7 BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevan 1.
Teori Belajar Banyak teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli, akan tetapi tidak ada yang dapat dikatakan hanya teori tertentu saja yang benar, karena pada dasarnya masing-masing teori belajar mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Teori belajar yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah teori belajar menurut Jean Piaget, Vygotsky dan Ausubel. a.
Teori Jean Piaget Menurut Piaget, anak-anak dan orang dewasa menggunakan pola mental
(skema)
untuk
memandu
perilaku
atau
kognisi,
dan
menginterpretasikan pengalaman atau materi baru berdasarkan dengan skema yang ada, tetapi untuk materi baru yang akan diasimilasi, terlebih dahulu harus sesuai dengan skema yang sudah ada (Cakir, 2008). Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang. Pengetahuan
dibangun
dalam
pikiran.
Setiap
individu
membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial. Perkembangan kognitif yang digambarkan oleh Piaget meliputi tahapan-tahapan berikut: 1) Tahap sensori motor (umur 0-2 tahun) Pada tahap ini siswa mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik
dan
motorik.
Siswa
mengenal 7
lingkungan
dengan
8 penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan menggerakgerakkannya. 2) Pra-operasional (umur 2-7 tahun) Pada tahap ini, siswa mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakan symbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar, dan menggolonggolongkan. 3)
Operasional konkret (umur 7-11 tahun) Pada tahap ini siswa dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis, walau kadang-kadang memecahkan masalah secara “trial and error”.
4)
Operasi formal (umur 11 tahun - ke atas) Pada tahap ini siswa dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa (Dimiyati & Mudjiono, 2009). Berdasarkan
uraian
tersebut,
perkembangan
kognitif
yang
digambarkan Piaget merupakan proses adaptasi intelektual. Adaptasi ini merupakan proses yang melibatkan skemata, asimilasi, akomodasi, dan equilibration. Skemata adalah struktur kognitif berupa ide, konsep, gagasan. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif (schemata) yang ada sekarang. Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru. Equilibration adalah pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi (Suprijono, 2012). Sumbangan teori belajar Jean Piaget dengan penelitian ini adalah memberikan pemahaman pentingnya interaksi siswa dengan lingkungan ketika mempelajari materi hidrolisis garam. Pada penelitian ini, siswa dituntut aktif membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungan agar fungsi inteleknya berkembang. Siswa diharapkan mampu mengorganisasi atau menghubungan informasi baru yang mereka peroleh
9 dengan pengetahuan yang telah siswa miliki sebelumnya melalui adaptasi intelektual. b. Teori Vygotsky. Ciri khusus dari teori Vygotsky yaitu zona perkembangan, zone of development. inti terkait dengan konsep Vygotsky tentang zone of proximal development (ZPD). Dalam konsep ini disampaikan bahwa ada perbedaan antara apa yang dapat dilakukan siswa secara sendiri dengan apa yang dilakukan oleh siswa dengan bantuan guru ataupun orang tua. Vygotsky meyakini bahwa siswa-siswa mengikuti contoh-contoh yang diberikan oleh orang dewasa dan secara bertahap kecakapan untuk melakukan
mengembangkan
tugas-tugas tertentu tanpa bantuan atau
pendampingan orang lain. Proses atau cara memberikan bantuan yang diberikan oleh orang dewasa atau teman sebaya lebih berkompeten agar siswa beranjak dari zona aktual atau ZAD (zone of actual development) menuju zona potensial atau ZpoD (zone of petential development)
sebagai scaffolding. ZPD
menurut Vygotsky adalah sebagai zona antara tingkat perkembangan aktual, yang ditentukan melalui pemecahan masalah yang dapat diselesaikan secara individu (ZAD) dengan tingkat perkembangan potensial (ZpoD), yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bimbingan orang dewasa, atau dengan cara berkolaborasi dalam teman sebaya. Ketika masuk dalam ZPD, maka siswa sebenarnya bisa, tetapi akan lebih optimal jika orang dewasa atau pendamping yang lebih tahu, membantunya untuk mencapai tingkat perkembangan actual. Bantuan yang diberikan disebut sebagai scaffolding. Scaffolding adalah pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah siswa dapat melakukannya (Sumani, 2014). Sumbangan teori belajar Vygotsky dalam penelitian ini adalah memberikan pemahaman pentingnya bantuan baik oleh guru, orang tua,
10 teman sebaya sebagai scafolding pada saat siswa belajar. Ketika melakukan
kegiatan
praktikum,
masing-masing
individu
akan
berkerjasama satu dengan yang lain sebagai Scaffolding dalam suatu kelompok untuk mengkonstruksi konsep sifat larutan garam sehingga pada suatu saat diharapkan apa yang telah dipelajari bersama-sama dengan temannya masing-masing siswa dapat menerapkan konsep yang diperoleh untuk menganalisis dan menjawab persoalan secara mandiri. c. Teori Ausubel Menurut Ausubel, informasi yang bermakna disimpan dalam jaringan fakta atau konsep yang terhubung yang disebut sebagai skema. Informasi baru, yang sesuai dengan skema yang ada, adalah lebih mudah dipahami, dipelajari, dan dipertahankan daripada informasi yang tidak sesuai dengan yang skema ada (Cakir, 2008). Belajar menurut ausuble diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui
penerimaan
atau
penemuan.
Sedangkan
dimensi
kedua
menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Dalam hal ini struktur kognitif adalah fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Pada
tingkat
pertama
dalam
belajar,
informasi
dapat
dikomunikasikan pada siswa dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep atau lainnya) yang telah dimilikinya; sehingga terjadi belajar bermakna. Tetapi, siswa dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar hafalan. (Dahar, 2011: 94-95).
11 Inti teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif sesorang. Prasyarat-prasyarat belajar bermakna adalah sebagai berikut: 1) Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial. 2) Siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, sehingga siswa yang akan belajar mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna. Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna.
