hal ini akan terjadi proses kontrol dan refleksi terhadap kegiatan kognitif yang telah dilakukan. Guru membimbing siswa membuat simpulan dari pembelajaran yang telah dilakukan.
(diadaptasi dari Sudiarta, 2008)
11
2.3.3 Prinsip Interaksi Dalam model pembelajaran metakognitif, guru memposisikan diri sebagai fasilitator yakni menyediakan sumber belajar, mendorong siswa untuk belajar menyelesaikan masalah metakognitif, memberi ganjaran, dan memberi bantuan pada siswa agar dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuan secara optimal. 2.3.4 Sistem Sosial Sistem sosial yang dianut dalam model metakognitif adalah low structure artinya pembelajaran berpusat pada siswa, dalam hal ini guru hanya berperan sebagai fasilitator dan moderator. Siswa lebih banyak diberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas kognitif kemudian dilanjutkan dengan aktivitas metakognitif. Siswa diarahkan untuk menanggapi dan ikut memikirkan hasil pekerjaan kelompok lain. Peran guru hanya membimbing dan mengarahkan jalannya diskusi dalam kelas. Penekanan pada model ini adalah strategi kognitif, mengontrol, dan mengevaluasi. 2.3.5 Sistem Pendukung Sistem pendukung yang diperlukan sehingga model ini tetap dapat terlaksana antara lain: keterampilan guru dalam pelaksanaan model, disiplin siswa dalam beraktivitas, dan perangkat pembelajaran seperti rencana pembelajaran, lembar kerja siswa, dan buku pegangan siswa. 2.3.6 Dampak Pembelajaran dan Pengiring (1) Dampak Pembelajaran Dampak pembelajaran yang diperoleh adalah siswa memiliki kemampuan dalam mengkonstruksi pengetahuan, kemampuan pemecahan masalah, dan penguasaan materi pelajaran. (2) Dampak Pengiring Dampak pengiring yang diperoleh adalah nilai-nilai positif dalam membangkitkan kesadaran akan pengetahuan relevan dan sikap kritis siswa dalam belajar. Hal ini dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika.
12
2. 3 Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Berpikir matematis dapat diartikan sebagai melaksanakan kegiatan atau proses matematika (doing math) atau tugas matematika (mathematics task). Apabila ditinjau dari tingkatan kegiatan matematik yang terlibat, maka berpikir matematik dapat digolongkan menjadi dua yaitu berpikir matematik tingkat rendah (low order mathematical tinking) dan berpikir matematik tingkat tinggi (high order mathematical tinking). Mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi di kalangan siswa merupakan hal yang sangat penting dalam era persaingan global ini, karena tingkat kompleksitas permasalahan dalam segala aspek kehidupan modern ini semakin tinggi. Secara umum, kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi (high order competencies) ini dapat dipandang sebagai kelanjutan dari kemampuan berpikir dasar yang biasa disebut dengan basic skills dalam pembelajaran matematika. Basic skills dalam pembelajaran matematika biasanya dibangun melalui aktivitas yang bersifat konvergen dan cenderung terbatas pada strategi kognitif. Aktivitas ini umumnya cenderung berupa latihan-latihan matematika yang bersifat algoritmik, mekanistik, dan rutin. Namun kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi, seperti berpikir analisis, sintesis dan evaluasi yang kritis, kreatif dan bersifat divergen dan menuntut strategi metakognitif yaitu strategi yang melibatkan proses refleksi dan kontrol terhadap proses kognitif yang digunakan untuk mencapai tujuan (Sudiarta, 2008). Secara khusus, Tran Vui (2001:5) mendefinisikan kemampuan berpikir tingkat tinggi sebagai berikut: “Higher order thinking occurs when a person takes new information and information stored in memory and interrelates and/or rearranges and extends this information to achieve a purpose or find possible answers in perplexing situations” (dalam Rosnawati, 2009: 3). Dengan demikian, kemampuan berpikir tingkat tinggi akan terjadi ketika seseorang mengaitkan informasi baru dengan informasi yang sudah tersimpan di dalam ingatannya dan menghubung-hubungkannya dan/atau menata ulang serta mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan ataupun menemukan suatu penyelesaian dari suatu keadaan yang sulit dipecahkan. Kemampan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan yang dapat dilatihkan.
