BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Subjective Well-Being 2.1.1. Pengertian Subjective Well–Being Subjective Well-Being dapat di artikan sebagai penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup dan penilaian afektif mengenai mood dan emosi, sebagaimana dikemukakan oleh Diener (Diener dan Lucas, 1999:213) berikut ini : subjective well being is people’s evaluation of their lives lives. These evaluations include both cognitive judgements of life satisfaction and affective evaluations of moods and emotions. Veenholen (Schiff dan Bargal, 2000:2760 menyatakan bahwa subjective wellbeing berkaitan serta dengan penilaian individu terhadap keseluruhan kualitas hidupnya, sebagaimana diungkapkan bahwa “subjective well being is the degree to which an individual judges the overall quality of his life favorably”. Berdasarkan sejumlah pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa subjective well-being adalah penilaian subjektif yang diberikan oleh individu mengenai kehidupannya yang dapat meliputi penilaian mengenai kepuasan hidup, mood dan emosi, eksistensi atau pengalaman hidup atau kualitas hidup secara keseluruhan.
2.1.2. Komponen-komponen Subjective Well-Being Subjective Well-Being dibangun oleh dua komponen, yaitu komponen penilaian kognitif dan penilaian afektif. Penilaian kognitif adalah penilaian individu mengenai kepuasan hidup. Sementara itu, penilaian afektif adalah penilaian individu terhadap mood dan emosi yang sering dirasakan dalam hidup (Diener, Suh, Lucas, dan Smith dalam lyubomirsky dan Diekerhoof, 2005).
2.1.2.1.
Komponen Kognitif Subjective Well-Being
Komponen Kognitif merupakan penilaian individu mengenai kepuasan hidup. Penilaian tersebut dapat dikategorikan menjadi penilaian umum dan penilaian khusus (Diener, Suh, Lucas, dan Smith dalam Lyubomirsky dan Diekerhoof, 2005). a. Penilaian Umum Penilaian umum adalah penilaian individu yang bersifat reflektif terhadap kepuasan hidupnya secara menyeluruh (Diener, 2006). Shin dan Johnson (Treistman, 2004) menyebutkan bahwa evaluasi tersebut mengacu pada proses penilaian individu mengenai kualitas hidupnya yang didasarkan pada satu set kriteria yang bersifat unik dan telah mereka tentukan sendiri. Dengan kata lain, penilaian umum melibatkan persepsi individu mengenai perbandingan antara kondisi kehidupan aktual dengan standard kehidupan yang bersifat unik yang mereka miliki.
b. Penilaian Khusus Penilaian khusus adalah penilaian individu mengenai kepuasan terhadap aspek-aspek tertentu dalam hidup, seperti aspek kesehatan, kehidupan pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial, kehidupan dengan pasangan hidup, dan kehidupan dengan keluarga (Diener, 2006). Penilaian global dan penilaian khusus mengenai kepuasan hidup memiliki keterkaitan satu sama lain. Dalam melakukan penilaian mengenai kepuasan hidup secara umum, individu kemungkinan besar akan menggunakan informasi mengenai kepuasan pada salah satu aspek hidup yang ia anggap paling penting (Diener, Scollon, Oishi, Dzokoto, dan Suh, 2000).
2.1.2.2.
Komponen Afektif Subjective Well – Being
Menurut Diener (2004), cara individu dalam memberikan penilaian mengenai kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya dapat dipahami dengan cara meneliti tipetipe reaksi afektif yang ditampilkan oleh individu yang bersangkutan. Secara umum, komponen afektif subjective well–being dapat dikategorikan menjadi penilaian mengenai keberadaan afek-afek positif dan penilaian mengenai afek-afek negatif. a. Penilaian mengenai keberadaan afek-afek positif Afek afek positif merepresentasikan mood dan emosi yang bersifat menyenangkan, seperti cinta dan kasih sayang. Afek-afek positif dianggap sebagai bagian dari subjective well-being karena afek-afek tersebut merefleksikan reaksi
individu terhadap sejumlah peristiwa dalam hidup yang berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan (Diener, 2006). Watson dan Tellegan (Diener, 2004) mengatakan bahwa afek-afek positif merupakan kombinasi dari hal-hal yang bersifat membangkitkan (arousal) dan halhal yang bersifat menyenangkan (pleasantness). Afek-afek positif yang tinggi terjadi ketika individu merasakan energi yang tinggi, konsentrasi penuh, dan keterlibatan yang menyenangkan. Sementara itu, afek-afek positif yang rendah terjadi ketika individu mengalami kesedihan dan kelelahan (Watson, Clark, dan Tellegen, 1988). b. Penilaian mengenai keberadaan afek-afek negatif Afek-afek
negatif
merepresentasikan
mood
dan emosi
yang
tidak
menyenangkan. Afek-afek negatif juga merefleksikan respon negatif yang dialami oleh individu sebagai reaksi yang ia berikan terhadap berbagai kondisi dan peristiwa dalam hidup mereka (Diener, 2006). Watson dan Tellegen (Diener, 2004) menyatakan bahwa afek-afek negatif merupakan kombinasi dari hal-hal yang bersifat membangkitkan (arousal)
dan
hal-hal yang
bersifat
tidak
menyenangkan
(unpleasantness). Afek-afek negatif yang tinggi akan muncul ketika individu merasakan kemarahan, kebencian, jijik, rasa bersalah, ketakutan dan kegelisahan. Sementara itu, afek-afek negatif yang rendah akan muncul ketika individu merasakan ketenangan dan kedamaian (Watson, Clark, dan Tellegen, 1988). Afek-afek negatif memang dibutuhkan dan seharusnya terjadi agar hidup dapat berfungsi secara optimal. Namun, afek-afek negatif yang terlalu sering terjadi
atau terjadi secara berkepanjangan merupakan indikasi bahwa individu memiliki penilaian yang buruk terhadap kehidupannya (Diener, 2006). Diener (2006) menjelaskan bahwa pengakaman merasakan afek-afek negatif secara berkepanjangan akan menghambat individu untuk bertingkah laku secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian individu akan merasa bahwa hidupnya tidak menyenangkan.
