BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan
1. Perkembangan Sosial a. Pengertian Perkembangan Sosial Beberapa
teori
tentang
perkembangan
manusia
telah
mengungkapkan bahwa manusia tumbuh dan berkembang dari masa bayi sampai ke masa dewasa. Dalam perkembangan terdapat aspek-aspek perkembangan, salah satunya perkembangan sosial. Menurut Elizabeth B. Hurlock menjelaskan makna perkembangan sosial adalah: Perkembangan sosial adalah perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat (sozialized) memerlukan tiga proses. Ketiga proses tersebut diantaranya adalah belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, memainkan peran sosial yang dapat diterima, dan perkembangan sikap sosial (1978: 250). Perkembangan sosial dimaksudkan sebagai perkembangan tingkah laku anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, individu harus mampu menciptakan perilaku sosial untuk menjadi orang yang bermasyarakat. Dalam kehidupan sosial, individu diharapkan mampu mencapai tiga proses sosialisasi, yakni: 1) Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial Setiap kelompok sosial tentunya memiliki standart kriteria bagi para anggotanya tentang perilaku sosial yang dapat diterima di dalam kelompok sosial. Dalam hidup bermasyarakat, anak tidak hanya mengetahui sebatas perilaku sosial yang dapat diterima lingkungan sosial, melainkan juga harus menyesuaikan perilaku sosial dirinya dengan patokan yang dapat diterima oleh lingkungan sosial. Sehingga anak mampu bertingkah laku positif sesuai dengan harapan sosial. Perilaku sosial ini diperoleh anak dari proses belajar memahami kondisi-kondisi sekitar, mana yang sesuai untuk dilakukan dan mana yang tidak sesuai untuk dilakukan dalam lingkungan sosial tersebut.
6
7
2) Memainkan peran sosial yang dapat diterima Di dalam suatu kelompok sosial tentunya terdapat pola kebiasaan yang menjadi tuntutan sosial yang telah ditentukan oleh semua anggota kelompok sosial. Setiap anggota kelompok memiliki peran sosial yang berbeda-beda, diharapkan semua individu mampu menjalankan peran sosial sesuai dengan tuntutan sosial yang berlaku. Dan juga semua peran sosial yang ada harus mengacu pada nilai dan norma yang berlaku dalam kelompok sosial tersebut. 3) Perkembangan sikap sosial Untuk bermasyarakat dengan baik, anak-anak harus menyukai komponen di dalam lingkungan sosial beserta aktivitas sosial yang dilakukan. Jika anak mampu melakukan hal tersebut, berarti anak telah berhasil dalam penyesuaian sosial yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok sosial dimana anak menggabungkan diri. ”Perkembangan sosial adalah proses perolehan kemampuan untuk berperilaku yang sesuai dengan keinginan yang berasal dari dalam diri seseorang dan sesuai dengan tuntutan dan harapan-harapan sosial yang berlaku di dalam masyarakat” (Sutirna, 2014: 118). Hal ini berarti perkembangan sosial merupakan suatu perubahan bersifat progresif yang berhaluan kearah perbaikan dalam berperilaku sesuai dengan tuntutan dan harapan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama (Ahmad Susanto, 2012: 40). Berdasarkan pendapat di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa perkembangan sosial merupakan perubahan-perubahan yang dialami menuju pada tingkatan kematangan dalam hubungan sosial yang sesuai dengan norma kelompok, moral dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat.
8
”Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial” (Syamsu Yusuf LN, 2006: 122). Hal ini berarti perkembangan sosial merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan manusia untuk mencapai batas maksimal perkembangan dalam hubungan sosial. Dalam proses perkembangan sosial, individu dengan sendirinya mempelajari
proses
penyesuaian
diri
dengan
lingkungannya.
”Penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya” (Elizabeth B. Hurlock, 1978: 287). Keinginan untuk diterima dalam suatu kelompok sosial menyebabkan individu mengalami proses penyesuaian diri yang berlebihan. Individu senantiasa mempelajari nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan sosial masyarakat dan menampilkan keterampilan sosial yang baik, agar mendapat penerimaan sosial yang baik dari anggota masyarakat yang lain. ”Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta keterampilan mengatasi masalah yang dihadapi” (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008: 93). b. Aspek Perkembangan Sosial Menurut Enung Fatimah (2010: 95) dalam fase perkembangan masa remaja adalah memiliki keterampilan sosial untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial sehari-hari. Keterampilan-keterampilan sosial meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan keluhan atau pendapat orang lain, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai dengan baik oleh remaja pada fase tersebut, berarti ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
9
Menurut Konstelnik, Soderman, dan Waren (dalam Mansur, 2011: 56) mengemukakan bahwa terdapat dua aspek penting dalam perkembangan sosial, yaitu: 1) Kompetensi Sosial Kompetensi sosial menggambarkan kemampuan individu untuk beradaptasi dengan lingkungan sosialnya secara efektif. Bentuk dari kemampuan individu tersebut antara lain adalah dengan belajar berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial yang dapat diterima secara sosial,
memainkan
peran
sosial
yang
dapat
diterima,
dan
perkembangan sikap sosial. 2) Tanggung Jawab Sosial Tanggung jawab sosial antara lain ditunjukkan oleh komitmen individu terhadap tugas-tugasnya, menghargai perbedaan individual, dan memperhatikan lingkungannya. c. Karakteristik Perkembangan Sosial pada Remaja Dalam masa remaja banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara fisik, kognitif maupun psikososial. Perubahanperubahan ini dapat bersifat positif maupun negatif, tergantung bagaimana cara individu dalam menghadapi masa peralihan yang cenderung berbeda dengan masa sebelumnya, terlebih lagi terdapat perubahan fisik yang menyebabkan individu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Masa remaja (adolescence) merupakan peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia sekitar sepuluh sampai sebelas tahun, atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir atau usia dua puluh awal, serta melibatkan perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan (Diane E Papalia, Sally Wendkos Olds, dan Ruth Duskin Feldman, 2009: 8). Menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2008: 3), gejala yang tampak sebagai akibat dari perkembangan individu dalam aspek sosial pada masa remaja, antara lain sebagai berikut: 1) Semakin berkembangnya sikap toleran, empati, memahami, dan menerima pendapat orang lain.
