10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keadilan (Equity Theory) Robbins (2008) menyebutkan teori keadilan adalah suatu teori bahwa individu membandingkan masukan-masukan dan hasil pekerjaan mereka dengan masukan-masukan dan hasil pekerjaan orang lain dan kemudian merespons untuk menghilangkan ketidakadilan. Pada awalnya teori keadilan berfokus pada keadilan distributif (distributive justice), yaitu keadilan jumlah dan pemberian penghargaan diantara individu-individu. Sementara Zeithamal, et al (2006) menyatakan bahwa keadilan distributif merupakan tingkat kelayakan hasil akhir kegiatan yang dirasakan pelanggan dari keluhan mereka, meskipun bukan berarti harus menguntungkan atau tidak menguntungkan pelanggan. Selain keadilan distributif, terdapat keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan interaksional (interactional justice), (Robbins, 2008). Keadilan prosedural yaitu keadilan yang dirasa dari proses yang digunakan untuk mendistribusikan penghargaan. Keadilan prosedural ini memiliki dua elemen penting yaitu pengendalian proses dan penjelasan. Pengendalian proses merupakan ketersediaan ruang penyampaian pandangan seseorang tentang capaian yang dinginkan kepada pembuat keputusan dan penjelasan merupakan alasanalasan yang diberikan oleh manajemen atas hasil yang diberikan. Keadilan
10
11
interaksional yaitu persepsi individu tentang tingkat sampai mana ia diperlakukan dengan martabat, perhatian dan rasa hormat. Beberapa penelitian tentang keadilan menunjukkan keadilan prosedural lebih dipentingkan dibandingkan dengan keadilan distributif. Apabila prosedur yang digunakan dalam pengambilan keputusan sudah dapat memberikan keadilan, seseorang tidak akan terlalu mempertimbangkan hasil yang diperoleh. Sedangkan menurut Ulupui (2005) keadilan distributif berkaitan dengan outcome karena penekanannya pada distribusi yang diterima tanpa mempertimbangkan bagaimana penentuan distribusi tersebut dilakukan. Jika individu menilai perlakuan yang mereka terima adil dari dari sisi distribusi dan prosedur maka akan berpengaruh pada dua jenis outcomes, yaitu kepuasan karyawan dan komitmen karyawan. Namun dalam penelitian ini keadilan distributif yang dipandang lebih tepat bagi peneliti dalam menjelaskan variabel kepatuhan wajib pajak karena adanya interaksi
dengan
kepuasan
wajib
pajak.
Penelitian
Tjahyono
(2008)
mengungkapkan bahwa keadilan distributif lebih dominan dalam mempengaruhi kepuasan individu, karena individu memiliki perhatian dan minat atas lokasi barang dan jasa bagi kesejahteraan mereka, sehingga pemerintah daerah melalui Dispenda perlu mengkaji aspek alokasi pembayaran pajak dengan pembangunan secara umum. Sedangkan keadilan prosedural berpengaruh penting dalam menjelaskan komitmen keorganisasian karyawan. Keadilan prosedural telah terbukti berpengaruh dalam kerjasama individu dalam kelompok yang memiliki kewenangan/ organisasi (Van den Bos, et al, 1998).
12
2.1.2 Teori Atribusi (Atribution theory) Teori atribusi mempelajari proses bagaimana seseorang menginterpretasikan suatu peristiwa dan mempelajari bagaimana seseorang menginterpretasikan alasan atau sebab perilakunya (Suartana, 2010). Kepatuhan wajib pajak terkait dengan sikap wajib pajak dalam membuat penilaian terhadap pajak itu sendiri. Teori atribusi menyatakan bahwa bila individu-individu mengamati perilaku seseorang, mereka mencoba untuk menentukan apakah itu ditimbulkan secara internal atau eksternal (Robbins, 2008). Perilaku yang disebabkan secara internal adalah perilaku yang diyakini berada di bawah kendali pribadi individu itu sendiri. Sedangkan perilaku yang disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang dipengaruhi dari luar, artinya individu akan terpaksa berperilaku karena situasi. Penentuan internal atau eksternal suatu perilaku menurut Robbins (2008) bergantung pada tiga faktor yaitu : 1) Kekhususan. 2) Konsensus. 3) Konsistensi. Kekhususan memiliki arti seseorang akan mempersepsikan perilaku orang lain secara berbeda pada situasi yang berlainan. Jika perilaku seseorang dianggap suatu hal yang luar biasa, akan digolongkan atribusi eksternal, sebaliknya jika hal itu dianggap hal yang biasa, maka akan dinilai sebagai atribusi internal. Konsensus berarti semua orang mempunyai kesamaan pandangan dalam merespon perilaku seseorang dalam situasi yang sama. Apabila konsensusnya tinggi, maka termasuk atribusi internal. Sebaliknya jika konsensusnya rendah,
13
termasuk atribusi eksternal. Faktor terakhir adalah konsistensi, yaitu jika seorang menilai perilaku-perilaku orang lain dengan respon sama dari waktu ke waktu. Semakin konsisten perilaku itu, orang akan menghubungkan hal tersebut dengan sebab-sebab internal.
