10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Laporan Keuangan Laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan. Laporan keuangan adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap meliputi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, laporan perubahan modal, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Menurut Ariyanti (2008) laporan keuangan adalah ringkasan dari suatu proses pencatatan, merupakan suatu ringkasan dari transaksi-transaksi yang terjadi selama tahun buku yang bersangkutan. Laporan keuangan ini dibuat oleh manajemen dengan tujuan untuk mempertanggung jawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh pemilik perusahaan. Menurut Kasmir (2008) laporan keuangan merupakan kewajiban setiap perusahaan untuk membuat dan melaporkan keuangan perusahaannya pada suatu periode tertentu. Hal yang dilaporkan kemudian dianalisis sehingga dapat diketahui kondisi dan posisi perusahaan terkini. Kemudian laporan keuangan juga akan menentukan langkah apa yang dilakukan perusahaan sekarang dan ke depan,
11
dengan melihat berbagai persoalan yang ada baik kelemahan maupun kekuatan yang dimilikinya. Berdasarkan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Standar Akuntansi Keuangan, laporan keuangan harus memenuhi empat karakteristik kualitatif pokok. Keempat karakteristik tersebut yaitu dapat dipahami, relevan, andal, dan dapat dibandingkan. 1. Dapat dipahami Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pengguna. 2. Relevan Informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pengguna dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan jika dapat mempengaruhi keputusan pengguna, dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini, atau masa depan, menegaskan atau mengoreksi, hasil evaluasi mereka dimasa lalu. 3. Keandalan Agar bermanfaat, informasi harus memiliki sifat andal (reliable). Informasi memiliki kualitas andal apabila terbebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material dan dapat diandalkan oleh pemakainya sebagai penyajian yang tulus dan jujur
12
dari yang seharusnya disajikan atau secara wajar diharapkan dapat disajikan. 4. Dapat dibandingkan Pemakai harus dapat memperbandingkan laporan keuangan perusahaan antar periode untuk mengidentifikasi kecenderungan posisi
dan
kinerja
membandingkan
perusahaan.
laporan
Pemakai
keuangan
antar
juga
harus
dapat
perusahaan
untuk
mengevaluasi posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan secara relative.
Berdasarkan PSAK No 1 tahun 2013, laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen – komponen berikut ini : 1. Laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode. 2. Laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain selama periode. 3. Laporan perubahan ekuitas selama periode. 4. Laporan arus kas selama periode. 5. Catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lainnya. 6. Laporan posisi keuangan pada awal periode sebelumnya yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara restropektif atau membuat penyajian kembali pos – pos dalam laporan keuangan.
13
2.1.2 Teori Agensi Menurut Anthony dan Govindarajan (2011) menyatakan bahwa hubungan agensi merupakan hubungan kontrak antara prinsipal dan agen. Teori agensi memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Prinsipal dalam hal ini adalah shareholder (pemegang saham) mendelegasikan pertanggungjawaban atas decision making atau tugas tertentu kepada agen (manajer) sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dimasa yang akan datang dibandingkan pemegang saham. Oleh karena itu, manajer berkewajiban memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan yang sebenarnya melalui pengungkapan informasi seperti laporan keuangan. Dalam hubungan agensi terdapat tiga masalah utama (Aryanti, 2013), yang pertama masalah pengendalian yang dilakukan oleh prinsipal terhadap agen. Masalah pengendalian tersebut meliputi beberapa masalah pokok yaitu tindakan agen yang tidak bisa diamati oleh prinsipal dan mekanisme pengendalian tersebut. Tanpa memantau kegiatan agen, hanya agen yang mengetahui persis apakah agen bekerja atas kepentingan terbaik prinsipal. Disamping itu, hanya agen yang lebih mengetahui banyak tentang tugas agen dibandingkan prinsipal. Adanya tindakan agen yang tidak diketahui secara pasti oleh prinsipal, memaksa prinsipal melakukan mekanisme pengendalian agar kepentingan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan yaitu melalui monitoring dan kontak insentif.
