BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Kajian Teori
2.1.1 Belajar dan Pembelajaran Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan, dan sikap. Belajar juga merupakan
aktivitas yang
dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman. (Baharudin dan Wahyuni 2007:11) Menurut Hilgrad dan Bower dalam Baharudin dan Wahyuni (2007:13) menyatakan belajar adalah Belajar (to learn) memiliki arti:1) to gain knowledge, comprehension, or mastery of trough experience or study; 2) to fix in the mind or memory, memorize;3) to acquire trough experience;4) to become in forme of to find out. Menurut definisi tersebut, belajar memiliki pengertian memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapat informasi atau menemukan. Dengan demikian, belajar memiliki arti dasar adanya aktivitas atau kegiatan dan penguasaan tentang sesuatu. Pembelajaran merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Selain itu pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik atau guru agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
8
9
2.1.2 Efektifitas Pembelajaran Untuk menciptakan efektivitas pembelajaran yang baik guru harus memiliki kreatifitas, hal ini dapat menciptakan suasana belajar siswa yang menyenangkan. Kreatifitas sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru dan untuk mencapai tujuan yang lebih baik, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang sudah ada sebelumnya. Starawaji (2009) mengatakan efektivitas berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil, tepat atau mujur. Efektivitas menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan, suatu usaha dikatakan efektif jika usaha itu mencapai tujuannya. Slameto (2010:92) mengungkapkan bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat membawa siswa belajar efektif. Pembelajaran akan efektif jika waktu yang tersedia sedikit saja untuk guru melakukan ceramah dan waktu yang besar adalah untuk kegiatan intelektual dan untuk pemeriksaan pemahaman siswa. Belajar yang efektif siswa berusaha memecahkan masalah termasuk pendapat bahwa bila seseorang mampu menciptakan masalah dan menemukan kesimpulan lebih lanjut Slameto, mengemukakan bahwa suatu pembelajaran dikatakan efektif jika memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain: (1) belajar secara aktif, baik secara mental maupun fisik. (2) adanya variasi metode dalam pembelajaran, (3) adanya motivasi, (4) kurikulum yang baik dan seimbang, (5) adanya pertimbangan perbedaan individu (6) adanya perencanaan sebelum pembelajaran (7) adanya suasana yang demoratis, (8) penyajian bahan pelajaran yang merangsang siswa untuk berfikir, (9) interaksi semua pelajaran, (10) kaitan antara kehidupan nyata kehidupan sekolah, (11) kebebasan siswa dalam interaksi pembelajaran, (12) pengajaran remedial. Menurut Eggen dan Kauchak dalam Fauzi (2009) mengemukakan bahwa : Pembelajaran yang efektif apabila siswa secara aktif dilibatkan dalam pengorganisasian dan penentu informasi (pengetahuan). Siswa tidak hanya pasif menerima pengetahuan yang diberikan guru. Hasil belajar ini tidak hanya meningkatkan pemahaman siswa saja, tetapi juga meningkatkan keterampilan berfikir siswa.
10
Keefektifan pembelajaran yang dimaksud di sini adalah sejauh mana pembelajaran IPA berhasil menjadikan siswa mencapai tujuan pembelajaran yang dapat dilihat dari ketuntasan belajar. Menurut Suryosubroto dalam Fauzi (2009) dalam agar pelaksanaan pengajaran IPA efektif yang perlu diperhatikan adalah : 1. Konsistensi kegiatan belajar dengan kurikulum dilihat dari aspek: tujuan pembelajaran, bahan pengajaran, alat pengajaran yang digunakan , dan strategi evaluasi. 2. Keterlaksanaan kegiatan belajar mengajar meliputi : a) Menyajikan alat, sumber dan perlengkapan belajar b) Mengkondisikan kegitan belajar mengajar c) Menggunakan waktu yang tersedia untuk kegiatan belajar mengajar secara efektif. d) Motivasi belajar siswa e) Menguasai bahan pelajaran yang akan di sampaikan f)
Mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar mengajar
g) Melaksanakan komunikasi interaktif kepada siswa h) Melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar. Dapat disimpulkan bahwa efektifitas guru mengajar nyata dengan menyajikan kreatifitas guru yang sesuai materi pembelajaran dapat dilihat dari keberhasilan siswa dalam menguasai apa yang diajarkan guru itu. Efektifitas pembelajaran dapat dicapai apabila rancangan pada persiapan, implementasi, dan evaluasi dapat dijalankan sesuai prosedur serta sesuai dengan fungsinya masingmasing. Tinjauan utama efektifitas pembelajaran adalah kompetensi siswa. Efektivitas dapat dicapai apabila semua unsur dan komponen yang terdapat pada sistem pembelajaran berfungsi sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
11
2.1.3 Pengertian IPA Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains dalam arti sepit sebagai disiplin ilmu. James Conant dalam Samatowa (2010:3) mendefinisikan sains sebagai suatu konsep serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain dan yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksperimenkan lebih lanjut. IPA (sains) berupanya membangkitkan minat manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tak habis-habisnya. IPA di SD hendaknya membuka kesempatan untuk memupuk rasa ingin tahu anak didik secara alamiah. Hal ini akan membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan bertanya dan mencari jawaban berdasarkan bukti serta mengembangkan cara berfikir secara ilmiah. Fokus program pembelajaran IPA di SD hendaknya ditujukan untuk memupuk minat dan pengembangan anak didik terhadap dunia siswa di mana siswa berada. Untuk memenuhi pendidikan IPA, pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar IPA antara lain: pendekatan lingkungan, ketrampilan proses, penyelidikan, dan terpadu. Hakikat IPA yakni : a. Pengetahuan alam sudah jelas artinya dalah pengetahuan tentang alam semesta dengan segala isinnya. Adapun pengetahuan itu sendiri segala sesuatu yang diketahui oleh manusia. Hendro Darmojo dalam Samatowa (2010:2) mengatakan secara singkat IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta dengan segala isinya. Selain itu, Hendro Darmojo dalam bukunya The Nature of Science (Samatowa 2010:3), menyatakan bahwa IPA itu adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam. Nash dalam Samatowa (2010:2) juga menjelaskan bahwa cara IPA mengamati dunia ini bersifat analisis, lengkap, cermat, serta menghubungkan antara suatu fenomena dengan fenomena lain, sehingga keseluruhannya membentuk suatu perspektif yang baru tentang objek yang diamatinya.