2.1.3 Kepatuhan Wajib Pajak 2.1.3.1 Pengertian Kepatuhan Pengukuran kepatuhan, sangat penting untuk mengetahui apa yang akan diukur seperti evasion, avoidance, kepatuhan atau ketidakpatuhan. Dalam mendefinisikan kepatuhan perlu dipahami kriteria yang mendasari pendefinisian kepatuhan apakah definisi tersebut didasarkan pada otoritas pajak, interprestasi wajib pajak pada hukum dan yang terakhir opsi yang lebih netral. Menurut OECD (2001), dalam mempertimbangkan definisi kepatuhan, akan lebih mudah jika kepatuhan dibagi dalam dua kategori utama antara lain : 1) Kepatuhan administratif yaitu kepatuhan pada aturan administratif seperti pembayaran tepat waktu. Definisi
yang terkandung dalam kepatuhan
administratif mencakup persyaratan pelaporan, kepatuhan prosedural atau kepatuhan akan peraturan. 2) Kepatuhan teknis yaitu kepatuhan yang dilakukan dengan menghitung pajak sesuai dengan persyaratan teknis hukum pajak dan wajib pajak membayar bagian pajak yang harus mereka bayar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pajak. Sehingga kepatuhan wajib pajak merupakan
14
bentuk loyalitas wajib pajak pada aturan perpajakan yang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Simon James, et al yang dikutip oleh Gunadi (2005) menyebutkan kepatuhan pajak adalah perilaku wajib pajak untuk kewajibannya tanpa adanya intervensi berupa audit, investigasi maupun penegakan sanksi. Secara sederhana kepatuhan yang dimaksud adalah kepatuhan secara sukarela. Kepatuhan sukarela menjadi dasar penerapan self assessment system pengenaan pajak hotel dan restoran. Self assessment system merupakan sistem pemungutan dengan kesadaran dari aktivitas masyarakat itu sendiri untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak terhutang (Lubis, 2010). Wajib pajak yang patuh menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/Pmk.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak memiliki kriteria sebagai berikut, yaitu : 1) Kepatuhan penyerahan SPT (filing compliance). 2) Kepatuhan pembayaran (payment compliance). 3) Kepatuhan pelaporan (reporting compliance).
2.1.3.2 Pengertian Wajib Pajak Pengertian Wajib Pajak yang termuat dalam Pasal 1 angka 45 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yaitu orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
15
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang menjadi wajib pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel dan wajib pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan restoran.
2.1.4 Penegakan Sanksi Jatmiko (2006) menyebutkan sanksi adalah hukuman negatif kepada orang yang melanggar peraturan, dan denda adalah hukuman dengan cara membayar uang karena melanggar peraturan dan hukum yang berlaku. Sanksi denda yang dimaksud adalah hukuman yang bersifat negatif berupa membayar dengan uang sebagai akibat dari melanggar peraturan. Sanksi pada pajak hotel dan pajak restoran yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) No 24 Tahun 2011 dan Perda No 23 Tahun 2011 berupa sanksi adminstratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% dikenakan pada kekurangan pajak yang tidak dibayar atau kurang bayar dan jika Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) tidak disampaikan kepada Bupati dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Jika wajib pajak tidak memenuhi kewajiban mengisi SPTPD maka pajak yang terutang dihitung secara jabatan. Terkait hal ini dikenakan sanksi administratif sebesar 25% dari pokok pajak ditambah bunga sebesar 2% per bulan selama maksimal 24 bulan. Kenaikan sebesar 100% dikenakan jika ditemukan data baru atau adanya data yang semula belum terungkap sehingga mengakibatkan jumlah pajak yang terutang. Namun
16
jika wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan pemeriksaan maka kenaikan 100% tersebut tidak dikenakan. Sanksi pidana diberikan kepada pelanggaran atas ketentuan dalam Perda. Ancaman kurungannya paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
2.1.5 Kepuasan Wajib Pajak Kepuasan wajib pajak terkait dengan teori kepuasan pelanggan. Wajib pajak merupakan pelanggan dari pelayanan yang disediakan oleh Dispenda, dan kepatuhan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya merupakan bentuk loyalitas pelanggan. Kepuasan wajib pajak salah satu faktor yang dapat menyebabkan kepatuhan wajib pajak. Bhote (1996) dalam Dharmayanti (2006) menyebutkan bahwa orientasi perusahaan masa depan terhadap kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan mengalami pergeseran dari pendekatan konvensional ke arah pendekatan kontemporer. Tentu hal ini diikuti oleh organisasi publik termasuk Dispenda jika ingin mewujudkan loyalitas wajib pajak agar patuh membayar pajak. Pendekatan konvensional menekankan kepuasan pelanggan sedangkan pendekatan kontemporer berfokus pada loyalitas pelanggan, retensi pelanggan, zero defections, dan lifelong customer. Menurut Schnaars dalam Tjiptono (2000), ada empat macam kemungkinan hubungan antara kepuasan pelanggan dengan loyalitas pelanggan : failures, forced loyalty, defectors, dan successes, sehingga kepuasan tidak lagi menjadi variabel intervening terhadap loyalitas pelanggan tetapi sebagai variabel moderating.