14
Kedua adalah masalah biaya yang menyertai hubungan agensi. Munculnya perbedaan diantara prinsipal dan agen menyebabkan munculnya biaya tambahan sebagai biaya agensi. Sebagai contoh biaya yang termasuk biaya agensi yaitu biaya kompensasi insentif yang berupa bonus dalam bentuk opsi saham, biaya monitoring (biaya audit) dan biaya kesempatan (opportunity cost) yang muncul karena kesulitan perusahaan besar untuk merespon kesempatan baru sehingga kehilangan peluang untuk memperoleh keuntungan. Masalah
ketiga
adalah
tentang
bagaimana
menghindari
dan
meminimalisir biaya agensi. Prinsipal memiliki kepentingan untuk memperkecil biaya agensi yang muncul. Usaha yang dapat dilakukan oleh prinsipal untuk memperkecil biaya agensi karena tidak dapat dihilangkan sama sekali adalah dengan mencari manajer yang benar-benar dapat dipercaya dan mengetahui secara jelas kapabilitas dan personalitas. Selain itu juga memperjelas kontrak insentif dengan seksama kompensasi opsional sehingga memotivasi agen untuk bekerja sesuai kepentingan prinsipal dengan penghargaan yang wajar terhadap prinsipal. 2.1.3 Opini Audit
Tujuan audit yang tercantum dalam ISA 200.03 adalah mengangkat tingkat kepercayaan dari pemakai laporan keuangan yang dituju, terhadap laporan keuangan itu. Tujuan itu dicapai dengan pemberian opini oleh auditor mengenai apakah laporan keuangan disusun, dalam segala hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku.
15
Opini audit dinyatakan dalam sebuah laporan audit. Opini audit mengkomunikasikan berbagai infomasi kepada pembacanya, yaitu mengenai tanggung jawab manajemen, tanggung jawab auditor dan penjelasan menegenai audit, audit yang dilaksanakan dengan International Standards on Auditing (ISA), kerangka pelaporan keuangan yang digunakan, serta opini auditor atas laporan keuangan (Tuanakotta, 2013). Bentuk opini audit berdasarkan ISA yakni opini tanpa modifikasian dan opini modifikasian. Terdapat 3 jenis opini modifikasian yakni opini wajar dengan pengecualian, opini tidak wajar dan opini tidak menyatakan pendapat. 2.1.3.1 Opini Wajar dengan Pengecualian Pendapat wajar dengan pengecualian diberikan apabila auditee menyajikan laporan keuangan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan prisnip akuntansi berterima umum di Indonesia, kecuali untuk dampak-dampak hal-hal yang dikecualikan. Pendapat wajar dengan pengecualian dinyatakan dalam keadaan : 1. Bukti audit yang cukup dan tepat telah diperoleh, dan auditor menyimpulkan ada salah saji, sendiri-sendiri atau tergabung, adalah material tetapi tidak pervasif terhadap laporan keuangan; atau 2. Auditor tidak berhasil memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk dijadikan dasar pemberian pendapat, tetapi menyimpulkan bahwa dampak salah saji yang tidak ditemukan mungkin material tetapi tidak pervasif.
16
2.1.3.2 Opini Tidak Wajar Auditor wajib memberikan opini tidak wajar jika ia setelah memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, menyimpulkan bahwa salah saji sendirisendiri atau digabungkan adalah material dan pervasif untuk laporan keuangan yang bersangkutan. 2.1.3.3 Opini Tidak Menyatakan Pendapat Auditor wajib memberikan opini tidak menyatakan pendapat jika ia tidak berhasil memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat sebagai dasar pemberian opininya, dan ia menyimpulkan bahwa yang mungkin terjadi atas laporan keuangan karena salah saji yang tidak ditemukan, bisa material dan pervasif.
Menurut Halim (2008), terdapat lima jenis pendapat yang dapat diberikan oleh auditor, yaitu sebagai berikut : 1. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion) Pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan auditor apabila audit telah dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar auditing, penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan tidak terdapat kondisi atau keadaan tertentu yang memerlukan bahasa penjelas.