12
b. Perlunya IPA Diajarkan di Sekolah Dasar Setiap guru harus paham akan alasan mengapa IPA diajarkan di sekolah sekolah dasar. Ada berbagai alasan yang menyebabkan satu mata pelajaran itu dimasukan ke dalam kurikulum suatu sekolah (Samatowa 2010:4). Alasan itu dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu: 1. IPA berfaedah bagi suatu bangsa,kiranya tidak perlu dipersoalkan panjang lebar. Kesejahteraan materiil suatu bangsa banyak sekali tergantung pada kemampuan bangsa dalam bidang IPA, sebab IPA merupakan dasar teknologi, sering disebut-sebut sebagai tulang punggung pembangunan. Pengetahuan dasar untuk teknologi adalah IPA. Orang tidak menjadi insinyur elektronika yang baik, atau dokter yang baik, tanpa dasar yang cukup luas mengenai berbagai gejala alam. 2.
Bila diajarkan IPA menurut cara yang tepat, maka IPA merupakan suatu mata pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis.
3. Bila IPA diajarkan melalui percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri oleh anak, maka IPA tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat hafalan belaka. 4. Mata pelajaran ini mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai potensi yang dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan. Aplikasi teori perkembangan kognitif pada pendidikan IPA adalah sebagai berikut : 1. Konsep IPA dapat berkembang baik, bila pengalaman langsung mendahului pengenalan generalisasi-generalisaisi abstrak. Metode ini berlawanan dengan metode tradisional, dimana konsep IPA diperkenalkan secara verbal saja. 2. Daur belajar yang mendorong perkembangan IPA sebagai berikut: a. Eksplorasi, yaitu dimana anak mengalami atau mengindera objek secara langsung. Pada langkah ini anak memperoleh informasi baru yang adakalanya bertentangan dengan konsep yang telah dimilikinya. b. Generalisasi, yaitu menarik kesimpulan dari berbagai informasi
13
(pengalaman) yang tampaknya bertentangan dengan yang dimiliki oleh anak. c. Deduksi, yaitu mengaplikasikan konsep baru (generalisasi) itu pada situasi dan kondisi yang baru. Proses berpikir perkembangan melalui tahap daur belajar ini mendorong perkembangan anak dapat menganalisis objek IPA dari pemahaman umum hingga pemahaman khusus. 2.1.4 Pengertian Pembelajaran Kontekstual Menurut Nurhadi (2004) mengungkapkan sistem kontekstual adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik melihat makna dalam bahan yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupannya sehari-hari. Sementara The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning (Nurhadi, 2004:12), merumuskan pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar di sekolah dan diluar sekolah untuk memecahkan persoalan yang ada dalam dunia nyata. Nurhadi (2004: 13) menyebutkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar pada saat guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran yang selalu berupaya untuk mengaitkan materi pelajaran dengan dunia nyata siswa sehingga nantinya diharapkan siswa akan dapat lebih mudah memahami materi pelajaran tersebut dan dapat memahami masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dan sekaligus mampu memecahkan
masalah
tersebut
dengan
menerapkan
materi
yang
telah
diperolehnya di sekolah. 2.1.4.1 Pengertian CTL Menurut KUBI dalam Kesuma dkk (2010:57) kata
kontekstual
14
(contextual) berasal dari kata context yang berati “hubungan, konteks, suasana dan keadaan (konteks)”. Sehingga Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu. Secara umum contextual mengandung arti: yang berkenan, relevan, ada hubungan atau kaitan langsung, mengikuti konteks; yang membawa maksud, makna, dan kepentingan. Menurut Depdiknas dalam Kesuma (2010:58) mengemukakan bahwa Contextual Teaching and Learning adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Howey R, Keneth dalam bukunya Rusman (2010:190) mengatakan bahwa pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar dimana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif atau nyata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Belajar melalui apa yang dialami dan apa yang dipelajari akan lebih bermakna jika dibanding dengan pembelajaran yang berorientasi penguasaan materi. Pembelajaran yang berorientasi dengan penguasaan materi telah terbukti berhasil dalam evaluasi dalam jangka pendek tetapi gagal dalam membekali peserta didik memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang. Dari devinisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan Contextual Teaching and Learning disingkat menjadi CTL adalah suatu pendekatan yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Landasan filosofis CTL adalah kontruktivisme yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal,tetapi mengkontruksiksan atau membangun
15
pengetahuan dan ketrampilan baru lewat fakta-fakta yang dialami (Muslich 2004:41). Konteks yang bermakna lebih dari sekedar kejadian-kejadian yang terjadi disuatu tempat dan waktu. Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong siswa melihat makna dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan keseharian mereka yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Sistem CTL menurut Johnson dalam Syaiful Sagala (2010:67) merupakan proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjeksubjek akademik dalam konteks kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut
meliputi delapan
komponen berikut: membuat keterkaitan-
keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik. Tujuan pembelajaran kontekstual menurut Khilmiyah dalam Tukiran,Mifta (2011:50) adalah untuk membekali peserta didik berupa pengetahuan dan kemampuan (skiil) yang lebih realitis karena inti pembelajaran ini adalah untuk mendekatkan hal-hal yang teoritis ke praktis. Sehingga dalam pelaksanaan metode ini diusahakan teori yang dipelajari teraplikasi dalam situasi yang riil. Bagi guru metode ini membantu untuk mengaitkan materi yang diajarkan dengan dengan dunia nyata dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan
sebelumnya (pior knowledge) dengan aplikasinya dalam kehidupan mereka di masyarakat. 2.1.4.2 Konsep Dasar Setrategi Pembelajaran CTL CTL adalah suatu pendekatan yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa
16
untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Menurut Joko dalam (www.wordpress.com) Dari konsep diatas terdapat tiga hal yang harus kita pahami : 1. CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar dioryentasikan pada proses pengalaman secara langsung. 2. CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan. 3. CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari – hari. 4. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. CTL dapat merangsang siswa belajar aktif, dapat menimbulkan motivasi pada siswa untuk belajar, belajar berpikir kritis, melatih siswa untuk berkomunikasi, membantu siswa dalam mempertajam pelajarannya, melatih siswa percaya diri, dan lain sebagainya. Pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke
17
siswa. 2.1.4.3 Komponen pembelajaran kontekstual Untuk mewujudkan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) yang
ideal
menurut Rusman (2010:193), terdapat tujuh prinsip
kontekstual yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu : 1. Kontruktivisme (Contructivision) Kontruktivisme (Construktivisme) merupakan landasan berpikir filosofi model pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat faktafakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Berdaarkan hal ini, maka pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkontruksi bukan menerima pengetahuan. 2. Bertanya (Questioning) Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang, selalu bermula dari bertanya, karena bertanya merupakan setrategi utama pembelajaran yang berbasis kontekstual. Dalam usaha pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk (1) menggali informasi, balk administrasi maupun akademis, (2) mengecek pemahaman siswa, (3) membangkitkan respon kepada siswa, (4) mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa, (5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, (6) menfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, (7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa, (8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. 3. Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Sinklus inquiry adalah Observasi
18
(Observation), Bertanya (Questioning), Mengajukan dugaan (Hiphotesis), Pengumpulan data (Data gathering), Penyimpulan (Conclussion). 4. Masyarakat belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar menyarankan agar kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh melalui sharing antar teman, antar kelompok,dan antar yana tahu kepada yang belum tahu. Diruang ini di kelas ini, di sekitar ini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semuanya adalah anggota masyarakat belajar. 5. Pemodelan (Modeling) Komponen model pembelajaran selanjutnya adalah pemodelan. Dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu,ada model yang di tiru. Model itu member peluang besar bagi guru untuk memberi contoh cara mengerjakan sesuatu, dengan begitu guru member model tentang bagaimana cara belajar. Sebagian guru memberi contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakn tugas, misalnya cara menemukan kata kunci bacaan. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemontrasikan cara menemukan kata kunsi dalam bacaan dengan cara menelusuri bacaan secara cepat, dengan memanfaatkan gerak mata. Secara sederhan kegiatan ini disebut pemodelan. Guru berperan sebagai model yang bias ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci. 6. Refleksi (Reflection) Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Pada akhir pelajaran, refleksi dapat dilakukan melalui pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh hari itu, catatan atau jurnal di buku siswa, diskusi, kesan, dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu. Melalui refleksi siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya serta berfungsi sebagai umpan balik. 7.
Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment) Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa menberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Program pembelajaran yang dirancang oleh guru dalam bentuk tahap demi
tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran siswa harus tercermin penerapannya dari ketujuh komponen
19
CTL dengan jelas. Adanya ketujuh komponen tersebut maka setiap guru memiliki persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam membimbing kegiatan belajar-mengajar di kelas. 2.1.4.4 Desain Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) Desain atau skenario merupakan pedoman atau alat kontrol dalam pelaksanaan pembelajaran. Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan CTL guru harus manyusun desain terlebih dahulu. Intinya pengembangan setiap komponen CTL tersebut menurut Rusman (2010:199), dalam pembelajarannya dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimilikinya. 2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan. 3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaanpertanyaan. 4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya. 5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, melalui ilustrasi, model, bahkan yang sebenarnya. 6. Membiasakan
anak
untuk
melakukan
refleksi
dari
setiap
kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan. 7. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa. 2.1.4.5 Keunggulan dan kelemahan Pembelajaran Kontekstual a. Keunggulan pembelajaran kontekstual Model pembelajaran kontekstual di sekolah dasar pada hakikatnya merupakan konsep belajar yang membantu guru dengan cara mengaitkan materi yang diajarkan dengan dunia nyata siswa, dan mendorong siswa untuk membuat
20
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dengan kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajran efektif,
yakni
kontruksional,
bertanya,
menemukan,
masyarakat
belajar,pemodelan,penalaran yang sebenarnya, dan refleksi. Depdiknas( 2002:5) Hal-hal yang pokok yang harus diidentifikasi berdasarkan pembelajaran tersebut yaitu : 1.
Materi yang diharapkan,
2.
Situasi dunia nyata siswa,
3.
Pengetahuan yang dimiliki,
4.
Penerapan dalam kehidupan sehari-hari,
5.
Tujuh komponen pembelajaran efektif.
Berdasarkan hal-hal diatas, keunggulan model pembelajaran kontekstual adalah real world learning, mengutamakan pengalaman nyata, berpikir tinggkat tinggi, berpusat pada siswa, siswa aktif, kritis, dan kreatif, pengetahuan bermakna dalam kehidupan,dekat
dengan
kehidupan
nyata,
adanya
perubahan
perilaku,
pengetahuan diberi makna, dan kegiatannya bukan mengajar tetapi belajar. Selain itu keunggulan lainya yaitu: 1. Kegiatanya lebih kepada kependidikan bukan pengajaran, 2. Sebagai pembentukan “manusia” 3. Memecahkan masalah, 4. Siswa aktif guru mengarahkan, 5. Hasil belajar diukur dengan dengan berbagai alat ukur tidak hanya tes saja. b. Kelemahan pembelajaran kontekstual Beberapa kelemahan model pembelajaran kontekstual antara lain : 1. Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran kontekstual berlangsung, 2. Jika guru tidak dapat mengendalikan kelas maka dapat menciptakan situasi kelas yang kurang kondusif. Solusi dari kelemahan tersebut adalah Guru harus bisa menyesuaikan antara materi dengan pedekatan CTL dengan baik dan guru lebih intensif dalam membimbing dan menegur siswa yang ramai. Karena dalam pendekatan CTL,
21
guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ”penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. 2.1.5 Pembelajaran Kooperatif Isjoni
dalam
Tukiran
Taniredja
dkk
(2011:55)
mengemukakan
“cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially presented by the teacher”. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa cooperatif learning adalah suatu metode dimana dalam pembelajaran bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-5 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Riyadi
Purworedjo
dalam
Tukiran
Taniredja
dkk
(2011:56)
mengemukakan pembelajaran kooperatif merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Menurut pendapat Lie (2008:29) bahwa model pembelajaran kooperatif tidak sama sekedar dengan belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran cooperative learning yang membedakanya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pada pembelajaran
dasarnya kooperatif
cooperative
learning
dapat
disimpulkan
suatu
model
pembelajaran
merupakan
bahwa yang
mengutamakan adanya kelompok-kelompok serta di dalamnya menekankan kerjasama. Tujuan metode pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya serta mengembangkan keterampilan sosial. Menurut Muslimin dkk (2000:14) mengemukakan bahwa prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
22
1. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya. 2. Setiap anggota kelompok harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama. 3. Setiap anggota kelompok harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya. 4. Setiap anggota kelompok akan dievaluasi. 5. Setiap anggota kelompok berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya. 6. Setiap anggota kelompok akan diminta untuk mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Ciri-ciri pembelajaran kooperatif sebagai berikut. 1. Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai. 2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari suku atau agama yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. 3. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok daripada masing-masing individu. 2.1.5.1 Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikembangkan oleh Slavin merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi di antara siswa yang saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang dimaksimalkan. Isjoni dalam Tukiran Taniredja (2011:64) Menurut Slavin (2010:143), tipe STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk pemulaan bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif.
23
Menurut Sharan dalam Tukiran Taniredja (2011:64) strategi pendekatan model STAD adalah sebagai berikut: a. Siswa dibagi menjadi kelompok beranggotakan empat orang yang beragam kemampuan jenis kelamin dan sukunya. b. Guru memberikan penjelasan c. Siswa-siswa di dalam kelompok itu memastikan bahwa semua anggota kelompok itu bisa mengguasai pelajaran tersebut. d. Semua siswa menjalani kuis perseorangan tentang materi tersebut. Mereka tidak dapat membantu satu sama lain. e. Nilai-nilai hasil kuis siswa diperbandingkan dengan nilai rata-rata mereka sendiri yang sebelumnya. f. Nilai-nilai itu diberi hadiah berdasarkan pada seberapa tinggi peningkatan yang bisa merekai capai atau seberapa tinggi peningkatan yang mereka capai atau seberapa tinggi nilai itu melampaui nilai mereka yang sebelumnya. g. Nilai-nilai dijumlahkan untuk mendapatkan nilai kelompok. h. Kelompok yang bisa mencapai krieria tertentu bisa mendapatkan sertifikat atau hadiah-hadiah lainya. Menurut Slavin dalam Tukiran Taniredja (2011:66) STAD terdiri atas lima komponen utama, yaitu a.