10
2) Semakin santun dalam menyampaikan pendapat dan kritik kepada orang lain. 3) Adanya keinginan untuk selalu bergaul dengan orang lain dan bekerja sama dengan orang lain. 4) Suka menolong kepada siapa yang membutuhkan pertolongan. 5) Kesediaan menerima sesuatu yang dibutuhkan dari orang lain. 6) Bersikap hormat, sopan, ramah dan menghargai orang lain. Sesuai dengan paparan di atas dapat diberi makna bahwa individu yang tergolong perkembangan sosialnya kategori tinggi akan memiliki jiwa sosial yang mencerminkan sikap toleran, empati, suka menolong kepada siapa saja, bersikap hormat kepada orang lain, bersikap santun dalam menyampaikan pendapat, dan sebagainya. Syamsu Yusuf LN menjelaskan bahwa karakteristik perkembangan sosial remaja adalah sebagai berikut: 1) Memiliki kemampuan untuk memahami orang lain, antara lain memahami bahwa orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaan. 2) Memiliki dorongan untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan orang lain. 3) Dalam hubungan pertemanan, remaja memilih teman yang memiliki kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya sendiri, baik menyangkut minat, sikap, nilai dan kepribadian. 4) Memiliki kecenderungan untuk mengikuti opini, pendapat, nilai, dan kebiasaan, kegemaran atau keinginan orang lain (2006: 198). Perkembangan sosial pada remaja dapat memberikan dampak yang positif bagi dirinya. Untuk itu individu harus memiliki sifat khas tertentu yang mengacu pada perkembangan sosial yang baik. Individu yang memiliki sifat sosial yang baik cenderung memiliki kemampuan untuk memahami orang lain, senang menjalin hubungan dengan orang lain, mengikuti pendapat orang lain dan sebagainya. Mohammad
Ali
dan
Mohammad
Asrori
(2008:
91-92)
mengemukakan bahwa karakteristik yang menonjol dari perkembangan sosial remaja adalah sebagai berikut: 1) Berkembangnya kesadaran akan kesunyian dan dorongan akan pergaulan. Hal ini menyebabkan remaja berusaha mencari kompensasi
11
dengan mencari hubungan dengan orang lain atau berusaha mencari pergaulan. Remaja memiliki solidaritas yang amat tinggi dan kuat dengan kelompok sebayanya, jauh melebihi dengan kelompok lain. Bahkan dengan orang tuanya sekalipun. Untuk itu remaja perlu diberikan perhatian intensif dengan cara melakukan interaksi dan komunikasi secara terbuka dan hangat kepada mereka. 2) Adanya upaya memilih nilai-nilai sosial. Ini menyebabkan remaja senantiasa mencari nilai-nilai yang dapat dijadikan pegangan. Menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut atau tetap pada pendirian dengan segala akibatnya. Untuk itu orang tua harus menunjukkan konsistensi dalam memegang dan menerapkan nilainilai dalam kehidupan. 3) Meningkatkan ketertarikan pada lawan jenis. Keinginan membangun hubungan sosial dengan lawan jenis dapat dipandang sebagai suatu yang berpangkal pada kesadaran akan kesunyian. Menyebabkan remaja pada umumnya berusaha keras memiliki teman dekat dari lawan jenisnya. Untuk itu remaja perlu diajak komunikasi secara rileks dan terbuka untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan lawan jenis. 4) Mulai memiliki kecenderungan memilih karier tertentu. Dengan melihat kondisi sekitar yang ada pada lingkungan sosial, individu memiliki ketertarikan akan karier-karier tertentu yang dianggap cocok dengan potensi yang dimiliki. Untuk menjadi pribadi yang sesuai dengan harapan lingkungan sosial, individu berusaha menampilkan ciri-ciri tertentu dalam hubungan soial, yakni: berkembangnya dorongan untuk bergaul dengan orang lain, berusaha mencari nilai-nilai sosial yang dijadikan acuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, memiliki keinginan untuk menjalin hubungan lebih akrab dengan teman lawan jenis dan mulai memilih karir tertentu dengan melihat kondisi sekitar yang ada pada lingkungan.