Banyak
siswa
mengikuti
pelajaran-pelajaran
yang
kelihatannya tidak relevan dengan kebutuhan mereka pada saat itu. Dalam pelajaran-pelajaran demikian, materi pelajaran dipelajari secara hafalan. Para siswa kelihatannya dapat memberikan jawaban yang benar tanpa menghubungkan materi itu pada aspek-aspek lain dalam struktur kognitif mereka (Dahar, 2011). Berdasarka uraian belajar menurut Ausubel maka, dapat diketahui bahwa inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Sumbangan teori Ausubel terhadap penelitian ini adalah dalam penelitian ini akan terjadi pula proses belajar bermakna. Siswa diharapkan dapat melakukan belajar penerimaan dan juga penemuan untuk memperoleh informasi atau konsep yang kemudian dihubungkan dengan struktur kognitif yang telah ada. Materi hidrolisis garam merupakan materi yang kompleks. Di dalamnya terdapat konsep-konsep dan reaksi-reaksi kimia. Siswa diharapkan dapat menemukan sendiri materi yang akan diajarkan, mampu menghubungkan pengetahuan yang baru diperolehnya dengan pengetahuan sebelumnya yang telah ia miliki, dan dapat menemukan sendiri cara penyelesaian masalah yang muncul.
12 2.
Kimia dan Pembelajaran Kimia Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) kimia merupakan ilmu yang termasuk rumpun IPA, oleh karena itu kimia mempunyai karakteristik sama dengan IPA. Karakteristik tersebut adalah objek ilmu kimia, cara memperoleh, serta kegunaannya. Kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat. Mata pelajaran kimia di SMA/MA mempelajari segala sesuatu tentang zat yang meliputi komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat yang melibatkan keterampilan dan penalaran. Ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) temuan ilmuwan dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah), sehingga pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. Menurut Johnstone (2006), Kimia merupakan pelajaran yang sulit. Kesulitan dalam mempelajari ilmu kimia dapat dilihat dari karakteristik mata pelajaran kimia yang mencakup tiga tingkat pemikiran seperti tertera pada Gambar 2.1. Makro dan Nyata (macro and tangible)
Submikro representasional (submicro) (representational) Gambar 2.1. Segitiga Kimia Menurut Johnstone Level makro dan nyata (macro and tangible) adalah fenomena yang dapat diamati secara dapat dilihat, disentuh dan dicium. Level submikro (submicro) adalah yang tidak dapat diamati secara kasat mata. Sedangkan level representasional (representational) adalah representasi submicro kedalam suatu simbol, rumus, persamaan, molaritas, manipulasi matematika
13 dan grafik. Tiga tingkat pemikiran dalam ilmu kimia tidak ada yang lebih unggul antara tingkat yang satu dengan tingkat yang lain, tetapi masingmasing saling melengkapi. Pada materi hidrolisis garam, contoh yang relevan pada level makro dan nyata (macro and tangible) adalah penggunaan pupuk (NH4)2SO4 (amonium sulfat) untuk mempertahankan pH tanah agar tidak terlalu basa. Palam level submikro, pupuk yang digunakan bereaksi dengan air pada tanah yang mengakibatkan air terurai (hydrolisis) oleh garam ketika garam yang larut pada tanah. Fenomena peruraian air (hydrolisis) tidak terlihat oleh mata, akan tetapi dapat diketahui dengan adanya larutan garam yang bersifat asam, basa dan netral. Pada level representasional, senyawa pupuk dapat di representasikan kedalam rumus kimia, sehingga proses peruraian air digambarkan melalui reaksi hidrolisis. Menurut Johnstone (2006), dalam mengajarkan ilmu kimia pertamatama, pengenalan simultan dari ketiga aspek adalah resep pasti agar siswa menguasai
ruang
lingkup.
Ahli
kimia
yang
berpengalaman
dapat
memanipulasi ketiga aspek, tapi ini tidak untuk siswa. Kedua, ketika siswa mencoba untuk menyimpan ketiga level informasi, tidak mungkin bahwa siswa akan menemukan kegunaan dari ketiga level di long term memory, sehingga ada upaya untuk memanipulasi informasi menjadi bentuk yang lebih nyata dan kerangka alternatif lain yang belum ada. Berdasarkan uraian tentang karakteristik mata pelajaran kimia dan cara mengajarkan kimia, agar ilmu kimia dapat dipahami dengan lebih baik, maka dalam mengajarkan ilmu kimia tidak boleh hanya fokus pada level makro atau tingkat yang nyata dalam kehidupan sehari-hari saja, akan tetapi ketiga level (macro and tangible, submicro, representational) harus saling dikaitkan secara seimbang sehingga siswa tidak mengalami miskonsepsi pada materi kimia. Ketiga tingkat pemikiran harus dikenalkan terlebih dahulu dan guru harus bisa mengaitkan satu dengan yang lain, sehingga ketrampilan guru sangat diperlukan terlebih ketika menyampaikan representasi dari sub mikro.
14 Guru harus dapat menggambarkan konsep yang abstrak menjadi mudah dipahami oleh siswa melalui penggambaran tentang konsep tersebut.
3.
Faktor yang Memengaruhi Belajar Sebagai suatu proses, keberhasilan belajar ditentukan oleh berbagai faktor. Secara garis besar, Suryabrata (1989) dalam Damiyati dan Mudjiono (2014) menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua. a. Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pembelajar, yang meliputi: 1) faktor-faktor fisiologis, terdiri dari: keadaan tonus jasmani pada umumnya dan keadaan fungsi-fungsi fisiologis tertentu, terutama kesehatan pancaindra, 2) faktor-faktor psikologis, terdiri dari: minat, motivasi, inteligensi, memori, dan emosi. b.
Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pembelajar, yang meliputi: 1) faktor-faktor sosial, terdiri dari: orang tua, guru, teman-teman, dan orangorang disekeliling lingkungan belajar, 2) faktor-faktor nonsosial, meliputi: keadaan udara, suhu, cuaca, waktu (pagi, siang, atau malam), tempat (letak dan pergedungannya), serta alat-alat atau perlengkapan belajar (Damiyati dan Mudjiono, 2014).
4.
Model Pembelajaran Discovery Learning Pada levels of inquiry model of science teaching oleh Wenning (2011) disebutkan beberapa herarki pada pembelajaran inkuiri. Herarki pada levels of inquiry dapat dilihat pada Gambar 2.2. Discovery Learning Rendah Guru
Interactive Inquiry Demonstration Lesson
Inquiry Lab
Real Hypothetical World Inquiry Aplication Pengalaman Intelektual‡ Tinggi Pusat Kontrol‡
Siswa
Gambar 2.2. Herarki Dasar pada Pelatihan Pembelajaran Sains Berorientasi Inkuiri
15 Pada Tabel 2.1, dapat diketahui bahwa discovery learning merupakan bagian dari inkuiri level yang paling rendah dalam hal pengalaman intelektual dan kendali atau kontrol oleh guru masih sangat besar pada model discovery learning. Pada intinya pembelajaran model discovery learning menekankan pada pembentukan konsep oleh siswa dalam belajar. Pada discovery learning, siswa mengembangkan konsep berdasarkan pengalaman pertama. Fokus discovery learning adalah pada keterlibatan aktif siswa untuk membangun konsep atau pengetahuan. Model
discovery
learning
menekankan
pada
pembentukan
pengetahuan atau konsep dari pengalaman. Pembelajaran discovery learning menggunakan
refleksi
sebagai
kunci
untuk
memahami.
Guru
memperkenalkan pengalaman sedemikian rupa untuk meningkatkan relevansi atau makna, menggunakan urutan pertanyaan selama atau setelah pengalaman untuk membimbing siswa memperoleh kesimpulan yang spesifik. Discovery
learning
memerlukan
pengembangan
pemahaman
konseptual atas dasar pengalaman. Deskripsi dari fenomena (jawaban pertanyaan "apa" dan "bagaimana") yang dimunculkan. Penjelasan dari fenomena (jawaban pertanyaan "mengapa") tidak dimunculkan. Tetapi, jika penjelasan yang tidak diinginkan yang muncul, maka harus disisihkan untuk penelitian di masa depan. Model pembelajaran discovery learning mengandung proses mental yang secara garis besar prosedurnya adalah stimulus (stimulation), identifikasi masalah (problem statement), mengumpulkan data (data collection), mengolah data (data processing), pembuktian (verivication), dan penarikan kesimpulan (generalisation). a.
Pemberian Stimulus Guru mulai memberikan rangsangan dengan mengajukan permasalahanpermasalahan, atau menyuruh siswa membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan.
16 b.
Pengidentifikasian Masalah Siswa diberi kesempatan mengidentifikasi berbagai permasalahan, kemudian memilihnya. Permasalahan yang dipilih biasanya yang paling menarik dan fleksibel untuk dipecahkan. Selanjutnya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
c.
Pengumpulan Data Untuk menjawab benar tidaknya hipotesis itu, siswa diberi kesempatan utnuk mengumpulkan data (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literature, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya.
d.
Pengolahan Data Semua data dan informasi diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.
e.
Pembuktian Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran data, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan dicek apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
f.
Penarikan Kesimpulan Berdasarkan hasil verifikasi tersebut, siswa belajar menarik kesimpulan dan generalisasi tertentu (Riyanto, 2009). Kelebihan
metode
penemuan
(discovery)
antara
lain:
1)
membangkitkan kegairahan belajar pada diri siswa, 2) memberikan kesempatan kepada diri siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuan
masing-masing,
3)
membantu
siswa
mengembangkan,
memperbanyak kesiapan serta penguasaan ketrampilan dalam proses kognitif atau pengarahan siswa, 4) siswa memperoleh pengetahuan yang sangat bersifat pribadi atau individual sehingga kokoh atau mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.
17 Metode penemuan (discovery) juga mempunyai beberapa kelemahan antara lain: 1) para siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental, 2) apabila kelas terlalu besar, penggunaan teknik ini kurang berhasil 3) bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional akan kecewa apabila diganti dengan teknik penemuan (Hamdani, 2011: 267). Karakteristik model discovery learning yang menekankan pada pembentukan konsep sangat relevan diterapkan pada materi hidrolisis garam yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari hari. Sebagai contoh: 1) keringat dan air mata terasa asin, 2) proses pemisahan garam dari air laut 3) penggunaan garam dapur dalam memasak. Dari fenomena-fenomena yang sering dirasakan dan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dapat dijadikan stimulus bagi siswa. Stimulus dapat diberikan melalui pemberian pertanyaan seperti “seringkah menjumpai garam dalam kehidupan sehari-hari? sebutkan contoh beberapa garam yang diketahui? bagaimanakah garam bisa terbentuk? mengapa garam ada yang bersifat asam, basa dan netral?”. Dengan pertanyaan-pertanyaan
yang realistis,
siswa akan termotivasi
untuk
membentuk dan memahami konsep dengan mempelajari materi hidrolisis garam. Hipotesis dapat disusun berdasarkan stimulus yang telah diberikan. Pengalaman dapat diberikan kepada siswa melalui aktivitas di laboratorium untuk melakukan praktikum penentuan sifat larutan garam.