Presentasi kelas, guru memulai dengan menyampaikan indikator yang harus dicapai dan memotivasi rasa ingin tahu tahu siswa tentang materi yang akan dipelajari.
Dilanjutkan
dengan
memberikan
persepsi
dengan
tujuan
mengingatkan siswa terhadap materi prasyarat yang telah dipelajari, agar siswa dapat menghubungkan materi yang akan di sajikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Pada tahap ini perlu ditekankan: (1) mengembangkan tahap pembelajaran sesuai dengan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok;(2) menekankan bahwa belajar adalah memahami makna;(3) memberikan upan
24
balik sesering mungkin untuk mengontrol pemahaman siswa;(4) memberikan penjelasan mengapa jawaban pertanyaan itu benar atau salah;(5) beralih kepada materi selanjutnya apabila siswa telah memahami permasalahan yang ada. b.
Tim/Tahap Kerja Kelompok. Tim yang terdiri dari empat atau lima siswa mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnistas. Pada tahap ini setiap siswa diberi lembar tugas yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok siswa saling berbagi tugas. Guru sebagai fasilitator dan motivator. Hasil kerja kelompok ini dikumpulkan.
c.
Kuis/Tahap Tes Individu, diadakan pada akhir pertemuan kedua atau ketiga, kira-kira 15 menit, untuk mengetahui yang telah dipelajari secara individu, selama mereka bekerja dalam kelompok. Siswa tidak boleh saling membantu dalam mengerjakan kuis.
d.
Tahap perhitungan skor kemajuan individu, yang dihitung berdasarkan skor awal. Tahap ini dilakukan agar siswa terpacu untuk memperoleh prestasi terbaik. Slavin (Tukiran Taniredja 2011:66) memberikan pedomaan pemberian skor perkembangan individu sebagai berikut: Tabel 2.1 Tahap perhitungan skor kemajuan individu
NO 1 2 3 4 5
SKOR KUIS Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 10-1 poin di bawah skor awal Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal Lebih dari 10 poin di atas skor awal Kertas jawaban sempurna (terlepas dari skor awal)
POIN KEMAJUAN 5 10 20 30 40
e. Tahap pemberian penghargaan. Tim akan mendapatkan penghargaan setifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mencapai criteria tertentu.
25
2. Kelemahan dan Kelebihan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Menurut Soewarso dalam Ricky Krisdianto (2010:34) kelemahankelemahan yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut: a. Adanya ketergantungan sehingga siswa yang lambat berfikir tidak dapat berlatih belajar mandiri. b. Pembelajaran kooperatif memerlukan waktu yang lama sehingga target pencapaian kurikulum tidak dapat dipenuhi. c. Penilaian terhadap individu, kelompok dan pemberian hadiah menyulitkan bagi guru untuk melaksanakan. Solusi
dari
kelemahan
tersebut
adalah
Guru
harus
bisa
menyesuaikan antara materi dengan metode STAD dengan baik dan guru lebih intensif dalam membimbing dan menegur siswa yang ramai. Di dalam kelompok diberi tugas masing-masing secara merata dengan cara tersebut siswa akan bekerja dan saling bertukar pikiran dan anak yang kurang pandai tidak akan menggantungkan anak yang pandai. Meskipun banyaknya kelemahan yang timbul, menurut Soewarso dalam Ricky
Krisdianto
(2010:35)
pembelajaran
kooperatif
juga
memiliki
keuntungan, yaitu : a. Pelajaran kooperatif mempermudah siswa untuk mempelajari isi materi pelajaran yang sedang dibahas. b. Adanya anggota kelompok lain yang menghindari kemungkinan siswa mendapatkan nilai rendah, karena dalam pengetesan lisan siswa dibantu oleh anggota kelompoknya. c.
Pembelajaran kooperatif menjadikan siswa mampu belajar berdebat, belajar mendengarkan pendapat orang lain, dan mencatat hal-hal yang bermanfaat untuk kepentingan bersama-sama.
d. Pembelajaran kooperatif menghasilkan pencapaian belajar siswa yang tinggi menambah harga diri siswa dan memperbaiki hubungan dengan teman sebaya.
26
e. Hadiah atau penghargaan yang diberikan akan akan memberikan dorongan bagi siswa untuk mencapai hasil yang lebih tinggi. f. Siswa yang lambat berfikir dapat dibantu untuk menambah ilmu pengetahuannya. g. Pembentukan kelompok-kelompok kecil memudahkan guru untuk membibing siswa dalam belajar bekerja sama. 2.1.6 Pendekatan Contextual Teaching and Learning Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Pendekatan Contextual
Teaching
and
Learning
adalah model
pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa, membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan seharihari.
Dalam
pendekatan
Contextual
Teaching
and
Learning
peneliti
mengutamakan pembelajaran menggunakan benda nyata atau konkrit sebagai medianya. Dengan menggunakan benda konkrit, siswa dapat lebih mudah memahami dan meliat secara langsung suatu keadaan atau materi yang dipelajari. Pembelajaran kooperatif tipe STAD yang didasari pada kerja kelompok/ diskusi yang dipilih secara hetorogen, metode ini dapat menumbuhkan kemampuan siswa dalam kerja sama hal ini merupakan salah satu dari komponen pendekatan CTL yaitu Masyarakat belajar (Learning Community). Tetapi pembelajaran dengan metode STAD membuat siswa canggung dalam menjalani pembelajaran ini. Hal ini terjadi pembelajaran yang masih bersifat biasa. Sehingga metode ini dapat dikolaborasi agar pembelajaran menjadi lebih optimal dan menyenangkan bagi siswa yaitu pendekatan Contextual Teaching and Learning melalui metode STAD yaitu pembelajaran yang mengutamakan benda nyata atau konkrit
sebagai
medianya
yang
dilakukan
secara
kelompok.
Dengan
menggunakan benda konkrit, siswa dapat lebih mudah memahami dan meliat secara langsung suatu keadaan atau materi yang dipelajari. Maka tepat bila pendekatan Contextual Teaching and Learning dikolaborasikan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD agar siswa dapat bertukar pendapat yang baik dan dilakukan lebih optimal dan menyenangkan bagi siswa.