12
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Faktor
utama
yang
mempengaruhi
perkembangan
sosial
dipengaruhi oleh lingkungan sosial, Syamsu Yusuf LN (2006: 125-126) mengatakan: Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial, baik orang tua, sanak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman sebaya. Apabila lingkungan sosial memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosial secara matang. Namun, apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti orang tua yang kasar; sering memarahi; acuh tak acuh; tidak memberikan bimbingan; teladan; pengajaran atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma-norma, baik agama maupun tata karma/ budi pekerti; cenderung menampilkan perilaku maladjustment, seperti: (1) bersifat minder; (2) senang mendominasi orang lain; (3) bersifat egois/ selfish; (4) senang mengisolasi diri/ menyendiri; (5) kurang memiliki perasaan tenggang rasa; dan (6) kurang mempedulikan norma dalam berperilaku. Dari uraian di atas dapat diberi makna bahwa perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial baik orang tua, sanak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman sebaya. Lingkungan sosial yang sangat mempengaruhi adalah lingkungan keluarga dikarenakan keluarga merupakan hal yang utama dan pertama dalam perkembangan anak. Dalam perkembangan sosial anak, anak berusaha mencari nilainilai sosial sebagai pegangan dalam hubungan sosial dan sosialisasi. Apabila keluarga memfasilitasi perkembangan anak secara positif, seperti halnya membiasakan kehidupan beragama dalam keluarga dengan cara memberikan bimbingan; teladan; pengajaran; pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma atau agama sebagai acuan dalam bertingkah laku yang baik dan benar, maka anak dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, sehingga mampu menjalin hubungan sosial yang baik dengan lingkungan sosial. Namun apabila keluarga kurang kondusif dalam membiasakan kehidupan beragama dalam keluarga yang baik, seperti halnya membiarkan anak melanggar aturan agama, tidak
13
memberikan tauladan dalam dalam penerapan norma agama, maka anak tidak dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, sehingga anak cenderung
menampilkan
perilaku
ketidakmampuannya
dalam
menyesuaikan diri, seperti halnya kurang memiliki perasaan tenggang rasa, kurang memperdulikan norma dalam berperilaku karena tidak memiliki pengangan dalam bertingkah laku. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Roland Robertson (1988: 72) bahwa: Mengapa keyakinan yang sifatnya pribadi dan individual tersebut dapat terwujud sebagai tindakan kelompok atau masyarakat? Sebab yang utama adalah hakikat agama itu sendiri yang salah satu penekanan ajarannya adalah hidup dalam kebersamaan dengan orang lain atau hidup bermasyarakat. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu sistem keyakinan individual yang selanjutnya menjadi suatu acuan dalam tindakan masyarakat. Pada dasarnya, hakikat agama merupakan penekanan ajaran akan bagaimana hidup bermasyarakat sebagai makhluk sosial. Sehingga agama sangat penting dalam kehidupan sosial anak. Menurut Hasbullah (2009: 89) mengemukakan bahwa ”Tugas utama keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga yang lain.” Sehingga dapat diberi makna bahwa keluarga merupakan peletak dasar bagi kehidupan beragama anak. Hal ini sangat perlu diperhatikan mengingat bahwa agama merupakan acuan dasar yang mengajarkan anak bagaimana bertingkah laku dalam kehidupan sosial. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hubungan sosial menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2004: 93-98) adalah sebagai berikut: 1) Lingkungan Keluarga Ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan menyatakan
14
diri. Iklim kehidupan keluarga memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan hubungan sosial remaja karena sebagian besar kehidupannya ada di dalam keluarga. Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma ini dalam kehidupan sehari-hari (Ahmad Susanto, 2012: 40). Dari
pendapat
di
atas
dapat
diambil
makna
bahwa
perkembangan hubungan sosial anak sangat dipengaruhi oleh perlakuan atau bimbingan orang tua dalam menerapkan norma-norma kehidupan, seperti norma agama untuk dijadikan pedoman dalam bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu orang tua hendaknya memberikan dorongan dan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma khususnya norma agama untuk dijadikan pegangan dalam bertingkah laku yang baik yang tetap memperhatikan kaidah agama sehingga dapat diterima dalam kelompok sosial. Menurut Hasbullah (2009: 34) mengemukakan bahwa keluarga berfungsi sebagai: a) Pengalaman pertama masa kanak-kanak. Kehidupan seorang anak saat masa kanak-kanak sangat tergantung kepada kedua orang tuanya. Karena keluarga merupakan pengalaman pertama dan faktor penting dalam perkembangan anak. Sehingga keseimbangan jiwa dalam perkembangan individu selanjutnya ditentukan sesuai dengan pendidikan yang diberikan oleh orang tua di masa kanakkanak. b) Menjamin kehidupan emosional anak. Suasana di dalam keluarga tentunya merupakan suasana yang meliputi rasa cinta, simpati yang sewajarnya, suasana yang aman dan tenteram, suasana percaya mempercayai.
15
c) Menanamkan dasar pendidikan moral. Penananman utama dalam dasar-dasar moral anak adalah keluarga. Sikap dan perilaku orang tua sebagai teladan yang dapat dicontoh anak, sehingga dapat mencerminkan perilaku anak di luar rumah, sesuai dengan nilai moral yang ditanamkan keluarga. d) Memberikan dasar pendidikan sosial. Perkembangan benih-benih kesadaran sosial hendaknya dipupuk sedini mungkin, terutama lewat kehidupan keluarga yang saling tolong-menolong dan lain sebagainya. e) Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak. Keluarga berperan besar dalam proses internalisasi dan transformasi nilainilai keagamaan ke dalam pribadi anak, masa kanak-kanak merupakan masa yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar kehidupan beragama yang terjadi dalam keluarga. 2) Lingkungan Sekolah Kehadiran
di
sekolah
merupakan
perluasan
lingkungan
sosialnya dalam proses sosialisasinya dan sekaligus merupakan faktor lingkungan baru yang sangat menantang atau bahkan mencemaskan dirinya. Sebagaimana dalam keluarga, lingkungan sekolah juga dituntut menciptakan iklim kehidupan sekolah yang kondusif, memiliki potensi memudahkan atau menghambat perkembangan hubungan sosial remaja. Suasana kondusif timbul dengan adanya interaksi antara guru dan siswa, siswa dengan siswa, keteladanan guru, dan kualitas guru dalam melaksanakan proses pembelajaran sehingga dapat menjadi model bagi siswanya. 3) Lingkungan Masyarakat Iklim kehidupan masyarakat memberikan urutan penting bagi variasi perkembangan hubungan sosial remaja. Apalagi, remaja senantiasa ingin selalu seiring sejalan dengan trend yang sedang berkembang dalam masyarakat agar tetap selalu merasa dipandang trend.