2.1.3. Prediktor – Prediktor Subjective Well-Being 2.1.3.1.
Prediktor – Prediktor Signifikan Subjective Well-Being
Berbagai hasil penelitian, literatur, dan konsensus umum di antara para ahli telah menghasilkan sejumlah variabel yang dianggap sebagai prediktor subjective well-being yang bersifat signifikan. Prediktor-prediktor yang dimaksud adalah harga diri (self-esteem), sense of perceived control, kepribadian, optimisme, hubungan sosial dan dukungan sosial, pemahaman tentang makna dan tujuan, neurotisme yang rendah, pengaruh masyarakat atau budaya, dan proses kognitif (Argyle, 1987; Myers, 1992; Diener, 1999 dalam Compton, 2005). Berikut ini adalah pembahasan secara lebih spesifik untuk masing-masing prediktorr tersebut. a. Harga Diri (Self-Esteem) Campbell (1981) menemukan bahwa harga diri (self-esteem) merupakan salah satu prediktor dari subjective well-being yang paling penting. Harga diri (self-esteem) yang tinggi akan membuat individu memiliki beberapa kelebihan, termasuk
pemahaman mengenai arti dan nilai hidup. Hal tersebut merupakan modal yang paling berharga dalam menjalin hubungan interpersonal dan merupakan hasil alamiah dari pertumbuhan individu yang sehat (Ryan dan Deci, 2000). Meskipun demikian, hubungan yang kuat antara harga diri (self-esteem) dan subjective well-being tidak ditemukan secara konsisten di beberapa negara, terutama di negara-negara penganut sistem kolektif, seperti Cina. Di negara-negara tersebut, otonomi dan tuntutan pribadi dianggap tidak lebih penting daripada kesatuan dan sosial sehingga harga diri (self-esteem) menjadi prediktor subjective well-being yang kurang penting (Diener dan Suh, 2000). b. Sense of Perceived Control Sense of Perceived Control dapat diartikan sebagai kepercayaan bahwa individu memiliki kemampuan untuk mengendalikan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupannya (Ryan dan Deci, 2000). Saat ini, sense of perceived control sering diartikan sebagai kepercayaan individu bahwa ia dapat berperilaku dengan cara memaksimalkan hasil yang baik dan meminimalkan hasil yang buruk (Peterson, 19990. Secara umum, sense of perceived control yang tinggi berhubungan dengan subjective well-being yang tinggi (Lecfourt dalam Compton, 2005). c. Kepribadian Lykken dan Tellegen (Diener dan Lucas, 1999) menyatakan bahwa kepribadian mempunya pengaruh jangka pendek sebesar 50% dan pengaruh jangka panjang sebesar 80% terhadap subjective well-being. Dua traits kepribadian yang
ditemukan paling berhubungan dengan subjective well-being adalah extraversion dan neuroticism (Pavot dan Diener, 2004). Extraversion mempengaruhi afek positif, sedangkan neuroticism mempengaruhi afek negatif. Menurut Pavot dan Diener (2004), para peneliti berpendapat bahwa extraversion dan neuroticism berhubungan dengan subjective well-being karena kedua traits tersebut mencerminkan tempramen seseorang. Sejumlah hasil penelitian yang lain menemukan bahwa tipe kepribadian ekstroversi merupakan salah satu prediktor subjective well-being yang paling signifikan (Diener dkk, 1999). Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa terdapat koefisien korelasi sebesar 0,80 antara tipe kepribadian ekstroversi dengan tingkat kebahagiaan yang dinilai oleh individu individu (Fujita, 1991). Sejauh ini tipe kepribadian ekstroversi diketahui dapat memprediksi tingkat subjective well-being individu sampai tiga puluh tahun kemudian (Costa dan McCrae, 1986). Menurut Bradburn (1969), individu yang memilki kepribadian ekstroversi cenderung memiliki tingkat subjective well-being yang tinggi karena individu tersebut cenderung lebih banyak bergaul sehingga memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menjalin hubungan positif dengan orang lain dan memiliki kesemoatan lebih banyak untuk mendapatkan umpan balik positif mengenai dirinya dan orang lain. Selain itu beberapa peneliti berpendapat bahwa individu denga tipe kepribadian ekstroversi cenderung berada pada tingkat subjective well-being yang tinggi karena mempunyai kepekaan yang lebih besar terhadap stimulus-stimulus positif dari