27
Pendekatan Contextual Teaching and Learning yang dilakukan melalui proses pembelajaran STAD itu sendiri. Terutama pada tahapan materi dan diskusi. Pada tahap materi, guru dapat menjelaskan materi pembelajaran dengan menggunakan benda konkrit sebagai media pembelajarannya. Sehingga sebelum melakukan suatu diskusi mandiri siswa sudah memahami dan mempunyai bekal yang cukup untuk menjalankan tugas nantinya. Selain pada tahap materi, pengembangan dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning juga dapat dilakukan pada tahap diskusi. Pada tahap ini dapat dilakukan dengan mendesain diskusi menggunakan media yang menarik dan nyata. Tentu dengan menggunakan media yang membatasi agar siswa tetap pada lingkup STAD yang mengutamakan kerjasama kelompok secara hetorogen. Dengan penggunaan media nyata dalam diskusi diharapkan dapat meningkatkan minat siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Pembelajaran yang dilakukan dengan benda kongkrit dan desain yang menimbulkan minat dan keinginan siswa untuk mengikuti dan memahami materi pembelajaran. Pembelajaran kooperatif pertama kali dilaksanakan di dalam kelas, sebaiknya guru terlebih dahulu memperkenalkannya kepada siswa. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang relatif sederhana pelaksanaannya adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams-Achievement Divisions) yang telah dikembangkan oleh Slavin (2010:143). Langkah-langkah yang dapat dilakukan guru untuk memperkenalkan model pembelajaran kooperatif kepada siswa adalah sebagai berikut: 1. Bagi siswa ke dalam kelompok yang terdiri dari 4 - 5 orang. Sebagai catatan: 4 anggota lebih baik. Anggota kelompok dapat ditempatkan 5 orang jika kelas tersebut tidak dapat dibagi 4 secara merata. Sebelum membagi mereka, peringkatkan siswa anda berdasarkan kinerja akademik yang telah guru rekam melalui catatan nilai mereka. Kemudian bagi daftar tersebut menjadi 4 bagian. Keempat bagian menunjukkan kelompok siswa dengan kinerja akademik: Tinggi - Sedang - Sedang - Kurang. Selanjutnya, ambil dari setiap bagian itu 1 siswa, sehingga setiap
28
kelompok terdiri dari 4 anggota dengan kinerja akademik tinggi, sedang, sedang, dan kurang. Perhatikan pula keseimbangan jenis kelamin, kesukuan, agama, sosial, dan ekonomi setiap kelompok yang dibentuk sehingga benar-benar heterogen. Bila siswa berlebih (dari komposisi 4 orang per kelompok, maka beberapa kelompok dapat diisi dengan 5 orang, dengan catatan, sebaiknya siswa lebih itu harus berasal dari siswa dengan kinerja akademik sedang. 2. Siapkan lembar kerja atau beberapa tugas yang akan diberikan pada pembelajaran, di mana selama pembelajaran setiap kelompok bertugas menguasai atau menyelesaikan lembar kerja/tugas dan saling membantu untuk menguasai tugas/lembar kerja tersebut. 3. Saat guru mulai memperkenalkan pembelajaran kooperatif tipe STAD, dalam kegiatan pembelajarannya guru dapat mulai dengan membacakan tugas-tugas tim. Selanjutnya mintalah setiap tim untuk menyatukan meja, dan beri bantuan untuk proses transisi ini agar kelas tidak menjadi ribut. Berilah waktu beberapa menit (misal 10 menit) untuk memberi kesempatan kepada setiap kelompok memberi nama tim mereka. Beri inspirasi bila dibutuhkan. 4. Berikutnya, bagilah lembar kerja atau tugas yang telah anda siapkan sebagaimana tersebut di atas (cukup 2 eksemplar untuk setiap tim). 5. Sarankan setiap tim untuk bekerja di kelompoknya secara berpasangan (berdua-berdua atau berdua-bertiga bagi kelompok yang beranggotakan 5 orang). Mereka dapat diajarkan berbagi tugas, atau saling mengoreksi, menjelaskan, dan mengkritisi pekerjaan pasangan lain di dalam kelompoknya. 6. Selalu memberi penekanan kepada seluruh kelompok agar jangan berhenti mempelajari lembar kerja/tugas sebelum semua anggota kelompok memiliki pemahaman yang sama terhadap tugas yang telah diberikan itu. Apabila siswa mempunyai pertanyaan, upayakan agar mereka terlebih
29
dahulu menanyakan pertanyaan itu kepada anggota lain di dalam kelompoknya. 7. Berkelilinglah di dalam kelas dan pujilah kinerja-kinerja yang baik yang ditampilkan siswa. Beri umpan balik bagaimana cara mereka bekerja sama di dalam kelompok. 8. Berikanlah tugas/lembar kerja lainnya. Kali ini mereka tidak boleh bekerja sama. Berikan waktu yang cukup untuk mengerjakannya secara individual. Ini adalah saat setiap anggota kelompok bahwa mereka telah berusaha belajar dengan baik pada saat tugas/lembar kerja pertama (yang sebelumnya) diberikan. Saat menyelesaikan tugas individual ini, pisahkanlah meja mereka. 9. Kumpulkan lembar kerja/tugas. Hitung nilai setiap individu anggota kelompok untuk pengerjaan tugas tersebut. Nilai didasarkan pada skor peningkatan terhadap skor dasar (nilai ulangan atau tugas mereka sebelumnya). 10. Kumpulkan nilai-nilai anggota kelompok sebagai nilai tim mereka. Beri penghargaan kepada kelompok-kelompok yang memiliki nilai bagus, juga individu yang memberikan sumbangan bagus kepada kelompoknya. Semua ini dimaksudkan sebagai bentuk akuntabilitas setiap individu anggota tim terhadap kelompoknya masing-masing. Adapun
langkah-langkah
pelaksanaan/implementasi
pendekatan
pembelajaran Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran IPA kelas IV semester II sebagai berikut:
30
Tabel 2.2 Langkah-Langkah Pembelajaran No 1
Tahap Tahap pendahuluan
Tingkah Laku Guru o
( persiapan )
o o
o 2.
Tahap Pengembangan
o
o o o 3.
Tahap Penerapan
o
o
o 4.
Tahap Penghitungan Skor
o
Guru memberikan informasi kepada siswa tentang materi yang akan mereka pelajari, yaitu tujuan pembelajaran dan pemberian motivasi agar siswa tertarik pada materi. Guru membentuk siswa kedalam kelompok dengan jumlah maksimal 4 – 5 orang, aturan heterogenitas. Mensosialiasakan kepada siswa tentang model pembelajaran yang digunakan dengan tujuan agar siswa mengenal dan memahamimya. Guru memberikan apersepsi yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari Guru mendemonstrasikan konsep atau keterampilan secara aktif dengan menggunakan alat bantu atau media yang nyata supanya mudah dipahami Guru membagikan lembar kerja siswa sebagai bahan diskusi kepada masingmasing kelompok. Siswa diberikan kesempatan untuk mendiskusikan tugasnya bersama kelompoknya. Guru memantau kerja dari tiap kelompok dan membimbing siswa yang mengalami kesulitan. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal yang ada dalam lembar kerja siswa dengan waktu yang ditentukan, siswa diharapkan bekerja secara individu tetapi tidak menutup kemungkinan mereka saling bertukar pikiran dengan anggota yang lainnya. Setelah siswa selesai mengerjakan soal lembar jawaban, kemudian dikumpulkan untuk dinilai. Tahap perhitungan skor kemajuan individu, yang dihitung berdasarkan skor dari kuis I dan kuis II
31
5..