16
Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono (2006: 130-133) merumuskan bahwa perkembangan sosial manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor: 1) Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Di dalam keluarga berlaku norma-norma kehidupan keluarga, dan dengan demikian pada dasarnya keluarga merekayasa perilaku kehidupan budaya anak. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. 2) Kematangan Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu mempertimbangkan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Di samping itu, kemampuan bahasa ikut pula menentukan. Dengan demikian, untuk mampu bersosialisasi dengan baik, diperlukan kematangan fisik sehingga setiap orang fisiknya telah mampu menjalankan fungsinya dengan baik. 3) Status Sosial Ekonomi Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi atau status kehidupan sosial keluarga dalam lingkungan masyarakat. Secara tidak langsung dalam pergaulan sosial anak, masyarakat dan kelompoknya akan memperhitungkan norma yang berlaku di dalam keluarganya. ”Adapun pengaruh status ekonomi terhadap kepribadian remaja, adalah bahwa orang tua dari status ekonomi rendah cenderung lebih menekankan kepatuhan figur-figur yang mempunyai otoritas, kelas menengah dan atas cenderung menekankan kepada pengembangan inisiatif, keingintahuan, dan kreativitas anak” (Syamsu Yusuf LN, 2006: 53).
17
4) Pendidikan Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengaplikasian ilmu yang normatif, akan memberi warna kehidupan sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Pendidikan dalam arti luas harus diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, masyarakat, dan kelembagaan. 5) Kapasitas Mental : Emosi dan Intelegensi Perkembangan
emosi
berpengaruh
sekali
terhadap
perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelektual tinggi akan berkemampuan berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu, kemampuan intelektual tinggi, kemampuan berbahasa baik,
dan
pengendalian
emosional
secara
seimbang
sangat
menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak. Dari pendapat ahli yang dijelakan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial, yakni keluarga yang merekayasa perilaku kehidupan sosial anak, kematangan fisik dan psikis agar anak mampu bersosialisasi dengan baik, status kehidupan sosial ekonomi keluarga lingkungan masyarakat, tingkat pendidikan untuk mengaplikasikan ilmu yang normatif, dan kemampuan intelektual serta kemampuan pengendalian emosional yang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial. 2. Kehidupan Beragama dalam Keluarga a.
Pengertian Kehidupan Beragama dalam Keluarga Azis Ahyadi (1991: 49) mengemukakan bahwa kehidupan beragama yang diidealkan selalu ada di depan kesadaran beragama, yang mampu direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari. Kesadaran beragama dijadikan sebagai hasil peranan fungsi kejiwaan terutama motivasi, emosi dan intelegensi. Motivasi berfungsi sebagai penggerak mengarahkan kehidupan mental. Emosi berfungsi melandasi dan mewarnainya, sedangkan intelegensi yang mengorganisasi dan memberi pola.
18
Menurut Djamari (2000: 91) mengemukakan bahwa beragama sebagai aktivitas melaksanakan sesuatu yang sakral, yang merupakan hasil kekuatan masyarakat yang terkonsentrasi secara aktual. Maka akan memberi suatu kesadaran kolektif dan memberi inspirasi norma moral yang dibungkus oleh ide-ide kesucian. Menurut Prof. Dr. H. Ramayulis (2002: 117) ”Tingkah laku keagamaan adalah segala aktivitas manusia dalam kehidupan di dasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya. Tingkah laku keagamaan tersebut merupakan perwujudan dari rasa dan jiwa keagamaan berdasarkan kesadaran dan pengalaman beragama pada diri sendiri.” Pendapat tersebut memberi makna bahwa tingkah laku keagamaan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan manusia dalam mencari suatu kekuatan serta ketenangan yang dapat melindungi dan memberikan pencerahan terhadap diri pribadi. Menurut Prof. Dr. H. Jalaluddin (2009: 23) dalam pandangan Islam,
sejak
dilahirkan
manusia
telah
dianugerahkan
potensi
keberagamaan. Potensi ini baru dalam bentuk sederhana, yaitu berupa kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi pada sesuatu. Agar kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi ini tidak salah, maka perlu adanya bimbingan dari luar. Secara kodrati orang tua merupakan pembimbing pertama yang mula-mula dikenal anak. Oleh karena itu Rasul Allah SAW menekankan bimbingan itu pada tanggung jawab kedua orang tua. Hal ini mengandung makna bahwa orang tua mampu membentuk arah keyakinan anak, karena manusia dilahirkan pasti membawa fitrah keagamaan, setiap bayi yang dilahirkan tentu memiliki potensi untuk beragama. Yang kemudian fitrah keagamaan tersebut dikembangkan melalui bimbingan, pemeliharaan dan pelatihan yang intensif. Sehingga keagamaan anak sangat bergantung pada pengaruh orang tua. ”Keluarga merupakan lembaga sosialisasi yang pertama dan utama bagi anak.” (Sri Lestari, 2012: 121). Keluarga mengajarkan anak untuk
19
mengenal dan menyesuaikan diri dengan dunia luas. Keluarga menjadi sarana primer yang memberikan pengetahuan tentang keagamaan, khususnya ketika anak-anak berada pada fase perkembangan awal yang memiliki kecenderungan untuk menirukan aktivitas yang dilakukan oleh orang tuanya. Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anaknya adalah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan.