17
Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian Dharmayanti (2006) yang menggunakan kepuasan pelanggan sebagai variabel moderating dalam model penelitiannya. Zeithaml dan Bitner (2003) mengemukakan bahwa kepuasan adalah konsep yang jauh lebih luas dari hanya sekedar penilaian kualitas pelayanan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kualitas produk, harga, faktor situasi dan faktor pribadi. Kotler (2003), menyebutkan kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesan terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya. Jadi, kepuasan merupakan fungsi dari persepsi atau kesan atas kinerja dan harapan. Jika kinerja berada dibawah harapan maka pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan maka pelanggan akan puas. Jika kinerja melebihi harapan maka pelanggan akan amat puas atau senang. Kunci untuk menghasilkan kesetiaan pelanggan adalah memberikan nilai pelanggan yang tinggi. Kepuasan pelanggan terwujud jika dimensi kualitas pelayanan dapat dipenuhi. Zeithaml dan Bitner (2003) merangkum dimensi pelayanan menjadi lima yaitu sebagai berikut : 1) Tangibles, pelayanan yang diberikan harus didukung berupa fasilitas yang secara nyata dapat terlihat meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi serta kendaraan operasional. 2) Reliability,
merupakan
kemampuan
memberikan
pelayanan
yang
dijanjikan dengan segera dan memuaskan. Keandalan adalah kemampuan perusahaan untuk menampilkan pelayanan yang dijanjikan secara tepat
18
dan konsisten. Keandalan dapat diartikan mengerjakan dengan benar sampai kurun waktu tertentu. 3) Responsiveness, yaitu sikap tanggap pegawai dalam memberikan pelayanan yang dibutuhkan dan dapat menyelesaikan dengan cepat. Kecepatan pelayanan yang diberikan merupakan sikap tanggap dari petugas dalam pemberian pelayanan yang dibutuhkan. 4) Assurence, yaitu kemampuan pegawai untuk menumbuhkan rasa percaya para
pelanggannya
pada
organisasinya,
mencakup
komunikasi,
kredibilitas, keamanan, kompetensi dan sopan santun. 5) Emphaty, yaitu perhatian yang dilaksanakan secara pribadi atau individu terhadap pelanggan dengan menempatkan dirinya pada situasi pelanggan.
2.2 Penelitian Sebelumnya Penelitian empiris tentang kepatuhan wajib pajak banyak dilakukan misalnya penelitian Albari (2008) meneliti tentang pengaruh keadilan terhadap kepuasan dan kepatuhan wajib pajak. Dengan menggunakan analisis jalur, penelitian ini menggunakan 166 sampel wajib pajak perseorangan. Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan teknik convenience sampling. Penelitian ini berhasil membuktikan adanya pengaruh positif secara langsung maupun tidak langsung dari keadilan pada kepatuhan wajib pajak melalui variabel antara kepuasan. Salah satu dimensi keadilan dalam penelitian ini adalah keadilan interaksional yang secara parsial tidak berpengaruh signifikan pada kepatuhan wajib pajak. Hasil ini didukung oleh Blumental, et al (2001) yang menemukan
19
persuasi ramah yaitu interaksi yang nyaman antara petugas dengan wajib pajak tidak berpengaruh secara signifikan pada kepatuhan wajib pajak. Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Chung dan Trivedi (2003) menemukan persuasi ramah secara signifikan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Dharmawan (2012), meneliti tentang
pengaruh keadilan pajak terhadap
tingkat kepatuhan wajib pajak pribadi, di KPP Pratama Malang Selatan. Penelitian yang mempergunakan analisis regresi berganda ini menemukan bahwa tingkat keadilan secara umum (general fairness), timbal balik yang diterima pemerintah (exchanges with government), kepentingan pribadi (self interest), ketentuanketentuan yang diberlakukan secara khusus (special provisions), dan struktur tarif pajak (tax rate structures) secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan terhadap perilaku kepatuhan Wajib Pajak Pribadi. Jatmiko (2006) meneliti pengaruh sikap wajib pajak pada pelaksanaan sanksi denda, pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Penelitian ini menemukan bahwa sikap wajib pajak terhadap pelaksanaan sanksi denda, sikap wajib pajak terhadap pelayanan fiskus dan sikap wajib pajak terhadap kesadaran perpajakan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Koentarto (2011), meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam melakukan pembayaran PBB. Dari penelitiannya ditemukan faktor SPPT, sanksi, pelayanan pajak dan pendapatan wajib pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan membayar PBB. Analisis lebih lanjut menemukan layanan pajak memiliki pengaruh dominan terhadap kepatuhan membayar PBB.