Berdasarkan
pengalaman yang diperoleh, siswa diarahkan untuk mengolah data yang telah ada dan menghubungkannya dengan informasi-informasi yang telah diperoleh dari meteri asam-basa dan titrasi asam-basa sehingga hipotesis yang telah disusun dapat dijawab. Pada penelitian ini dipilih pembelajaran model discovery learning dengan harapan pembelajaran siswa dapat membentuk konsep pada materi hidrolisis garam dengan baik sehingga: 1) pengetahuan atau konsep yang telah dibentuk dapat masuk kedalam long term memory, 2) siswa dapat menerapkan pengetahuan atau konsep pada saat yang diperlukan seperti dalam menganalisis dan memecahkan permasalahan, 3) melalui pembelajaran
18 model discovery learning diharapkan muncul lingkungan belajar yang menarik, interaktif, dapat memotivasi siswa dan menjadikan siswa aktif serta dalam proses belajar mengajar sehingga prestasi belajar siswa menjadi lebih baik. 5.
LKS Media pembelajaran adalah media yang dirancang secara khusus untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga terjadinya proses pembelajaran. Media pembelajaran adalah media yang memungkinkan terjadinya interaksi antara karya seseorang pengembang mata pelajaran (program pembelajaran) dengan siswa. Adapaun yang dimaksud interaksi adalah terjadinya suatu proses belajar pada diri siswa pada saat menggunakan atau memanfaatkan media (Warsita, 2008). Berdasarkan uraian diatas, media pembelajaran dapat berupa alat yang dapat merangsang siswa agar terjadi proses interakasi berupa suatu proses belajar pada diri siswa pada saat menggunakan alat tersebut. Pedoman pemilihan media telah dibuat oleh Allen dalam Wibawa dan Mukti (2001) seperti Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pemilihan Media Menurut Allen Media Belajar Visual Diam Film Televisi Obyek Tiga Dimensi Rekaman Audio Programmed Instruction Demonstrasi Buku Teks Tercetak Sajian Lisan
Tujuan Belajar Prosuder Keterampilan Sedang Rendah Tinggi Sedang Sedang Rendah
Info faktual Sedang Sedang Sedang
Pengenalan visual Tinggi Tinggi Sedang
Prinsip konsep Sedang Tinggi Tinggi
Sikap
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Sedang
Rendah
Rendah
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Rendah
Sedang
Rendah
Tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Rendah Sedang Sedang
19 Edgar Dale dalam Wibawa dan Mukti (2001) dengan model kerucut pengalaman mencoba menggambarkan rentang derajat kekonkretan
dan
keabstrakan dari berbagai pengalaman seperti pada Gambar 2.3.
Simbolik
Ikonik
Pengalaman
Gambar 2.3. Kerucut Pengalaman Edgar Dale Berdasarkan tabel Allen dan Kerucut Pengalaman Edgar Dale, maka dalam penelitian ini dipilih suatu media yang dapat digunakan untuk membantu siswa dalam belajar. Media yang dipilih adalah buku teks tercetak berupa LKS. LKS merupakan materi ajar yang sudah dikemas sedemikian rupa sehingga siswa diharapkan dapat mempelajari materi ajar tersebut secara mandiri (Setiawan, 2009). LKS sebagai media tidak lagi dipandang sebagai alat bantu guru dalam kegiatan pembelajaran, tetapi memiliki fungsi membawa pesan, dipilih dan dikembangkan secara sistematik dan digunakan secara integral dalam proses pembelajaran, sehingga media pembelajaran telah berperan sebagai sumber belajar yang memungkinkan terjadinya proses belajar secara mandiri oleh siswa dengan bantuan seminimal mungkin dari orang lain. LKS dipilih sebagai media pembelajaran pada materi hidrolisis garam dengan beberapa alasan sebagai berikut: 1) materi hidrolisis garam berisi konsep sifat larutan garam dan konsep hidrolisis, sehingga LKS berperan sebagai media yang digunakan oleh siswa dalam membentuk konsep dengan menyajikan LKS tidak dalam bentuk final, tetapi siswa harus menjawab dan mengisi bagian-bagian yang masih kosong sebagai arahan dalam membangun
20 konsep, 2) soal-soal materi hidrolisis garam ada yang berbasis konsep (seperti sifat larutan garam, dan reaksi hidrolisis) dan ada yang matematis (seperti menghitung pH larutan garam), sehingga siswa memerlukan latihan-latihan untuk mengasah kemampuan dalam menerapkan konsep yang dipelajari melalui mengerjakan soal-soal yang tersedia dalam LKS.
6.
Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan tingkat kemanuasiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak, dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar-mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau rapor setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar (Hamdani, 2011). Berdasarkan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013, karakteristik pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait pada standar kompetensi lulusan dan standar isi. Standar kompetensi lulusan memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi. Kurikulum 2013 memiliki beberapa capaian pembelajaran yang dikelompokkan dalam tiga ranah yakni ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan. a. Pengetahuan Penilaian pencapaian kompetensi pengetahuan merupakan bagian dari penilaian pendidikan. Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan dijelaskan bahwa penilaian pendidikan merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian-pencapaian peserta didik. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas-aktivitas mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.
