BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Mardiasmo (2013:1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pajak memiliki unsur-unsur yaitu: 1) Iuran dari rakyat kepada Negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang) 2) Berdasarkan Undang-Undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya 3) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat di tunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah 4) Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
8
Sedangkan menurut Rochmat Soemitro (2006:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontrapresetasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Berdasarkan pengertian pajak yang telah dijelaskan oleh beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran wajib kepada Negara yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan yang berlaku dan tidak mendapatkan timbal balik atau kontra prestasi secara langsung. 2.1.2 Fungsi Pajak Pada umumnya,undang-undang pajak didesain untuk mendorong dan meningkatkan bentuk kerjasama, dimana dalam suatu pajak terdapat beberapa fungsi pajak dengan cara pengklasifisikan. Menurut (Mardiasmo, 2009:1) Fungsi pajak dapat di klasifikasikan menjadi , yaitu : 1) Fungsi penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh adalah dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
9
2) Fungsi Mengatur (Regulerent) Pajak yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melakanakan kebijaksanaan dalam bidang social dan ekonomi. Sebagai contohnya adalah pajak yang tinggi dikenakan atas barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsuntif. 2.2 Pajak Penghasilan 2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek Pajak orang pribadi, badan, Bentuk Usaha Tetap (BUT) atas penghasilan yang diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak. Undang-Undang no.7 tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 januari 1984. UndangUndang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali dirubah dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008. Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) dalam Mardiasmo (2011) mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang PPh disebut wajib pajak. Wajib
Pajak kenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
selama satu tahun pajak dan atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai dan berakhirnya dalam tahun pajak (Mardiasmo,2011)
10
2.2.2 Subjek Pajak Penghasilan Subjek Pajak Penghasilan diatur pada Pasal 2 Ayat 1 undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu: 1) Orang Pribadi yang dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia 2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, atau ahli waris. 3) Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 4) Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesiauntuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
11
Sedangkan pada pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, subjek Pajak dikelompokkan menjadi dua (2) kelompok, yaitu: 1) Subjek Pajak Dalam Negeri terdiri atas: Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau Orang Pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2) Subjek Pajak Luar Negeri terdiri atas: a. Subjek Pajak Orang Pribadi, yaitu orang yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. b. Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. c. Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
12
3) Subjek Pajak Badan, yaitu badan yang tidak berkedudukan di Indonesia, yang dimaksud tersebut yaitu: a. Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia b. Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia Yang bukan termasuk Subjek Pajak yaitu: 1) Kantor Perwakilan Negara Asing 2) Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain
dari
Negara
asing,
dan
orang-orang
yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat: a. Bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia b. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik
13
3) Organisasi Internasional, dengan syarat yaitu: a. Indonesia menjdi anggota organisasi tersebut b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan
dari
Indonesia
selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota 4) Pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat: a. Bukan warga Negara Indonesia b. Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia 2.2.3 Objek Pajak Penghasilan Yang menjadi objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang termasuk didalamnya yaitu: 1) penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang.
14
2) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; 3) laba usaha; 4) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: (1)
Keuntungan
karena
pengalihan
harta
kepada
perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; (2)
Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
(3)
Keuntungan
karena
likuidasi,
penggabungan,
peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; (4)
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga seadarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
15
(5)
Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan
(6)
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
(7)
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
(8)
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
(9)
Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
(10)
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
(11)
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
(12)
Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
(13)
Keuntungan selisih kurs mata uang asing
(14)
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
(15)
Premi asuransi
(16)
Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16
(17)
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
(18)
Penghasilan dari usaha berbasis syariah
(19)
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tat cara perpajakan;dan
(20)
2.2.4
Surplus Bank Indonesia
Dasar Hukum Pajak Penghasilan Sebelum tahun 1984, pelaksanaan Pajak Penghasilan di Indonesia menggunakan undang-undang pajak warisan colonial. Ordonansi Pajak Perseroan 1925, dan ordonansi Pajak Pendapatan 1994. Selanjutnya pada tahun 1983 dilakukan reformasi dibidang perpajakan yang menghasilkan Undang-Undang perpajakan, salah satunya adalah undang-undang no 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang mulai pada 1 januari 1984. Undang-Undang tersebut telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang: a. Nomor 7 tahun 1991 tentang perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan b. Nomor 10 tahun 1994 tentang perubahan kedua atas UndangUndang nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan c. Nomor 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UndangUndang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak penghasilan
17
d. Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undangundang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan 2.3
PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 23 Mardiasmo (2013:255) menyebutkan bahwa Pajak Penghasilan pasal 23 adalah pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang
berasal
dari
modal,
penyerahan
jasa,penyelenggaraan
kegiatan, selain yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Adapun objek pajak penghasilan 23 yaitu: 1) Dividen, dengan nama dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi 2) Bunga termasuk premium,diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
18
3) Royalty 4) Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 5) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan; dan 6) Imbalan sehubungan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa konsultan dan jasa selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Tarif yang dikenakan terhadap Pajak Penghasilan Pasal 23 sesuai dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan PMK No.141/PMK.03/2015 yaitu: 1) Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas: a. Dividen b. Bunga termasuk premium,diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang c. Royalty d. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah
dipotong
Pajak
dimaksud dalam pasal 21
19
Penghasilan
sebagaimana
2) Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, atas: a.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan
b. Imbalan sehubungan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa konsultan dan jasa selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Dalam hal penerima imbalan sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud diatas tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tariff pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud di atas.