lingkungan atau karena mempunya reaksi yang lebih kuat terhadap peristiwaperistiwa yang menyenangkan (Larsen dan Ketelaar, 1991;Rusting dan Larsen, 1998). d. Optimisme Secara umum, individu yang memiliki optimisme terhadap masa depan cenderung merasa lebih bahagia dan lebih puas dengan kehidupan (Diener dkk, 1999). Optimisme dapat dipandang sebagai keyakinan bahwa sesuatu akan menjadi lebih baik di masa depan (Scheier dan Carver, 1992). Optimisme dapat dipandang pula sebagai harapan atau tanggapan bahwa tindakan dan ketekunan yang dilakukan oleh individu akan membuat tujuan-tujuan tertentu menjadi tercapai (Snyder, 1994). Menurut Schneider (2001), optimisme tersebut harus bersifat realistis agar dapat membantu perkembangan subjective well-being dalam jangka panjang. Optimisme realistis adalah optimisme yang didasarkan pada pengujian realistis secara teratur sehingga individu dapat memahami peluang yang bersifat potensial dengan baik, memperbaiki model sebab-akibat dari kondisi-kondisi yang ada, dan mengevaluasi ulang langkah-langkah yang sudah direncanakan (Schneider, 2001). e. Hubungan Sosial dan Dukungan sosial Diener dan Seligman (Pavot bdan Diener, 2004) menemukan bahwa hubungan sosial yang baik merupakan sesuatu yang diperlukan untuk membentuk subjective wellbeing yang tinggi pada individu. Akan tetapi, hubungan sosial yang baik tidka secara otomatis membuat individu memiliki tingkat subjective well-being yang tinggi.
Namun individu dengan tingkat subjective well-being yang tinggi biasanya memiliki hubungan sosial yang baik (Diener dan Seligman dan Pavot dan Diener, 2004). Secara umum, hubungan sosial yang positif berkaitan erat dengan dukungan sosial (Diener, Oishi, dan Lucas, 2003). Sejumlah penelitian (Sarason dan Pierce, 1990) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dari dukungan sosial yang baik terhadap tingkat subjective well-being individu. Sementara itu Argyle (Headey, 1991) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu variabel penentu subjective well being. Penemuan tersebut didukung oleh penelitian Goodwin dan Plaza (2000) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial yang dipersepsikan secara global dengan kepuasan hidup. f. Pemahaman Mengenai Makna dan Tujuan Hidup Emmons, Little, Freund, dan Klinger (Diener dan Scollon, 2003) mengemukakan bahwa keberadaan sebuah tujuan merupakan hal yang sangat penting bagi individu, sedangkan pencapaian tujuan tersebut merupakan hal yang penting bagi individu, sedangkan pencapaian tujuan tersebut merupakan hal yang penting bagi subjective well-being individu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa orang-orang dengan keimanan terhadap agama yang lebih kuat, lebih memandang penting agama dalam hidupnya, dan lebih sering mengikuti kegiatan keagamaan diketahui memiliki tingkat subjective well-being yang tinggi. Diperkirakan hasil tersebut muncul karena agama memberikan makna dan tujuan hidup pada penganutnya. Agama juga dinilai dapat
menghilangkan kecemasan dan rasa takut terhadap kematian (McGregor dan Little dalam Compton, 2005). g. Neurotisme yang Rendah Menurut Diener (Compton, 2005), terdapat hubungan negatif yang signifikan antara tingkat neurotisme dengan tingkat subjective well being. Dengan kata lain, semakin rendah tingkat neurotisme maka semakin tinggi tingkat subjective well being. h. Pengaruh Masyarakat atau Budaya Diener (Pavot dan Diener, 2004) mengemukakan bahwa perbedaan subjective well-being dapat terjadi karena perbedaan kekayaan negara. Negara yang kaya dinilai dapat membentuk subjective well-being yang tinggi pada penduduknya karena negara yang kaya cenderung menghargai hak asasi manusia, memberikan angka harapan hidup yang lebih panjang, dan lebih demokratis. Hubungan antara masyarakat disetiap negara (Diener, Suh, dan Oishi, 1997). Selain itu, Diener, Suh, dan Oishi (1997) menyatakan bahwa stabilitas politik suatu negara dinilai sehubungan pula dengan tingkat subjective well-being masyarakat. Perbedaan norma budaya dinilai berpengaruh terhadap efek positif dan negatif. Diener, Suh, Oishi dan Shao (Diener dan Lucas, 1999) mengatakan bahwa norma budaya lebih mempengaruhi afek positif darpada afek negatif. Didalam sebuah budaya yang menganggap ekspresi hal-hal positif sebagai sesuatu yang tidak baik, individu cenderung melaporkan tingkat afek positif yang lebih rendah daripada
individu yang tumbuh di dalam budaya yang menganggap ekspresi hal-hal positif sebagai sesuatu yang wajar. Sementara itu, Baker (Diener dan Lucas, 1999) mengatakan bahwa afek positif lebih dipengaruhi oleh lingkungan karena lebih bersifat sosial. i.