2.1.7
Tahap Penghargaan
o
Guru memberi penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari nilai awal ke nilai kuis berikutnya.
Pembelajaran Konvensional
2.1.7.1 Pengertian Pembelajaran Konvensional Menurut Ujang Sukandi dalam Scholaria jurnal pendidikan ke-SD-an (2011: 215) mendeskripsikan bahwa pendekatan konvensional ditandai dengan guru lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Syaiful Sagala dalam Scholaria (2011:216) mengatakan bahwa dalam pembelajaran konvensional, perbedaan individu yang kurang diperhatikan karena seorang guru hanya mengelola kelas dan mengelola pembelajaran dari depan kelas. Pembelajaran konvensional cenderung menempatkan siswa dalam posisi pasif. Kegiatan yang pembelajaran satu arah yang bersifat menerima dan menghafal dan pada umumnya diberikan secara klasikal dengan ceramah. Slameto dalam Scholaria (2003:65) mengemukakan bahwa pembelajaran klasikal memandang siswa sebagai objek belajar yang hanya duduk dan pasif mendengarkan penjelasan guru. Guru yang mengajar dengan metode ceramah saja menyebabkan siswa menjadi bosan dan pasif. Dari
pendapat
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
pembelajaran
konvensional adalah pembelajaran yang berpusat kepada guru dimana guru menjadi sumber utama dalam pembelajaran. Pembelajaran konvensional ditandai dengan kegiatan ceramah di depan kelas, berpusat pa dan cenderung menempatkan siswa dalam posisi pasif tanpa memperhatikan kebutuhan belajar siswa secara individu.
32
Dalam menerapkan metode ceramah Jusuf Djajadisastra dalam Dwi Pornomo mengatakan sebagaimana yang tercantum dalam berikut ini : Tabel 2.3 Penerapan Metode Ceramah di Kelas 1. 2. 3. 4. 5.
GURU Berbicara sepanjang waktu jam pelajaran yang tersedia. Aktif sendiri sepanjang waktu pelajaran. Mendominasi kelas. Guru yang menentukan semua kegiatan yang harus dilaksanakan siswa. Menempati suatu tempat kedudukan yang tetap (di belakang meja guru). Komunikasi searah, yaitu guru kepada siswa saja.
1. 2.
3. 4. 5.
SISWA Mendengarkan atau mencatat uraian yang diberikan guru sepanjang waktu yang tersedia. Pasif dalam arti tidak diberikan kesempatan untuk bertanya, mengemukakan pendapat sendiri atau bergerak keluar dari kursi atau bangkunya. Mengikuti segala sesuatu yang ditetapkan guru. Menempati tempat duduk yang tetap sepanjang waktu. Komunikasi searah, yaitu hanya dari guru kepada siswa.
2.1.7.2 Langkah-langkah Metode Ceramah Menurut
Khilmiyah
dkk
dalam
Tukiran
Taniredja
(2011:47-48)
menjelaskan bahwa meskipun metode ceramah ini ada beberapa kelemahan, tetapi apabila dilaksanakan dengan langkah-langkah yang tepat sebagai salah satu metode pembelajaran aktif dengan menggunakan modifikasi-modifikasi untuk mengurangi
kekurangan-kekurangannya.
Langkah-langkah
yang
dimaksud
sebagai berikut: 1. Mengemukakan cerita atau visual gambar yang menarik: menyajiakan cerita fiksi, kartun, gambar yang relevan yang dapat memenuhi perhatian siswa terhadap materi yang diajarkan. 2. Mengemukakan suatu problem di sekitar ceramah yang akan dilakukan. 3. Membangkitkan perhatian dengan member pertanyaan siswa sebuah pertanyaan. Sehingga mereka termotivasi untuk mendengarkan ceramah dan tertarik untuk menjawabnya.
33
4. Memberi poin-poin dari ceramah pada kata-kata kunci yang berfungsi sebagai alat bantu atau ingatan pada siswa. 5. Contoh dan analogi: mengemukakan ilustrasi kehidupan nyata mengenai gagasan dalam ceramah, buat perbandingan antara materi yang diajarkan dengan pengalaman yang telah siswa alami. 6. Alat bantu visual: flip chart, transparansi, hand out dan demontrasi yang membantu siswa untuk melihat dan mendengarkan guru bicarakan. 7. Hentikan ceramah secara periodik dan mintalah siswa untuk untuk member contoh dari konsep yang disajikan untuk menjawab pertanyaan, 8. Latihan-latihan yang memperjelas: seluruh penyajian, selingan dengan aktivisan-aktivisan singkat yang memperjelas poin-poin yang anda buat. 9. Aplikasi problem: ajukan problem atau pertanyaan pada siswa untuk diselesaikan dengan didasarkan pada informasi yang diberikan sewaktu ceramah. 10. Refleksi 11. Penutup TukiranTaniredja (2011:48) mengataka metode ceramah mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ceramah antara lain: a. Guru dapat menguasai seluruh arah kelas, mudah mengulangnya kalau diperlukan, sebab guru sudah menguasai apa yang telah diceramahkan b. Murah biayanya karena media pelajaran yang digunakan disini cukup suara guru. c. Dengan penguasaan materi yang baik dan persiapan guru yang cermat, bahan dapat disampaikan dengan cara yang sangat menarik, lebih mudah diterima dan diingat oleh siswa. d. Memberi peluang kepada siswa untuk melatih pendengaran. e. Siswa dilatih untuk menyimpulkan pembicaraan yang panjang menjadi inti.
