7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lompat Jauh Lompat jauh merupakan bagian dari nomor lompat yang bertujuan untuk berusaha memindahkan titik berat tubuh sejauh-jauhnya ke arah mendatar (horisontal ). Dalam hal ini atlet berusaha sedapat mungkin menempatkan kakinya sejauh-jauhnya ke depan tanpa jatuh ke belakang saat mendarat (Hay, 2009). Selain itu, lompat jauh menurut Azmi (2000) adalah suatu yang diawali dengan berlari untuk mengambil awalan (lari awalan), dilanjutkan dengan menolak memakai satu kaki tumpu (tolakan), melayang di udara dan mendarat dengan dua kaki secara bersamaan (mendarat). Sedangkan gerakan dalam nomor lompat jauh dikemukakan oleh Bernhard (2009) terdiri dari: lari awalan (ancang-ancang), fase tolakan atau persiapan lompat (tinggal landas), fase melayang dan fase pendaratan. Ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan dari atlet lompat jauh diantaranya kondisi fisik terutama kecepatan dan tenaga lompat, dan faktor teknik yang menyangkut persiapan tinggal landas, saat melayang, dan pendaratan (Bernhard, 2009). Menurut Jarver (1999), keberhasilan nomor lompat jauh dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya; ancang-ancang (run-up), tinggal landas (take-off), saat melayang (flight), dan pendaratan (landing). Pada prinsipnya pendapat kedua tokoh di atas tidak berbeda karena ancang ancang pada tokoh kedua merupakan faktor kondisi fisik yang menyangkut kecepatan dan
7
8
tenaga lompatan seperti tokoh pertama.
Menurut Mackenzie (2005), untuk
mendapatkan jarak maksimal dalam cabang atletik lompat jauh harus mempunyai tiga komponen yaitu kecepatan, teknik dan kekuatan. 2.2 Gerakan pada Lompat Jauh 2.2.1 Ancang –ancang (Lari Awalan) Tujuan dari ancang-ancang dalam lompat jauh adalah mengambil posisi optimal untuk tinggal landas dengan kecepatan penuh dan dapat mengontrol bagian-bagian dari gerak lompat (Hay, 2009). Menurut Jarver (1999) tujuan ancang-ancang adalah untuk meningkatkan kecepatan horisontal secara maksimal tanpa menimbulkan hambatan sewaktu tinggal landas. Dengan demikian ancangancang dalam lompat jauh sangat dibutuhkan untuk mencapai lompatan yang maksimal tanpa menimbulkan hambatan sewaktu tinggal landas dan dapat mengontrol bagian-bagian dari gerakan lompat. Faktor yang mempengaruhi ancang-ancang adalah kecepatan. Kecepatan adalah kemampuan seseorang untuk melakukan gerakan berkesinambungan dengan bentuk yang sama dalam waktu sesingkat-singkatnya atau kemampuan untuk melakukan gerakan atau pergeseran dalam selang waktu tertentu baik ke arah horisontal, vertikal maupun berbentuk sudut (Sajoto, 2010). Kecepatan yang dimaksudkan di sini adalah kecepatan lari. Menurut Bernhard (2009), kecepatan lari merupakan salah satu syarat terpenting dalam mencapai prestasi puncak lompat jauh dan tetap berada dalam pengawasan yang arahnya telah diubah oleh dorongan tenaga yang diarahkan ke atas. Selama beberapa tahun terakhir lompat jauh telah menjadi nomor yang sering diikuti oleh
9
pelari jarak pendek (sprinter) sebagai variasi dari sprint. Car Lewi’s adalah sprinter jarak 100 meter pemecah rekor dunia yang juga berhasil dalam lompat jauh. Sekarang atlet mengkhususkan diri dalam lompat jauh walaupun masih merupakan hal yang umum bagi sprinter untuk menjadi pelompat yang baik (Carr, 2007). Panjang ancang-ancang yang diambil oleh atlet tergantung pada persentase kecepatan maksimal yang dapat dikontrol pada saat tinggal landas dan kemampuannya mempertahankan dari langkah satu ke langkah berikutnya (Hay, 2009). Juga menyarankan bila atlet mampu mempertahankan atau mengontrol sampai 100% kecepatan maksimal maka diperlukan ancang-ancang yang sama panjangnya dengan sprint enam detik yaitu 45-55 meter yang tergantung dari kecepatannya. Jika hanya mampu menjangkau 95 % dari kecepatan maksimalnya, maka ancang-ancang cukup 30 meter. Menurut Bernhard (2009) jarak ancangancang untuk pemula cukup 20 meter. Perpanjangan ancang-ancang 10-20 meter terhadap 60 orang remaja pada akhir pubertas tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Oleh karena atlet tidak ada yang memakai start jongkok maka perlu ditambah 3-5 langkah disaat atlet menyiapkan diri secara fisik dan mental untuk tinggal landas (Gambar 2.1). Tetapi kenyataanya dalam praktek 6-9 meter lebih sedikit dari teori yaitu bila mampu mengontrol 100% kecepatan maksimal, maka ancang-ancang yang dipakai 40-46 meter atau 17-23 langkah. Menurut Jarver (1999) jarak lari harus cukup jauh untuk memungkinkan peningkatan kecepatan sampai maksimal pada menjelang tinggal landas. Dengan demikian dapat dilakukan tinggal landas yang efektif.
Gerakan lari harus dilakukan secara
10
konsisten dan seragam sehingga tinggal landas dapat dilakukan secara tepat. Untuk seorang pemula jarak lari cukup 20-25 meter saja, sedangkan untuk yang sudah berpengalaman dapat ditingkatkan sampai 30-45 meter, tergantung dari yang bersangkutan mampu dalam menambah kecepatannya (Nigel dan Lewis, 2005). Menurut Graham-Smith dan John Moores dalam Mackenzie’s (2005) mengidentifikasikan secara algoritma jarak ancang-ancang dari atlet dunia yang diharapkan dapat meningkatkan hasil lompatan. Percobaan ini dibuat berdasarkan pada kecepatan awal dan jarak ancang-ancang selama 10 tahun kejuaraan junior dan senior. Kecepatan ideal untuk laki-laki 0,95 meter perdetik (m/dt) dan wanita 0,99 m/dt. Kecepatan dalam meter perdetik dihitung dari jarak 11 meter sampai satu meter dari papan tumpuan. Jumlah langkah dari ancang-ancang yang efektif tergantung dari umur. Makin tinggi umur seseorang jarak ancang-ancang yang dibutuhkan untuk mencapai lompatan maksimal semakin panjang, begitu pula sebaliknya makin rendah umurnya ancang-ancang semakin pendek. Pada umur 11 tahun ancang-ancang yang diperlukan sebanyak 11 langkah, umur 13 tahun sebanyak 13 langkah, umur 15 tahun sebanyak 15 langkah, di bawah umur 17 tahun sebanyak 17 langkah, dan di atas umur 17 tahun membutuhkan jarak ancang-ancang 21 langkah.