Proses Kognitif Disposisi
Kognitif
seperti
harapan
(Snyder
dalam
Diener,
2005),
kecenderungan seseorang untuk optimis (Scheier dan Carver dalam Diener, 2005), dan kepercayaan individu terhadap kemampuan pengendalian diri diketahui sebagai proses kognitif yang berpengaruh terhadap subjective well-being (Grob, Stetensko, Sabatier, Botcheva dan Macek dalam Diener, 2005). Subjective well-being juga ditentukan oleh jenis informasi tersebut pun diketahui berpengaruh terhadap subjective well-being (Diener, 2005). Selain itu, perbedaan subjective well-being juga dipengaruhi oelh persepsi individu terhadap perbedaan antara kondisi aktual dengan standard yang dimiliki (Michalos dalam Keyes dkk, 2002).
2.1.3.2.
Prediktor-Prediktor Non-Signifikan Subjective Well-Being
Disamping prediktor-prediktor subjective well-being yang bersifat signifikan, terdapat variabel yang dinilai sebagai prediktor-prediktor subjective well-being yang bersifat non-signifikan (Compton, 2005) Variabel yang dimaksud adalah faktorfaktor demografis yang meliputi jenis kelamin, usia, status pernikahan, pendidikan,
keberadaan anak, pendapatan, masa pengangguran, dan lain-lain (Diener, Lucas dan Oishi, 2005). a. Jenis kelamin Diener (2005) menyatakan bahwa jenis kelamin bukan merupaka prediktor subjective well-being yang signifikan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki tingkat subjective wellbeing yang relatif sama dengan laki-laki, tetapi cenderung lebih tinggi dari laki-laki (Lyubomirsky dan Dickehoof, 2005). Meskipun demikian, perempuan memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengalami depresi secara klinis (Nolen-Hoeksema dalam Lyubomirsky dan Dickerhoof, 2005). Menurut Lyubomirsky dan Dickerhoof (2005), hal tersebut terjadi karena perempuan cenderung merasakan emosi positif dan emosi negatif secara lebih intensif daripada laki-laki. b. Usia Faktor usia diketahui hanya memiliki faktor kecil terhadap subjective wellbeing individu (Diener, 2005). Pernyataan itu didukung oleh hasil penelitian Puspita (1998) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat subjective well-being pada ibu yang berusia 30-39 tahun, dengan ibu yang berusia 40-45 tahun. c. Status Pernikahan Pengaruh status pernikahan terhadap subjective well-being dipengaruhi secara kuat oleh budaya setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa didalam kultur
individualis, pasangan yang tidak menikah tetapi tinggal bersama (cohabiting) diketahui merasa lebih bahagia daripada pasangan yang menikah atau seseorang yang tidak mempunyai pasangan. Namun didalam kultur kolektivis, pasangan yang menikah diketahui lebih bahagia daripada pasangan yang belum menikah tetapi tinggal bersama atau seseorang tidak mempunyai pasangan (Diener, Gohm, Suh,dan Oishi dalam Diener, 2005). Pernikahan diduga memiliki hubungan timbal balik dengan subjective well-being (Headey, Veenhoven, dan Wearing, 1991). Pernikahan dapat meningkatkan subjective well-being, tetapi pernikahan tersebut akan berada dalam kondisi yang buruk jika individu yang menikah tersebut mempunyai subjective well-being yang rendah (Headey, Veenhiven, dan Wearing, 1991) d. Pendidikan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan memiliki korelasi yang sangat kecil, bahkan dikatakan hampir tidak memiliki korelasi dengan subjective well-being (Glenn dan Weaver dalam Argyle, 1999). Pendidikan jauh lebih banyak berkaitan dengan ekspektasi terhadap pendapatan yang lebih besar (Clark dan Oswald dalam Argyle, 1999). e. Keberadaan Anak Diener (Daukantantie, 2006) mengungkapkan bahwa keberadaan anak dalam keluarga memberikan pengaruh yang kecil terhadap subjective well-being. Namun, kebenaran hasil penelitian tersebut masih dipertanyakan karena subjek dalam penelitian tersebut terdiri atas berbagai usia dan gender sehingga kemungkinan terjadi
bias masih sangat besar. Keberadaan anak seringkali dikaitkan dengan jumlah beban dan kekhawatiran yang akan terjadi dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat mempengaruhi subjective well-being secara negatif. Di sisi lain, anak memainkan peran yang penting dalam keluarga. Pasangan yang tidak mempunyai anak memiliki peluang lebih besar untuk bercerai dibandingkan dengan pasangan yang setidaknya memiliki satu anak (Daukantantie, 2006). Berkaitan dengan jumlah anak, penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah ibu di Jakarta menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan subjective well-being yang signifikan antara kelompok ibu yang memiliki satu anak atau dua orang anak, dengan kelompok ibu yang memiliki lebih dari dua orang anak (Puspita, 1998). f. Pendapatan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan memiliki hubungan yang konsisten dengan subjective well-being dalam analisis pada skala negara. Namun dalam analisis pada skala individu, perbedaan pendapatan dalam selang waktu tertentu hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap subjective well-being (Diener, 2005). g. Masa Pengangguran Masa Pengangguran yang dialami oleh individu dapat menyebabkan penurunan subjective well-being, meskipun kemudian individu yang bersangkutan kembali bekerja (Clark, Georgellis, Lucas, dan Diener dalam Pavot dan Diener, 2004). Pengangguran adalah penyebab besar adanya ketidakbahagiaan. Namun, perlu
diperhatikan tidak semua penganggur mengalami ketidakbahagiaan (Argyle, 1999). Menurut Argyle (1999), beberapa penganggur merasa tidak bahagia karena mengalamai penurunan
dalam afek positif, self-esteem, kepuasan terhadap
