BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
PARADIGMA KAJIAN Paradigma adalah pendangan mendasar mengenai pokok persoalan, tujuan
dan sifat dasar bahan kajian. Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum. Konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi yang dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi penelitian. Paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistik untuk memahami realitas sosial para idealis yang memberikan suatu tekanan pada pandangan yang terbuka tentang kehidupan sosial dan paradigma kualitatif ini memandang kehidupan sosial sebagai kreatifitas bersama individu-individu. Oleh karena itu, melalui paradigma kualitatif dapat menghasilkan suatu realitas yang dipandang secara objektif dan dapat diketahui yang melakukan interaksi sosial. (Ghony dan Almanshur,2012:73). Menurut Maxwell (dalam Ghony dan Almanshur,2012:77), Kelebihan paradigma adalah pemahaman makna, dimana makna merujuk pada kognisi, afeksi, intense dan apa saja yang berada dalam perspektif partisipan. Peneliti bukan saja tertarik pada aspek fisik pada kejadian itu melainkan bagaimana mereka memaknai semua itu dan bagaimana makna itu mempengaruhi tingkah laku informan. Fokus pada makna seperti itu mempengaruhi tingkah laku informan, fokus pada makna seperti itu disebut intrepretif. Dalam kegiatan kajian, paradigma kualitatif dijabarkan ke dalam langkah-langkah, sebagai berikut : 1.
penentuan kajian (focus of study) yang mencakup kegiatan memilih masalah yang memenuhi syarat kelayakan dan kebermaknaan
2.
pengembangan kepekaan teoritik dengan menelaah bahan pustaka yang relevan dari hasil kajian sebelumnya
3.
penentuan kasus atau bahan kajian yang meliputi kegiatan memilih darimana dan dari siapa data diperoleh
Universitas Sumatera Utara
4.
pengembangan protol pemerolehan dan pengolahan data yang mencakup kegiatan menetapkan piranti, langkah dan teknik pemerolehan dan pengolahan data yang digunakan
5.
pelaksanaan kegiatan pemerolehan data yang terdiri atas kegiatan mengumpulkan data lapangan atau melakukan pembacaan naskah yang dikaji
6.
pengolahan data perolehan yang meliputi kegiatan penyandian (coding), pengkategorian
(categorizing),
pembandingan
(comparing)
dan
pembahasan (discussing) 7.
negosiasi hasil kajian dengan subjek kajian
8.
perumusan simpulan kajian yang meliputi kegiatan penafsiran dan penyatu-paduan (interpreting and intergrating) temuan ke dalam bangunan pengetahuan sebelumnya serta saran bagi kajian berikutnya. Sesuai dengan metodologi penelitian ini yakni penelitian kualitatif, maka
dalam penelian ini peneliti menggunakan paradigma interpretatif. Hal ini dikarenakan paradigma interpretif adalah cara pandang yang bertumpu pada tujuan untuk memahami dan menjelaskan dunia sosial dari kacamata aktor yang terlibat di dalamnya. Artinya bahwa peneliti disini sesuai dengan paradigma interpretatif memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik atau utuh, kompleks, dinamis, penuh makna dan hubungan gejala interaktif (reciprocal). Selain itu, dengan menggunakan paradigma ini hasil penelitian dapat dikaji secara kritis dengan teori yang relevan serta informasi yang akurat yang diperoleh peneliti sendiri dari lapangan. Sifat dasar bahan yang dikaji serta tujuan yang ingin dicapai, bisa saja langkah-langkah tersebut di ubah menurut dinamika di lapangan. Fokus kajian misalnya mungkin mengalami penajaman dan perumusan ulang setelah peneliti melakukan penjajakan lapangan. Tentu saja penajaman ulang perlu dilakukan berdasarkan ketersediaan data serta dimaksudkan untuk meningkatkan kebermaknaan kajian. Maka dalam penelitian ini, peneliti memusatkan perhatian terhadap objek penelitian sebagai sebuah kasus dan berusaha untuk mencari informasi sebanyak mungkin agar dapat menggambarkan psikologis komunikasi anak remaja yang
Universitas Sumatera Utara
termasuk dalam keluarga broken home dan gambaran konsep diri serta keterbukaan diri masing-masing anak tersebut.
2.2
KAJIAN PUSTAKA
2.2.1
KOMUNIKASI Secara Etimologi, istilah komunikasi dalam bahasa inggris yaitu
communication berasal dari bahasa latin Communicatio yang bersumber dari kata Communis yang berarti sama. Dalam hal ini adalah sama makna. Maksudnya bila seseorang mengadakan kegiatan komunikasi dengan suatu pihak, maka orang tersebut cenderung berusaha untuk mengadakan persamaan arti dengan pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya atau menyamakan dirinya dengan yang diajaknya berkomunikasi. Dengan demikian diharapkan akan memperoleh suatu kesepakatan arti. Kesepakatan arti disini dibatasi kepada pengertian bahasa dan makna dari objek yang dipertimbangkan. Perkembangan kegiatan komunikasi ini sendiri sejak permulaan sejarah hingga sekarang ini secara sistematis selalu diiringi dengan kemajuan yang dicapai manusia. Semakin maju peradaban kehidupan manusia maka semakin maju pula kegiatan komunikasi tersebut, yang selalu berorientasi kepada pola kehidupan manusia tersebut. Pola komunikasi yang dilakukan manusia suku Indian dengan memakai sandi api adalah sesuai dengan pola peradaban manusia dari suku Indian saat itu. (Lubis, 2011:6-7). Berbicara mengenai defenisi komunikasi, tidak ada defenisi yang benar maupun salah. Seperti juga model atau teori, defenisi harus dilihat dari kemanfaatannya mengevaluasinya.
untuk
menjelaskan
Beberapa
defenisi
fenomena
yang
mungkin
terlalu
didefenisikan sempit,
dan
misalnya
“komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik,” atau lebih luas, misalnya “komunikasi adalah interaksi antara dua makhluk hidup atau lebih.” Tidak dipungkiri bahwa komunikasi adalah istilah yang begitu populer di zaman sekarang ini. Manusia modern disuguhkan dengan pesan-pesan komunikasi dari berbagai jurusan, baik secara terang-terangan, halus, verbal maupun non verbal.