Sehingga
keluarga
memiliki
peran
penting
dalam
membentuk karakter dan kepribadian anak, dengan cara memberikan didikan religius dan memberikan tauladan yang baik bagi anak-anaknya. Selanjutnya, Muhibbin Syah (2013: 37) menjabarkan bahwa: Dipihak lain, jika orang tua berkehendak mendidik anaknya dalam bidang agama, maka ia tak akan lepas dari upaya pengajaran agama dengan cara dan kemampuannya sendiri. Dalam hal ini, pengajaran agama orang tua itu tentu tidak harus dilaksanakan dengan cara berceramah seperti guru dikelas, tetapi dengan memberi wejangan, teladan, dan bimbingan praktis sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya. Keluarga merupakan institusi pendidikan pertama yang didapatkan anak dari orang tuanya. Orang tua sebagai peletak dasar pendidikan agama berkewajiban untuk memberikan wawasan pengetahuan tentang agama serta memberikan tauladan yang baik agar dapat dijadikan acuan anak dalam bertingkah laku. Ketika keluarga menanamkan pendidikan agama secara intensif, anak memiliki acuan yang jelas dalam bertingkah laku agar dapat mencapai perkembangan sosial yang dapat diterima oleh masyarakat. Sedangkan ketika keluarga kurang menanamkan pendidikan agama terhadap anak-anaknya, anak cenderung membangkang dari aturan yang berlaku dalam norma agama karena anak tidak memiliki acuan yang jelas dalam bertingkah laku, sehingga perkembangan sosial anak tidak diterima dengan baik oleh masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diperoleh makna bahwa kehidupan beragama dalam keluarga merupakan penerapan kaidah agama yang dilaksanakan dalam suatu unit keluarga, yang menjadikan agama sebagai aturan mutlak dalam bertingkah laku baik dengan Tuhan, sesama
20
manusia dan diri sendiri. Dalam keluarga yang memiliki sikap keagamaan, akan menjadikan agama sebagai patokan dalam segala sesuatu yang terjadi sepanjang rentang kehidupan, agama diyakini sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu kebaikan serta menjadikan agama sebagai ketentuan antara mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam ajaran agama yang dianut. Sehingga dalam sikap keagamaan manusia terkandung makna bahwa agama sebagai acuan dalam beribadah, bertingkah laku yang baik, dan berbuat kebaikan. b. Aspek dan Dimensi Kehidupan Beragama Manusia beragama tentunya tidak hanya mengetahui berbagai konsep dan ajaran agama, melainkan juga meyakini, menghayati, mengamalkan dan mengaplikasikan agama dalam kehidupan sehari-hari. Glock dan Stark (dalam Taufik Abdullah, 1989: 93) mengklasifikasikan kehidupan beragama menjadi tiga komponen dasar yang berupa pengetahuan, penghayatan dan perbuatan. 1) Aspek pengetahuan atau kognitif berisi informasi berupa kepercayaan dari konsep ajaran agama, mencakup dimensi keyakinan (ideologis) dan dimensi pengetahuan agama (intelektual). 2) Aspek penghayatan atau afektif berisi penghayatan terhadap keberadaan agama, mencakup dimensi penghayatan (eksperiensial). 3) Sedangkan aspek behavioral atau perbuatan mewakili tampilan riil baik berupa ritual, mencakup dimensi praktek agama (ritualistik) dan dimensi pengalaman (konsekuensial). Dalam kehidupan beragama terdapat tiga komponen dasar yang harus terpenuhi, yakni berupa pengetahuan yang berisi informasi akan keyakinan agama dan pengetahuan agama, penghayatan yang berisi pengahayatan akan penerapan ajaran agama, dan perbuatan yang mencerminkan penerapan ibadah dan pengalaman tentang hidup bagama. Glock dan Stark (dalam Roland Roberson, 1988: 295-297) membagi dimensi kehidupan beragama menjadi lima dimensi berikut:
21
1) Dimensi Keyakinan (Ideologis) Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui doktrin-doktrin tersebut. ”Dimensi ideologis menyangkut seperangkat kepercayaan yang menjadi dasar penjelas hubungan antara Tuhan, manusia dan alam” (Taufik Abdullah, 1989: 93). Hal ini dapat diperoleh makna bahwa dimensi keyakinan mengacu pada tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka. 2) Dimensi Pengetahuan Agama (Intelektual) Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki jumlah minimal mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus, kitab suci dan tradisi. Dapat diartikan bahwa dimensi pengetahuan lebih terfokus pada tingkat pengetahuan seseorang terhadap ajaran agama, terutama yang ada di dalam kitab suci manapun atau yang lainnya. 3) Dimensi Penghayatan (Eksperiensial) Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan tertentu yang merujuk pada seluruh keterlibatan subjektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari suatu agama. Dimensi penghayatan bersifat afektif terkait dengan kualitas emosi dan sentimen terhadap ajaran agama. Taufik Abdullah (1989: 93) mengemukakan perasaan keagamaan dapat bergerak dalam empat tingkatan: a) Konfrimatif yakni merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya. b) Responsif yakni merasa bahwa Tuhan menjawab kehendaknya dan keluhannya. c) Eskatik yakni merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan.
22
d) Partisipatif yakni merasa menjadi kekasih Tuhan. Dapat diambil makna bahwa dimensi eksperiensial berupa perasaan-perasaan atau pengalaman yang pernah dialami dan dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh Tuhan. 4) Dimensi Praktek Agama (Ritualistik) Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. ”Dimensi ritualistik merujuk pada pedoman-pedoman pokok dalam pelaksanaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari” (Taufik Abdullah, 1989: 93). Dimensi ini sejajar dengan ibadah yang berkaitan dengan syarat dan rukun yang ditetapkan dalam Al-Quran serta penjelasan dalam hadis nabi. 5) Dimensi Konsekuensi Konsekuensi komitmen agama berlainan dari keempat dimensi yang sudah dibicarakan di atas. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktek, penghayatan, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. ”Dimensi konsekuensial atau dimensi sosial meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama” (Taufik Abdullah, 1989: 93). Dari dimensi kehidupan beragama yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat lima dimensi dalam kehidupan beragama, yakni dimensi keyakinan yang berupa akidah islam atau rukun iman, dimensi pengetahuan agama berupa pengetahuan Al-Quran baik isi kandungan maupun maknanya dan konsep ajaran agama, dimensi pengahayatan berupa pengahyatan akan hubungan dengan tuhan, dimensi praktek agama berupa pengaplikasian ibadah sehari-hari, dan dimensi konsekuensi berupa konsekuensi yang ditimbulkan oleh ajaran agama seperti hubungan manusia dengan manusia.