17
2. Opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan Bahasa Penjelas (Unqualified Opinion with Explanatory Language) Pendapat ini diberikan apabila audit telah dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar auditing, penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, tetapi terdapat keadaan atau kondisi tertentu yang memerlukan bahasa penjelasan. Kondisi atau keadaan yang memerlukan bahasa penjelasan tambahan antara lain sebagai berikut: (a) Pendapat auditor sebagian didasarkan atas laporan auditor indepeden lain. (b) Adanya penyimpangan dari prinsip akuntansi yang ditetapkan oleh IAI. (c) Laporan keuangan dipengaruhi oleh ketidakpastian yang material. (d) Auditor meragukan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. (e) Auditor menemukan adanya suatu perubahan material dalam penggunaan prinsip dan metode akuntansi.
3. Opini Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinion) Pendapat ini diberikan apabila : (a) Tidak adanya bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan lingkup audit yang material tetapi tidak mempengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan.
18
(b) Auditor yakin bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum yang berdampak pada material tetapi tidak mempengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan. Penyimpangan tersebut dapat berupa pengungkapan yang tidak memadai, maupun perubahan dalam prinsip akuntansi. Auditor harus menjelaskan alasan pengecualian dalam satu paragraf terpisah sebelum paragraf pendapat.
4. Opini Tidak Wajar (Adverse Opinion) Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan , hasil usaha, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Auditor harus menjelaskan alasan pendukung pendapat tidak wajar, dan
dampak
utama dari hal yang
menyebabkan pendapat tidak wajar diberikan terhadap laporan keuangan.
5. Opini Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion). Pernyataan auditor untuk tidak memberikan pendapat ini diberikan apabila: (a) Ada pembatasan lingkup audit yang sangat material baik oleh klien maupun karena kondisi tertentu. (b) Auditor tidak independen terhadap klien.
19
2.1.4 Going Concern
Going concern atau konsep kontinuitas usaha menyatakan bahwa perusahaan dianggap akan berlangsung terus tanpa ada maksud untuk membubarkan atau melikuidasinya. Menurut Belkaoui (2006), going concern adalah dalil yang menyatakan bahwa suatu entitas akan menjalankan terus operasinya dalam jangka waktu yang cukup lama untuk mewujudkan proyeknya, tanggung jawab, serta aktivitas aktivitasnya yang tiada henti. Dalil ini memberi gambaran bahwa entitas diharapkan untuk beroperasi dalam jangka waktu yang tidak terbatas atau tidak diarahkan
menuju
arah
likuidasi.
Suatu
operasi
yang
berlanjut
dan
berkesinambungan diperlukan untuk menciptakan suatu konsekuensi bahwa laporan keuangan yang terbit pada suatu perioda mempunyai sifat sementara, sebab masih merupakan suatu rangkaian laporan keuangan yang berkelanjutan. Rahayu (2007) menyatakan bahwa istilah going concern dapat diinterpretasikan dalam dua hal, yang pertama adalah going concern sebagai konsep dan yang kedua adalah going concern sebagai opini audit. Sebagai konsep, istilah going concern dapat diinterpretasikan sebagai kemampuan perusahaan mempertahankan kelangsungan usahanya dalam jangka panjang. Sebagai opini audit, istilah opini going concern menunjukkan auditor memiliki kesangsian mengenai
kemampuan
perusahaan
untuk
melanjutkan usahanya
dimasa
mendatang. Kelangsungan hidup suatu entitas selalu dihubungkan dengan kemampuan manajemen untuk membawa entitas tersebut untuk bertahan selama mungkin.