11
Gambar 2.1. Cara melakukan persiapan dan ancang-ancang (Carr, 2007) Ada lima cara bagi pemula untuk menentukan ancang-ancang dengan sembilan langkah (Carr, 2007) yaitu: 1. Pelompat berdiri dengan kaki yang tidak melompat (tidak dominan) diletakkan dibelakang pinggir batas jarak ancang-ancang. 2. Pelompat mulai berlari menuju ancang-ancang dimulai dengan kaki yang dominan dengan kecepatan maksimum. 3. Pelompat menghitung setiap langkah dengan kaki yang dominan dengan urutan 1, 3, 5, 7, dan 9. Ini akan lebih mudah dan tidak membingungkan dari pada menghitung setiap langkah. 4. Beri tanda langkah terakhir yang menjadi titik akhir ancang-ancang. Atlet meletakkan kaki yang tidak dominan pada tanda tersebut dan mengambil satu langkah ke arah bak pasir dengan kaki yang dominan. 5. Tanda yang diberikan boleh seperti pada langkah ke satu atau ke lima dari ancang-ancang untuk menambah kecepatan. Akan tetapi atlet yang sudah berpengalaman akan menggunakan ancangancang sembilan
langkah atau lebih. Untuk sembilan
langkah ini atlet
12
memberikan tanda seperti pada pemula dengan hitungan pada tiga
langkah
terakhir pendek-panjang-pendek seperti gambar 2.2
Gambar 2.2. Cara mengukur langkah pada ancang-ancang (Carr, 2007) Dalam cabang olahraga lompat jauh ada beberapa kesalahan yang sering dilakukan dalam ancang-ancang dan bagaimana cara penanggulangannya agar kesalahan tersebut dapat ditekan seminimal mungkin (Carr, 2007). Kesalahan tersebut antara lain: 1. Atlet terlihat tegang dan tidak berlari dalam garis lurus, yang disebabkan karena posisi kepala dan garis pandangan tidak benar karena atlet memejamkan mata atau melihat ke bawah sepanjang ancang-ancang dan atlet menggunakan percepatan dan teknik sprin yang buruk. Bisa ditekan dengan cara menyeragamkan percepatan serta gerakan kepala dan tangan benar. 2. Atlet melangkah ragu-ragu dan melakukan tinggal landas dengan kaki yang salah, terdapat ketidak teraturan berulang-ulang pada ancang-ancang yang disebabkan karena posisi start dan panjang langkah bervariasi sehingga atlet menjadi tegang ketika mengantisipasi tinggal landas. Hal ini dapat diperbaiki dengan mengukur dan memeriksa kembali ketepatan ancang-ancang dan juga tanda jarak.
Atlet diharapkan untuk melatih sprint dan percepatan pada
13
lintasan dengan menekankan pada percepatan yang terkontrol dan atlet harus memulai ancang-ancang dengan cara yang sama setiap saat. 3. Atlet melihat ke papan tumpuan atau daerah tumpuan pada saat tinggal landas yang disebabkan karena atlet merasa tidak pasti dengan ancang-ancang dan tinggal landas, dan merasa tegang sebelum dan saat tinggal landas. Ini dapat diperbaiki dengan melatih ancang-ancang berulang-ulang, menggunakan tanda jarak pada ancang-ancang dan menjaga pandangan tetap horizontal. 4. Pelompat menghasilkan lompatan yang terlalu tinggi akan tetapi tidak jauh, yang disebabkan karena menggunakan panjang langkah yang salah pada langkah terakhir.
Hal ini dapat diperbaiki dengan melatih ancang-ancang
dengan langkah sebelum langkah terakhir pada papan tumpuan, yang memaksa atlet untuk memperkirakan panjang langkah yang benar. Tanda ancang-ancang sebelum tinggal landas juga mempunyai fungsi yang sama. 2.2.2 Tinggal Landas (Tolakan) Tinggal landas dalam lompat jauh adalah mengubah gerakan lari menjadi suatu lompatan, dengan melakukan lompatan tegak lurus sambil mempertahankan kecepatan horisontal semaksimal mungkin (Jarver, 1999). Menurut Hay (2009), tinggal landas adalah kecepatan gerak vertikal atau mengangkat tubuh pada saat kaki menyokong tubuh yang besarnya menyamai kecepatan horizontal. Dengan demikian tinggal landas adalah mengubah gerakan lari (arah horisontal) menjadi suatu lompatan (arah vertikal) yang besarnya menyamai kecepatan lari sambil mempertahankan kecepatan horizontal semaksimal mungkin. Gambar saat tinggal landas diperlihatkan seperti gambar 2.3.
14
Gambar 2.3. Posisi tungkai atlet saat tinggal landas (Jarver, 1999) Menurut Jarver (1999), untuk mendapatkan lompatan maksimal perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Perubahan dari kecepatan horisontal menjadi gerakan bersudut didapat dengan cara memberikan tenaga maksimal pada kaki yang akan tinggal landas. 2. Pusat gravitasi tubuh atlet harus langsung jatuh di atas papan tumpuan begitu kaki yang akan tinggal landas menyentuhnya. 3. Kaki yang akan tinggal landas diletakkan tepat di atas papan tumpuan dengan lutut sedikit ditekuk untuk mendapatkan kekuatan. 4. Gerakan ke atas dan kedepan dilakukan dengan sekuat tenaga dibantu oleh lutut dari kaki yang memimpin dan lengan yang berlawanan dengan kaki yang digunakan tinggal landas. Tujuannya adalah untuk memperkuat daya lompat. 5. Paling baik kalau sudut tinggal landas berkisar antara 30, tergantung dari kemampuan atlet mengkombinasikan kecepatan horizontal dan gerakan membuat sudut tadi. 6. Lompatan yang lebih jauh dapat diperoleh apabila atlet menurunkan panggulnya sejak dua langkah sampai pada saat tinggal landas.
15
Untuk mengembangkan kecepatan arah vertikal menurut Sanders (2003), ada empat faktor yang mempengaruhi diantaranya: 1. Mekanisme sistem tuas, yang menggambarkan putaran arah maju dan naik dari tubuh atlet disekitar sumbu vertikal melalui pergelangan kaki. 2. Mekanisme konsentrik, yang menggambarkan aksi-aksi dari semua otot ekstensor pada saat tungkai melompat yang memendek tanpa pemanjangan. 3. Mekanisme eksentrik-konsentrik, yang menggambarkan aksi-aksi dari semua otot pada saat tungkai melompat yang mula-mula meregang dan kemudian memendek. 4. Mekanisme keleluasaan anggota gerak, yang menggambarkan gerakangerakan berayun arah naik dari lengan dan keleluasaan tungkai. 2.2.3 Fase Melayang Tujuan utama dari fase melayang adalah persiapan pendaratan dengan cara yang baik dengan tanpa kehilangan keseimbangan (Bernhard, 2009). Pada saat berada di udara tertuju pada bagaimana posisi tubuh mendarat dengan sempurna dengan menghilangkan rotasi ke depan yang hampir didapat setiap tinggal landas. Rotasi ke depan akan membawa kakinya di bawah gaya gravitasi sehingga lebih cepat mendarat. Jadi masalah utama atlet adalah berusaha untuk mengurangi efek dari rotasi ke depan. Ada tiga teknik melayang yang digunakan oleh para atlet lompat jauh yaitu; teknik terbang, menggantung, dan menendang (Hay, 2009). Teknik-teknik ini merupakan pola gerakan yang digunakan oleh atlet lompat jauh. Jika teknik menggantung atau menendang tidak digunakan maka kaki akan
16
menyentuh pasir lebih dulu dan menghasilkan jarak lompatan lebih pendek (Carr, 2007). 1. Teknik Terbang Menurut Hay (2009), karena kesederhananya teknik ini, sangat banyak digunakan oleh atlet pemula walaupun kelemahannya sangat besar. Kelemahan dari teknik ini adalah pada saat menempatkan titik berat tubuh mendekati sumbu peralihan. Jadi hal ini memberikan kemungkinan rotasi kedepan sehingga atlet jatuh kebelakang pada saat mendarat jarang terjadi, tetapi mengakibatkan kaki terlalu dini mendarat. Cara melakukannya adalah atlet membawa kedua tungkainya ke depan setelah tinggal landas seperti pada posisi duduk dengan lutut sedikit bengkok kira-kira membentuk siku seperti gambar 2.4.