23
c. Karakteristik Kehidupan Beragama Dalam kehidupan beragama, agama dijadikan acuan dasar yang mengatur individu dalam bertingkah laku. Semua manusia pasti memiliki agama, namun sikap keagamaan setiap manusia berbeda-beda, sesuai dengan kadar ketaatan terhadap agama. ”Sikap keagamaan merupakan keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama” (Jalaluddin, 2009: 291). Dapat diberi makna bahwa sikap keagamaan merupakan integrasi antara perasaan agama, pengetahuan agama, serta tindakan agama dalam diri seseorang. Rasa keagamaan merupakan kebutuhan untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Manusia memiliki sikap keberagamaan karena mengharapkan pahala dan menghindari dosa. Bagi manusia yang memiliki kadar ketaatan terhadap agama yang tinggi, agama dijadikan sebagai kebutuhan dan keinginan yang bersifat universal, sama halnya ketika manusia membutuhkan makan dan minum agar dapat menjalani aktivitas sehari-hari. Sehingga dengan reflek akan senantiasa menjalankan ajaran agama, sekalipun ketika terdapat halangan yang membuat individu tersebut tidak menjalankan ajaran agama, dirinya akan merasa tidak tenang dan merasa berdosa. Syamsu Yusuf LN (2006: 145), secara umum kriteria kematangan dalam kehidupan beragama adalah sebagai berikut: 1) Memiliki kesadaran bahwa setiap perilaku yang dilakukan manusia baik perilaku yang tampak maupun tersembunyi, tidak lepas dari pengawasan Tuhan. Kesadaran ini terefleksi dalam sikap dan perilakunya yang jujur, amanah, istiqomah dan merasa malu untuk berbuat yang melanggar aturan Allah. 2) Mengamalkan ibadah ritual secara ikhlas dan mampu mengambil hikmah dari ibadah tersebut dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Senantiasa memiliki prinsip bahwa ibadah merupakan suatu kebutuhan yang tidak boleh ditinggalkan.
24
3) Memiliki penerimaan dan pemahaman secara positif akan irama kehidupan yang ditetapkan oleh Tuhan, yaitu bahwa kehidupan setiap manusia mengalami kegoncangan antara suasana kehidupan yang kesulitan dan kemudahan. Sehingga senantiasa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala merupakan jerih payah yang diberikan Tuhan. Sebaliknya segala bentuk penderitaan merupakan keteledoran atas kesalahan yang pernah dilakukan. Pribadi seperti ini memiliki keyakinan bahwa Tuhan maha pengasih dan penyayang. 4) Bersyukur pada saat mendapatkan suatu anugerah, baik dengan ucapan maupun perbuatan dan bersabar pada saat mendapat musibah. Bagi orang yang telah matang sikap keagamaannya, akan menyadari bahwa musibah merupakan ujian dari Tuhan yang akan meningkatkan nilai keimanannya. Anggapan bahwa musibah datang sebagai peringatan Tuhan atas perbuatan dosa. Menyebabkan manusia mengalami keguncangan jiwa yang menimbulkan kesadaran akan kebutuhan keagamaan. Bahkan semakin berat musibah yang dialami, maka semakin tinggi kadar ketaatan terhadap agama. 5) Menjalin dan memperkokoh jalinan persaudaraan dalam bentuk tolong-menolong dalam kebaikan dan saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran. Manusia hidup dalam lingkungan sosial yang membentuk proses sosialisasi, dalam kehidupan bermasyarakat manusia membutuhkan bantuan orang lain. Sehingga antar manusia menciptakan jalinan persaudaraan yang baik sesuai dengan ajaran agama. 6) Senantiasa mencegah dan memberantas kemusyrikan, kekufuran, dan kemaksiatan. Pribadi yang memiliki ketaatan agama yang tinggi akan menjauhi larangan yang ada pada ajaran agama, terlebih lagi membantu manusia lainnya untuk keluar dari jurang kemaksiatan dan mendoktrin orang lain bahwa Tuhan itu ada dan selalu melihat disetiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
25
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Beragama Kehidupan beragama memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi akan pengembangan dalam pembentukan sikap beragama. Menurut Robert H. Thouless (2009: 34) bahwa faktor yang membentuk sikap keagamaan terdiri dari empat faktor kelompok utama, yakni: 1) Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial). Faktor sosial yang dimaksudkan mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan terdiri dari: a) Pendidikan dari orang tua Pendidikan keagamaan yang didapat pada masa kanak-kanak, akan melekat hingga mencapai masa dewasa. Untuk itu pendidikan agama dari orang tua sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap keagamaan anak, karena orang tua adalah sarana pendidikan agama yang pertama dan utama bagi anak dan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang bersifat kodrati. b) Tradisi-tradisi sosial Dalam
kehidupan
sosial,
individu
berusaha
untuk
mempelajari ritual-ritual keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat sekitar dan menyesuaikan diri dengan kaidah agama yang dianut, untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dimana ia tinggal. Sehingga individu mampu memadukan antara tradisi ritual masyarakat dengan kaidah agama yang diyakini, dari proses perpaduan tersebut imdividu dapat mempelajari mana yang baik dilakukan dan mana yang buruk untuk dilakukan. c) Tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan. 2) Berbagai