34
Sedangkan kekurangan dari metode ceramah antara lain: a. Tidak semua siswa memiliki daya tangkap yang baik, sehingga akan menimbulkan verbalisme. b. Agak sulit bagi siswa untuk mencerna atau menganalisis materi yang diceramahkan bersama-sama dengan kegiatan mendengarkan penjelasan atau ceramah guru. c. Tidak memberikan kesempatan siswa untuk apa yang disebut “belajar” dengan “berbuat”. d. Tidak semua guru pandai melaksanakan ceramah sehingga tujuan pelajaran tidak dapat tercapai. e. Menimbulkan rasa bosan, sehingga materi tidak dapat dicamkan. f. Menjadikan siswa malas membaca isi buku, mereka mengandalkan suara guru saja. 2.1.8 Hasil belajar 2.1.8.1 Pengertian Hasil belajar Menurut Dimyati dan Mudjiono dalam Lina (2009: 5), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Dari sisi guru, adalah bagaimana guru bisa menyampaikan pembelajaran dengan baik dan siswa bisa menerimanya. Menurut Winkel (dalam Lina, 2009: 5), “mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Sedangkan menurut Arif Gunarso (dalam Lina, 2009: 5),”hasil belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar”. Jadi hasil belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang dari proses belajar yang telah dilakukannya. Hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik dengan melakukan usaha secara maksimal yang dilakukan oleh seseorang setelah melakukan usaha-usaha belajar. Hasil belajar biasanya dinyatakan dalam bentuk
35
nilai. Setelah mengkaji pengertian hasil belajar dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Nana Sudjana (dalam techonly13, 2009) menyatakan bahwa proses penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan belajar. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu. Setiap keberhasilan belajar diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang diperoleh siswa. Keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran diwujudkan dengan nilai. Nana Sudjana (dalam techonly13, 2009) menyatakan bahwa hasil belajar yang diperoleh siswa adalah sebagai akibat dari proses belajar yang dilakukan oleh siswa, harus semakin tinggi hasil belajar yang diperoleh siswa. Proses belajar merupakan penunjang hasil belajar yang dicapai siswa. Pemerolehan hasil belajar yang baik akan memberikan kebanggaan pada diri sendiri, dan orang lain. Untuk itu guna memperoleh hasil belajar yang baik siswa dihadapkan dengan beberapa faktor yang bisa membuat siswa mendapatkan hasil belajar yang baik 2.1.8.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan belajar yang kondusif, hal ini akan berkaitan dengan faktor dari luar siswa. Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep, keterampilan, dan pembentukan sikap. Menurut Slameto (2010: 54-72) faktor yang mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua yaitu: faktor intern meliputi: faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan, sedangkan faktor ekstern meliputi: faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat. Menurut Slameto (2010: 54-72) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua. Dua faktor tersebut akan dijelaskan dengan penjelasan sebagai berikut:
36
1. Faktor-faktor intern Faktor intern adalah faktor yang berasal dari diri siswa. Faktor intern ini terbagi menjadi tiga faktor yaitu : faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan. a.
Faktor jasmaniah Pertama adalah faktor kesehatan. Sehat berarti dalam keadaan baik
segenap badan beseta bagian-bagiannya atau bebas dari penyakit. Kesehatan seseorang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Proses belajar akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, mengantuk jika badannya lemah, kurang darah ataupun ada gangguan fungsi alat indera serta tubuhnya. Agar sesorang dapat belajar dengan baik haruslah mengusahakan kesehatan badanya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan ketentuan-ketentuan tentang bekerja, belajar, istirahat, tidur, makan, olahraga, rekreasi, ibadah. Kedua adalah cacat tubuh. Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh. Cacat ini dapat berupa : buta, tuli, patah kaki, patah tangan, lumpuh dan lain-lain. Jika ini terjadi maka belajar akan terganggu, hendaknya apabila cacat ia disekolahkan di sekolah khusus atau diusahakan alat bantu agar dapat mengurangi pengaruh kecatatan itu. b. Faktor psikologis Sekurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah: pertama inteligensi yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat. Kedua perhatian yaitu keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itupun semata-mata tertuju kepada suatu objek atau sekumpulan objek. Ketiga minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang
37
beberapa kegiatan. keempat bakat yaitu kemampuan untuk belajar. Kemampuan ini akan baru terealisasi menjadi kecakapan nyata sesudah belajar atau berlatih. Kelima motif harus diperhatikan agar dapat belajar dengan baik harus memiliki motif atau dorongan untuk berfikir dan memusatkan perhatian saat belajar. Keenam kematangan adalah suatu tingkat pertumbuhan seseorang. Ketujuh kesiapan adalah kesediaan untuk memberi renspon atau bereaksi. Dari faktor-faktor tersebut sangat jelas mempengaruhi belajar, dan apabila belajar terganggu maka hasil belajar tidak akan baik. c. Faktor kelelahan Kelelahan seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: kelelahan jasmani dan kelelahan rohani (bersifat praktis). Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi karena kekacauan substansi sisa pembakaran di dalam tubuh. Sehingga darah tidak lancar pada bagian-bagian tertentu. Kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan, sehingga minat untuk menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan ini sangat terasa pada bagian kepala sehingga sulit untuk berkonsentrasi, seolah-olah otak kehabisan daya untuk bekerja. Kelelahan rohani dapat terjadi terusmenerus karena memikirkan masalah yang dianggap berat tanpa istirahat, menghadapi suatu hal yang selalu sama atau tanpa ada variasi dalam mengerjakan sesuatu karena terpaksa dan tidak sesuai dengan bakat, minat dan perhatiannya. Menurut Slameto (2010: 60) kelelahan baik jasmani maupun rohani dapat dihilangkan dengan cara sebagai berikut: tidur, istirahat, mengusahakan variasi dalam belajar, menggunakan obat-obat yang melancarkan peredaran darah, rekreasi atau ibadah teratur, olah raga, makan yang memenuhi sarat empat sehat lima sempurna, apabila kelelahan terus-menerus hubungi sorang ahli.