Universitas Sumatera Utara
Carl Hovland (Dalam Lubis:2011:9) mendefenisikan “communication is the process by which an individual (the communication) transmits stimuli (usually verbal symbol) to modife the behaviour of other individuals (communication)”. Ia menyatakan bahwa komunikasi adalah proses seseorang menyampaikan rangsangan (biasanya dengan lambang, kata, gambar) guna merubah tingkah laku orang lain. Perjalanan komunikasi hadir dalam setiap langkah dan bahkan dalam setiap desah nafas manusia yang ada dipermukaan bumi ini, maka kegiatan komunikasi itu pada dasarnya adalah kegiatan dari manusia itu sendiri. Selama manusia melakukan aktivitasnya maka komunikasi terus beraktivitas satu hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan antara aktivitas manusia dengan aktivitas komunikasi.
2.2.1.1 Ruang Lingkup Komunikasi Ilmu komunikasi membutuhkan ruang lingkup sehingga lebih mudah dimengerti dan dipelajari sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah komunikasi. Little Jhon (dalam Lubis,2011:31) menjelaskan bahwa ruang lingkup ilmu komunikasi mencakup beberapa hal : 1.
Komunikasi merupakan suatu proses yang sangat kompleks dalam segi kehidupan manusia karena untuk memberikan batasan komunikasi itu merupakan suatu yang sulit dan abstrak sifat inflikasinya. Komunikasi bukan sekedar proses penyampaian pertukaran kesamaan menggunakan lambang-lambang yang berarti.
2.
Beberapa pengertian komunikasi yang sederhana mengenai komunikasi sering ditampilkan sebagai berikut : a. Merupakan proses penyampaian komunikasi dengan menyampaikan lambang-lambang yang berarti. b. Komunikasi merupakan proses penglihatan lambang-lambang berarti kedalamnya meliputi: ide-ide, pemikiran, sikap, pendapat, tingkah laku, sejumlah pengetahuan yang ditujukan kepada sejumlah orang.
Universitas Sumatera Utara
c. Merupakan
proses
dengan
menggunakan
antara
sumber
dan
pandangan. d. Komunikasi adalah pertukaran informasi. Berdasarkan uraian tentang ruang lingkup ilmu komunikasi dapat dilihat bahwa komunikasi merupakan proses sosial yang batasannya tidak terlepas dari multidisipliner. Maksudnya, perkembangan studi komunikasi didukung oleh ilmu sosial lainnya.
2.2.2 PSIKOLOGI KOMUNIKASI Psikologi dan komunikasi merupakan dua ilmu yang saling berkaitan. Komunikasi adalah kegiatan bertukar informasi yang dilakukan oleh manusia untuk mengubah pendapat atau perilaku manusia lainnya, sementara perilaku manusia merupakan objek bagi ilmu psikologi. Psikologi menyebut komunikasi pada penyampaian energi dari alat-alat indera ke otak, pada peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi, pada proses saling mempengaruhi diantara berbagai sistem dalam diri organisme dan diantara organisme. Psikologi mencoba menganalisa seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikan, psikologi memberikan karakteristik manusia komunikan serta faktorfaktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi perilaku komunikasinya. Psikologi juga tertarik pada komunikasi diantara individu, bagaimana pesan dari seseorang individu menjadi stimulus yang menimbulkan respons pada individu yang lain. Psikologi bukan meneliti lambang-lambang yang disampaikan. Psikologi meneliti proses pengungkapan pikiran menjadi lambang, bentuk-bentuk lambang dan pengaruh lambang terhadap perilaku manusia. (Rakhmat,2007:5). Ketika orang-orang berkomunikasi, mereka meramalkan efek perilaku komunikasi mereka. Dengan kata lain, komunikasi juga terikat oleh aturan atau tata krama. Artinya, orang-orang yang memilih strategi tertentu berdasarkan bagaimana orang yang menerima pesan akan merespons. Prediksi ini tidak selalu disadari dan sering berlangsung cepat. Kita dapat memprediksi perilaku komunikasi orang lain berdasarkan peran sosialnya. Anda tidak dapat menyapa orang tua atau dosen anda dengan “kamu atau elu”, kecuali bila anda bersedia menerima resikonya, misalnya di cap sebagai orang yang kurang ajar. Secara
Universitas Sumatera Utara
parsial perilaku manusia dapat diramalkan. Kalau semua perilaku manusia itu bersifat acak, selalu tanpa diduga, hidup kita akan sulit. (Mulyana,2007:115). Psikologi komunikasi (dalam Rakhmat,2007:9) dapat melihat bagaimana respon yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respon yang akan datang. Kita harus mengetahui sejarah respons sebelum meramalkan respons individu masa ini. Dari sinilah timbul perhatian pada gudang memori (memory storage) dan set (penghubung masa lalu dan masa sekarang). Salah satu unsur sejarah respons ialah peneguhan. Peneguhan adalah respons lingkungan (atau orang lain pada respons organisme yang asli). Bergera dan Lambert menyebutnya feedback (umpan balik).
2.2.2.1 Penggunaan Psikologi Komunikasi Psikologi
mempengaruhi
komunikasi
yang
efektif.