Gambar 2.4 Cara melakukan teknik terbang (Hay, 2009) 2. Teknik Menggantung Setelah ancang-ancang dengan kecepatan maksimal, atlet melakukan tinggal landas dengan kuat, meluruskan tungkai yang memimpin dan menariknya ke belakang untuk bergantung bersamaan dengan tungkai yang mengikuti. Kedua lengan bergerak memutar ke bawah, ke belakang dan kemudian ke depan searah dengan putaran jarum jam, dan sementara atlet tergantung di udara.
Lutut
ditekukkan dan digerakkan ke belakang, dan saat tungkai diluruskan untuk
17
mendarat, tangan menggapai ke depan dan berputar kembali ke belakang pada bahu. Segera setelah menyentuh pasir, lutut ditekuk dan badan bergerak ke depan diatas kaki (Carr, 2007) seperti gambar 2.5.
Gambar 2.5 Cara melakukan teknik menggantung (Carr, 2007) 3.
Teknik Menendang
Kebanyakan dari pelompat jauh kelas dunia memilih teknik menendang, karena teknik terbang dan menggantung tidak dapat mencapai prestasi maksimal (Bernhard, 2009). Cara melakukan teknik ini adalah; setelah melakukan ancangancang dengan kecepatan maksimal, atlet melakukan tinggal landas dengan kuat. Lutut dari tungkai yang memimpin ditekuk saat tinggal landas, kemudian diluruskan sehingga atlet menirukan sikap melangkah saat di udara. Tungkai yang memimpin diputar ke belakang dalam keadaan lurus dan kedua lutut ditekuk dan digerakkan ke depan untuk mendarat. Lengan diputar ke depan searah jarum jam mengimbangi gerakan tungkai.
Atlet meluruskan kedua tungkai untuk
mendarat, saat lengan diputar ke depan dan ke belakang. Setelah menyentuh pasir lutut ditekuk dan badan bergerak mendahului tungkai (Gambar 2.6).
18
Gambar 2.6 Cara melakukan teknik menendang (Carr, 2007) 2.2.4 Fase Pendaratan Ancang-ancang, tinggal landas, fase melayang, dan pendaratan adalah fase-fase yang menonjol dalam lompat jauh dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Suatu pendaratan yang baik yang telah disiapkan dan ditentukan dalam fase melayang memungkinkan untuk atlet tetap tegak selama mungkin. Dalam hal ini dibutuhkan tenaga otot perut yang tinggi (Bernhard, 2009).
Tujuan dari
pendaratan adalah untuk mendapatkan suatu posisi dengan kedua kaki menyentuh pasir sejauh mungkin di depan pusat gravitasi tubuh dan untuk menjaga jangan sampai jatuh ke belakang (Jarver, 1999). Dari kedua faktor ini yang terpenting adalah posisi tubuh condong ke depan terhadap punggung (Gambar 2.7). Jika atlet memutuskan untuk condong ke depan selama akhir gerakan melayang maka kakinya diangkat dalam reaksinya untuk menunda pendaratan.
Peningkatan waktu selama berada di udara
memungkinkan untuk mendarat lebih jauh sepanjang lintasan parabola. Mencondongkan panggul ke depan mengurangi jarak pendaratan (supaya atlet tidak jatuh ke belakang) dengan memindahkan titik berat lebih dekat ke kakinya kemudian dapat mempertahankan posisi tubuh. Jika atlet mempertahankan posisi
19
tubuh tegak atau sedikit ke belakang akan mempengaruhi waktu melayang sehingga waktu pendaratannya meningkat, dan jika atlet condong ke depan sebelum mendarat maka sudut kakinya terhadap horisontal akan berkurang. Dibawah keadaan demikian besar dan arah dari gaya reaksi yang ditimbulkan dari landasan menyebabkan lebih sulit atlet mengindari terduduk ke belakang (Hay, 2009).
Gambar 2.7. Cara melakukan pendaratan (Jarver, 1999) Untuk mendapatkan pendaratan yang baik atlet harus memperhatikan halhal sebagai berikut (Jarver, 1999): 1. Posisi pendaratan yang terbaik hendaknya merupakan lanjutan dari pola melayang pusat gravitasi tubuh. Tentunya harus terletak sejauh mungkin, yaitu pada jarak horisontal terbesar antara tumit dan pusat gravitasi tubuh. 2. Tubuh bagian atas harus setegak mungkin dengan tungkai terjulur lurus ke depan. 3. Lengan yang terletak di belakang tubuh sebelum pendaratan harus segera dilemparkan ke depan, begitu kaki menyentuh pasir. Gerakan lengan ini akan membantu tubuh untuk bertumpu di atas kaki. Menurut Hay (2009) ketika tumit telah menyentuh pasir, atlet harus memutar lututnya untuk mengindari
20
benturan dan pada saat mulai memutar ke depan atlet mengangkat kepala dan bahunya untuk memberikan doronngan rotasi ke depan.
Jika pada saat
pendaratan lengan atlet sudah berada satu garis atau di belakang panggul, gerakan-gerakan ini diberikan dengan ayunan lengan ke depan dan ke atas yaitu gerakan untuk mengindari reaksi dari sisa berat tubuh dan kemudian membantu rotasi atlet ke depan melewati kakinya. Posisi pendaratan yang efisien tergantung pada teknik yang digunakan pada waktu melayang, yaitu dalam mengurangi atau memperlambat munculnya rotasi sewaktu tinggal landas. 2.3 Pelatihan Pelatihan adalah suatu usaha untuk memperbaiki sistem, organ atau alat tubuh dan fungsinya yang bertujuan untuk mengoptimalkan penampilan dan kinerja. Pelatihan merupakan suatu proses yang sistematis dari pelatihan atau bekerja dengan berulang-ulang
dengan penambahan beban pelatihan dan
pekerjaannya secara progresif (Harsono, 2010). Menurut Bompa (2010), pelatihan merupakan suatu aktifitas komplek, suatu kinerja dari atlet yang dilakukan secara sistematis dalam durasi yang panjang, progresif dan berjenjang. Jadi pelatihan adalah aktivitas tubuh yang dilakukan secara sistematis, berulang-ulang dalam waktu tertentu dengan tujuan meningkatkan kemampuan fisik, salah satu kegiatan yang harus dilakukan adalah memberikan beban pada otot dan gerakan berulang-ulang untuk meningkatkan kekuatan (Nossek, 1982).