20
2.1.5 Opini Audit Going Concern
Menurut Aryanti (2013) laporan audit going concern merupakan suatu indikator bahwa dalam penilaian auditor terdapat risiko bahwa auditee tidak dapat bertahan dalam bisnis dari sudut pandang auditor. Penggunaan asumsi going concern sangat fundamental dalam membuat laporan keuangan (Tuanakotta, 2013). ISA 570 memberikan petunjuk mengenai tanggung jawab auditor dalam audit atas laporan keuangan berkenaan dengan penggunaan asumsi “usaha berkesinambungan” dan penilaian manajemen mengenai kemampuan entitas untuk melanjutkan usahanya sebagai usaha berkesinambungan. Kondisi yang dapat menimbulkan keraguan yang besar mengenai asumsi kesinambungan usaha antara lain : 1. Indikator keuangan a. Posisi utang bersih atau utang lancar bersih b. Pinjaman yang mendekati tanggal jatuh tempo tanpa prospek yang realistis untuk perpanjangan atau pelunasan, atau ketergantungan yang besar akan pinjaman jangka pendek untuk membelanjai aset tetap. c. Indikasi penarikan dukungan dari para kreditur. d. Arus kas operasional yang negatif. e. Rasio keuangan utama yang buruk. f. Kerugian operasional yang besar. g. Penurunan nilai aset yang digunakan untuk menghasilkan arus kas secara signifikan.
21
h. Menunggak membayar dividen atau bahkan menghentikannya sama sekali. i. Ketidakmampuan membayar para kreditur pada tanggal jatuh temponya hutang. j. Ketidakmampuan memenuhi syarat – syarat pinjaman. k. Ketidakmampuan memperoleh pendanaan untuk mengembangkan produk baru atau investasi yang sangat penting. 2. Indikator Operasional a. Rencana manajemen untuk melikuidasi entitas atau berhenti beroperasi. b. Kesulitan dengan SDM, mogok kerja berkepanjangan. c. Kehilangan pasar yang sangat penting, pelanggan, atau pemasok utama. d. Hilangnya anggota (tim inti) manajemen, tanpa pengganti. 3. Lain-lain a. Ketidakpatuhan mengenai kewajiban permodalan. b. Perubahan undang-undang yang berdampak buruk bagi entitas. c. Bencana besar yang tidak diasuransikan. d. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang – undangan. 2.1.6 Debt Default
Debt default merupakan salah satu indikator going concern yang banyak digunakan auditor dalam memberikan opini audit adalah kegagalan dalam memenuhi kewajiban hutangnya (default). Debt default didefinisikan sebagai
22
kegagalan debitor (perusahaan) dalam membayar hutang pokoknya atau bunganya pada waktu jatuh tempo. Ketika jumlah hutang perusahaan sudah sangat besar, maka aliran kas perusahaan akan banyak dialokasikan untuk menutupi hutangnya, sehingga akan mengganggu kelangsungan hidup operasional perusahaan. Apabila hutang tidak mampu dilunasi maka kreditor akan memberikan status default. Status default dapat meningkatkan kemungkinan besar auditor memberikan opini audit going concern. Chench dan Chruch (1992) menemukan bahwa penambahan variabel status debt default dapat dijadikan sebagai variabel yang penting dan terdapat hubungan yang kuat status default dengan opini going concern. Diharapkan status default dapat meningkatkan kemungkinan auditor mengeluarkan opini going concern. Sebuah perusahaan dikategorikan dalam keadaan default hutangnya apabila sala satu kondisi di bawah ini terpenuhi (Chen dan Chruch, 1992) : a. Perusahaan tidak dapat atau lalai dalam membayar hutang pokok atau bunga. b. Persetujuan perjanjian hutang dilanggar, jika pelanggaran perjanjian tersebut tidak dituntut atau telah dituntut kreditor untuk masa kurang dari satu tahun. c. Perusahaan sedang dalam proses negosiasi restrukturisasi yang jatuh tempo.