keuanganm kesehatan, tempat tinggal, serta munculnya apatisme.
2.2.
Kecerdasan Emosi 2.2.1. Pengertian Kecerdasan Emosi Pandangan lama mempercayai bahwa tingkat intelligensi (IQ) kecerdasan
intelektual merupakan faktor yang sangat menentukan dalam mencapai prestasi belajar atau dalam meraih kesuksesan dalam hidup. Akan tetapi, menurut pandangan kontemporer, kesuksesan hidup seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient-IQ), melainkan juga oleh kecerdasan emosi (Emotional Intelligence-EI atau Emotional Quotient-EQ). Dalam khazanah disiplin ilmu pengetahuan, istilah “kecerdasan emosi” (emotional intelligence), merupakan istilah yang relatif baru. istilah ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman berdasarkan hasil penelitian neurolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Berdasarkan hasil penelitian para neurolog dan psikolog tersebut, maka Goleman (2002), berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki 2 pikiran, yaitu pikiran rasional dan pemikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh
kemampuan intelektual atau yang disebut IQ, sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh emosi atau yang disebut EI. Dalam buku Emotional intelligence, Daniel Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merupakan sisi lain kecenderungan positif yang berperan dalam aktifitas manusia, yang meliputi kesadaran diri dan kendali diri, semangat dan motivasi diri serta empati dan kecakapan sosial. kecerdasan emosi lebih ditujukan kepada upaya mengendalikan, memahami dan mewujudkan emosi agar terkendali dan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan, terutama yang terkait dengan kehidupan manusia (Daniel Goleman, Op.cit., :45). Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai : “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8). Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional (dalam Sawitri, 2004).
Kecerdasam
emosional
adalah
kemampuan
untuk
menyerap
dan
mengekspresikan emosi, kemampuan untuk mengasimilasikan emosi dengan pikiran, pemahaman dan rasio, dan kemampuan untuk mengatur emosi dalam diri sendiri dan orang lain (Mayer, Salovey, & Caruso, dalam Sternberg. 2008). Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Dalam Sawitri, 2004, Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan seorang relawan untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dn kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
2.2.2. Faktor Kecerdasan Emosional
Dalam Sawitri 2004, Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu : a. Mengenali Emosi Diri Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. b. Mengelola Emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur
diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibatakibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. c. Memotivasi Diri Sendiri Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti
memiliki
ketekunan
untuk
menahan
diri
terhadap
kepuasan
dan
mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. d. Mengenali Emosi Orang Lain Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu
membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. e. Membina Hubungan Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain 2.2.3. Dimensi Kecerdasan Emosional Dalam Triasaputri 2011, Goleman (2002) mengklasifikasikan kecerdasan emosional atas lima komponen penting, yaitu : 1. Kesadaran Diri (self-awareness), yaitu mengetahui apa yang dirasakan seseorang pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri ; memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri memungkinkan pikiran rasional memberikan informasi penting untuk menyingkirkan suasana hati yang tidak
menyenangkan. Menurut John Mayer (dalam Goleman, 2002), kesadaran diri adalah kemampuan seseorang untuk mewaspadai suasana hatinya. 2. Pengaturan diri (self-regulation), yaitu menangani emosi sendiri agar berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sangguo menunda kenikmatan sebelum tercapainya satu tujuan, serta mampu menetralisir tekanan emosi. Orang yang memiliki kecerdasan emosional adalah orang yang mampu menguasai, mengelola, dan mengarahkan emosinya dengan baik. 3. Motivasi (motivation), yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun manusia menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Kunci motivasi adalah memanfaatkan emosi, sehingga dapat mendukung kesuksesan hidup seseorang yang didukung oleh harapan dan optimisme yang tinggi. Menurut Goleman (2002), motivasi dan emosi pada dasarnya memiliki persamaan yaitu sama-sama menggerakkan. Motivasi untuk menggerakan manusia meraih sasaran, emosi menjadi bahan bakar motivasi, dan motivasi akan menggerakan persepsi dan membentuk tindakan-tindakan. 4. Empati (empathy), yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat. Hal ini berarti
orang
yang
memiliki
kecerdasan
emosional
ditandai
dengan
kemampuannya untuk memahami perasaan atau emosi orang lain. Emosi jarang
diungkapkan melalui kata-kata, melainkan lebih sering diungkapkan dengan pesan nonverbal, seperti nada suara, ekspresi wajah, gerak-gerik dan sebagainya. Kemampuan mengindra, memahami dan membaca perasaan atau pesan dari orang lain melalui pesan-pesan nonverbal ini merupakan intisari dari empati. 5. Keterampilan sosial (social skills), yaitu kemampuan mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi dan jaringan sosial, memahani dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia.