21
Secara garis besarnya, ada 4 aspek besar pelatihan yang diperlukan dalam meningkatkan penampilan seseorang. Pelatihan itu menyangkut; pelatihan fisik, pelatihan teknik, pelatihan taktik, dan pelatihan mental. a. Pelatihan Fisik Pelatihan
fisik
berkesinambungan
dilakukan
yang
dituangkan
secara dalam
teratur,
sistematis
dan
program
pelatihan
akan
meningkatkan kemampuan fisik secara nyata akan tetapi tidak tampak bila dilakukan secara tidak teratur (Fox dkk, 2008). Sebelum melakukan pelatihan perlu diadakan pemanasan, yang merupakan syarat umum dan harus menjadikan bagian dari pelatihan. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan fisik dan mental untuk mencapai tujuan pelatihan berikutnya (Bompa, 2010). Caranya adalah dengan kalistenik, peregangan dan pelemasan gerakan tubuh secara umum yang
berubungan dengan aktifitas saraf otot
untuk
mengantisipasi gerakan berikutnya. Perkembangan kondisi fisik sangatlah penting untuk dapat mengikuti pelatihan dan perlombaan dengan sempurna. Ada beberapa kondisi fisik yang perlu dikembangkan: daya tahan kardiovaskuler,
daya
tahan
otot,
kekuatan,
kelentukan,
kecepantan,
kelincahan, daya ledak, ketepatan, keseimbangan, waktu reaksi, dan koordinasi (Sajoto, 2010). b. Pelatihan Teknik Pelatihan teknik adalah gerakan yang diperlukan untuk mempermahir teknik gerakan untuk dapat melaksanakan cabang olahraga tertentu. Pelatihan teknik
merupakan
pelatihan
yang
khusus
untuk
membentuk
dan
22
mengembangkan
kebiasaan-kebiasaan
motorik
atau
perkembangan
neuromuscular. Kesempurnaan teknik dasar dari setiap gerakan sangat penting oleh karena akan menentukan gerak keseluruhan. Sehingga setiap gerakangerakan dasar dari bentuk teknik yang diperlukan dari caban olahraga yang bersangkutan harus dapat dilatih dan dikuasai secara sempurna. c. Pelatihan Taktik. Pelatihan taktik atau siasat adalah cara-cara yang diperlukan untuk memenagkan suatu pertandingan secara sportif sesuai dengan peraturan yang berlaku
(Suharno,
2008).
Tujuan
pelatihan
taktik
adalah
untuk
mengembangkan kemampuan interpretasi atau daya tafsir pada atlet. Teknik gerakan yang sudah dikuasai dengan baik harus dituangkan dan diorganisir dalam setiap tahap pelatihan. d. Pelatihan Mental Pelatihan mental atlit juga sangat penting diperhatikan dibandingkan dengan pelatihan lainnya dan harus dilakukan pelatihan, karena betapapun sempurnanya perkembangan fisik, teknik dan taktik apabila mentalnya tidak turut dikembangkan, prestasi maksimal tidak mungkin akan tercapai. Pelatihan mental menekan pada perkembangan kedewasaan atlet serta penekanan emosi serta implusif, misalnya: semangat bertanding, sikap pantang menyerah, keseimbangan emosi walaupun berada pada keadaan tertekan. Sportifitas, percaya diri dan kejujuran. Dari uraian di atas dapat disimpulkan pelatihan adalah gerakan fisik atau aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang dalam
23
jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progresif dan individual yang bertujuan untuk memperbaiki system serta fungsi fisiologis dan psikologis tubuh agar pada saat melakukan aktifitas olahraga dapat mencapai penampilan yang optimal (Nala, 2011). 2.4 Prinsip-prinsip Pelatihan Prinsip-prinsip dasar pelatihan diuraikan oleh Nala (2011), terdiri dari 7 prinsip yaitu : 1. Prinsip Aktif dan bersungguh-sungguh Prinsip ini bertujuan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam suatu pelatihan sehingga atlet dituntut untuk selalu bertindak aktif dan mengikuti pelatihan dengan bersungguh-sungguh tanpa ada paksaan. 2. Prinsip pengembangan multilateral Sebelum pelatihan mengarah kepada spesifikasi hendaknya dibekali terlebih dahulu pelatihan dasar-dasar kebugaran badan dan komponen biomotorik. Selain itu dikembangkan pula seluruh organ dan sistema yang ada dalam tubuh, baik yang menyangkut proses fisiologis maupun psikologisnya (Nala, 2011). 3. Pinsip spesialisasi dalam pelatihan. Setelah pelatihan pengembangan multilateral dilatih, dilanjutkan dengan pengembangan khusus atau spesialisasi sesuai dengan cabang olahraga yang dilatih. Pelatihan spesialisasi baru dimulai setelah disesuaikan dengan umur yang cocok untuk cabang olahraga yang dipilih oleh anak atau atlet bersangkutan. Menurut Graham-Smith dan John Moores dalam
24
Mackenzie’s (2005), untuk melatih cabang olahraga atletik, spesialisasi umur yang dilatih antara 13-14 tahun. 4.
Prinsip pelatihan individualisasi Setiap orang mempunyai kemampuan, potensi, karakter belajar dan spesifikasi dalam olahraga, yang berbeda satu sama lainnya, sehinggga cara pelatihannyapun akan berbeda.
5. Prinsip variasi atau keserbaragaman Pelatihan yang bersifat monoton dan dilakukan secara terus menerus akan cukup membosankan. Untuk menghindari hal tersebut maka dalam pelaksanaan pelatihan perlu dibuatkan variasi pelatihan, tentunya mempunyai tujuan yang sama yaitu tetap mengacu pada tujuan pelatihan dan tidak keluar dari program pelatihan yang ditetapkan, sehingga atlet tetap bergairah dan semangat dalam berlatih (Nala, 2011). 6. Prinsip mempergunakan model proses pelatihan Model yang dimaksud dalam prinsip ini adalah imitiasi, suatu simulasi dari kenyataan yang dibuat dari elemen atau unsur spesifik dari fenomena yang diamati yang mendekati keadaan sebenarnya . 7. Prinsip peningkatan beban progresif Beban pelatihan dimulai
dengan beban awal yang ringan, kemudian
ditingkatkan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan atlet bersangkutan, makin lama semakin berat atau dapat diawali dengan gerakan sederhana kemudian ditingkatkan menjadi gerakan yang semakin rumit.
25
2.5 Prosedur Pelatihan Fisik 2.5.1 Pemanasan Suatu aktivitas fisik, baik kerja atau olahraga sangat perlu dilakukan pemanasan yang cukup memadai, karena ketika beristirahat sistema tubuh berada dalam keadaan tidak aktif. Untuk itu perlu diadakan adaptasi selama beberapa menit, baik fisik maupun fsikologis dari sikap pasif ke sikap aktif.