Seperti
yang
dinyatakan Ashley Montagu (dalam Rakhmat,2007:12-13), kita belajar menjadi manusia melalui komunikasi. Manusia bukan dibentuk oleh lingkungan, tetapi oleh caranya menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang diterima nya. Wajah ramah seorang ibu akan menimbulkan kehangatan bila diartikan si anak sebagai ungkapan kasih sayang. Wajah yang sama akan melahirkan kebencian bila anak memahaminya sebagai usaha ibu tiri untuk menarik simpati anak yang ayah nya telah ia rebut. Kepribadian terbentuk sepanjang hidup kita. Selama itu pula komunikasi menjadi penting untuk pertumbuhan pribadi kita. Melalui komunikasi kita menemukan diri kita, mengembangkan konsep diri dan menetapkan hubungan kita dengan dunia disekitar kita. Hubungan kita dengan orang lain akan menentukan kualitas hidup kita. Bila orang lain tidak memahami gagasan anda, bila pesan anda menjengkelkan mereka, bila anda tidak berhasil mengatasi masalah pelik karena orang lain menentang anda dan tidak mau membantu anda, bila semakin sering anda berkomunikasi semakin jauh jarak anda dengan mereka. Bila anda selalu gagal untuk mendorong orang lain bertindak, anda telah gagal dalam berkomunikasi. Komunikasi anda tidak efektif. Komunikasi yang efektif mempengaruhi lima (dalam Rakhmat,2007:13), yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1.
Pengertian, artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut
kegagalan
komunikasi
primer
(primary
breakdown
in
communication). Untuk menghindari hal tersebut kita perlu memahami psikologi pesan dan psikologi komunikator. 2.
Kesenangan, tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian. Ketika kita mengucapkan “selamat pagi, apa kabar?” kita tidak bermaksud mencari keterangan. Komunikasi itu hanya dilakukan untuk mengupayakan agar orang lain merasa apa yang disebut analisis transaksional sebagai “saya oke-kamu oke”. Komunikasi ini lazim disebut komunikasi fatis (phatic communication) dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan. Komunikasi inilah yang menjadikan hubungan kita hangat, akrab dan menyenangkan. Ini memerlukan psikologi tentang sistem komunikasi interpersonal.
3.
Mempengaruhi sikap, paling sering kita melakukan komunikasi untuk mempengaruhi orang lain. Khatib ingin membangkitkan sikap beragama dan mendorong jemaah beribadah lebih baik. guru ingin mengajak muridnya lebih mencintai ilmu pengetahuan. Semua ini adalah komunikasi persuasif. Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktorfaktor pada diri komunikator dan pesan yang menimbulkan efek pada komunikator. Persuasi didefenisikan sebagai proses mempengaruhi pendapat, sikap dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri. Para psikolog memang sering bergabung dengan komunikolog justru pada bidang persuasi.
4.
Hubungan sosial yang baik, manusia adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Kita ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan memperthankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan kekuasaan (control) dan cinta serta kasih sayang (affection). Secara singkat kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain, kita ingin mengendalikan
Universitas Sumatera Utara
dan dikendalikan serta kita ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan sosial ini hanya dapat dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif. 5.
Tindakan, selain membicarakan persuasi untuk mempengaruhi sikap, persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dihendaki. Komunikasi untuk menimbulkan pengertian memang sukar tetapi lebih sukar lagi mempengaruhi sikap, namun jauh lebih sukar lagi mendorong orang untuk bertindak. Tetapi efektivitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan. Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling penting, karena untuk menimbulkan tindakan kita harus berhasil lebih dahulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik. tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi. Ini bukan saja memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses komunikasi tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.
2.2.3
TEORI BEHAVIOUR
2.2.3.1 Pengertian Teori Behaviour Teori Belajar Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini kemudian berkembang sebagai teori psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah perkembangan teori dan praktik pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap intropeksionisme (yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subyektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak nampak). Behaviorisme ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Teori behaviorisme lebih dikenal dengan nama “teori belajar” karena menurut mereka seluruh prilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional. Behaviorisme hanya ingin
Universitas Sumatera Utara
mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Behaviorisme memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu sedangkan kaum behaviorisme hanya melihat pada peristiwaperistiwa eksternal. (Sumanto,2014:167) Berdasarkan psikologi sosial (dalam Dayakisni,2003 :13-14), teori belajar telah digunakan untuk menjelaskan berbagai gejala perilaku sosial, seperti: agresi, altruisme (prososial), daya tarik interpersonal, komunikasi, prasangka dan pembentukan sikap. Pada bidang-bidang (sejenis) ini teori belajar menjadi mekanisme penjelas. meskipun demikian teori belajar banyak diminati para ahli psikologi sosial karena menekankan pada tingkah laku yang dapat diselidiki secara alamiah (obyektif). Teori belajar mempunyai tiga ciri khusus yang membedakannya dengan teori lainnya: (1)sebab-sebab perilaku diduga terutama terletak pada pengalaman belajar individu di masa lampau, (2) cenderung menempatkan penyebab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengertian subyektif individu terhadap yang terjadi. Jadi, lebih menekankan kejadian eksternal yang telah diasosiasikan dengan stimulus atau reinforcement yang telah dikaitkan dengan timbulnya tanggapan atau model peran yang pernah ditemui, (3) biasanya pendekatan belajar diarahkan untuk menjelaskan perilaku yang nyata dan bukan keadaan subyektif atau psikologis (faktor-faktor internal seperti emosi/perasaan, motif, persepsi).
2.1.3.2 Aliran-Aliran Dalam Teori Bahaviouristik Ada
tiga
aliran
yang
terdapat
dalam
teori
behavioristik
(Sumanto,2014:168:170): 1.
Aliran Behaviour dari Watson Pemikiran dari Watson adalah bahwa perkembangan manusia harus
didasarkan pada observasi perilaku yang tampak daripada spekulasi tentang motifmotif yang tidak disadari atau melalui proses kognitif yang tidak dapat di observasi.