23
Pada penelitian Januarti (2008) dan Ardiani, dkk. (2012) faktor debt default memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern. 2.1.7 Pertumbuhan Perusahaan
Pertumbuhan
perusahaan
merupakan
seberapa
baik
perusahaan
mempertahankan posisi ekonominya dalam industri maupun kegiatan ekonomi secara keseluruhan (Setyarno, dkk., 2006). Terdapat proksi yang berbeda-beda untuk menilai tingkat pertumbuhan perusahaan. Penelitiaan ini, pertumbuhan perusahaan diproksikan dengan rasio pertumbuhan laba yang positif. Perusahaan yang mempunyai rasio pertumbuhan laba yang positif cenderung memiliki potensi untuk mendapatkan opini yang baik lebih besar. Pertumbuhan laba menunjukkan kemampuan perusahaan untuk dapat bertahan dalam kondisi persaingan. Perusahaan dengan pertumbuhan yang negatif mengindikasikan kecenderungan yang lebih besar ke arah kebangkrutan. Jika rasio pertumbuhan laba positif, maka auditor cenderung tidak mengeluarkan opini audit going concern (Alichia, 2013). Pada penelitian Kristiana (2012) dan Ginting, Suryana (2014) faktor pertumbuhan perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan opini audit going concern. Namun sebaliknya dalam beberapa penelitian lain menyatakan bahwa pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Beberapa hasil penelitian mengenai pertumbuhan perusahaan masih menuai hasil yang berbeda-beda.
24
2.1.8 Opini Audit Tahun Sebelumnya
Opini audit tahun sebelumnya adalah opini audit yang diterima auditee pada tahun sebelumnya atau 1 tahun sebelum tahun penelitian. Opini audit tahun sebelumnya ini dikelompokkan menjadi 2 yaitu auditee dengan opini going concern (GCAO) dan tanpa opini going concern (NGCAO). Perusahaan yang menerima opini audit going concern pada tahun sebelumnya lebih cenderung untuk menerima opini yang sama pada tahun berjalan, karena kegiatan usaha perusahaan tahun tertentu tidak lepas dari keadaaan tahun sebelumnya. Penelitian Setyarno, dkk. (2006), Alichia (2013), Hidayanti (2014), dan Wulandari (2014) memperkuat bukti mengenai opini audit going concern yang diterima tahun sebelumnya dengan opini audit going concern tahun berjalan. Ada hubungan positif yang signifikan antara opini audit going concern tahun sebelumnya dengan opini audit going concern tahun berjalan. Apabila pada tahun sebelumnya auditor telah menerbitkan opini audit going concern, maka akan semakin besar kemungkinan auditor untuk menerbitkan kembali opini audit going concern pada tahun berikutnya.
2.1.9 Perusahaan Pertambangan
Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor yang ikut andil dalam pembangunan ekonomi suatu negara, karena perannya sebagai penyedia sumber daya energi yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan perekonomian suatu negara. Bahtiar dan Nazar (2014) menyatakan bahwa produksi pertambangan
25
Indonesia yang secara mayoritas terdiri dari batubara, timah, tembaga, emas dan ammonia, mencatat pertumbuhan rata-rata 12.27 persen pada paruh waktu 20072011. Sementara itu, untuk periode 2012–2016, pertumbuhannya diprediksi menjadi 8.27 persen. Komite
Ekonomi
Nasional
memproyeksikan
kinerja
sektor
pertambangan di Indonesia masih tertekan. Hal ini seiring dengan harga komoditas pertambangan di pasar internasional yang tengah turun. Turunnya harga komoditas pertambangan disebabkan permintaan terhadap komoditas pertambangan yang diperkirakan masih melemah seiring dengan lesunya kondisi perekonomian global. Menurunnya harga saham perusahaan pada sektor pertambangan juga tidak terlepas dari pengaruh penurunan harga-harga komoditas pertambangan di pasar internasional. Sejak awal tahun 2012, komoditas pertambangan seperti aluminium, nikel, dan timah putih menunjukkan penurunan yang cukup signifikan (Tandjung,2012) Sunarsip (2015) menyatakan bahwa melemahnya kinerja pertumbuhan di sektor pertambangan ini pada akhirnya turut menyebabkan pelemahan kinerja di sektor lainnya. Seperti di sektor perbankan, juga terjadi pemburukan kualitas kredit yang disalurkan ke sektor pertambangan. Hal ini terlihat dari tingginya angka
kredit
bermasalah
(non-performing
loan/NPL)
kredit
di
sektor
pertambangan pada kuartal III-2015. Kalimantan, Papua, dan Maluku mengalami peningkatan NPL tertinggi. Tingginya NPL Kalimantan disebabkan oleh ketergantungan terhadap sektor pertambangan. Sementara, di Papua dan Maluku
26
peningkatan NPL disebabkan oleh sektor perdagangan yang juga terimbas oleh lesunya sektor pertambangan. Sektor pertambangan memiliki tingkat risiko yang tinggi diantaranya risiko fluktuasi harga komoditas barang tambang di pasar komoditas dunia, serta risiko dalam kegiatan eksplorasi yang dilakukan perusahaan pertambangan yang dapat mengakibatkan perusahaan pertambangan menderita kerugian.