Akibat
dilakukan pemanasan ini suhu tubuh meningkat terutama otot lurik meningkat dengan cepat. Jumlah darah yang mengangkut oksigen ke otot lurik meningkat pula yang akan mengaktifkan sumber energi di dalam otot dan merangsang keluarnya hormon serta meningkatkan kerja enzim (Nala, 2011 ). Pemanasan dapat dilakukan secara aktif maupun pasif. Pemanasan aktif adalah pemanasan yang dilakuan dengan menggunakan aktivitas pisik sedangkan pemanasan pasif adalah pemanasan yang tidak melibatkan aktivitas pisik (Fox, 2008). Menurut Bompa (1993), mengatakan pemanasan pasif adalah cara pemanasan yang bertujuan semata-mata untuk meningkatkan suhu tubuh seperti : mandi dengan air panas, menggunakan selimut panas, sinar infra merah atau pijat. Ternyata efeknya terhadap sistema organ tubuh amat terbatas, tidak setinggi apabila dilakuan pemanasan secara aktif (kontraksi otot). Pemanasan merupakan syarat yang umum dan harus menjadi bagian dari pelatihan. Fisik dan mental atlet perlu dipersiapkan untuk mengikuti pelatihan berikutnya. Lamanya pemanasan untuk mengerahkan seluruh otot tubuh berkisar antara 20-30 menit atau 10-20 menit (Bompa, 2010). Ada pula dengan memakai
26
patokan frekuensi denyut nadi, yaitu bila frekuensi denyut nadi telah meningkat 20-40 denyut di atas denyut nadi istirahat (Powers dan Howley, 2007). Tipe pemanasan yang dilakukan selama pemanasan tergantung dari cabang olahraga yang dilakukan, tipe pemanasan ada tiga antara lain 1) peregangan yang merupakan aktivitas otot pertama kali dilakukan dalam pemanasan; 2) kalistenik dengan cara menggerakkan sekelompok otot yang secara aktif berulang-ulang dengan tujuan untuk meningkatkan suhu dan aliran darah pada otot yang bersangkutan; 3) aktivitas spesifik yaitu aktivitas yang disesuaikan dengan jenis olahraga yang dilatih (Nala, 2011). 2.5.2 Pelatihan Inti Metode pelatihan inti yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah lari lompat rintangan dengan tinggi rintangan 50 centimeter. Metode lari lompat rintangan dimana subjek berlari secepat-cepatnya kemudian melompati rintangan setingi 50 centimeter diulang sebanyak lima kali (lima repetisi) dan dilakukan sebanyak tiga
set dengan istirahat antar set adalah lima
menit. Sedangkan
Metode lari lompat rintangan dimana subjek berlari secepat-cepatnya kemudian melompati rintangan setingi 30 centimeter diulang sebanyak lima kali (lima repetisi) dan dilakukan sebanyak tiga set dengan istirahat antar set adalah lima menit. Pelatihan ini berlangsung selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali seminggu (Senin, Rabu, Jumat). Pelatihan yang berlangsung selama 6-8 minggu dikatakan oleh Pate (2007) akan memberikan efek yang cukup berarti bagi atlet yang akan mengalami penigkatan 10%-20%. Selanjutnya Fox (2008), menyatakan
27
pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu adalah sesuai untuk pemula dan akan menghasilkan peningkatan yang berarti. 2.5.3 Pendinginan Pendinginan dilakukan untuk mengembalikan kondisi tubuh ke keadaan semula. Tujuan utama dari pendinginan adalah menarik kembali secepatnya darah yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif sebelumnya ke peredaran sentral. Selain itu berfungsi pula untuk membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat yang berada di dalam otot dan darah (Nala, 2011). Bentuk pelatihan pendinginan yang biasa dianjurkan adalah dengan istirahat aktif. Karena asam laktat cepat di metabolisme secara aerobik sehingga menghasilkan CO2 + H2O yang menyebabkan asam laktat cepat berkurang. Begitu selesai melakukan aktivitas atau pelatihan tidak langsung duduk tetapi melakukan gerakan-gerakan ringan seperti jalan-jalan atau mengerak-gerakkan anggota tubuh mulai dari anggota gerak atas dan dilanjutkan anggota gerak bawah secara ringan (Nala, 2011). Lamanya pendinginan berkisar antara 10 – 15 menit (Powers dan Howley, 1990). Pelatihan pendinginan yang dalam penelitian ini dilakukan selama 15 menit yang diawali dengan gerakan-gerakan lambat dimulai dari kepala, leher, bahu, lengan, pinggang, dan anggota gerak bawah dengan hitungan delapan kali pada masing-masing gerakan. Selanjutnya dilakukan peregangan mulai dari leher, lengan, bahu, pinggang dan anggota gerak bawah sebanyak
delapan
kali
hitungan pada masing-masing serta menarik nafas panjang secara perlahan dan menghebuskan nafas juga secara perlahan (Powers dan Howley, 2007).
28
2.6 Daya Ledak Otot Daya ledak adalah terjemahan dari kata power yang merupakan salah satu komponen Biomotorik yang diidentikan dengan kekuatan eksplosif (explosive sterngth). Daya ledak otot merupakan unsur penting dalam hampir semua cabang olahraga yang memerlukan kekuatan dan kecepatan (Nala, 2011). Sedangkan Fox (2008), menyatakan daya ledak adalah kemampuan seseorang untuk menampilkan kerja maksimum per satuan waktu (menit). Selanjutnya Harsono (2010) menyatakan daya ledak adalah kemapuan otot untuk mengatasi tahanan dengan kontraksi yang sangat cepat untuk melakukan aktivitas secara tiba-tiba dan sangat penting untuk cabang-cabang olahraga yang eksplosif seperti: sprint, lari gawang, nomor-nomor lempar dan nomor-nomor lompat dalam atletik.Juga dikatakan bahwa power adalah hasil dari force x velocity, dimana force adalah sepadan (equivalen) dengan strength dan velocity). Daya ledak adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas secara tiba-tiba dan cepat dangan menggunakan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat. (Nala, 2011).Daya ledak ini sering pula disebut kekuatan ekplosif, ditandai adanya gerakan atau perubahan yang tiba-tiba yang cepat dimana tubuh terdorong keatas atau vertikal baik dengan cara melompat (satu kaki menapak) ataupun meloncat
( dua kaki menapak,
melompat tinggi) atau tedorong ke depan
(horisontal,lari cepat, lompat jauh) dengan menggerakan kekuatan olahraga maksimal. Dalam daya ledak ini termasuk pula gerakan tiba-tiba dan cepat dari gerakan lari ke lompat. Terdapat pertalian yang kuat antara kekuatan maksimum, kekuatan kecepatan dan kualitas kecepatan. Kekuatan kecepatan tergantung secara
29