2.3.1
Dasar Hukum Pajak Penghasilan pasal 23 Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 23 a. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 23 b. PMK No 244/PMK 03/2008 tentang jenis jasa lain yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh
20
c. PMK No.251/PMK.03/2008 tentang Pajak Penghasilan atas Jasa Keuangan yang dilakukan oleh Badan Usaha yang berfungsi sebagai Penyalur Pinjaman dan/atau Pembiayaan yang tidak dilakukan pemotong PPh Pasal 23 d. SE-53/PJ/2009 tentang penjelasan PPh Pasal 23 e. SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Jasa teknik, Jasa Manajemen f. Dan dasar hukum PPh Pasal 23 yang terbaru adalah PMK No.141/PMK.03/2015 tentang Perubahan Jenis Jasa Lainnya 2.3.2 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 2008 ( Undang-undang Pajak Penghasilan 1984) Pemotong PPh Pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan, yang terdiri atas: 1) Badan pemerintah Tidak ada penjelasan dalam,Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti badan pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa dengan Badan pemerintah adalah pemerintah Negara republic Indonesia dan pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi dibawahnya. Dalam prakteknya, pemotong PPh pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh bendahara pemerintah. 2) Subjek Pajak badan dalam negeri 21
Subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istilah didirikaan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan ketentuan hokum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia Pengertian badan sendiri berdasarkan pasal 2 ayat (1) huruf b undang-undang pajak Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuanbaik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap 3) Penyelenggara Kegiatan Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang
22
menorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar, dan lain-lain. 4) Bentuk Usaha Tetap (BUT) BUT adalah bagian dari subjek pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, penentuan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri. Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) UndangUndang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 ( seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, bengkel dan lain-lain. 5) Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh pasal 23. Contohnya adalah Representative office (RO) dari perusahaan-peruPerwakilan
23
perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh pasal 23. Contohnya adalah Representative office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing. 2.3.3
Pihak yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Berdasarkan Pasal 23 ayat
(1) Undang-undang pajak Penghasilan,
penerimaan penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, pihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Undang-undang pajak Penghasilan, penerimaan penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, pihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak badan dalam negeri ini berarti bahwa jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan dalam negeri ini berarti bahwa jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa dikenakan. Yang dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan 21.