1.3. Big Five Personality 1.3.1. Pengertian Big Five Personality Kepribadian telah dikonsepkan dari bermacam-macam perspektif teoritis yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John & Srivastava, 1999). Masing-masing tingkatan ini memiliki keunikan dalam memahami perbedaan individu dalam perilaku dan pengalamannya. Namun, jumlah sifat kepribadian dan skala kepribadian tetap dirancang tanpa hentihentinya (Goldberg dalam John & Srivastava, 1999). Psikologi kepribadian memerlukan model deskriptif atau taksonomi mengenai kepribadian itu sendiri. Salah satu tujuan utama taksonomi dalam ilmu pengetahuan adalah untuk menyederhanakan defenisi yang saling tumpang-tindih.
Oleh karena itu, dalam psikologi kepribadian, suatu taksonomi akan mempermudah para peneliti untuk meneliti sumber utama karakteristik kepribadian daripada hanya memeriksa ribuan atribut yang berbeda-beda yang membuat setiap individu berbeda dan unik (John & Srivastava, 1999). Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu dimensi “Big Five Personality”. Dimensi Big Five pertama kali diperkenalkan oleh Goldberg pada tahun 1981. Dimensi ini tidak mencerminkan perspektif teoritis tertentu, tetapi merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam menjelaskan dirinya sendiri dan orang lain. Taksonomi Big Five bukan bertujuan untuk mengganti sistem yang terdahulu, melainkan sebagai penyatu karena dapat memberikan penjelasan sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava, 1999). Big Five disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari. Pendekatan ini disebut Goldberg sebagai Fundamental Lexical (Language) Hypothesis; perbedaan individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan satu istilah yang terdapat pada setiap bahasa (dalam Pervin, 2005). Big Five Personality atau yang juga disebut dengan Five Factor Model oleh Costa & McRae dibuat berdasarkan pendekatan yang lebih sederhana. Di sini, peneliti berusaha menemukan unit dasar kepribadian dengan menganalisa kata-kata
yang digunakan orang pada umumnya, yang tidak hanya dimengerti oleh para psikolog, namun juga orang biasa (Pervin, 2005).
1.3.2. Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa big five personality terdiri dari lima tipe atau faktor. Terdapat beberapa istilah untuk menjelaskan kelima faktor tersebut. Namun, di sini kita akan menyebutnya dengan istilah-istilah berikut: 1. Neuroticism (N) 2. Extraversion (E) 3. Openness to New Experience (O) 4. Agreeableness (A) 5. Conscientiousness (C) Untuk lebih mudah mengingatnya, istilah-istilah tersebut di atas disingkat menjadi OCEAN (Pervin, 2005). Dalam Mandasari 2012, Perkembangan kepribadian big five sangat pesat dalam berbagai riset kepribadian. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa banyak hal yang mampu diprediksi dengan trait-trait dalam kepribadian big five. Ciriciri kepribadian yang diklasifikasikan ke dalam lima faktor: 1. Extraversion (Ekstraversi) Menilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk berbahagia. Dimensi ini menunjukkan
tingkat kesenangan seseorang akan hubungan. Kaum ekstravert cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah hubungan. Sementara kaum introvert cenderung tidak sepenuhnya terbuka dan memiliki hubungan yang lebih sedikit dan tidak seperti kebanyakan orang lain, mereka lebih senang dengan kesendirian.