langsung pada perlawanan yang hendaknya ditanggulangi (berat badan dalam lompatan dan lari, berat lemparan peralatan, dan sebagainya) dan jumlah kontraksi-kontraksi gerakan tunggal pada lari dan lompat dan kontraksi yang berulang-ulang dalam olahraga lari (Nossek, 1982). Ditinjau dari beban yang dihadapi daya ledak diklasifikasikan menjadi dua yaitu daya ledak asiklik dan daya ledak siklik. Daya ledak asiklik adalah daya ledak yang dihasilkan dari suatu gerakan tertentu dalam waktu yang singkat, seperti gerakan melempar, melompat, senam, lompat indah dan olahraga yang menerapkan kinerja lompatan atau lompatan (Bompa, 2010). Sedangkan daya ledak siklik adalah daya ledak yang dihasilkan oleh kinerja gerakan berturut-turut yang sama atau berulang-ulang yang dilakukan dalam waktu tertentu, contohnya lari cepat, berenang, mengayuh sepeda atau olahraga yang berkaitan kecepatan. Sedangkan Berger (2008) mengklasifikasikan daya ledak menjadi dua yaitu daya ledak absolut dan relatif. Daya ledak absolut, berarti kekuatan untuk mengatasi suatu beban eksternal yang maksimum, sedangkan daya ledak relatif adalah kekuatan yang digunakan untuk mengatasi beban yang berupa berat badan sendiri. Selanjutnya Nala (2011) mengatakan
pembagian daya ledak sesuai dengan
spesifikasinya terdiri atas : daya ledak eksplosif (eksplosif power), daya ledak cepat (speed power), daya ledak kuat (strength power) dan daya ledak tahan lama (endurance power). Daya ledak dipengaruhi oleh kekuatan dan kecepatan yang berupa kekuatan kontraksi otot dan kecepatan rangsangan syaraf. Usaha untuk meningkatkan daya ledak dapat dilakukan dengan cara: meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan
30
kecepatan atau titik beratnya pada kekuatan, meningkatkan kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan atau titik beratnya pada kecepatan, serta meningkatkan keduanya sekaligus, kekuatan dan kecepatan dilatih secara simultan. 2.7 Pelatihan Pliometrik Pelatihan pliometrik termasuk salah satu bentuk pelatihan fisik untuk mengembangkan sistem neuro-muskular (Bompa, 2010). Pliometrik adalah model pelatihan daya ledak otot tungkai yang diartikan sebagai menambah ukuran daya ledak otot (Nala, 2011). Pelatihan pliometrik merupakan suatu pelatihan yang mempunyai ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang kuat dan yang merupakan respons dari pembebanan dinamik atau regangan yang cepat dari otot terkait. Istilah lainnya ; reflek regangan atau reflek pilihan otot Pelatihan pliometrik ditujukan pada tiga kelompok otot besar dalam tubuh, yaitu : kelompok otot tungkai dan pinggul, kelompok otot bagian tengah tubuh (otot perut dan punggung), dan kelompok otot dada, bahu serta lengan (Radcliffe dan Farentinos, 2005). Pliometrik adalah suatu metode pelatihan yang diperuntukan meningkatkan muscle explosive power. Tekanan pelatihan pliometrik terhadap otot tungkai dan pinggul (Bompa, 2010) dengan cara : a. Skips adalah melompat dan melangkah bergantian, dengan tujuan baik tinggi lompatan maupun jauhnya jarak lompatan horisontal. b. Bouds adalah lompatan dengan kedua tapak kaki bertumpu pada lantai, melambung maksimum ke atas agar tercapai lompatan horisontal sejauhjauhnya.
31
c. Hops adalah lompatan (dua tapak kaki) vertikal maksimum dengan didahului menekukkan tungkai pada lutut, dimana yang dipentingkan adalah luasnya gerakan sendi lutut. d. Jumps adalah melompat (dua telapak kaki) setinggi mungkin tanpa menghiraukan berapa jauhnya lompatan horisontal ke depan. e. Leaps adalah melompat vertikal dan horisontal semaksimal mungkin, dengan satu (lompat) atau dua (loncat) tungkai. f. Ricochets adalah melompat-lompat (dua tapak kaki) dengan cepat, dimana tinggi dan jauhnya lompatan seminimal mungkin. Dasar fisiologis dari pelatihan pliometrik diawali dengan fase kontraksi yang menimbulkan peregangan dari tendon, ligamen, elemen elastis dan elemen kontraksi otot. Peregangan yang terjadi akan memacu aktivitas sistem saraf sensoris dan motoris otot.
Peningkatan aktivitas sistem saraf akan
membangkitkan kontraksi otot dan peregangan yang terjadi akan memacu aktivitas sistem saraf sensoris dan motoris otot. Selanjutnya peningkatan aktivitas sistem saraf akan membangkitkan kontraksi kosentrik yang lebih kuat dan cepat (eksplosif). Gerakan yang berulang-ulang akan menambah kepekaan dari sistem neuromousculer. Pelatihan pliometrik berhubungan langsung dengan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot, maka secara langsung juga akan mempengaruhi daya ledak otot (Nala, 2011). Pelatihan pliometrik ini bersifat anaerobik. Energi yang dipakai untuk menunjang aktivitas berasal dari sistem energi asam laktat (adenosin tri fosfatkreatin fosfat) dan asam laktat. Maksimal tenaga anaerobik ini akan habis dalam
32
waktu 34 detik (Suharno, 2008). Karena bersifat anaerobik proses pemulihan memerlukan waktu yang berkisar 3-5 menit. Ada dua kelompok besar dari aspek benturan terhadap bidang tumpuan kaitannya dengan pelatihan pliometrik yaitu ; kelompok low impact exercises dan high impact exercises (Bompa, 2010). Aktivitas yang termasuk benturan tinggi antara lain lompat jauh dengan awalan. Aktivitas seperti skipping, rope, lompat langkah pendek dan rendah termasuk pelatihan pliometik benturan rendah. Peningkatan daya ledak otot bergantung pada pemakaian takaran pelatihan. Takarannya meliputi tipe aktivitas, jangka waktu pelatihan dan fase pelatihan yaitu pemanasan, peregangan dan pendinginan. Takaran pelatihan pliometrik biasa dimulai dari intensitas rendah, dengan volume (6-10 repetisi, tiga set, dan istirahat antar set dua menit) dan frekuensi latihan 3-4 kali seminggu (Nala, 2011). Secara bertahap tubuh akan mengadaptasi beban pelatihan. Selama jangka waktu pelatihan akan terjadi perubahan pada kapasitas fungsi tubuh seperti fungsi sistem vaskuler, sistem neuro-muskular dan sistem penyediaan energi. Besarnya perubahan ditentukan oleh kapasitas fungsi organ dalam mengantisipasi bebanbeban pelatihan seperti peningkatan kekuatan, kecepatan fungsional organ (Clarke, 2005). Intensitas pelatihan adalah kualitas beban pelatihan terdiri dari ; repetisi, volume, interval isitrahat (Harsono, 2010). Tingkatan-tingkatan intensitas beban pelatihan adalah sebagai berikut : 1.
Intensitas rendah 30 – 50 % dari kemampuan maksimal
33
2.
Intensitas ringan 51 – 60 % dari kemampuan maksimal
3.
Intensitas sedang 61 – 75 % dari kemampuan maksimal
4.
Intansitas sub maksimal 76 – 85 % dari kemampuan maksimal
5.
Intensitas maksimal 86 – 100 % dari kemampuan maksimal
6.
Intensitas super maksimal 101 – 105 % Jumlah ulangan gerakan pada waktu melakukan pelatihan disebut repitisi.