21 Menurut Bloom dalam Aunurrohman (2010: 49) ranah berpikir merupakan segala kegiatan yang mencakup kegiatan otak. Di dalam ranah kognitif terdapat 6 jenjang berpikir yang meliputi: 1) Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan tentang hal-hal yang telah dipelajari dan tersimpan di dalam ingatan. Pengetahuan tersebut dapat berkenaan dengan fakta-fakta, peristiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip, atau metode. 2) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap sari dan makna halhal yang dipelajari. 3) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode, kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Perilaku ini misalnya tampak dalam kemampuan menggunakan prinsip. 4) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan kedalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. 5) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan criteria dan standar tertentu. 6) Mencipta, Kemampuan memadukan unsurunsur menjadi sesuatu bentuk baru yang utuh dan koheren, atau membuat sesuatu yang asli (Krathwohl, 2002). b. Sikap Kemendikbud (2013) menyebutkan bahwa sikap bermula dari perasaan yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespon suatu/objek. Kompetensi sikap yang dimaksud adalah ekspresi nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki seseorang dan diwujudkan dalam perilaku. Kurikulum 2013 membagi kompetensi sikap menjadi dua, yaitu sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan sikap sosial yang terkait dengan pembentukan peserta
didik
yang
berakhlak
mulia,
mandiri,
demokratis,
dan
bertanggungjawab. Sikap spiritual sebagai perwujudan dari menguatnya
22 interaksi vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan sikap sosial sebagai perwujudan eksistensi kesadaran dalam upaya mewujudkan harmoni kehidupan. c. Ketrampilan Berdasarkan Permendikbud nomor 66 tahun 2013 tentang standar penilaian, pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kerja, yaitu penilaian yang menuntut siswa mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, projek, dan penilaian portofolio. Instrumen yang digunakan berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi rubrik. 1) Tes praktik adalah penilaian yang menuntut
respon berupa
keterampilan melakukan suatu aktivitas atau perilaku sesuai dengan tuntutan kompetensi. 2) Projek adalah tugas-tugas belajar (learning tasks) yang meliputi kegiatan perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan secara tertulis maupun lisan dalam waktu tertentu. 3) Penilaian portofolio adalah penilaian yang dilakukan dengan cara menilai kumpulan seluruh karya siswa dalam bidang tertentu yang bersifat reflektif-integratif untuk mengetahui minat, perkembangan, prestasi, dan/atau kreativitas siswa dalam kurun waktu tertentu.
7.
Materi Hidrolisis Garam Hidrolisis garam merupakan salah satu materi kimia yang harus dikuasai oleh siswa. Materi pelajaran hidrolisis garam diajarkan di SMA kelas XI pada semester genap. Ruang lingkup materi hidrolisis garam mencakup: 1) konsep hidrolis dan sifat larutan garam, 2) menghitung pH larutan garam. Berikut adalah ulasan materi hidrolisis garam yang harus dikuasai oleh siswa. Reaksi asam dengan basa akan menghasilkan garam dan air. Reaksi pembentukan garam dari asam dan basa disebut reaksi penetralan. Reaksi penetralan tidak berarti garam yang terbentuk bersifat netral atau mempunyai pH=7. Sabun merupakan contoh garam yang bersifat basa. Pada pembelajaran
23 materi hidrolisis garam, pertama, siswa di arahkan untuk menyelidiki sifat larutan garam. Kedua, pembahasan teori yang menjelaskan sifat larutan garam tersebut, yaitu konsep hidrolisis. Ketiga, pembahasan rumus yang dapat digunakan untuk memperkirakan pH larutan garam berdasarkan konsentrasi dan tetapan ionisasi asam atau basa pembentuknya. a. Konsep Hidrolisis dan Sifat Larutan Garam Hidrolisis merupakan istilah yang umum digunakan untuk reaksi zat dengan air. Hidrolisis berasal dari kata hydro yang berarti air dan lysis yang berarti peruraian. Menurut konsep hidrolisis, komponen garam (kation atau anion) yang berasal dari asam lemah atau basa lemah bereaksi dengan air (terhidrolisis). Hidrolisis kation menghasilkan ion H3O+ (hidronium), sedangkan hidrolisis anion menghasilkan ion hidroksida OH(hidroksida). Hidrolisis garam merupakan reaksi asam-basa BronstedLowry. Semakin kuat suatu asam, semakin lemah basa konjugasinya, dan semakin lemah suatu asam akan semakin kuat basa konjugasinya. 1) Hidrolisis garam dari asam kuat dan basa kuat Garam yang terbentuk dari asam kuat dan basa kuat tidak terhidrolisis, sehingga larutannya bersifat netral. Sebagai contoh, natrium klorida (NaCI) terdiri dari kation Na+ dan anion Cl-. Ion Na+ maupun ion Cl- berasal dari elektrolit kuat. Jadi, keduanya merupakan asam atau basa yang sangat lemah, sehingga ion Na+ maupun ion Cltidak bereaksi dengan air. NaCI(aq)
‡ Na+(aq) + Cl-(aq)
Na+(aq) + H2O(aq) ‡ (tidak ada reaksi) Cl-(aq) + H2O(l)
‡ (tidak ada reaksi)