2. Agreeableness (Keramahan) Menilai kualitas orientasi individu dengan kontinum nilai dari lemah lembut sampai antagonis didalam berpikir, perasaan dan perilaku. Dimensi ini merujuk kepada kecenderungan seseorang untuk tunduk kepada orang lain. Orang yang mampu bersepakat, jauh lebih menghargai harmoni daripada ucapan atau cara mereka. Mereka tergolong orang yang kooperatif dan percaya pada orang lain. Orang yang menilai rendah kemampuan untuk bersepakat, memusatkan perhatian lebih pada kebutuhan mereka sendiri ketimbang kebutuhan orang lain.
3. Conscientiousness (Kesadaran) Menilai kemampuan individu didalam organisasi, baik mengenai ketekunan dan motivasi dalam mencapai tujuan sebagai perilaku langsungnya. Sebagai lawannya menilai apakah individu tersebut tergantung, malas dan tidak rapi. Dimensi ini merujuk pada jumlah tujuan yang menjadi pusat perhatian seseorang. Orang yang mempunyai skor tinggi cenderung mendengarkan kata hati dan mengejar sedikit
tujuan dalam satu cara yang terarah dan cenderung bertanggung jawab, kuat bertahan, tergantung, dan berorientasi pada prestasi. Sementara yang skornya rendah, ia akan cenderung menjadi lebih kacau pikirannya,mengejar banyak tujuan, dan lebih edonistik (Robbins, 2001).
4. Neuroticism (Neurotisme) Trait ini menilai kestabilan dan ketidakstabilan emosi.Mengidentifikasi kecenderungan individu apakah individu tersebut mudah mengalami stres, mempunyai ide-ide yang tidak realistis, mempunyai coping response yang mal adaptif. Dimensi ini menampung kemampuan seseorang untuk menahan stres. Orang dengan kemantapan emosional positif cenderung berciri tenang, bergairah dan aman. Sementara mereka yang skornya negatif tinggi cenderung tertekan, gelisah dan tidak aman. 5. Openness to experience (Keterbukaan akan pengalaman baru) Menilai usahanya secara proaktif dan penghargaannya terhadap pengalaman demi kepentingannya sendiri. Menilai bagaimana ia menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa. Dimensi ini mengarah tentang minat seseorang. Seseorang yang terpesona oleh hal baru dan inovasi, ia akan cenderung menjadi imajinatif, benarbenar sensitif dan intelek. Sementara orang yang disisi lain kategori ini keterbukaannya terlihat lebih konvensional dan menemukan kesenangan dalam keakraban.
Dari lima faktor didalam big five personality, masing-masing faktor terdiri dari beberapa facet. Facet merupakan trait yang lebih spesifik, merupakan komponen dari 5 faktor tersebut. Komponen dari big five faktor tersebut menurut NEO PI-R yang dikembangkan oleh Costa & McCrae (Pervin & John, 2001) adalah : 1) Extraversion Minat berteman (Friendliness), Minat berkelompok
(Gregariousness),
kemampuan asertif (Assertiveness), Tingkat aktivitas (Activity-level), Mencari kesenangan (Excitement-seeking), Kebahagiaan (Cheerfulness). 2) Agreeableness Kepercayaan (Trust), Moralitas (Morality), Berperilaku menolong (Altruism), Kemampuan bekerjasama (Cooperation), Kerendahan hati (Modesty), Simpatik (Sympathy). 3) Conscientiousness Kecukupan diri (Self efficacy), Keteraturan (Orderliness), Rasa tanggung jawab (Dutifulness), Keinginan untuk berprestasi ( Achievement-striving), Disiplin diri (Self-disciplin), Kehati-hatian (Cautiosness). 4) Neuroticism
Kecemasan (Anxiety), Kemarahan (Anger), Depresi (Depression), Kesadaran diri (Self-consciousness), Kurangnya kontrol diri (Immoderation), Kerapuhan (Vulnerability). 5) Opennes to Experience Kemampuan imajinasi (Imagination), Minat terhadap seni (Artistic interest), Emotionalitas (Emotionality),
Minat
berpetualangan (Adventurouness),
Intelektualitas (Intellect), Kebebasan (Liberalism).
1.4. Relawan 1.4.1. Pengertian Relawan Dalam Booklet Relawan P2KP (Konsultan Manajemen Pusat) mengemukakan bahwa Relawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang secara ikhlas karena panggilan nuraninya memberikan apa yang dimilikinya (pikiran, tenaga, waktu, harta, dsb) kepada masyarakat sebagai perwujudan tanggung jawab sosialnya tanpa mengharapkan pamrih baik berupa imbalan (upah), kedudukan, kekuasaan, kepentingan maupun karier. Dalam Website PNPM Mandiri Perkotaan menuliskan bahwa, relawan adalah orang-orang atau warga masyarakat setempat yang bersedia mengabdi secara ikhlas dan tanpa pamrih, tidak digaji atau diberi imbalan, rendah hati, berkorban, diusulkan
serta dipilih oleh masyarakat berdasarkan kualitas sifat kemanusiaan atau moralitasnya, dan memiliki kepedulian serta komitmen yang sangat kuat untuk memperbaiki kondisi lingkungan sekitarnya.