Repitisi maksimum adalah jumlah ulangan maksimum yang mampu dilakukan seseorang. Dalam kaitannya dengan beban pelatihan maka maksimum repitisi ditentukan berdasarkan tingkatan beban pelatihan. Pada pelatihan pliometrik kualitas intensitas pelatihan berbanding langsung dengan tinggi rintangan serta jauhnya jarak lompatan. Volume pelatihan berhubungan dengan kualitas beban pelatihan yang dapat dinyatakan dengan jumlah lompatan (berapa kali), jarak (meter), waktu (menit), dan set (jumlah giliran). Interval istrahat dibebankan antara set yang satu dengan set yang berikutnya. Lama pelatihan yang dapat memberikan pengaruh terhadap kapasitas fungsi tubuh adalah 6 – 8 minggu. 2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jarak Lompatan Faktor- faktor yang mempengaruhi jarak lompatan menurut Bernhard (2009) antara lain : a. Faktor-faktor kondisi fisik : kecepatan, tenaga lompat dan tujuan yang diarahkan pada ketrampilan. b. Faktor-faktor teknik : ancang-ancang, persiapan lompat dan perpidahan, fase melayang dan pendaratan.
34
Menurut Bernhard (2009), kecepatan lari merupakan salah satu syarat terpenting dalam mencapai prestasi puncak lompat jauh dan tetap berada dalam pengawasan yang arahnya telah diubah oleh dorongan tenaga yang diarahkan ke atas. Tenaga lompat dari pelompat jauh muncul terutama dari dorongan tenaga yang ditujukan saat melompat. Oleh karena itu kecepatan ancang-ancang diubah pada satu saat dalam ketinggian (mencapai sudut perbatasan yang maksimal), dan selanjutnya perpidahan kaki akan dapat mengurangi kecepatan. Hal ini akan menyebabkan bertambahnya tenaga lompat, yang akhirnya akan meningkatkan hasil lompatan. Kecepatan ancang-ancang dan tenaga lompat harus selalu dalam perbandingan yang tepat satu sama lainnya. Selain faktor- faktor di atas, faktor- faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil lompatan adalah faktor internal dan faktor eksternal. 2.8.1 Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet sendiri diantaranya; umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, indek masa tubuh, teknik, mental, motivasi, dan disiplin. 1. Umur,
menunjukkan tingkat
kematangan yang dikaitkan dengan
pengalaman. Kekuatan lebih rendah pada anak-anak dan meningkat di usia remaja serta mencapai puncaknya pada umur 20-30 tahun. Puncak prestasi atletik dapat dicapai antara umur 18-23 tahun (Nala, 2011). 2. Jenis kelamin, Secara biologis laki-laki dan wanita akan berbeda kekuatan dan kecepatan karena adanya hormon testoteron pada laki-laki dan wanita
35
tidak. Pada umur 18 tahun ke atas laki-laki mempunyai kekuatan 2 kali lebih besar dari wanita (Bompa, 2010). 3. Berat badan, akan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil lompatan. Berat badan merupakan salah satu faktor yang menentukan pusat grafitasi yang nantinya akan menentukan keseimbangan statik maupun keseimbangan dinamik. Keseimbangan akan menentukan besarnya daya ledak saat terjadi gerakan melompat (take off) saat di udara dan mendarat (Nala, 2011). 4. Tinggi badan, secara biomekanika menjelaskan semakin tinggi titik tempat melompat maka semakin tinggi kemungkinan proyektil mencapai titik maksimum menyebabkan semakin jauh hasil lompatan (Nala, 2011). 5. Kebugaran fisik, sangat diperlukan oleh setiap individu sehingga aktivitas dapat dilakukan dengan baik (Hairy, 2009). Kebugaran fisik berhubungan erat dengan kapasitas aerobik seseorang. Semakin baik kapasitas aerobik seseorang makin baik pula kebugaran fisiknya (Sukarman, 2006). Kebugaran fisik dapat diukur dengan berlari secepat-cepatnya sejauh 2,4 km yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit, ketelitian 0,01 menit. Penilaian kebugaran fisik untuk putra dan putri berdasarkan umur terlihat pada Tabel 2.1 (Ananto dkk, 2000). 6. Teknik. Teknik sangat menentukan hasil lompatan. Tanpa penguasaan teknik yang memadai sulit untuk memperoleh prestasi yang diharapkan. Teknik tersebut mulai dari ancang-ancang, tingal landas, fase melayang, dan pendaratan. Dalam penelitian ini semua sampel dianggap mempunyai
36
teknik yang sama karena semua sampel sebelumnya belum pernah diajarkan pelatihan teknik.
Dan sebelum pengambilan data diajarkan
teknik dasar dengan volume, waktu dan teknik yang sama dan telah dicoba dengan kesempatan yang sama setiap sampel (Nala, 2011). Tabel 2.1 Penilaian tes lari 2,4 km Cooper. Dikutip dari : Ananto dkk, 2000. Kesegaran Jasmani dan Kesehatan Mental 13-19 20-29 30-39 40-49 50-59 Kategori Pa/Pi > 60 th Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Jelek Pa >15:31 > 16:01 > 16;31 > 17:31 > 19:01 > 20:01 sekali Pi >18:31 > 19:01 > 19:31 > 20:01 > 20:31 > 21:01 12:1114:0114:4415:3617:0119:01Pa 15:30 16:00 16:20 17:30 19:00 20:00 Jelek Pi 16:5518:3119:0119:3120:0121:0018:30 19:00 19:30 20:00 20:30 21:31 10:4912:0112:3113:0114:3116:16Pa 12:10 14:00 14:45 15:35 17:00 19:10 Sedang Pi 14:3115:5516:3117:3119:0119:3116:54 18:30 19:00 19:30 20:00 20:30 09:4110:4611:0111:3112:3114:00Pa 10:48 12:00 12:30 13:00 14:30 15:25 Baik Pi 12:3013:3114:3115:5616:3117:3114:30 15:54 16:30 17:30 19:00 19:30 08:3709:4510:0010:3011:0011:15Baik Pa 0940 10:45 11:00 11:30 12:30 13:59 sekali Pi 11:5012:3013:0013:4514:3016:3112:29 13:30 14:30 15:55 16:30 17:30 Pa < 08:37 < 0945 < 10:00 < 10:30 < 11:00 < 11:30 Luar biasa Pi < 11:50 < 12:30 < 13:00 < 13:45 < 14:30 < 16:30
7. Genetik, bersifat pembawaan yang sering kal;i ikut berperan dalam penampilan fisik seperti proporsi tubuh, karakter, psikologis, otot putih dan otot merah dan suku (Baley, 2006). Pengaruh genetik terhadap kecepatan, kekuatan dan daya tahan pada umumnya berhubungan dengan komposisi serabut otot yang terdiri dari serabut otot putih dan serabut otot merah. Atlet yang memiliki lebih banyak serabut otot putih, lebih mampu
37
untuk melakukan kegiatan yang bersifat anaerobik, sedangkan atlet yang lebih banyak memiliki serabut otot merah lebih tepat untuk melakukan kegiatan yang bersifat aerobik. Dengan demikian faktor genetik juga berpengaruh terhadap hasil lompatan. 2.8.2 Faktor Eksternal Faktor eksternal sangat mempengaruhi penampilan fisik atlet.