Dalam
penelitiannya
Watson
menggunakan
prinsip
classical
conditioning dari Pavlov. Watson berupaya mengubah perilaku dari seorang bayi yang berusia sembilan tahun yang tidak takut melihat binatang apapun yang
Universitas Sumatera Utara
dilihatnya. Watson menggunakan prinsip classical conditioning ini, yaitu, pertama memberikan suara bel yang keras (unconditional stimulus) pada anak tersebut yang menimbulkan rasa takut (unconditional respons) pada diri si anak. Selanjutnya
Watson
memberikan
perlakuan
sebagai
berikut:
sebelum
mendengarkan bunyi bel yang keras lagi, si anak tersebut diperlihatkan padanya seekor kelinci putih (conditional stimulus) maka anak tersebut pun takut (unconditional respons) yang masih disebabkan oleh bunyi bel yang keras pada perlakuan awal. Pengkondisian ini dilakukan berkali-kali sampai si anak takut melihat kelinci putih tanpa didengarkan suara bel yang keras. Kemudian anak tersebut pun mulai takut (conditional respons). Lama kelamaan anak tersebut tidak hanya takut pada kelinci putih saja melainkan pada binatang lain yang berbulu putih (generalisasi). Watson berpendapat bahwa perilaku manusia dapat dibentuk melalui pengondisian. 2.
Teori Belajar Operan dari Skinner Operant learning mengungkapkan bahwa perilaku tertentu berulang atau
bahkan berhenti tergantung dari konsekuensi yang diperoleh dari perilaku tersebut. Skinner memahami bahwa bentuk yang paling penting dari belajar adalah kebiasaan. Dalam operant learning ada dua hal, yaitu : a.
Reinforcement adalah segala sesuatu yang mengikuti perilaku dan menyebabkan perilaku tersebut diulangi. Reinforcement ada dua: pertama, positive reinforcement adalah suau konsekuensi yang mengikuti perilaku dan memperbesar kesempatan untuk perilaku itu berulang. Misalnya, perhatian yang diperoleh seorang anak ketika ia melakukan hal tertentu, maka perilaku itu akan ia ulangi. Kedua, negative reinforcement, terjadi ketika individu belajar untuk menampilkan perilaku tertentu yang menyebabkan sesuatu yang tidak menyenangkan berhenti. Misalnya, flu adalah pengalaman yang tidak menyenangkan bagi sebagian besar dari kita, maka kita akan memakan obat flu untuk menghentikan obat flu tersebut.
b.
Punishment, adalah segala sesuatu yang mengikuti perilaku tertentu yang menyebabkan perilaku itu berhenti atau tidak diulangi. Jadi punishment
Universitas Sumatera Utara
diberikan agar perilaku yang tidak diinginkan tidak diulangi lagi kemunculannya. Skinner percaya bahwa kebiasaan berkembang sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman operant learning yang unik. Teori operant learning menjelaskan bahwa arah dari perkembangan tergantung dari stimuli eksternal dibandingkan kekuatan-kekuatan internal. 3.
Teori Sistem Bioekologi Bronfenbrenner melakukan analisis tentang pengaruh lingkungan terhadap
perkembangan. Bronfenbrenner mempelajari konteks yang multipel dan membagi konteks ini dalam lima sistem, yaitu: a.
Microsystem, yaitu pola dari kegiatan-kegiatan, peran, interaksi-interaksi yang terjadi dalam lingkungan/lingkup yang terdekat dengan individu. Microsystem, adalah konteks dinamis untuk perkembangan. Masingmasing individu dipengaruhi oleh semua dalam sistem tersebut. contohnya, bayi
mikrosistemnya
adalah
keluarga inti,
karyawan
mikrosistemnya tempat kerjanya. b.
Mesosystem, yaitu jaringan relasi antara mikrosistem. Seperti, rumah sekolah, tempat kerja. Bronfenbrenner yakin bahwa perkembangan dapat berlangsung optimal dengan adanya jaringan dukungan yang kuat antara mikrosistem.
c.
Exosystem, yaitu konteks dimana anak/individu tidak menjadi bagian dari sistem tersebut namun dapat mempengaruhi perkembangan. Contohnya, lingkungan kerja orang tua dapat mempengaruhi emosi anak dalam relasinya dengan orang tua.
d.
Macrosystem, yaitu konteks budaya atau sub-budaya atau kelas sosial dimana mikrosistem, mesosistem dan ekosistem berada. Contohnya, budaya barat yang individualistik dan budaya timur yang kolektivistik akan
mempengaruhi
orang
tua
masing-masing
budaya
dalam
memperlakukan anaknya. e.
chronosystem, yaitu derajat stabilitas atau perubahan dalam dunia individu. Seperti perubahan dalam komposisi keluarga, tempat tinggal dan pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
Teori bioekologi dari Bronfenbrenner menekankan bahwa perkembangan individu terjadi dalam suatu seri sistem lingkungan, interaksi dengan seseorang akan mempengaruhi perkembangan dan sebaliknya.
2.2.4
KONSEP DIRI (Self-consept)
2.2.4.1 Pengertian Konsep Diri Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciriciri sifat) yang dimilikinya atau dapat dimengerti sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki individu tentang karakteristik atau ciri-ciri pribadinya. Kita mempelajari siapakah diri kita melalui interaksi kita dengan orang lain. Salah satu cara kita mempelajari tentang diri kita dari interaksi sosial adalah dengan menemukan apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Proses persepsi mengenai sisi baik atau jelek berdasarkan pada apa yang orang lain pikirkan tentang kita disebut dengan penaksiran yang direfleksikan (reflected appresials). Penafsiran yang direfleksikan ini adalah proses yang paling penting yang mempengaruhi konsep diri kita (Dayakisni, 2003: 66). Konsep diri merupakan proses yang terus berlanjut di sepanjang kehidupan manusia. Menurut Symonds dan Fitts (dalam Agustiani, 2009:18) menyatakan bahwa persepsi diri tidak langsung muncul pada saat kelahiran tetapi mulai berkembang secara bertahap dengan munculnya kemampuan perseptif. Terdapat beberapa defenisi konsep diri menurut beberapa ahli, diantaranya adalah: 1.
Menurut William H. Fitts, mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fitts mengatakan bahwa ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi terhadap dirinya berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri dan kemampuan terhadap dunia di luar dirinya. Fitts juga mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang. (Agustiani,2009:138-139).
Universitas Sumatera Utara
2.
Menurut William D. Brooks (dalam Rakhmat,2007:99) mendefenisikan konsep diri sebagai “those physical, social and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interactions with others”. Jadi, konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita.