13
Taksonomi Bloom dianggap merupakan dasar bagi berpikir tingkat tinggi, pemikiran ini didasarkan bahwa beberapa jenis pembelajaran memerlukan proses kognisi yang lebih dari pada yang lain, tetapi memiliki manfaat-manfaat lebih umum. Dalam Taksonomi Bloom revisi kemampuan melibatkan analisis (C4), mengevaluasi (C5) dan mencipta (C6) dianggap berpikir tingkat tinggi. (Krathworl & Andrerson, 2001). Menurut Krathworl (2002) dalam A revion of Bloom’s Taxonomy: an overview – theory Into Practice menyatakan bahwa indikator untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah sebagai berikut.
Tabel 2.2 Indikator Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi berdasarkan Taksonomi Bloom Level Menganalisis
Mengevaluasi
Mencipta
Indikator a. Menganalisis informasi yang masuk dan membagibagi atau menstrukturkan informasi kedalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya. b. Mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit. c. Mengidentifikasi/merumuskan pertanyaan. a. Memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. b. Membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian. c. Menerima atau menolak suatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. a. Membuat generalisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu. b. Merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah. c. Mengorganisasikan unsur-unsur atau bagianbagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Terkait dengan Taksonomi Bloom yang direvisi ini, segala macam pembelajaran matematika
inovatif
yang akan dikembangkan hendaknya
mendukung tercapainya level-level atas, yaitu analysing, evaluating dan creating. Kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan sesuatu ini sangat dibutuhkan dalam bertahan hidup atau mewarnai kehidupan di abad ke-21.
14
Beberapa perspektif mengenai pentingnya kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi didasarkan oleh adanya kenyataan bahwa: 1. pembelajaran matematika cenderung hanya berhenti pada aktivitas mengingat fakta-fakta matematika, terlalu fokus pada latihan-latihan algoritma standar dan keterampilan matematika dasar (Sudiarta, 2004); 2. pembelajaran matematika cenderung didominasi tugas-tugas yang welldefined, closed-ended, latihan-latihan rutin yang monoton, dan tes yang mirip dengan contoh-contoh yang diajarkan (Sudiarta, 2004); 3. sebagai akibatnya siswa belajar matematika secara dangkal, tanpa mampu menggunakan
pengetahuan
mereka
untuk
memecahkan
masalah
matematika yang lebih kompleks. Tentu saja pembelajaran matematika seperti itu berlawanan dengan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi. Namun ada dua hal yang perlu diingatkan secara kritis dalam hal ini, yaitu: 1.
pembelajaran yang menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir
matematis
tingkat
tinggi
tidak
dimaksudkan
untuk
mengabaikan latihan-latihan rutin maupun pengingatan fakta-fakta matematika. Tentu saja hal ini masih diperlukan tetapi diharapkan pembelajaran matematika tidak boleh berhenti hanya sampai pada tahapan ini; 2.
adalah baik untuk senantiasa meningkatkan kualitas pembelajaran matematika secara berkelanjutan misalnya dengan menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi ini.
2. 4 Hasil-hasil Penelitian yang Relevan Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian tindakan kelas yang akan dilakukan adalah sebagai berikut. 1.
Penelitian yang dilakukan Asrini (2010) dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Metakognitif Berbantuan Matematika Veda Terhadap Motivasi dan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Sukasada”, menunjukkan bahwa motivasi dan prestasi belajar matematika siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran 15
metakognitif berbantuan latihan teknik matematika veda lebih baik daripada
siswa
yang
dibelajarkan
dengan
model pembelajaran
metakognitif, dan juga lebih baik daripada siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Selajutnya dipaparkan bahwa pemberian teknik matematika veda dalam penyelesaian permasalahan matematika selama pembelajaran membantu siswa untuk menyelesaikan perhitungan dengan lebih cepat dan tepat. 2.