Faktor
tersebut menyangkut; suhu dan kelembaban lingkungan, arah dan kecepatan angin, dan ketinggian tempat. 1. Suhu dan kelembaban relatif udara. Suhu lingkungan yang terlalu ekstrim (dingin atau panas) akan mempengaruhi aktivitas kerja otot . Pelatihan yang dilakukan pada suhu yang sangat panas dapat menyebabkan atlet mengalami dehidrasi, jika tidak dimbangi dengan pemberian cairan akan berpengaruh terhadap konsentrasi cairan tubuh yang akan berdampak pada kelelahan. Sebaliknya pelatihan yang dilakukan pada suhu yang sangat dingin akan menyebabkan atlet sulit mempertahankan panas sehingga dapat mengalami cramps. Pada umumnya orang Indonesia beraklimatisasi pada suhu tropis 29-30ºC dengan kelembaban relatif bervariasi antara 8595%. Bila atlet biasa berlatih pada suhu kering sebesar 29ºC kemudian akan bertanding pada tempat panas dengan temperatur lebih tinggi, maka harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan selama 12-14 hari dan bila temperatur tempat bertanding lebih kecil dibandingkan tempat latihan penyesuaian hanya beberapa hari saja. Penyesuaian ini dilakukan dengan cara berlatih di tempat bertanding dalam waktu tertentu atau membuat
38
ruangan tempat berlatih yang suhunya sama dengan tempat bertanding (Berger, 2008). Penurunan atau peningkatan temperatur kering udara secara langsung akan mempengaruhi kelembaban relatif udara dengan perbandingan berbanding terbalik (Kanginan, 2000). Perubahan ini akan mempengaruhi penampilan fisik atlet bila berada diluar batas kenyamanan. Menurut Manuaba (2003) batas kenyamanan bagi orang Indonesia berkisar antara 70-80%. Oleh karena itu penelitian sebaiknya dilakukan pada tempat yang nyaman dengan mempertimbangkan tempat dan waktu penelitian. 2. Kecepatan angin. Kecepatan angin yang terlalu tinggi dari arah yang berlawanan
akan
dapat
menghambat
aktivitas
sehingga
akan
mempengaruhi hasil lompatan. Dalam Penelitian ini arah dan kecepatan angin dalam batas toleransi, diharapkan pengaruhnya dapat ditekan sekecil-kecilnya (Nala, 2011). 3. Ketinggian tempat. Ketinggian suatu tempat akan mempengaruhi kinerja atlet. Semakin tinggi suatu tempat makan akan semakin rendah kadar oksigennya. Kondisi ini akan membutuhkan adaptasi yang lebih baik dari atlet yang sedang berlatih (Pate dkk, 2007). 2.9 Pelatihan Lari Lompat Rintangan (Kardus) Takaran pelatihan untuk meningkatkan otot dalam upaya meningkatkan komponen daya ledak menurut Nala (2002) antara lain : repitisi (ulangan) 1 – 5 kali, set terdiri dari 3 - 5 set bagi pemula atau 5 - 8 set bagi atlet terlatih dengan istirahat antar set
2 - 5 menit, dan frekuensi pelatihan tiga kali seminggu.
39
Pelatihan berlangsung selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali seminggu (Senin, Rabu, Jumat). Menurut Pate dkk. (2007), pelatihan yang berlangsung selama 6 – 8 minggu akan memberikan efek yang cukup berarti bagi atlet yaitu mengalami peningkatan 10 – 20%, maka sebaiknya evaluasi dilaksanakan setelah 6 – 8 minggu pelatihan. Model pelatihan yang dipilih dalam suatu program pelatihan hendaknya disesuaikan dengan tujuan, metode dan isi simulasi serta sejalan dengan apa yang akan dihadapi dalam pertandingan (Nala, 2002). Selanjutnya Bernhard (1993) mengemukakan persiapan lompatan merupakan fase yang terpenting untuk mendapatkan hasil yang baik yang diperoleh dari
kecepatan horizontal dan
kekuatan. Komponen biomotorik yang dominan pada nomor lompat jauh ini adalah daya ledak. Daya ledak adalah perpaduan kekuatan dan kecepatan. Untuk mendapatkan daya ledak yang baik maka kekuatan dan kecepatan harus baik. Daya ledak sering pula disebut kekuatan eksplosif, ditandai dengan adanya gerakan atau perubahan tiba-tiba yang cepat, dimana tubuh terdorong ke atas atau vertikal baik dengan cara melompat (satu kaki menapak) ataupun meloncat (dua kaki menapak), atau terdorong ke depan horizontal dengan mengerahkan otot maksimal (Nala, 2011). Sedangkan pada nomor lompat jauh memerlukan daya ledak dimana tubuh terdorong ke depan horizontal. 2.10
Sistem Energi Dasar dalam penyusunan program pelatihan adalah mengetahui sistem
energi yang utama digunakan yang dikenal dengan istilah sistem energi
40
predominan. Pengetahuan ini perlu untuk menentukan model pelatihan yang dapat berpengaruh terhadap sistem energi yang dibutuhkan. Sistem energi dalam tubuh manusia dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: Sistem ATP – PC (phospat creatin), Sistem Asam Laktat dan Sistem Aerobik (Fox dkk, 2008). Energi dapat dibedakan menjadi dua yaitu energi kinetik dan energi potensial. Energi kinetik adalah energi yang berhubungan dengan obyek karena menghasilkan gerakan. Sedangkan energi potensial adalah yang berhubungan dengan subjek, karena struktur dan potensinya. Makanan yang dikomsumsi tidak dapat langsung digunakan untuk kontraksi otot. Oleh karena itu harus diubah menjadi energi kimia yang berbentuk ATP. Selain digunakan untuk kontraksi otot, ATP juga digunakan untuk prosesproses lain yang vital bagi kehidupan manusia seperti sintesis protein, transport aktif dan aktivitas metabolisme. Apabila ATP pecah menjadi ADP dan Pi, maka sejumlah energi akan dikeluarkan, energi ini merupakan sumber tenaga yang dapat digunakan untuk kontraksi. Apabila salah satu senyawa dilepaskan dari ATP maka akan keluar energi sebesar 7 – 12 Kcal (Fox dkk, 2008). Pengklasifikasian pemakaian energi berdasarkan aktivitas olahraga dikemukakan oleh Fox (2008) sebagai berikut : 1. Pemakaian energi lebih kecil dari 30 detik, menggunakan sistem ATP-KP (Sistem Phospagen). 2. Pemakaian energi antara 30 – 90 detik, menggunakan sistem ATP-KP dan asam laktat.
41
3. Pemakaian energi antara 90 – 180 detik, menggunakan sistem asam laktat dan oksigen. 4. Pemakaian energi lebih besar dari 180 detik, menggunakan sistem oksigen. Penampilan seorang atlet dikatakan oleh Carr (2007) sangat tergantung dari penampilannya menggunakan metabolisme energi.
energi yang dihasilkan melalui proses