pengalaman
yang
membantu
perkembangan
sikap
keagamaan terutama pengalaman-pengalaman mengenai : a) Keindahan, keselarasan, dan kebaikan di dunia (faktor alami). Pada umumnya ada anggapan bahwa kehadiran pengalaman keindahan,
26
keselarasan dan kebaikan yang dirasakan dalam dunia nyata memainkan peranan dalam membentuk sikap keberagamaan. b) Konflik moral (faktor moral). Pada konflik moral terjadi suatu pertentangan antara nilai agama yang diyakini dengan keadaan yang nyata. Sehingga dari pengalaman konflik moral, individu mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakukan. c) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif). Pengalaman ini lebih terikat secara langsung dengan Tuhan atau dengan sejumlah wujud lain bersifat keagamaan. Dikarenakan dengan pengalaman ini akan memberikan motivasi untuk beragama. 3) Faktor-faktor yang keseluruhannya atau sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhankebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri, dan ancaman kematian. Dengan kata lain, latar belakang seseorang untuk meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama dikarenakan mengalami suatu rintangan, konflik, penderitaan atau sebab lain yang sulit untuk diungkapkan yang menyebabkan ketidak tenangan batin dan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan rohani. Sehingga menimbulkan dorongan untuk memenuhi kebutuhan akan kepuasan agama. 4) Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual). Manusia adalah makhluk yang dibekali akal oleh Tuhan agar manusia mampu berpikir mana yang baik dan mana yang buruk, terlebih lagi dalam pilihan untuk meyakini suatu ajaran agama. Salah satu akibat dari pemikiran tersebut
individu
berusaha
membantu
dirinya
sendiri
untuk
menentukan keyakinan mana yang harus diterima dan ditolak sesuai dengan pemikiran intelekual yang dimiliki. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perkembangan
beragama
seseorang menurut Syamsu Yusuf LN (2006: 136) adalah faktor pembawaan dan lingkungan.
27
1) Faktor Pembawaan (Internal) Faktor
pembawaan
beragama
merupakan
potensi
yang
mempunyai kecenderungan untuk berkembang, berupa keseluruhan dari potensi untuk beragama yang terdapat pada seorang individu dan kemudian menjadikan potensi tersebut sebagai masa perkembangan keagamaannya benar-benar dapat direalisasikan. Setiap manusia memiliki potensi keagamaan dengan karakteristik masing-masing, tergantung bagaimana individu menyikapi dan mengembangkan potensi keagamaan yang dimiliki. 2) Faktor Lingkungan (Eksternal) Faktor lingkungan tiada lain adalah lingkungan dimana individu itu hidup, yakni lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. a) Lingkungan keluarga Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh anak, sehingga kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak serta keluarga dinilai sebagai peletak dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan. Dengan demikian, perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh pola asuh keluarga. Jika orang tua memberikan tauladan dengan menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, maka anak akan cenderung mengaplikasikan sikap dan tingkah laku orang tua terhadap dirinya, begitupun sebaliknya. Kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah
dominan,
untuk
itu
seyogianya
perlu
dipahami
pentingnya kepedulian orang tua sebagai berikut: (1) Karena orangtua merupakan pembina pribadi yang pertama bagi anak, dan tokoh yang diidentifikasi atau ditiru anak, maka seharusnya orang tua memiliki kepribadian yang baik menyangkut sikap, kebiasaan berperilaku atau tatacara hidupnya.
28
(2) Orang tua hendaknya memperlakukan anaknya dengan baik, dengan memberikan curahan kasih sayang dengan ikhlas, menghargai pribadi anak, mendengarkan pendapat anak, memaafkan dan meluruskan kesalahan anak dengan alasan yang tepat. (3) Orang tua hendaknya memelihara hubungan yang harmonis antar anggota keluarga. (4) Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan, atau melatih agama terhadap anaknya, serta memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari tentang ajaran agama. (Syamsu Yusuf LN, 2006: 138-139). b) Lingkungan sekolah Lingkungan
institusional
yang
ikut
mempengaruhi
perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun non formal sebagai perkumpulan dan organisasi. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Dengan membentuk kepribadian anak, secara tidak langsung akan membantu perkembangan jiwa keagamaan anak. c) Lingkungan masyarakat Lingkungan masyarakat merupakan situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu
(Syamsu
Yusuf
LN,
2006:
141).