3.
Menurut Anita Taylor (dalam Rakhmat, 2007:100) mendefenisikan konsep diri sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitutedes you hold about your self”.
4.
Menurut Klein, dkk (dalam Baron,2004:165) menyatakan bahwa konsep diri adalah kumpulan keyakinan dan persepsi diri mengenai diri sendiri yang terorganisasi. Diri memberikan sebuah kerangka berpikir yang menentukan bagaimana kita mengolah informasi tentang diri kita sendiri, termasuk motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan dan banyak hal lainnya. Menurut Charles Horton Cooley (dalam Rakhmat, 2007:100), kita
melakukannya dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain. Cooley menyebutkan gejala ini looking glass self (diri cermin) yang berarti seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa. Konsep diri meliputi apa yang anda pikirkan dan apa yang anda rasakan tentang diri anda. Dengan demikian ada dua komponen konsep diri, yaitu: komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif disebut citra diri (self image) dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem). Didalam konsep diri ada yang disebut dengan social self. Social self adalah identitas kolektif yang merupakan bagian dari siapa kita dan bagaimana kita berpikir tentang diri kita sendiri. Konsep social self dapat digambarkan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. : Konsep Self Social
Konsep Diri (Self Consept)
Social Self
Konsep Self Social Sekolah
Konsep Self Social sekolah Teman Sekolah
Konsep Self social sekolah Guru
Konsep Self Social Keluarga
Konsep Self Social Keluarga Saudara
Konsep Self Social Orang tua
Sumber : Baron, Robert A. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga Keterangan : Konsep diri mempengaruhi diri dalam hubungan sosial, baik hubungan di sekolah maupun di dalam keluarga.
Setiap konsep diri keseluruhan seseorang terdiri dari banyak komponen yang berbeda yang memberikan skema terhadap aspek spisifik dalam hidupnya. Satu komponen tersebut, yaitu interaksi sosial. Untuk kaum muda, konsep self social ini dapat dibagi lebih jauh dalam kategori yang lebih spesifik, seperti interaksi sosial di sekolah dan interaksi sosial dalam keluarga. Didalam setiap interaksi, spesifikasi lebih lanjut adalah dalam interaksi dengan teman sekelas versus dengan guru dan orang tua versus saudara (Baron,2004:168-169).
Universitas Sumatera Utara
2.2.4.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Konsep Diri Menurut Devito dalam bukunya yang berjudul The Interpersonel Communication
Book
(2005:115),
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pembentukan konsep diri, yaitu : 1.
Other Images Others images merupakan orang yang mengatakan siapa anda, melihat
citra diri anda dengan mengungkapkannya melalui perilaku dan aksi. Konsep diri seseorang dibentuk karena adanya orang-orang yang paling penting dalam hidup seseorang seperti orang tua. Menurut Demo.H menekankan bahwa konsep diri dibentuk, dipelihara, diperkuat dan diubah oleh komunikasi para anggota keluarga. Mereka itulah yang disebut sebagai significant others. Significant Orhers yang dimaksud merupakan orang tua. Orang tua adalah faktor utama yang membentuk
dan
mengembangkan
konsep
diri
seorang
anak.
Dalam
perkembangan, significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan kita, mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita dan menyentuh kita secara emosional. 2.
Orang lain Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu.
Ketika kita tumbuh menjadi dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita. Sebagai contoh, Minah memperoleh informasi tentang dirinya dari kedua orang tuanya dan orang disekitarnya bahwa Minah anak yang pintar. Minah berpikir, “saya pintar”. Ia menilai persepsinya dari orang lain. Richard Dewey dan W.J. Humber menamai orang lain sebagai affective others, dimana orang lain yang mengenal kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah, secara perlahan-lahan membentuk konsep diri kita melalui senyuman, pujian, penghargaan, pelukan yang menyebabkan kita menilai diri kita secara positif. Ejekan dan cemoohan membuat kita memandang diri kita secara negatif. Pandangan diri kita tentang keseluruhan pandangan orang lain terhadap kita disebut generalized others. Konsep diri ini berasal dari George Herbert Mead, memandang diri kita seperti orang lain memandangnya, berarti mencoba menempatkan diri kita sebagai orang lain.
Universitas Sumatera Utara
3.
Budaya Melalui orang tua, pendidikan, latar belakang budaya, maka akan
ditanamkan keyakinan, nilai agama, ras, sifat nasional untuk membentuk konsep diri seseorang. Contohnya, ketika seseorang mempunyai latar belakang budaya yang baik dan memiliki etika maka orang tersebut memiliki konsep diri positif. 4.
Mengevaluasi pikiran dan perilaku diri sendiri Konsep diri terbentuk karena adanya interpretasi dan evaluasi dari perilaku
diri sendiri berdasarkan apa yang dilakukan.
2.2.4.3 Proses Terbentuknya Konsep Diri Salah satu faktor penentu atau gagalnya seseorang dalam menjalani kehidupan adalah konsep diri. Konsep diri yang ada pada seorang individu adalah sebagai bentuk keyakinan dirinya bahwa ia mampu dan bisa untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya dalam suatu lingkungan. Manusia sebagai organisme yang memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar akan keberanian dirinya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisik (Rakhmat, 2007:99) sedangkan menurut George Herbet Mead dalam buku Introducing Communication Theory Analysis an Aplication Third Edition Konsep diri pada seseorang muncul bukan dari pikiran seseorang tersebut terlebih dahulu melainkan dari pemikiran atau pandangan dari orang lain terhadap diri kita dan baru diikuti pemikiran yang muncul pada diri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang diri yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya. Sobur dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Umum” (dalam Arishanti,2013:23) , Konsep diri terbentuk dalam waktu yang relatif lama. Konsep diri pada dasarnya tersusun atas berbagai tahapan, yaitu : 1.