38
2. Faktor-faktor ekstern Faktor eksten adalah faktor yang berasal dari luar siswa. Faktor ini meliputi: faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat yaitu dengan penjelasan sebagai berikut: a. Faktor keluarga Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa: cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga. Sebagian waktu seorang siswa berada di rumah. Oleh karena itu, keluarga merupakan salah satu yang berperan pada hasil belajar. Oleh sebab itu orang tua harus mendorong, memberi semangat, membimbing, memberi teladan yang baik, menjalin hubungan yang baik, memberikan suasana yang mendukung belajar, dan dukungan material yang cukup. b. Faktor sekolah Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. Sekolah adalah lingkungan kedua yang berperan besar memberi pengaruh pada hasil belajar siswa. Sekolah harus menciptakan suasana yang kondusif bagi pembelajaran, hubungan dan komunikasi perorang di sekolah berjalan baik, kurikulum yang sesuai, kedisiplinan sekolah, gedung yang nyaman, metode pembelajaran aktifinteraktif, pemberian tugas rumah, dan sarana penunjang cukup memadai seperti perpustakaan sekolah dan sarana yang lainnya. c. Faktor masyarakat Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Pengaruh ini karena keberadaan siswa dalam masyarakat. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa ini meliputi: pertama kegiatan siswa dalam mayarakat yaitu misalnya siswa ikut dalam organisasi
39
masyarakat, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain, belajar akan terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam mengatur waktunya. Kedua multi media misalnya: TV, radio, bioskop, surat kabar, buku-buku, komik dan lain-lain. Semua itu ada dan beredar di masyarakat. Ketiga teman bergaul, teman bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya daripada yang kita duga. Teman bergaul yang baik akan memberi pengaruh yang baik terhadap diri siswa begitu sebaliknya. Contoh teman bergaul yang tidak baik misalnya suka begadang, pecandu rokok, keluyuran minum-minum, lebih-lebih pemabuk, penjinah, dan lain-lain. Keempat bentuk kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh pada hasil belajar siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri, dan mempunyai kebiasaan yang tidak baik akan berpengaruh jelek kepada siswa yang tinggal di situ. Melalui penjelasan faktor inten dan ekstern yang mempengaruhi hasil belajar. Faktor intern meliputi: faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan, dan faktor ekstern meliputi: faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat. Faktor intern dan ekstern akan sangat mempengaruhi hasil belajar, dan untuk memperoleh hasil belajar yang baik atau memuaskan, maka siswa harus memperhatikan faktor-faktor inten dan ekstern. Untuk meningkatkan hasil belajar maka siswa dituntut untuk memiliki kebiasaan belajar yang baik. 2.2 Penelitihan Yang Relevan Jemikem, 2011. “Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Indonesia dalam Menulis Puisi melalui Pendekatan Konstuktivisme dalam CTL Siswa Kelas VI SD Negeri Blengorkulon Kebumen Semester II Tahun Pelajaran 2010/2011”. Jenis penelitian ini yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas Penelitian dilaksanakan di SD Negeri Blengorkulon. Model PTK yang digunakn adalah Kemmis dan Target dengan dua siklus
dan langkah-langkah
mulai dari
perencanaan,tindakan dan observasi, refleksi. Variable dalam penelitian ini ada dua yaitu variable x(pendekatan kontruktivisme dalam CTL) dan variable y (hasil belajar). Data yang diperoleh berupa data kuantitatif. Hasil penelitian menujukan
40
bahwa pembelajaran
bahasa Indonesia
dengan menggunakan pendekatan
kontruktivisme dalam CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI. Hal itu ditunjukan adanya peningkatan jumlah siswa yang sudah tuntas setelah pembelajaran. Nilai siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia kondisi awal dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) 65,9 siswa. 26 terjadi karena saat pembelajaran bahasa Indonesia dengan memanfaatkan lingkungan, siswa lebih senang, materi mudah dipahami,siswa termotivasi sehingga siswa mudah berpikir untuk menemukan berbagai macam tema untuk dijadikan. Zulia Wadiningsih, Hasil penelitian menunjukkan bahwa “Penerapan Model Pembelajaran STAD dengan Pendekatan CTL Secara Umum dapat Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Ekonomi Siswa Kelas VIIIC SMPN 2 Malang". Dari paparan data dan temuan penelitian diketahui bahwa motivasi belajar klasikal keseluruhan pada siklus II mengalami peningkatan sebesar 13,59 % dibandingkan dengan siklus I. Nilai motivasi dari siklus I ke siklus II dengan perhitungan SPSS 16 for Windows maka dapat disimpulkan bahwa ratarata motivasi dari siklus I ke siklus II berbeda secara signifikan karena ratarata motivasi setelah siklus II lebih tinggi dari pada motivasi sebelum siklus I"Hasil belajar siswa dapat diketahui dari tes yang diadakan setiap siklus. Ketuntasan belajar siswa dari siklus I ke siklus II meningkat sebesar 15,79 %" hasil belajar siklus I ke siklus II dengan menggunkan SPSS 16 for Windows, dapat disimpulkan bahwa ratarata hasil belajar dari siklus I ke siklus II adalah berbeda secara signifikan karena rata-rata hasil belajar pada siklus I lebih tinggi dari pada hasil belajar siklus II. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan model STAD dengan pendekatan CTL dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Saran dari peneliti adalah Penggunaan pemicu masalah yang lebih nyata dan inovatif bagi siswa sangat ditekankan untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa, Guru matapelajaran ekonomi dapat menerapkan pembelajaran model STAD dengan pendekatan CTL yang terbukti dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa, Guru hendaknya juga mengukur seluruh hasil belajar siswa yang meliputi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik, Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian sejenis pada
41
kompetensi dasar yang lain guna mengetahui keberhasilan metode STAD dengan pendekatan CTL dalam meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. 2.3 Kerangka Berfikir Keberhasilan proses pembelajaran tentunya tidak lepas dari guru sebagai salah satu sumber belajar. Peran guru sebagai sumber belajar sangatlah penting dimana guru harus lebih menguasai materi pelajaran/bahan ajar. Tidak hanya itu guru harus lebih banyak memiliki bahan referensi, hal ini untuk menjaga agar guru memiliki pemahaman yang jauh lebih baik tentang materi yang akan diajarkan. Salah satu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA adalah melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Semula kelas eksperimen dan kelas kontrol berada dalam keadaan sama yaitu mempunyai kesetaraan yang seimbang hasil belajarnya yang dapat dilihat melalui uji homogenitas. Penulis akan membuat dua soal yang akan digunakan untuk penelitian. Soal tes homogenitas adalah soal untuk menguji homogenitas dari kedua kelompok sebelum kelas diberi perlakuan yaitu pembelajaran yang menggunakan pedekataan Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD
dan pembelajaran
dengan metode
konvensional. Soal tes akhir atau post test akan diberikan setelah kelas diberi perlakuan. Namun, sebelum kedua soal diuji cobakan harus dilakukan pengujian disekolah lain yaitu SDN 1 Temuireng sekolah yang bukan sekolah untuk penelitian. nilai pengujian soal kemudian
diuji validitasnya agar soal dapat
diujikan dalam penelitian. Penelitian akan dilakukan dengan cara memberikan kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan soal homogenitas. Soal tes awal bertujuan untuk mengetahui homogenitas antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Setelah mengetahui tingkat homogenitas antara kelas IV SDN 3 Randulawang dan kelas IV SDN 2
42
Pelem diberikan pada kelas eksperimen yaitu dengan menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Kedua kelas diberikan soal yang sama yaitu soal tes untuk mengukur tingkat pemahaman mereka terhadap pembelajaran. 2.4 Hipotesis Peneliti Berdasarkan rumusan masalah maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan yaitu diduga ada perbedaan efektivitas yang signifikan antara pendekatan Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan pembelajaran konvensional pada hasil belajar mata pelajaran IPA kelas IV Semester II di SD Imbas Gugus Pangeran Diponegoro Tahun Pelajaran 2011/2012. Berikut ini adalah rincian rumusan hipotesis dalam penelitian ini: H0 : tidak ada perbedaan efektivitas yang signifikan pendekatan Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pembelajaran konvensional. Ha : ada perbedaan efektivitas yang signifikan antara pendekatan Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pembelajaran konvensional. Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut: H0 = OX1 = OX2 Ha = OX1 ≠ OX2 Keterangan: OX1 = Hasil pembelajaran pendekatan Contextual Teaching and Learning melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD. OX2 = Hasil pembelajaran pembelajaran konvensional.