NaCI tidak mengubah perbandingan konsentrasi ion H+ dan OHdalam air, sehingga larutan NaCI bersifat netral. 2) Hidrolisis garam dari basa kuat dan asam lemah, ' Garam yang terbentuk dari basa kuat dan basa lemah akan mengalami hidrolisis parsial. Anion dapat menguraikan air. Hidrolisis anion ini akan menghasilkan ion OH-, sehingga larutan akan bersifat
24 basa (pH>7). Sebagai contoh, natrium asetat terdiri dari kation Na+ dan anion CH3COO-. Ion Na+ berasal dari basa kuat (NaOH), sehingga tidak bereaksi dengan air (tidak terhidrolisis). Ion CH3COOmerupakan basa konjugasi dari asam lemah CH3COOH, sehingga bereaksi dengan air (mengalami hidrolisis). Jadi, NaCH3C0O terhidrolisis sebagian (parsial). NaCH3COO(aq)
‡ Na+(aq) + CH3COO-(aq)
CH3COO-(aq) + H2O(l) ‡ CH3COOH(aq) + OH-(aq) Na+(aq) + H2O(1)
‡ (tidak ada reaksi)
Hidrolisi ion CH3COO-s menghasilkan ion OH-, maka jumlah ion OHdalam larutan bertambah sehingga larutan bersifat basa (pH>7). 3) Hidrolisis garam dari asam kuat dan basa lemah Garam yang terbentuk dari asam kuat dan basa lemah akan mengalami hidrolisis parsial, yaitu hidrolisis kation yang berasal dari basa lemah. Hidrolisis parsial ini akan menghasilkan ion H3O+, sehingga larutan akan bersifat asam (pH < 7). Sebagi contoh amonium klorida mempunyai ion NH4+ dan Cl-. Ion Cl- merupakan basa konjugasi yang sangat lemah sehingga tidak bereaksi dengan air, sedangkan ion NH4+ adalah asam konjugasi yang kuat dan mampu menguraikan air. NH4Cl(aq)
‡ NH4+(aq) + Cl-(aq)
NH4+(aq) + H2O(l)
‡ NH3(aq) + H3O+(aq)
Cl-(aq) + H2O(l)
‡ (tidak ada reaksi)
Jumlah ion H3O+ dalam larutan bertambah, sehingga larutan amonium klorida bersifat asam. 4) Hidrolisis garam dari asam lemah dan basa lemah Garam yang terbentuk dari asam lemah dan basa lemah akan terhidrolisis total dalam air. Kation dan anion dari garam yang terbentuk dari asam lemah dan basa lemah terhidrolisis dalam air, sehingga disebut hidrolisis total. Sebagai contoh, ammonium asetat (NH4CH3COO) terdiri dari kation NH4+ dan anion CH3OO- ion NH4+
25 maupun ion CH3COO- berasal dari elektrolit lemah, keduanya terhidrolisis. NH4CH3COO(aq)
‡ NH4+(aq) + CH3COO-(aq)
NH4+(aq) + H2O(l)
‡ NH3(aq) +H3O+(aq)
CH3COO-(aq) + H2O(l) ‡ CH3COOH(aq) + OH-(aq) Sifat larutan bergantung pada kekuatan relatif asam dan basa yang bersangkutan jika asam lebih lemah daripada basa (Ka
‡ CH3COO-(aq) + Na+(aq)
Reaksi hidrolisis CH3COO-(aq) + H2O(l) ‡ CH3COOH(aq) + OH-(aq) Na+(aq) + H2O(aq)
‡ tidak bereaksi
pH larutan dapat ditentukan dari persamaan A-(aq) + H2O(l) Tetapan hidrolisis: K =
[? ?].[?? ? ] [? ? ].[? ??]
‡ HA(aq) + OH-(aq)
26 K . [H2O] =
[? ? ]
[? ?].[?? ? ]
Kh =
[? ? ]
[? ?].[?? ? ]
Kh = Kh =
[? ?].[?? ? ]
[? ? ]
??
??
x
dengan K . [H2O] = Kh Kh adalah tetapan hidrolisis
[? ? ] [? ? ]
maka diperoleh
Kw = tetapan kesetimbangan air
Ka = tetapan asam lemah ??
??
=
[? ?].[?? ? ] [? ? ]
A-(aq) + H2O(l) ‡ HA(aq) + OH-(aq) m : M mol
-
-
r : x mol
x mol
x mol
s : M-x
x mol
x mol
konsentrasi anion = M-x, karena x sangat kecil sehingga diabaikan maka konsentrasi [A-] dianggap tetap sedangkan [HA] = [OH-] maka diperoleh ??
??
=
[?? ? ]? [? ? ]
dengan [A-] = [garam]
sehingga :
??
[OH-] = ? ?? . [? ]
Kw = tetapan kesetimbangan air Ka = tetapan ionisasi asam lemah [M] = molaritas anion terhidrolisis
2) Garam dari asam kuat dan basa lemah Berdasarkan konsep hidrolisis, garam yang berasal dari asam kuat dan basa lemah mengalami kation. NH4Cl(aq) Reaksi hidrolisis:
‡ NH4+(aq) + Cl-(aq)
27 NH4+(aq) + H2O(l)
‡ NH4OH(aq) + H+(aq)
Cl-(aq) + H2O(l)
‡ tidak dapat bereaksi
pH Larutan dapat ditentukan dari persamaan M+(aq) + H2O(aq)
‡ MOH(aq) + H+(aq)
Tetapan hidrolisis: K=
[? ?? ][? ? ] [? ? ][? ??]
K . [H2O] = Kh = Kh =
[? ?? ][? ? ] [? ? ]
[? ?? ][? ? ] ??
[? ? ]
dimana K . [H2O] = Kh
[?? ? ]
. [?? ? ]
??
Kw = tetapan kesetimbangan air Kb = tetapan basa lemah M+(aq) + H2O(aq) ‡ MOH(aq) + H+(aq) m : M mol
-
-
r : x mol
x mol
x mol
s : (M-x) mol
x mol
x mol
konsentrasi kation = M-x, karena x sangat kecil sehingga diabaikan maka konsentrasi [M+] dianggap tetap, sedangkan [MOH] = [H+] maka diperoleh ??
??
=
[? ? ]? [? ? ]
dimana [M+] = [garam]
sehingga:
??
[H+] = ? ?? . [? ]
Kb = tetapan ionisasi basa lemah pembentuk garam M = molaritas kation (komponen garam yang mengalami hidrolisis) Kw = tetapan kesetimbangan air
3) Garam dari asam lemah dan basa lemah Garam yang berasal dari asam lemah dan basa lemah mengalami hidrolisis total (kation dan anion mengalami hidrolisis).
28 pH larutan, secara kuantitatif sukar dikaitkan dengan harga Ka dan Kb maupun dengan konsentrasi garam. pH larutan yang tepat hanya dapat ditentukan melalui pengukuran. CH3COONH4(aq)
‡ CH3COO-(aq) + NH4+(aq)
reaksi hidrolisis CH3COO-(aq)+ H2O(l) ‡ CH3COOH(aq)+ OH-(aq) NH4+(aq)+ H2O(l)
‡ NH4OH(aq)+ H+(aq)
pH larutan garam ini dapat ditentukan melalui persamaan reaksi: M+(aq) + A-(aq)+ H2O(l) ‡ HA(aq) + MOH(aq) tetapan hidrolisis Kh = Kh =
[? ?] . [? ??] [? ? ][? ? ]
[? ?] ] [? ?? ] . [? ? ][? ? ] [? ? ][?? ? ] ??