Konsep diri primer
Universitas Sumatera Utara
Konsep ini terbentuk atas dasar pengalamannya terhadap lingkungan, yaitu lingkungan rumahnya sendiri. Pengalaman yang berbeda diterima melalui anggota rumah, baik dari orang tua, nenek, paman atau saudara kandung. Konsep tentang bagaimana dirinya banyak bermula dari perbandingan antara dirinya dan saudara-saudara lainnya. Adapun konsep bagaimana perannya, aspirasi-aspirasinya ataupun tanggung jawabnya dalam kehidupan, ditentukan atas dasar pendidikan yang datang dari orang tuanya. 2.
Konsep diri sekunder Konsep ini banyak ditentukan oleh konsep diri primernya. Misalnya
apabila konsep diri primer seseorang adalah pendiam, tidak nakal, tidak suka keributan, maka ia akan memilih teman bermain yang sesuai dengan konsep diri yang sudah dimilikinya dan teman-teman baru yang nantinya menunjang terbentuknya konsep diri sekunder. Konsep diri terbentuk karena adanya interaksi individu dengan orangorang di sekitarnya. Apa yang dipersepsi individu lain mengenai diri individu, tidak terlepas dari struktur, peran dan status sosial yang disandang seorang individu.
2.1.4.4 Jenis-Jenis Konsep Diri Sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri (Rakhmat,2007:105-106), yaitu : 1.
Konsep diri negatif Menurut William D.Brooks dan Philip Emmert ada beberapa tanda yang
memiliki konsep diri negatif, yaitu : a.
Peka terhadap kritikan: Orang ini tidak tahan dikritik yang diterimanya dan mudah marah
b.
Responsif
terhadap
pujian:
Walaupun
ia
mungkin
berpura-pura
menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasnya pada waktu menerima pujian. c.
Sikap Hiperkritis: Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain
Universitas Sumatera Utara
d.
Pesimis: Menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya. Orang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog yang
terbuka dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru. 2.
Konsep diri positif Konsep diri positif ditandai dengan :
a.
Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah
b.
Ia merasa setara dengan orang lain
c.
Ia menerima pujian tanpa rasa malu
d.
Ia menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat
e.
Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspekaspek kepribadian yang tidak disenanginya dan mengubahnya.
Ada sebelas karakteristik konsep diri positif menurut D.E.Hamachek (dalam Rakhmat,2007:106), yaitu: a.
Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat.
b.
Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.
c.
Ia tidak menghabiskan waktu untuk mencemaskan apa yang terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu lalu dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.
d.
Ia memliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan
e.
Ia merasa sama dengan orang lain walaupun terdapat perbedaan latar belakang keluarga ataupun yang lain.
f.
Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain.
Universitas Sumatera Utara
g.
Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati dan menerima penghargaan tanpa rasa bersalah.
h.
Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya
i.
Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.
j.
Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi
pekerjaan,
permainan,
pengungkapan
diri
yang
kreatif,
persahabatan atau sekedar mengisi waktu. k.
Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenangsenang dengan mengorbankan orang lain. Konsep diri positif menghasilkan pola perilaku komunikasi interpersonal
yang positif pula, yakni melakukan persepsi yang lebih cermat dan mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan dengan cermat pula.
2.2.4.5 Pengaruh Konsep Diri dalam Komunikasi Antar pribadi Konsep diri dapat mempengaruhi beberapa faktor dalam komunikasi antar pribadi, yaitu (Rakhmat,2007:105-110) a.
Nubuat yang dipenuhi diri sendiri Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi
interpersonal, karena setiap orang bertingkahlaku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Kecenderungan untuk bertingkahlaku sesuai dengan konsep diri disebut dengan nubuat yang dipenuhi diri sendiri. Bila anda berpikir anda orang bodoh, Anda akan benar-benar menjadi orang bodoh. Bila anda merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan, maka persoalan apapun yang anda hadapi pada akhirnya dapat anda atasi. Anda berusaha hidup sesuai dengan label yang anda lekatkan pada diri anda. b.
Membuka diri Pengetahuan tentang diri kita akan meningkatkan komunikasi dan pada
saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan baru. c.
Percaya diri (Self Confidence) Percaya diri adalah hal yang paling menentukan. Untuk meningkatkan
percaya diri, menumbuhkan konsep diri yang sehat menjadi perlu seperti yang dikatakan Maxwell Maltz seorang tokoh psikosibernetik “Believe in your self and you will succed” Keinginan untuk menutup diri, selain karena konsep diri yang negatif timbul dari kurangnya kepercayaan kepada kemampuan sendiri. Orang yang kurang percaya diri akan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi.
Ketakutan
untuk
melakukan
komunikasi
dikenal
sebagai
communication apprehension. Orang yang aprehensif dalam komunikasi disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri. Tentu tidak semua parehensi komunikasi disebabkan kurangnya percaya diri, tetapi ada faktor lainnya yang mempengaruhi. d.
Selektivitas konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita, karena konsep diri
mempengaruhi kepada pesan apakah seseorang bersedia membuka diri (terpaan selektif), bagaimana kita mempersepsi pesan (persepsi selektif) dan apa yang kita ingat (ingatan selektif).