Kehidupan
bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai-nilai. Karena itu setiap individu berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan norma dan nilai-nilai yang ada sehingga kehidupan bermasyarakat memiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi bersama. Bahkan, terkadang pengaruh lingkungan lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik bersifat positif ataupun negatif. Jika lingkungan sosial menampilkan perilaku
29
sesuai dengan kaidah agama maka individu akan cenderung beraklak baik, sebaliknya jika lingkungan sosial menampilkan perilaku yang menyimpang dari kaidah agama maka individu akan cenderung beraklak buruk. 3. Kontribusi
Kehidupan
Beragama
dalam
Keluarga
terhadap
Perkembangan Sosial Siswa Agama merupakan seperangkat sistem nilai dalam bentuk pembenaran untuk mengatur sikap individu dan masyarakat. Karena itu agama mengandung arti suatu undang-undang atau aturan mutlak yang berisikan nilai dan norma religius yang mengatur manusia dalam bertingkah laku, berperasaan dan berkeyakinan khusus menyangkut segala sesuatu yang bersifat ketuhanan di sepanjang rentang kehidupan. Untuk itu, manusia diharuskan memiliki sikap keberagamaan agar dapat bertingkah laku sesuai nilai dan norma yang terkandung dalam agama. Sehingga segala tingkah laku manusia tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Dikarenakan keluarga merupakan unit sosial terpenting yang memiliki tingkat intensitas bertemu tertinggi. Para anggota keluarga menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya, tidak hanya membentuk kelompok sosial melainkan menjalankan fungsi-fungsi yang ada dalam suatu keluarga, salah satunya menjalankan fungsi religius. Pendidikan keagamaan diperoleh anak pertama kali dari keluarga. Keluarga tidak hanya menjadi pendidik keagamaan untuk anak melainkan juga menjadi tauladan bagi anak dalam menerapkan sikap keberagamaan. Tak mengherankan jika Sigmund Freud dalam (Jalaluddin, 2009: 21) menyatakan bahwa “Keberagamaan anak terpola dari tingkah laku bapaknya.” Segala tingkah laku yang akan dilakukan oleh anak, cenderung melihat panutan pertamanya, yakni orang tua yang dianggap sebagai figur contoh dalam segala tingkah laku yang akan dilakukan oleh anak. Ketika anak bergaul di lingkungan sosial, banyak sekali pengaruhpengaruh yang muncul, terlebih lagi dari faktor eksternal, salah satunya pengaruh teman sebaya. Sedangkan di zaman modern ini, pengaruh negatif
30
lebih besar imbasnya daripada pengaruh positif. Jika dalam diri anak tidak ditanamkan sikap keberagamaan oleh orang tuanya, anak cenderung kurang bisa menyesuaikan diri dan menempatkan diri dalam lingkungan sosial. Sebaliknya jika dalam diri anak ditanamkan sikap keberagamaan oleh orang tuanya, pribadi anak akan cenderung mampu menyesuaikan diri dan menempatkan diri dalam lingkungan sosial, sehingga anak mendapatkan penerimaan sosial yang baik oleh masyarakat. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Elizabeth B. Hurlock (1978: 275 bahwa: Jika perilaku sosial tidak memenuhi harapan sosial, hal itu membahayakan bagi penerimaan sosial oleh kelompok. Jika hal ini terjadi, akibatnya akan menghilangkan kesempatan anak untuk belajar sosial, sehingga sosialisasi mereka semakin jauh lebih rendah dibandingkan teman seusia. Dari pendapat ini, dapat diketahui bahwa perilaku sosial akan mempengaruhi perkembangan kehidupan sosial anak, sedangkan perilaku sosial terbentuk dari sikap keluarga, sehingga dengan penanaman sikap keberagamaan dalam keluarga dapat dijadikan acuan atas perilaku sosialnya dikarenakan agama merupakan undang-undang tertinggi mengandung nilai dan norma yang mengatur individu dalam bertingkah laku. 4. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian kontribusi keberagamaan dalam keluarga terhadap perkembangan sosial siswa sebagai berikut: a. Penelitian yang dilakukan oleh Sujianti tahun 2014 yang berjudul ”Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perkembangan Sosial Emosi Anak Prasekolah Di Kb dan TK Al-Irsyad 01 Cilacap”. Penelitian ini diperoleh kesimpulan ada hubungan yang signifikan antara tipe pola asuh orang tua dengan perkembangan sosial emosi anak di KB dan TK Islam Al-Irsyad 01 Cilacap tahun 2014, yakni orang tua yang menerapkan tipe pola asuh demokratis memiliki anak dengan perkembangan sosial emosi yang tinggi, sedangkan orang tua yang menerapkan tipe pola asuh otoriter memiliki anak dengan perkembangan sosial emosi yang rendah.
31
b. Penelitian ini dilakukan oleh Nurul Setyaningsih tahun 2012 yang berjudul ”Kontribusi Kehidupan Keberagamaan dalam Keluarga Terhadap Tingkat Pencapaian Tugas-Tugas Perkembangan Siswa, Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 7 Surakarta Tahun Pelajaran 2011/2012.” Pada penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa ada kontribusi yang signifikan dari kehidupan keberagamaan dalam keluarga siswa terhadap tingkat pencapaian tugastugas perkembangan siswa kelas VIII SMP. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan keberagamaan dalam keluarga memiliki keyakinan akan agamanya yang taat dan tinggi akan mempengaruhi pencapaian tugastugas perkembangan siswa. B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan teori yang diungkapkan di atas, dapat ditarik suatu gagasan bahwa kehidupan beragama dalam keluarga diduga berpengaruh terhadap perkembangan sosial siswa. Keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan sosial anak, salah satunya dalam hal beragama. Kehidupan beragama dalam keluarga yang cenderung tinggi akan memberikan sumbangan terhadap perkembangan sosial anak. Sebaliknya, kehidupan beragama dalam keluarga yang rendah, akan menghambat perkembangan sosial anak. Kehidupan Beragama dalam Keluarga Siswa
Perkembangan Sosial Siswa Tercapai tidaknya kematangan
Suatu rutinitas dalam keluarga
perkembangan individu dalam
yang
ada
sosialisasi dan hubungan sosial
kaidah
yaitu ada tidaknya kemampuan
agama dalam kehidupan sehari-
individu dalam bertingkah laku
hari yang digunakan sebagai
sesuai
acuan dalam bertingkah laku
harapan-harapan
mencakup aspek pengetahuan,
tidaknya individu diterima secara
aspek penghayatan, dan aspek
sosial.
ditandai
tidaknya
dengan
penerapan
dengan
perbuatan. Gambar 2. 1. Kerangka Berpikir
tuntutan sosial,
dan dapat
32
C. Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris (Suwarto dan St. Y. Slamet, 2007: 76). Berdasarkan kerangka berpikir tentang kontribusi kehidupan beragama dalam keluarga terhadap perkembangan sosial siswa, pada siswa kelas XI SMK Batik 1 Surakarta, maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut: 1. Perkembangan sosial siswa kelas XI SMK Batik 1 Surakarta tergolong kategori sedang. 2. Kehidupan beragama dalam keluarga siswa tersebut tergolong kategori sedang. 3. Kehidupan beragama dalam keluarga berkontribusi terhadap perkembangan sosial siswa tersebut.