Kh= ?? .??
. [H ? ]. [OH? ] sehingga
pH larutan garam: M+(aq) + A-(aq)+ H2O(l) ‡ HA(aq)+ MOH(aq)
m : y mol
y mol
r : x mol
x mol
s : (y-x) mol (y-x) mol Kh =
-
-
x mol
x mol
x mol
x mol
[? ?] . [? ??] [? ? ][? ? ]
konsentrasi kation dan anion sama yaitu (y-x) mol/L karena x sangat kecil sehingga diabaikan, maka konsentrasi M+ dan A- dianggap tetap sedangkan konsentrasi HA dan MOH sama, maka : [? ?] ? [? ? ]?
[? ?] [? ? ]
=
??
?? .??
=?
??
?? . ??
Dari tetapan ionisasi asam lemah diperoleh: [H+] = Ka
[? ?] [? ? ]
29 Dengan mensubtitusi persamaan tersebut diperoleh: [H+] = ?
?? .?? ??
pH = - log [H+] (Utami et al., 2009).
8.
Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian yang
menggunakan model pembelajaran discovery
learning telah banyak dilakukan, beberapa diantaranya yaitu: 1) Kulevich et al. (2014) menyampaikan bahwa melalui discovery pemahaman siswa pada konsep larutan penyangga meningkat. Siswa dapat membangun konsep dasar dan peta konsep yang berkualitas dari materi larutan penyangga, refleksi discovery memungkinkan siswa untuk mengatasi pertanyaan larutan penyangga yang sulit dan siswa dapat mengaplikasikan kualitas dan kuantitas pemahaman tentang sistem penyangga pada rangkaian mata pelajaran selanjutnya, 2) Bunterm et al. (2014) menyampaikan hasil penelitiannya bahwa siswa belajar dengan model guided inquiry menghasilkan peningkatan yang lebih besar pada aspek pengetahuan dan ketrampilan proses sains dibandingkan siswa belajar dengan structured inquiry. Alasannya karena siswa yang diberi perlakuan guided inquiry harus terlibat dengan informasi secara mendalam yang berdampak siswa memiliki usaha yang lebih dalam memproses informasi sehingga mengakibatkan siswa pada guided inquiry memperoleh hasil yang lebih baik pada aspek pengetahuan dan ketrampilan proses sains. Penyebab lainnya adalah bahwa siswa yang diberi perlakuan guided inquiry lebih mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam proses ilmiah. 3) Oloyede (2010) menyampaikan hasil penelitian miliknya bahwa melalui guided discovery dapat meningkatkan prestasi belajar kimia dan merekomendasikan agar guru-guru kimia menggunakan guided discovery ketika mengajarkan kimia, alasannya adalah bahwa pembelajaran dengan guided discovery menyebabkan munculnya gaya belajar yang lebih disukai siswa, sehingga berdampak pada keberhasilan akademik dan perkembangan siswa. 4) Mahmoud (2014) berdasarkan hasil penelitian diperoleh keunggulan
30 prestasi kelompok siswa yang diberi perlakuan strategi belajar menggunakan discovery learning dibandingkan kelompok control yang diberi perlakuan metode tradisional. Hasil postes kemampuan metakognisi kelompok eksperimen yang diberi perlakuan model discovery learning memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan kelompok control. Hal ini disebabkan karena model pembelajaran discovery learning dapat membantu siswa untuk meciptakan aktivitas yang memungkinkan siswa belajar untuk dirinya sendiri dan mengaplikasikan apa yang diketahui kedalam situasi yang baru yang menyebabkan siswa memperoleh pembelajaran yang efektif. 5) Kyriaziz et al. (2009) berdasarkan hasil penelitian menyimpulkan bahwa pembelajaran model discovery learning berpengaruh terhadap rata-rata hasil belajar mahasiswa. Nilai mahasiswa sebelum dan sesudah penerapan pendekatan menyajikan perbedaan yang signifikan.
Hal ini disebabkan pembelajaran
berdasarkan discovery learning dapat mengembangkan baik kemampuan matematika maupun ketrampilan dan pengetahuan sains secara efektif. Penggunaan LKS dalam kegiatan pembelajaran juga telah banyak diaplikasikan. Toman et al. (2013) menyampaikan berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari proses fermentasi etanol menigkat setelah menggunakan LKS yang dikembangkan berdasarkan model belajar 5E. Hal yang sama juga disampaikan Mihardi et al. (2013) bahwa pembelajaran model PjBL disertai LKS berbasis KWL (know-want-learn) menyebabkan kemampuan berpikir kreatif siswa lebih tinggi dibandingkan pada pembelajaran model kooperatif. Berdasarkan hasil penelitian relevan dapat disimpulkan bahwa LKS dapat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Berdasarkan uraian penelitian-penelitian relevan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa model discovery learning dapat diaplikasikan pada mata pelajaran kimia. Pada penelitian ini yang berbeda dari penelitianpenelitian sebelumnya adalah model discovery learning dan LKS akan diaplikasikan pada materi hidrolisis garam dan tempat penelitian di SMA Negeri 1 Karanganyar pada tahun pelajaran 2014/2015.