24
2.3.4
Tata Cara Penyetoran PPh Pasal 23 Berdasarkan UU KUP Nomor 28 tahun 2007 dan PMK Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak, PPh Pasal 23 dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23, akan diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23. Atas pemotongan yang telah dilakukan dalam suatu masa pajak, Wajib Pajak sebagai pemotong pajak wajib melakukan pelaporan pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukannya. Pembayaran dan Penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak (SSP). Umumnya penyetoran PPh Pasal 23 atas Jasa Lain-lain menggunakan SSP (Surat Setoran Pajak) namun menurut Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-26/PJ/2014 tentang E-billing maka mulai tahun 2016, penyetoran pajak bisa menggunakan E-billing. Ebilling yaitu sistem pembayaran pajak secara elektronik. Billing tersebut harus diisi data dari tanggal dan bulan sesuai dengan masa pajak dan jumlah yang harus disetor. Setelah mengisi data dengan benar dan lengkap maka Wajib Pajak akan menerima kode billing pajak yang disebut bukti E-billing. Bukti E-billing tersebut harus disetorkan kepada Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai tempat pembayaran pajak. Apabila Wajib Pajak terlambat menyetor atau tidak membayar pajak maka sanksi yang dikenakan dapat berupa sanksi administrasi, tetapi
25
juga dapat berupa sanksi pidana apabila Wajib Pajak terlambat atau tidak menyetor SPT. Menurut pasal 9 ayat 2 huruf a UU KUP, bila pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran yaitu tanggal 10 (sepuluh), maka akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. Sementara sanksi pidana akan dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong sehingga dapat menimbulkan kerugian Negara maka dikenakan sanksi pidana paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan juga denda paling sedikit 2 (dua) kali dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar sesuai pasal 39 ayat 1 huruf i UU KUP. 2.3.5
Tata Cara Pelaporan PPh Pasal 23 Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT Tahunannya. Apabila masa pajak telah berakhir, pemotongan PPh Pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 26
23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak Pemotong PPh Pasal 23 terdaftar. Surat pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
2.4 Surat Pemberitahuan Mardiasmo (2013:31) menjelaskan bahwa Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat pemberitahuan (SPT) memiliki fungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempretanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan terutang: 1) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak. 2) Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/ataau bukan objek pajak 3) Harta dan kewajiban dan/atau 4) Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 5) Bagi pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melapor dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah
27
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang a. Pengkreditan Pajak Masukkan terhadap Pajak Keluaran, b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bagi pemotong dan pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. Jenis SPT secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak 2) Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak Surat Pemberitahuan (SPT) meliputi: 1) SPT Tahunan Pajak Penghasilan 2) SPT Masa yang terdiri dari a. SPT Masa Pajak Penghasilan b. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dan c. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi pemungut Pajak Pertambahan Nilai
28
SPT dapat berbentuk: 1) Formulir kertas (hardcopy) atau 2) e-SPT Batas waktu penyampain SPT, Batas waktu penyampain Surat Pemberitahuan adalah: 1) untuk Surat Pemberitahuan Masa,paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. Khusus untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. 2) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak atau 3) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak Sanksi terlambat atau tidak menyampaikan SPT, apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan
atau
batas
waktu
perpanjangan
penyampaian
Surat
Pemberitahuan, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar: 1) Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 2) Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya
29
3) Rp 1.000.000,00 ( satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan 4) Rp 100.00,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
2.5 PPh Pasal 23 atas Jasa Lainnya PPh Pasal 23 atas Jasa Lainnya merupakan objek dari Pajak Penghasilan Pasal 23. Dalam hal ini, akan dibahas mengenai pengertian jasa, macam-macam jasa lainnya, objek, tarif dan DPP (Dasar Pengenaan Pajak) dari PPh Pasal 23. 2.5.1 Pengertian Jasa Lainnya Jasa Lainnya merupakan imbalan atas jasa lainnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. 2.5.2 Objek, Tarif dan DPP PPh Pasal 23 atas Jasa Lainnya 1. Objek PPh Pasal 23 atas jasa lainnya yaitu : Menurut peraturan terbaru PMK No. 141/PMK.03/2015 tentang Perubahan Jenis Jasa Lainnya, Jasa-jasa lainnya yaitu 1) Jasa Penilai 2) Jasa Aktuaris 3) Jasa Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan 4) Jasa Hukum 5) Jasa Arsitektur 6) Jasa Perencanaan Kota dan Arsitektur landscape 7) Jasa Perancang (design)
30