2.2 Telaah Penelitian Terdahulu
1.
Chen dan Church (1992), menggunakan variabel independen cash flows from current operations divided by totalliabilities (CFTL), current assets divided by current liabilities (CACL), longterm debt divided by total assets (LDTA), net income before taxes divided by net sales (NIBTS), perubahan current ratio (CCR), terjadinya rugi operasi 2 tahun berturut-turut (LOS2), ukuran perusahaan (LTA), dan status default. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa CFTL, CACL, LDTA, NIBTS, LTA, CCR berguna dalam menjelaskan penerbitan opini audit going concern. Status default lebih berguna dalam menjelaskan penerbitan opini audit going concern dibandingkan variabel keuangan.
2. Setyarno, dkk. (2006), menggunakan variabel independen kualitas audit, kondisi
keuangan
perusahaan,
opini
audit
tahun
sebelumnya
dan
pertumbuhan perusahaan. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa kualitas audit dan pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh
27
terhadap opini audit going concern. Opini audit tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap opini audit going concern. Penggunaan model prediksi kebangkrutan yang dikembangkan oleh Altman berpengaruh negatif terhadap opini audit going concern. 3. Januarti (2008), menggunakan variabel independen kondisi keuangan, debt default, ukuran perusahaan, audit lag, opini audit tahun sebelumnya, audit tenure, kualitas audit, opinion shopping, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap penerbitan opini audit going concern adalah variabel debt default, ukuran perusahaan, opini audit tahun sebelumnya, dan kualitas audit. 4. Ardiani, dkk. (2012), menggunakan variabel independen audit tenure, disclosure, ukuran KAP, debt default, opinion shopping, dan kondisi keuangan. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa variabel independen yang yang berpengaruh signifikan terhadap penerbitan opini audit going concern adalah variabel audit tenure, disclosure, ukuran KAP, debt default. 5. Kristiana (2012), menggunakan variabel independen ukuran perusahaan, profitabilitas, likuiditas, dan pertumbuhan perusahaan. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa yang mempengaruhi penerbitan opini audit going concern secara signifikan adalah profitabilitas, likuiditas, dan pertumbuhan perusahaan. Ukuran perusahaan merupakan variabel yang tidak berpengaruh signifikan terhadap opini audit going concern.
28
6. Alichia (2013), menggunakan variabel independen ukuran perusahaan, pertumbuhan
perusahaan
dan
opini
audit
tahun
sbelumnya.
Pada
penelitiannya memperoleh hasil bahwa pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern. Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap opini audit going concern. Opini audit tahun sebelumnya berpengaruh signifikan positif terhadap opini audit going concern. 7. Ginting dan Suryana (2014), pada penelitiannya menggunakan variabel independen ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, kondisi keuangan dan reputasi auditor. Dari hasil penelitiannya didapatkan hasil bahwa yang mempengaruhi penerbitan opini audit going concern secara signifikan adalah pertumbuhan perusahaan, kondisi keuangan, dan reputasi auditor. Ukuran perusahaan merupakan variabel yang tidak bepengaruh signifikan terhadap opini audit going concern. 8. Hidayanti (2014), pada penelitiannya menggunakan variabel independen reputasi auditor, ukuran perusahaan, dan opini audit tahun sebelumnya. Dari hasil penelitiannya didapatkan hasil bahwa opini audit tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap opini audit going concern. Reputasi auditor dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern. 9. Wulandari (2014), menggunakan variabel independen reputasi KAP, kondisi keuangan, opini audit tahun sebelumnya, ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, likuiditas, profitabilitas dan leverage. Dari hasil penelitiannya
29
didapatkan hasil yang mempengaruhi opini audit going concern adalah opini audit tahun sebelumnya.