31 B. Kerangka Berpikir Pendekatan pembelajaran sains yang diterapkan di SMA Negeri 1 Karanganyar belum memenuhi kriteria pembelajaran sains yang seharusnya memfokuskan pada pemberian pengalaman langsung dengan memanfaatkan dan menerapkan konsep, prinsip, fakta sains hasil temuan para ilmuwan. Kimia sebagai salah satu mata pelajaran yang termasuk mata pelajaran sains, seharusnya diajarkan dengan menggunakan karakteristik pembelajaran sains. Kenyataannya, beberapa guru di SMA Negeri 1 Karanganyar
masih menerapkan metode
pembelajaran yang konvensional seperti metode ceramah dengan menjadikan siswa sebagai objek dalam belajar atau teacher oriented, sehingga belajar hanya sebatas transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dampak proses belajar yang hanya sebatas transfer pengetahuan barakibat pada prestasi belajar siswa. Salah satu materi yang kimia adalah hidrolisis garam. Hidrolisis garam merupakan pokok bahasan yang membutuhkan penekanan pada pembentukan konsep melalui ketrampilan proses sains dalam mempelajari materi tersebut. Sebagai contoh tentang konsep sifat larutan garam, maka siswa perlu diajak untuk merefleksikan atau menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari dengan cara memberikan pertanyaan misalnya “pernahkah melihat garam disekitar kita? sebutkan salah satu contoh garam yang diketahui dalam kehidupan sehari-hari! apakah kegunaan garam tersebut? bagaimana garam bisa terbentuk? kenapa garam bisa ada yang bersifat asam, basa, dan netral?”. Karakteristik materi hidrolisisi garam memuat konsep yang dapat dibentuk, sehingga pembelajaran pada materi hidrolisis garam harus menekankan pada pembentukan konsep oleh siswa secara mandiri dengan bimbingan guru. Berdasarkan uraian tersebut, maka pendekatan pembelajaran pada materi hidrolisis garam harus menekankan pada pembentukan konsep. Pengalaman langsung dapat dimanupulasi dengan kegiatan di laboratorium, sehingga dengan adanya pengalaman yang diberikan, siswa diharapkan dapat membentuk konsep pada materi hidrolisis garam dengan baik . Untuk memfasilitasi hal tersebut sangat dibutuhkan model pembelajaran yang tepat yaitu model pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan konsep dan dapat memotivasi siswa serta
32 memberikan ruang yang cukup untuk siswa agar terlibat dalam proses belajar, sehingga tidak semata-mata penyampaian materi hanya sebatas transfer materi dari guru ke siswa. Karakteristik materi hidrolisis garam yang berisikan konsep-konsep yang dapat dibangun oleh siswa, sangat relevan apabila dalam kegiatan belajarmengajar menggunakan model discovery learning. Seperti yang telah dipaparkan, pada materi hidrolisis garam ada beberapa konsep, sebagai contoh konsep sifat larutan garam. Dalam mengarahkan siswa membangun konsep, guru dapat memancing siswa agar tertarik untuk membangun konsep dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan seperti “pernahkah melihat garam dalam kehidupan seharihari? sebutkan salah satu contoh garam yang diketahui! apakah kegunaan garam tersebut? bagaimana garam bisa terbentuk? kenapa garam bisa ada yang bersifat asam, basa, dan netral?”. Dengan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang realistik, siswa akan termotivasi untuk mempelajari materi hidrolisis garam, sehingga belajar dengan menemukan (discovery) yang berorientasi pada pembentukan konsep melalui pengalaman-pengalaman atau menghubungkan prinsip-prinsip sederhana yang telah diketahui siswa, akan mengakibatkan konsep dapat terbangun dan tertanam dengan baik pada diri siswa. Untuk membantu agar pembentukan konsep siswa lebih maksimal diperlukan suatu media yang dapat membantu siswa dalam belajar. Salah satu media yang dapat membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahaun secara mandiri adalah LKS yang disajikan tidak dalam bentuk final. LKS menyajikan tentang materi, soal-soal yang dapat melatih siswa untuk lebih kreatif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan, sehingga pembentukan konsep menjadi lebih terarah dan hasil belajar akan lebih baik. Model pembelajran discovery learning dengan dan media LKS hidrolisis garam akan diterapkan pada pokok bahasan hidrolisis garam. Berdasarkan paparan mengenai model dan media pembelajaran dalam penelitian ini, maka diduga bahwa penggunaan pembelajaran model discovery learning disertai LKS berpengaruh terhadap prestasi pada materi hidrolisis garam
33 kelas XI SMA N 1 Karanganyar tahun pelajaran 2014/2015. Bagan kerangka berpikir tersedia pada Gambar 2.4. Kimia adalah salah satu dari cabang mata pelajaran sains, sehingga kimia juga sangat erat dengan fenomena atau gejala alam. Dalam mengajarkan ilmu kimia perlu menggunakan pendekatan pembelajaran yang tepat
Pendekatan pembelajaran sains yang memfokuskan pada pengalaman langsung dalam membentuk konsep perlu diaplikasikan ‘
Pembentukan konsep akan lebih maksimal apabila ada media yang digunakan. LKS dipilih sebagai media pada pembelajaran model discovery learning
Materi hidrolisis garam memuat konsep sifat larutan garam yang dapat ditemukan melalui kegiatan praktikum di laboratorium
Aktivitas di laboratorium dapat dijadikan sebagai pengalaman langsung, sehingga konsep sifat larutan garam dapat debentuk dengan baik
Dalam level of inquiry, salah satu cara untuk membentuk konsep dalam belajar adalah melalui discovery learning yang memfokuskan pembentukan konsep berdasarkan pengalaman
Dipilih model pembelajaran discovery learning disertai LKS untuk diaplikasikan dalam pembelajaran materi hidrolisis garam.
Prestasi belajar siswa tinggi Gambar 2.4. Skema Kerangka Berpikir
34 C. Perumusan Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir tersebut dapat diambil hipotesis sebagai berikut : 1. Pembelajaran dengan model discovery learning berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa pada materi hidrolisis garam kelas XI MIA SMA Negeri 1 Karanganyar tahun pelajaran 2014/2015. 2. LKS berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa pada materi hidrolisis garam kelas XI MIA SMA Negeri 1 Karanganyar tahun pelajaran 2014/2015. 3. Pembelajaran dengan model discovery learning disertai LKS berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa pada materi hidrolisis garam kelas XI MIA SMA Negeri 1 Karanganyar tahun pelajaran 2014/2015.