Penelitian Ragandana
(2010)
yang berjudul “Penerapan Model
Pebelajaran Metakognitif Berbantuan Teknik Matematika Veda untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Divergen dan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VA SDN 6 Sesetan” menyatakan bahwa penerapan
model
pembelajaran
metakognitif
berbantuan
teknik
matematika veda dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan keterampilan berpikir divergen siswa kelas VA SDN 6 Sesetan tahun pelajaran 2010/2011. 3.
Suryanatha (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Model Pebelajaran Metakognitif Berbantuan Teknik Matematika Veda untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VB SD Negeri 3 Banjar Jawa” menunjukan bahwa, kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan model pembelajaran metakognitif berbantuan teknik matematika veda dapat: (1) membiasakan siswa dalam melakukan proses metakognitif, meliputi perencanaan, pemantauan, dan refleksi terhadap proses pemecahan masalah matematika; (2) menimbulkan keaktifan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran; (3) melatih siswa berfikir kritis dan kreatif; (4) melatih siswa dalam melakukan proses perhitungan sehingga meningkatkan keterampilan berhitung siswa; dan (5)
menumbuhkan
ketertarikan
dan
motivasi
siswa
terhadap
pembelajaran matematika. Selanjutnya dipaparkan pula pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran metakognitif berbantuan teknik matematika veda berhasil meningkatkan aktivitas belajar siswa, dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa baik ranah kognitif maupun ranah afektif.
16
Berdasarkan hasil penelitian yang relevan di atas maka dapat diprediksi bahwa Model Pembelajaran Metakognitif dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa.
2. 5 Kerangka Berpikir Model pembelajaran metakognitif akan menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi. Hal tersebut dikarenakan dalam proses pembelajaran siswa dituntut dapat menyelesaikan masalah tipe kognitif dan metakognitif yang terdapat pada lembar aktivitas siswa (LAS). Masalah matematika tipe metakognitif dapat menimbulkan proses kontrol dan refleksi pada siswa terhadap seluruh aktivitas kognitif yang dilakukan (Sudiarta, 2006). Terlibatnya siswa secara aktif dalam mengerjakan LAS dapat merangsang siswa untuk mengemukakan ide-idenya dalam memecahkan masalah-masalah metakognitif. Penelitian ini menggunakan LAS sebagai media pembelajaran yang berisi sejumlah informasi dan permasalahan-permasalahan yang harus dikerjakan. LAS dirancang agar dapat membantu siswa dalam memahami materi yang didiskusikan. LAS yang digunakan dalam penelitian ini berisi masalah-masalah yang menuntut siswa untuk memiliki kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi yang merupakan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi. Jika dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional, model pembelajaran metakognitif memberikan kesempatan pada siswa untuk lebih banyak melaksanakan kegiatan metakognitif yaitu kegiatan merencanakan, memantau dan merefleksi segala proses kognitif yang telah mereka lakukan. Hal ini akan sangat membantu siswa dalam menambah pengetahuan metakognitif yang mereka miliki. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diyakini bahwa model pembelajaran metakognitif akan menghasilkan siswa yang memiliki pengetahuan metakognitif dan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi yang lebih baik daripada pembelajaran konvensional.
17
Model Pembelajaran Metakognitif
Guru sebagai mediator dan fasilitator
Siswa melakukan aktivitas kognitif dan metakognitif
Mengarahkan siswa dalam melakukan aktivitas kognitif dan metakognitif
Melakukan proses perencanaan, pemantauan, dan refleksi
Pembelajaran Bermakna
Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi siswa Meningkat
Gambar 2.1 Kaitan antara Model Pembelajaran Metakognitif dan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi
2. 6 Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian pada kajian teori, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut. 2.6.1 Implementasi model pembelajaran metakognitif dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa kelas X Keperawatan 3 SMK Negeri 1 Amlapura semeter II tahun pelajaran 2013/2014. 2.6.2 Respon siswa kelas X Keperawatan 3 SMK Negeri 1 Amlapura semester II tahun pelajaran 2013/2014 terhadap penerapan model pembelajaran metakognitif dalam pembelajaran matematika tergolong positif.
18