1.5. Dinamika Variabel Dalam dinamika kehidupan, hidup bersosialisasi dengan orang lain adalah hal yang sangat utama. Tingkah laku menolong, atau dalam psikologi dikenal dengan tingkah laku prososial, adalah tindakan individu utnuk menolong orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong (Baron, Byrne, dan Branscombe, 2006). Dalam menjalankan kehidupan sosial dan menyelesaikan masalah yang baik menunjukkan setinggi apa kecerdasan emosi yang dimilikinya. Menurut Wuryanano (2007) individu memiliki kecerdasan emosi yang tinggi cenderung menjalani kehidupannya dengan rasa puas dan gembira. Perasaan puas dan gembira ini disebut dengan subjective well-being, dimana individu lebih banyak merasakan afek menyenangkan dibanding afek tidak menyenangkan (Diener, dkk, 2005). Kecerdasan emosi memiliki beberapa komponen. Komponen ini bervariasi dalam kepribadian seseorang, karena memiliki regulasi emosi yang bermacammacam sesuai dengan ciri-ciri kepribadian tertentu (Mayer and Salovey,
1997).
Caruso, dkk, (2002) meneliti hubungan suatu kemampuan kecerdasan emosional
kepribadian. Penelitian ini menemukan bahwa, kecerdasan emosi adalah “ukuran yang handal & berdiri sendiri serta ciri-ciri kepribadian tradisional ditetapkan sebagi pendukung dalam membangun kecerdasan emosi” (2002 :306). Selanjutnya para sarjana telah berteori bahwa kecerdasan emosional yang tinggi akan mengakibatkan kesejahteraan (well-being) emosi yang lebih tinggi (Goleman, 1995; saarni, 1999; Salovey dan Mayer, 1990; Salovey, dkk, 1995; Schute, dkk, 2002). Beberapa bukti empiris membuktikan bahwa kecerdasan emosional dikaitkan dengan kesejahteraan emosi (emotional well-being) berasal dari penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional yang lebih tinggi cenderung tidak mudah depresi, memiliki sikap optimis yang lebih besar dan memiliki harga diri yang lebih besar (Schutte, dkk, 2002). Apalagi, penelitian ini menemukan bahwa orang dengan kecerdasan emosi yang tinggi, lebih mampu mempertahankan suasana hati yang positif dan memiliki harga diri yang tinggi ketika dihadapkan dengan keadaan yang negatif (Schutte, dkk, 2002). Dengan demikian baik teori maupun penelitian sebelumnya membuktikan bahwa ada hubungan antara kecerdasan emosi dan well-being. Selain kecerdasan emosional, ada juga beberapa faktor yang memiliki hubungan dengan subjective well-being, salah satunya adalah kepribadian (Wilson 1967, dalam Diener, Lucas & Oishi, 2005). DeNeve dan Cooper (1998, dalam Diener, Lucas dan Oishi, 2003) menemukan traits kepribadian yang paling berhubungan dengan subjective well-being adalah extraversion dan neurotism.
Extraversion sendiri menilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk berbahagia (Costa & McCrae 1985;1990;1992 dalam Pervin & John, 2001). Dimensi ini menunjukkan tingkat kesenangan seseorang akan hubungan kaum ekstravert (Sosial), cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmatin sejumlah besar hubungan. Neurotism menilai kestabilan dan kestabilan emosi. Mengidentifikasi kecenderungan individu apakah mudah mengalami stress, mempunyai ide-ide yang tidak realistis, mempunyai coping response yang maladaptif (Costa & McCrae 1985;1990;1993 dalam Pervin & John, 2001). Dimensi ini menampung kemampuan seseorang untuk menahan stress. Orang dengan kemantapan emosional positif cenderung berciri tenang, bergairah dan aman. Sementara mereka yang skornya negatif tinggi cenderung tertekan, gelisah dan tidak aman (Robbins,2001).
1.6. Kerangka Pemikiran Bagan 2.1. Kerangka Berpikir Kecerdasan emosi (emotional Intelligence)
Kesadaran diri
Mengelola emosi
Motivasi
Empati
Keterampilan sosial
Big Five Personality
Ekstraversi
Neurotisme
Conscientious
Agreeableness
Opennes to experience
Subjective Well-Being
Aspek Kognitif
Aspek Afektif
1.7. Hipotesis penelitian Berdasarkan latar belakang, permasalahan penelitian dan kajian pustaka, maka variabel bebas penelitian ini adalah Kecerdasan Emosi, Big Five Personality. Sedangkan variabel terikat penelitian ini adalah subjective well-being. Dan hipotesis penelitian ini adalah : a. Ada hubungan antara kecerdasan emosi dan big five personality dengan subjective well-being pada Relawan sosial b. Tidak ada hubungan antara kecerdasan emosi dan bug five personality dengan subjective well-being pada relawan sosial.