8) Jasa Pengeboran di bidang migas, kecuali yang dilakukan oleh BUT 9) Jasa Penunjang di bidang penambangan migas 10) Jasa Penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas 11) Jasa Penunjangan di bidang penerbangan dan Bandar udara 12) Jasa Penebangan Hutan 13) Jasa Pengolahan Limbah 14) Jasa Penyedia Tenaga Kerja/atau tenaga ahli 15) Jasa Perantara dan/atau keagenan 16) Jasa di bidang perdagangan suraat-surat berharga, kecuali yang dilakukan KSEI dan KPEI 17) Jasa Kustodian, penyimpanan, penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI 18) Jasa Pengisian Suara (Dubbing) dan/atau sulih suara 19) Jasa Mixing Film 20) Jasa pembuatan saranan promosi film, iklan, poster,photo, slide, klise, banner, pamphlet, baliho dan folder 21) Jasa sehubungan dengan software komputer termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan 22) Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website 23) Jasa internet dan sambungannya 24) Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/ataupenyaluran data, informasi, dan/atau program
31
25) Jasa Instalansi/pemasangan dan Perawatan/Pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi, dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi 26) Jasa
Perawatan/Perbaikan/pemeliharaan
telepon,air,gas,AC,TV,kabel,
dan/atau
mesin,
peralatan,
bangunan,
selain
listrik, yang
dilakukanoleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang kontruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi 27) Jasa Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat,laut, dan udara 28) Jasa Maklon 29) Jasa Penyelidikan dan Keamanan 30) Jasa Penyelenggaraan Kegiatan atau event organizer 31) Jasa penyediaan tempat, dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan 32) Jasa Pembasmian Hama 33) Jasa Kebersihan atau cleaning service 34) Jasa sedot septic tank 35) Jasa Pemeliharaan kolam 36) Jasa Katering atau tata boga 37) Jasa freight forwading 38) Jasa logistic 39) Jasa pengurusan dokumen
32
40) Jasa pengepakan 41) Jasa loading dan unloading 42) Jasa laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau insitusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis 43) Jasa pengelolaan parker 44) Jasa penyondiran tanah 45) Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lanah 46) Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit 47) Jasa pemeliharaan tanaman 48) Jasa pemanenan 49) Jasa pengolahan hasil pertanian, pekebunan, perikanan, peternakan, dan/atau perhutanan 50) Jasa dekorasi 51) Jasa pencetakan/penerbitan 52) Jasa penerjemahan 53) Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan 54) Jasa pelayanan kepelabuhan 55) Jasa pengangkutan melalui jalur pipa 56) Jasa pengelolaan penitipan anak 57) Jasa pelatihan dan/atau kursus 58) Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM 59) Jasa sertifikasi
33
60) Jasa survey 61) Jasa tester dan 62) Jasa selain jasa-jasa tersebut diatas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sehubungan dengan pengenaan PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) terhadap semua jenis jasa konstruksi berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat 2 UU PPh dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008 dan perubahnnya, maka imbalan jasa konstruksi tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. 2. Tarif dan DPP PPh Pasal 23 atas jasa lainnya yaitu sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) maka akan dipotong 100% (seratus persen) lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23 menjadi sebesar 4% (empat persen). Sedangkan yang menjadi DPP adalah jumlah bruto atas jasa lainnya. Jumlah bruto yang dimaksud sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah sebesar keseluruhan pembayaran kepada penyedia jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk jumlah bruto Jasa Katering atau Tata Boga sesuai PMK No. 141/PMK.03/2015 yaitu seluruh jumlah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT) kepada Wajib Pajak Dalam Negeri. Sedangkan untuk jumlah bruto selain Jasa Katering atau Tata Boga yaitu seluruh jumlah
34
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT) kepada Wajib Pajak Dalam Negeri, tidak termasuk : 1) Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak sebagai penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa 2) Pembayaran kepada penyedia jasa atas pengadaan/pembelian barang atau material yang terkait dengan jasa yang diberikan 3) Pembayaran kepada pihak ketiga yang dibayarkan melalui penyedia jasa, terkait jasa yang diberikan oleh penyedia jasa dan/atau 4) Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan penggantian (reimburst) atas biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga dalam rangka pemberian jasa bersangutan Pembayaran tersebut tidak termasuk dalam jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 jika dapat dibuktikan dengan : a. Kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan b. Faktur pembelian atas pengadaan/pembelian barang atau material c. Faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis dan d. Faktur tagihan dan/atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak ketiga
35
Apabila tidak dapat dibuktikan maka jumlah bruto adalah sebesar keseluruhan pembayaran kepada penyedia jasa dan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2.5.3 Pengecualian Pasal 23 atas Jasa Lainnya Pengecualian Pasal 23 atas Jasa Lainnya yaitu 1) Semua jasa-jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 2) Imbalan sehubungan dengan jasa lain tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat FINAL
36