2.3 Hipotesis Penelitian 2.3.1 Pengaruh Debt Default terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern Kegagalan dalam memenuhi kewajiban hutang dan atau bunga merupakan indikator going concern yang banyak digunakan oleh auditor dalam menilai kelangsungan hidup suatu perusahaan. Status hutang perusahaan merupakan salah satu faktor yang akan diperiksa oleh auditor untuk mengukur kesehatan keuangan perusahaan. Ketika jumlah hutang perusahaan sudah sangat besar, maka aliran kas perusahaan tentunya banyak dialokasikan untuk menutupi hutangnya, sehingga akan mengganggu kelangsungan operasi perusahaan. Apabila hutang ini tidak mampu dilunasi, maka kreditor akan memberikan status default. Status default dapat meningkatkan kemungkinan auditor mengeluarkan laporan going concern. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chen dan Church (1992), Januarti (2008) dan Ardiani, dkk. (2012) bahwa debt default memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern. Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan adanya hubungan antara debt default dengan kebangkrutan yang akan berimbas pada pertimbangan auditor dalam memberikan opini audit going concern.
30
H1 : Debt default berpengaruh positif terhadap penerimaan opini audit going concern.
2.3.2
Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadap Penerimaan Opini Audit
Going Concern Pertumbuhan perusahaan menunjukkan seberapa baik perusahaan mempertahankan posisi ekonominya dalam industri maupun kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Apabila pertumbuhan perusahaan baik, maka perusahaan akan terhindar dari terjadinya kebangkrutan dan menandakan bahwa auditor tidak akan memberikan opini going concern. Sebaliknya apabila perusahaan tidak menuai pertumbuhan akan cenderung lebih besar mengalami kebangkrutan. Apabila manajemen tidak segera mengambil tindakan maka besar kemungkinan perusahaan tidak dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kristiana (2012), Ginting dan Suryana (2014) bahwa pertumbuhan perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan opini audit going concern. Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan adanya hubungan antara pertumbuhan perusahaan dengan kebangkrutan yang akan berimbas pada pertimbangan auditor dalam memberikan opini audit going concern. H2
:
Pertumbuhan
perusahaan
penerimaan opini audit going concern.
berpengaruh
negatif
terhadap
31
2.3.3
Pengaruh Opini Audit Tahun Sebelumnya terhadap Penerimaan Opini
Audit Going Concern Auditee yang menerima opini audit going concern pada tahun sebelumnya akan dianggap memiliki masalah kelangsungan hidupnya, sehingga semakin besar kemungkinan bagi auditor untuk mengeluarkan opini audit going concern pada tahun berjalan. Pada penelitian Setyarno, dkk. (2006), Alichia (2013), dan Wulandari (2014) menyatakan ada hubungan signifikan positif dengan opini tahun berjalan. Apabila pada tahun sebelumnya auditor telah memberikan opini audit going concern, maka pada tahun berjalan semakin besar kemungkinan auditor untuk memberikan kembali opini audit going concern. H3 : Opini audit sebelumnya berpengaruh positif terhadap penerimaan opini audit going concern.
32
Berdasarkan pengembangan hipotesis di atas, ketiga hipotesis tersebut dapat diringkas dalam model teoritis penelitian seperti yang disajikan dalam Gambar berikut ini.
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Penelitian
Variabel Independen
Variabel Dependen
H1 DEBT DEFAULT (+)
H2 PERTUMBUHAN
(-)
PERUSAHAAN
(+)
H3 OPINI AUDIT TAHUN SEBELUMNYA
OPINI AUDIT GOING CONCERN