2.2.5
TEORI KETERBUKAAN DIRI (SELF DISCLOSURE THEORY)
2.2.5.1 Pengertian Keterbukaan Diri (Self Disclosure Theory) Keterbukaan diri (self disclosure) atau sering disebut pengungkapan diri (dalam Dayakisni,2003:86-87) merupakan proses menghadirkan diri yang diwujudkan dalam kegiatan membagi perasaan dan informasi dengan orang lain. Dalam tindakan komunikasi diri (self) termasuk tindakan yang penting apalagi dalam kehidupan kita sehari-hari. Kaitannya dengan teori ini menjelaskan bagaimana kita memberitahu informasi diri kita sendiri kepada orang lain. Informasinya menyangkut pengalaman pribadi, perasaan, rencana masa depan, impian dan lain lain. Dalam melakukan proses self disclosure seseorang harus
Universitas Sumatera Utara
memahami waktu, tempat dan keakraban. Kunci sukses dan hal yang paling mendasar dari self disclosure adalah kepercayaan. Biasanya seseorang akan mulai terbuka pada orang yang sudah lama dikenalnya. Selain itu menyangkut kepercayaan, beberapa ahli psikologi berpendapat bahwa perasaan percaya terhadap orang lain yang mendasar pada seseorang ditentukan oleh pengalaman selama tahun-tahun pertama hidupnya. Bila seseorang telah menyingkapkan sesuatu tentang dirinya pada orang lain, ia cenderung memunculkan tingkat keterbukaan balasan pada orang yang kedua. Menurut Morton (dalam Dayakisni, 2003:87), Pengungkapan diri (Self Disclosure) merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi didalam pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui oleh pendengar seperti jenis pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang kita sukai atau yang kita benci. Dalam proses pengungkapan diri nampaknya individu-individu yang terlibat memiliki kecenderungan mengikuti norma resiprok (timbal balik). Bila seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada kita, kita akan cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya kita mengaharapkan orang lain memperlakukan kita sama seperti kita memperlakukan mereka. Seseorang yang mengungkapkan informasi pribadi yang lebih akrab daripada yang kita lakukan akan membuat kita merasa terancam dan kita akan lebih senang mengakhiri hubungan semacam ini. bila sebaliknya, kita yang mengungkapkan diri terlalu akrab dibandingkan orang lain kita akan merasa bodoh dan tidak aman. Pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi dan pada saat yang sama berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi lebih dekat dengan kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan-gagasan baru, lebih cenderung menghindari sikap defensif dan lebih cermat memandang diri kita dan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan antara konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan dengan johari window. Dalam johari window diungkapkan tingkat keterbukaan dan tingkat kesadaran tentang diri kita. Konsep johari window dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.2 Konsep Johari Window
Kita Ketahui
Terbuka
Tidak diketahui
Buta Publik
Tersembunyi
Tidak dikenal
Privat
Sumber: Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Kamar pertama disebut “daerah terbuka” meliputi perilaku dan motivasi yang kita ketahui dan diketahui orang lain. Kita berusaha menampilkan diri dalam bentuk topeng. Gejolak hati dan kejengkelan diri yang ditutup-tutupi adalah “daerah tersembunyi”, seringkali diri menggunakan topeng sehingga kita sendiri tidak menyadarinya. Sesuatu hal yang tidak disadari tetapi orang lain menyadarinya ini termasuk daerah “buta” dan tentu ada diri kita yang sebenarnya yang hanya diketahui oleh maha pencipta ini disebut daerah “tidak dikenal”. Makin luas diri publik kita makin terbuka kita pada orang lain, makin akrab
Universitas Sumatera Utara
hubungan kita dengan orang lain, makin baik anda mengetahui seseorang, makin akrab hubungan, makin lebar daerah terbuka jendela anda.
2.2.5.2Tingkatan-Tingkatan Keterbukaan diri Dalam proses hubungan interpersonal terdapat tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam keterbukaan diri. Menurut Powell (dalam Dayakisni 2003:89), tingkatan-tingkatan keterbukaan diri dalam komunikasi,yaitu: a.
Basa-basi : merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal, walaupun terdapat keterbukaan diantara individu, tetapi tidak terjadi hubungan antar pribadi. Masing-masing individu berkomunikasi basa-basi sekedar kesopanan.
b.
Membicarakan orang lain : yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah tentang orang lain atau hal-hal yang diluar dirinya.walaupun pada tingkat ini isi komunikasi lebih mendalam tetapi pada tingkat ini individu tidak mengungkapkan diri.
c.
Menyatakan gagasan atau pendapat : sudah mulai dijalin hubungan yang erat. Individu mulai mengungkapkan dirinya kepada individu lain.
d.
Perasaan : setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama tetapi perasaan atau emosi yang menyertai gagasan atau pendapat setiap individu dapat berbeda-beda. Setiap hubungan yang menginginkan pertemuan antar pribadi yang sungguh-sungguh haruslah didasarkan atas hubungan yang jujur, terbuka dan menyatakan perasaan-perasaan yang mendalam.
e.
Hubungan puncak : pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam, individu yang menjalin hubungan antar pribadi dapat menghayati perasaan yang dialami individu lainnya. Segala persahabatan yang sejati haruslah berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5.3 Fungsi Keterbukaan Diri Menurut Darlega dan Grzelak (dalam Dayakisni,2003:90-92), ada lima fungsi keterbukaan diri,yaitu : a.
Ekspresi (expression) Dalam kehidupan ini kadang-kadang kita mengalami suatu kekecewaan
atau kekesalan baik itu yang menyangkut pekerjaan ataupun yang lainnya. Untuk membuang semua kekesalan itu biasanya kita akan merasa senang bila bercerita pada seseorang teman yang sudah kita percaya. Dengan pengungkapan diri semacam ini kita mendapat kesempatan untuk mengekspresikan perasaan kita. b.
Penjernihan diri (self-clarification) Dengan saling berbagi rasa serta menceritakan perasaan dan masalah
yang sedang kita hadapi kepada orang lain, kita berharap agar dapat memperoleh penjelasan dan pemahaman orang lain akan masalah yang kita hadapi sehingga pikiran kita akan menjadi lebih jernih dan kita dapat melihat duduk persoalannya dengan lebih baik. c.
Keabsahan sosial (sosial validation) Setelah kita selesai membicarakan masalah yang sedang kita hadapi,
biasanya pendengar kita akan memberikan tanggapan mengenai permasalahan tersebut. sehingga dengan demikian, kita akan mendapatkan suatu informasi yang bermanfaat tentang kebenaran atau pandangan kita. Kita dapat memperoleh dukungan atau sebaliknya. d.
Kendali sosial Seseorang dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi
tentang diri kita kepada orang lain serta saling mempercayai merupakan saran yang paling penting dalam usaha merintis suatu hubungan sehingga akan semakin meningkatkan derajat keakraban.
2.2.6
KELUARGA BROKEN HOME
2.1.6.1 Pengertian Keluarga Broken Home Keluarga merupakan taman pendidikan pertama, terpenting dan terdekat yang bisa dinikmati anak. Di lingkungan keluargalah seorang anak mengenal nilai
Universitas Sumatera Utara
dan norma kehidupan. Keluarga broken home diartikan sebagai kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian. Kondisi ini menimbulkan dampak yang sangat besar terutama bagi anak remaja. Remaja adalah masa transisi antara masa anak dan masa remaja. Remaja mulai berpikir lebih idealistik ketika diminta untuk mendeskripsikan mengenai dirinya sendiri, remaja mulai menggunakan istilah-istilah yang lebih abstrak dan idealistik. Yang dimaksud kasus broken home dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: (a) keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari kepala keluarga itu meninggal dunia atau telah bercerai, (b) orang tua tidak bercerai akan tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah atau ibu sering tidak di rumah atau tidak memperlihatkan kasih sayang lagi. Misalnya, orang tua sering bertengkar sehingga keluarga itu tidak sehat secara psikologis. Dari keluarga yang seperti ini akan lahir anak-anak yang mengalami krisis kepribadian sehingga perilakunya sering tidak sesuai. (http://atriel.wordpress.com/2008/04/08/broken-home/).
2.2.6.2 Hubungan Anak dan Orang Tua Peranan keadaan keluarga terhadap perkembangan sosial anak tidak hanya terbatas kepada situasi sosial ekonominya atau kepada keutuhan struktur dan interaksinya saja. Sikap-sikap didalam pergaulannya memegang peranan yang cukup penting di dalamnya. Keluarga sudah merupakan kelompok sosial dengan tujuan-tujuannya, strukturnya, norma-normanya, dinamika kelompoknya termasuk cara-cara
kepemimpinannya.
Baldwin
di
dalam
penelitiannya
(Gerungan,1993:189) menyatakan bahwa makin otoriter orang tuanya, makin berkuranglah ketidak-taatan, tetapi akan timbul ciri-ciri passiviet (sikap menunggu), kurangnya inisiatif, tidak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan berkurang dan penakut. Sebaliknya, sikap-sikap demokratis dari orang tua menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, pemberani, lebih giat dan lebih bertujuan tetapi juga memberi kemungkinan berkembangnya sifat-sifat tidak taat dan tidak mau menyesuaikan diri. Dalam penelitian ini Baldwin mendefenisikan sikap otoriter orang tua ialah orang tua menaruhkan banyak larangan-larangan terhadap anak
Universitas Sumatera Utara
tanpa ada pengertian pada anak, sedangkan didikan yang demokratis dirumuskan sebagai didikan dimana orang tua sering berdiskusi mengenai tindakan-tindakan yang harus diambil. Keluarga menjadi kelompok sosial yang utama dimana anak belajar menjadi manusia sosial. Rumah tangganya menjadi tempat pertama dari pada perkembangan segi-segi sosialnya dan di dalam interaksi sosial dengan orang tuanya yang wajar ia pun mmeperoleh pembekalan yang memungkinkannya untuk menjadi anggota masyarajat yang berharga, sedangkan apabila hubungannya dengan orang tua kurang baik, maka besar kemungkinannya bahwa interaksi sosialnya
pada
umumnya
pun
berlangsung
kurang
baik
pula.
(Gerungan,1993:202).
2.1.6.3 Status Anak Anak berperan sebagai suatu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sosialnya di dalam keluarganya. Status anak yang dimaksud ialah statusnya sebagai anak tunggal , statusnya sebagai anak sulung, statusnya sebagai anak bungsu. Menurut penelitian Hermann, leipzig (Gerungan,1993:191) menyatakan bahwa anak tunggal lebih egoistis dan memiliki keinginan untuk berkuasa yang berlebihan dibandingkan dengan anak-anak yang bersaudara, namun anak tunggal lebih mudah mengorientasi dirinya kepada orang-orang dewasa dan kepada cita-cita, anak sulung dinyatakan kurang aktif dan kurang berusaha dibandingkan dengan anak kedua yang justru sangat giat dan berambisi. Sementara anak bungsu dinyatakan lebih manja dan ketergantungan karena miliki kakak atau abang yang berada diatasnya. Status anak tersebut tidaklah mutlak, namun bisa berubah berdasarkan didikan orang tua dan lingkungan luar. Namun berbeda dengan status anak yang tidak mendapatkan lagi perhatian dari orang tua, biasanya perilaku anak tidak cenderung dari status anak tersebut berdasarkan terbentuk karena pengaruh dari lingkungan luar. Anak yang berasal dari keluarga broken home kerap kali memiliki perilaku yang menyimpang atau sering disebut sebagai anak delinkwen karena kebebasannya dalam pergaulan.
Universitas Sumatera Utara
Latar belakang sosial mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perkembangan tingkah laku delinkwen (menyimpang) pada anak (dalam Gerungan, 1993:213), yaitu: 1.
Anak delinkwen lebih banyak berasal dari keluarga rumahtangga yang
tidak utuh lagi struktur dan interaksinya dibandingkan anak biasa. 2.
Anak delinkwen kurang mengalami perhatian atau perkembangan norma-
norma dan disiplin di dalam keluarganya dibandingkan dengan anak biasa. 3.
Anak delinkwen kurang mempunyai kesempatan hiburan di dalam
keluarganya sendiri sehingga ia mencarinya di luar dibandingkan dengan anak biasa. 4.
Anak delinkwen lebih terbelakang pendidikan di sekolahnya dan baru
masuk sekolah pada usia yang lebih lanjut dibandingkan anak-anak normal yang seumur.
2.3.
MODEL TEORITIK
Gambar 2.3 Model Teoritik
Komunika si Psikologis komunikas Teori Behaviour Konsep Diri Keterbuka an Diri
Remaja usia 10 tahun-22 tahun yang berasal dari keluarga Broken Home
Psikologis Komunikasi, Konsep Diri, Self Disclosure
Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai
(Sumber: Peneliti, 2014).
Universitas Sumatera Utara